Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
 
Noandy Jul 2015
Feel the red curtain,
The night opens a discreet picture
That still chirps about the burned-down marching band
We can no longer forget.

Your eyes still speak of
    The boys in the black attire
    Girls in wedding dresses
    Abandoned mother in the perfume of war
    Wearing masks of serendipity
That were consumed by the flimsy fire

And talk of the devil,
Talk of the leader,

His dark eyes were set ablaze
And his heart on his sleeve
Half eaten out
The parade, though, kept marching along
With its beautiful brides and paper snow
In the dark and discreet night

I could not wake
The romance they inflincted
Between us who knew none of each other
But the ode I will be sending to your most loved parade no longer
Will never reach anyone neither carcasses nor night masses

So what will we get from our early midnight memory
We confronted before the sun went down?
   The songs chanted with death’s drum rolls
   The steps taken with dwarfed soles and melted eyes
   Or the love you could not relish for the boys in the black attire
                                                          ­           Girls in wedding dresses
                                       Abandoned mother in ******* serendipity
                                      Or for the marching band
                               That will never pass us again?

And here I lie,
But they bring memories like a festival
Under the moonlit night
Presenting the illness of romance between life and death

And here I love you,
My visions of the discreet night
The parade of the wrong and right
My carcass of the burning life
We try to live upon a single stroke
Of two-faced departure

And here you love me,
As only
A parade of paradox
Unforsaken
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
Noandy Mar 2016
/1/
Merindu berarti meranggas
Bak guguran detik demi detik
Pada tangan pedih di petang hari
Merindu berarti meradang
Saat senandung semu
Dari semua kisahmu
Menorehkan luka
Pada jejak lisanku
Yang tak kunjung bermuara
Karena kita yang bertualang
Hanyalah jiwa dalam deru
Jerit

/2/
Siapa yang tinggal dalam gelap
Jika bukan sekumpul hantu
Dan kepulan sisa ragamu
Yang denyut nadinya
Sangat susah untuk kuraba
Untuk apa membunuh diri
Bila ternyata
Tak pernah hidup
Di cinta hingar bingar
Di pilu tak berpijar
Sumbu tubuhmu
Akankah menyala lagi
Apabila ku dekap dalam ratap?

/3/
Terbitnya kabut
Setelah fajar
Takkan bisa
Gantikan
Kenanganmu dalam redup
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Noandy Apr 2015
The postman boy
Has gotten weary of the stories told
Wrongly by dear Oblivia on the yards
Every morning.
The postman boy comes for
The warm-hearted letters of distance sons
But on his hands are letters of slander and
coalition he did not fathom.
Noandy Aug 2016
Sebuah renungan untuk kesukaan yang aneh.

Prang

Ia suka mendengarkan suara kaca pecah. Kadang-kadang, suara beling atau cermin. Itulah sebabnya ia sering kehabisan gelas di rumah. Saat sedang gusar hatinya, ia sengaja mengambil satu atau dua gelas untuk dijatuhkan. Suaranya renyah dan cantik. Ia membayangkan berbagai masalah yang ia hadapi berubah menjadi sebuah gumpalan besar yang akhirnya mendobrak tempat ia dikurung bebas dan selanjutnya merasuki orang lain. Ia tak akan memikirkan kegundah-gulanaannya lagi. Apabila sudah terdengar *prang
, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Ia sadar kalau itu kebiasaan yang buruk. Orang-orang disekitarnya mencercanya. Berisik, kata mereka. Ia tidak melakukannya karena ia suka memecahkan barang. Ia lakukan hal itu karena ia suka mendengar suara kaca pecah yang berhamburan kemana-mana. Ia juga tak sering-sering amat melakukannya, hanya sesekali. Terkadang malah tidak sama sekali.Tentu saja, ia tak ada maksud mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Kata-kata pedas itu membuatnya ingin mendengarkan suara kaca pecah lagi. Tapi ia tak dapat melakukannya. Ia tahu melakukan itu hanya akan membuatnya dihujat lebih parah.

Ketika terbangun di subuh yang dingin, ia mendapati suara kaca pecah berkali-kali terdengar. Prang prang benar-benar membuatnya tenang. Sepertinya otaknya sudah merekam suara menggeletar itu dan memutarnya begitu saja tiap hatinya gonjang-ganjing.

Sayangnya bebunyian itu tidak berhenti. Ia terus mendengar prang prang bahkan ketika matahari tepat berada diatas kepala dan prang prang prang lagi ketika maghrib tiba. Prang prang prang prang. Prang prang prang. Prang prang prang prang prang prang prang, prang prang, prang prang prang.

Prang prang yang ia nikmati mendadak menjadi sebuah suara yang membuat keringat nya, prang, mengucur deras.
Prang prang prang prang tetap tidak berhenti meski hari silih berganti. Ia terheran, apakah orang lain juga dapat mendengar prang prang prang atau hanya ia saja?

Sudah hampir dua hari prapraprang terus berlanjut. Ia mencoba keluar rumah, mungkin suara itu ada di dalam rumahnya saja. Dan benar, saat ia keluar rumah, tidak ada satupun pranggggggg terdengar.

Tak ada tetangga yang menunggu di depan rumahnya dan memprotesnya.

Yang ada hanya  jejeran rumah-rumah tetangganya yang hampir semua kacanya  hancur lebur karena di lempari batu, dan saat ia melongok ke dalam, para penghuninya telah telungkup dengan kepala bocor.

Ia lari tunggang langgang kembali ke rumahnya, dan prang.

Prang lalu berubah menjadi gedebuk dan suara yang dahulu menenangkannya kini menghabisinya.

Wanita bertubuh gemuk yang tinggal beberapa langkah dari rumahnya itu benjol kepalanya. Ia membawa sebuah vas porselen yang kini hanya berupa pecahan-pecahan saja setelah digunakan untuk menghantam kepala si pecinta prang.

“Dasar ngelamak, diingatkan malah menjadi-jadi. Setan kamu ya, semua orang kau lempari rumahnya prang prang prang hanya karena protes berisik.”

Ia tak tahu apa yang terjadi. Bunyi yang terakhir di dengarnya hanyalah prang. Cercaan si gemuk tak dapat lagi ia dengarkan. Darah dari kepalanya yang pecah—bocor—menggenang di teras rumahnya. Semua orang pasti senang atas kematiannya. Mereka tak akan mendengar prang prang prang prang lagi. Sedangkan ia, tak tahu apa yang terjadi dan mengapa kepalanya dihantam begitu saja.

Yang ia tahu,
Ia suka mendengarkan suara kaca pecah,
Lalu orang-orang mencibirnya, ia tak dapat lagi melipur penatnya.
Dan karena itu,
Aku jadi suka memecahkan kaca untuknya.

Prang,
Sayang.
Noandy Sep 2016
Katanya langit akan berbintang malam ini, "Pulanglah dalam remangmu dan duduklah termangu. Berdoalah menghadap langit; jika sungguh kau berdoa, barulah ia akan berpijar."

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa jadi doaku yang kurang hening. Bisa jadi aku salah merapal namamu dalam doa.

Katanya,
langit akan berbintang malam ini. Katanya juga, kau akan pulang, kembali ke dalam remangku.

Aku lihat langit.
Aku intip karam malam dalam diriku.

Di langit tak ada bintang. Di gelapku tak ada kau. Di doaku sajalah namamu disebut-sebut sekian kali.

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa saja mereka berbohong, dan aku tak akan pernah tahu.

Seperti dahulu, kau beri aku bintang.
Dahulu bintang cumalah batu.
Noandy Jan 2015
The drooping sun stood across the wooden bow,
showering it with drowsy thoughts for the wooden boy
In the abandoned graveyards where pavements were abolished
Plaid plague nourished the jingling broken eyes

The graveyards of dreams and graveyards of clocks
Will deliver the nails of sorority locks
To cradle the soft heat of the drenched sun
To bring on temptation of demolition’s sons

Let’s say that the pavements of hopes were of pain and vain
The vines were vanity and the roots were dignity
If agony keeps us close to our core,
then drench pins on my head to keep me human
Noandy Jan 2015
They said that the breeze
Told them nothing but miseries
They said that the grass
Inhaled nothing but nurseries
They said, “We seek you for tragedies,
And we want our tears to pick your lyers;
we made you dreams of catastrophic allegories,
and we want our grief to mourn over your prejudice
of undesired futures.”
They claimed that they were conjured of
Passion and mysteries
Of knowledge other than blasphemies
They said, “We chant you for the last morning tea
We desire you for your ever-after evening satires,
Stay, and keep us for the crystal wires
Of your undying lyres.”
They said so as desired and as deprived,
Yet if they are so afraid to lose
Why do they seek in the first place?
Noandy Feb 2015
The crooked tooth was just a tooth
Which sat like a worn-down moth
It dreamed for a free-hug booth
Though it never managed to go on forth

The crooked tooth was just a tooth
Which waited like a crippled witch
And always wished for its tiptoe path
While it knew that was just myth

The crooked tooth was just a tooth
Yet it kept a daydream to breathe
And to have a sparkle bath
Drenched between life and death

The crooked tooth was just a tooth, though
Which cared only about its growth
And shall only be a single tooth
Which then stood still at the end of birth

The crooked tooth was just a tooth
And it stood alone among the row
Of skull preserved by merciful death
Unaware of the dreams it had dreamed

But,
Ah,
Yes,
Never mind that.

For the crooked tooth
Was just a tooth
A worn-down moth
A selfish tooth.
Noandy Sep 2015
Darah
Biasanya keluar rumah
Saat tengah malam
Sambil menangis
Hanya
Untuk bermandikan
Seseguk amis

Setelah itu,
Ia lanjut merajut
Duka
Atas air maut
Yang tak kunjung jatuh
Darinya

Sama,

Suaramu
Terdengar kala malam
Terisak-isak perih
Dan masih berbau darah
Tapi setelah kuratapi
Sekarang makin legam

Lagi-lagi
Suaramu dibebani
Pagi yang merekah-rekah
Dan pada saat selalu saja,
Ia akan tergesa membisu basi
Menunggu sambutan gulita

Keduanya tidak sadar
Bahwa
Mereka saling
Beradu pekat

Suaramu tapi
Masih percuma
Alunannya mengais pedih
Langkahnya meringkuk mati
Seolah tak tahu
Terus tanya
Siapakah tuannya

Mungkin
Ternyata
Memang bukan kamu

Dan di saat
seperti ini
Gelap biasanya
Keluar terbahak
Terbatuk
Tertatih meracau rindu

Kalau ia lumpuh
Dan tak dapat lagi menghentak
Suara liar yang kerap
Bersenandung pedih
Mungkin ini sekedar hantumu
Menyanyi
Main-main dengan duka malamku
Noandy Feb 2015
Drag my eyes and dig my hope
Arrange the corpses and lit the flowers
Ruin our poetry and forsaken divine journeys

Lavish our time in varnished vanity
Incinerate the path you walk upon,

though nothing could come to any light—
Go find the hearts you had murdered.

The wind blew your tongue; colder your tears
Your dancing fingers and palms still talk of sun
And soon saturated your old ash driven hair
Into raindrop roots of forestry rhymes

Some of the rhymes were of your smile
Colored only by a single weary verse
To unravel the waves of your 7th ghost
which was
Just a picture for us to caress—

In the absence of sly soul and slacking slashes.

The pictures shall never fit the wooden frame
Carved by the sharp words you wrote by the heat
And the sympathetic sword you caress before the pages
Of travelling letters never yet to come.

And so I ask,

How long have my eyes been fasting
Drifted away from your grim outline
Questions I ask, is this an omen or mere silence
To welcome the storm I have yet encountered?

Ah,

Rustling wind shall tell no more
You would never have your hair and shadows back
Agonizing the pain we never had
None will have our verses and our wandering

Oh,

And I should learn to forget
Learn to regret
Learn to heed
Learn to bleed.
Noandy May 2015
Wait,

When the weary men in the skeletal park
Play their old downpour,
we shall look for the sun to bid our sins
                 A sincere hello we’d forgotten.

Wash your hand before you wave it,
                                 and now look up.

I remember how the fingers of the tree there
                                Used to drown along
                                In the lake above the park
                                For you alone.

They were catching dreams,
              don't worry.

And you remember how those fingers
                            Used to draw red line
                            In the lake beneath the park
                            Do you not?

They were waiting for dreams,
              don't worry.

But yesterday,
       You cheered for their departure;

And today,
       You weep for their absence.

And finally the next,
       You seek for their replacement;

       drifting all the way
       To the lake beneath the park.

Let me just tell you a thing loud and clear:
       If you ever want to dig alone to the bottom of the lake;
       Just remember,

      that whenever I slumber in this puddle that lacks of blood
      The moon on the lake above followed me always to bed
      And as I lie, looking up for the sun
      It simply slandered my confounded elegy.

That is why in this skeletal park of streams and wires
I keep trying to tip my hat and bid farewell
         Till the sun eventually goes down and sleep next to me
         So that along with my smile, it would lastly grin my sins

But what if my fingers drowned all along in tipping my sins?
                                                 What would the lake have for me,
           and what would the men play above the grinning sun?

                                I wonder if all the sea was all a scene
                               They played during my silent ******.
                                I wonder if all the scene was all a sin
                                The sun conjured between my fingers.

But what if my fingers drowned all along in bidding farewell?
                   Just forget what I said, and don't take it to the heart.
                   They were not looking for light, anyway.
                   They were looking for you.

That is why I want you to speak of hands
                              And count fingers instead of hope;
                              so that you would
                              Come and get mine
                              Along the red lines
                              of sinful ****** scene
                              In the lake beneath this skeletal park.
This poem correlates with my other poem, Wilted Streamlighter.
Noandy Sep 2015
Pride is of consenting age
Desperation stands on a edge
Love looks at an empty mattress
Solitude drinks from a broken glass

Not for long,

This party behind a bleeding door
Will tell us that someone
Is no longer beating
His blackened heart

As the clock turns its counter romance
We will slip away from a single utterance
Of arsenic threads and deranged dreams
Say goodbye now, everyone waits

But,

Departure has not arrived
Yet
And I will wait no longer
Dismantle your lorn, wait here

Don't let us go—

We will
Weep even harder
In this room that decays
To the beat of your heart
Noandy Feb 2016
Bagi anda sekalian
Yang meranggas merana
Di pintu sesal, sesegukan,
Saya menjual mawar merah meradang;
Khusus ditanam untuk menebus dosa-dosa.
Hanya dengan seisak air mata dan kepalsuan
Anda bisa mendapatkan:
1. Sekuntum bunga jelita
2. Semaksiat dusta terulang
3. Seampun tangis di ujung mata
Silahkan memilih salah satu yang
Paling ingin di sia-siakan.
Semoga memuaskan.
Noandy Feb 2015
I say;

The drifting rain dissolves sea salt
Turning tears into dangled monsoon
Under the bleak ballad of dying dawn
Where I long for heat unbroken

You say;

The drifting rain drenches my tiptoe
Witching smiles into deranged equinox
Upon the downpour of ancient daybreak
Where I pray for old snow long sunk

All was as if the days faded
And morphed into younger sunset
It was as if mercy was drained
And no one preach as desired

The downpour stench though remains constant
Of rotting perfume of the rouge graphite
You drowsily drip from dowsing fingers, they lit
Into pages of burning, dancing melodious lads

As will, you may keep those imageries for you
And give up old stories as my slumber lyre
Whether it is about the burnt down marching boy
Or the bloodstained pianist from our ancient joy

For the bleak heart aesthetic
has affected a new kind of love
And the bleak heart aesthetic
would never let you feel so certain

So please keep your drifting rain of strings
During the downpour of the deranged equinox
When the snow goes black and slowly sunk
Into pages of firespit melodious lads
Noandy Nov 2014
I am bored to death
Of this desire to play with
The heart of human child
For it has never given me  
Much amusement.

I am bored to death
And my soul, empty;
My soil vessel broken
When I wished to mend the splits
Lingering, lingering in your heart
Yet you stood up
Without my embrace.

I am bored to death
In this small town owned
By Mother Solitude where
Only angels speak to me,
Where I am hurt by my fault
My fear
My grace I have disdained;

I am bored to death
Of death; for the question repeated
For the blames I have done
For regrets, come at last
Redemption, sinned like ballad

I am bored to death
Of death
Whether it be hell;
Or heaven of days—
One I shall go
by the end of the day.
Noandy Dec 2014
(A Sequel to The Corpses Have Hearts to Speak)

Let me start my tell-tale long,
Or should I say my paintings old
Of question marks scribbled
With some words mingling in my specter—

The unseen are the most visible things;
they exist for what we believe
what we fear,
and reasons we never die to seek;
they drench, torment
and foreshadow time
as we slowly unveil
the skin we dangle in;

Let us see inside our own first—
Using a fatal mirror we loaned
Do you know who you are?
Do you do what you do?
Do you love what you are
and what you love?

What is it, that you love?

Aye, after the long journey
Of fragranced fragments I knitted myself
I will recite what I have known of myself;

I am the irony of the fragile lies
I am the thought of every sordid heart
I am none yet I am whole;
don’t call me demon,
for I am not angel

But back to the realmity
Call it, darling, my story perhaps
Realm of reality—
Within the shades of the eternal fifth day;

In a room full of world
I find a young soul crouching,

Loved yet unloved—
Beautiful yet ruined and ******—
Wrenching my unbeating
Blackdusted heart

So I say to my ethereal self;

I am no more—
Yet how can I feel
That she is full of life
Yet dead beneath?

Make it clear,
I desire life for twice
She is hellbound to death
She would torment life
For the smile of old grey death

Oh,
and I would abandon my last daydream dear
For ungrateful loves long ago;

Is life, so underrated?
Is life, not so precious?
Is life, stop—
Do life, just stay still without a change?
Is life, a constant darling named Constance?

Oh,
such joy it is to live
and laugh?

Oh,
such joy it is,
To see what my ethereal self
Can never grasp
Ever again

Of love,
separated between world
Self—Regret
And constance
A Sequel to The Corpses Have Hearts to Speak
Noandy Mar 2015
My vessels
My veins
My vessels
My fiend

My pen I never strayed
My lungs I do disdained
My legs not rightly placed
My hands, beyond tangled

This is just some words about
The ethereal wandering spine:
Made of hard candled wood
To be laid cold on the lane

The ghost of it, I dare say, wandered around
Spoken of shame and of the nomads
And in silence, it sew the raging sea
Into yarns of distraught constellation
All in this ill world, not above

The spine was of rage and of distress
Wished forever to stop standing still
And forever more, laid to rest
As broken bones, as thousand glasses
To be unnoticed and blend as well

Fifteen years of shame
Haven’t eaten
Fifteen years of shame
Haven’t beaten
But bathe in dirt

To blend means to fade away
And to fade means to accept
Annihilation and memories that may
Dangle from the tip of your bones

Why would you
Or the spine
Take it for granted,
wish it to be true?

Truth be told;
a spine helps you to stand still
Aside from your legs and your partial heart

Imagine;
if it wander aimlessly
Where would you belong,
and where would you stand?

But still the spine wanders around
To reign upright on its own
Then decorate beauty of its own
Oh, and perhaps, again
Blend in as well as to fade away

Away
Away
Away
From you

From:

Fifteen years of shame
Haven’t eaten
Fifteen years of shame
Haven’t beaten
But bathe in dirt—
And could not stay

Look at your spine
Which you can’t see,
why are you so sure
That it is there?

Look at the spines
On your surrounding:
Lampposts
Broomsticks
Electric poles
Candles
Pillars

Look at the spines
That stand on their own
Just a single stick
And nothing more.

Believed to be incapable
Wished to be broken shards
Ended up standing still
For eternity, for darkness beyond

And what are you
Without them?
Just a lump of flesh
A fabricated skin
An empty will
And nothing more

Living in
Fifteen years of shame
Haven’t eaten,
haven’t beaten
But bathe in dirt.

And what are we,
without them?
Just dark vessels
And distraught veins.

My vessels
My veins
My vessels
My fiend.
Noandy Jun 2015
The young postman
Walked the midnight lane
Remembering the scent of lonely Gregory
But who is Gregory? He never knew.
Only the scent from the age-worn letters
in his hands.
Full of moths
And Lavender.
Noandy Oct 2015
Past-midnight

                             Coffee                  

Mortuary delight

                             ****** scene

Hanging men cite
      
                             Poetry

I light

                             Sin

Beside

                             Dignity
Noandy Feb 2015
Through sleepless night my demon plays
A discreet prelude soundless and damp
Only to show the song it never able to sing
For its voice was tombstone as heavy as life

They said, find a demon who walks with yours
And since we can neither walk nor sing a song
We shall exchange letters in various forms
I will write my blood into words and yours into notes

And in the letters you sent to me at night
Are countable melodies that turn into bats
Which morph my nocturnal agony into dreamless ballad
With uncertainty of a sincerity I can never pay back

We are in different worlds but our demons are in the same
It was your countless letters of wordless phrases
Which keep us sane in a dying perfumed universe
Of self-abhorrence and longing never attained

And in my contemplation towards my ancient lover still
I came to reek that immortality and eternity
Are just unrequited sorrow for stories and blatant history
Of unfathomed longing never has been fulfilled

In a sorority painted by degraded hopes
Nothing mattered anymore as long as we walk
Upon the different dreams and on the same pavements
Caged by cracking skin and melted bones

And when we meet again in the letters
Or in outnumbered dreams
I hope it would be a blessed hell
Instead of broken old tales
Noandy Apr 2015
To the wound playing the piano
Before the sunset of mid April
        I hereby declare my gratitude
For all the raindrops that fall
According to the tune of your solitude.

Your medley was raising flowers,
                                catching time,
                               trying to make sound
Of grandfather’s old clock
                                which still tells the tale
Of the lady in green
                                While casting off,
                                painting shadows
For the distance braided by endless waltz

To the freezing lake of the looking glass,
Where I carved the codes and messages,
        I hereby declare my gratitude,
                                     and vows,
for the blue vinyl which sings out
The equinox’s most favored scarlet eyes.

To the afternoon tomb where we wandered
To the vines tangling on your dancing fingers
               For all the tears in a song I do not fathom
               And the abyss where we fell but never land
                                               Here I send you a poem of gracious longing
For Scarceey and the songs she covered for me as a birthday present around two years ago! Sorry I just made a reply now.
Noandy Jun 2015
2 a.m. condolence center
The most helpful place for confounded heart
You may ask for suggestion or place an order
Good evengloom,
How can I help you?

Informations about this stack of hair,
Please, I have sent it to your office
It has lots of broken dreams
And is covered with sharp glasses
It’s amassed by wailing light

Would you like anything else?

When you are done,
Just pack them up for long-haul
Morning departure
In the same flight as the divorced ribbons
On the issue last week

Thank you.

Good evengloom,
2 a.m. condolence center
How can I help you?

I’d like a work of art, please
With streaks of blue blood
In the red paint that was made of dirt
You know, the one dipped into a glass of arsenic
Before the loom gloom september sleep

Just that, nothing else.

Good evengloom,
2 a.m. condolence center
How can I help you?

Show me your face, destroyer
Your half-witted face
Your scavenger scars
Do not hide behind the cords
Putting the mask of a saint

You are a sinner like we are
Grief your godforsaken
Condolence center

Anything else?

Just your half-tilted face,
Destroyer.
And I shall ask no more.

Good evergloom.
2 ante meridiem condolence center
How can I help you?

Shut the stars
And light up middays
We are fed up
Of your condolence center
Thank you

Thank you for your calls
We wish you a very goodnight.
From  your beloved two a.m. condolence center
Good evengloom,
good evergloom.
Noandy Jun 2015
Water does not taste like milk





Leaf does not smell like silk




Trash is not equal to artsh




Writing is not tiring




Crying is of lying




Potato kills tomato




Love hurts laugh




Life does not lift




The answer to when




Is not forever
Noandy Apr 2015
On my gleaming way home
Amidst the fading waves of visions
I got stranded in so many rooms
Of corridors I stepped on purpose
For once I was welcomed by
A handless artist
Who gave me a treat of flowers and desire
Faded by his fire
His windows were pages old
And he lived with a light he incinerated
And after I asked for a way
I was addressed to another door
A windowless room dwelt by
A verseless poet, who walks upon a string
Adorned as a necklace to turn his fate
He told me directions completed
With a tea-time set of apocalyptic nursery rhymes
Where he adored, lived, and longed to cradle
Before I went off he sent me to a philosopher next door
Who came just an age ago
She, as he said, feeds on human thoughts and sophisticated flesh
Crave unfathomable waves of loves she can control
Her ceilings as I saw was soaring up
To unlimited depth of nonexistent heaven
And humorous hell
Her demon was whole yet none
And her providence resides in her
She dwells for a short course in the clock
To find a way home as I am
Then sent me off to
A boy from the burnt-down marching band
Who talked of God, ancient lords, and prayers old
But never thought nor heed the tales
But his melodic fingers were of life and death
The serenade and the sonnets, to the worldly joy of torment and sachars
He was the friend of a wax statue overgrown by candles
Who would burn down a thousand more to lit the hearts
Of the lost and the blind
He contradicted the black-ash boy’s tales
Yet preach some of it to ease his flames
Truth be told or truth be sought
His candles and the dim little flickers
Did much to illuminate my half-consumed soul
And thus he took me to the exit door
And guided me home through the fragile night
But as I stepped further, none would heed my farewell so
In this life of considerable tears
I shall bid no farewell and I shall write my tales
Of truth be told of truth be sought
An old poem, just thought of posting it now.
Noandy Jan 2015
In a lost dream, where we met
without names nor faces to remember
Upon the sky of the bleak November,
He once sang a string of woe;
dedicated to the sisters and brothers lost
In the letters of life and death

In a lost dream,
he once incinerated hope
And in a lost dream,
he burnt all the upside-down
lifelong scripts
Of terrors and fears commanded him,
of humble requests and humble oppression
To demolish the dreamland he has built
upon broken wishes and poisoned passion

“I will be here,”
Refused he
“In a lost dream where I used to dance.”
Noandy Mar 2015
I talked to the fire and the ashes
I brought last night upon the marshes;
they were burning and dusting
Passions and longing—
For they could not be as one
No matter how much they wanted to;

the fire kills,
The ashes bleed
All for themselves
Because they could not do it
On their own.

My fire hated wound and hated pain
Only if it is for the ashes and ashes alone
And also the grasses in the garden of the marshes.

Yes, fire is warming and calming to the core,
but is it for the ashes dropped to blown?

And for me, to make it clear:
The ashes were not ******* you get
After you allegedly burn a precious wood,
or a precious bone, of course.

The ashes were conjured  
Of memories you could not recall—
Every single shards of wood
Every singe string of gloom
Incinerated only to light your way
To light your world.

Who said that ashes worth nothing in this colored world?
Who dare say that ashes could only humiliate?

Because for us
It is the most sincere form
Of memories sacrificed.

And if the stars are too far away
We might as well burn
And be the ashes down the ground—
Because for us
The ashes are the most sincere form
Of stars deep dark below.

Why would you grab a star too far
When i’m not
So far away from you?

Like the night and the shadow within
When the fire burns
Upon the old marshes of memories.

And so, the fire and the ashes that I brought upon
Simply whispered;

Don’t let the dream of the moon upstairs
Blind you to your heart
For the flickering stars above,
when you can simply burn rocks
Burn anything
to create your own stars.
Noandy Sep 2015
On the dagger above her
Are only dead verses    
From a rabbit in a dress  

Praying down the hole:    

Alice,                                              
Will you forget
Me willingly?
                                                      ­  
Or else
You'll be consumed
By my peril.
                      
Alice
Can't even remember you
Once
Her head went off
Noandy Oct 2015
The pre-insomniacs
know nothing of the stars
And none of their amorous prayers
Or any way
The highest noon confessed
At the pulpit of the raging sea
When nothing came half romantic
But the oceanic lone wolves
Dying on cold tears
And prone to scenic anarchism
To answer the dying songs never to last
Sunlighted
Seahunted,
With their bare legs
Penning down your name
Upon asked
What would they grant
For the tombstone in the noon
And the star post-romantic
They muttered:
“None but your moon—”
In exchange, for those wolves
Are only
Your lone loves
Noandy Nov 2014
Welcome to Catharosia

Come and succumb to our pitiful wail
An allegory written with paints of girded soul;
There, we drench ourselves in colorful shivers
Here, we cleanse our soul for the joy of the universe;

Another day to create
Roses of the night that result in heavy dreams,
Sorority flies, and dead passions of desperate poets;

In the world where we purge ourselves,
Sanity is not our company—

To the torn pages faded by the light
To the worn out tales dimmed by the dark
Here is our salutations and solitude;

Our words untangled and jumbled tears
Will serve you deeds of crumbling back to a piece;

She oozes blood and agony
He ruptures terrors and improbability
They ***** contemplation and daydreams sewn
We engrave beautiful macabre and adored pain—

Where clowns shall dwell and kings lay to death
Where sins tremble and tragedies rejoice
Jolly remains of the day are what we produce
Masked by anxious sorrows and fear so erudite
Noandy Mar 2015
Would you like to talk about
The winding water
And its sprouting light?

Yes,

The one you can see at night
From the soup parlor by the river
That serves memories, carved inside
A polished mirrored platter
Which made the boys all bright
And washed them saner
Along its tide of deluded truth

Come,
Would you like to talk about
The winding water?

The home for a thousand soul
All wrapped up, though foul
In a confounded streaming wire
And there, strayed the traveler
For a good four-hundred-year old
With his face down, and stories untold

Would you like to talk about
The sprouting light?
From the lanterns hung
To adorn the tide long
From the flowers of the head
Wilted and and still drowned
By the name of the lil moon’s
All dead hopes

Talking about the winding water
And its sprouting light
The old traveller
And the years has passed,
our little moon killed itself
Just to know that light
Eventually looked beautiful
Shrouded in darkness

Say now,
All my darling—

Why would you talk about
The winding water
And its sprouting light?
Why romanticize a world
Dull and weary?

Because beauty is made up,
and we live for beauty?
Or because we live in beauty,
and life is made up?

— The End —