Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Palubog na ang araw, mangungusap na naman ang gabi
Hahanapin ang unan at ang ngiti'y isasantabi
Ang bulaklak ay malalanta, ang saya'y magiging pighati
Paano mararating ang panibago kung palaging nakatali sa "dati"

Dati na ang buhay ay walang kabuluhan
Napakaraming nagawang kasalanan na hindi namalayan at nalalaman
Kasalanan na dulot ay kasamaan, kayabangan, kasinungalingan at pagsuway sa magulang na hindi magawang pagsisihan

Palaging kinukutya at sinasabing walang panibago, kung ano ka, sino ka, magsisiwala't ng buo **** pagkatao
Itinanim na ng mundo ang kasinungalingang ito, na hindi ma mababago pa ang "ikaw" na iyong binuo

Sinundan ka ng anino ng nakaraan
Pilit pinapa-alala ang sugat na dati pang iniiyakan
Tila patuloy pa ring nakagapos sa kadiliman
Paulit-ulit na lang na sugatan at luhaan

Hanggang sa nakakulong na sa rehas ng pag-iisa
Iniwan, sinaktan, hinahanap ang tunay na pag-ibig at pag-asa
'Saan ko matatagpuan? Kailan magtatapos ang sigwa?
Madilim...pero magwawakas na

Dahil nang nakilala kita ng lubusan, ang aking dati mga kasalanan ay buong puso kong pinagsisihan
Ang puso at kalooban ay gumaan kung saan ang dating ako na makasalanan ay hindi na babalik kailanman
Ang dating buhay na puno ng kasalanan ay napalitan ng kalinisan, kapayapaan at kaligtasan

Nagpapasalamat ako sa pag gabay mo na kung minsan sa bawat problema na aking naranasan hinding-hindi mo ako iniwan
Nagpapasalamat ako sa pag gabay mo na kung minsan sa aking buhay ay nawalan ng gana, ganang mabuhay pa ngunit nandiyan ka na nagsabi sa'kin na "Bumangon ka sa iyong pagkadapa."

Ikaw ang nagbigay sa'kin ng napakalaking PAG-ASA
Pag-asa na mas malaki pa kesa sa mga naranasan kong pagsubok at problema
Ikaw ang gabay sa oras ng problema na kasing laki ng barko, ngunit nandiyan ang solusyon mo sagot sa problema na kasing laki ng karagatan na natatanggap ko

Ginabayan mo ako at binago ang taong katulad ko na dati hindi nakikinig sa mga salita mo at ayaw basahin ang mga sulat mo
Ngunit noong binago mo ako, ako ay patuloy na nagpagamit sa'yo
Binuksan mo ang aking isip at puso at isinabuhay ang mga kabutihan na ibinibigay mo sa isang katulad ko
Patuloy na maging instrumento, sa pagbabahagi ng mga salita mo

Kaya kapatid kung ramdam mo na buhat mo ang mundo at dala-dala ang bigat na meron dito
Pangako, kaya niyang buhatin yan para sa'yo

Magtiwala ka sa kanya
Siya ang mag silbing lakas at pag-asa
Siya ang magiging dahilan sa iyong muling pagbangon pag-ahon sa nadamo **** pagkadapa
At tila akala mo imposible ka nang mabuo pa

'Wag kang matakot dahil heto Siya
Handa siyang pulutin ang bawat piraso ng puso **** basag at handang buohin ang puso **** wasak mula sa pagkabagsak

Kung nararamdaman mo na nasasaktan ka sa dinadanas mo dito sa mundo
'Wag kang mangamba dahil yang puso **** puno ng sakit, pasakit at hinanakit ay handa niyang hilumin at akuin para sa'yo

Dahil mas masakit pa ang naramdaman niya kesa sa dinanas mo
Mas masakit pa nang suotin niya ang koronang tinik na walang halong pag-sisisi,
Na buhatin ang krus ng kalbaryo sa ilalim ng tindi ng init at pagpako sa krus, para sa'yo lahat ginawa niya maging pag-ako ng kasalanan na ginagawa mo

Lahat ginawa niya tiniis lahat ng sakit ng walang hinihinging kapalit
Kaya kapatid, lahat ng problema at pagsubok na mayroon dito sa mundo asahan mo di siya mawawala sa tabi mo

Kaya kung hindi ka man tinanggap ng mundo dahil sa iyong nakaraan,
May AMA ka na naghihintay sa'yo at hindi ka babalewalain lang

Kaya AMA sa pag gabay mo sa isang katulad ko
Natagpuan ko ang pagmamahal na walang dulo
Maraming salamat Sa'yo.
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Jey Oct 2015
Isang araw, muntik na naman akong nagpakatanga. Isang araw, naisip na naman kita. Isang araw **** ginulo ang isip ko. Isang araw, binalik-balikan ko ang masasakit na alaala mo dahil isang araw, biglang iniwan mo ako.

Iniwan mo ako… at mula noon ilang araw akong wala sa sarili. Ilang araw iniisip ang mga dahilan kung bakit ka umalis. At kung bakit hindi ako ang iyong pinili. Ilang araw na akong nagbakasakali na maiisip **** ako na lang. Ilang araw na patuloy na umaasa sa pangakong babalik ka… “Babalik ako, bigyan mo ako ng isang linggo.” Ilang araw pa at naghintay ako, naghintay ako kahit alam ko na kung sino ang pinili mo.

Isang tanong na patuloy na gumugulo sa aking isipan. Isang tanong na hindi masagot nino man. Isang tanong na hindi ko makalimutan. Isang tanong na wala naman talagang kasagutan. Isang tanong, “Mahal, bakit mo ako iniwan?”

Hindi nga lang iniwan kundi iyo naring kinalimutan. Kinalimutan agad na parang walang pinagsamahan. Puta isang buwan, ganyan, isang buwan nga lang naman. Marahil naging mabilis nga ang mga pangyayari pero ipapaalala ko lang sa’yo ikaw – ikaw ang naunang nagbukas ng pinto. Ikaw ang naunang nagsabi ng “Mahal, bakit di natin subukan?” At sumubok ako. Lumaban tayo.  Ngunit pagkatapos ng lahat ay ano? Wala, wala nga palang tayo.

Alam mo, ito na marahil ang pinaka-tangang nagawa ko sa buhay ko. Sa sobrang ganda at saya kasi parang pwede nang isulat bilang isang nobela, baka nga bumenta pa sa Wattpad eh at ititulo ko “Tinidor” o kaya “Alexa”? Haha.

Pero sa sobrang sakit din parang pang-soap opera. Kaya bakit ganun? Bakit parang ako lang ang nasaktan? Bakit parang ako lang ang nasasaktan? Bakit parang ako lang ang nahihirapan? Bakit parang ako lang nagmahal? Bakit ako lang? Bakit? Ah alam ko na… kasi hindi ako ikaw.

Hindi ako ikaw, ikaw na naging pipi sa pagsigaw na ako ang mahal mo. Ikaw na naging bulag sa pagtingin sa kung sino ang nandito. Ikaw na naging bingi sa mga salita niyang “hindi kita gusto!” Ikaw na pilit umiwas sa maliliit na eskinitang daan papunta sa puso ko. Ikaw na naging duwag sa pagtangkang sumabay sa daloy ng ilog na magdadala sa atin sa bukas.

Hindi ako ikaw. Ikaw na nagdulot lamang ng bagyo sa aking mga mata. Ikaw na nagdala ng lindol at bumulabog sa mundo ko. Nagdala ka lang ng buhawi ng hangin na paikot-ikot lang at kahit sinisira mo ang lahat, nahihigop mo pa rin ako.

Ikaw. Ikaw pa rin ang bumitaw. Ikaw pa rin ang bibitaw. Sa kabila ng lahat ng kasawiang dinala mo sakin. Oo. Ako na yung tangang nagmahal pa rin sa’yo.

Ako na ang mabibingi at sa kalaunan ay magiging pipi, sa pagsigaw na mahal kita. Ako ang magiging bulag sa pagtingin sa iba dahil sa’yo lang mahal, sa’yo lang ako susubaybay. Oo, ako. Ako naman ang magiging bingi sa mga salitang minsan mo na  din sinabi sa akin, “hindi ikaw ang gusto ko!” At ngayon alam kong, hinding-hindi yun magiging ako. Ako ang sisiksik sa maliliit na eskinitang daan sa puso mo. Ako na ang lalangoy at sasabay sa daloy ng ilog maging sa hampas ng alon kahit wala ka na sa bukas na kahahantungan ko. Oo, ako.

Ako na ang nagpakamartir na harapin ang matitindi **** hangin. Ako na ang trainer wheels sa iyong bike. Ako na ang band-aid sa bawat sugat na iniwan ni Alexa, mga halik sa sugat na magpapatigil sa dugo. Ako na ang unan **** sa gabi mo lang nakikita, sinasandalan tuwing pagod, may problema, mahihigpit na yakap tuwing luha’y di tumitigil.  Ako na yung huling stick sa pakete mo ng sigarilyo, inosente’t di ka sasaktan, pero iba pa rin ang pinili mo.

Masyado nang mahaba ito, kaya tutuldukan ko na. Kasabay ng pagtutuldok sa masasaya at mapapait **** ala-ala. Kasi ngayon ako naman ang napagod na maghintay. Ngayon puso ko na naman ang unti-unting namamatay.  Pero hindi ko ito hahayaan kasi mali eh, sabi nga ni Trixie, “nasaktan mo lang ako, pero hindi mo ako napatay.”

Hindi ako ikaw, ikaw na tanga kasi pinakawalan mo ako. Mayabang man kung maririnig nila pero oo gago, ang laki **** tanga dahil iniwan mo ako. ‘Wag kang hangal kung sasabihin **** hindi siya ang pinili mo kundi ang sarili mo dahil alam natin pareho at sa kanya ka pa din babalik. Ito lang ang masasabi ko sa’yo. Minsan subukan **** maging ako.” Para alam mo kung gaano kasakit. ‘Wag kang mabuhay sa parang. Sa parang sa’yo, pero hindi. Parang kayo, pero hindi. Parang mahal ka, tanga hindi.
Uni(berso)
1:05 AM
August 5, 2015

celestialdeity.wordpress.com
ZT Oct 2015
Masyado kitang minahal
AT masyado mo rin akong minahal
Dahil sa masyado nato, Masyado tayong nasaktan

Kailan nga ba nagsimulang maging lason … ang masyado nating pagmamahalan?
Sa nakaukit sa aking memora’y nahulog ako sa napaka tamis **** ngiti,
Ang mga mapang-akit **** titig at ang napaka lamig na boses na binubulong ng yong labi

Nang ako’y iyong ligawan masyadong mabilis mo akong napasagot ng oo
Kasi napaka laki naman ng amats ko sayo
Kaya nagkaroon agad ng isang “tayo”

Tayo ay nagtagal…. Masyadong nagtagal
Na tila masyado nang napuno ng “tayo”
Nakalimutan na natin ang para sakin at sayo

Masyado nang naging masikip

Bumuo tayo ng napakaraming mga pangarap
Para sa ating hinaharap
Kaya masyado nitong kinain ang ating panahon
Ang dugo at pawis nati’y nilamon

Masyado tayong naging kampante
Na palaging nariyan ang isa’t isa kahit sa oras para sa kanya’y nagkulang ka na
Masyado nang naubos ang ating lakas
Upang mabuklod ang ating bukas
At di na natin namalayan na ang ngayon pala’y naging masyado nang marupok
At ang ating tayo’y.... unti-unti nang nalulugmok

Hanggang sa naging madalas na ang paglabas ng mga salitang nakakasakit na
Ang paglakas ng mga boses na nakakabingi na
Masyado nang naging madalas ang pag-aaway sa kokonting pagkakataon na tayo’y nagkikita

Masyado nang dumalas ang pagtatanong kung bakit pa?
Kung ipagpapatuloy ko pa ba...
Dahil masakit na

Masyado nang dumami
Ang rason ng aking pagsisisi
Hanggan nasabi ko sa aking sarili
Na tama na
Ayaw ko na
Kasi napakasakit na

Masyado kitang minahal
AT masyado mo rin akong minahal
Dahil sa masyado nato, Masyado tayong nasaktan
AT ang sakit nato’y gusto ko nang makalimutan


Kaya hanggang dito nalang ang pag-ibig na binuo ng Napaka at Masyado.
Minsan kung anong pinakamamahal mo siyang mas nakakasakit sayo
So Dreamy Aug 2019
Setetes, dua tetes, tiga tetes, empat tetes
Air hujan akhirnya kembali pulang ke kampung halamannya
Ke tanah kering,
Berisi hamparan debu dan keluhan para penghuni kota yang melebur jadi satu
Melagu, menyelimuti atmosfer kota yang dihinggapi kebosanan dan ketergesaan
Kemajemukan dan kesamaan-kesamaan
Kebebasan dan keterbatasan
Kesempatan dan hambatan-hambatan

Jalan panjang menuju rumah
Dihuni sepi, tetesan hujan di jendela bus, dan pikiran-pikiran tak lumrah
Trotoar basah dan langit gelap
Berhenti di satu halte,
Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak datang menghampiri

Tanyanya,
“Hai, di sini kosong?”

Perempuan itu diam, mengangguk.
“Kosong.”

Laki-laki itu duduk di sebelahnya, memangku tas ransel hitam, dan bertanya lagi,
“Tahu kenapa langit tiba-tiba menangis?”

Perempuan itu menggeleng.
“Kenapa?”

Laki-laki itu bicara lagi, mendekatkan kepalanya,
“Karena langit sedang mencari rumahnya yang lama hilang.”

Tepat saat itu,
Si perempuan tersadar,
Terlalu lama ia tenggelam,
Dalam percakapan yang hanya hidup di ruang imajinasinya.
Eugene Jan 2018
Kay tuling lumipas ang isang taon at ngayon ay panibagong buwan na naman ng Enero.

Isang hamon para sa akin ang baguhin ang nakasanayan ko tatlong dekada na ang nakalilipas -- ang maging masaya para sa sarili ko.

At sisimulan ko ito sa paggawa ng saranggola. Kasama ko sa paggawa at pagpapalipad nito ay ang aking nakababatang kapatid na ngayon ay labingtatlong taong gulang na.

"Ang galing mo namang gumawa. Ang laki na nang ipinagbago mo a! Dati ang tamad mo, ngayon masipag ka na sa paggawa ng saranggola," napahagikgik pa ako nang tuksuhin ko siya.

"Kuya, ang pagbabago ay hindi lamang sa isang laruan o bagay nagsisimula. Dapat sa sarili rin. Kaya kung may mga bagay kang baguhin sa sarili mo, simulan mo sa libangan gaya nitong paggawa ng saranggola. Kung saan nais ng puso **** maging maligaya ay doon ka," malalim ang kaniyang tinuran pero natuwa ako dahil may katuturan ang kaniyang mga salita.

Nang matapos naming gawin ito ay umakyat na kami sa pinakamataas na parte ng aming bukid dahil doon ay malakas ang hangin.

"Isa. Dalawa. Tatlo. Takbo na kuya! Takbo!" ngiting-nigiti ako habang tumatakbo paakyat ng bukid upang paliparin ang saranggolang hugis bituing gawa naming. Nang nakakalipad na ito ay hindi pa rin mawala sa aking mga labi ang ngiti.

Nasabi ko na lamang sa aking sarili ang mga katagang, "Simula pa lamang ito ng pagbabago sa aking sarili. Sisikapin ko at paninindigan ko ang panata ko na maging masaya hanggang sa huling hininga ng aking buhay. Gaya ng saranggolang matayog ang lipad ay magagawa ko ring lumipad paitaas maabot lamang ang tunay na pinapangarap ko at tunay na maging maligaya habambuhay."
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
gusto pud nako mafeel ang nafeel sa ubang baye.
kana bang panguyaban ka,
tapos isayaw ka sa laki sa tunga sa mga tawo,
haranahon sa balay, tagaan og bulak, magholding hands sa plaza, kantahan, ignan og pick-up lines, og uban pa.
kanang bang pakiligon ka niya.
gusto nako mafeel kung unsay feeling na naay nagmahal nimo.
pero unsaon man nako?
na ako usa ra man ka pobreng bayot
og maot pagyud
dili man ko usa ka baye
usahay makapangutana ko nganong wala pa man ko himoang baye sa ginoo?
muingon sila na ang yawa daw gahimo sa akoa
pero wala man nako gigusto na maning-ani ko.
manghinaot unta ko na naay mahigugma kanako pero kabalo ko nga wala
*hinaot unta na naa kay ako usa ra ka tawo nga nanginahanglan pud og gugma
111415-2159
Aridea P Oct 2011
Bila memang AKU BUKAN PILIHAN HATI MU
Biar ku pendam CINTA DALAM HATI ku
Sungguh, yang akan ku berikan UNTUKMU SELAMANYA
Pergilah kau SEJAUH MUNGKIN membawa LAGUKU
Ke TEMPAT TERINDAH di SURGAMU


RASA SAYANG ini hanya untukmu
Dan ku akan menunggu DI SINI UNTUKMU
Berharap kau bawa LAGU CINTA yang TERCIPTA UNTUKKU


WAKTU YANG DINANTI akankah datang?
DEMI WAKTU ku kan berubah
Tak akan SEPERTI YANG DULU
Yang hanya berkhayal melihat wajahmu
Di BAYANG SEMU


Sungguh indah kau bagiku
TIADA YANG SEPERTI DIRIMU


Yang ku kagumi sepanjang waktu
Ku rindu SAAT INDAH BERSAMAMU
Walau di mimpiku aku mencintaimu
Namun, APALAH ARTI CINTA tanpa hadirmu


Kumohon IZINKAN AKU
Member CIUMAN PERTAMA KU untukmu
Karna saat indah itu mungkin TAKKAN TERULANG
BERJANJILAH kau tuk selalu menghiasi ku
Karena tak satupun SAHABATKU yang indah seperti mu


Ku ingin terbang MELAYANG
UNTUK TEMUKAN dirimu yang SESUNGGUHNYA
Ku sadari memang BUKAN AKU untukmu
Tapi, aku hanya ingin kau BERIKAN AKU CINTA
Meski sedikit, walau terpaksa


Tak lelah SUARA HATI ku memanggilmu
Yang ingin menjalani CERITA BERSAMAMU
DOA ku panjatkan selalu
Memohon tuk bertemu kamu


Meskipun kamu punya CINTA YANG LAIN
Ku rela melepasmu untuknya
Kau TAK PERLU mengaku bahwa kau cinta aku
Memang, tak pernah kau cinta aku
Yang ku kenang kini adalah
Ku bahagia mengenal LAKI-LAKI seperti kamu
Yule Mar 2017
noong una kitang nasilayan
inaamin kong hindi ikaw ang nais kong kamtan
ngunit habang tumatagal,
puso ko’t loob, sayo’y natuluyan

hindi ko rin alam kung bakit
dahil ba sa boses **** nakakahumaling?
o sa mga matatamis **** mga ngiti?
mistulang nawawala ang iyong mga mata
sa tuwing ito’y iyong gawin
di ko alam, pero simpleng titig mo lamang
ka’y laki na ng epekto nito sa akin
hanggang sa palagi na kitang hinahanap-hanap
aba’t ginayuma mo nga ba ako?

ngunit, kung ano't saya ang nadarama
ganoon din ang kapalit nito kapag nandyan ka
sa mga panahon na wala ka sa tabi
pasakit at dalilubho ang naranas
bakit ba hindi ko kayang sayo ay mawalay?
ngunit kailangan kong magtimpi at alamin
kung hanggang saan lang dapat ang hangarin

ngunit aking nagunita,
ikaw talaga ang natatangi sa puso, at tuwina
ngunit kung gusto ko ring makaalpas sa sakit
kailangan ika’y kalimutan
sa gayon ay baka matagpuan ang kalinaw

pero ang alaala ng kahapon ay sadyang bumalik
kahit saan man magpunta, ika’y naka-aligid
kung alam mo lang ang aking tinahak
pagod, at hirap – naranas upang sayo’y makalapit

ngunit ano ba pa ang magagawa?
sa una pa lang, nagmahal ng isang tala
at kung bigyan man ng pagkakataon
mas pipiliing sarili ay ibaon
lahat ng nararamdaman
na hindi mo rin kayang ipaglaban

dahil hindi mo rin naman ako mahal,
mas mahal mo ang iyong pangarap
at hindi ako yun, ito'y tanggap

sakim man sa kanilang paningin
ikaw lang naman ang gusto ko
ngunit, bakit? bakit…
ipinagkait pa sa akin ng mundo?
pero ito ang nagpapatunay
na kahit gaano pa ako kailangan na maghintay
para sayo'y hindi ako nararapat
dahil tunay nga ba ang aking intensyon?
o ginagawa lamang kitang desisyon?
tingnan mo nga, miski ako may pagdududa

kahit man ito’y pag-ibig natin ay isusugal
kahit gaano ko pa ipagsamo sa Maykapal
wala rin naman itong mahahantungan
hindi rin naman ako ang iyong kailangan

kaya't ito'y hahayaang dalhin ng langit,
kung saan mang lupalop ito'y dalhin
pinaubaya sa Maykapal,
antayin na lang maglaho
ito ang aking huling habilin,
bago kitang tuluyang iwan

pero ito'y mananatiling nakaukit
sa puso't isipan,
dahil kaya nga ba kitang kalimutan?

ito’y magsisilbing alaala
ng minsan nating pagsasama,
kahit sa panaginip lamang

ang ipagtagpo ang isang ikaw at ako,
ang mabuo ang salitang 'tayo' –
napaka-imposible…
napaka-imposible.

eng trans:
when I first saw you
I admit you're not the one I yearn for
but as time passes by
my heart, and mind – fell for you

I don't really know why
is it because of your alluring voice?
or because of your sweet smiles?
it's as if your eyes disappear
whenever you do this
I don't know but in your simple stares
it has a big impact on me
until I'm always looking for you
oh my, did you put a spell on me?

but in what happiness I felt
that's what I also feel whenever you're there
in times that you're not beside me
pain and dreading was experienced
why can't I stand being apart from you?
but I have to resist and know
to where I should stand in line

yet I've realized
you're the one that's always in my heart
but if I want to get rid of this pain
I have to forget you
by then I might find peace

but the memories of yesterday kept coming back
everywhere I go, you're there
if only you knew what I've been through
exhaustion, and rigor – I have to face to get close to you

but what can I do?
from the start, I've loved a star
and if given a chance
I'd rather choose to bury myself,
all these feelings
that you're not even willing to fight for

because you don't even love me,
you love your dream more
and it's not me, I've accepted it

it may be selfish in their eyes
you're the only one I want
yet, why? why...
did the world denied + you from me?
but this just proves
that no matter how long I have to wait
I'm not the one for you
because is my intention real?
or am I just making you a decision?
see? even I have doubts

even if I gamble this love of ours
even if I plea from the Creator
this will just go nowhere ++
I am not the one you need

that's why I'll just let the sky take this
wherever in the heavens this will be held
let the Creator take charge
I'll just wait for it to fade
this is my last will
before I will leave you

but this will remain etched
in my mind, and heart
because can I truly forget you?

this will serve as a memory,
of our once encounter
even if it's just in a dream

for you and me to meet,
to form the word 'us' –
it's so impossible,
**it's impossible
+ finding a translation I wanted for this was hard
++ even this //brainfart

suntok sa buwan (from ph; fil.)
lit.trans: hitting the moon; punching the moon
actual meaning: impossible

this was my entry for our "spoken poetry",
though none can relate...

pasensya na, mahal...
unti-unti, ako'y bibitaw na. | 170303

{nj.b}
aku memang beda
tidak seperti laki-laki yang sebelumnya kau temui
aku...
tidak pernah yang namanya setengah

hidupku
tidak pernah yang namanya setengah
aku puas telah mencoba segala hal dengan tidak setengah setengah
aku di ajari untuk menyelam
bukan mengapung

disaat ini
aku membebaskan mu dengan sebebas bebasnya manusia
aku membebaskan mu untuk memilih
disaat aku sakit hati kau tau?
itu sakit yang bukan setengah-setengah
aku pernah di posisi yang serupa seperti ini
mungkin sekarang aku bisa lebih menerima hal tersebut,
pendewasaan mungkin?
setidaknya kau tau, bagai mana perasaan laki-laki yang tidak setengah-setengah ini pecah bagai beling, dan ku injak beling tersebut sampai aku merasakan hal seperti ini lagi, bagai bunga lily aku kembali mekar....
disaat kau kembali...
setidaknya kamu tahu, aku memaafkanmu tidak setengah dan tidak akan membiarkan mu sakit kembali, akibat berkelana terlalu jauh...

kamu rapuh...
tuhan masih baik menunjukan sesuatu itu padaku
bukan kepadamu...
mungkin kalo tuhan melihatkan padamu...
hal yang kurasakan, akan kau rasakan juga...
aku belajar untuk tidak ikut campur lagi soal hubungan barumu
mungkin nanti...
kamu akan sadar
dan tergampar akan realita yang besar
memar... bagai terkena tinju
biru... bagai lebam terpukul amarah batin
aku disini, berlatih menjadi laki-laki
untuk bisa menerima kekuranganmu, mungkin nanti tatapan ku masih seperti pertama kita bertemu, harapan yang dulu kita bual-bualkan akan ku realisasikan, hati-hati dijalan, aku menunggu di rumah...
menunggumu pulang dengan sejuta cerita yang telah kau lewati...
So Dreamy Dec 2017
kau putar lagi satu lagu bernada manis dan mudah didengar itu, sederhana. berbeda dengan musik-musik yang biasa kusimpan di playlist-ku, yang nadanya keras dan isinya tak mudah dicerna. kumpulan seni berisi teka-teki. sejenis indie, mereka bilang. aku dan kamu tak lain hanyalah dua kutub magnet yang berbeda; kamu yang begitu lembut dan aku yang mereka beri label seorang laki-laki berwajah datar, tak berperasaan. salah. kukatakan sekali lagi, salah. aku dan kamu tak lain hanyalah dua kutub magnet yang berbeda, yang juga saling tarik-menarik tak pernah mau lepas pada waktu yang sama. dengan segala perbedaan yang mereka pikir terlalu sulit untuk dipersatukan, logika dan imajinasi, bagai minyak dan air, aku dan kamu memilih untuk saling membenahi satu sama lain. isi pikiranmu adalah buku berjalan bagiku dan ruang kosong dalam sudut otakku yang biasa kau sebut sebagai ‘ruang khayal’-ku, kau jadikan ia sebagai salah satu guru dalam hidupmu. dari sana kau pelajari bagaimana caranya mengenali berbagai nada musik dan segala makna dari balik kiasannya yang beresonansi, kisah-kisah yang hanya dapat hidup dalam dimensi imajinasi, serta inspirasi-inspirasi yang dapat kau cari dari peristiwa sehari-hari. aku dan kamu tak pernah sama, kamu satu perempuan berambut lembut dengan suara yang lembut, isi pikiran yang berjalan mulus. orang-orang bilang kamu perempuan berpendidikkan, jenis perempuan berwawasan luas, berjiwa luas. sementara aku laki-laki penggila musik yang menganggap seni adalah satu hal yang perlu ditekuni seuntuhnya. menjadi musisi adalah satu impian besar yang membuatku tak pernah berhenti berlari untuk mencapainya dan kamu pendukungnya, nomor satu. kamu ingin jadi jurnalis dan aku ingin jadi pemusik. aku dan kamu berasal dari ranah yang jauh berbeda, namun disatukan karena cinta.
Favian Wiratno Mar 2019
Dibalik sejuta bunga yang tertanam disini,
ada dirimu; sebuah keindahan yang tidak pernah meminta perhatian.
tersenyum tanpa terpaksa
menangis tanpa air mata
tertawa tanpa aba-aba
jika boleh tau, mengapa kita harus berpisah?
apa karena kau terlalu menyukai kota sejuta bunga?
atau karena aku bukanlah laki-laki yang baik untuk hubungan kita?
apapun alasanya, kuharap kau bahagia.
karena sesungguhnya, keindahan sepertimu tidak akan pernah meminta perhatian.
terhalang keindahan kota sejuta bunga.
tertanam dibawah, tersembunyi tanpa jejak amarah.
kalau begitu, laki-laki ini ingin pamit; membawa segala pilu yang membiru tanpa perlu pusing memikirkan hatinya.
Hello, its been a while! this poem really describe how i felt about my ex so yea, enjoy! And i'll try post more often so please do enjoy the poem!
Crissel Famorcan Apr 2017
May isang bagay na nais kong sabihin
May mga salita akong nais na bawiin,
Di ko alam kung dapat ko pa bang banggitin
Pero kahit saglit, ako sana'y iyong dinggin
Naaalala mo pa ba nitong araw na nagdaan?
Isang tula mula sa akin ang iyong napakinggan
Huling Mensahe kuno kaya ako nagpaalam
Ipinangako na pipilitin kong maparam
Na pipilitin kong mawala
Itong damdamin na di ko alam kung paano ba nagsimula
At mas lalong di ko alam kung paano mawawala!
Ano ano pa ba ang mga dapat na gawin?
Bakit ba kay hirap nitong tanggalin?
Inunfriend ka sa fb, dinelete message mo
Di ka pinapansin,umiiwas na ko ng todo
Lahat na yata ng paraan ginawa ko
Pero di ka pa rin talaga natiis ng puso ko
Kanina lang kausap ulit kita
Napapangiti tuloy ako ng para bang tanga
Nagsasalita na ako dito mag isa
Mga tao sa paligid ko para bang nagtataka
Mga kasama ko bigla na lang napapanganga
Eh ano bang **** nila?
Minsan na nga lang maging masaya,
Papakialaman pa ba?
Minsan na nga lang magkaroon ng sigla
Itong mundo kong puno ng lungkot, ng takot,ng pangamba, ng kawalang pag asa,
Kaya salamat talaga at nariyan ka
Picture mo pa lang ang laki na ng epekto,
Para akong sira ang ulo, malaki ang depekto
Sa isip na walang ibang laman kundi ikaw
At puso na walang ibang sinisigaw
Kundi ang pangalan ng nag iisang ikaw
At magdaan man ang maraming taon
O lumipas ang mahabang panahon,
Ikaw lang at walang iba
Sasabihin ko lang naman talaga
Gusto kita.
M e l l o Aug 2019
"Nagbago ka na"
salitang pagbinitiwan
ng mga taong mahalaga sayo
sobrang laki ng epekto
kadalasan huhulaan ko pa
kung masama ba ang pagbabagong
nakikita nila sa pagkatao ko
o maganda ba naman ang dulot nito
hindi masabi ng harapan
kaya idinadaan na lang
sa maliliit na komento
ibubulong kuno para kahit paano
hindi marinig at iwas argumento
pahapyaw lang pero
tagos hanggang buto
ang tanong, mali bang magbago?
mga pagbabagong
sinanay ng panahon
pagsubok sa pananampalataya
at temptasyon
sa huli ay natuto din ng mga leksyon
pero kahit ano pa sabihin niyo
kung kilala niyo talaga ako
ako pa din naman 'to
may ilang nagbago
pero lahat naman tayo
dumaan sa ganito
hinahanap yung totoong silbi
ng buhay na 'to?


Oo nagbago na ako.
Nahanap ko na kasi ang sagot
sa huling tanong ko.
Poem of the day. Aug. 19
Mahigit pitumpu't limang porsyento
Niyurak ng matinding alon
Walang awa ang haplos
Ang yapos na nakagigimbal
Kinitil hindi lamang ang buhay
Gayundin ang hanapbuhay.

Ni hindi masisid ang perlas
Na ngayong may takip sa ibabaw
Nabibilang ang lumalangoy
Kaawa-awang gambalain
At hablutin sa laot nang walang muang
Ngunit anong siyang magiging sapit?
Kung sila'y hahayaang hindi nakagapos?
At doon sa lambat ay patitiwarakin.

Tinaguriang "No Build Zone"
Ngunit naroon nakatirik ang bawat pundasyon
Walang opsyon, pagkat ang gobyerno
Kaytagal din nang pag-aksyon.

Mula sa libu-libong tirahan sa Tent City
Sila'y lilisan patungong Bunk House
Transitional Shelter kuno
Hanggang sa malipat
At magkaroon ng panibagong tirahan.

Doon sa Tacloban,
May dalawang daan at apatnapu't anim na tirahan
Bagkus ang nakalilim, apat na libong pamilya naman.

Salamat sa mga NGOs
Sa 9181 na Bunk House
Sa gobyernong dapat na kikilos
Kailan ba sisimulan ang pagbabago?

Walong libong pabahay raw ang ginagawa
167 bilyon ang budget,
Saan nga ba napunta?
Ito ba'y binulsa?

Comprehensive Rehabilitation Plan kung tinagurian
Kay bango ng ngalan
Bagkus umaalingasaw ang baho
Ang kasiraan, ang kawalan ng aksyon
Para sa bawat mamamayan.

Sa dakong Guian, Eastern Samar
Tatlong daang permanenteng pabahay raw
Ngunit ni isang pundasyon ng naturang pabahay
Tila naglaho pa rin ni Yolanda
At walang bakas na pasisimulan.

Sabi ni Pnoy, malinaw raw ang target
Pero hanggang target na mga lang ba?
Kailan ba sisimulan ang tuwid na daan?
Baka naman baku-bako na
Wala man lang pasabi sa kinauukulan.

Kung ang hustisya'y hindi matugunan
Sana ang kalamnan ng bawat biktima'y
Syang agapang mapunan
Kaawa-awa silang naghihikahos.

Ang laki ng tulong ng mga karatig-bansa
Ba't tila walang pakialam?
Kayong mga nasa trono,
Tayuan ang posisyon
At serbisyo'y gawin nang totoo.
#Pagbangon
Sofia Paderes Jan 2016
I.
Mahal, minsan napapaisip ako...
Ang laki masyado ng mundong ito, ang mundo ko.
Gusto kong hawakan ang bawa't bato, yakapin ang bawa't puno, pero hindi ko kaya dahil nadadala ako sa tinig ng mga iba't ibang boses na humihila sa aking puso at hindi ko alam kung alin ang susundan ko.
Nakaktakot ang katotohanan na marami pang mga lugar na hindi pa natatapakan ng aking paa, marami pa akong hindi alam, marami pa akong hindi nakikita.

Pero minsan, ang katotohanang ito ang nagpapatibok sa aking puso, at nais kong pasukan ang lahat ng mga pintong bumubukas sa harap ko,
nais kong mahalin ang lahat ng taong dumadaan sa buhay ko,
nais kong maranasan ang lahat ng pwedeng maranasan ng isang tao.

Pero minsan talaga, hindi...
Hindi talaga alam ng aking puso kung ano ang gusto nito.
Kung isang mundong malaki o mundong maliit ang gusto niyang tirhan.
Pero yung nag-iisang bagay na kung saan ako'y sigurado, ay...
Na gusto ko na sa gitna ng kaguluhan,
iyong boses ang madidinig,
at iyong boses lamang.

Balik mo 'ko kung saan tayong unang nagkita,
kung saan tayong unang nagkakilala.
Balik mo 'ko sa panahong iyon,
yung unang beses na hinawakan mo ang aking puso sa iyong palad
at nagpangako na hinding hindi mo ito bibitawan.

Halika, balik tayo sa ilalim ng iyong puno.


II.
Habang ako'y nandito sa ilalim ng iyong puno,
hindi na importante sa 'kin kung malaki o maliit man ang mundo.
Basta't kayakap kita dito kung saan walang kahulugan ang oras,
alam kong iikot lang ng iikot ang mundo.
At sapat na yun para sa 'kin.

Dahil sa iyong pagmamahal,
lahat ng takot ay nadadaig.
Spoken word poem written for Risen Collective's first event, Silakbo. This was a collaboration with Coeli, an incredibly talented songwriter and musician. This piece was performed as part of her song, Puno.
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Poligami itu hukumnya mubah (QS. An Nisa 3) tidak ada thalab (seruan) disana secara jazm (yang menguatkan) untuk disebut berhukum sunnah, ataupun wajib. Dan tidak ada illat ataupun syarat yang menjadikannya wajib ataupun sunah.
Di ayat tersebut ada frase "ma thoba" (yang kalian senangi), jadi disitu Allah memberi pilihan (atas keMahatahuannya Allah atas mahluk-Nya), karena memang mubah itu statusnya "pilihan"
Kalau dianalogikan, seperti orang makan lauk kerupuk. Ada yang suka/memilih makan pake kerupuk, ada yang nggak suka. Bukan berarti yang suka makan kerupuk, lebih terpuji, dan yang tidak suka makan kerupuk, tidak terpuji. Atau sebaliknya.
Dan 'adil' bukanlah illat atau syarat, dibolehkannya seorang laki-laki (suami) untuk berpoligami (menikah lagi)...
Sederhananya begitu cara memahami 'hukum Allah' yang satu ini. Jangan sampai suka dan ketidaksukaan kita terhadap sesuatu membuat kita salah persepsi tentang hukum yang satu ini... Wallahu'alam
========================
Semoga yang baca nggak salah persepsi ya...
Aridea P Jul 2012
Palembang, 19 Juni 2012

Oh Tuhan, siapakah dia?
Laki-laki yang rendah hati
Garis senyumnya selalu terlukis di bibir
Amat mulia hatinya membantu orang lain

Sentuhan hatinya terjatuh di pipi
Yang berbentuk air mata suci
Amal ibadahnya pastilah tinggi
Putra Adam yang sangat rendah hati
Utamakan orang lain daripada diri sendiri
Tak kenal siapa yang ia kasihi
Rasa sayang dicurahkannya setiap hari
Allah menciptakannya sebagai penolong di Bumi
Bibigyan kita ng tula.
Hindi panghuhula...
kundi tula.
Hindi magiging napakahaba.
Hindi ka naman palabasa
para iyong mabasa
ang mga bagay-bagay
na sumasangay
kung ano ba talaga
ang tunay na halaga
ng tulang isusulat ko
para sa utak mo
na tuliro.
Sa mga nabasa kong libro
wala na sigurong mas magulo
kaysa sa iyo na kapag hindi mo
na nakuha ang iyong gusto
ay bigla-bigla ka nalang babato
ng mga salitang magpapaginhawa
sa iyo.
Pero tandaan mo
bago ka pa magbigay ng mga salita mo
ay marami na akong alam na salita
sa diksyonaryo na
sadyang binabasa
ko kasi umay ako sa mga salita
ng mga tao na paulit-ulit
at sadyang parikit nang parikit.
Hindi mo narin na
kailangang pagsabihang kumain na
sapagkat ako ay may isip
at hindi nagpapaihip
sa mga bagay na
dapat na ginagawa
ng taong may tamang isip.
Nako. Sentido kumon mo ay naihip.
Wala akong inaasahan na
pag-uusap na magaganap
dahil matagal ko nang tanggap
na tinuring na akong mapagpanggap
dahil lang sa desisyon
na ninanais ko lamang ng aksyon
dahil ayun ang magiging paraan
kung paano gagaan
ang mga bagay na
ninanais **** balikan.
Hindi na ako makapagbigay ng ****
na lubos na kasing laki ng dati
sapagkat hindi mo naman talaga
kayang isantabi ang iyong mga saya.
Tila nakakahiya naman
sa mga salita **** dapat na malaman
ko ba talaga kasi
mga payo ko ay dumaan lang sa labi.
Payo ko ay narinig at dumaan
pero lumabas lang sa isang lagusan.
Ako ay iyong narinig
gamit ang tainga **** mahilig
sa mga tunog na panbasag-pinggan
kaya ako ay hindi napakinggan.
Hindi rin naintindihan.
Naging gusto kita kahit
hindi naman kinakailangan.
Para sa utak **** tuliro.
Uulitin ko ulit para sa iyo.
Hindi na kita gusto
ayan ang kailangan na malaman mo.
Ibaon mo sa isip mo
katulad ng pagbaon mo
sa galit at sakit na ipinaglalaban mo
na nakakatulong sa iyo
na mapaginhawa ang pakiramdam mo
na sinasabi mo ngang hindi ko
man naisaalang-alang kasi
hinahakot ko lang ang mga kati
ng mga nakalipas na hapdi at kirot.
Ang pwede ko lang pala maramdaman
ay ang sarili kong kurot.
Pinapaligaya mo ako
pero hindi kita kailangan.
Hindi kita kailangan para
ibahagi sa mundo
kung gaano ako katalino.
Hindi kita kailangan para
ipakita ang mga halakhalak ko
sa maraming tao.
Hindi kita kailangan para
malaman ko na may
nakakaintindi sa akin.
Pasensya na
pero hindi kita kailangan.
Kung nirespeto mo lang ang naging desisyon ko na makakabuti naman din sa iyo, hindi parin magbabago ang pagtingin ko sa iyo.
Sipaa Adriani Jul 2019
Aku selalu senang berbincang pada semesta
Membicarakan dia,laki laki yang kucinta

Yang selalu ku sebut ditiap bait bait doa
Meminta pada penguasa
Untuk menjadikannya pendamping selamanya
Dan dipisahkan ketika sudah akhir usia

Egois memang,
Tapi bukannya ketika kita meminta harus katakan yang sejujurnya
Sekalipun itu memaksa ?

Intinya,aku mencintainya.

Semoga semesta selalu baik kepadanya.
Bella Ayu Apr 2019
Untuk yang merindukan Rumah, lebih dari apapun.
Rumah bukan lah tentang bangunan, ruang, pintu-pintu yang kokoh, atau jendela-jendela yang ditata.
Bukan tentang jenis kayu apa yang digunakan untuk pintu-pintu, jendela-jendela, entah itu jati, sigi atau mahoni.
Ini tentang apa yang hidup di dalam sana.


Aku pernah memiliki rumah, dan selalu ingin kembali pulang kesana, tapi seseorang yang memiliki peranan sangat penting di rumah, pergi meninggalkan, anggaplah ia sebagai jantungnya, dan ketika jantung tersebut sudah berhenti berdetak, mati lah yang akan kau temukan. Barangkali ia sudah menemukan rumah barunya, dan benar saja.
Baginya aku dan ibu hanyalah tamu, dan kau tidak pernah benar-benar menerima tamu, mereka lalu lalang disana, ia menemukan rumah barunya, bukan aku bukan juga ibu.

Saat aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali pulang dan mengingat-ingat jalan menuju rumah, aku menemukannya, namun rumah itu sudah terkunci sangat rapat, aku megetuknya, tak juga si pemilik membukakan pintunya, beberapa waktu aku masi mencobanya, mungkin tidur di teras rumah ini dan berharap suatu waktu pintunya akan dibuka oleh sang pemilik, namun waktu yang ku tunggu itu tak pernah datang. Aku mencoba mengintip lewat jendela-jendela yang kokoh, aku melihat seorang anak kecil laki-laki berlarian di ruang tengah dekat perapian. Aku tersingkir.

Hujan turun dengan derasnya, bukan dari langit, melainkan dari pelupuk mataku, sepertinya awan hitam menyelimuti seluruh ruang hatiku, aku tersadar bahwa ia sudah benar-benar pergi meninggalkan rumah lamanya, dan sudah benar-benar juga menemukan rumah barunya.

Saat ini aku sedang mencoba untuk membangun rumah yang lebih kuat, kokoh, dan indah. Aku tidak akan kembali pulang atau kembali mengingat-ingat jalan menuju rumah lamaku.
Aku akan membuatnya sendiri, dan semoga rumah baruku tidak pergi lagi.
Diadema L Amadea May 2018
Tentang bagian-bagian kesukaan,
Baik itu laki-laki atau perempuan kesukaan
Adalah bagaimana dari mulut perempuan keluar mantra seperti :

"Aku ingin menjadi tenang dan mencintaimu dengan tenang, tanpa banyak kekhawatiran"

Mantra itu diucapkan berulang ulang dalam hatinya di perjalanan pergi maupun pulang.
Anton Nov 2020
Pintuan palang malalaman mo na,
Na ito ang bahay ng mahirap na pamilya,
May nakasulat pa sa itaas na "Welcome to Miano Family" at " God bless our home".
Mga katagang matagal ng iniukit ng panahon,

Pag pasok mo ay sasalubong agad sayo,
Ang mga mga kagamitan na bigay,
Mga gamit na pinagsawaan na ng kapit bahay,
Mga Tv, relos, at orasan na di na umaandar,

Sa iyong unang hakbang iyong maaapakan,
Ang mga lumang tarpaulin na ginawang floormat,
Upang takpan ang madumi at maputik na  sahig,

Lingon ka sa kanan,
At makikita mo ang gawa kong hagdanan,
Hagdan na mayroon lang tatlong apakan,
Ngunit di kelangan mabahala,
Pagkat gawa ko iyan, kaya dapat magtiwala,

Sa iyong pag akyat makikita agad,
Ang kahon na sa laki ay sagad,
Sariling gawang kahon para sa speaker at amplifier,
Di sapag mamayabang pero kalahating araw ko lang tinapos iyan,
Partida nga at wala pang kompletong kagamitan,

Mapapansin **** ganun din ang set up sa taas,
May mga tarpaulin nanaman paloob at palabas,
May mga pira pirasong damit na tinahi para magsilbing kurtina at pantakip,
Pantakip mula sa mga butas na ding ding,

Pag lipat sa kabilang kwarto at makikita mo,
Ang sahig  na gawa nanaman sa kawayan,
Na ginawa upang maging daanan ng hangin  sa mainit na panahon,

Walang masyadong kagamitan,
Pero masasabi mo talagang magulo,
Magulo at parang wala nang paglalagyan,
Ng mga damit at mga unan na pa kalat kalat,

Konting pagmamasid pa at iyong mapapansin,
Ang basag naming salamin,
Mga LED lights na di nagagamit pag sapit nh dilim,
Mga wires na napakagulo at gutay gutay,
Batterya ng motor na gamit  ng ilaw pag gabi,

Pag napagod kana sa taas,
Bumaba ka ulit at makikita mo sa gilid ng hagdan,
Ang Mga gawa sa kahoy na upuan,
Tingin saglit sa taas at masdan,
Pinag tagpi tagping yero na bubungan,

Mga bubong na maaliwalas kapag tag.araw,
Pag tag ulan naman ay nagmumukhang talon sa buhos ng tubig,
  
Sa kusina naman tayo ay magpunta,
Bubungad agad ang mga basag na baso,
At mga plato't kutsarang di kumpleto,
Naubos narin cguro ng tatay kong lasinggero,

Sa hugasan makikita mo naman,
Ang gawa sa kahoy na hugasan,
Mg lalagyan ng plato at basong may sabitan,

Isang hakbang pa at welcome to our lutuan,
Lutuan na gaw asa lupa nq ipinatong sa yero  kahoy at kawayan,
Mga maiitim na  na kawa at kaldero na laman,
At syempre mga kahoy rin na panggatong na nakalagay naman s abandang ilalim ng lutuan,

Tuwing kakain kailangan mag kanya²,
Pagkat pag nag sabay ay tiyak na di kasya,
Pagkat plato't kutsara'y kulang na,
Pero ganun paman kami ay masaya.

Simpleng bahay, simpleng buhay, simpleng pamumuhay 😊
Benji Feb 2017
Sa laki ng espasyo ay mawawala ka,
Mahahanap ang sariling naguguluhan, nagmamakaawa
Makikita ang mga matang namumula sa kakahikbi
At ang mga taingang nabibingi sa katahimikan ng gabi

At mamamatay ang musikang akala mo'y dumadaloy
Ngunit isang awit pala na puno ng panaghoy
Ang mga kapiling ay isa isang mahihimlay
Silay mawawala subalit hindi mamamatay
Moonity Aug 2018
Laki-laki itu menangis
Tidak ada seorang pun tahu
Atau mau tahu
Sebab sekian juta jiwa berucap
Sejatinya lelaki tidak menangis.

Dan di sana seorang gadis
Terpaksa menutup mata dan mulut
Buta akan pemandangan getir di hadapannya
Bisu akan kalimat pereda lara
Sebab sekian ribu jiwa berucap
Sejatinya lelaki tidak lemah.

Yang sama dari keduanya
Hati dan perasaan tak kian menutup
Akal tak kelabu layaknya
Ribuan orang yang mengutuk mereka.

Lalu akan sangat tidak adil bagi adam
Jika tangis dilarang dalam kamus hidup
Yang kuat juga menangis
Yang menangis bukan arti lemah
—insan yang tak lagi dapat menangis ialah konklusi. Dan sebuah terminasi tak dapat bertukas dari mula.
Pengkahiran dari ceritanya, pribadi lain lahir. Pun orang tetap mengutuknya.
xGalih Aug 2020
Pada gersangnya bibir, kerongkongan merengek tersedu-sedu seperti laki-laki kecil sepulang sekolah.
Seiring dengan semakin mencekamnya kantung mata yang menghitam, dan kemarau yang tak kunjung usai bersemayam pada kelopak yang lelah, gadis kecil menyandarkan jiwanya pada ayunan yang rapuh di halaman belakang rumah tua.

Di seberang persimpangan jalan, laki-laki kecil menggerutu tentang udara yang mencekik seluruh tubuhnya.
Ia menyusuri jalanan tempat orang-orang kehilangan rasa.
Terus berjalan di belakang waktu.
Waktu yang menggerogoti jiwa orang-orang di sekitarnya.

Di atas rumah pohon, di awal musim penghujan, gadis kecil bersedih.
Ia menangisi bekas luka yang tak jua sembuh.
Luka yang menghidupkan kembali ketakutannya.
Dan ketakutan yang pada akhirnya akan memenggal kakinya di akhir musim.

Musim berlalu-lalang, orang-orang datang dan pergi dengan pasti.
Tapi apakah pergi selamanya tentang menghilang?
Musim baru selalu tiba, sesekali tepat waktu, seringkali sulit terprediksi.
Seperti kedatangan dan kepergian, kapanpun ia akan mengetuk pintu kewarasan.
kingjay Sep 2019
Mahal ko'y ubod ng ganda
Dikit na nakakagiliw sinuman makakita
At nang minsan lumapit at nagpakilala
Sinunggaban ako't niyakap niya

Kulang lang kami'y maghalikan
Sa aming mahabang pagtitinginan
Dubdob na kay laki
ng silakbo ng pag-iibig

Ngunit nang makadaan
Sa isang maliit na pamilihan
Nakita ko na may ibang kalampungan
Nanibugho ako nang umuulan

Sa pag uwi ng bahay
Dahan dahan na humimlay
Sa higaang yari sa kawayan
At tirahan na parang sa ihip ng hangin ay matatangay

May saysay pa ba ang pagluha?
Kahit wala man, patunay pa rin na ako'y umiibig na
Totoo man ang nararamdaman
Ano ang aking maipagmamayabang

Talagang daig nga ng mayaman ang mahirap
Sa isip, salita at sa gawa
O sadyang may katumbas na ang bawat bagay
Para ang pagmamahal din ay mabili't maagaw

Iisipin ko na lang na  ito'y para rin sa kapakanan niya
Di na lilingon o magkikita
Sana'y balang araw malaman niya
Na ako'y di hamak na isang tao
Kapag umiibig na
Favian Wiratno Jun 2019
Kamu; Perempuan cantik yang terdiam diantara langit dan segala keindahanya, tersenyum sendiri saat melihat luasnya lautan selat jawa diatas kapal yang membawamu ke Jakarta.

Aku; Laki-laki biasa yang terdiam diantara bukit-bukit kecil di gelapnya malam ini, tersenyum sendiri saat melihat gemerlap lampu-lampu kecil tersebar dibawahnya.

Kita; Terpisah beribu-ribu kilometer diantara laut dan bukit di negara ini, tersenyum sendiri saat merasakan hal yang sama.

Bercinta tanpa harus mengeluarkan kata.
Unti-unti nang pinapalitan ng kadiliman ang langit na kanina'y kay liwa-liwanag pa.

Nakaupo ka sa aking tabi, tumitingala sa langit habang ang puso ko'y bumibilis ang pagtibok habang lumilipas ang mga sekundo. Kasabay ng pagpintig sa kalalim-laliman ng aking sarili, ay ang pagbaba ng mainit na araw na sumisikat sa atin at ginagawang mala-ginto ang iyong kutis; kapalit nito ang maluwalhati na buwan na kasing hugis ng iyong nakakaginhawa na mga mata kapag ika'y tumatawa. Ang sansinukob ay napakalaki at maraming mailalaman; at hindi ko papalapgpasin ang pagkakataon, kahit kailan, na ipaghambing ka roon. Maaaring napakaliit ng iyong katawan, ngunit ang puso **** pagkalaki-laki ay punong puno ng pagmamahal.

Ikaw. Ikaw ang aking sansinukob at ang pagmamahal ko ay para sa iyo lamang.

Kinuha mo ang aking kamay at hinalikan, ako'y iyong tinanong kung ano nga ba ang nasa isip ko; kaunti nalang ay hindi ko na mapipigilan ang sarili ko at isisigaw ko ang iyong pangalan ng paulit-ulit upang sagutin ng diretso.

Ang aking pagkahaling sayo'y katulad ng kalangitan; maaari mang magkaroon ng kadiliman ay babalik parin sa dating anyo na kay ningning. Ikaw ang nagsasabit ng buwan sa langit bawat gabi at ako naman ang tagawilig ng kumikinang na mga bituin sa iyo. Hindi tayo makukumpleto kung wala ang isa't isa, kaya ako'y humihiling bawat gabi na tayo'y hindi magwawalay sa isa't isa.

Ninanais ko na ang iyong puso ay habang-buhay na titibok para sa akin, dahil alam ko na ang akin ay titibok para lamang din sa iyo.
something i've kept in my notes for months already, written for somebody that i used to love. salamat sa lahat.
Engineer Mikay Jun 2022
Pinagmamasdan ka lamang ng asawa mo
Kung papaano mo sayangin ang gabing ito
Napakasaya mo habang nilalaklak ang limang pitsel ng beer
Habang yung mga kasama mo ay walang pakialam sayo
Pinagmamasdan ka lamang ng asawa mo
Habang binibigyan ka niya ng perang pantagay mo
Huling gabi na to na kasama sila ang paalam mo
Huling gabi na sana…
Kasi pupunta ka na sa inaasam-asam **** Amerika
Minamasdan ka lamang ng asawa mo
Kung paano ka sinipa sa mukha ng Arabo
Sa laki at bigat ba naman ng sapatos nun
Basag tuloy ilong at ngipin mo
Pagmamasdan ka lamang ng asawa mo
Sa kung ano na ang mangyayari sayo?!
Bibitiw ka sa trabaho tapos ano?!
Papaopera ang makapal **** mukha?!
Ilang operasyon pa ba sa mukha ang dapat mo matikman?!
Para pagiging lasingero mo ay matigilan?!
Maawa ka naman sa asawa mo
Lahat na iniintindi dahil sa pagmamahal sayo!

Tangenang alak na yan!!! Kelan ka ba tatanda?! Huwag mo na sanang hintayin na pagmamasdan ka na lamang namin… sa burol mo!
Alam ko sa sarili ko.
Sobrang taba ko.
Ayoko na malaki ang hinaharap ko,
Kasi nahihirapan na ako.
Gusto kong tumakbo at sumayaw kaso mahirap kasi ang laki ng hinaharap ko.
Hindi sa proud ako pero tanggap ko na.
Masarap kasi magluto ang buong pamilya ko.
Pero atleast balang araw papayat din ako.
Gaganda din ako.
Di tulad ng maliit ang height.
Pagdumating na ang panahon na pumayat ako.
Who you ka saken.
Bagong buhay na charott
Diadema L Amadea Sep 2019
'fah masa bla bla bla bla.. bangsct.'

'cowo emang bangsct lu..
santuy, kita juga harus bangsct.'






begitulah
percakapan dua gadis
belum bisa bercakap dengan manis
di sela sela kuliah siang
sembunyi bunyi dari pengawasan sang dosen
terhalang dua ruang kelas


pertanyaannya :
satu, apakah semua laki laki seperti itu ?
dua, apakah kami berdua harus ikut seperti itu ?




ya betul sekali, dua pertanyaan tadi sangatlah retoris.

pastilah jawabannya...








tentu.










gakdeng, saya berusaha melawak saja.

dan untuk kamu, semoga tidak seperti itu ya sayang.
hey it's b Feb 19
Mungkin kalian bertanya mengenai sosok yang aku sebutkan di tulisan ku sebelumnya

Yaa.. Satya

Seorang laki-laki yang mengisi hari demi hari seorang perempuan yang dari dulu sudah sendirian, kesepian, dan kesakitan menghadapi dunia nya

Bagaikan bias pelangi yang melukis abu-abu nya langit, begitulah ia

Hadirnya mengisi segala kekosongan yang ada pada diri ini dan mengisi penuh sesak dengan kasih sayang nya yang tak terhingga

Setelah ribuan pertanyaan yang selalu menyerbu kepala, lalu sampai pada kesimpulan "ternyata aku bisa ya dicintai sebegininya oleh seseorang?"

Menjadi cinta terakhir nya adalah kalimat yang selalu ia utarakan di bibir yang selalu menampakkan senyum manis nya

Namun perempuan ini tidak menyangka dalam waktu yang sangat singkat hal itu menjadi kenyataan, sebelum sekarang ia sudah berada di tempat terbaiknya

Ia berpulang.
Griefing phase; to remember forever

— The End —