Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Guy Random Aug 2014
Eve of Holi

A spring eve that’s all different from others
Zephyrs blowing away the leaves
Orange sky adding the flavours
Blooming flowers nodding in a rhythm
So Ironical is nature of this evening
That all these beauties act as ornaments of Kali


On a normal evening man would work
They would work appraising weather
They know it will not last long, they enjoy
Today they as if ignore it, of morning celebrations

Morning is gayest morning of the year
Every reason to see every man
Mankind being unanimous
Evening on contrary balancing it to a usual day


An unexplainable soundlessness, vacuum of thoughts
A day depicting environment without men on work
Streets still hold colours on their chest
But this colour no more is a sign of happiness


People meet each other, everyone has a smile
But that doesn’t match with nature suit
There smiles have scope within its sight
Body of people walking on street enjoy zephyr
Their mind stay startled of unusual quietness


Standing on my entrance, I observe
A swinging litchi tree, missing sound of saw mill
Smiling flowers, orange cloudy sky
Empty streets, parked wagons, and utterly silence
Holi in India is a festival of colours, I remember wildness of it since my childhood, what have been a puzzle for me is it's evening. They are most the gloomy evening I can recall.
Elle Sang Dec 2015
Gadis itu pulang dengan kepingan jiwanya
Berusaha untuk menahan segala rasa sakit
Semua ia simpan rapat-rapat walau tersirat dari matanya
Ia menghempaskan badan diatas tempat tidur
Sambil sesekali memijat keningnya, berharap rasa sakit tak akan hinggap kesana.

Lalu ia berusaha tak mengingat-ingat semuanya
Berharap entah bagaimana caranya agar ia mematikan perasaannya
Dalam hati ia bertanya "kapan terakhir kali kau bahagia?"
Tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan itu
Ia hanya menatap langit-langit kamar  sambil tersenyum pahit.

"Yah, begitulah realita hidupmu. Tersiksa karena jatuh berkali-kali untuk orang yang salah"
Otaknya berbicara pada hati yang masih kukuh membela perasaan yang ia punya
Ia tak bisa lagi menampik bahwa kepala dan hatinya setelah ini tak akan pernah ada di kubu yang sama
Karena kelalaian hatinya lah ia berada disini sehingga logika menghukum hati itu, menutup pintunya rapat-rapat dan menenggelamkan kuncinya kedalam samudera pemikirannya.

Suara hujan mengiringi gadis itu
Tak terasa satu demi satu tetes air mata mengalir
Ia hanya bisa memejamkan mata dan berkata
"Aku sudah tak punya hati lagi"
Aridea P Dec 2011
Palembang, 18 Desember 2011

Ku tak ingat pertama kali aku membuka mata tuk melihat dunia
Yang ku ingat aku hidup bersama keluarga kecil yang bahagia

Semasa hidup dunia tak pernah berubah
7 samudera, 7 benua
Tetap
Bukti kecintaan Sang Pencipta kepada manusia

Cinta itu penipu
Bisa berperan menjadi apa saja dan siapapun

Ombak di laut lepas, itulah cinta
Sinar mentari pagi, itulah cinta
Tetes embun pagi, itulah cinta
Dingin angin malam, itulah cinta


Cinta itu tirta
Sama seperti air, tak dapat disentuh, hanya bisa dirasakan

Cinta itu air sungai yang mengalir
Cinta itu jalanan berkelok di pegunungan
Cinta itu pepohonan di kaki gunung
Cinta itu butiran pasir di Sahara

Cinta mampu hidup di mana saja
Bak parasit yang mengikuti kemana manusia

Cinta itu suci di Mekkah
Cinta itu tinggi di Everest
Cinta itu luas di Pasifik
Cinta itu dingin di Antartika

Namun terkadang cinta bisa menjadi liar
Tak mau disentuh, pantang diucap

Cinta bagaikan Viranha di Amazon
Bagaikan Voldemort, The Dark Lord
Bagaikan Troll di pedalaman
Bagaikan kota hilang di Peru
Cinta bagaikan mumi di Mesir
Bagaikan terowongan di Jalur Gaza
Bagaikan Titanic yang tenggelam
Bagaikan laut mati di Yugoslavia

Aku merenung,, diam
Memandang jam,, terus berdetak
Ku akan tinggal di Laguna indah
Jauh dari semua,, jauh dari cinta
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
Adya Jha Oct 2018
My body is a temple
My bleeding is divine
My womanhood is spiritual
In ways that an intolerant devotee like you cannot understand
So when you barr me from entering Sabarimala
Remember that you can't stop a goddess
Saraswati is wise but her rage is wild and merciless
Lakshmi will create earthquakes that will devastate
Durga will pierce your heart with her spear
Parvathi will leave her abode and run into the streets
Kali will destroy you in unimaginable ways
They reside within us
We will cut our feet on your shattered glass
We will shout till our voices become hoarse
An army of neglected women will create a tsunami
Till you're on your back, crying
Till you give up your apparent 'religion-saving'
Helpless, wailing
And bleeding
The Supreme Court of India ruled that not allowing women in their “menstruating years” into the Sabarimala temple is against the constitution, and all women should be allowed to enter the temple. This was met with a lot of opposition from the conservatives and the entry of women into the temple was blocked by protestors.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Dia sering mengetuk pintu
: sebanyak lima kali
dalam sehari

tetapi di saat-saat itu,
telinga kita mendadak tuli
dan mata kita mendadak buta

atau barangkali,
kita tak berada
di dalam rumah

(kanya, 2017)
D May 2019
Yang bermula dengan suara,
Berakhir juga dengan suara.
Disaat kita harus sepakat bahwa semuanya mesti disudahkan
Sedunia tak henti-hentinya mencekokkanku dengan bayangnya
Karena belum genap 24 jam sejak kesepakatan bahwa semuanya sudah,
Ku dengar suaranya dimana-mana,
Kali ini, lagi-lagi, tanpa rupa

Disaat dunia mendengarnya bercerita tentang gadis manis berduduk seorang diri,
Atau tentang bagaimana akal serta tubuhnya dikupas habis oleh hidup sehingga dia tak punya pilihan selain menerima bahwa ia dan mutlaknya semua manusia adalah tunggal; adalah sendiri; adalah harus menelan, memahami, lalu (jika beruntung) mencintai kesendirian itu sendiri
Atau sekiranya tentang bagaimana ia mengibaratkan air mata bagai tanda suatu yang kuat, yang tak malu, yang berteriak, yang patut diwadahkan jika bisa;
Lalu disimpan, bukan dilihat untuk sekedar menyenangkan diri bahwa kita ditangisi
Namun sebagai tanda bahwa pada dasarnya semua manusia akan berserah diri

Tak ada habisnya menganalisa karya—ataupun jiwa—yang memang dari lahir sudah pamungkas
Karena disaat bongkahan karyasuara itu berisi wejangannya untuk mereka yang mencari
Suara itu bercerita kepadaku tentang hal-hal yang agaknya butuh dua kali hidup dan dua kali mati untuk menemukan inti;
Seperti perempuan
Seperti keyakinan
Seperti kesendirian dalam kehidupan dan kematian
Seperti jarak dan waktu yang superfisial disaat kita sadar akan Tuhan

Dimalam itu,
Dimalam saat aku menyadari bahwa ada hal-hal yang jawabannya tak bisa kucari dalam prosa Sang Nabi atau puisi Jalalludin Rumi,
Ia berkata,
“Tak akan—sampai mati—ku mencampuri urusan akal perasaan dengan keyakinan yang sebetulnya sudah ada sebelum apapun.”
Disaat itu juga aku memutuskan untuk mundur sepuluh langkah,
Karena disaat kalimat itu kelar terlontar,
Adalah bukan suaranya yang kudengar,
Namun Ibunya.
Ibu, sama halnya dengan keyakinan, sudah ada sebelum apapun.

Malam ini aku pamit.
Shrivastva MK Mar 2018
Udd jayegi ek din chiraiya chhodhkar babul ka ghar,
Basane ek naya aashiyana sabhi ke aankho ko bhar,

Vidai ka hota hai ye kaisi bela,
Kyu hamesha jana padta chhod us kali ko hi akela,

Beegh jati hai mata-pita ki palkein vidai ke pal,
Jab aata us baag me chahchahane wali chidiya ki judai ke pal,

Bahut si yaadein  chhoti aankho me sajaye hue,
Ro rhi hai maa pari ko gale lagaye hue,

Papa ki pyari gudiya aaj sazkar sasural chali,
Tham ke hath humsafar ka ek nye dwar chali,

Jahan  pali badi wo pyari gudiya chali hai aaj us ghar ko chhod,
Karke suna ek aangan ko pita ki aankhon ko bhar,

Na jaane kyu beti ko janam se hi paraya btaya ,
Aakhir kisne ye  riwaz banaya ,

Nikalkar apne **** se ek pita apni jaan ,
Bahut bada dil hai ek pita ka jo kar dete hain kanyadaan ,

Waqt ka kaisa hai ye dastoor 
Na jaane kyu ek beti ko jaana hota hai dur ,

Chali hai aaj papa ki gudiya ,
Chhodhkar apne aangan ki nindiya, 

Yaadon ki jhadi dil mein basakar chali hai maa ki jaan ,
Chhod ke sabkuch apna Banane ek nayi pehchaan,

Babul ki laadli kab ** gayi badi,
Aayi hai dil ko chhune wali ghadi,

Jis  ghar me pali,us ghar ko alwida kaise kahegi,
Maa baba behan bhai bin wo gudiya kaise rahegi,

Vidhata ne ye kaisa niyam hai banaya,
Chhod ghar babul ka,ek naye ghar ko basaya,

Dekh tyad ek bitiya ki us khuda ki bhi *** aankhen bhar,
Udd jayegi ek din chirraiya chhodkar babul ka ghar,
Babul ka ghar.........

Composed by
Sonia Paruthi & Shrivastva MK
For Sonia Paruthi creations visit
Hellopoetry.com/SoniaParuthi
Rama Krsna Oct 2021
this long red tunic
hides her battle scars well.
centuries of fighting incarnations of cunning lucifer

her eyes sea blue,
her lips blood red,
the crescent moon on her forehead
witness to her numerous accolades.

in the continuing saga of good vs evil,
her next battle begins.....
this warrior goddess of exquisite beauty
pauses to smile,
just for you and me.

with this gifted diamond earring
now worn
as her cosmic amulet,
her ultimate victory is near certain!


© 2021
a hymn to the ultimate feminine energy in the universe
"dasar kamu anak biadab"
sekali,dua kali aku tersakiti
sekali,dua kali aku ingin mati
sekali,dua kali aku hanya ingin disayangi

siang ini aku mati
malam ini aku mati
bulan sebagai saksi
tetes,tetes aku pun senyap
kelam hidup ini

hampa,sunyi aku tidak ingin sepi
sekali dua kali,aku tidak hidup lagi
tuhan,maaf aku tidak kuat lagi
senyap senyap jiwaku ini
ditelan oleh bumi
Joshua Soesanto Jun 2014
called "Papaver Somniferum"

perempuan seperti bunga *****
mempesona juga mematikan
di ekstrak di murnikan
di setubuhi di suntikan
konteks itu rasa
kohesi dalam pembuluh darah

serasa terbang tak menapak
ternyata aku overdosis kata

jangan penjarakan!
teriak pemadat rasa
jarum sajak masih menempel di tangan
"aku ini hanya pemakai kata"
kata yang ku tulis diam-diam
lalu kau membaca, merekahlah analogi rasa

aku ingat hari itu
kau berpakaian penuh warna
aku mulai gila
inikah suntikan pada kepala? pantas..
beringas

aku mulai sadar
saat kau bersenandung tentang orang lain
menjelang mentari tenggelam
aku bungkam

mungkin kali ini jarum terisi racun
suntik kemana?
"aku tidak akan memilih nyawa"
hanya memilih nadi yang pernah berwarna
kini melabuh mencapai titik jenuh

sesungguhnya sang pemberontak ingin bicara
tentang kopi tentang mimpi
tentang pantai tentang ombak
tentang terik tentang hujan
tentang candu tentang perjalanan
tentang rencana tentang pergi lalu menghilang
tetapi kau mengokang senjata

kembali aku bungkam
angkat kaki..
pergi dengan kutukan.
Banda Neira - Esok Pasti Jumpa #NowPlaying #Tracklist
ayu rinanda Apr 2012
Gua sama sekali gak maksudbuat ngejelekin, ngejatuhin cowo gua yang sekarang 

gua punya cerita yang mungkin lu semua pernah ngadapin dengan kejadia yang sama

gua punya cowo, asli gua sayang banget sama dia, gua pengen ngebahagia in dia kayak gua pengen ngebahagian keluarga gua. Tapi, ada banyak hal yang selalu buat gua ragu sama dia.
1. dia gak pernah sms ato nelponin gua duluan alesan tidur.
2. gak pernah bilang sayang sama gua, kecuali waktu nembak
3. kalo di ajakin alesan nya segudang, mungkin penuh kali tu gudang 
pasti lu semua punya pikiran kalo dia Cuma mainin gua, ato pun gak sayang sama gua?

tapi biarpun dia kayak gitu, gak tau kenapa gua tetep aja sayang. Gua ikut aturan dia, gua ikut apa maunuya dia. Pokoknya semua maunya dia gua jabanin deh 
karena ada satu hal di diri dia yang sulit banget gua lupain selama ini adalah KENYAMANAN kalo dideket dia.
Padahal yah, gua punya seseorang yang jelas.jelas sayang sa,ma gua, bias ngasih apa aja yang gua mau, yang bias ngebahagia in gua dengan semua hal yang dia punya, dia adalah mantan gua yang pacaran sama gua 2 tahun lebih.
gua udah banyak ngelewatin hari sama dia, susah maupun senang, dia mungkin satu.satu cowo yang paling ngerti siapa gua.
cowo yang paling care sama gua, pokok nya cowo yang paling sempurna deh dia 
meskipun kayak gitu tetep aja gua gak bisa boongin ati mgua sendiri, pacaran sama dia tapi inget orang lain buat apa coba?
lagian gua harus nurut apa kata orang tua gua gak boleh pacaran sama dia, toh gua gak bias ngelawan.

buat kamu cowo yang jadi pacar aku : please donk sayang, jangan cuek sama aku.
jangan suka banyak alesan, aku tuh sayang banget sama kamu.
coba deh kamu yang ngertiin aku sekali.kali jangan akunya terus donk 

buat kamu cowo yang aku sakitin : maapin aku udah nyakitin kaamu, semoga diluar sana kamu bakal ketemu cewe yang syang banget sama kamu.
maapin aku 

#sekarang gua Cuma pengen satu hal yaitu lepas dari kedua.duanya.
gua mau orang baaru, tapi gua takut tuk memulai itu semua 
sangat.sangat btakut
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Aridea P Nov 2011
Palembang, Sabtu 8 Januari 2011

Please ... Dont!
Jangan buat hidupku rumit lagi, Cinta
Cukup! Sudah cukup aku mengenal mu
Sekarang aku mau sendiri dulu

Yang aku mau hanya memiliki 1000 Sahabat
Soal jodoh, tunggulah hingga umur ku 23
Please ... Aku mohon ...
Ku lelah memikirkannya terus
Aku lelah tuk berlagak sok sempurna
Kau kan tahu bahwa aku manusia terbodoh sedunia

Tolonglah, cinta
Jangan bikin rumit lagi hati ku
Sudah cukup yang kemarin
Di mana karena ikatan
Aku berubah menjadi orang lain

Cinta, bila kali ini kau bersungguh
Sampaikan pada Tuhan
Bahwa aku ingin kembali menjalin cinta
Jika Dia memudahkan jalannya
Karishma Gupte Sep 2019
My heart sank when the doctors said, " You have delivered a girl."
Your battle began from that moment onward.
They will criticise you in every step of your life.
Whether you are tall, short, fair or dark.
They will stab you in your back with smiling face and kindness in their eyes.
They will abandon you in middle of nowhere. Lonely, lost and dazed you will wonder what you did was wrong.
Cry! Cry your heart out! Coz, crying is not a sign of weakness but a sign of self expression.
Cry till the fear, anger and hatred flows out.
Then get back up with your trembling knees, look in the mirror and remember words of your mother - YOU are Strong, Brave and Fearless!
You don't need a prince to rescue you coz I will raise you to be a warrior!
Dance, painting and positive books no longer serve purpose in this Kaliyug!
You will have to learn Karate, Self defence and Business tactics.
To survive on this battlefront.
Age of Parvati and Sita is long gone.
You will have to train hard to be 'Kali' of this Kali-yug!
F White Apr 2011
You love her
in her many
copies.
blue, beige
destroyer, creator.

You hate her
during some
hours away
from sun.
procrastinator
fighter, complainer.

You fear her
the control
you can assert
but can't reign
in. Boycotter
scaredy cat.

You're in her
swimming but drowning.

Your psyche should
not be a
tiger trap.

There should be leaves
and soft earth
not sticks.

As your fears sharpen
them, the pit
will become deeper.

So learn to watch
where you walk
in your veins.
Control your thoughts
your habits
your acts.

Or perish in
your own sea
of troubles
Hamlet's slings,
and arrows will be yours
And let's face it.

You just don't have
that kind of
thick skin.
copyright FHW, 2011
Megan Sherman Jan 2018
A goddess wrought in platinum aura sublime
Aloft, triumphant at starts and ends of times
All is created and all is destroyed there
Perpetual motion; thermodynamics flare
Men they try to copy her might, futile mime
For they can't emulate her deep disarming stare
Which transcends reason, inspires bards to rhyme
For the good and godliness in there
Outranks Medusa in enchanted hair
For I floated enchanted rapt in thrall
Enchanted by her bonny beauty rare
And her suppression through aeons the mind appals
But when henchmen of demonic devil's snare
**** her in the western warring call
Arrogant to think they'd suppress lady Kali's magic might
They will fail and they will surely fall
Irisidescent was her gestating glow
Glittering atman guarding all of space
Angels take us to see her to and fro
Show us in her the light of love apace
To deny her truth is a dank disgrace
We should regret that, repent and woe
That cultists **** her, proudly, in her prime
And make of diva's death a glutton's show
We are her children, but some of us do not know
She is able, what's hers is ours
A knowledge that begs to be devoured
In celestial, rare, immortal hour
Time not decreed from tyrant's tower
From her blessings wonderfully shower
Thankyou John for showing me
Temptress Kali, sweet, supreme
To her we went through eternity
Saw the celestial democracy
Of Christian and Hindu angels alike
Don't carry each other's heads on spikes
For knowing Allah's heart has light
Like all prophets peace their fight
Direction's guardians, Blake, Buddha, Ganesha
With love's light and earth enmeshed
Blake lamented spiritual decline
That children by Satan's plans in brine
But his flaming vision sees through times
And will path the way to freedom's climes
Buddha sat under the Bodhi tree
Knowing peace to set minds free
Hearts in confraternity
No you, no I, only one heart, WE
John the angel of the north
He told me John, didn't say which
I cried with pride when his enchanted drawl
Revealed a songstress from people's Liverpool
His message spoke to the one and all
Imagine the people, Imagine them all
Out with all that hates and that is cruel
Hate has made of each of us a fool
Ganesha, last but surely not the least
Has hankering heart of bright benevolent beast
The angel of the earthen east
Love gestate in him that never ceased
I saw him before, it was a while ago
But dressed in woman's form, with woman's glow
Vinayak the learned scribes would say
But all can know her either way
I saw her as one called Lexi that fine day
And it put an end to my dismay
To see us indivisible, goddess, same
When foolish man played dividing game
Gave "better" and "worse" to us as contending names
While he go questing for recognition, fame
But I do not resent that one for flaws
For all are irresistible to adore
Just want him to end this goddess war
That all men educated for
I digress, back to the flight
Where John took me on an epic sight
Next was angel of the earth
Diana of the heart and hearth
Lightworker born in tyrants sect
Learned how to love not genuflect
To hearts purity we would sure neglect
If we didn't long reflect
On fact that was surely killed
By one to who the devil shilled
What their fancy name: who cares?
To scare us with it: who dares?
She got our hearts on television
Appealing with her sweet precision
To love and brother her decision
Sought to heal the earth's contusion
Like Michael Jackson, arch angel too
Deranged as me, but sweet and true
To hurt children he didn't want to do
But give them nurture, play, they grew
The ones who really hurt the child
Are the ones who he reviled
Who sought to bring him down with lies
Again their victim empowered in the skies!
So many angels I could not count
Shakespeare whimsical on his pipe
Silent thinking thoughts so ripe
To think Lords slandered him as tripe!

Percey Shelley too was there
Chose to rebel shed claim to heir
Scaled the oxford ivory tower
and pamphleteered for freedoms power
Got kicked out in gray dull hour
But through time his insights rain and shower
As audience for devil are fewer and fewer
And peaces hope is ripe, empowered
Beyond angels, Shiva, meditator sublime
Is it audacity to ask what he sees in font of time?
Lids half open, rapt supreme
Painted with a pallet got from dream
Looked akin to Taylor, dancing wild
With heart and happiness of chiding child
That he akin to god reluctant to accept
But aren't we all Gods in retrospect?
That we are animals belong to tyrant taught
And in accepting that, our souls meet la mort
(If you read Plato backwards he fought
To encrypt truth of soul's genesis, answer sought: Really, it's stunning.)
Beyond shiva cosmic churning true
Said the blessed fires run through you
And I heard clear and remembering applaud
THERE IS NOTHING TO FEAR WE ARE ALL ONE GOD
There is nothing on earth as exquisite as you
It spoke turning my heart from red to blue
Said all the world is lordly love and light
A truth in which all nascent souls take flight
Musicians there, their sweetest songs unfurled
Their festival with all the time in the world!
Even ones in youthful splendour culled
By ones who will to hate heart's song and world
It was then that Lennon zoomed me to Kali
Swimming in that churning seismic sea
Sure as heaven a vision of eternity
And in a circle she danced fluid free
The circle was a wave and particle
Light, a string in theory, gave me fright!
For Kali I had been so rapt in thrall
I had not noticed THE GOD PARTICLE
Sounds crazy but experiments of thought
Are scientific method Einstein taught
For only in deepest dreams is it possible
To see what life could truly be
Thanks John for letting me climb your wings
And flying that particle over me

When we descend back to sprightly earth
The angels all changed place, assumed new roles
Diana cede to Jo, of equal warmth
Fought for lass and mass and for the proles
And Buddha went from northern angel sweet
To defender of the faith with God's trust replete
A role assumed by Jesus once before
As he ascend to god, irresistable to adore
The bit that got me most is this
And it gave me joyful bliss
I ascend to Buddha's southern role
See sunshine as a kiss, it made me whole.
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 10 Mei 2008

Lirik lagu tentang cinta itu
Buatku seakan dia ciptakan untukku
Padahal dia ciptakan untuk yang lain

Tapi kenapa harus dia
Yang indah buatku luluh
Angin bawakan sejuk untukku
Karenanya suara lirik itu terdengar

Aku pun menangis
Begitu indahnya sampai ku bermimpi
Tak henti mimpi sampai saat ini
Yang tak ingin ku akhiri

Percuma, dia takkan tahu aku di sini
Meski ku kuras s’luruh air mata
Ku ucapkan seluruh kata cinta
Hingga tak tersisa lagi

Berulang kali angin bawakan lagu itu
Sekali lagi untukku, dari dia yang indah
Selamanya sungguh ku cinta
Karna sampai kini tak pernah ku lupa
Onoma Mar 2017
Plush me purple--

your lap,

take this head in

my memory.

Send down your hair,

I can't climb up--I'll bite,

hair clip me Ma, come on Ma--

hair clip me Kali Ma.

Don't know where my body

is girl...break yours in dance.

Throw me off, far off...

air out my tongue,

**** the lullabies from my ears,

lick my blades of hair.

Let my eyebrows crawl into

my eyes...to be inhaled by my nostrils.

I only smell you till I get passed the fear.
*Kali is the most wrathful Hindu goddess, she beheaded Shiva.
JoJo Nguyen Jan 2017
Where can I find Kali?
I have no Gold to Gamble
No body wants me
A cyclopic *******
Perhaps I can find her
In my massive consumption
of Drink<strikeout\ing\>  and Swine?
el Aug 2014
ada kalanya dimana aku akan duduk tersungkur di pojok ruangan
memandangi selembar foto dirimu
tersenyum bahagia disebelahnya
kau sangat cocok bersamanya
bahkan, tangan yang dulu rasanya pas disela-sela tanganku itu
terlihat lebih cocok bersamanya dibandingkan denganku

sudah beberapa kali aku mencoba untuk merelakanmu tanpa pernah memilikimu
ikatan batinku terlalu kuat
tidak bisa begitu saja aku melepasnya
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

aku sudah tidak menunggumu pulang lagi
karena aku tahu
kau tidak akan pernah pulang lagi kepadaku
dan aku harus belajar melepasmu
Orked Saerah Nov 2014
Seorang Part I
Baru-baru ini aku merasakan yang hidup ini tidak lagi bermakna buat aku. Di mana aku rasa kosong setiap kali nak memulakan sesuatu. Bagaikan terputus tali layang-layang yang asyik ditiup angin di langit biru itu. Aku cuba dan terus mencuba untuk memahami setiap apa yang berlaku di sekeliling aku. Akhirnya aku masih di situ dan terbelenggu keseorangan tanpa sesiapa pun sedar aku di mana. Tidak ada tangan yang mahu menolong aku apatah lagi bahu untuk ku sandarkan tiap kali aku mencurahkan air mata. Aku keseorangan.

Seorang Part II
Aku masih diam di situ kaku. Sejenak aku terdetik untuk mendongak ke langit. Tika itu kelihatan malam pekat dihiasi dengan bintang-bintang berkerlipan penuh gemerlapan dan juga bulan yang terang memukau aku seketika. Waktu itu aku masih ingin menangis lagi kerana aku lupa pada Yang Maha Mendengar Yang Maha Melihat Yang Maha Mengasihi. Aku alpa kerna selama ini aku melupakan Yang Maha Berkuasa. Aku merasakan kerdil waktu itu dan pada saat itu juga aku merasakan aku dibius semangat baru.

Seorang Part III
.............................................................­..............................
BJ Sep 2020
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum behad khoobsurat **.
Ye jo tumne akhon ke kajal ko b palko ki had me dal rakha hai.
In aankhon ne jane kitna kehar sambhal rakha hai.
Kya chamak hai aankho me jaise ek choti si khush duniya ka sapna paal rakha hai.
Socha cheru thoda tumhe or thoda sata du.
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum nazneen **.
Phir kuch tumhare galon k un khaddo ki gehrayi dekhi.
Na us se gehri koi khaayi dekhi.
Nazar htane wala tha k us muskan ne rok lia..
Muje aj sambhalne se pehle tere chehre nadan ne rok lia.
Jane tumhe ye sab kehna lagta hai khata kyu.
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum dilnashi **.
Vo choti si kali bindi jo thik maathe k me kahi hai.
Vo b har shayar ko kheench rahi hai.
Jaise muje kehti ** idhar aao tumhe kano k jhumko ka pta du.
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum dalkashi **.
Ye phir thode uljhe thode suljhe baal hai.
Inki to ada hi bemisal Hai
Tumhe tang karte hai.
Manmarji chalate hai jaise tujse jung karte hai.
Chere pe aate hai tum unhe phir peeche karti.
Kabhi clip se kabhi rubber se kheenche rakhti **.
Kabhi aaye chehre pe to shayad main b hta du.
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum koi kehkasha **.
Or vo sone ki nath ko koi
kaise taal sakta hai.
Jise tumne apni teekhi si naak me daal rakha hai.
Or kuch batein in sab se pare hai.
Tera chutkan sa Gussa hai jane tu kaise handle kare hai.
Phir vo pyari si hasi vo sharm haya  vo bachpana vo nadaniya.
Samjhdari vo nasamjhi
Vo adayein vo shaitaniya.
Or sambko tumne brabar rakha hai.
Jane ye hisab kaise lagakar rakha hai.
Kya kehna hai kya sunna hai kya bolna hai kya btana.
Kab ruthna hai kab manana hai kab satana hai kab jatana hai.
Teri har ek choti moti khoobiyon ne dil me aatank macha rakha hu.
Jane tune kitne salo se khud ko ishq se bacha rakha hai.
Jane mujme kab se or kyu ye thode guroor k lakshan aaye hai
K tuje suna sabne hai samjh sirf hum paaye hai.
Tum jaisa or koi mere aas paas ni hai.
Phir kaise manliya jaye tum aam ladki ** tum me kuch  khas nahi hai.
Ha aj maine ek kadam apne beech ki sarhad se thoda bahar aaya.
Tumne apna hunar azmaya tha vo pic dalke use shayri bnake maine apna hunar aazmaya hai.
ye padhke tum socho k inam du is shayar ko ya koi saza du.
Are tumhe dekha aj to lga ye sab tumhe bta du.
Haq hai nhi mera koi phir b thoda haq jata du ..
Or kehdu tum afreen **.

Tum khoobsurat **.
Aridea P Oct 2011
Sifat jahat kembali lagi
Hancur hidup ku saat ini
Karena ucapan kali ini
Dan aku pun menangis

Gerah rasanya hidup ini
Aku di sini hanya lirih
Apa yang bisa aku akhiri
Bila semua takkan terakhiri

Akankah ku pergi lagi?
Diam tanpa harus bicara lagi?
Menangis di malam  lagi?
Dan mendengar lagunya kembali?

Aku kangen Arlonsy lagi
Aku ingat Arlonsy lagi
Aku menangisi Arlonsy lagi
Dan aku mimpi Arlonsy lagi

Aku dengar suara dia
Aku dengar melodi dia
Aku dengar detak jantung dia
Dan aku dengar segala tentang dia

Aku menangisi dia lagi
Aku rindu dia lagi
Aku kenang dia lagi
Dan aku ingin dia kembali
Saman Apr 2011
Ara
Payudaramu
Masih menatapku dengan murung
Entah sudah berapa lama kupegang
Mungkin ratusan ribu kali.

Temaram yang dibentang
Oleh lampu kecil di sudut kamar;
Ranjang yang bermain melodi sendu
Poster kusam mimpi hari depan
Dan radio tua yang tak henti-henti
Menabuh genderang yang telah hilang
Semangat.

Ah, siluetmu
Yang bergoyang-goyang di tiup
Angin asmara.

Aku mencintaimu malam ini
Lebih dari apapun,
Bilang pada bulan
Jangan berhenti bersinar
Dan taburilah wajahnya
Banyak-banyak cahaya bintang.

Aku mencintaimu malam ini
Lebih dari apapun, sampai pintu bilik di ketuk.

(Batam, 17 Mei 09)
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
Noandy Feb 2016
Yang mengutarakan salam pagi ini
Hanya sesayat keheningan
Dari reruntuhan nafas yang tiap isapnya
Riuh dirundung rindu

Perhatikan,
Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung
Yang biasanya, tanpa kita sadari
Teralun lemas tiap pagi
Lembut tanpa gemericik

Kidung itu bisa jadi sudah keterlaluan
Bisa jadi ia terlalu sadis pada sepi tiap subuh.
Senandung itu, memang benar,
Sebatas bisikan-bisikan lantang
Yang gemar memuja sepi dengan memporak-porandakannya,
Yang gemar menghantui sunyi agar  terlelap sebelum terbit.

Mungkin,
kidung itu terlalu masokis
Bernyanyi sendiri tanpa ada yang
Peduli pada dendangnya yang kelewat mengusik
Dan kelewat menggoda, sehingga semua lebih memilih
Terlelap saja. Bukan berdansa.

Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung perih
Yang biasanya teralun malas tiap pagi
Menggerakkan setan-setan kecil
Untuk membutakan mata dan membuat tuli dalam sekejap.
Jangan berdansa.

Tak ada yang peduli, semua masih tertidur.
Dan itu bisa jadi salahmu sendiri.
Tapi tak apa, iblis masih menyayangimu
Dengan sangat manusiawi.

Lagipula, seperti pagi ini,
Kesunyian kembali bersila pada permadaninya
Ditemani kicauan mencibir burung rohani.

Selamat pagi,
Senyap.

Anda yakin tidak ingin bangun
Dan menanggapi kidung yang terus memanggil
Untuk berdansa setengah jiwa?
Subuh hanya datang seterbit sekali.
Tuhan hanya merindu lima kali sehari.
Dil ki kalam se kuch likhte hain aahat,
Bn chuke hain aap hamari aadat.

Aapki pyaari si muskurahat dekh jo sukoon milta,
Hamara masoom chehra bhi nanhi kali jaise khilta.

Saanso mein chupi har hayat hai aapki,
Jab aap hain saath sawar jayegi zindagi.

Do pal bhi nahi reh sakte aapke bin,
Raatein kat jaati taare gin gin.

Naam aapka pehchaan hai hamari,
Har dadhkan ki awaaz hai tumhari.

Hothon par muskurahat hai aapke naam ki,
Aapke khayalon mein uljhe raat se subah ** jaati.

Qubool ** gayi dua hamari,
Mil jo gayi humein chahat tumhari.

Nahi hai koi Chah ab hamari,
Jabse judi humse dadhkane tumhari.

Jazbaaton ka sagar hai gehra,
Dil mein hai humsafar ka basera.

Mohabbat ka rang aisa chhadhaya hai tumne,
Feeke lagne lage har rang iske saamne.

Jaane kis qadar imtehaan leta hai khuda,
Bs gujarish hai usse karna na kabhi juda.

Jab tak dadhkane chal rahi hain unki,
Zindagi ki har saanse hai sanam sir aapki.

Jahan mera humsafar **,
De dena jagah humko.

Har kadam par saath chalna piya mere,
Jeene ka shauk nahi ek pal bhi bin tere.

Har pal sirf aapko yaad hain karte,
Jaane kab mitange ye meelon ke faasle.

Saath nibhayenge har mod par aapka,
Tumhare andar paya humne khuda apna.

Shiddat se itna chahte hai tumhe,
Labzo mein baya nahi hum kar skte.

Aisa koi labz nahi jo is sacchi mohabbat ko sanjo le,
Mohabbat se kai upar hai ye mohabbat jisko koi naam na de .
Her monstrous tongue
spits fire

before her ire
the demon cowers

his limbs sloth
before her fiery wrath

by her annihilating eyes
no more can he rise.

Returns lull

*when she wears his skull!
Martin Bailes Mar 2017
So frightful beautiful harridan
your extended & startling tongue
red rapturous rolling eyes
dark, dark skin,

sword, sickle & trident
already stained,
dripping ...
& lapped by the dogs
at your Divine feet.

Around your neck
glazed eyed
silent,
threaded, beaded
blank faced,
your victims skulls,

surprised no doubt,
at your swiftness,
caught in mid-flight
in activities bold
& terrible.

Lieutenant William Calley,
Captain Ernest Medina,
Lieutenant Frank Barker,
So, so many from Charlie Company
guilty on that fateful day
in My Lai 4
South Vietnam
March 16
1968.
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
YUKTI Mar 2018
One more time raise your voice, my little girl
One more time hold the ***** hand approach you
One more time cut that tongue that gave you the names
One more time take the  avatar of empowered "Maha Kali"
One more time be UNSTOPPABLE
Igor Goldkind Mar 2019
Kali swirls her flaming dress,
Eyes flashing, she cracks open the sky above your head.
Kali beckons and seduces, then pulls you in,
Before devouring your mind.
With her insatiable, irresistible desire.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Bapak ... pada senja kali ini , entah mengapa aku ingin saja mengenangmu
kemarin ,aku melihat kau begitu parau ,gelegar suara tawa yg tdk lagi seriang dulu
Wajah keriput sudah tdk semulus dulu sewaktu muda .

Bahkan aku tidak pernah ingat kapan terakhir kali aku mencium keningmu ..
mencium tanganmu
Ya rabb , maafkan
Aridea P Sep 2012
Palembang, 5 September 2012

Aku melihatmu,
sama seperti waktu pertama kali aku melihatnya.
Bukan karena ketampananmu,
tetapi karena kamu seorang Lelaki.

Namun dia bukan kamu,,,
dan kamu bukanlah dirinya,,,

Tak pernah aku melihat jari-jemarinya,
seperti aku melihat jemarimu.
Bukan hazel green eyes dia juga yang kulihat,
melainkan hitam bola matamu.

Aku melihatmu,
dari kursi belakang bus.
Did you see me?
Aku turun dari bus dan menghampirimu.

Namun yang kulihat bukan senyumanmu,
karena kamu tak pernah tersenyum kepadaku.
Bukan senyumannya juga yang ku harapkan,
melainkan senyumanmu.
Sipaa Adriani Jun 2019
Rasanya tubuhku seperti ditikam jutaan kali
Ragaku,perlahan mati
Rasaku hancur tak bertepi
Dan kau si bajingan,yang ku dambakan
Yang selalu ku beri pujian
Yang detik ini masih pertahankan
Tapi malah membunuh ku secara perlahan

Aku benci hadirmu yang selalu membayangi diri
Disaat ku mulai melangkah kan kaki
Sejauh mungkin, melupakan kau
Dan rasa kita yang perlahan mati

Tolong,untuk kali ini
Jadilah bajingan yang sedikit punya rasa baik hati
Bantu sedikit aku memulihkan raga ini
Bantu aku sedikit percaya diri
Bahwa kau memang sudah sepantasnya tak di sisi
Pergilah jauh dan tak perlu lagi kau kembali disini

Rasaku sudah mati
Sejak kau memilih berlalu pergi
Aku benci
Tapi aku mencintai
Shrivastva MK Jun 2017
मेरे दर्द की दवा हो तुम,
रब से मांगी दुआ हो तुम,
दिल में छिपा है प्यार जो तेरे लिए,
होठों से निकली वो ज़ुबा हो तुम,

नजाने किस मिटटी की बनी हो तुम,
मुस्कान और प्यार की धनी हो तुम,
जो हमेशा यु ही खिला रहे,
ओ फूल की कली हो तुम,

मेरे होठों की मुस्कान हो तुम,
मेरे जिस्म की जान हो तुम,
मेरी खुशिया जिसमे बसती है,
खुशियो की वो जहाँ हो तुम,



Mere dard Ki dwa ** tum,
rab se mangi dua ** tum,
Dil me chhupa hai pyar Jo tere liye,
Othon se nikli Wo zuba ** tum,

Najane kis mitti se bani ** tum,
Muskan aur pyar Ki dhani ** tum,
Jo hamesha yuhi khila rahe,
Wo phool Ki Kali ** tum,

Mere hothon Ki muskan ** tum,
Mere **** Ki jaan ** tum,
Meri khushiya jisme basti hai,
khushiyo Ki wo jahan ** tum,

— The End —