Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
trolling souls*
so many trolling souls
trolling abides
in their shoe soles

trolling
morning and night
trolling
with oodles of might
trolling
for them is a highlight

trolling
lah, lah, lah
trolling
lah, lah, lah
trolling
lah, lah, lah

trolling
every which way
trolling
makes their dull day
trolling
the games they play

trolling
lah, lah, lah
trolling
lah, lah, lah
trolling
lah, lah, lah

trolling
ruining it for others
trolling
the sisters and brothers
trolling
palpably smothers

trolling souls
so many trolling souls
trolling abides
*in their shoe soles
Enjoy the link that's been provided.

https://youtu.be/jcF-1AoDO18
spysgrandson Sep 2012
I was...

encased in a silver humming tube
shooting through blue sky and soft clouds

the attendant (my daughter’s age) stood
thin knuckles gripping the seat in front of me
whiter than clouds zipping past the window
her doe eyes transfixed on the men
praying with each shallow breath
they would ask nothing of her

some spoke English, some gibberish
waving their razors in ominous dance
slicing the air that carried their words

a pilot at their feet,
a thin red trail, a single line
the only biography he had
written on the cabin carpet
between the cockpit and
where they stood
barking at us, punctuating their orders with prayer and praise
to some God I did not know

“Al lah, A lah…”
more threatening chants
“Allah, Al lah”
more—a shrill scream interrupted this dream
as one yanked an attendant to his side—more venomous words
flying at us like poisoned arrows
(but all of us too frozen to move as these flew through pressurized air)
“please” the only word she uttered before she froze
eternally in the arms of her ****** assassin

the lump in my throat fell, I leaned forward and others did too
(I never saw, but surely they did)
trying to think through the hateful haze
to younger days
how to disarm an assailant—they had to teach me that
I had to remember that—we did that for our beret
but I couldn’t reach back
not further than that morning
when I said good bye to my son

still (“Al lah, Ah lah”—ripping anger from their guts)
I thought, I can do something

the attendant beside me, tears now flowing from lost eyes
(whose smooth blond hair now even looked like my daughter’s)
backed up, her trembling hand brushing my shoulder
(did I think, the last human touch for her, for me?)
my hands grabbed her fingers and I squeezed them gently
(just as I had my own child when I left her side at the altar—
did I say the same words, “Be happy, you deserve it...I love you”)
she looked at me, raindrop tears now instead of fears
we smiled faintly as I pulled her to my seat and rose to my feet

outside the windows
gray square stones now filled the air
blocking the morning sky
where are the clouds I thought…
but only for a second
we
are
not
hostages
we are…going to…

I did not feel the cabin floor as I moved towards the miscreant crew
between me and the cockpit door
I was young, light and agile again, sailing at them
their words no longer calling for their god
but now they spoke in direct command,
nothing of some promised land, but
“STOP OR WE WILL…”
we will…what?
Could I have laughed at the irony…
or we will what?

another now with me, no older than my son
(and looked like he as well)
headed down the aisle
towards men now racing to meet us
four against two
but somehow I knew we would never meet

the lump was in my throat again, my clenched fists relaxed
my own teary eyes turned to the windows, away from the maddening screams
and between endless glass, steel, and stone
I got a glimpse of pure blue sky
last night CNN had a special about 9/11--reminded me of this narrative written on the 5th or 6th anniversary of the event
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Aridea P Nov 2011
Kau datang di saat ku menginginkanmu
Kau bagaikan menerangi hidupku
Ku tersenyum di setiap waktu
Ku selalu memikirkanmu

Kau menjauh entah mengapa
Ku tersadar bahwa ku yang memulainya
Kau tak sedetikpun berbicara
Ku hanya bisa menyesal

Ku mulai belajar tuk melupakanmu
Ku buka hati ini tuk yang lain
Namun tiba-tiba kau datang dengan sejuta kata
Entah apakah kau berpura-pura peduli pada ku

Kau menyentuh hidup ku, lagi
Kau buat aku menginginkanmu, lagi
Kau buat aku salah tingkah, lagi
Serasa tak ingin aku kehlangan mu, lagi

Kau membuat aku bersyukur pernah mengenal mu
Kau adalah hal terindah yang tak nyata yang pernah aku tahu
Kau adalah semua topik pembicaraan yang ku ceritakan
Kau adalah yang mengiringi perjalanan singkat hidup ku

Kau yang amat susah lepas dari ingatan ku
Kau yang menerangi hidup ku
Kau lah alasan aku tersenyum di setiap waktu
Kau lah yang ku harap hadir di mimpi ku

Kau...
Yang selalu aku harapkan hadir di sisi ku
Yang selalu membuatku ingin merasakan peluk mu
Yang ingin sekali mengecup bibir mu

Kau...
Yang selalu membuat aku gelisah
Yang membuat aku berusaha lebih baik
Yang membuat ku berusaha lebih pantas tuk dimiliki

Kau...
Tak pernah habis kata-kata untuk mu
Selalu ku puji dirimu
Ku ingin bisa mengatakan bahwa
Aku sangat mencintaimu

I LOVE YOU
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
The Precursor’s Psalms
Book Two
Chapters VI- X: Ragnarök

A sacred parcel to the soul who looks to ―raptured firmaments for their salvific benison. Se'lah.

VI: The Paean of Lovelight (The Paean of Lovelit Life)

1 Every particle in the soil of my epidermis roves for its emanation,
Its musicality, vibrating in pulsing fuchsia shockwaves,
This melodic energy is the Paean of Lovelit Life.
2 It reverberates the remittance in reminiscence;
yes, the Circle of Life breathes through the conduit,
it peregrinates
The ephemerality, even, the eternity in all entity.
(For in us exist dichotomies)

3 In a moment of self-revelation
I know naught but the vagary of the self;
still, the pain remains,
In the benighted truth of epiphany;
4 Yes, even,
Upon the Visage of Creation
All existence groans in groping
For its Nirvanic Pulse, ―like a wraith.

5 Finding meaning in all that I am,
all that I see, all there will be, and all that is,
I understand the fallacy in knowing, the bane in consciousness:
6 In an instant, one must forget

Page | 1

all they have learned, all they feel, all they sense,
in the diminution of a moment
lest the soul relinquish that which does seamlessly transmit itself through
The Streams of Tempus Fugit.

VII: The Virescent Masquerade

1 Forsake all sorrows of the morrow, for
Beneath the Masquerader’s Virescently Butterfly-Winged Mask, there is a beckoning;
2 O, even amidst foible for which you long to be assoiled, excogitations do roil;
A tremulous heart: eventualities do saunter past, present,
future, and in communing you examine the finitude & the frailty
(Will their Exodus, my Exodus,
Come before I am ready?)
Of those in the Land of the Living.

VIII: Hierarchy of Sacrality

1 Wisdom
Is a cosmos,
2 Love,
―Invictus Dei,
3 Power,
The Cradle of Cosmogenesis,
4 Justizia,
Universal Scales through which Edicts of the Cosmogonist unfurl.

IX: Vagrant Story

1 Profundities lie in our vagrancies,
And in these there lie Faiths;
The faithful hunger for
―Virtue
For through these, we find a Savior.  

Page | 2

2 Our Deiform-Apotheosis is ordained by of the Arbiter of Fates,
3 He Is Our Nexus to Transcendence,
The Empyrean whom carnal perdition hast braved


X: Nelumbo Nucifera (Sacred Lotus)

1 ―O, Jah,
The Sovereign of Songbirds,
Sing in the Key of Elysium,
The Requiem of Our Swansong;
2 Beseech the Earthen Womb
Of the Terraqueous Mother
To conceive us anew that
We partake of an elemental legacy.

3 O, then
Might we re-alight,
Upon an aforetime wearied land,
―Nelumbo Nucifera: The Impregnable Sacred Lotus
4 Whose aegis’d petals through
Dusk, Dawn, Midday, Twilight, and Eve
Might effloresce
In the Aeonic Light of The Empyrean One.

(Se’lah).

Written on
Monday
May 20th, 2019

Page | 3
The Book of 1st John
Chapter 3,
Verses 18 -24

(Verse 18)

“Little children, we should love, not in word or with the tongue, but in deed and truth.”

(Verse 19)

“By this we will know that we originate with the truth, and we will assure our hearts before him”

(Verse 20)

“regarding whatever our hearts may condemn us in, because God is greater than our hearts and knows all things.”

(Verse 21)

“Beloved ones, if our hearts do not condemn us, we have freeness of speech toward God;”

(Verse 22)

“and whatever we ask we receive from him, because we are observing his commandments and doing what is pleasing in his eyes.”

(Verse 23)

“Indeed, this is his commandment: that we have faith in the name of his Son Jesus Christ and love one another, just as he gave us a commandment.”

(Verse 24)

“Moreover, the one who observes his commandments remains in union with him, and he in union with such one. And by the spirit that he gave us, we know that he remains in union with us."

Page | 4

Hearken unto
the
Resplendent Sol,

The Twilight draweth nigh,
Whence erupts from Sundered skies
Arcadia
In
Aeonic Light

Let ye soul
Transcend
By
The Great Apothecary;
His Panacea of Healing Love.

Though
I am a Loveless
Blight, worn, of Earthly Denizens,
I bid you
Immortal heartsease.

Borne of the Father:
Who
forms
all
things.

Page | 5

Sired by the Son:
Who
Conceives
All
Truth.

Begotten by the Spirit:
That
Burgeons in
(our)
―dreams.

The Grand Creator's
Magnum Opera:
Loom
Within
All of us.


Excelsior Forevermore,


Sanders Maurice Foulke III.

Page | 6
Reece Dec 2013
hatasha hullah - dey
parablah nuh parrah
vey, okay, huttah, ulay
narralah, narrah, nutay

That interim between dreams and consciousness, that momentary lapse of reality
When slave children don't howl and the wild animals lay tamed in sun traps, weary

Your scattered thoughts betray reality
and you
question everything - now waking
Smiling chief, chirping loud
Your body gathered and prepared
under torchlight in dusty tents
Ingesting iboga and that old familiar numbness overpowers
You've been here for a life now, looking back on your life now
hatasha hullah - dey
vey, okay, huttah, ulay

Witch doctor, tribal medicine, fanning smoke from a wild fire
flashing imagery akin to memories of when life was decadent
you remember the taste of stray rain drops on your upper lip on muggy British summer days
and waking on a beach, bloodied as the sand at your feet is the next recollection, how powerful
the act of reflection, as you recall the mirrors of the sea and your torn body weakened and inept
The gathered village chant in unison and splinter groups fall off beat only to rejoin intermittently

Remember the Burmese boy far from home on the Gabon shoreline
and he informs you of your own death,
and asks you why do you breathe still?

hatasha hullah - dey
parablah nuh parrah
vey, okay, huttah, ulay
narralah, narrah, nutay
Oh laa, ley ley lahh ley lah
ley hatasha hullah - dey

On some beaten path lost in Angola you carried two packs, food for the world
but you fell starving and spluttered on the rock that looked like your home
Rebels run wild in jeeps black as night, your supplies strewn on rubble grounds
- hatasha hullah - dey
Taken in a flurry, twittering birds in far off trees betray your trust and fly away
in the opposite direction, and the juggernaut jeep catches air over uneven tracks
You were scared and crying under blindfolded eyes and captors jeered, captivated
- parablah nuh parrah
An orchestrated mass of military garbed children with rifles gather you abruptly
when the car stopped with a rumble
And tied to rusted rigs you're gagged and stripped, bloodied your face now
as they beat you and laugh
- vey, okay, huttah, ulay
Congolese giant man, sword in hand and grimacing through bared teeth
Making bold gestures and speaking some inscrutable language
You cannot answer and fear is now in control, you shiver in the ghastly draft
On failure to answer you must be beaten, your back is lashed, repeatedly
- narralah, narrah, nutay
You remain silent but cry in disparity, after shrieks of horror finally escape your barren lips
Through stinging eyes you assess the surroundings after hours of torture when they retire
to their leather beds of shame and innocence faltered, try and remember how to live
- Oh laa, ley ley lahh ley lah
Months must have passed, survive off insects and morning dew on the muddy floor
This African wasteland, time forgotten, child soldiers and lack of humanity is trivial
Always scheming, recollect the armament and through door-way shack trapped light
you see a clear path, and it is good
- ley hatasha hullah - dey
The pinnacle nightfall anticipated arrives, and your skinny wrists released now easily
(their faltering lack of knowledge and abundant braggadocio betray them)
AK laying in moonlight illumination, a sign of God perhaps, but experience proves otherwise
(How cruel the dreams you had of such a gift)
When they spot you leaving, the night lights up, wild crackle of gunfire, heart beats, tribal drums
(To massacre children, such proficiency, the dreams were mindful)
No lapse in concentration, you may ruminate on objective morality in due time
(Crawling through blood and bodies of children, so pure, cadavers tell lies)
The clearing ahead in giant trees, you run and don't look back, praying for no pursuit
(Another genocide committed by a white man, justified perhaps this once)
Weeks pass and you falter only to slurp rain water from Congolese sipping cups the leaves
(Blacking out somewhere in the Republic, or on a border or who cares, as you died long ago)
- vey, okay, huttah, ulay
  ley hatasha hullah - dey

To awake from hallucinogen dreams, and cruel memories linger, it's painful you agree
Witch doctor still sings, lonesome now as the tribe apply ointments and silently pray
The fire still dances to some incredible song and your scars redacted, physical and other
How incredible the mind feeling fuzzy and that insane dream is just that - a dream
You black out again, a common occurrence but upon waking you're free, no tribe exists
With a sheepskin rucksack full of cassava, plantains and sugarcane and cocoa beans
Months pass and you make it to the North, when you leave Africa your body is new
and your mind is stable, no lingering cognizance or frightful thoughts of a forgotten ordeal

You arrive in Turkey, to partake in ***** with nimble girls
and I see you floundering on silken sheets,
My memories were fresh as the nymph on your lap
I write to you a note, and you turn alabaster, moon faced being
I was there always and saw every moment
Your ideals on morality are hazy at best, and to your behest I detest all that you stand for
Is your afterlife so pure, now that bodies litter the forest floor
and do you believe that I am not (a) God
and is this mere poetry, or an indictment of your folly and a warning to all whom engage
but do you not also see that every reaction was an action taken to your original action
and when all is said and done, do you no realise that from the day you were born
you were born a God and that God was born dead
and this is just that interim between expiration and consciousness, that momentary lapse of reality
when slave children don't howl and the wild animals lay tamed in sun traps, weary

hatasha hullah - dey
parablah nuh parrah
vey, okay, huttah, ulay
narralah, narrah, nutay
hatasha hullah - dey
parablah nuh parrah
vey, okay, huttah, ulay
narralah, narrah, nutay
hatasha hullah - dey
parablah nuh parrah
vey, okay, huttah, ulay
narralah, narrah, nutay
Oh laa, ley ley lahh ley lah
ley hatasha hullah - dey
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
fatin May 2016
mana mungkin rindu aku terasa
jika diungkap dengan bait bahasa

sayang
dakaplah aku
rasakan rindu aku
kerna mana bisa ayat dan kata curah rasa ini
andai kau rasa perit dan pahit ini,
lepaskan lah.
biar aku bebas terokai dunia
tanpa rasa sekat dalam raga

aku penat
-menunggu sesuatu yang tidak pasti
dalam hal ini, adalah kamu

jalan yang dahulu kita lewati tengah malam kini kian sunyi
dulu, ada sahaja tawa kita kedengaran
entah
bukan aku tidak cuba untuk berhenti ada fikiran tentang kamu
tapi
bagai aku tersekat

sayang
andai kau rindu
andai kau rasa perit dan pahit ini
lepaskan lah aku

*agar aku bebas teroka dunia
Book One
(∞The Psalm of The Star Child∞)
The Precursor's Psalm I-V

To the Child of The Empyrean. For ye valleity stars shine.

(I) ―En Fortissimo

1 Tender with sentimentality,
I fathom you,
2 That you draw closer, nigh’ with every waking moment,
Closer to ensconce ‘twixt my embrace,
3 That your towering arms
May aegis these benighted bones.

4 The Vestibule of Our Souls shall be
Assoiled by an Arcadian Eternity,
5 Shall scintillate in my every blooded tear, shed garnetiferously,
―Upon my crucifix, our crucifix:
6 A penance, pardoning our transgressions prognostically
Before by romance, we touched erringly.

(Se'lah)

(II) Celestial Communion

1 O, Star Child,
May your beckoning
2 Sow the Seeds of Somnus upon the sanctimony
Festering in my faith,
3 (A besmirched hope)
Tarnished by my reverenc’d doubt.


4 O Minstrel of Manumission,
Will ye sing unto me ye SoulSong?
5 The Womb’d Aethers bleed,
The Terraqueous Mother conceives, Gaian a dream,
6 Her Luminous Brethren yearn
For the Arbiter of Fates.

(Se'lah)

(III) Song of Wishes

1 Velleity speaks,
It whispers,
2 In the twinkling of the stars.
When shall it end,
3 When
It has yet to begin?

4 Be still― and become one with all things,
As time fades, consciousness begins,
5 The Experiential Cascade:
All that was, all that is, & all that shall be,
6 Circular & Cycling,
Forevermore.

7 Know that there is a reason,
Know that there is a place,
8 Know that there is a person,
In this world for you.
9 Open up your heart and see,
All you were meant to see.

(Se'lah).

(IV) Spiritus de Tempus (Zeitgeist of the Future)

1 ―Blooming in Reminiscence
The Dreamscape glistens,
2 A Redolent Reverie wafts
The Tenuous Air amidst
3 Her Zephry'd Lightwaves
& Crystalline Pulsations.

4 Ardently I pine,
For thine visage, groping for a rhyme,
5 Whence I can gaze once more upon thine
Countenance sublime,
6 All desperations been defied,
For thee I reverberate Love, The Spirit of the Times.

(Se'lah)

(V) Bastion Heart

1 The agony in existentiality
Unravels undying piety
2 And
Cloistered in cadence of solitude,
3 I, the Somnolent One,
Am roused by The Heart’s Resonance.

4 In wanting, there is life,
In desirelessness, wanting still,
5 Know thine Power,
Indomitable Will:
6 The Couer & The Amour of the Spirit
Are immortal.

(Se'lah)
Let the
Light of the Stars
Illumine
The Stygian Shadows
Of Thine Heart
Until Fulminous with Hope.

       Enclaved within this text are the mystical writings. In gestalt, the holistic framework of this piece is known as the Precursor's Psalms. This particular piece is the Psalm of the Star Child which encompasses Chapters I-V of the Book of The Precursor's Psalms.
      
The narrative behind the Book of The Star Child is one of romance. I yearn for a soul with which to forge a connubial communion. Though the moment has yet to arrive, I await Eos's Dawn of Lovelit Life upon the Horizon of mine Mind's Sky.
      
       The conceptualization behind this body of works involves a 21st-century take on the book of Psalms. This is a segment of the ecclesiastical writings. I believe that art takes on the essence of sacrality whence utilized for edificational purposes. I yearn to propagate spiritual enlightenment and inspiration; therefore, I am forging my insignia upon the Parchment of the Ages.
      
       Hitherto, I’ve written without a clear sense of direction. Aforetime, I see poetry as a means of chronicling sentiments, thoughts, ideas, images, et al. through the personalized utilization of words, rhythm, and rhyme. I want the oppressed coals of my trials and tribulations to forge creative diamonds; moreover, I want my faith in the Sovereign of Songbirds to unveil Himself in the lovely bones of my work.
    
      My morning ritual consists of reading the Bible Book of The Psalms. Specifically, I read Psalms 1, 5, 15, 23, 25, 26, 27, 42, 51, 55, 91, and 119; therefore, it is quite apt to create a piece that resembles this poetic book in its ineffable magistry. It is my objective to encourage others to pen their sentiments. I write for the sake of the Poetic Posterity.
      
      Here lies the nascent phase of The Precursor's Psalms. Let the inspiration unfurl in a poetic paradigm. Let the Experiential Cascade weave a tale that carries the Burdened Anima unto the Peaks of Transcendence. From my heart to yours, may you effloresce in the Aeonic Light of The Empyrean One.

Excelsior Forevermore,

Sanders Maurice Foulke III
Lindsey Durbin Mar 2011
my words fall

clumsil
y

into the small of yr back
my sentences

break
and crack

i become
lost in
yr skeleton yr skin

the sinews
that connect you
collect words
that cannot be spoken
yet

broken words soaked in sweat
trail from my pores
my skin
silently begging
to seep in
to yr most vulnerable muscles
yr bed yr sheets

i forget how to speak
i trip
over dream words
over the gentle curves
of yr spine

i'm stalling time
dying to say
lah,
lah,
lah,
i'm losing my language
in the soft of yr skin

my lack of expression
is simply
you

****-ing

the breath from my lungs
and filling me
with awe
"lah,
lah,
lah"

the sweetest sounds
of our own
secret language
Dreams
Are euphony
Of thought,
Of heart,
Of body,
Of the splendid,
Of the soul,

(Unbinding our once
Spectral Fates
          That spiraled down
The Keys of Life
Tainted by
The Greatest of Dissonance)

My Redolent Reverie,
Sweetened by
Mellifluous Nectar Tides
Of cherished moments
Steeped for eons
In our
Carnal yearnings
Are made anew
By the Cosmogonist’s Hands
Of Eternity

(O, for I
Doth doven the skies,
That the Incendiary Wings
Of the Auburn Pheonix
Imbue me
With the Souls Acquisition
Of Golden Pinions
                      Of the Thew of Vitality).

Captive visions,
Slumber in
My Azure Dreamer’s Chest
Engraved with
The Insignia of Archaic Fates
Upon it’s
Starry Epidermis
Till skies fall
To the Terrene
And
The Luminaries
Shall rest
Betwixt
The palms of my hands

(O, for then
This Juggernaut of a Man
That I am
Shall Effloresce
Ceasing to be
     That Loveless Sentinel,
The Guardian over
The Bastion Heart
He fathoms
Impregnable)

.Ensorcelled Butterflies
Radiate
Lovelit Lavender Light
Upon that
Astral Parcel,
Lulling my weary eyes
By the
Sovereignty of Monarchial Wings
Vanquishing the doubts
Once blurring
My Kaleidoscopic Dreams
(Life’s Iridescent Seal
Branded upon
My forehead
And etherealizing
My exhalations
                    Till crystalline)

My sullied heart
Pulses shadowed winds
(The Sweeping Gales of Solemnity)
Without the
Blissful Kiss of Cadence
Resonating an
Ebony surge
Deeper,
Than first octave tonality
Of abyssal timbre.

I beseech you,
Unfurl those forested eyes
My Desiderata Materialista,
That I may
Drinketh of your
Emerald Streams,
Ineffably Pristine.

(For then
I shall be
Spirited away
      To Eden,
My existence
     Shall become
Nirvanic Transcendence)

To pine is a pang,
To envisage
Is to breath.

Perhaps that
Is the only solace
My feeble soul
Can bear,
Without you.

By your alabaster skin
Vein my eyes
With luminescence.

With your tender caress
Saunter my
Voracious skin.

Weave my Chrysalis,
By your
Susurrant voice.

Cocoon me
In your
Flawless serenade,
That I metamorphose
Bearing the
Sacrosanct Wings of Phantasmagoria
And
The Melisma of Your Piety.

Pearlescent blood
Floweth within me,
Like baptismal rain,
As I muse
When you alight
Once more
In my Cosmos.

I am yours,
Floral Fallal.

~Our fears are the burdens
    Of the Vestige of the Past,
      A hollow cry
       That fights to exist
         In a zeitgeist
           That flowers
              Quicker than
                Our hearts know how to beat.
                          
                     Unfurl your Gates
                           To the Arbiter of Fates,
                              Unearth the Hallowed Crystals
                                 Of your Garnetiferous Passion
                                    That takes shape
                                        Because you…

                               O, Stalwart Knight,
                                    You were cosmic
                                         Like myriad raindrops,
                                           Mystic echoes
                                              Emancipating­ your spirit
                                                 From the trepidation
                                                     ­    Of the mortal kind.

                                                   Evolve,                                            
                                Evanesce,                       ­   
                                                  For to be Ephemeral                      
                                 ­                Means to conquer                                  
That Magisterial Oblivion.
                                                       ­     Se’lah.~
Hey guys! I've been doing a great deal of experimenting with my writing as of late. This piece is an embodiment of all the introspection, musings, tribulations, and heartbreaks I have experienced as of late. I hope you all can appreciate this piece despite the quasi-obscurant references that I present bereft of explicit detail.

The core of this piece lies in the fundamental nature of our dreams, yearnings, and aspirations (as well as the shadows born of the loveless blight). It effloresced it something much greater as I continued to refine it. Hope you guys like! God bless!
Aridea P Jan 2012
Palembang, Jumat 13 Januari 2012

Dia tidak mengenalku
Karena dia tinggal sangat jauh
Tetapi aku mengenalnya
Karena dia selalu muncul di televisi

Aku selalu tersenyum ketika menonton dia di televisi
Aku terpesona akan Moon Walk nya
Dan aku menangis ketika mengetahui bahwa dia t’lah tiada

Lagunya selalu terdengar di telingaku
Dia sangat fenomenal
Aku ingin bertemu dia, tetapi aku tak bisa
Ku harap dia akan datang menemuiku, malam ini
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu 18 Mei 2008


Dulu diary ku indah
Sekarang telah ku ubah
Tapi, saat gagal bertemu kau
Ku satukan diary yang terpisah
Sebagai bukti dariku
Yang kan ku berikan untukmu
Agar kau tau
Seberapa besar  cintaku
Kasih ku t’lah tercurah
Berdetik-detik, berjam-jam
Bahkan berhari-hari lamanya
Semoga dapat kau terima
Meski terluka akhirnya
Biar ku pergi saja
Lupakan kenangan indah
Dan yang paling menyakitkan
Tapi, takkan ku biarkan
Diary ku berubah indahnya
Gabriel Bonney Sep 2019
Tower of Silence - Track 7

Verse 1
Once again, I’ve found myself up against a wall
Play pretend, I hear voices linger down the hall
I know, because I’ve done it all before
I don’t feel like doing this anymore
I don’t want to trouble you when the sun sets
I won’t show you all my pieces
I refuse to give you all my troubles
I neglect to let loose to all my demons

Pre-Chorus
Can you hear the voice inside me?
Do you know what my art means?
It’s calling out a cry, showing you my seams
Can you sense what my tongue claims?
Do you feel what I’m trying to say?
It calls you by name, asking you to stay

Chorus
I am a ghost
Transparent to those who get too close
Haunted by the ones I love the most
I’ll transmute on the low
That way they won’t know
And if it’s making me seem low
I am a ghost

Verse 2
All these people, they are real
All these questions, they’re sincere
All these voices, they’re for-real
And I will try, to let your words pass me by
Please ignore me when I say I’m fine
So I’ll ignore you still
On what I’d rather ****
Regardless, I don’t know how I could have fought this
Honest, I’d been even deeper down in the darkness
If it wasn’t for this art, God gave me as a start
But I am haunted still
All these voices, they’re for-real
When I write I begin to fear
At the sight of what is really here
I write some things and it seems so worthless
I say something and it feels so wordless
Maybe that’s the purpose
Memories formless, deep thought verses
Thinking comes to surface
Writing to plead something, rhyming but I say nothing
I have not forgot—You are all I got
Just trying to make it all stop
So before you go, don’t walk away
Listen for what I have to say
Deeper than this art or talent
A different dialect I can’t unpack
Eventually I will have lines to offer you
But you must stay—be here for what I’m going through
Stay by my side and give me time
My head is dead and decayed but I’ll be okay

Pre-Chorus
Can you hear the voice inside me?
Do you know what my art means?
It’s calling out a cry, showing you my seams
Can you sense what my tongue claims?
Do you feel what I’m trying to say?
It calls you by name, asking you to stay

Chorus
I am a ghost
Transparent to those who get too close
Haunted by the ones I love the most
I’ll transmute on the low
That way they won’t know
And if it’s making me seem low
I am a ghost

Verse 3
I’m driving inside my mind, and I’m driving kinda sideways
A runaway, but I don’t feel free
Relying on the highway—why can’t it be my way?
Swerving over the yellow lines
Give me some times to speak my mind
It’s stout to let it all out
So maybe my words are just drought
I know you’re worried for me and what I find
My head’s not right but I’ll be fine
I promise you I’ll come home some time
But in the meantime, listen for my cry
No, you don’t have to keep me down from ledges
Or steal from me razor blades and shoe laces
But prop you door open with wooden wedges
For when I enter into these dark places
For long enough I’ve tended to a heatless fire
Scared of labels they press to uninspire
Tried to convince me this gloom was nothing
Then you’d think I’m demented or something
But at the same time my aloneness was hyped
Making me think I was of the insane type
But it’s nice to hear my words filter in you
Otherwise I don’t know how I’d make it through

Outro
I know it can be hard
Don’t go in alone
Don’t think you have to be tough
Let your cover be shone
Your oxygen’s running low
Let our cover be blown
And steak out the window

Together we’re singing
Lah-lah-lah
Lah-lah-lah
Lah-lah-lah
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Selasa 3 Februari 2009

Tahun baru t'lah berlalu
Tak ada rasa senang sedikitpun di hati ku
Terasa sedih awal kehancuran
Yang kan menimpa awal hidupku

Bulan pertama t'lah berlalu
Terlihat kesibukan dalam hidupku
Hingga ku lupakan kewajibanku
Amarah pun datang dari Ibu

Ku merasa bersalah..
Tapi... Tak terasa ada salah
Bulan ini penuh derita
Februari sumber derita

Ku harap di esok kelak
Ku bisa terlepas dari derita
Ku tak ingin menderita
Ku rela awal ini saja menderita


Created by. AP
Elle Sang Dec 2015
Gadis itu pulang dengan kepingan jiwanya
Berusaha untuk menahan segala rasa sakit
Semua ia simpan rapat-rapat walau tersirat dari matanya
Ia menghempaskan badan diatas tempat tidur
Sambil sesekali memijat keningnya, berharap rasa sakit tak akan hinggap kesana.

Lalu ia berusaha tak mengingat-ingat semuanya
Berharap entah bagaimana caranya agar ia mematikan perasaannya
Dalam hati ia bertanya "kapan terakhir kali kau bahagia?"
Tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan itu
Ia hanya menatap langit-langit kamar  sambil tersenyum pahit.

"Yah, begitulah realita hidupmu. Tersiksa karena jatuh berkali-kali untuk orang yang salah"
Otaknya berbicara pada hati yang masih kukuh membela perasaan yang ia punya
Ia tak bisa lagi menampik bahwa kepala dan hatinya setelah ini tak akan pernah ada di kubu yang sama
Karena kelalaian hatinya lah ia berada disini sehingga logika menghukum hati itu, menutup pintunya rapat-rapat dan menenggelamkan kuncinya kedalam samudera pemikirannya.

Suara hujan mengiringi gadis itu
Tak terasa satu demi satu tetes air mata mengalir
Ia hanya bisa memejamkan mata dan berkata
"Aku sudah tak punya hati lagi"
Aridea P Oct 2011
Jakarta
Senin 7 Mei 2007


Suatu ketika tak sengaja
Aku terbayang seseorang
Yang indah dengan senyuman

Sejak itu pun
Aku mulai menulis kata-kata
Dan aku rangkai
Sehingga menjadi kalimat-kalimat yang indah

Itulah puisi yang akan kupersembahkan
Hanya untuk dirinya
Di suatu tempat terindah di langit sana

Betapa senangnya hati ku
T’lah ku sampaikan isi hati ku
Lewat puisi yang  indah
Yang tak pernah ku lupakan sepanjang waktu
Aridea P Oct 2011
Jumat, 13 Agustus 2010


Sekarang aku makin dewasa
Bapak... Mamak... Aku...
Anakmu kini 15 tahun
Ya Allah Terima Kasih atas Rahmat-Mu

Bapak, maaf bila esok ku tak berguna
Mamak, maaf bila esok ku gagal
Ya Allah, ampuni Hamba
Semakin dewasa, semakin ku berdosa

Tak sanggup aku melawan rasa itu
Aku telah bercinta...
Bercinta dengan nya
Ku tahu dia tak pernah di sini
Tuhan... Tuntunlah aku pada-Mu
Aku merasa hina di hadapan-Mu
Aku merasa hina di belakang orang tua ku
Ampuni Hamba Ya Allah...

Ku tahu t'lah berdosa
Oh Tuhan, Aku bercinta dengannya di dalam khayal


Creates by. Aridea .P
Aridea P Oct 2011
Malam larut tak ku rasa kini

Hanya duduk merenungi sepi

Aku pun berdiri

Mendekati cermin di dekat ku

T'lah ku lihat kini

Bayang lain pengkejut hati

Namun, tak kuasa ku tahan tangis

Ingat-ingatmimpi yang lalu

Bintang-bintang kabur berkejaran

Bulan pun tak lagi berjanji pada ku

Untuk selalu menyinari aku

Malam larut hilang berganti pagi

Menusuk raga saat raga menyinari

Membunuh jiwa saat tak lagi kini

Ku rasakan malam yang hening

Di mana ku selalu teringat Belahan Jiwa

Yang dulu slalu mengiasi malam

Created by,

Aridea Purple
Aridea P Feb 2012
Jakarta, 28 Mei 2009

Suatu malam aku gelisah
Menunggunya tuk hadir di sini
Dia yang sangat ku cinta
Pangeran dari Kerajaan Inggris

Ya Tuhan
Maafkanlah aku
Aku t’lah mencintai orang yang salah
Tolong bangunkan aku

Aku diam seribu bahasa
Aku menangis, “Aku hanya bermimpi!”

Lalu ku lihat seorang pria
Berdiri di depanku
“Ya Tuhan, aku bermimpi lagi”
Dia menyentuh tanganku

Sekali lagi...
“Ya Tuhan, ini nyata!”

Aku memeluknya
Dan kemudian aku benar-benar sadar
Inilah kenyataannya
Pangeran dari Kerajaan Inggris
Gloria Mar 2015
"Mudahnya buat janji, semudah ingkar janji"

Ke utara, selatan
kau ikut
kata kau, asal ada aku ada kau.

Ada waktu
naluri wanitaku meragui
setiap kata yang menari
di belahan mulutmu.

Namun
apalah daya kerak nasi
berlawan dengan air.

Dan saat aku
membuka seluas-luasnya pintu
kau jadi penghuni
setia
untuk sementara.

Sehingga tiba satu ketika
langkah kakimu dihayun
menapak keluar
dari ruang yang kau huni ini

Ingatlah
bukan aku yang menjemput kau
menghuni ruang ini
dan bukan aku juga lah
yang menghambat kau pergi.
Aridea P Oct 2011
Segenap usia t'lah ku pegang. Namun, akankah telepas? Usia akhir hampirkah dekat. Apakah raga akan terbunuh?

Cintaku belum tergapai. Bisik hasut baik, terngiang di telinga. menyerukan kata indah tentang cinta. Agar ku tak merasa terikat usia.

Belum lama ku cicipi dunia. Akankah kandas bagai tergilas. Tiupan angin menjadi puing. Terbakar api menjadi debu.

Nyawa kini menjadi asap. Tak berguna tanpa cinta. Menangis haru karena suara indah. Dan tersenyum bahagia bermimpi cinta.

Created by. Aridea Purple
Joseph Sinclair Feb 2015
Poorly equipped,
Painfully whipped.
A threadbare Abyssinian
Did shuffle on
With all hope gone
In search of an opinion

But much deplored
When not ignored
This abject Abyssinian
Did seek in vain
Something arcane
To exercise dominion

And as he sought,
So lost in thought,
Through sands of Kalahari
He wondered how
He might avow
The freedom held so dearly

It struck at last
With trumpet blast
Amidst fields green with barley,
He boldly rode
And proudly crowed
The statement: “I am Charlie.”
A parody of Edgar Allan Poe's Eldorado.

— The End —