Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Safana Jan 2022
Kallo ya koma can sama
Kowa ya gaza kaiwa sama
Iska a wajen tayi sama
Yaro da kudi yaje sama
Kato ba kudi ya bar sama
Kyawun yan mata ne sama
Saurayi da kudi shine sama
Kai wannan karni ya hau sama
Wai kowa a kasa sai yaje sama
**** ko na saman zai can sama
Burin talakawa su hau sama
Mai kudi haka zai kara sama
Sojan baka zai so yayi sama
Dan siyasar banga, **** ma sama
Yan siyasa, kowa  muje sama
Masu mulki burin su suje sama
Sun manta Allah ne yayi sama
Da abin da yake sama can sama
Ya mallaki komai a cikin sama
Har ikon da yake kasa da sama
In yace komai yayi sama zai sama
In yace kowa yayi sama zai sama
A cikin ikon sa da ke sama
Success is from Allah (God), there must be rich and poor people from the beginning of the life to its end. No one uplifting himself but nature gives him ability to get uplifted as no one gave himself right to live and destiny to dead.

May we be uplifted righteousness without hurting any living thing on this earth.
ayu rinanda Apr 2012
Gua sama sekali gak maksudbuat ngejelekin, ngejatuhin cowo gua yang sekarang 

gua punya cerita yang mungkin lu semua pernah ngadapin dengan kejadia yang sama

gua punya cowo, asli gua sayang banget sama dia, gua pengen ngebahagia in dia kayak gua pengen ngebahagian keluarga gua. Tapi, ada banyak hal yang selalu buat gua ragu sama dia.
1. dia gak pernah sms ato nelponin gua duluan alesan tidur.
2. gak pernah bilang sayang sama gua, kecuali waktu nembak
3. kalo di ajakin alesan nya segudang, mungkin penuh kali tu gudang 
pasti lu semua punya pikiran kalo dia Cuma mainin gua, ato pun gak sayang sama gua?

tapi biarpun dia kayak gitu, gak tau kenapa gua tetep aja sayang. Gua ikut aturan dia, gua ikut apa maunuya dia. Pokoknya semua maunya dia gua jabanin deh 
karena ada satu hal di diri dia yang sulit banget gua lupain selama ini adalah KENYAMANAN kalo dideket dia.
Padahal yah, gua punya seseorang yang jelas.jelas sayang sa,ma gua, bias ngasih apa aja yang gua mau, yang bias ngebahagia in gua dengan semua hal yang dia punya, dia adalah mantan gua yang pacaran sama gua 2 tahun lebih.
gua udah banyak ngelewatin hari sama dia, susah maupun senang, dia mungkin satu.satu cowo yang paling ngerti siapa gua.
cowo yang paling care sama gua, pokok nya cowo yang paling sempurna deh dia 
meskipun kayak gitu tetep aja gua gak bisa boongin ati mgua sendiri, pacaran sama dia tapi inget orang lain buat apa coba?
lagian gua harus nurut apa kata orang tua gua gak boleh pacaran sama dia, toh gua gak bias ngelawan.

buat kamu cowo yang jadi pacar aku : please donk sayang, jangan cuek sama aku.
jangan suka banyak alesan, aku tuh sayang banget sama kamu.
coba deh kamu yang ngertiin aku sekali.kali jangan akunya terus donk 

buat kamu cowo yang aku sakitin : maapin aku udah nyakitin kaamu, semoga diluar sana kamu bakal ketemu cewe yang syang banget sama kamu.
maapin aku 

#sekarang gua Cuma pengen satu hal yaitu lepas dari kedua.duanya.
gua mau orang baaru, tapi gua takut tuk memulai itu semua 
sangat.sangat btakut
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Jo Organiza Mar 2021
Tam-is niyang paghiyom ang nagahatag kanako’g
kalagsik hangtud sa kahangturan.    


Gahum! O Gahum! Nga dalagita sama sa nagbagang kalayo sa kabatan-onan    
‘Di mapalong kon agi-an man sa mug-ot nga panganod o uwan,    
Sama sa usa ka punoan, aduna siyay gibarugan,    
‘Di matarog ug matangtang bisan igka pila mo pang tayhupan,    
Kini jud mga dalagita, kusog magpapitik sa dughan    
Ma-anaa man sa luyo o sa atbang, mahutdan gayod ka’g hangin bisag wala gadagan    
Ug in-ani ka-cool ang nag-inusarang dalagita nga akong gipanguyaban.    


Sa mga pulong nga akong gihandum sa kagabhi-ong itum  
Sama sa mga words nga akong gihandum, aduna kini gahum     
Words ug mga pulong, mabutang man sa taas o sa silong, kini tanan kay akong sagolon    
Mag-iningles man o sa ma-bisaya, gugma lang sa gahum nga babae akong maangkon      
She is undeniably adorable murag, life in cotton      
Babaeng angayan bisag unsa pa iyang sul-oton     
Kay aduna siyay own things nga maka-empower sa iyang kaugalingon.    




She’s an epitome of an empowered woman that looks at you with unbothered recognition;    
Like a walking sculpture beyond the measure of imagination and description.    
Her mind is filled with wonders, and her heart is a slate;    
born to be herself and not to solely procreate    
A capable woman that hits like a note    
A note that is enough to float your melodic boat    
One that accepts you even if you look like a goat.    


Sa nagtuyok-tuyok na mga pulong na gipuga sa akong utok    
Anaa pa sa akong mind, ug ni-retain, ang pahigugma niyang pagtutok,    
Aduna puy times nga musuol ang iyang katok,    
Pero bisag unsa kagahi ang iyahang dughan, naa juy times nga kini kay humok    
Samot na sa times nga ako maghinuktok    
samtang ikaw nalunod sa tam-is **** paghinanok    
Paghigugma ko kanimo sama sa usa ka ubo, kusog muugbok.    


Sama sa usa ka lyrics sa usa ka song,    
Di malipong ug paminaw sa naglatagaw kong mga pulong    
Ako mubalik ug Iningles para ikaw na naminaw;    
makakita pa ug preskong  silaw sa adlaw.    
Aduna napud ko pabalik, padulong na mag-iningles ug balik    
Sa hunahuna ako nalumos, pero dughan ko pa kay abtik    
Samot na ug ikaw ang mutunga, mupadayon kini ug pitik.    



An empowered woman, An empowered woman!    
Balak kong gitagik, kunus-a paman ni mahuman,    
Ay, ‘way kurat! Padulong nani sa katapusan,    
So fret not and relax! Higopi sa ug kape kay naa nata dapit sa katapusan    
To sum it all up, she is an empowered woman    
She is someone that believes nga aduna siyay padulngan.    
‘Di matarog bisag igka pila mo pa ihuyog.
Balak- A Bisaya Poem.
Twitter: @drunk_rakista
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Filomena Mar 2023
sina wile ike e mi la mi kama sama.
sina wile utala e mi la mi kama sama.
sina wile pakala e mi la mi kama sama.

mi jan utala ala.
pakala li jaki tawa mi.
mi wile taso pona e sina.
o pona taso e mi.

sina wile pona e mi la mi kama sama.
sina wile musi e mi la mi kama sama.
sina wile wawa e mi la mi kama sama.

mi jo e olin suli.
mi wile pana e musi kalama.
mi wile wawa e pilin mute.
sina o pali sama.

/////

Do you want to do me ill? I become likewise.
Do you want to fight with me? I become likewise.
Do you want to injure me? I become likewise.

I am not a fighter.
Injury is sickening to me.
I'm only wanting good for you,
So please be good to me.

Do you want to help me out? I become likewise.
Do you want to make me smile? I become likewise.
Do you want to give me strength? I become likewise.

I aim to have the greatest love.
I want to foster joy and laughter.
I wish to strengthen the hearts of all.
Why not follow after?
Eugene Mar 2018
Tag-araw na naman at tuwing sasapit ang buwan ng Marso, Abril at Mayo ay malimit pumunta sa isang hindi pamilyar na lugar ang magkakabarkadang sina Potsi, Tapsi, at Seksi.

Ang pagpunta sa baybayin o beach ay nakagawian na nilang gawin taon-taon. Ito rin ang kani-kanilang paraan upang pansamantalang makalayo sa napaka-abalang lugar sa Kamaynilaan.

"Pots, Sek, saan naman ang destinasyon natin ngayong taon? Malapit na ang holy week. Kaya dapat mayroon na tayong napagkasunduan," tanong ni Tapsi.

Tapsi ang palayaw na binigay sa kaniya ng kaniyang magulang dahil paborito niya ang pagkain ng iba't ibang uri ng tapa na may sinangag. Ang totoo niyang pangalan ay Mateo Paulo Sibucay.

Dahil dalawa lang naman silang lalaki, siya ang may pinakaguwapong mukha maliban na lamang kay Seksi na maganda dahil babae ito. Itinuturing din siyang hunk sa kanilang kompanya sa matikas na pangangatawan nito kahit hindi naman siya pumupunta sa gym.

"Perfect ang Laiya, Taps, Pots! Ano agree kayo?" namumungay ang mga mata ni Seksi nang sagutin nito ang tanong ni Tapsi.

Si Seksi, gaya ng palayaw niya ay kakikitaan naman ito ng kakaibang kaseksihan sa katawan. Malakas man itong lumamon ay hindi naman ito tumataba. Mahilig siya sa mga matatamis at paborito niya ang pagkain ng iba't ibang uri ng keyk. Ang tunay naman niyang pangalan ay Katarina Sek Javellana.

"Basta may mabibilhan ng pagkain kapag nagutom ako, okay na okay sa akin ang lugar, Taps at Sek," sagot naman ni Potsi habang may hawak-hawak na dalawang jolly hotdog sa kaniyang mga kamay.

Kulang na lamang ay mabilaukan ito dahil panay ang lamon nang lamon nito kahit may nginunguya pa sa bunganga. Siya ang mataba sa kanila pero ayaw niyang tinatawag niyang tawaging mataba. Mas gusto niya ang salitang chubby dahil cute daw ito sa pandinig niya. Ang tunay naman niyang pangalan ay Pocholo Travis Sigalado.

"Nakakahiya ka talaga, Potsi. Mabilaukan ka oy!" wika ni Tapsi.

"Heto, tissue o! Sahurin mo ang mga nahuhulog. Sayang din iyang pagkain. Alalahanin mo na maraming mga bata ang nagugutom sa kalsada," sabay abot naman ng tissue ni Seksi kay Potsi.

"Kaya nga sinisimot ko ang pagkain kasi sayang 'di ba?" ngunguso-ngusong sagot ni Potsi habang nagpapatuloy sa pagnguya sa kaniyang kinakain.

"Saan ba ang Laiya, Sek?" ani Tapsi.

"Sa Batangas lang naman siya. Mga isa't kalahati hanggang dalawang oras ang biyahe mula sa Maynila. Set na natin?" nakangiting sagot naman ni Sek habang ang dalawang hinlalaki ay naka-senyas ng aprub.

"Sa Black Saturday tayo pumunta para madami tayong makikitang mga tanawin!" gulat naman ang dalawa sa sinabi ni Potsi at pansamantala pang nagkatitigan sina Sek at Tapsi. Pagkatapos no'n ay nagsipagtawanan sila.

"Agree ako diyan sa Sabado de Gloria. Teka, 'di ba sa susunod na linggo na iyon?" ani Tapsi.

"Okay lang iyon, handa na rin naman tayo palagi e. Kaya walang problema. Sasakyan ko na lang ang gagamitin natin para makatipid tayo sa gasolina," si Potsi na ang sumagot matapos uminom ng mountain dew.

Tumango na lamang ang dalawa dahil alam naman nilang sa kanilang tatlo ay si Potsi ang laging handa. Minsan nga ay si Potsi na ang taya sa kanilang summer outing taon-taon e.

"At kung may problema kayo sa budget, ako na rin ang bahala ha? He-he," tatawa-tawang sabi ni Potsi na ikinatawa na rin naman ng dalawa.

"Maasahan ka talaga, Potsi! Gusto mo order pa kami ng pagkain sa iyo?"

Masayang nagtatawanan ang magbarkada sa Jollibee nang mga oras na iyon dahil sa kaibigan nilang si Potsi. Pare-pareho na rin naman silang may mga trabaho. Kaya wala nang problema sa kanila ang pera.

#TravelFriendsGoals ang motto nilang tatlo. Si Tapsi ay isang Real Estate Broker agent habang si Seksi naman ay isang Fashion Model at si Potsi ay isang Food Blogger. Lahat sila ay iisa ang hilig--ang maglakbay at libutin ang mga natatagong lugar sa Pilipinas.

*

Lumipas ang isang linggo, araw ng Sabado ay maagang umalis mula sa Quezon City ang magkakaibigan. Gamit ang sasakyan ni Potsi na Toyota Revo ay bumiyahe na sila. Si Potsi ang nagmamaneho, si Seksi naman ang tumitingin sa mapang dala niya habang si Tapsi ay panay ang kuha ng litrato sa sarili sa likuran ng sasakyan.

"Hindi ka ba nagsasawa sa mukha mo, Taps? Guwapong-guwapo ka sa sarili a!" tanong ni Potsi habang tumitingin-tingin sa rear-view mirror ng sasakyan. Nginitian na lamang siya ni Tapsi.

"Hayaan mo na 'yang broker nating kaibigan. Alam mo namang siya lang ang may magandang mukha sa inyong dalawa. Ha-ha," asar ni Sek kay Potsi.

"Anong guwapo? E kung pumayat ako 'di hamak na mas may hitsura ako kay Taps!" depensa naman ni Potsi.

"Oo na, Pots. Mas guwapo ka naman sa akin ng kalahating paligo lang naman kapag pumayat ka 'di ba? Bakit kasi ayaw mo akong samahan sa gym para makapag-work-out ka na rin at mabawasan ang bilbil mo?" ani Tapsi kay Potsi.

"Gusto mo ibaba kita sa gitna ng kalsada, Taps? At saka, hindi ko na kailangan mag-gym. Food is life. Enjoy life, enjoy goya sabi ng commercial ni Kim Chiu," naiinis na nagpapatwang sagot naman ni Potsi habang nakatuon pa rin ang atensiyon sa kalsada. Lihim na lamang na natawa si Seksi sa dalawang kaibigan.

"Ikaw naman, hindi na mabiro. Alam mo namang love kita e lalo na nang malaman kong love mo abs ko! Ha-ha," pang-aalaska na naman ni Tapsi.

"Mukha mo! Mas marami akong abs sa iyo, tabs nga lang at malalaki pa! Ha-ha," napuno na naman ng tawanan ang loob ng sasakyan. Asaran kung asaran. Iyan ang nakasanayan na nila.

Lumipas ang isang oras na biyahe ay nakatulog na sina Tapsi at Seksi habang si Potsi ay gising na gising ang diwa dahil habang nagmamaneho ay panay ang dukot nito sa baon niyang mga pagkain malapit sa kaniya.

Dumaan pa ang isang oras ay napansin ni Potsi na parang may mali sa direksyong tinatahak nila. Agad niyang kinuha ang mapang dala ni Seksi at tiningnan ito. Dahil hindi niya kabisado ang nakapaloob sa mapa, ginising na lamang niya si Seksi.

"Sek! Sek! SEEKKK!" tulog-mantika ang babae, kaya sumigaw na lamang si Potsi na ikinagulat din ni Tapsi sa back seat.

"Sorry. Naliligaw yata tayo. Tingnan mo ang mapa, Sek," agad namang tiningnan ni Seksi ang mapa at sinipat-sipat ang kinaroroonan nila.

"Ihinto mo nga ang sasakyan muna, Pots," sinunod naman nito si Sek at pansamantalang itinigil ang sasakyan.

"Ano, naliligaw na ba tayo, Sek?" binali-baligtad pa ni Seksi ang mapa para lang siguraduhing tama ang tinatahak nilang lugar patungo sa isang sikat na resort sa Laiya, Batangas. Ngunit, may napansin siyang kakaiba.

"Nasa Laiya na nga tayo, guys pero bakit tila napadpad tayo sa isang gubat na ito?" lahat ay napatingin sa itinuro ni Seksi sa mapa at binasa ang nakasulat doon.

"Satur-Death? Ano iyan? Hindi mo ba nakita ang lugar na iyan diyan sa mapa, Sek?" tila may kung anong kakaibang simoy ng hangin naman ang dumampi sa mga balat ng magkakaibigan ng mga oras na iyon matapos sambitin ang katagang Satur-death.

"Patingin nga? Kinilabutan ako sa pangalan e. Satur-death, tunog saturday o sabado tapos may death? Kamatayan? E 'di ba sabado ngayon? Don't tell me may mangyayaring hindi maganda sa atin?" sabay-sabay na nagkatinginan ang tatlo habang nakatigil ang sasakyan sa gitna ng kalsada na hindi pamilyar na lugar. Tahimik ang lugar na iyon at ni busina, tunog o mga sasakyan ay wala kang maririnig o makikitang napapadaan.  

"Ang mabuti pa, bumalik na lang tayo sa kung saan tayo kanina nanggagaling. Baka mali lang talaga ang napasukan natin. Baka shortcut lang ito, guys," nagtatapang-tapangang wika ni Seksi.

"Ang sabi sa pamahiin, kapag naligaw daw tayo, hubarin natin ang mga damit natin," nagpapatawang wika ni Potsi.

"Anong hubarin? Baka ang ibig **** sabihin, baligtarin!" pagkaklaro ni Tapsi.

"Pareho lang naman silang may 'rin' sa dulo e," dagdag pa ni Potsi. Napailing na lamang sina Tapsi at Seksi at naghubad na lamang upang baligtarin ang kanilang damit.

Matapos baligtarin ang damit ay pinaandar na ni Potsi ang sasakyan. Dahan-dahan na lamang niya itong minamaneho upang makabisado ang kalsadang kanilang tinatahak.

Tatlumpung minuto na ang nakalilipas nang matagpuan nila ang isang karatula sa gilid ng kalasda na nakadikit sa isang puno.

"THIS WAY TO LAIYA!"

Agad na nabuhayan ng loob ang magkakaibigan dahil sa nakitang sign board na nang tingnan nila sa mapa ay nakaukit naman iyon.

"Deretso na lang tayo, Potsi at mararating na natin ang mismong resort sa Laiya," iyan na lamang ang nasabi ni Seksi nang mga oras na iyon.

Nang malampasan nila ang karatula ay bigla na lang naging makulimlim ang kalangitan at biglang bumuhos ang ulan. At hindi nila inasahan ang isang palasong bumutas sa kaliwang gulong ng sinasakyan nilang Toyota Revo.

Gulat na gulat ang mukha ng magkakaibigan nang biglang gumewang-gewang ang sasakyan at nabundol ito sa isang puno. Mabuti na lamang at hindi sila napuruhan. Kaunting galos lamang ang kanilang natamo kaya agad din nilang inayos ang mga sarili.

Nang mga oras na iyon, sa side-mirror ng sasakyan ay may napansin si Seksi na papalapit sa kanilang kinaroroonan. Nang ilang metro na lamang ang layo nito sa kanilang sasakyan ay nakita niyang may hawak itong pana at palaso. Pinakawalan niya ito at tumama kaliwang bahagi ng side-mirror.

"BABA! LABAS! Takbo na tayo! May gustong pumatay sa atin. Labas na!" sa taranta ay isa-isang nagsilabasan sa loob ng sasakyan ang magkakaibigan. Napasubsob pa ang mukha ni Potsi sa damuhan pagkababa nito. Agad na inalalayan siya ni Tapsi upang makatayo habang si Seksi naman ay sumisigaw na.

"Takbo! Takbo na! Bilis!"

Walang lingon-lingon ay agad na silang nagsitakbuhan ngunit hindi pa man sila nakakahakbang ay isang palaso ang tumama sa kaliwang binti ni Potsi dahilan upang mapabitaw ito sa balikat ni Tapsi at natumba.

Napahiyaw sa sakit si Potsi. Gulantang naman ang mukha ni Seksi. Nagmadali siyang balikan ang kaibigan at tinulungang makatayo si Potsi dahil malapit na malapit na ang salarin sa kanila.

"Iwan niyo na ako, Taps, Sek!" kitang-kita na sa mga mata ni Potsi ang panghihinat at takot nang mga oras na iyon. Kahit umuulan ay pansin na pansing naluluha na ang kaibigan.

"Hindi ka namin pwedeng iwan dito, Pots! Sama-sama tayo! Sek, bilis iangat natin si Pots. Isa, dalawa, tatlo!" kahit mabigat ay nagawa pa rin nila itong itayo upang makatakbo at makalayo sa kung sino man ang gustong pumatay sa kanila.

Nang muli na silang hahakbang ay hindi nila napansin ang paglapit ng hindi pamilyar na nilalang at itinarak sa likuran ni Potsi ang matulis na palaso. Agad na lumingon sina Tapsi at Seksi sa salarin nang sumigaw nang malakas si Posti.

Doon ay mulagat silang pareho nang isa na namang palaso sana ang tatama at itatarak kay Sek. Mabuti na lamang ay maagap si Tapsi. Binitawan niya si Potsi at agad na sinugod ang salarin.

Parang torong iniuntog ni Tapsi ang ulo niya sa tiyan nito at pareho silang natumba sa magkabilang direksyon. Nang mga sandaling iyon, habang patuloy sa pagbuhos ang ulan ay naaninag ni Seksi ang mukha ng gustong pumatay sa kanila.

May suot itong maskara sa mukha na ang tanging makikita ay ang mga mata lamang niya. Ang mga balat sa leeg, kamay at paa ay parang bangkay na naagnas. Matatalim din ang mga kuko nito sa mga kamay at paa.

Itinuon ni Sek ang atensiyon sa kaibigang si Potsi na nang mga oras na iyon ay tila nawalan ng malay. Niyugyog-yugyog niya ang kaibigan. Pinakiramdaman niya rin ang pulso nito at pinakinggan ang tibok ng puso. Doon ay napagtanto niyang may pag-asa pa si Potsi.

"Taps! Buhay pa si Potsi!" sigaw niya sa kaibigan.

"Tumakas na kayo, Sek! Ako na ang bahala rito! Alis na!" agad na sinugod si Sek ng kaharap at nahagip ng tulis ng palaso ang kaniyang braso dahilan upang makaramdam siya ng hapdi.

Hinila-hila naman ni Sek si Potsi upang dalhin sa ligtas na lugar. Kahit hindi kaya ng kaniyang mga braso ay pinilit niya pa ring hilahin ito.

Samantala, dinampot ni Tapsi ang palasong nabitawan ng may sa kanibal na nilalang at pinatamaan ito sa pamamagitan ng pagtarak ng palaso. Parang gutom na gutom naman ito dahil naiilagan niya ang bawat pagtarak sa kaniya ng palaso.

Animo ay isang baliw na nakakita ng kaniyang laruan ang kaharap ni Tapsi. Hindi naman nagpatalo ang huli. Nang muling itatarak sa kaniya ang palaso ay napigilan niya ito at sinipa sa gitnang hita ang kaharap. Napahawak naman ito sa kaniyang hinaharap. Hindi na rin sinayang ni Tapsi ang pagkakataon upang makaganti.

Agad niyang kinuha ang palasong nabitawan niya at itinarak iyon sa leeg. Makailang beses niyang hinugot-baon ang palaso at itinarak muli sa iba pang bahagi ng katawan nito. Sa leeg, sa mata, sa butas ng tainga maging sa bunganga at ang panghuli sa puso nito.

Hingal na hingal man si Tapsi ay nagawa pa niyang tanggalin ang nakabalot na maskara sa mukha ng kaniyang kalaban at doon nakita ang inuuod-uod ng mukha. Hindi niya nasikmurang pagmasdan kaya nasuka si Tapsi. Kinalaunan ay pinuntahan na lamang niya si Sek na hindi pa rin nakakalayo sa kakahila sa kaibigang si Potsi.

Punong-puno ng dugo ang mga kamay, mukha at kasuotan ni Tapsi nang makita siya ni Sek. Nahuhugasan lamang iyon sa bawat patak at buhos ng ulan.

"Kailangan na nating makaalis dito, Taps. Kailangan maisugod si Potsi sa ospital!"

"Saan tayo hihingi ng tulong e, nakita mo namang mukhang halimaw ang nakalaban ko, Sek,"

"Si Potsi, Taps. Anong gagawin natin? Marami ng dugo ang nawala sa kaniya,"

"Hindi ko alam pero sana tumila na ang ulan nang makita na natin ang dinadaanan natin para makahingi tayo ng tulong. Tulungan mo na akong buhatin si Potsi. Siguro naman--"

Hindi pa natatapos ni Tapsi ang kaniyang sasabihin nang maramdaman niyang may matulis na bagay ang tumusok sa kaniyang batok na tumagos sa kaniyang lalamunan.

Sigaw naman nang sigaw si Sek at hindi na malaman ang gagawin. Nakita niyang may papalapit naman sa kinaroroonan nila. Kailangan na niyang iwanan ang mga kaibigan at iligtas ang kaniyang sarili para makapagtago.

Sa isang malaking puno sa 'di kalayuan ay doon nagtago si Sek. Tanging mga mata na lamang niya ang nagmamasid sa kung ano ang puwedeng gawin ng mga ito sa kaniyang mga kaibigan.

Katulad ng napatay ni Tapsi ay ganoon din ang mga hitsura ng kani-kanilang balat at mukha. Katulad sila ng mga kanibal na gustong pumatay ng tao. Isang babaeng may mahahabang buhok ang may hawak na tabak ang walang kaabog-abog na tumabas sa leeg ni Tapsi.

Gustuhin mang sumigaw ni Sek ay hindi niya magawa. Tinakpan na lamang niya ang kaniyang bunganga at parang gripong sunod-sunod naman sa pag-agos ang kaniyang mga luha nang makita ang sinapit ng kaibigang sina Tapsi at Potsi.

Gamit ang tabak ay isa-isa naman nilang pinagtataga ang katawan ni Potsi. Pinutulan nila ito ng braso at ibinigay sa isang maliit na batang sabik na sabik na kainin ito habang ang isang may katangkarang lalaki ay panay ang sipsip at dila nito sa ulong-pugot ni Tapsi.

Duwal na duwal na si Sek nang mga oras na iyon at agad na nagsuka. Sa kasamaang palad ay matalas ang pandinig nila at narinig siya ng isang matangkad na lalaki at inamoy-amoy ang paligid upang malaman ang kinaroroonan niya. Pigil-hininga naman si Sek at isiniksik ang sarili sa punong pinagtataguan niya. Takip-takip na rin niyang muli ang kaniyang bibig upang pigilan ang kaniyang paghikbi.

Nakiramdam pa si Sek sa kaniyang paligid kung naroroon pa ang mga halimaw. Tanging ang pintig na lamang ng kaniyang puso ang kaniyang narinig nang mga sandaling iyon kaya naman ay marahan siyang tumingin sa direksyon kung saan naroon ang kaniyang mga kaibigan.

Isang mata pa man lang ang kaniyang nailalabas nang biglang bumulaga sa kaniya ang isang inuuod na mala-demonyo ang mukhang nakangiti sa kaniya at hinawakan siya sa buhok.

Nagpupumiglas si Sek at pilit na tinatanggal ang kamay nito sa buho. Pero isang malakas na suntok sa sikmura ang kaniyang natikman. Agad siyang kinaladkad habang nakahawak pa rin ito sa kaniyang buhok at dinala sa kinaroroonan ng kaniyang mga patay na kaibigan.

Napatakip na lamang sa kaniyang bibig si Sek nang mapagmasdan ang sinapit ng kaniyang mga kaibigan sa kaniyang harapan.

Hawak-hawak pa rin ng lalaki ang kaniyang buhok ay agad na itinutok sa kaniyang leeg ang matulis na tabak. Pigil hininga at lunok-laway na lamang ang nagawa ni Sek nang unti-unting hinihiwa ang balat sa kaniyang leeg hanggang sa maabot ng tabak ang ugat nito. Sabay-saba
Bayani --
Sa tuwing nagtatapo ang aking kanang kamay at ang aking dibdib
Doon ko mas naisasaisip at naisasapuso ang pagiging isang Pilipino
Na hindi ako isang banyagang titirik sa malaparaisong lupain
At panandaliang mabibihagni sa mga likas na yaman
O mismong sa mga modernong Maria Clara
O mga aktibisang nagmistulang mga bayani
Sa kanilang walang pag-imbot
Sa pagsulong nang may paninindigan
Sa kani-kanilang ideolohiya.

Sa araw-araw kong pagbibilad sa araw
At pagharap sa bawat pagsubok na minsang nakapapatid at nakapagpapatalisod,
Ni minsa'y hindi ko pinangarap na gawaran ng salitang "bayani."

Dito sa aking Bayang, "Perlas ng Silanganan,"
Ako'y nahubog maging sanay at buo ang loob
Hindi ng mga kahapong idinaan na sa hukay
At nagsilbing bihag ng kasaysayan at rebolusyon,
Bagkus ng sariling karanasang
Nagbukas sa aking ulirat
Na may iba pa palang pintuan patungo sa kahapon.
At pupwede ko palang matuklasan
Na hindi lamang sa mga nag-alay ng buhay sa sariling bayan
Maihahambing ang katuturan ng mahiwagang salita.

Paano nga ba na sa bawat pagsilang ng araw at pagbukod ng mga ulap sa kanya
Ay maituturing ko ang sarili bilang isang bayani?
Nagigising ako na pinamumunuan hindi lamang ng isang pangulo
Kundi ng mga katauhan na siya ring nagbibigay kabuluhan sa pagrespeto ko sa aking sarili
At sa tuwing nag-aalay ako ng mga hakbang at padyak sa pampublikong mga lugar
Ay nahahaluan ang aking pagkatao ng mga abo ng mga nagtapos na sa serbisyo
At tila ba sa kaloob-looban ko ay may sumisigaw na hindi ko alam kung ano
At sumisira sa mga pintuang minsan ko nang sinubukang sipain
Ngunit hindi naman ako pinagbuksan.

Masasabi kong natuto akong hindi sumuko sa laban ng aking buhay
Pagkat ako rin pala'y may pinaglalaban
Hindi ko ninais na maging talunan sa bawat paglisan ng araw sa kabundukang minsan ko na ring inakyat at pinagmasdan
Akala ko hanggang doon na lamang ako
Na ang buhay ko'y hindi isang nobelang magiging mukha sa salapi
At pagkakaguluhan saan man sila magdako
Ngunit minsa'y limot na ang halaga.

Dito sa aking istorya'y hindi ko maipagmamalaking ako ay isang bayani --
Ngunit sa kabila ng paglaganap ng demokrasya
Ay nais ko pa ring makasalamuha ang kahigpitan ng hustiya
Nang sa gayo'y masilaya't malasap ko ring mahalaga pa rin sa lahat
Ang pagbuwis ng mga buhay --
Silang mga pinagbunyi o silang nilimot ng sarili nilang mga kababayan.

Gusto kong manatili bilang isang Pilipinong may dangal sa aking pagkatao
Na ako'y titingala hindi dahil ako'y nagmamataas
Bagkus sagisag at bunga ito ng paghilom sa akin ng may Likha
At isang grasya ang buhay na hindi ko nanaising itapon sa wala.

Hindi ako magbibigay-pugay sa watawat na walang kamuang-muang
Na ang aking laban ay tapos na.
Hindi ako magpapadaig sa lipunang maaaring bumagsak sa kahit anong pagkakataon
Kapag ito'y nakalimot sa Ngalang higit na tanyag sa kanya.
At kung ito ang magiging dahilan para ako'y maliko sa ibang ideolohiya'y
Lilisanin ko na lamang ang aking pagkatao --
Ngunit ako'y madiing magpapatuloy sa aking lakaring higit pa sa pagka-Pilipino
Kahit na ang mga tungkuling nasa harap ko'y hindi pa lubos na malinaw
Pero pangako --
Hindi ako titigil.

Oo, pupuwede akong magsimula sa wala
Pero ako ay may mararating
At marahil bukas o sa makalawa,
Kung tayo lamang ay magpapatuloy sa pakikibaka para sa ating mga paniniwala'y
Magiging higit pa tayo sa mga bayani.
At hindi mahalaga kung tayo'y limutin ng bukas
Gaya ng paghawi ng masidhing hangin sa mga ulap na emosyonal.

Ayos lang --
Pagkat sa likod ng mga kurtina nang walang humpay na palakpakan
Ay naroon ang tunay na mga bayani
Na hindi sigaw at mga pagbubunyi ang mithiin.
Hindi ginto’t mga pilak ang maibubulsa sa kamatayan
Bagkus ang makapaglingkod sa bayan na may bukal na puso't malinis na konsensya
At kalakip nito ang higit pa sa mga pamanang medalya ng kasaysayan.

Sa muling pagkikita, salubong ng ating mga ninuno
Ay mabubuksan ang ating pagkatao sa isang paraisong patay na ang kabayanihan.
Doon, sama-sama nating lilisanin ang ganid na administrasyon
At hihipuin ang galit ng lambing ng Liwanag na higit pa sa milyong mga lampara
At doon lamang natin lubos na maaakap ang pagiging isang "bayani."
JK Cabresos Nov 2011
Sa paglakaw niining mga gabon
sa kalangit-on
Sama sa isa ka pagbaklay kauban ka
padulong ngadto sa kalipayon
Ang bidlisiw sa adlaw kanunay
gayud sa atoa nga magasiga
Kay ikaw sa tunhay mao
ang akong gugma.

Wala ko namatyagan nga ikaw mubaot
niining akong kinabuhi
Wala ko usab damha nga ang akong
kasing-kasing sa imo diay mulingi
Karon, ang dagat dili
na hintawon parat
Kay ikaw man ang akong gugma, busa dili
gayud tika ipahilak.

Ang matag-gabii nako, karon dili
na matugnaw
Mahitungod sa imong gugma nga sa tanan
gayud nagpatigbabaw
Ang gubot nga butang ginabag-o mo,
ikaw ra gayud akoa
Ug ikaw ginahigugma ko kagahapon, karon
og hangtod sa ugma.

Sa mainit mo nga mga gakos, sa matam-is
**** mga halok
Sa maanyag **** pagngisi, mawagtang
diritso ang akong pagkalagot
Gikinahanglan taka sama sa hangin,
tubig ug uban pa
Kay ikaw sa tunhay mao
ang akong gugma.

Dili na ako mulambinggit pa ngadto sa
uban nga dalan
Kay nagakuyog naman kita nga nagalakaw
nganhi sa kahangturan
Paminawa ang tanan ko nga gipangsulti
kay tinuod kani sila
Nganong mamakak man lugar ako, nga ikaw man
sa tunhay mao ang akong gugma.
© 2011
Diadema L Amadea Dec 2018
ingin punya teman,
tapi kadang menyebalkan


ingin ditemani,
tapi sering menjauhi.


ingin jadi diri sendiri,
tapi mayoritas memandangnya jijik.

lantas ia menjadi banyak elemen
mencoba cocok pada semua hal
memaksakan diri untuk pantas

tapi tetap saja,
lihat saja ikan dan sapi
sama sama milik sang empuNya
sama sama Rabb yang menciptakan
sama sama Ia yang memberi ruh
ikan diletakan di daratan rumput
sapi diletakan di laut lepas
bagaimana ?

mau seruwet apa kamu mengatur
jika memang tidak pantas yasudah
cari yang disuruhNya pantas untukmu

toh, kualitas lebih diminati daripada kuantitas.
itu kalo aku


gak tau kalo kamu.
kamu bagaiamana ?
theivanger Jun 2019
Hindi alam kung pano sisimulan,
nahihirapan itugma ang bawat salita na lumilitaw sa isipan,
Ang bawat tunog sa bawat saknong ng bawat kaludtod ay nabibigatan,
Ilapat sa mensaheng
ibig iparating ng damdaming nagaalinlangan.

Oo, hindi ako sanay gumawa ng tula,
Itoy dili iba't hindi inaakala,
Ngunit aking susubukan, alang alang sa kaibigan,
Nanghihinayang sa alaala ng ating samahan, sa isang saglit ay iniwan.

Mga pagsubok biglang dumarating,
Sa kabagabagan ng buhay at panimdim, saklolo niyaong Dakilang may gawa ang tanging hiling, araw at gabi siyang dalangin.

Ako ma'y naguguluhan sa mararamdaman, isip at puso laging nasa kabagabagan, kalungkutan ang nasusumpungan sa bawat araw ng aking kinalalagyan, damdamin ay halintulad sa parisukat, makipot at madilim na kulungan.

Kaibagan koy huwag magtanim ng sama ng loob, Sa puso ko'y kalungkutan ang bumabalot, hirap ng pakikibaka sa araw-araw siyang sahod, ng buhay na sa pagsusumakit sa paglilikod, upang sa harap Niya'y magbigay ng lugod.

Ala ala ang siyang pumupukaw sa aking loob, huwarang kaibigan ang ipinagkaloob, nagbigay inspirasyon at lakas ng loob, upang maganap tungkuling kaloob, sa Maylalang aking utang na loob.

Patawad, unang sambit kung tayo man ay muling magkikita. Kalakip ay ngiti't saya sayo'y muling igagawad. Ipapalit sa galit at sama ng loob ay aking ilalahad, magpapakumbaba sayo ay aking hangad.
ikalawang tula nagawa para sa kaibagan. Hindi ako makatang tunay kayat iyong pagpasenyahan.
Stephanie Apr 2019
isinulat ni: Stephanie Dela Cruz

\

isang daang tula.
sabi ko noon ay bibigyan kita ng isang daang tula
mga tulang magiging gabay mo kung sakaling mawala ka man sa akin, o kung ilayo ka man ng ating mga tadhana, o kung paalisin mo na ko sayong tabi,
ngunit pangako, hinding hindi magiging dahilan ang kusa kong pag alis, pangako yan.
itong mga tulang ito ang magiging gabay mo kung sakaling maisip **** ako ang kailangan mo at ako ang gusto **** makasama hanggang dulo
itong mga tulang ito ang magiging resibo mo, magiging ebidensya ito ng kung paano kita minahal ng pagmamahal na hindi mo kailanman naibigay sa akin

isang daang tula.
alam mo bang tula ang una kong minahal kaysa sa iyo
ibinuhos ko lahat ng mga inspirasyon, pag-ibig, luha at pati tulog ko'y isinantabi ko na para sa kanila
dahil ako rin ang mga tulang ito,
alam mo namang isa kong babasaging salamin na paulit ulit na binabasag ng mga taong gustong maglabas ng sama ng loob, ng matinding emosyon, isang salaming kakamustahin kapag gusto nilang ipaalala sa sarili nila na maganda sila at mahalaga at kamahal-mahal at importante...
ako nga ang mga tulang ito, at paulit ulit kong pinaghirapang buuin muli ang aking sarili, ang bawat dinurog na piraso ko'y sinusubukang buuin muli gamit ang hinabing mga tula
itinago ko sa bawat maririkit na salita ang mga lamat na hindi na maaalis pero pipilitin ko...
at sa huli naisip kong hindi ko lang pala gustong sumulat at bumigkas ng tula..
gusto ko rin maging tula ng iba, na mamahalin ako katulad ng pagmamahal na ibinuhos ko sa mga ito

at ayun nga... dumating ka.

ngunit tanong ko pa rin sa aking sarili itong palaisipan...  "naging tula mo ba ko talaga?"


hindi.

dahil hindi ka naman talaga interesado sa mga tula.


alam ko naman kung anong nais mo talaga..

ang gusto mo'y musika.


maganda, masarap sa pandinig, masasabayan mo sa pagsayaw... maipagmamalaki.


hindi naman ako musika... isa lamang akong tula.



isang daang tula.
alam mo bang kung nakakapagsalita lamang ang aking mga sinulat ay sigurado akong magtatampo sila
dahil naisulat na ang tulang bukod tangi sa lahat, tulang pinaka mamahal ko higit sa lahat
ito ay ang bawat tulang isinulat ko para sa iyo..
isa... dalawa... tatlo.. hindi ko na mabilang kung gaano karaming tula na ba ang naisulat ko para sayo
ngunit mas marami ata yung mga tulang isinulat ko nang dahil sayo
at wag kang mabibigla kung sasabihin kong hindi lahat ng iyon ay puro kilig, puro saya, puro tamis ng sandaling kasama kita
dahil sa bawat pagkakataong hindi mo namamalayang sinasaktan mo ako ay sumusulat ako ng tula
may mga pagkakataong ikaw ang dahilan ng mga luhang siyang naging tinta nitong aking pluma na pinangsulat ko ng tula

wag kang mag-aalala, hindi nasasapawan ng kahit anong sakit at pait ang pagmamahal ko sa iyo. :)


isang daang tula.
teka, kailan ba tayo nagsimula?
napakabilis ng panahon, lumilipas na kasing bilis ng pagningning ng mga bituin sa gabi
hindi pa tayo tapos mangarap ngunit tumitigil na... natapos na ang pagkinang.
inaawat na tayo ng kalawakan... o teka... mali pala... dahil ikaw ang umawat sa kalawakan
pinatay mo ang sindi ng pinakamakinang na bituing pinangakuan ko ng wagas na pagmamahal sa'yo habambuhay
wala nang natira.. pati ang mga bulalakaw na nagdadala ng milyong paghiling kong makasama ka hanggang dulo ay wala na, lumisan na
at hindi ko naman inasahan na sasama ka sa kanila
hinihintay kong hawakan **** muli ang aking kamay nang mas mahigpit sa paghawak ko ng kamay mo katulad ng una't pangalawang beses nating pagkikita pero
binitawan mo ako mahal



isang daang tula...












teka muna mahal, hindi ko pa naisusulat ang pang isang daan
bakit ka'y bilis mo namang umalis... hindi mo man lang hinintay na matapos ko ang mga tulang ito na nagpapatunay na minsan may tayo


pero pangako...


tatapusin ko itong isang daang tula at hindi ito magtatapos sa pang isang daan dahil susulat pa ko ng mas marami, susulat ako nang mas marami pa hanggang sa hindi na ikaw ang tinutukoy ng mga salita sa aking tula, hanggang sa hindi na ikaw ang buhay nitong aking pagtula...
ipapaalala ko sa aking sarili na ako ang mga tulang ito at hindi ako magtatapos sa panahong pinili **** umalis kesa basahin ako, pinili **** iwanan ang tunay na nagmamahal sayo, sabi mo iingatan mo ang puso ko ngunit hindi mo ba alam? ikaw ang muling sumira nito kaya't heto... may dahilan nanaman para sumulat ako ng tulang magbubuo ng mga piraso ng aking sarili na dinurog mo... pinili **** saktan ako, pinili **** lumayo para sa sarili mo, pinili **** maghanap ng mas maganda at mas higit sa akin, ang dami dami **** pinili mahal ngunit bakit hindi ako ang isa sa mga pinili mo? ah. alam ko na. dahil nga pala may mas higit pa sa pagpipilian kaya bakit nga ba ako ang pipiliin mo diba?


pero pinapangako ko... isa lamang akong tulang hindi mo pinag-aksayahan ng oras para basahin ngunit balang araw ay magkakaroon din ako ng sukat at tugma, ang mga salita sa aking malayang pagsulat ay tatawaging liriko at kapag ganap na akong maging musika... pangako.... huling pangako ko na ito para sayo kaya't makinig kang mabuti...




mapasabay ka man sa  saliw ng aking musika, kailanma'y hindi na ko ang kanta, liriko, musika, at tulang isinulat para sa iyo.
I miss you so bad but not enough to want you back.
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Marlo Cabrera Mar 2014
Salamat,

Salamat, sa napakamasayang pagsasamahan natin,

salamat,

sa pagmamahal na ipinadama niyo sa akin.

Salamat,

Ako ay nag-papasalamat sa pag gabay niyo sa akin.

Salamat, ako'y inyong sinamahan sa lahat ng beses na ako'y humaharap sa hamon ng buhay.

Salamat,

sa pag-tangap sa akin bilang kaibigan.

Salamat,

kase kayo ay para saakin di' kaibigan ang turing
kayo'y Pamilya para saakin.

Salamat,

Sa kabila ng lungkot at kaligayahan; ako'y hindi niyo kailanman iniwan.

Salamat.

Simula sa araw na ito, tayo man ay magkaibang landas ang tatahakin,
sama-sama nating haharapin ang kinabukasan na nasa harapan natin.

hawak ang kamay ng isat' isa, sabay-sabay na nag-lalakad papunta sa paraiso
na para sa atin ay naka-laan.

Salamat sa lahat.

Salamat.

Salamat, aking mga Kaibigan.
Grade 11, Sa puso koy' mananatili habang buhay.
Leonoah Apr 2020
Alas sais y medya na ng umaga nang makauwi si Natividad mula sa bahay ng kanyang amo. Pagkababa n’ya ng maliit na bag na laman ang kanyang cellphone at wallet na merong labin-limang libo at iilang barya ay marahan siyang naglakad tungo sa kwartong tinutulugan ng kanyang tatlong anak. Hinawi niya ang berdeng kurtina at sumilip sa kanyang mga anghel.
Babae ang panganay ni Natividad, o di kaya’y Vida. Labindalawang taong gulang na ito at nasa Grade 7 na. Isa sa mga malas na naabutan ng pahirap na K-12 program. Ang gitna naman ay sampung taong gulang na lalaki at mayroong down syndrome. Special child ang tawag nila sa batang tulad nito, pero “abnormal” o “abno” naman ang ipinalayaw ng mga lasinggero sa kanila. Ang bunso naman niya, si bunsoy, ay kakatapak lamang ng Grade 1. Pitong taong gulang na ito at ito ang katangkaran sa mga babae sa klase nito. Sabi ng kapwa niya magulang ay late na raw ang edad nito para sa baiting, pero kapag mahirap ka, mas maigi na ang huli kaysa wala.
Nang makitang nahihimbing pa ang mga ito ay tahimik s’yang tumalikod at naglakad papuntang kusina. Ipagluluto niya ang mga anak ng sopas at adobong manok. May mga natira pa namang sangkap na iilang gulay, gatas, at macaroni na galing pa sa bahay ni Kapitan noong nangatulong siya sa paghahanda para sa piyesta. Bumili rin siya ng kalahating kilo na pakpak ng manok, kalahating kilo pa ulit ng atay ng manok, at limang kilo ng bigas.
Inuna niya ang pagsasaing. Umabot pa ng tatlong gatang ang natitirang bigas nila sa pulang timba ng biskwit kaya ‘yun na lang ang ginamit niya. Pagkatapos ay agad niya rin itong pinalitan ng bagong biling bigas.
De-uling pa ang kalan ni Vida kaya inabot siya ng limang minuto bago nakapagpaapoy. Siniguro niyang malakas ang apoy para madaling masaing. Kakaunti na lang kasi ang oras na natitira.
Habang hinihintay na maluto ang kanin ay dumiretso na sa paghahanda ng mga sangkap si Vida. Siniguro niyang tahimik ang bawat kilos para maiwasang magising ang mga anak. Mas mapapatagal lamang kasi kung sasabay pa ang mga ito sa kanyang pagluluto.
Habang hinahati at pinaparami ang manok ay patingin-tingin s’ya sa labas. Inaabangan ang inaasahan niyang mga bisita.
Mukang magtatagal pa sila ah. Ano na kayang balita? Dito lamang naikot ang isip ni Vida sa tuwing nakikitang medyo normal pa sa labas.
May mga potpot na nagbebenta na pan de sal at monay, mga nanay na labas-masok ng kani-kanilang mga bahay dahil tulad niya ay naghahanda rin ng pagkain, at mga lalaking kauuwi lamang sa trabaho o siguro kaya’y galing sa inuman.
Tulog pa ata ang karamihan ng mga bata. Mabuti naman, walang maingay. Hindi magigising ang tatlo.
Binalikan niya ang sinaing at tiningnan kung pupwede na bang hanguin.
Okay na ito. Dapat ako magmadali talaga.
Dali-dali niyang isinalang ang kaserolang may laman na pinira-pirasong manok.
Habang hinihintay na maluto ang manok ay paunti-unti rin siyang naglilinis. Tahimik pa rin ang bawat kilos. Lampas kalahating oras na siyang nakakauwi at ano mang oras ay baka magising ang mga anak niya o di kaya’y dumating ang mga hinihintay n’ya.
Winalis niya ang buong bahay. Maliit lang naman iyon kaya mabilis lamang siyang natapos. Pagkatapos ay marahan siyang naglakad papasok sa maliit nilang tulugan, kinuha ang lumang backpack ng kanyang panganay at sinilid doon ang ilang damit. Tatlong blouse, dalawang mahabang pambaba at isang short. Dinamihan niya ang panloob dahil alanganin na kakaunti lamang ang dala.
Pagkatapos niyang mag-empake ay itinago niya muna backpack sa ilalim ng lababo. Hinango niya na rin ang manok at agad na pinalitan ng palayok na pamana pa sa kanya. Dahil hinanda niya na kanina sa labas ang lahat ng kakailanganin ay dahan dahan niyang sinara ang pinto para hindi marinig mula sa loob ang ingay ng paggigisa.
Bawat kilos niya ay mabilis, halata **** naghahabol ng oras. Kailangang makatapos agad siya para may makain ang tatlo sa paggising nila.
Nang makatapos sa sopas ay agad niya itong ipinasok at ipinatong sa lamesa. Sinigurong nakalapat ang takip para mainit-init pa sakaling tanghaliin ng gising ang mga anak.
Dali-daling hinugasan ang ginamit na kaserola sa paglalaga at agad ulit itong isinalang sa apoy. Atay ng manok ang binili niya para siguradong mas mabilis maluluto. Magandang ipang-ulam ang adobo dahil ma-sarsa, pwede ring ulit-ulitin ang pag-iinit hanggang maubos.
Habang hinihintay na lumambot na ang mga patatas, nakarinig siya ng mga yabag mula sa likuran.
Nandito na sila. Hindi pa tapos ‘tong adobo.
“Vida.” Narinig niyang tawag sa kanya ng pamilyar na boses ng lalaki. Malapit niyang kaibigan si Tobias. Tata Tobi kung tawagin ng mga anak niya. Madalas niya ditong ihabilin ang tatlo kapag kailangan niyang mag-overnight sa bahay ng amo.
“Tobi. Andito na pala kayo,” nginitian niya pa ang dalawang kasama nitong nasa likuran. Tahimik lang ang mga itong nagmamasid sa kanya.
“Hindi pa tapos ang adobo ko eh. Ilalahok ko pa lang ang atay. Pwedeng upo muna kayo doon sa loob? Saglit na lang naman ‘to.”
Mukhang nag-aalangan pa ang dalawa pero tahimik itong kinausap ni Tobi. Maya-maya ay parang pumayag na rin ito at tahimik na naglakad papasok. Narinig niya pang sinabihan ni Tobi ang mga ito na dahan-dahan lamang dahil natutulog ang mga anak niya. Napangiti na lamang siya rito.
Pagkalahok ng atay at tinakpan niya ang kaserola. Tahimik siyang naglakad papasok habang nararamdaman ang pagmamasid sa kanya. Tumungo siya sa lababo at kinuha ang backpack.
Lumapit siya sa mga panauhin at tahimik na dinaluhan ang mga ito tapos ay sabay-sabay nilang pinanood ang usok galing sa adobong atay.
“M-ma’am.” Rinig niyang tawag sa kanya ng kasama ni Tobias. Corazon ang nakaburdang apelyido sa plantsadong uniporme. Mukhang bata pa ito at baguhan.
“Naku, ser. ‘Wag na po ganoon ang itawag niyo sa akin. Alam niyo naman na kung sino ako.” Maraan niyang sabi dito, nahihiya.
“Vida. Pwede ka namang tumanggi.” Si Tobias talaga.
“Tobi naman. Parang hindi ka pamilyar. Tabingi ang tatsulok, Tobias. Alam mo iyan.” Iniiwasan niyang salubungin ang mga mata ni Tobias. Nararamdaman niya kasi ang paninitig nito. Tumatagos. Damang-dama niya sa bawat himaymay ng katawan niya at baka saglit lamang na pagtingin dito ay umiyak na siya.
Kanina niya pa nilulunok ang umaalsang hagulhol dail ayaw niyang magising ang mga anak.
“Vida…” marahang tawag sa kanya ng isa pang kasama ni Tobi. Mukhang mas matanda ito sa Corazon pero halatang mas matanda pa rin ang kaibigan niya.
“Ano ba talaga ang nangyari?”
“Ser…Abit,” mabagal niyang basa sa apelyido nito.
“Ngayon lang po ako nanindigan para sa sarili ko.” garalgal ang boses niya. Nararamdaman niya na ang umaahon na luha.
“Isang beses ko lang po naramdaman na tao ako, ser. At ngayon po iyon. Nakakapangsisi na sa ganitong paraan ko lang nabawi ang pagkatao ko, pero ang mahalaga po ay ang mga anak ko. Mahalaga po sila sa’kin, ser.” mahina lamang ang pagkakasabi niya, sapat na para magkarinigan silang apat.
“Kung mahalaga sila, bakit mo ginawa ‘yon? Vida, bakit ka pumatay?”
Sasagot n asana siya ng marinig niyang kumaluskos ang banig mula sa kuwarto. Lumabas doon ang panganay niyang pupungas-pungas pa. dagli niya itong pinalapit at pinaupo sa kinauupuan niya. Lumuhod siya sa harap nito para magpantay sila.
“Anak. Good morning. Kamusta ang tulog mo?”
“Good morning din, nay. Sino po sila? ‘Ta Tobi?”
“Kaibigan sila ni ‘Ta Tobias, be. Hinihintay nila ako kasi may pupuntahan kami eh.” marahan niyang paliwanag, tinatantya ang bawat salita dahil bagong gising lamang ang anak.
“Saan, nay? May handaan po uli sina ser?” tukoy nito sa mga dati niyang amo.
“Basta ‘nak. Kunin mo muna yung bag ko doon sa lamesa, dali. Kunin ko yung ulam natin mamaya. Masarap yun, be.”
Agad naman itong sumunod habang kinukuha niya na rin ang bagong luto na adobo. Pagkapatong sa lamesa ng ulam ay nilapitan niya ulit ang anak na tinitingnan-tingnan ang tahimik na mga  kasama ni Tobias.
“Be…” tawag niya rito.
Pagkalingon nito sa kanya ay hinawakan niya ang mga kamay nito. Nagsisikip na ang lalamunan niya. Nag-iinit na rin ang mga mata niya at nahihirapan na sa pagbuga ng hangin.
“Be, wala na sina ser. Wala na sila, hindi na nila tayo magugulo.” ngiti niya rito. Namilog naman ang mga mata nito. Halata **** natuwa sa narinig.
“Tahimik na tayo, nay? Hindi na nila kakalampagin ang pinto natin sa gabi?”
“Hindi na siguro, anak. Makakatulog na kayo ng dire-diretso, pangako.” Sinapo niya ang mukha nito tapos ay matunog na hinalikan sa pisngi at noo. ‘Eto na ang matagal niyang pinapangarap na buhay para sa mga anak. Tahimik. Simple. Walang gulo.
“Kaso, ‘nak, kailangan kong sumama sa kanila.” Turo niya kayna Tobias. Nanonood lamang ito sa kanila. Hawak na rin ni Tobi ang backpack niya.
“May ginawa kasi si nanay, be. Para diretso na ang tulog natin at para di na tayo guluhin nina ser. Pramis ko naman sa’yo be, magsasama ulit tayo. Pangako. Bilangin mo ang tulog na hindi tayo magkakasama. Tapos pagbalik ko, hihigitan ko pa ‘yon ng maraming maraming tulog na magkakasama na tayo.”
“Nay…” nagtataka na ang itsura ng anak niya. Namumula na kasi ang mukha niya panigurado. Kakapigil na humagulhol dahil ayaw niyang magising ang dalawa pang anak.
“Anak parang ano lang ito…abroad. Diba may kaklase kang nasa abroad ang nanay? Doon din ako, be.”
Bigla ay nagtubig ang mga mata ng panganay niya. Malalaking butil ng tubig. Hindi niya alam kung naniniwala pa ba ito sa mga sinasabi niya, o kung naiintindihan na nito ang mga nangyayari.
“Itong bag ko, andiyan yung wallet at telepono ko. Diba matagal mo nang gusto magkaroon ng ganon, be? Iyo na ‘yan, basta dapat iingatan mo ha. Yung pera be, kay Tata Tobias mo ihahabilin. Habang nagtatrabaho ako, kay ‘Ta Tobi muna kayo.”
“Nay, hindi ka naman magtatrabaho eh.” Lumabi ang anak niya tapos ay tuluyan nang nalaglag ang luha.
Tinawanan niya naman ito. “Sira, magtatrabaho ako. Basta intayin mo ‘ko be ha? Kayo nina bunsoy ko, ha?” Hindi niya napigilang lambing-lambingin ito na parang batang munti. Kailangan ay sulitin niya ang pagkakataon.
Paulit-ulit niya itong dinampian ng maliliit na halik sa mukha, wala na siyang pakealam kung malasahan niya ang alat ng luha nito. Kailangan ay masulit niya ang natitirang oras.
“Nay, sama po ako. Sama kami ni bunsoy. Tahimik lang kami lagi, pramis, nay. Parang kapag andito si ser, hindi naman kami gugulo doon.” Tuluyan na ngang umalpas ang hikbi niya. Naalala niyang muli ang rason kung ba’t n’ya ito ginagawa. Para sa tahimik na buhay ng mga anak.
“Sus, maniwala sa’yo, be. Basta hintayin mo si nay. ‘Lika ***** tayo doon sa kwarto, magbabye ako kayna bunsoy.” Yakag niya rito. Sumama naman ito sa kanya habang nakayakap sa baywang niya. Humihikbi-hikbi pa rin ito habang naagos ang luha.
Tahimik niyang nilapitan ang dalawa. Kinumutan niyang muli ang mga ito at kinintalan ng masusuyong halik sa mga noo. Bata pa ang mga anak niya. Marami pa silang magagawa. Malayo pa ang mararating nila. Hindi tulad ng mga magulang nila, ‘yun ang sisiguraduhin niya. Hindi ito mapapatulad sa kanila ng mister niya.
“Be, dito ka na lang ha. Alis na si nanay. Alagaan mo sina bunsoy, be, ha. Pati sarili mo. Ang iskul mo anak, kahit hindi ka manguna, ayos lang kay nanay. Hindi naman ako magagalit. Basta gagalingan mo hangga’t kaya mo ha. Mahal kita, be. Kayong tatlo. Mahal na mahal namin kayo.” Mahigpit niya itong niyakap habang paiyak na binubulong ang mga habilin. Wala na ring tigil ang pag-iyak niya kaya agad na siyang tumayo. Baka magising pa ang dalawa.
Nakita niya namang nakaabang sa pinto si Tobi bitbit ang bag niya. Kinuha niya rito ang bag at sinabihang ito na ang bahala sa mga anak. Baog si Tobias at iniwan na ng asawa. Sumama raw sa ibang lalaking mas mayaman pa rito. Kagawad si Tobias sa lugar nila kaya sigurado siyang hindi magugutom ang mga anak niya rito. May tiwala siyang mamahalin ni Tobias na parang sarili nitong mga anak ang tatlo dahil matagal niya na itong nasaksihan.
Pagsakay sa sasakyan kasama ang dalawang pulis na kasama ni Tobias ay saka lamang siya pinosasan ng lalaking may burdang Corazon.
“Kilala namang sindikato yung napatay mo, ma’am. Kulang lamang kami sa ebidensya dahil malakas ang kapit sa taas. Kung sana…sana ay hindi ka nag-iwan ng sulat.”
“Nabuhay ang mga anak kong may duwag na ina, ser. Ayokong lumaki pa sila sa puder ng isang taong walang paninindigan. Pinatay niya na ang asawa ko. Dapat ay sapat na ‘yon na bayad sa utang namin, diba?” kung kanina ay halo humagulhol siya sa harap ng mga anak, ngayon ay walang emosyong mahahamig sa boses niya. Nakatingin lamang siya sa labas at tinititigan ang mga napapatingin sa dumadaang sasakyan ng pulis.
Kung sana ay hindi tinulungan ng mga nakatataas ang amo niya. Kung sana ay nakakalap ng sapat na mga ebidensya ang mga pulis na ngayon ay kasama niya. Kung sana ay may naipambayad sila sa inutang ng asawa niya para pambayad sa panganganak niya.
Kung hindi siguro siya mahirap, baka wala siya rito.
unedited
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
RAJ NANDY Feb 2015
AN INTRODUCTION TO INDIAN ART IN VERSE  
By Raj Nandy : Part One

INTRODUCTION
Background :
The India subcontinent and her diverse physical features,
influenced her dynamic history, religion, and culture!
The fertile basin of the Sapta-Sindu Rivers* cradled one of
world’s most ancient civilization, (seven rivers)
Contemporary to the Sumerians and the Egyptians, popularly
known as the Indus Valley Civilization!
The Sindu (Indus), Jhelum, Chenab, Ravi, Sutlej, Bias, along
with the sacred river Saraswati, shaped India’s early History;
Where once flourished the urban settlements of Harappa and
Mohenjodaro, which lay buried for several centuries;
For our archaeologists and scholars to unravel their many
secrets and hidden mysteries!
Modern scholars refer to it as ‘Indus-Saraswati Civilization’;
By interpreting the text of the Rig Veda which mentions
eclipses, equinoxes, and other astronomical conjunctions,
They date the origin of the Vedas as earlier as 3000 BC;
Thereby lifting the fog which shrouds Ancient History! +
(+ Two broad schools of thoughts prevail; Max Mullar refers
to 1500 BC as the date for origin of the Vedas, but modern scientific findings point to a much earlier date for their Oral composition and
their long oral tradition!)

On the banks of the sacred Saraswati River the holy sages
did once meditate, *
When their third eye opened, as all earthly bonds they did
transcend !
From their lips flowed the sacred chants of the Vedas, as
they sang the creator Brahma’s unending praise!
These Vedic chants and incantations survived many
centuries of an oral tradition,
When Indian Art began to blossom into exotic flowers like
Brahma’s divine manifestations;
With all subsequent art forms following the model of
Brahma’s manifold creations!
The Vedas got written down during the later Vedic Age
with commentaries and interpolations,
And remain as India’s indigenous composition, forming a
part of her sacred religious tradition! *
(
Rig Veda the oldest, had hymns in praise of the creator;
Yajur Veda spelled the ritual procedures; Sama Veda sets
the hymns for melodious chanting, & is the source of seven
notes of music; Artha Veda had hymns for warding off evil
& hardship, giving us a glimpse of early Vedic life.)

IMPACT OF FOREIGN INVASIONS:
Through the winding Khyber Pass cutting through the rugged
Hindu Kush Range,
Came the Persians, Greeks, Muslims, the Moguls, and many
bounty hunters storming through north-western frontier gate;
Consisting of varied racial groups and cultures, they entered
India’s fertile alluvial plains!
Therefore, while tracing 5000 years of Art Story, one cannot
divorce Art from India’s exotic cultural history.
From the Cave Art of Bhimbetka, to the dancing girl of Harappa,
To the frescoes and the evocative figures of Ajanta and Ellora;
Many marvelous and exquisitely carved temples of the South,
And Muslim and Mogul architecture and frescoes along with
India’s rich Folk Art, enriched her artistic heritage no doubt!
Yet for a long time Indian Art had been the least known of
the Oriental Arts,
Perhaps because from Western point of view it was difficult
to understand the spirit behind Indian Art!
For Indian Art is at once aesthetic and sensual, also passionate,
symbolic, and spiritual !
It both celebrates and denies the individual’s love of life,
where free instinct with rigid reason combine !
These contradictory elements are found side by side due to
her culturally mixed conditions, as I had earlier mentioned!
Now, if we add to this the constant religious exaltation,
With the extensive use of symbolic presentation, from the
early days of Indian civilization;
We have the basic elements of an Art, which has gradually
aroused the interest of Western Civilization!

The further we get back in time, we only begin to find,
That religion, philosophy, art and architecture,
Had all merged into an unified whole to form India’s
composite culture!
But while moving forward in time, we once again find,
That art, architecture, music, poetry and dance, all begin to
gradually emerge, with their separate identities,
Where Indian Art is seen as a rich mosaic of cultural diversity!

(NOTES:-In the ancient days, the Saraswati River flowed from the Siwalik Range of Hills (foothills of the Himalayas) between Sutlej & the Yamuna rivers, through the present day Rann of Kutch into the Arabian Sea, when Rajasthan was a fertile place! Indus settlements like Kalibangan, Banawalli, Ganwaiwala, were situated on the banks of Sarsawati River, which was longer than the Indus & ran parallel, and is mentioned around50 times in the Rig Veda! Scientists say that due to tectonic plate movements, and climatic changes, Saraswati dried up around 1700BC ! The people settled there shifted east and the south, during the course of history! Some of those Indo-Aryan speaking people were already settled there, & others joined later. Max Muller’s theory of an Aryan Invasion which destroyed the Indus Valley Civilization during 1500BC, supported by Colonial Rulers, was subsequently proved wrong ! Indo-Aryans were a Language group of the Indo- European
Language Family, & not a racial group as mistaken by Max Mullar! Therefore Dr.Romila Thapar calls it a gradual migration, & not an invasion! The Vedas were indigenous composition of India. However, they got compiled & written down for the first time with commentaries, at a much later date! I have maintained this position since it has been proved by modern scholars scientifically!)

SYMBOLISM IN INDIAN ART
From the ancient Egyptian hieroglyphic to the Cretan Bull
of Greece,
Symbols have conveyed ideas and messages, fulfilling
artistic needs.
The ‘Da Vinci Code’ speaks of Leonardo’s art works as
symbolic subterfuge with encrypted messages for a secret
society!
While Indian art is replete with many sacred symbols to
attract good fortune, for the benefit of the community!
The symbols of the Dot or ‘Bindu’, the Lotus, the Trident,
the Conch shell, the sign and chant of ‘OM’, are all sacred
and divine;
For at the root of Indian artistic symbolism lies the Indian
concept of Time!
The West tends to think of time as a dynamic process which
is forward moving and linear;
Commencing with the ‘Big Bang’, moving towards a ‘Big
Crunch’, when ‘there shall be no more time’, or a state of
total inertia !
Indian art and sculpture is influenced by the cyclic concept
of time unfolding a series of ages or ‘yugas’;
Where creation, destruction and recreation, becomes a
dynamic and an unending phenomena!
This has been artistically and symbolically expressed in the
figure of Shiva-Nataraja’s cosmic dance,
Which portrays the entire kinetic universe in a state of
eternal flux!
The hour-glass drum in Nataraja’s right hand symbolizes
all creation;
Fire in his left hand the cyclic time frame of destruction!
The raised third hand is in a gesture of infinite benediction;
And the fourth hand pointing to his upraised foot shows the
path of liberation!

It was easier to teach the vast untutored population through
symbols, images, and paintings in the form of Art;
For a picture is more effective than a thousand words!
The Dot or ‘bindu’ becomes the focus for meditation,
Where the mental energies are focused on a single point of
creation,
As seen in the cotemporary art works of SH Raza’s
artistic representations!
Yet the same dot when expanded as a circle becomes
wholeness and infinity;
The shape of celestial bodies of the cyclic universe in its
creativity!
The Lotus seen in many sculptures, on temple walls, and
majestic columns, denotes purity;
A symbol of non-attachment rising above the muddy waters,
retaining its pristine color and beauty!
The Lotus is a powerful and transformational symbol in
Buddhist Art,
Where pink lotus is for height of enlightenment, blue for
wisdom, white for spiritual perfection, and the red lotus
symbolizing the heart!
This Lotus symbol also finds a place in Mughal sculptural
carvings and miniatures;
The inverted lotus dome resting on its petals, forms the
crown of Taj Mahal’s white marble architecture!
The trident or ‘trishul’ symbolizes the three god-heads
Brahma, Vishnu and Shiva;
As the Creator, Preserver and Destroyer, in that cyclic
chain which goes on forever!
The ***** stone of Shiva-lingam surrounded by the oval
female yoni symbolizes fertility and creation,
Usually found in the inner sanctuary of Hindu temples!
Finally, the symbol of ‘OM’ and its vibrating sound,
Echoes the primordial vibrations with which space and
time abounds!
All matter comes from energy vibrations manifesting
cosmic creation;
Also symbolized in Einstein’s famous matter-energy equation!
The Conch Shell a gift of the sea when blown, sounds the
ancient primordial vibration of ‘OM’!
It’s hallowed auspicious sound accompanies marriage
ceremonies and rituals whenever occasion demands;
And pacifies mother earth during Shiva-Nataraja’s sudden
seismic dance! (earthquakes)
Dear readers the symbols mentioned here are very few,
Mainly to curb the length, while I pay Indian Art my
artistic due!

A BRIEF COMPARISON OF ART:
Despite the many foreign influences which entered India
through the Khyber and Bholan pass,
India displayed marvelous adaptability and resilience, in
the development of her indigenous Art!
The aesthetic objectivity of Western Art was replaced by
the Indian vision of spiritual subjectivity,
For the transitory world around was only a ‘Maya’ or an
Illusion,- lacking material reality!
Therefore life-like representation was not always the aim
of Indian art,
But to lift that veil and reveal the life of the spirit, - was
the objective from the very start!
Egyptian funerary art was more occupied with after-life
and death;
While the Greeks portrayed youthful vigor and idealized
beauty, celebrating the joys of life instead!
The proud Roman Emperors to outshine their predecessors
erected even bigger statues, monuments, and columns
draped in glory;
Only in the long run to drain the Roman treasury, - a sad
downfall story!
Indian art gradually evolved over centuries with elements
both religious and secular,
As seen from the period of King Chandragupta Maurya,
Who defeated the Greek Seleucus, to carve out the first
united Indian Empire ! (app. 322 BC)

SECULAR AND SPIRITUAL FUSION IN ART:
Ancient Indian ‘stupas’
and temples were not like churches
or synagogues purely spiritual and religious,
But were cultural centers depicting secular images which
were also non-religious!
The Buddhist ‘stupa’ at Amravati (1stcentury BC), and the
gateways at Sanchi (1stcentury AD), display wealth of carvings
from the life of Buddha;
Also warriors on horseback, royal procession, trader’s caravans,
farmers with produce, - all secular by far!
Indian temples from the 8th Century AD onwards depicted
images of musicians, dancers, acrobats and romantic couples,
along with a variety of Deities;
But after 10th Century ****** themes began to make their mark
with depiction of sensuality!
Sensuality and ****** interaction in temples of Khajuraho and
Konarak has been displayed without inhibition;
As Tantric ideas on compatibility of human sexuality with
human spirituality, fused into artistic depictions!
Religion got based on a healthy and egalitarian acceptance
of all activities without ****** starvation;
For the emotional health and well-being of society, without
hypocritical denial or inhibition!
(’Stupas’= originated from ancient burial mounds, later became devotional Buddhist sites with holy relics, & external decorative gateways and carvings!)

KHJURAHO TEMPLE COMPLEX (950 - 1040 AD) :
Was built by the Chandela Rajputs in Central India,
When Khajuraho, the land of the moon gods, was the first
capital city of the Chandelas!
****** art covers ten percent of the temple sculptures,
Where both Hindu and Jain temples were built in the north-Indian
Nagara style of Architecture.
Out of the 85 temples only 22 have stood the vagaries of time,
Where a perfect fusion of aesthetic elegance and evocative
Kama-Sutra like ****** sculptural brilliance, - dazzle the eyes!

KONARAK SUN TEMPLE OF ORISSA - EAST COAST:
From the Khajuraho temple of love, we now move to the
Konark temple of *** in stones - as art!
Built around 1250 AD in the form of a temple mounted on
a huge cosmic chariot for the Sun God;
With twelve pairs of stone-carved wheels pulled by seven
galloping horses, symbolizing the passage of time under
the Solar God !
Seven horses for each day of the week, pulls the chariot
east wards towards dawn;
With twelve pairs of wheels representing the twelve calendar
months, as each cyclic day ushers in a new morn !
The friezes above and below the chariot wheels show military
processions, with elephants and hunting scenes;
Celebrating the victory of King Narasimhadeva-I over the
invading Muslims!
The ****** art and voluptuous carvings symbolizes aesthetic
bliss when uniting with the divine;
Following yogic postures and breathing techniques, which
Tantric Art alone defines!
(
Both Khjuraho & Konark temples were re-discovered by the
British, & are now World Heritage Sites!)

Artistic invention followed the model of cosmic creation;
Ancient Vedic tradition visualized the spirit of a joyous
self-offering with chants and incantations!
The world was understood to be a structured arrangement
of five elements of earth, water, fire, air, and ethereal space;
Where each element brought forth a distinct art-expression
with artistic grace!
Element of Sculpture was earth, Painting the fluidity of water,
Dance was transformative fire, Music flowed through the air,
and Poetry vibrated in ethereal space!

CONCLUDING INTRODUCTION TO INDIAN ART:

Indian Art is like a prism with many dazzling facets,
I have only introduced the subject with its symbolism,
- without covering its complete assets!
After my Part Three on ‘Etruscan and Roman Art’,
Christian and Byzantine Art was to follow;
But following request from my few poet friends I have
postponed it for the morrow!
Traditional Indian Art survives through its sculptures,
architecture, paintings and folk art, ever evolving with
the passing of time and age;
Influenced by Buddhist, Jain, Muslim, Mogul, and many
indigenous art forms, enriching India’s cultural heritage!
While the art of our modern times constitutes a separate
Contemporary phase !
The juxtaposition of certain concepts and forms might
have appeared a bit intriguing,
But the spiritual content and symbolism in art answers
our basic artistic seeking!
The other aspects of Indian Art I plan to cover at a later
date,
Hope you liked my Introduction, being posted after
almost forty days!
ALL COPY RIGHTS ARE WITH RAJ NANDY
E-Mail: rajnandy21@yahoo.
    FEW COMMENTS BY POETS ON 'POETFREAK.COM' :-
I have a vicarious pleasure going through your historical journey of Indian art! Thanks for sharing this here! 2 Mar 2013 by Ramesh T A | Reply

The prism of Indian Art is indeed has myriads of facets and is an awesome mixture of many influences some of which you list here so clearly - a very understandable presentation of symbolism too - -thank you for your fine effort Raj. 2 Mar 2013 by Fay Slimm | Reply

Oh what an interesting read with immense information capturing every single detail. You painted this piece of art with utmost care. Truly, it's works Raj…tfs 2 Mar 2013 by John Thomas Tharayil | Reply

First, I have to say, the part about the lotus symbolism reminds me – My name ‘NILOTPAL’ can be split into ‘NIL’ meaning BLUE and ‘UTPAL’ meaning LOTUS. So my name represents wisdom (although it contradicts ME.. LOL). A lot of things were mentioned in the veda and other ancient Indian texts that were way ahead of the time Like the idea of ‘velocity of light’ got considerable mention in the rig veda-Sahan bhasya, ‘Elliptical order of planets, ‘Black holes’ , although these are the scientific aspects. The emphasis on contradictory elements or even the idea of opposites in Indian art is interesting because India developed the mathematical concept of ‘Zero’ and ‘infinity’. Hard to believe Rajasthan was a fertile place but now it possesses its own beauty. It was great to read about the Natraja, ‘OM’ and the trident(Trishul). Among symbolisms, Lord Ganseha is my favorite because a lot is portrayed in that one image like the MOOSHIK representing
When I composed the History of Western Art in Verse & posted the series on 'Poetfreak.com', few Indian poet friends requested me to compose on Indian Art separately. I am posting part one of my composition here for those who may like to know about Indian Art. Thanks & best wishes, -Raj
Krezeyyyy Oct 2016
Wala ni nako gisuwat para mubalik ka
Para makahibaw ka nga sakit gihapon
Ug basin makahunahuna kan'g sa imung kaluoy
Mubalik ka nako.
Nagsuwat ko kay mao ni ako.
Magsuwat sa kung unsa'y
Ganahan,
Kinahanglan nakong ipagawas
Isuwat ug nagdahum ug naglaum
Nga sa paghuman ani
Mahuman nasad tanang kasakit
Kay sa pagkakarun sakit gihapon
Sakit kaayu
Sakit nga dili matangtang
Abi kog ako'y mupilit sama sa bubble gum
Sa imung sapatos.
Apan kasakit.
Kasakit ang nipilit pagkahuman
Sa atung paglakaw,
Sa pila ka buwan nga
Kauban ta.

Kasabut ko
Wala'y kita,
Dili kita,
Dili pwede,
Dili na,
Dili man gyud.
Pero salamat
Sa paghatag ug higayon
Sa pagpahibaw sa pagpabati
Sa kita, sa kita ug sa mga plano
Sa mga adlaw nga puno sa kalipay
Sa mga kanta,
Sa mga sulat,
Sa paglaum nga pag-abut sa ugma
Naa pa,
Kita.
Sa pagbati nga wa'y sama
Ug bisan pa'g nahuman na tanan
Naa pa gihapon ko
Nagpabilin nga nituo
Sa kita, sa kung unsa ta
Sa usa'g usa.

Wala ni nako gisuwat sa pagbasul
Sa kalagot, aligutgot
Bisag akong kasingkasing karun nadugmok
Abi ko'g ang kasakit ang pinakasakit
Apan kalipay.
Kung mangutana ka asa ang pinakasakit
Sa tanan, sa katung kita pa
Katung nitawag ka ug wala ta'y laing gibuhat
Kundi magpulipuli ug sugid sa atung gugma
Sa usa'g usa.

Sakit.
Sakit kaayu.
Sakit nga wala'y sama.
Wala ko kahibaw asa taman
Hangtud kanus-a ko magpuyo aning kasakit
Pero wala ko nagbasul
Ug kung mangutana ka kung
Pabalikon ko atung mga higayona
Kung musugot ba ko'ng sa maka-usa pa,
Mubalik ko sa adlaw nga naka-ila tika
Ug wala ko'y usbon
Padayung tikan'g tan-awn, maghulat
Padayun kon'g magpaabut nga imu kong lingi-un
Ug sa maka-usa pa,
Isugid sa imu tanan'g akong nasugid na.
M e l l o Jul 2019
Simpleng aya lang pero alam ko na kung ano ang naglalaro sa isip mo.

Ano na? Sasama ka ba?
Wag kang mag-alala hindi ako magtatanong kung
"open minded ka ba?"

Kung matagal na tayong magkakilala
alam na alam mo na kung ano ang aking sadya.

Umpisahan natin sa simpleng kamustahan,
madalas pag ako nag-aya malamang matagal tayong hindi nagkita
Saan ba tayo magkakape?
Ayos lang ba sayo
kung d'yan lang sa tabi tabi?
Pero alam kong mas maganda
ang usapan natin sa loob ng magandang café
pero pag wala tayong budget
baka naman pwede na iyong nescafé?
Ano ba mayroon sa pagkakape?
At bakit tila ba napakaimportante?
Ang tanong ano ba ang iyong forté?
Oh natawa ka mali pala ang aking sinabi
Ang ibig sabihin ko ay ano ba
ang gusto mo sa kape?
Malamig o maiinit?
Latté ba o yung frappe ang gusto mo
okay na ko sa brewed o americano
sorry medyo lactose intolerant ako
kaya bahala ka na mamili ng gusto mo
may kwento ako habang ika'y namimili
kwentohan kita tungkol sa mga taong
minsan ko nang inaya o di kaya'y nag-aya sakin na magkape
at sana mabasa niyo din ito
alam niyo na kung sino kayo dito,
wag kayong kabahan sa pagkat
ang inyong mga pangalan ay hindi ko
ipaglalandakan masyado akong concern sa pagkakaibigan natin
baka ako ay inyong biglang iwanan wag naman.


Simulan natin ang kwento sa kaibigan kong mga lalaki,
special 'tong dalawa kasi kakaiba
yung isa ang lakas ng loob niyang ayain ako
nang makapasok kami sa café
akala ko magkakape kami
akala ko lang pala yun
aba'y pagkapasok umorder agad ako ng kape
pero siya'y umorder ng tsokolate
loko 'to na scam ako
habang yung isa well,
ako yung nag-aya medyo matagal na din kaming hindi nagkita
kaya naman ako'y nabigla bagong buhay na daw siya
at umiiwas magkape sabi niya
gusto pa daw niyang matulog
nang mahimbing mamayang gabi
kaya ayun tsokalate din ang pinili
Ano?
Alam mo na yan kung sino ka d'yan.

Kinakabahan ka na ba?
Ikaw na kasunod nito.

May dalawa pa akong kaibigan
na lalaki,
pareho silang pag nag-aaya magkape
kailangan ko pang bumyahe
yung isa mailap at andyan lang
sa makati
at yung isa kailangan ko pang mag mrt kasi nakatira siya sa quezon city
sobrang weird lang ng isa kasi
yung bagong flavor sa menu nang café
tinatry niya parati
banggitin ko yung nasubukan niyang
flavor sa teavana series ng SB
Hibiscus tea with pomegranate
nasabi mo lasang gumamela
at yung matcha & espresso fusion
na nagmadali kang umuwi pagkatapos **** uminom
Hulaan mo kung sino ka rito?


Lipat tayo sa mga kaibigan
kong mga babae
pero bago ko simulan ang kwento,
madami akong kaibigang babae na sobrang mahilig din magkape
pero pasintabi sa mga lalaki
may gusto lamang akong ipabatid
pag kaming mga babae
ang magkakasamang magkape
pag ikaw ang nobyo ng isa dito'y
malamang lovelife ninyo ang topic
wag mabahala kapatid kasi
madami dami din naman kaming
napag-uusapan maliban sa lovelife niyong medyo kinulang
minsan may nangyayari pang retohan
pero lahat yun biro lang baka mapagalitan
pag ang topic na yan ang hantungan
kung ikaw ay nasa tabing mesa lang
malamang mapapailing ka na lang
sa mga topic namin na
punong puno ng kabaliwan
minsan pinaguusapan pa namin
kung sino yung couple
na naghiwalayan kamakailan, inaamin ko
songsong couple kasama sa usapan.

Dalawang grupo 'tong kasunod.

Eto yung mga kaibigan ko na kung kami'y magkape puro deep talks ang nangyayari,
mga bagay sa mundo na hindi mo akalain nakakagulo sa taong akala mo hindi pasan ang mundo.
Mabibigat na usapan na may kasamang konti lang naman na iyakan
sama ng loob, pagkabigo at sobrang pagka stressed sa trabaho.
Ilang mura ang maririnig mo
pag sensitive ka at hindi nagmumura
hindi ka kasama dito.
Eto yung deep talks na walang tulogan
alam mo na yan part ka dito
mga usapan na kung iyong pakikinggan ay
masasabi mo sobrang weird naman
ang mga topic ay everything
under the sun yun nga lang dudugo tenga mo sa technical terms at englishan.

Eto yung grupo ng deep talks yung topic ay puro pangarap, eto yung deep talks na masasabi kong very inspirational at educational. Hindi tulad ng naunang grupo
sa ganitong usapan madami kang malalaman.
Dito lalabas ang mga katagang
"Wag mo kasing masyadong galingan"
at yung "baka hindi mo ginalingan"
Sasakit ang tiyan mo kakatawa at sasakit mata mo sa kakapigil ng iyong luha eto yung genres ng deep talks na may humor, drama, slice of life, at shoujo.
Mga usapang trabaho katulad nang parang naging monotonous at routinary na ang buhay:
Need mo lang ng new environment?
Mag bakasyon ka?
Career growth?
Feeling stagnant?
At
Mga usapang gigil sa ganitong mga tirada:
Ilang taon ka na?
Kelan ka mag-aasawa?
May boyfriend ka na ba?
Nagpapayaman ka ba?
Bakit si ano may ganito na ikaw kelan?
Naka move on ka na ba?

Ano asan kayo d'yan?
Wala ba?

May grupo din na sila laging nag-aayang magkape, mga kaibigan ko na ang usapan lagi ay magkita
sa ganitong oras ay palaging
hindi sumasakto ang dating
Pag eto yung kasama ko puro usapan namin ay mga memories noong elementary
minsan lang magkakasama pero ang samahan solid naman ang lalakas mag kulitan o ano kelan ulit tayo pupunta ng mambukal?
Sino na ang ikakasal?


Sa sobrang dami kong nabanggit
muntik ko nang makalimutan ang dalawang babae na 'to
pag kami nagkikita bakit puro ako yung napupurohan sa asaran
ang layo namin ngayon pero sana
pag-uwi ay magkakape ulit tayong tatlo
sobrang dami ko nang baong kwento malamang yung isa dyan isang maleta ang hila niyan
sagot ko na ang kape pero pakiusap
hayaan niyo muna akong makaganti.


Ang dami ko nang naikwento pero hindi mo ba naitanong
kung saan nanggaling ang pagkahilig
ko sa kape? Walk through kita sa buhay ko, mahilig magkape ang papa ko, mas naunang nakatikim ng kape ang kapatid ko, yung isa hindi mo mapipilit magkape at madalas magsimsim ang mama ko sa kape ko.

May mga tao din akong nakasama magkape, may mga sobrang ganda ng topic. Dali na kwento mo na. May mga taong tatanungin ka din kong ano ba ang hilig mo pati pagsusulat ko kinakamusta ako.
Hindi lahat alam na nagsusulat ako yung iba na may alam, kabahan kana alam **** andito ka.

Salamat sa pagbabasa, ngayon lang ako lumabas para isama ka sa obra na 'to.
Asahan mo na marami pang kasunod na iba,
nakatago lang sa kahon kung saan memoryado ko pa.


Lahat nang naikwento kong tao mahalaga sa buhay ko, yung iba nakilala ko lang nang husto dahil sa simpleng salita na "kape tayo"
Alam mo na kung bakit importante sakin ang pagkakape?
Alam mo na ang aking sadya?
Kung hindi pa baka hindi mo pa ako kilala. Handa akong magpakilala sayo, makinig sa kwento mo. Nag-aalala ka na baka isulat ko?
Sasabihan kita ng diretso kung oo.
Hindi mo pa ba ako nakasama magkape?
Ngayon pa lang inaanyayahan kita, taos puso kitang iniimbitahan.

"Kape tayo"

Sana sumama ka.
Poetry appreciation piece for my family, friends & coffee buddies
Coco Aug 2019
Saat itu dia melihatku,
Aku....hanya bisa melihat sekitar
Kau tau kan bagaimana rasanya?
Sangat malu hehe
“Tunggu disini, aku akan mengantarmu”
Dia pergi dengan kikuk, mengambil kendaraan
Meninggalkanku yg kikuk juga
Kenapa sih dunia ini
Kenapa kami jadi sama sama kikuk
Sama sama malu
Sama sama kaget
“Hhhh” helaan napasku terdengar
“Kenapa?” Tanyanya
Aku kaget “gapapa hehe”
“Lucu sekali” katanya sambil menampilkan senyum khasnya
Bagaimana ini?!
Rasanya duniaku teracak
Luruh bersama senyumnya
Tolong aku.....
supman Dec 2015
Sa iyong paglisan,
at pag sama sa kanya
Maraming  katuanungan ang nabuo,
naubo sa aking isipan

Bakit siya,
Bakit hindi nalang ako
Ano bang nakita mo sa kanya,
ano bang nakita mo sa kanya na wala ako

Galing sa pagsayaw,
galing sa pagkanta,
galing sa ano,
sabihin mo

Lahat gagawin ko para sa iyo,
pero kahit anong gawin ko
kaibigan lang talaga ako para sa iyo
at ito'y hindi magbabago
Anton Jul 2019
Cge, salamat kaayo sa tanan ha?  
Sa memories ug sa melodies,
the songs you sang and played for me ,
Sa gamay nga oras nimo nga gihatag,
Sa gugma na kanako  imohang gidalit,  
Pasayloa na ang imong gugma nausik lang ug nasayang,
Dre kanako na usa ka taw nga walay hinungdan, sama kanako nga daw sagbot lang sa katilingban,  
Sama kanako nga  sa kinabuhi walay padulngan,
Sama kanako na sa gugma nimo dili takos ug angay,
Sama nako nga sa kinabuhi ug katawhan gina tamay,
Mao ikaw langga ayaw na pag langay,  
arun makita ug maka.ila na nimo ang taw  na kanimo muhigugma nimo ug tinud.anay,
ang taw nga makauban nimo kanunay,

Pasagdi nalang ko dri,
Biyae nalng ko dinhi,
Dle nako magdahum na muabot ug kanimo naapay mo puli,
Busa ako, hikalimti,

Pero ilawm sa akong kasing kasing naa gihapon ka magpabilin,
Manghinaut na ikaw nalipay pod sa akong pag.abot ,
Nga unta ikaw dle mag bago ug dle makalimot,
Sa mga panumpa ta,
nga matud pa walay katapusan,

Dle na nako mahimong pugngan,
ang gibating kasikas ning akong dughan,
Ipagawas ra nako ning tanan,
Mga kasikit ug kaguol ig bundak sa uwan,

Unta puhon sugaton ug madawat nimo,
Ang kamatuoran nga wan.a juy kita,
Ayaw lang pabali ug kabalaka,
Kahibaw ko naara ang taw nga kanimo andam mohigugma.

Salamat azaraya
JK Cabresos Nov 2011
Wala ko gihandom nga ikaw makit-an
     ning mga mata
Ug wala usab ko gihandom nga ikaw
     higugmaon ko pa,
Kay ikaw wala ko nahigustuan
    niadtong mga panahona
Ug sa dihang naibog man nuon ko nimo
     karon sa pagsobra-sobra.

Bidli man paminawon, apan kini
     mao mo'y tinuod
Tinuod pa sa unsang kamatuoran, wala man
     unta ni sa sugod:
Ug sa dihang karon pa na ko
     nahibaw-an nga ikaw diay
Ang bugtong kalibutan ning mga tiil
     ko nga gibaklay.

Apan ikaw usab langit ug ako
     usa lamang ka yuta;
Apan ikaw lisod tawon abton
     niining mga kamota
Ug sa dihang asa man ko
     karon nga mulugar,
Kay gikinahanglan pa ang tanan
    ko nga isugal?

Ug sa dihang gugma nga dili unta
     sama sa giatay;
Kung ikaw maako ug ako maimo,
     dili ka gayud magmahay:
Pagahigugmaon taka hangtod
     sa walay kahangturan
Kay ikaw pud usa ka dyamante
     nga tunhay nga handumanan.

Ikaw ra ang naa niining akong
     utok ug dughan,
Ug bisan pa'g uklabon mo wala
     nay lain, wala nay uban
Kay ikaw usa ka babaye nga lisod
     gayud pangitaon ug ilisdan;
Ug sa dihang magapaabot na lamang
     pud ko nga ako usab imong makit-an.
© 2011
Miru Mcfritz Jan 2019
sa gabi ito nararamdaman ko
ang lamig kung saan ang katawan ko ay nanginginig
ang gabi na bilang lang
ang natatamaan ng liwanag
ng buwan sa daan


nag lakad ako sa dilim para
magpahangin at mag isip isip ng mga bagay na gumugulo at sumasagi sa utak ko
ito ba mga bituin tinitingala ko
ay totoo bang tinutupad
ang hiling ng mga tao?

o isa lang silang bagay na
palamuti sa itaas ng kalawakan
para maging matingkad
ang mga gabi at mag bigay ng
kislap sa itaas ng kalangitan
para matawag itong maganda

minsan naniwala ako sa kasabihan kapag nakita mo ito
sa kalangitan kung saan
ang pakiramdam mo ay hindi
mo maintindihan.
subukan mo ibulong sa bituin

at pagkatapos sabihin mo
dito ang mga gusto ****
mag bago sa sitwasyon na
naaayon sa kagustuhan mo
at ibibigay at magkakatotoo

sinubukan ko gawin ito ng
mataimtim. sinabi ko na lahat
ng aking hinanakit at sakit
ibinulong ko ito sa mga bituin
na may kasama pang luha
baka sakali sakin ay maawa

hiniling ko na sana ay bumalik ka.
yakapin ako muli at hindi kana aalis pa
hahawakan ang aking kamay
at sasabihin sakin hindi mo
kaya
hiniling ko rin na sana sabihin
**** mayroon tayo pa

ilang gabi pa ang mga dumaan
sinubukan ko mag lakad lakad
sa madilim na daan
at mag isip kung saan na ba
napunta ang mga hiniling

kung ito ba'y pagpapalain sakin
o ito ba ay mababaliwala
at mag lalaho lang din ng bula
kasama ng mga hiling ko
kung babalik ka pa ba

napag tanto ko kaya hindi
sinang ayunan ang aking
mga hiling ay parehas tayong
humiling sa bagay na
ginusto na mangyari para satin

ikaw na gusto **** bumalik sya
at mahalin ka ulit
ikaw na pinapangarap sya
ikaw na sana hindi na ulit kayo
maghihiwalay pa

at ako na umaasa babalik kapa
ako na nag hihintay at umaasa
ako na humihiling pa ng
pangalawang pagkatataon
para mahalin.
ako na sana ay piliin mo rin.

nabaliwala ang lahat ng hiniling para sa ating dalawa.
naisip ko na hindi naman
natin kailangan ang mga bituin
na to para hilingin ng mga bagay
na gusto natin

dahil tayo ang mga bituin
sumabog sa kalangitan pagkatapos ng ating mga hiling
para sa atin ay magpapasaya

tayo ang mga bituin tutupad
sa gusto natin mabago ang lahat
tayo ang mga bituin noon ay
nag ningning at nag sama
pero mali ang tinalikdang daan

tayo ang mga nawalang
bituin sa kalangitan at pinag
tagpo ng kapalaran at
pagkakataon para hilingin
sa bawat isa pero iba ang gustong makasama.

tayo ang mga bituin na yon
tayo ang mga bituin nag ningning noon
tayo yon
tayo ang bituin na yon.
solEmn oaSis Jan 2016
with a bit of "the significance of essence" (ang kabuluhan ng kakanyahan)

ako'y pinoy sa isip, sa puso't damdamin
at may paniwala sa sariling atin
gawaing pinoy maipagmamalaki
isigaw sa mundo at ipagsabi
na...
Dito sa Silangan ako ay isinilang
Kung saan nagmumula ang sikat ng araw
Ako ay may sariling kulay na kayumanggi
Ngunit hindi ko maipakita tunay na sarili
Kung ating hahanapin ay matatagpuan
Tayo'y may kakanyahan dapat na hangaan
Subalit nasaan ang sikat ng araw
Ba’t tayo ang humahanga doon sa Kanluran (Francis "kiko" Magalona)

(Gloc 9)
Bato bato sa langit
Ang tamaan’y wag magalit
Bawal ang nakasimangot
Baka lalo ka pumangit
Pero okay lang
Hindi naman kami mga suplado
Sumabay ka sa amin na parang naka eroplano
Sa tunog ng gitara
Kasama ng pinakamalupit na banda
Pati si "kiko"
Magaling-hindi parin kayang tapatan
Parang awit na lagi **** binabalik balikan
Stop-rewind i-play mo
Nakapakasaya na para bang birthday ko
Alam mo na siguro ang ibig kong sabihin
Hindi na kelangan pang paikutikutin
Baka lalong matagalan lang
Lumapit at makinig na para iyong maintindihan
Mga salitang sinulat na hindi ko papel
Pero pwede ilatag
Na parang banig na higaan
Kapag hinawakan ang mikropono parang nabubuwang
Eh kasi naman siguro
Ganyan lang kapag gumagawa kami ng bago
Medyo nabibilisan
Hindi mo naisip na pwedeng mangyari
Magkasamasama lahat ay kasali!

(solEmn oaSis)
minsan ko nang ipininta
aparisyon ng aking obra
doon,,, manipulasyon lamang ang kontra
pagkat ilusyon lang ang gamit kong tinta
o pareng makata
imulat ang mata
sa larawang likha ng madamdaming kataga
kung itutuon sa puso't isipan, titimo talaga
sa isang alagad ng sining
walang boses na matining
ang tulad nating mandirigma ay isinilang
upang ang kapayapaan ay isaalang-alang
bato-bato sa lawak ng langit
hinde tamaan wag magagalit
sa aking apat na sulok ng panitik
mensahe ko sa quadro ay hitik
ang lihim sa likod ng lalim
may gintong butil na di patitigil
lantaran man ang talinghaga
patagong kaway agwat ng kataga
sapagkat sa bawat pag-ani
ng parirala sa aking balarila
muli ngang sisibol itong binhi
at para sa kanya...ako ay nag-punla

(curse one)
bilang isang nilalang na sumumpang
mag hahatid ng mga musikang
kaylan man ay hindi maka-kalimutan
at inaalay kahit kanino man
patuloy lang susulat ng tulang
sumusugat-gumugulat ang kantang
nakaka-mulat ng mata. Anu mang
pag subok kayang kaya pag nag sama sama na
ang mga sundalo ng kalsada
“Habang iyang edukasyo’y nakaluklok sa dambana,
kabataa’y yumayabong nang mabilis at sagana,
nararating pati langit ng magiting niyang diwa;
sa siklab ng edukasyon kasamaa’y humihina,
alam niyang paamuin iyang bansang walang awa,
ang mabangis ay nagiging bayani ng kanyang lupa.” (Jose "pepe" Rizal)
Eugene Feb 2016
Lumaki akong namulat na may pagkakaisa,
Pagkakaisang hindi dapat ipinagsasawalang bahala.
Kahit mailap man noong pagbubuklurin ang kapwa,
Nananaig pa rin ito kasama ang pagkakawang-gawa.


Isang simpleng salita, malalim naman ang kahulugan.
Maihahalintulad sa bigkis ng laksa ng magigiting na sandatahan.
Sama-samang lumalaban para sa kapakanan ng bayan,
Upang maisulong ang kabutihan, hatid ay kapayapaan.


Ngunit bakit ngayon, pagkakaisa ay kay ilap?
Parang ilaw sa kabaret, bihira **** mahapuhap.
Takot na ang iba, kinalimutan pang mahagilap,
Dahil nakaharang ang mga buwaya, tinakpan ang pangarap.


Huwag nating hayaang ito ay tuluyang maglaho.
Alisin ang pangamba, buhayin ang karapatang pantao.
Magkaisa sa isang diwa ng maka-masang pagbabago,
Nang mailigtas pati ang mga inosenteng bilanggo.
Jo Organiza Nov 2019
Pila ka kagabhi-on ang mga nilabay,
Dughang natagak na gibalik ug tapok
sama sa mga sanina sa ukay-ukay;
gilibutan sa kahibulongan ug katingalaan,
nangitag bubong na akong masandigan;
nangitag mga pulong na arun akong madula-dulaan.
Utok na sige'g kahinuktok,
aduna ba'y buwak na wala'y tunok na makatusok?
Puno sa mga pangutana,
apan kini wala nimo tubaga.

Maaghop na pagduyan sa hangin,
Mangatik diay ang mga buwak?
sama sa usa ka tunokon na buwak;
mga tam-is na labtik sa ilang mga dila,
nagpagawas ug hapsay na mga sturya,
sama sa mga linya sa usa ka salida.
Twitter: @JoRaika
Fahali Machi Mar 2012
sekali kau berbicara jujur mereka akan mematahkan hati mu.

jangan pernah melihat mata mereka,

karena akan membuat perasaanmu tercabikcabik

ku rekomendasikan kau tuk jaga jarak,

karena sekali kau dapat, kau hilang kontrol. jangan pernah jatuh cinta,

simpan di lubang kesepianmu

yang dalam

ambillah pengalaman bahwa bertindak depresi adalah konyol.

jangan pernah berbicara jujur.

jangan pernah.

karena seseorang yang kau cintai akan berbuat yang sama kepadamu.

kalau mereka melepas tanganmu,

dan menjatuhkan mu,

dan kau jatuh…

kau hanya berakhir untuk berpura-pura kepada semua orang

bahwa semua tidak pernah terjadi apa-apa..

kau tahu….kadang..

tawa tersedih adalah yang terkeras.
JOJO C PINCA Nov 2017
“The essence of reality is contradiction”
- Hegel

Ang tao ay likas na malaya, nabubuhay na malaya at dapat na maging malaya. Walang karapatan ang sinoman na mang-alipin. Hindi tayo pag-aari ninoman at walang taong ‘pweding umangkin sa kapwa n’ya. Ito ang batas ng kalikasan at ng uniberso. Walang panginoon at busabos, walang dapat na nag-uutos, at wala dapat mga alilang tagasunod. Sana ang buhay ay puro na lang Rosas at walang posas.

Subalit nagdilim ang kasaysayan nang maghari ang kasakiman na pinukaw ng matinding paghahangad ng iilan sa kayamanan. Kailangan na makakuha ng maraming kalakal nang lumawak ang merkado. Pero teka sino ang gagawa nito? Edi kunin ang mga mahihina at gawin silang mga alipin, pilitin na magtrabaho sa ilalim nang hagupit ng latigo. Hawakan sa leeg o di kaya naman ay kitilin, sa ganitong paraan sila dapat na pasunurin.

Tanang pagmamalabis ay may wakas. Hindi lang si Spartacus ang nag-alsa kundi pati ang mga itim na alipin. Sumiklab ang himagsikan sa paghahangad ng mga alipin na kumawala sa kanikanilang mga tanikala.

Dumating ang panahon ng Piyudalismo, nagbagong anyo lang ang halimaw at muli n’yang inalipin ang mga kapos-palad at mahihirap. Nangibabaw ang Aristokrasya na parang maitim na ulap na lumalambong sa himpapawid kaya hindi makita ang sinag ng araw. Salamat na lang at bumagsak ang Bastille at nagtagumpay ang rebolusyong Pranses.

Mula sa mga guho ng lipunang piyudal ay lumitaw ang mga bagong panginoon, ang mga Burgis. Sila ang mapagsamanta at naghaharing-uri sa ating panahon. Mga kapitalista, elitista at mga burgesya komprador.

At tayo na nasa baba, tayo na ang puhunan para mabuhay ay dugo’t pawis, tayo na mga proletaryo ang s’yang makabagong alipin. Mga alipin ng burgesya na ating pinapanginoon, tayo na lumilikha ng yaman ng bansa ang s’yang laging pinagsasamantalahan at binubusabos. Tinatakot na gugutomin kapagka hindi nagpa-ubaya at sumunod sa utos.

Habang tumatagal ay tumitindi ang mga salungatan at kontradiksyon sa pagitan ng mayaman at ng mahirap. Bulkan ito na sasabog sa bandang huli.

Ang batas ng kasaysayan ang nagsabi na ang lahat ng uri ng pang-aapi ay magwawakas. Nag-alsa ang mga alipin, naghimagsik ang mga pesante hindi magtatagal gustuhin man natin o hindi titindig ang mga proletaryo at sama-sama nilang ibabagsak ang kapitalismo na itinataguyod ng mga burgesya komprador.
Jigz Nov 2017
Wala ko gihandom nga ikaw makit-an
     ning mga mata
Ug sa dihang karon pa na ko
     nahibaw-an nga ikaw diay
Ang bugtong kalibutan ning mga tiil
     ko nga gabaklay sa panganod na way hulagway.
Apan ikaw lisod tawon abton
     niining mga kamota
Ug sa dihang asa man ko
     karon nga mulugar,
Kay gikinahanglan pa ang tanan
    ko nga isugal?
Ug sa dihang gugma nga dili unta
     sama sa giatay;
Kung ikaw maako ug ako maimo,
     dili ka gayud magmahay:
Ikaw ang bituon sa ngitngit kong
     baybayon
Ikaw ang katam-is Kalipay na way sama,
Kay ikaw pud usa ka dyamante
     nga tunhay nga handumanan.
Ikaw ra ang naa niining akong
     utok ug dughan,
Ug bisan pa'g uklabon mo wala
     nay lain, wala nay uban
Kay ikaw usa ka babaye nga lisod
  gayud pangitaon ug ilisdan;
Ikaw ba nasayod?
     sa likod ning pahiyum
     Ikaw lang Akong higugmaon
Unta ikaw maka dumdum
theivanger Jun 2019
Hindi naman ako galit
Sayo'y hindi naman inis
Katapatan ganon parin
Kaibiga'y maramdamin

Patawad unang sambit
Nitong kaibigan ay hibik
Paumanhin nawa'y kamtin
Siyang aking panalangin

Sama ng loob ang dulot
Kaibigang aking nilimot
Ngunit hindi nayayamot
Mawala ka'y aking takot

Tawanan laging naaalala
Biruan nating masasaya
Payo mo'y pumapayapa
Ng pusong lagi lumuluha

Sanay 'wag akong limutin
Kaibigan nagtatampo din
Gaya mo rin, may suliranin
Araw-araw aking pasanin.

Patawad kung nahirapan
na ako ay pakisamahan
Patawad kung di masiyahan
na ako ay pakitunguhan

Sanay huwag magsawa
Laging may laan na unawa
Kahit minsan nagagawa
Sayo'y hindi na nakatutuwa

Mga salitang akin nabitawan
Pawang totoong kahulugan
Subalit kaaway pinipigilan
Ang pagbabagong inaasam

Ngunit iyong laging tandaan
Oh aking mahal na kaibigan
Ikaw siyang kinasangkapan
Upang tungkuli'y masumpungan

Salamat sa Dios sa tulad mo
Sa mabubuting aral at payo
Ako'y walang kabuluhang tao
Kaibigan, sakin ikaw ay modelo
Mahirap talaga akong pakitunghan, sana huwag **** bitawan, hiling ko sa Dios akoy alalayan, patawad sa aking pagkukulang at sa sama ng loob na naidulot. Kung sakaling mabasa mo ang tula, sana wag mayamot. Salamat sa Dios sa pagkasangkapan sa pagbibigay ng inspiration at pagasa na sa kabila ng mga pagkukulang at kasalanang nagawa ay maari pang magpatuloy sa buhay at malakaran ang tungkuling pinapangarap. Salamat sa Dios sayo mahal at tapat na kaibigan.
Jo Organiza Jun 2021
Maglagot ko maglantaw sa bituon
kanunay gayod kalagot akong maipon
nahitungod kini tanan sa damgo daw lisod kab-uton.

Gisaad kong damgo na anaa sa kawanangan,
nagpangutana ug kini pa ba kay akong maabtan.

Wala nako kahibalo kung asa ko padulong
kanunay nalang gayod malipong ug mapakong
ug kana ang nag-inusarang hinungdan og
nganong maglagot ko maglantaw sa bituon.

Mga gi-amgo kong damgo
sama sa mga bulak sa hardinero
na uga ug nalaya ug 'di na gayod mutubo.
Balak- A Bisaya Poem.
Twitter: @drunk_rakista
Jo Organiza Jan 2021
Nagbaga nga kalayo sa atong kabatan-onan.
'di mapalong kon agi-an man sa mug-ot nga panganod ug uwan,
sama sa usa ka punoan nga aduna'y gibarugan,
'di matarug ug matangtang bisag kapila mo pang tayhupan.
Tayhupi ug hangin ang gabaga
nga uling sa imong kasingkasing.

Busa, pukawa ang nagbaga nga kalayo sa imong dughan
ug lihoki nag sugod ang mga gi-amgo **** damgo.

Twitter: @drunk_rakista
Balak - A Bisaya Poem.
Akira Dec 2020
Gusto ko nga masanag sama sa bulan,
sa ilawom sa langit nga gabii nagadan-ag ako.
Nahibal-an nako nga kini nga mga pangandoy matuman sa dili madugay.
Gihangyo ko nga kini nga mga pangandoy dili magpadayon ingon usa ka damgo.

Usa ako ka buhi nga tawo nga adunay katuyoan
alang sa matag gagmay nga mga butang nga akong nakita mao ang katahum.
Aron makab-ot ang akong katuyoan ang akong gipunting,
Akong atubangon kini nga mga hagit nga maisugon.

Akong kuptan og maayo
ug dili igsapayan kung unsa ang gihunahuna sa katilingban.
Basta nagbuhat ako og maayo,
Hatagan ra ko sila og kindat.

Kay nahibal-an ko nga makab-ot ko ang akong mga katuyoan someday,
Malipayon ako sa bisan unsang paagi.
This is a Bisaya version of my poem SOMEDAY.
I think I should do this because the old Bisaya language is slowly fading or forgotten.

PS for me this is the most romantic language ever!!
Susugod na sa bilang ng tatlo
Isa… Dalawa… Tatlo…
Sugod

Ang giyera ay nagsimula
Ilabas na ang mga baril at sandata
Ilabas na ang mga kanyon at bomba
Ang mga tauhan at ang mga preda

Magsisimula na ang giyera

GIYERA
Na tungkol sa pagbabalik wikang filipino
Na minsan nang ipinagmalaki ng ating bansa
At ngayon ay ikinahihiya at itinatago na lamang
Na minsan nang ipinagmaybang at itinangkilik
At ngayon ay naiwan lang at tinangay na
Ninakaw ng mga dayuhan

Nang ito ay mawala ay bigla mo na lamang pinalitan
Humanap ng iba sa paligid
At sa katiyakan ay nakahanap ka nga

Nahanap mo ang ingles
Kaya’t ikaw ay humanap ng sabon na magpapaputi
Kinuskos ng kinuskos ng matagal ngunit di gumana
Kumuha ng puting pampintura
Kinulayan ang sarili
Hindi lang ang kulay ng buhok ang nagiging artipisyal
Pati na rin ang kulay ng sariling balat

Ngunit sa isang iglap ay ikaw ay nagsawa na
Sa mumunting kulay na lagi nang nakikita
Naisipan **** maglibot pa
At lumibot ka pa

Nahanap mo ang koreano na nagsasabi ng
“Hart Hart Saranghaeyo oppa”
Kaya’t ikaw ay kumuha ng papel
At nag-aral ng wikang banyaga
Ngayon ay napakanta ka na rin ng kantahin
Na kahit ikaw ay hindi makaintidi
Pero kinakanta mo dahil nakakatuwa
Hindi ba?

Hindi nagtagal ay nagsawa ka
Sa mga kantahang hindi mo rin maintindihan
Kaya’t naglakbay ka pa
Naglakbay ka hanggang sa wala
Naglakbay ka hanggang sa ang araw ay dumilim at unti-unting pinalitan ng tala

Napagod ka

Napagod ka sa kahahanap ng bagay na hindi naman mapapasaiyo
Nakahanap ka nga pero hindi naman ito sa dugo mo ay itinatanggap
Nabigyan ka ng sagot na ang hinahanap mo ay
Nasa’yo na mismo
Hindi mo na kailangan humanap ng iba pa
Dahil ang wikang hinahanap mo ay nakabihag lamang

Ibinihag ito ng mga espanyol sa dulo ng puso mo
Para mapigilan ang pagbabago
Pagbabago na makakasira ng kaisipang kolonyal na nagsasabing
Ako ang piliin mo dahil dayuhan ako
Itinatatak sa isip mo

Laging magiging sosyal ang banyaga
Laging magiging bulok ang sariling wika
Laging magiging sosyal ang banyaga
Laging magiging bulok ang sariling wika

Nagtataka na ako sa iyo
Ang sarili **** wika ay nakabaon lamang sa puso **** nakakandado
Nasayo naman ang susi pero pilit **** isinasarado

Ano

nga ba ang pumipigil sa’yo

Handa na ako
Sa aking pagsuko

Pagsuko
Hindi dahil natalo ako
Pero dahil idinedeklara ko na ang aking pagkapanalo
Isusuko ko na ang mga sandata
Isusuko ko na ang giyera

Inaanyayaan kita
Sabay sabay tayo
Magkahawak ang kamay at hindi kakailanganing bumitaw at maghiwalay
Sama-samang baguhin ang mundo gamit ang sariling wika

Buksan ang nakakandadong puso
At doon ay makikita mo ang sedula

Hawak ko na ang sedula

Hawak ko na ang sedula
Ng pagkabilanggo ng wikang filipino
Handa na akong palayain ito at gamitin para sa pagbabago
Ang dating linya ay magbabago

Laging magiging sosyal ang sariling wika
Laging magiging sosyal ang sariling wika
Laging magiging sosyal ang sariling wika
Laging magiging sosyal ang sariling wika

Susuko na sa bilang ng tatlo
Isa. Dalawa. Tatlo.
Suko

Tapos na ang giyera
President Snow Dec 2016
Masama ba ang maging martyr?
Masama ba ang umasa sa wala?

Masama ba ang maghintay sa walang kasuguraduhan?
Masama bang sabihing nasasaktan pa rin ako?

Masama ba ang hilingin na sana ako ang kayakap mo?
Masama ba ang hilingin na sana ako ang nasa panaginip mo?

Masama ba ang hilingin na sana ako ang nasa likod ng pagtawa mo?
Masama ba ang hilingin na sana ako nalang siya?

Masama ba ang masaktan habang ikaw ay masaya?
Masama ba ang mahalin ka kahit may mahal ka ng iba?

Masama ba ang sabihing mahal pa rin kita kahit sorang sakit na?

Masama ba ang tawag doon?

*Kung ganun, sobrang sama ko pala.
Sobrang sama ko pala

— The End —