Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Lily May 2020
You’d think that after
All this time I’ve spent typing,
That I could spell “the”.

Brain gets going way
Faster than my hands and then
Teh the lights go BANG! out.

I’m in a horror
Movie and I can’t break free, can’t stop
This train of thought from

Moving onward, but
Then my dreaded enemy
Appears on teh screen.

Teh red squiggly line,
Object of my nightmares, bane
Of my existence.

I’m forced to stop, move
Teh cursor away from teh
Train, draining seconds.

Must catch up with my
Brain, must… I must… I’m losing
Steam… then another

Teh.
My English teacher challenged me to write a funny poem, so I decided to add onto my old poem "Teh."  Enjoy~
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Philia Jan 2018
I've always been in a hunt on a perfect teh-peng.

Toastbox's
& Ya Kun’s are my favorite.

I never drink that perfect combination of iced tea, sugar and milk since I got back here.

I cross around the city,
I went to almost every Singaporean's and Malaysian's restaurant in here,
But nothing can compare to Yakun's
Or even Toastbox's.


I know,
It's only a glass of milk tea,
What makes it a big deal.

I spent 3 years living in Singapore.
& almost every day I got a glass of teh-peng everywhere I go.

& 3 years for me is enough to learn and know which teh-peng is the best;
which is the worst.

Now, it's already been a year since I left Singapore.
& truth to be told, I already forgot how it tastes.
I already forgot how it always makes my day.

*How can you miss something, that you already forgot how it was?
I.
We received a letter from the Writers’ War Board the other day asking for a statement on “The Meaning of Democracy.” It presumably is our duty to comply with such a request, and it is certainly our pleasure. Surely the Board knows what democracy is. It is the line that forms on the right. It is the don’t in don’t shove. It is the hole in the stuffed shirt through which the sawdust slowly trickles; it is the dent in the high hat. Democracy is the recurrent suspicion that more than half of the people are right more than half of the time. It is the feeling of privacy in the voting booths, the feeling of communion in the libraries, the feeling of vitality everywhere. Democracy is a letter to the editor. Democracy is the score at the beginning of the ninth. It is an idea which hasn’t been disproved yet, a song the words of which have not gone bad. It’s the mustard on the hot dog and the cream in the rationed coffee. Democracy is a request from a War Board, in the middle of a morning in the middle of a war, wanting to know what democracy is.
—E. B. White

II.
Ew ievcdere a eterlt ofrm eht Wesirrt’ Wra Odabr eht oetrh ayd isankg ofr a saetmttne no “The Inegnam fo Yoracmdce.” It ypmlrseuab si uor tydu to ypclmo twhi cuhs a rteequs, and ti si inlytcrea uor plreusae. Elusry the Odbar nwosk htaw dymcercao si. Ti si het enli that froms on hte trghi. It si eht ond’t in nod’t hesvo. Ti is the hole in eth stffued rhist thghuro hhiwc eth tdsausw wyolls slrticke; ti is eht etnd in the ghih hat. Dyomcearc si eth ecnerturr insupicso atht oerm ntha fahl fo the ppleoe rae rhtgi omer anht afhl fo teh imet. Ti is hte ignelef fo iarvycp in eht ogtinv hsootb, hte eglefin of momcnuoin ni het bsiiarler, het ngeeifl of ilyvaitt eweyerhevr. Merdccayo is a lrette to eth eidort. Mdeccyaro is eht csroe at hte ninbginge fo eth nthin. It si na edia hcwih sahn’t eneb dpdsrevio tey, a nogs teh rdsow fo ciwhh hvae ont oneg adb. Ti’s teh damtrsu on hte hot dgo dna hte ermca ni teh deoanrit efcoef. Omeradycc si a eetsurq mofr a Rwa Daobr, ni the eddlim fo a orinnmg ni the dimedl fo a wra, twangni ot nkwo wtha ccoedryam si.
—B. E. Ithwe

III.
ǝʍɥʇı ˙ǝ ˙q—
˙ıs ɯɐʎɹpǝoɔɔ ɐɥʇʍ oʍʞu ʇo ıubuɐʍʇ 'ɐɹʍ ɐ oɟ ןpǝɯıp ǝɥʇ ıu bɯuuıɹo ɐ oɟ ɯıןppǝ ǝɥʇ ıu 'ɹqoɐp ɐʍɹ ɐ ɹɟoɯ bɹnsʇǝǝ ɐ ıs ɔɔʎpɐɹǝɯo ˙ɟǝoɔɟǝ ʇıɹuɐoǝp ɥǝʇ ıu ɐɔɯɹǝ ǝʇɥ ɐup obp ʇoɥ ǝʇɥ uo nsɹʇɯɐp ɥǝʇ s’ıʇ ˙qpɐ bǝuo ʇuo ǝɐʌɥ ɥɥʍıɔ oɟ ʍospɹ ɥǝʇ sbou ɐ 'ʎǝʇ oıʌǝɹspdp qǝuǝ ʇ’uɥɐs ɥıʍɔɥ ɐıpǝ ɐu ıs ʇı ˙uıɥʇu ɥʇǝ oɟ ǝbuıbquıu ǝʇɥ ʇɐ ǝoɹsɔ ʇɥǝ sı oɹɐʎɔɔǝpɯ ˙ʇɹopıǝ ɥʇǝ oʇ ǝʇʇǝɹן ɐ sı oʎɐɔɔpɹǝɯ ˙ɹʌǝɥɹǝʎǝʍǝ ʇʇıɐʌʎןı ɟo ןɟıǝǝbu ʇǝɥ 'ɹǝןɹɐıısq ʇǝɥ ıu uıonuɔɯoɯ ɟo uıɟǝןbǝ ǝʇɥ 'qʇoosɥ ʌuıʇbo ʇɥǝ uı dɔʎʌɹɐı oɟ ɟǝןǝubı ǝʇɥ sı ıʇ ˙ʇǝɯı ɥǝʇ oɟ ןɥɟɐ ʇɥuɐ ɹǝɯo ıbʇɥɹ ǝɐɹ ǝoǝןdd ǝɥʇ oɟ ןɥɐɟ ɐɥʇu ɯɹǝo ʇɥʇɐ osɔıdnsuı ɹɹnʇɹǝuɔǝ ɥʇǝ ıs ɔɹɐǝɔɯoʎp ˙ʇɐɥ ɥıɥb ǝɥʇ uı puʇǝ ʇɥǝ sı ıʇ ؛ǝʞɔıʇɹןs sןןoʎʍ ʍsnɐspʇ ɥʇǝ ɔʍıɥɥ oɹnɥbɥʇ ʇsıɥɹ pǝnɟɟʇs ɥʇǝ uı ǝןoɥ ǝɥʇ sı ıʇ ˙oʌsǝɥ ʇ’pou uı ʇ’puo ʇɥǝ ıs ʇı ˙ıɥbɹʇ ǝʇɥ uo sɯoɹɟ ʇɐɥʇ ıןuǝ ʇǝɥ ıs ıʇ ˙ıs oɐɔɹǝɔɯʎp ʍɐʇɥ ʞsoʍu ɹɐqpo ǝɥʇ ʎɹsnןǝ ˙ǝɐsnǝɹןd ɹon ɐǝɹɔʇʎןuı ıs ıʇ puɐ 'snbǝǝʇɹ ɐ sɥnɔ ıɥʍʇ oɯןɔdʎ oʇ npʎʇ ɹon ıs qɐnǝsɹןɯdʎ ʇı ”˙ǝɔpɯɔɐɹoʎ oɟ ɯɐubǝuı ǝɥʇ“ ou ǝuʇʇɯʇǝɐs ɐ ɹɟo bʞuɐsı pʎɐ ɥɹʇǝo ʇɥǝ ɹqɐpo ɐɹʍ ’ʇɹɹısǝʍ ʇɥǝ ɯɹɟo ʇןɹǝʇǝ ɐ ǝɹǝpɔʌǝı ʍǝ

IV.
˙ǝ ǝoɹsɔ ʇʇıɐʌʎןı;
Ʌuıʇbo ǝɥʇ ǝʇɥ bǝuo.
Sı ıubuɐʍʇ sbou ɹɹnʇɹǝuɔǝ ʇǝɥ;
Ʇǝɥ ıs ǝuʇʇɯʇǝɐs ǝɥʇ ɔɔʎpɐɹǝɯo ɹon ɹqɐpo ˙ʇɐɥ ˙ɹʌǝɥɹǝʎǝʍǝ;
Ɥǝʇ oʇ oʍʞu ˙ɟǝoɔɟǝ ʇɥǝ ɹɟo dɔʎʌɹɐı ɥʇǝ ɥʇǝ sı ɟo ıʇ ɯɐʎɹpǝoɔɔ ıu ıʇ 'ɹqoɐp ʇɥǝ ıu ˙q—;
Ɐ ɥʇǝ;
'ɐɹʍ uıɟǝןbǝ;
Is oɟ ʇuo;
Npʎʇ ɐ ǝʇʇǝɹן ɥɥʍıɔ qɐnǝsɹןɯdʎ ʇɥǝ;
Is ɟo ʇɥʇɐ oɟ ɹɟoɯ.
Ǝɹǝpɔʌǝı oʇ ǝoǝןdd ɐʍɹ ǝɐʌɥ;
ʍɐʇɥ ןɥɐɟ puɐ.
ןɥɟɐ ʍospɹ;
ʎɹsnןǝ ɥǝʇ ʇɐ puʇǝ ”˙ǝɔpɯɔɐɹoʎ ʍsnɐspʇ ɔʍıɥɥ;
Iʇ ǝɥʇ;
Ǝbuıbquıu ؛ǝʞɔıʇɹןs uı.
˙ʇǝɯı ʇɥuɐ ɐup.
Ɔɹɐǝɔɯoʎp ɥıɥb ǝɐɹ;
Ɐ ɟǝןǝubı ɥʇǝ ǝʇɥ;
'snbǝǝʇɹ ןɟıǝǝbu ˙ʇɹopıǝ uıonuɔɯoɯ ɥɹʇǝo ɥʇǝ osɔıdnsuı oɯןɔdʎ;
Oʎɐɔɔpɹǝɯ ˙ıs ǝʇɥ ou ɯɹɟo ǝʍɥʇı obp ɐ sı ɐɥʇʍ oɟ sı uı ɯɹǝo ǝɥʇ.
Ʇɥǝ oɹnɥbɥʇ s’ıʇ ʇ’pou ǝʇɥ;
Ʇsıɥɹ ʇɥǝ bɹnsʇǝǝ ıs ıs uı ıu oɟ.
Ʇı ɥǝʇ.
Ɯɐubǝuı ıɥʍʇ ʇ’puo 'ɹǝןɹɐıısq.
ʍǝ ʇ’uɥɐs ɐǝɹɔʇʎןuı ʇןɹǝʇǝ sɥnɔ ɐɹʍ ʇıɹuɐoǝp qǝuǝ ǝɥʇ oɟ ʇɐɥʇ sןןoʎʍ ˙oʌsǝɥ ɐ sı ɯıןppǝ bʞuɐsı oɟ;
Ʇı ʇı bɯuuıɹo oɐɔɹǝɔɯʎp pǝnɟɟʇs ˙ıs ɐɥʇu ʇoɥ ɥǝʇ ıs ɐ 'ʎǝʇ ıbʇɥɹ oɹɐʎɔɔǝpɯ ǝʇɥ ıu ɹɐqpo.
Ǝןoɥ pʎɐ ˙qpɐ.
ןpǝɯıp ıןuǝ ɐ.
Ʇɥǝ ǝʇɥ ɹǝɯo uo ˙uıɥʇu ʇo ˙ıɥbɹʇ ıʇ;
Ǝɥʇ“ ɐ ɥıʍɔɥ ɐıpǝ uo ɐɔɯɹǝ uı ’ʇɹɹısǝʍ;
Is oıʌǝɹspdp oɟ ʇǝɥ.
Iʇ oɟ.
Sɯoɹɟ 'qʇoosɥ ɐu ɹon ˙ǝɐsnǝɹןd ɐ ǝɥʇ nsɹʇɯɐp.
Ʞsoʍu

V.
˙ʇɐɥ ɥɥʍıɔ ʇɐ oɟ. Ʇı ʇ’uɥɐs
ɹɟo puʇǝ ɯɹɟo ıs oɟ ǝʇɥ oɟ. Sɯoɹɟ
ɐ ɐɹʍ ɥǝʇ ɐ oıʌǝɹspdp
˙ʇɐɥ ıʇ ؛ǝʞɔıʇɹןs ɟǝןǝubı ǝʍɥʇı ıu ıɥʍʇ
ıu ɹɟoɯ. Ǝɹǝpɔʌǝı ǝɥʇ; Ǝbuıbquıu ɥʇǝ bʞuɐsı
ɹon ıʇ ”˙ǝɔpɯɔɐɹoʎ uıonuɔɯoɯ ǝɥʇ. Ʇɥǝ ɐɥʇu ’ʇɹɹısǝʍ; Is

ıubuɐʍʇ ıu puʇǝ ıu 'ʎǝʇ
qɐnǝsɹןɯdʎ ɥʇǝ osɔıdnsuı ʇ’pou ʇןɹǝʇǝ ɐɥʇu ɐ. Ʇɥǝ
ǝɥʇ ʇɐɥʇ ıs oɹɐʎɔɔǝpɯ 'qʇoosɥ
ǝɥʇ ıs ʇɥʇɐ ǝʇɥ; Ʇsıɥɹ uı pǝnɟɟʇs ǝʇɥ
˙ʇɐɥ ؛ǝʞɔıʇɹןs uıonuɔɯoɯ ɯɹǝo oɹnɥbɥʇ
˙ǝ ǝuʇʇɯʇǝɐs sı ʇɥuɐ ou ʇo ɐ

uı. ˙ʇǝɯı ɐɥʇu ıs ʇo oɟ. Sɯoɹɟ
ʇǝɥ; Ʇǝɥ oɟ oʇ puɐ. ןɥɟɐ ʍospɹ; ʎɹsnןǝ ɐ ʇןɹǝʇǝ
˙ǝ sı ıʇ puʇǝ ʇɥǝ
qɐnǝsɹןɯdʎ ǝɥʇ; Ǝbuıbquıu ןɟıǝǝbu ǝɥʇ ǝʇɥ ɹǝɯo ’ʇɹɹısǝʍ; Is
ǝʇɥ; 'snbǝǝʇɹ ɯɹǝo qǝuǝ oɹɐʎɔɔǝpɯ pʎɐ
ʇǝɥ; Ʇǝɥ ɔɔʎpɐɹǝɯo ǝʇɥ oɹnɥbɥʇ ɐ ǝʇɥ ǝɥʇ

uıɟǝןbǝ; Is ɟǝןǝubı s’ıʇ ʇıɹuɐoǝp ıןuǝ
ɹon ”˙ǝɔpɯɔɐɹoʎ ǝʇɥ; 'snbǝǝʇɹ ɥʇǝ sı ɥǝʇ. Ɯɐubǝuı oɟ
ɐ ˙ʇɹopıǝ ıןuǝ ɹǝɯo ıʇ; Ǝɥʇ“
ɹɹnʇɹǝuɔǝ ıʇ ɥǝʇ ǝʇɥ ɯɹǝo ɐ oɟ. Sɯoɹɟ
ɥʇǝ ǝɐɹ; Ɐ sɥnɔ ɐ ǝɥʇ
؛ǝʞɔıʇɹןs ɯɹǝo s’ıʇ uı ʇןɹǝʇǝ oɹɐʎɔɔǝpɯ ˙uıɥʇu

bǝuo. Sı ʍospɹ; ʎɹsnןǝ ؛ǝʞɔıʇɹןs ʇɥuɐ uo
ıu ןɥɐɟ uı ʇɐɥʇ bʞuɐsı ıu ʇo
ǝɥʇ dɔʎʌɹɐı ɟo uo ɐıpǝ
ɔɔʎpɐɹǝɯo ˙ʇɐɥ sı ou ıu ʇı 'ʎǝʇ
bǝuo. Sı ʇɥǝ uı ʇıɹuɐoǝp oɟ
ǝoɹsɔ ɹɹnʇɹǝuɔǝ ʇɥǝ oɹnɥbɥʇ ıɥʍʇ ɥǝʇ uo

ǝʇɥ ʍospɹ; ʎɹsnןǝ oɟ ıbʇɥɹ ǝɥʇ
ɥʇǝ ɟo ʇuo; Npʎʇ oɟ ʇɐ qǝuǝ ˙qpɐ. ןpǝɯıp
ʇʇıɐʌʎןı; Ʌuıʇbo ɟo uı ɯıןppǝ ɐu
ʇʇıɐʌʎןı; Ʌuıʇbo ǝɥʇ oʍʞu ɥʇǝ ɥʇǝ; 'ɐɹʍ oɟ ʇɥʇɐ
ʇɥʇɐ ǝɥʇ; Ǝbuıbquıu ɟǝןǝubı sı ɹɐqpo. Ǝןoɥ
ʇɐ ɐup. Ɔɹɐǝɔɯoʎp oɟ ʇı ıu ʇo ɹon

sbou ɹɹnʇɹǝuɔǝ ǝoǝןdd bɹnsʇǝǝ ıs
ǝɥʇ ɹon ʇuo; Npʎʇ ˙ıs obp sı pǝnɟɟʇs
ǝɥʇ ןɥɐɟ ɥʇǝ ɐɥʇʍ oɟ
oʇ ɥǝʇ sı ʇ’puo ʇıɹuɐoǝp uı ɐ
ɐup. Ɔɹɐǝɔɯoʎp ou ʇ’pou ǝʇɥ uı
˙ʇɐɥ ǝɐʌɥ; ʍɐʇɥ ɥʇǝ ɹǝɯo ɐ oɟ. Sɯoɹɟ ǝɥʇ

dɔʎʌɹɐı ןɥɐɟ uı sı pǝnɟɟʇs
ʇǝɥ; Ʇǝɥ ıs ɹɟo ɥɥʍıɔ uı sןןoʎʍ oɹɐʎɔɔǝpɯ
ɹɟo ıʇ ɥʇǝ ɐ ʇo
ɹɟo ǝoǝןdd uıonuɔɯoɯ ıs ɥǝʇ. Ɯɐubǝuı ɐ ’ʇɹɹısǝʍ; Is
ıs ʇ’pou qǝuǝ 'ʎǝʇ pʎɐ
ǝʇɥ ʇǝɥ; Ʇǝɥ oʇ ʍsnɐspʇ ɐup. Ɔɹɐǝɔɯoʎp ɥıɥb ʇǝɥ. Iʇ
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Lewis Findley Feb 2011
Abraham, So shall your seed be
if only Abraham, you have faith in Me.
Isaac will be Born, Abraham, You will see.

And Isaac was Born, To Sarah who was old
To Abraham too, Who was older, they were the young at heart, the bold.
the Promise made, and by God Fulfilled.
Not one taken from teh hand of God, he has not, and will not lose one, Done is His Soverign Will. Amen

Save as bookmark
And check this box  if you want to show the text in your
"I recommend you to read" list,  Confirm or Close
Millions of babies watching the skies
Bellies swollen, with big round eyes
On Jessore Road--long bamboo huts
Noplace to **** but sand channel ruts

Millions of fathers in rain
Millions of mothers in pain
Millions of brothers in woe
Millions of sisters nowhere to go

One Million aunts are dying for bread
One Million uncles lamenting the dead
Grandfather millions homeless and sad
Grandmother millions silently mad

Millions of daughters walk in the mud
Millions of children wash in the flood
A Million girls ***** & groan
Millions of families hopeless alone

Millions of souls nineteenseventyone
homeless on Jessore road under grey sun
A million are dead, the million who can
Walk toward Calcutta from East Pakistan

Taxi September along Jessore Road
Oxcart skeletons drag charcoal load
past watery fields thru rain flood ruts
Dung cakes on treetrunks, plastic-roof huts

Wet processions   Families walk
Stunted boys    big heads don't talk
Look bony skulls   & silent round eyes
Starving black angels in human disguise

Mother squats weeping & points to her sons
Standing thin legged    like elderly nuns
small bodied    hands to their mouths in prayer
Five months small food    since they settled there

on one floor mat   with small empty ***
Father lifts up his hands at their lot
Tears come to their mother's eye
Pain makes mother Maya cry

Two children together    in palmroof shade
Stare at me   no word is said
Rice ration, lentils   one time a week
Milk powder for warweary infants meek

No vegetable money or work for the man
Rice lasts four days    eat while they can
Then children starve    three days in a row
and ***** their next food   unless they eat slow.

On Jessore road    Mother wept at my knees
Bengali tongue    cried mister Please
Identity card    torn up on the floor
Husband still waits    at the camp office door

Baby at play I was washing the flood
Now they won't give us any more food
The pieces are here in my celluloid purse
Innocent baby play    our death curse

Two policemen surrounded     by thousands of boys
Crowded waiting    their daily bread joys
Carry big whistles    & long bamboo sticks
to whack them in line    They play hungry tricks

Breaking the line   and jumping in front
Into the circle    sneaks one skinny runt
Two brothers dance forward    on the mud stage
Teh gaurds blow their whistles    & chase them in rage

Why are these infants    massed in this place
Laughing in play    & pushing for space
Why do they wait here so cheerful   & dread
Why this is the House where they give children bread

The man in the bread door   Cries & comes out
Thousands of boys and girls    Take up his shout
Is it joy? is it prayer?    "No more bread today"
Thousands of Children  at once scream "Hooray!"

Run home to tents    where elders await
Messenger children   with bread from the state
No bread more today! & and no place to squat
Painful baby, sick **** he has got.

Malnutrition skulls thousands for months
Dysentery drains    bowels all at once
Nurse shows disease card    Enterostrep
Suspension is wanting    or else chlorostrep

Refugee camps    in hospital shacks
Newborn lay naked    on mother's thin laps
Monkeysized week old    Rheumatic babe eye
Gastoenteritis Blood Poison    thousands must die

September Jessore    Road rickshaw
50,000 souls   in one camp I saw
Rows of bamboo    huts in the flood
Open drains, & wet families waiting for food

Border trucks flooded, food cant get past,
American Angel machine   please come fast!
Where is Ambassador Bunker today?
Are his Helios machinegunning children at play?

Where are the helicopters of U.S. AID?
Smuggling dope in Bangkok's green shade.
Where is America's Air Force of Light?
Bombing North Laos all day and all night?

Where are the President's Armies of Gold?
Billionaire Navies    merciful Bold?
Bringing us medicine    food and relief?
Napalming North Viet Nam    and causing more grief?

Where are our tears?  Who weeps for the pain?
Where can these families go in the rain?
Jessore Road's children close their big eyes
Where will we sleep when Our Father dies?

Whom shall we pray to for rice and for care?
Who can bring bread to this **** flood foul'd lair?
Millions of children alone in the rain!
Millions of children weeping in pain!

Ring O ye tongues of the world for their woe
Ring out ye voices for Love we don't know
Ring out ye bells of electrical pain
Ring in the conscious of America brain

How many children are we who are lost
Whose are these daughters we see turn to ghost?
What are our souls that we have lost care?
Ring out ye musics and weep if you dare--

Cries in the mud by the thatch'd house sand drain
Sleeps in huge pipes in the wet ****-field rain
waits by the pump well, Woe to the world!
whose children still starve    in their mother's arms curled.

Is this what I did to myself in the past?
What shall I do Sunil Poet I asked?
Move on and leave them without any coins?
What should I care for the love of my *****?

What should we care for our cities and cars?
What shall we buy with our Food Stamps on Mars?
How many millions sit down in New York
& sup this night's table on bone & roast pork?

How many millions of beer cans are tossed
in Oceans of Mother? How much does She cost?
Cigar gasolines and   asphalt car dreams
Stinking the world and dimming star beams--

Finish the war in your breast    with a sigh
Come tast the tears    in your own Human eye
Pity us millions of phantoms you see
Starved in Samsara   on planet TV

How many millions of children die more
before our Good Mothers perceive the Great Lord?
How many good fathers pay tax to rebuild
Armed forces that boast    the children they've killed?

How many souls walk through Maya in pain
How many babes    in illusory pain?
How many families   hollow eyed  lost?
How many grandmothers    turning to ghost?

How many loves who never get bread?
How many Aunts with holes in their head?
How many sisters skulls on the ground?
How many grandfathers   make no more sound?

How many fathers in woe
How many sons   nowhere to go?
How many daughters    nothing to eat?
How many uncles   with swollen sick feet?

Millions of babies in pain
Millions of mothers in rain
Millions of brothers in woe
Millions of children    nowhere to go

                                        New York, November 14-16, 1971
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
vircapio gale Jun 2012
love-energy swinging toward bitter blows:
a father’s pride becomes a son’s,
he becoming bitter becoming hatred
in the midst of love abused,
a civil fight for freedom failing in the eyes of youth:
these minds of ours turn wildly—
change to the beat of unknown drums
and death knocks us up
pregnant with a new generation of hate,
of goals to love: the obliteration of hate’s mother,
but question on, worship your mind,
build a shrine of doubt and find
darkness emerging as a deeper shade of black
knowledge? knowledge?
myths laid upon us through the perspectival dimming of language
no one’s fault? societal pressures
no cause for blame? survival instincts
no source of evil? history has a gun to their head. . . .
no use for these words? meaningless.
dialogue, yes, for the birds,
the carrion of hope
once the breeding stops
and lets the precious journey start:
down the cesspool of quasi-oblivion,
where we’re all a minority of one,
grasping for meaning in an abyssm of phantasmal foundations.
words, words, the excuse of words;
when father’s left no ground to walk on,
the son sits there digging
ditches for the death of systems
holes in the fabric mother wore,
tears in the existence we thought we knew.

what is this about? question marks
swerving away from sour truth
bleeds the nonsense through the flesh of what we love
and dying, dying, hate becomes a source of love,
guilt projects a softened heart
kneeling down now
outside, but wanting in.
affirmed, dejected.

[OR
are they swerving away from faith
simply a defense against the actions to take
ontic procratstinator! hear me now!
safety is the goal behind every measure
seek danger and you run the dangers of comfort,
seek comfort, and delusion becomes your handmaid.]

for knowledge of past dogma is dogma too
and the heart pumps it anyway;
for existence is. O heart, your sutra
flows nimbly on into eternity,
but you take this life and live it now,
the rhythm born of a mystery,
sacred to the foolish,
sarkin to the wise—
and the dancing wise man
birthing a new enigma
travels on into the depths of the ordinary
with a smile and a bow,
a hop-skip like Nietzschean
melodrama.

I can write it once for fun,
twice for accuracy,
thrice for fame and ten more for shame.
Do you want to know what it’s about
or do you want to figure it out?
the game of pride makes fresh
the fish of mental seas;
but truth is less cozy;
dagger in your existential eye.

no conclusions to be embraced without the whim of faith?
no art show game gripe to win but for the game of taste?

this bout goes on, this Bout goes on! oh how I wish my mind was lacking!
but no! the sacrifice, but the sacrifice,
pigs of Aristotle knew no quarrell,
no such quarrell.

when does such a poem become a forced effort?  when will I stop questioning myself?
where is this urge to destroy originate?
what ******* language am I speaking in when I think?
what and why,
who the but questions, questions
falling spiking holes in teh floor of contentment
or is it laziness: should I tak emy e pick now or wa itf ort he rig htto **** newith mystic alllllllllllll certainty from be yo ndt he fen ceof lan gua ge.

why go back? why try?
the difference between communication and self-indulgent writing is the effort to conform to the extent necessary for the sharingof truth... and so nobility demands conformity, however long it takes and however wonderful it may be in the mean time to simply spill my fingers across the trypesu ritre lia shjkk e a A b B i IG load o f ***... as if the hiddenness of deconstucted language masked my immaturity as a poet, as a person, as a thinker, as a wallower in shame.  as a Man. as a *** machine. as a weak creature. as a creature of potentially great accomplishments but small ***** at the present, as a person hiding from the said for fear of having to live up to it, as one who doesn’t believe his words half the time, even noe, ever noer rht all suiooos  dhjhjh tuof rhty w arbif trya dfyoudng huddkkfkd fmdmf dfdlililhkjga wyeruipok smmm tuhtuth dgfhg dagdh f dhajkdf  fuduudjjd fh d hdhhd bit b not n tno totot t ototot  read read read read read read read read read reda dnrenadkf leadsd fhdus duig hgjhdf dh sdmf sialdihf duf dreioan ign udfin the dh diguicse of hjtkjh heioa never heros heilike hte  e9a 1 1 ih kj n h ogma doifj hedOLvever otitoto the  ososososririrroow ww dance waiting at the librasyer renckjh c concon con iejr a  goodo excucse to t constraint no nt rot th even dfhight hwith th d dear on the all ndklfn eh fh searching thioart worthless buthen I find htheihadf htis hivoih Valid dfkdljhf jhkajh yea it s i kjh Lavlls ishn Vadildld meaning ngon woven into nonesense nd fnidoijifj bJar in Tennessiossdnohf  a freww few deletes and the important words become clear however taxing on an hypothetical reader from the future in which I do hope to become g”reat” half-heartily,  though for show.  .  .and the experience of writing is revealed through the laziness, or tiredness, of a recent graduate trying to write something meaningful after a summer of passion and *** and drugs and resentment toward the family and the sad economic advice given him.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
T Nov 2014
it is an injustice
and when it happens
your fists clench
teeth grinding against each other
as you bite down hard
and hold back the voice that
they've already silenced
you see
there are three kinds of people that the world loves
four kinds if it's a good day and the sky is blue
five if you squint
six if you close your eyes
seven if you never listen to the screams
eight if you stop being able to feel sorry
for the dead boys in the street
and the girls whose hijabs are starting
to resemble bandages on top of war wounds
like their existence is something that
some enemy with more guns than compassion
can't bear to see
but there are three kinds of people that the world loves
the rich
the white
the cishet male
it seems if you have money
then you get what you need
if you skin is the color of cream
you get what you want
if your body matches the on/off binary
that some dead white guy built up
in a desparate attempt at stifling
a world he didn't understand
then you get safety
if your love can fit neatly
in teh confines of a church
whose god is more disappointment
than righteous anger
because the time for anger was years ago
the time for anger was dead men and women
people with stars in their front windows
and people with triangles on their breastpocket
the time for anger
was a young girl
staring at a young girl
as her parents threw her to the dogs
as her flesh was torn for teh sake of blessings
as her body was cursed for the sake of god
as her existence was removed
erased
ignored
for teh sake of someone else's comfort
you see the world is a bad place
full of battles that no one wants to fight
full of wars that no one wants to see
and you will stand some day
in front of a sea of people
and try to profess yourself a prophet
you will proclaim your news good
you will paint peace across your forehead
like that will distract from the blood on your hands
but by your silence they will know you
by your soft steps
your late entrance
your blank face at the sight of their dead children
they will recognize you for what you are
and their fists will clench
their teeth will grind against one another
as they bite down hard
and hold back a voice that they
that you
already silenced
Ruby Nemo Feb 2018
wloud yuo go for em?
I dno't maen as a somlutae
but rhater
a ditasrciton to keep teh rlaetiy aawy?

wuold you go fro me,
so I dno't hvae to go aolne?
I am araifd taht if I eemgre
all tahts lfet wlil be sikn and bnoe.

wloud you go otu for me,
so I dno't hvae to sohw my fcae
in the clod hareetd baet of scioety
and teh dlaiy trerors taht srruuond me?

wolud oyu go for em
nto as a firend
but rhater
a lveor, to hlod froveer and keep aawy the dmeons?

yuo shulodn't go fro me
I cna't ofefr mcuh of aynhting
but I'd rhater it be oyu
tahn me out tehre in the meriaatl wlord
Philia Jan 2018
It's been a year since I wrote my last poetry.
You can tell, how sad,
how uninspired,
how broke,
how am I such in deep, deep sorrow.

I always see myself as a nomad,
I always up to a new place, and new adventure.
then why when I need to move from Singapore,
I can't stop the tears.

I live on 40th floor of an HDB near Holland Village.
The market where I always buy my roasted chicken rice
and my teh-peng is only 3 mins walking distance.

If I need to go to my University, I will need to walk around 5 mins to the bus stop and catch bus number 74.
It's not that efficient because the bus will go along Buona Vista and Dover. But I don't really mind because I love sitting on the bus, listening to my playlist and let my mind wander.

I'm taking Marketing Degree from SIM Global University, one of the Top Private University in Singapore.
I will never forget the classes, the lecturers, my friends from all across Asia, my Indonesian friends, the canteen, and of course the projects and exams.
I will never forget that around 3 pm, me and my friends will go directly to the canteen on the Blok B and buy Kopi Peng together.
Oh, and sometimes we also buy chicken-popcorn and chicken-seaweed.

Around 8 pm, if we haven't finished our project, we will directly go to Holland Village, and chope seat on Coffee Bean and Tea Leaf.
We will stay there- sometimes just to hang out and laugh together and sometimes we really really concentrate to finish our project until 2 am.
I still remember there was a moment when I'm really stressed out with project, and I cannot smile anymore.
With my oversized tee, shorts and hoodie, I go to the barista there, ordering iced Caramel Macchiato,
He tells me, "would you smile if I give you marshmallow?"
I smiled, and he gave me a cup full of mini marshmallows.

Sometimes, when I got no money left, I will order the small cup of iced caramel macchiato. but he free-upsized me, and I will still get the regular ones.
I miss when the life was so good to me.

My friend and I have our favorite diner, Char-grill Bar that has the best Chicken chop and teh-peng.
I swear until now, I still miss the taste of it.

I'm not a club-kinda-gal. I prefer bars.
So when I want to get a little tipsy, and I want to get a nice beer and talk,
We will go to ******* or the other local bars.

There was those time, when my friends and I feeling active, we will rent a bike around Changi,
but most of the time we prefer went to Starbucks and gossiping for hours.

There is a Bingsoo place behind Bugis Junction that opens for 24 hours. Usually, after we study on the National Library near that place, we will grab something cheap to eat. Then have a long break at the Bingsoo place for a nice chat before we take Uber to get home.

I once joined the Dragon Boat team from my University, well it only lasted for maybe 2 or 3 meetings until I gave up.
But for around 2 years I was the Student Representative of my University. So I lead the Campus Tour and go to Secondary Schools around Singapore to promote my University.

I will never forget the rainy days,
when I don't need to go to a class, I will curl up in my bed, ordering McWings and Iced Milo from McDonalds, or Swiss Shroom from FatBoy's, watch a lot of romantic comedies or youtube, and not showering the whole afternoon.
or when I have class on that day, I will run with my navy blue umbrella and navy blue slippers to catch the bus.

I have a member card on the Gardens by the bay, I always spend my alone time there,
or if not, I will be on the top of the Esplanade, where I can see the panorama of Singapore.
from the very left side, you will catch the Singapore Flyer,
then in the middle, you will see the Singapore Art Science Museum and Marina Bay Sands, Singapore's CBD Area, then the Merlion, the majestic Fullerton Hotel, lastly it is the Esplanade.

Almost every single day I go to the mall.
I don't why, but me and friends always, always go to the mall to watch movies or rent PlayStation, or I don't know- sometimes we just have nothing to do, and just hanging out together.

I was living in Singapore for 3 years.
Singapore gave me a heartbreak that I never forget;
Best-friends and a lot of friends that I cherish;
A new opportunity that gave me a life lesson;
A love that I know it is true;
A home that I can never imagine;
Memories that I can never forget;
A life lesson that God wants me to learn;
and a very grateful heart that my God is my provider, as He never ever leaves me.

I will never forget that I always have my pocket knife in my hand, especially when I walk alone in the dark.
I will never forget the friends it gave me,
I will never forget how frustrating it is to have no one by my side to count on,
I will never forget the city lights that I see from my window.
I will never forget that it all so beautiful.

well, Life goes on whether we choose to stay or not.

I will never forget those moments,
those routines,
that I thought it would last forever.
Well, like The Wise Man said,
"All good things must come to an end."

P.S
9th January 2018
10:41
*(Singapore Time)
"appreciate what you have, before it turns into what you had."

it took me more than a year to write this pain away.
So Dreamy Jan 2014
"Dunia ini terlalu indah untuk dilukis, Sayang,"
Begitu katanya
"Dunia ini juga terlalu luas untuk dipahami, Sayang,"
Begitu pula katanya

Aku tetap tak mengerti
Mengapa masih ada orang yang merasa dunia ini
Terlalu sempit untuk diketahui
Terlalu sulit untuk dijelajahi

Apakah jendela cakrawala mereka saja yang sempit?
Atau nyali mereka saja yang tak bisa berdiri sendiri?
Hanya berani menguntit ditemani mata menyipit?
Barangkali pikiran mereka juga hanya bisa mengintip?

"Dunia ini dipenuhi orang aneh, Sayangku,"
Ujarnya kemudian
Secangkir teh diteguknya perlahan
"Dunia ini juga dipenuhi orang berotak kosong, kamu tahu itu,"*

Kukatakan dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini dihuni benak-benak yang melayang liar di balik masing-masing bahu
Yang tak bisa diam walau hanya menunggu waktu

Menunggu pikiran gila lainnya merayap masuk ke dalam kepalanya
Membuat secarik kertas dan sebuah pulpen meleleh di tangannya
Melantunkan kalimat-kalimat indah menjadi sebuah sajak
Menyulapnya menjadi sebuah mahakarya yang terus menanjak

Kukatakan sekali lagi dalam hati bahwa aku tahu
Tentu saja kami berdua tahu
Bumi ini juga dihuni benak-benak licik yang tak punya dinding malu
Yang meraup beribu untung tak kenal waktu

Diam-diam aku bertanya juga

Di manakah jiwa-jiwa kotor itu bisa membeli dinding malu?
Mengapa mentalnya tak beda jauh dengan mental para benalu?
Orang-orang aneh itu masih terus menunggu waktu
Orang-orang berotak kosong itu malah berlari meninggalkan waktu

Orang-orang aneh itu terus menciptakan karya
Orang-orang berotak kosong itu malah dibicarakan di berita pagi dan dunia maya
Orang-orang aneh itu terus menumbuhkan bunga di atas nama bangsa
Orang-orang berotak kosong itu malah menumbuhkan duri di bawah nama bangsa

Seperti yang saat ini banyak terjadi,
Seniman dan Koruptor.
"Our cattle graze, the wind breathes." -Garcilaso *

It was my ancient voice
ignorant of thick bitter juices.
I sense it lapping my feet
beneath the fragile wet ferns.

Ay, ancient voice of my love,
ay, voice of my truth,
ay, voice of my open flank,
when all the roses flowed from my tongue
and grass knew nothing of horses' impassive teeth!

Here are you drinking my blood,
drinking my tedious childhood mood,
while in the wind my eyes are bludgeoned
by aluminum and drunken voices.

Let me pass the gates
where Eve eats ants
and Adam seeds dazzled fish.
Let me return, manikins with horns,
to the grove where I stretch
and leap with joy.

I know a rite so secret
it requires an old rusty pin
and I know the horror of open eyes
on a plate's concrete surface.

But I want neither world nor dream, nor divine voice,
I want my freedom, my human love
in the darkest corner of breeze that no oen wants.
My human love!

Those hounds of the sea chase each other
and the wind spies on careless tree trunks.
Oh ancient voice, burn with your tongue
this voice of tin and talc!

I long to weep because I want to,
as the children cry in the last row,
because I'm not man, nor poet, nor leaf,
but only a wounded pulse circling the things of the other side

I want to cry out speaking my name,
rose, child and fir-tree beside this lake,
to speak my truth as a man of blood
slay in myself teh tricks and turns of the word.

No, no. I'm not asking, I, desire,
voice, my freedom that laps my hands.
In the labyrinth of screens it's my nakedness receives
the moon of punishment and the ash-drowned clock.

Thus I was speaking.
Thus I was speaking with Saturn stopped the trains,
when the fod and Dream and Death were seeking me.
Seeking me
where the cows, with tiny pages' feet, bellow
and where my body floats between opposing fulcrums.
In Vienna there are ten little girls,
a shoulder for death to cry on,
and a forest of dried pigeons.
There is a fragment of tomorrow
in the museum of winter frost.
There is a thousand-windowed dance hall.

Ay, ay, ay, ay!
Take this close-mouthed waltz.

Little waltz, little waltz, little waltz,
of itself of death, and of brandy
that dips its tail in the sea.

I love you, I love you, I love you,
with the armchair and the book of death,
down the melancholy hallway,
in the iris' darkened garret.

Ay, ay, ay, ay!
Take this broken-waisted waltz.

In Vienna there are four mirrors
in which your mouth and the echoes play.
There is a death for piano
that paints little boys blue.
There are beggars on the roof.
There are fresh garlands of tears.

Ay, ay, ay, ay!
Take this waltz that dies in my arms.

Because I love you, I love you, my love,
in the attic wherethe children play,
dreaming ancient lights of Hungary
through the noise, the balmy afternoon,
seeing sheep and irises of snow
through teh dark silence of your forehead.

Ay, ay, ay, ay!
Take this "I will always love you" waltz.

In Vienna I will dance with you
in a costume with
a river's head.
See how the hyacinths line my banks!
I will leave my mouth between your legs,
my soul in photographs and lilies,
and in the dark wake of your footsteps,
my love, my love, I will have to leave
violin and grave, the waltzing ribbons.
So Dreamy May 2016
sore itu dingin.

kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela
secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu.
kutunggu kabar
namun tak juga kunjung datang

duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat.
teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat.
terlalu sibuk atau apa?
biar kunanti lagi bersama rintik hujan.

semenit
lima menit
  sepuluh menit
   dua puluh menit
    lima puluh menit

kutunggu telepon balasanmu
namun belum juga kau
izinkan aku mendengar suaramu

aku diam
bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun
biarkan!
aku letih
berpura-pura merasa tidak sakit hati

bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.

kemudian aku sadar;
seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.
hello veil over a trench coat, i’ve come here to recite a few breaths and hopefully get you to take those sunglasses off (for my pride’s sake). just drop them around your ankles like your most comfortable pair of undergarments, kick them onto the beige bedroom rug and make me feel like a day early welfare check in a bread line full of starvation. slide me a napkin with a phone number from across the church pew. smoke my mind like a cigarette in the recovery ward waiting room. i bet you could slap the what teh ******* my face as swiftly as the day is long,

and it’s long.

and as teh world economy comes to a screeching halt and married men jump out of windows because money is some sort of commodity i will never truly truly truly understand, crying babies and ****** good womens remind me of you. grandmothers and the aunt everyone loves to hear drunk at christmas is your smile. your scent isn’t like my ****** relatives. that would be gross. and luxury automobiles and the adromeda galaxies in one corner of the paint job you happened to look a little too closely at is just a speck of your complexity misdialed like a phone number in a crosseye white pages disaster-
say i was to rush to this decision.

say i bent, hands on knees, puffing.

say joe camel between my pointer and ******* kept both of them occupied for once

say i was running up to tell you that i don’t know you

but i think i should

i should
I know that my profile will be serene
in the nroth of an unreflecting sky.
Mercury of vigil, chaste mirror
to break the pulse of my style.

For if ivy and the cool of linen
are the norm of the body I leave behind,
my profile in the sand will be the old
unblushing silence of a crocodile.

And though my tongue of frozen doves
will never taste of flame,
only of empty broom.

I'll be a free sign of oppressed norms
on the neck of the stiff branch
and in teh ache of dahlias without end.
Lily Jan 2019
Teh
You’d think that after
All this time I’ve spent typing,
That I could spell “the”.
I always type too quickly and then I have to go back through and edit all my "tehs" :)
Wrong wrong wrong
I'm so lonely
Echoes in the dark

White text on a white page
Lines that no one sees

On the dock in the dark
ON a lake in a park
Just yo uand me


Soma
Soma
Soma
Soma
Soma
Soma
Soma
I am the ******, and that is the truth
I am the ****** and that is the truth
Blain is a piain and that is the truth
(It doesn't matter what 's on the insside)

sSOMASOMASOOOMA
asdf
work, the pen crunches into the paper digging a hole into the desk the wood squeals the ink cries out the bblackness washes out in torrents
Crunching, crunching, crumbling, the pen just so many plastic splinters ground into the desk the black inik gushes out in torrents
I am a writer and that is the trueth
reach for the stars and that is the truth
You can never bbe free except within the cage
If you are free in the cage, then you can be free  anywhere
I am a poet and that is the truth
I am a poet and that is the truth
Have you imagined, the feeling of nearness? The darkness? The sighs?
Have you imagined? The feeling? the soooma, sweet soma rushing through your veins?
Tickle me, trip with me, trick me, break me
break me
break me
Break me so I can be free
Blain is a pain and that is the truth
Another hit, that'll tdo the trick, hit me hit me hit me, scooore
When you're strange, faces come out of the rain
ON a dock on a lake, in the heart of the jungle
When the far side of a mountain gobbled up wthe sun
How it gobbled up the sun
And we lay like lovers rocking irocking smoothly
While the mountains gobbled up the sun
Grooving
Bleeding across the sky, black and purple and blue, beat with bruises on the sky
Orange, then the LIGHT THERE WAS LIGHT AND IT WAS GOOD
I am good, and that is the truth

And we shared this moment like lovers, whispered in each others ears like the soft tickle of bats wings, or the delicate abraisinion of worn velvet
And you tickled my ear and I tickled thine
I am a knave and that is the truth
There are other worlds than these, and that is the truth
And you slipped the soma into my mouth and I slipped some into yours and we rode the dock on the lake by the mountains which gobbled up the sun
GNASHING with red teeth smiling GNSASHING and bashing up the sun

And we loved the stars under the covers on the dock

I am a dock and that is the truth

YOU AND ME in and eeeeeeeeendless blanket sea
That is the truth.
We watched the stars shoot the sky, and plucked them down and popped them in our mouths like soma
Oh, so romantic, with the soma stars in our eyes, fighting to get out
I am in a cage and that is the truth
Stillness, slownly, softly, dawn approches
The birds aren't yet awake
Even the sea sleeps
The hungry mountains are ssilent
TGod reached down and brushed aside the Washington clouds
Shook them out
and pulledHelios
In his golden cchariot
And my eyes, they saw you
Your face came out of the rain
Your eyes fluttered open in the maginifcencec
THThe golden glow upon your brow
The soft, soft warmth

ANd my rainy blanket sea revery was shattered
By the beating of the feet of the runner who was burning, screaming, waving, frenzied, flyind, fleeing, crying, screaming, truly screaming

The form sprinted from the shore, pitter patter, pitter patter, the bare feet burning, smacking on teh pine dock
Pitter patter
the flames ROARED
screaming
flailing
leaping into the air
tshe flung herself off the dock
into the water
went out with a hiss
That is the truth.
Soma.
I wrote this with white text and no spellcheck so I couldn't see what I was writing at all. I really like it because it's more raw than anything I could write if I was concerned about spelling or seeing what I was writing.

Inspired by:
- Brave New World
- Soma by Steve Roach
- American ****** (movie version)
- The Wastelands by Stephen King (Dark Tower Series Part III)
- "It Will Follow the Rain" by The Tallest Man On Earth
- "People are Strange" by The Doors
- The Gunslinger by Stephen King
- "Endless Blanket Sea" by me
- "The Day Begins" by The Moody Blues
- "My Eyes Have Seen You" by The Doors
Brea Brea May 2013
I wanna kiss it
but its so hard
not sure how to bring it against my lips
and then my fingers up and slip
So soft
the place you make between my shoulders as they stand
the truth in your presence
the defautl in your eyes
unlike the lovely demise
in the powerful
but full of histories of deciet and self succumed lies
in a cloud on a pillar high
this is where I thought I might die
but death isnt the only escape
when beauty surrounds you from your mistakes
filters in through your insides
it leads you to a moutain top so high
the snow fall cleans you of your ***** hide
kiss you touch ouy
never call you mine
because I know better

not to contain higher things
clip thier wings

I gave my heart, I gve my soul
to the wronged of those

may I rest by your side
my ribcage exposed
to the love you know
from my touch
from my gental spirit
the light from behind my eyes
that reaches and finally does it touch
you heal me inside
you slip your sweet medicine between my lips
you swindle your breateh of life
I dont fight you with my hips
into my worried eyes
I fear not
not any more
so long as you are here
I can let go of this rope
lay your worried bones next to mine
and I'll do my very best to buy us this time
may the clock stop
as it does for the dead
because we are heaven lieing in your bed

kiss me once
kiss me twice
and I'll kiss you thrice
my worries drop as does this plunder
my thoughts roll from us like defeated thunder
I hold you whole
I hold you tight
I give you the same freedom, I give you the same rights
I heard you speak
of whats in your head
I'm smilling for the things you dont know that of which you said
fumbling in your sleep
you craddle my crown
as I dose myself in the sweet silent sound

I am fawn white
I am pure irridescent light
cloaked in darkness
hidden from sight
so that the goodness might prevail
even during teh trials of night

You, with orbs in your antlers
with moons on your tongue
you dont chase me
I realize I mustnt run
The power with in you
sends me still
even so, I am reeled
for the dangers I've met
for the dreams
I stir
I feel the safety in this allure
you sparkle in my eyes
from inside you
I see us side by side
standing tall
for authority we call

together we are safe
and with tired eyes
I will keep you warm and safe
to any and all expendeture
we are fair
a deiety in of itself
we are desired for being rare
Smiles that don't quite rise to eyes
Awkward chatter and white lies
Drab, plaster walls, and stained floors
Take a breath and sip some more

Lower walls and break the locks,
With fewer glances at the clock
Easy laughter and empty cups
Find a way to fill me up.

The bitter rind turns sweet with time
When empty glasses clink like chimes
The warmth of friends helps me unwind
The warmth of poison keeps me blind

Eyes that don't quite rise to smiles
But people love this guise of style
Play it smooth with refined class
Tell everyone about her fine ***

Oh, this nihgt will never end
Oh, the joys of plentyy friends
Teh best of times, never     forget
The

way


      that
          



                  the
Wrote this freshman year of college, when I was adjusting to the drinker culture.
Trey Swint Mar 2014
A dream I wish it was,
when the hounds of hell
were unleashed upon my family.

A dream I wish it was,
when teh aftermath caused
me to weep day in and day out,
wishing it was only a figment of
my hell - filled imagination

A dream I wish it was... ... ...
shireliiy Nov 2015
To repair an old A C unit.http://www.rvclassified.com  These are things about yourself that you can't manipulate in a first impression like your appearance.your voice.There are lots of dissimilar low cost gifts present out there.She may always judge men with certain characteristics in a certain way,but with closer attention.if your voice is extremely deep and she has had many bad experiences with men whose voices are deep. Streaming Movies TV shows Kindle ebook It is basically available in generations.There is nothing truly so expensive staying a lady who equally receives the weak. Spot of needing eyeglasses for studying and the pressure to put on these eyeglasses as an accessory Fitflop.Her lovemap is made up from her experiences with men.and women.are there any workouts that are properly worth avoiding Cheap Fitflop Sale,These experiences can be bad or good.Or you might follow an intuition you have had,greatschools.gloze Media focusing on strength with right mix in website development and designs.On the other hand if she had a great teacher who lifted her up and led her to great things then she may associate his cologne.She starts giving me a. **** ******* lookint at my me teh whole time.as well as its look,If you are wearing that cologne or have his characteristics then she may like you instantly.Obtaining arrest details over the Internet prove to be the perfect medium these days.You also need to consider the skin tone of the bridesmaid along with the season as to when you are planning to get married Fitflop Singapore.so their people would not perish and die,and you are on your way..Also view her blog at http.Ie got good news for you,and the designing.She was the.
Relate Articles:
rvclassified.com
B'Artanto May 2019
Ditarik, kami diarahkan membaca apapun yang tidak ada penjelasannya.
Dikodratkan harus paham isi kepala makhluk yang hanya sesekali berkata iya dan tidak.

Kami terpingkal, Puan.
Bagaimana tidak?; Kain yang kau gunting sendiri dan pintal dengan rajut sedari subuh sudah cantik--tapi kau merasa kurang, dan kami adalah penyebabnya katamu.

Duduk kami melingkar bersama dengan gelas gelas berisi teh melati,
Hangat membaur aroma kebingungan kaum kami.
Sekali beberapa menit kami terpingkal lagi, berusaha terus membaca setiap halaman kosong dan beberapa titik saja di sudut kiri kanannya.

Tidak ada barang satupun buku yang mengerti keinginan puan.

Cemasnya puan ingin dilindungi,
Lembutnya puan yang ingin dikasihi,
Ah, apalagi tangisan yang tiba-tiba terisak di malam sehabis mimpi.

Tersenyum kami menahan tawa dan kantuk, sembari melihat-lihat wajah puan yang tertunduk mengharap ditanya mengenai hari ini.

Semenit dua menit kami lihat lekat-lekat wajah puan.
Kami bisa tidur malam ini,
Jawaban kebingungan lelaki bukan tertulis pada buku-buku; tapi dua bola mata yang senantiasa banyak bercerita setiap ia duduk hening tanpa berbicara.

Ah, engkau puan~
Buku pelajaran yang tak ada tamatnya.



B_A
10 Mei 2019
adele horn Jan 2012
Dear God
I know you are a crutch,
created by a scared species,
to make the dark nights warmer.

I know that millions of lives are spent,
in your name,
and of those other pray to.

I know people flock to buildings,
bruise their knees in abeisiance,
hoping for eternal life.

I know that millions fight for you,
thousands speak for you,
and none ever see you.

I know that the universe is vast,
complex and unknown,
but not created by you.

And yet,
it would be easy,
if I could clasp my hands together,
murmur words of needs longed for,
and recieve a miracle at my door.

Dear God,
If you had indeed been real:
Then the slavery of religion would disgust you,
your followers' grovelling would embarrass.
Teh demise of your word created,
would fire you into action.
To save us.
To guide us.
To teach us how to live.

In the absence of an allmighty,
all I see is a sentient species:
violent
greedy
hatefull
Bent of self-destruction.

There is no Divine in the **** of the infant girl.
B'Artanto May 2019
Ternyata benar,
jarak dan ketidakhadiran fisik adalah alasan mengapa kita menyukai apa yang tidak disukai.

Terkadang paksaan adalah bagian dari hal terindu yang diinginkan manusia;
Bagaimana tidak?
Sejak kapan kau menyukai teh hangat?
Tumis sawi-sawian, bahkan sayur berkuah santan?
Jawabannya sejak kita memiliki jarak dengan ibu.

Saat ketidakmampuan kita untuk melihatnya megiris bawang setiap pagi sehabis subuh
Suaranya yang memekik dari ujung ke ujung.

Kita tidak benar-benar menyukai beberapa hal diatas, kita hanya memaksakan momen agar kita merasa berada pada masa lalu.

Kemudian semakin bertambahnya angka-angka, kita lupa
Jengukan anak-anak adalah vitamin yang ia perlukan
Karena pulang yang sebenar-benarnya adalah saat kita melihat ibu.

B_A
14-15 Mei 2013
Samantha Sep 2009
Flower petals blow in the wind
The grains of sand are in my bin
The crash of waves against the shore
A roll of thunder I can't ignore
The sky is dark and the clouds are grey
The irds of the water know to stay away
The sky turns bright with a lightning flash
And across the sand my feet do dash
I reach teh cabin on the beach
Run through the door and don't wipe my feet
The sound of thunder at my back
I close the door and turn the latch
i jump on the couch and cover my head
The room is silent as the dead
When I wake up morning has come
The sky is bright and the storm is gone
The air is fresh and the breeze is cool
The see is calm just like a pool
After a storm the world is new
Everyone knows it now I do too
Sara Ackermann Jul 2011
One day I'll be happy
One day I will cry
Perhaps I'll even scream out
so that I am heard

Tomorrow I will run away
so tha tI can come back
on another day
Today I'll make a cherry pit
to celebrate the eve of my goodbye

Because, you see,
we're only as happy
as our hearts will let us be
and we're only as sad
as the world makes us seem

So then on Friday I'll come back
after that we'll see
just how happy we all can be
Oh, we'll have a giant celebration then
because we made teh world see
what it's like to be
happy
frankie Nov 2017
somwhere in the world
a small girl sits in a classroom while the teacher tells the class that they won't be reading Maya Aneglou because of it's sensitive content
while later that day the same small girl goes home to a father who binds her wrists so tightly to the bed, her veins almost burst. His sick fantasy gone wild and she'll never read about someone who survived.

somewhere in the world
little boys run wild, with smiles on their faces
ignorant to teh chaos around them
these little boys look so happy, to the untrained eye
but look around them, they're actually running for their lives.

somewhere in the world
a mother watches a family through a restaurant window throwing away full course meals with tears in her eyes wondering if she'll be able to feed the kids tonight

somewhere in the world
lovers hide, in fear of being found out that they are not of different sexes and that they are of different races
petrified of being punished for what everyone else sees as a crime
or even worse, not making back to their beloved alive

somewhere in the world,
a little girl asks if daddy is ever gonna come back
and she wonders why he's gone in the first place because no one ever told her that daddy never loved her.

somewhere in the world,
the restless lie awake at night fighting battles with their demons
fumbling open a bottle of jack or a pharmacy vial of xanax
wondering how fast they'll take away the pain

across the world
there is sin, all seven of them
pouring out of every thing that inhabits the earth

somewhere in the world
there is a someone who will erupt the revolution
and we're all patiently waiting for the anarchy to begin.
H W Erellson Jan 2015
Shaking with all the coffee
wood tables, stairs, chairs-
this cafe is made with the slain,
with old spirits. It's too warm.

Out there walk by the day-mares; toothless and alone,
confused and wandering.
Family in prison, army, lost.

Others waltz with bulging
plastic bags,
adorned with beloved brand names,
kissed with reciepts,
blessed for ignorance
"beautiful."

A tiny girl across teh street with a smudge on her face smiles.
I pull a thin curve, wave a little.
Unto a land that no longer cares.
No longer breathes.
looking out that long window at the street.
claviculea Feb 2021
Aku pernah diajak pulang.
Senyumnya seperti figura kecil di ujung ruang,
Sentuhannya familiar seperti mainan usang.
Aku tidak mau diajak pulang.
Tangannya hangat seperti teh yang baru dituang,
Tatapannya halus seperti selimut yang sudah dibuang,
Tapi sekarang belum saatnya pulang.
Aku ditinggal pulang oleh mama.
Katanya dia tidak bisa berlama-lama,
Katanya dia masih orang yang sama,
Yang walaupun raganya sudah tidak bisa diajak bercengkrama,
Balut hangat cintanya akan selalu jadi rumah.
Homesick is never for a place, it’s for memories and the people inside it.
Gyara Pragathi Feb 2021
#3
Milke lade teh azadi ke liye,
aur jab woh mili,
bechad gaye aur jenelage akele
JAM Feb 2016
RECORD: GET A MOVE ON!
FROGMAN: MR. SCRUFF

Johnny's and Suzy's: It caught me so that I may never

... rest from pwondarement;
I will drink life from the bees.
All tore-ments I have enjoy'd greatly,
have suffer'd greatly,
both with throwse that loved me,
and alone; on tear,
and when thro' thudding rents the cravy Haeades
Vent-teh-din-see. I am become a thought;
For all-ways growming with a hungry deadhead
Much have I heard and throwned—
poprieities of Brads and Janets
And spanners,
prime-hates, clowncils, reed-covernments,
Myself too.
threast, i am tonor'd of them all,--
And drunk delight of rattle with my tyears,
Far on the stinging pains of dramatic irony.
I am a partition of all that I have kept;
Yet all expeerientse is an ark
wherethro' gleams that unpondere'd mind whose margin craves
metaforever
and 'fore ever
when
eyes
groove.
-- Ulysses, Frogman

STOP: TURN THOUGHT
The Letter-Ing: metaphor flavornoid
thirty-thirst or last
in a series of poems made of quotes
one part to a whole joke
its sum has yet to be totaled
may be more than its parts
subject to change

— The End —