Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Setiap hari kubuka Tiktok.
Selalu kulihat banyak video.
Terus diposting orang orang Gaza.
Bercampur antara duka lara dan suka cita.

Anas sang jurnalis di Jabalia.
Menyiarkan berita bombardir pesawat jet.
Menghancurkan rumah dan sekolah.
Mayat anak anak tergeletak dimana mana.

Hamada sang juru masak di Khan Yunis.
Bersemangat memasak shawarma ayam.
Lalu dia membagikan untuk anak anak.
Mereka tertawa gembira bisa makan enak.

Motasem sang jurnalis di Beit Lahia.
Mendatangi beberapa tenda pengungsi.
Anak anak di dalam tenda tenda itu.
Semuanya kurus kering kelaparan.

Mona sang relawan di Al Mawasi.
Sibuk membagikan bahan bahan kebutuhan.
Beras , tepung , minyak , gula , mie.
Para pengungsi senang menerimanya.

Bisan sang jurnalis di Al Maghazi.
Bertemu banyak rombongan pengungsi.
Mereka kelelahan berjalan jauh.
Sandal dan sepatu mereka sobek semua.

Tito sang badut di Gaza Utara.
Selalu enerjik menghibur anak anak.
Bermain , bernyanyi , berjoget.
Tertawa gembira bersama sama.

Dr Mohammed di rumah sakit Kamal Adwan.
Merasa kelelahan dan ketakutan.
Sendirian mengurusi orang orang terluka.
Sementara rekan rekannya ditangkap semua.

Said sang relawan di Al Nuseirat.
Tanpa lelah memasang tenda tenda.
Memasak makanan dan membagikan barang.
Untuk pengungsi yang terlantar.

Saleh sang jurnalis di Khan Yunis.
Menemukan anak lelaki saat tengah malam.
Menangis sendirian di kuburan ibunya.
Tidak mau kembali ke tenda hingga pagi tiba.

Dahlan sang relawan di Deir El Balah.
Mengadakan acara nonton kartun bersama.
Anak anak berkumpul dan merasa gembira.
Nonton kartun sambil makan popcorn.

Ahmed sang jurnalis di Al Nuseirat.
Merasa kasihan melihat anak anak di dalam tenda.
Mereka kepanasan saat siang terik.
Dan kebanjiran saat hujan deras.

Samaa sang gadis pemain biola di Tel El Hawa.
Duduk di bawah pohon sambil memainkan biola.
Anak anak yang melihatnya tampak tenang.
Terlarut melupakan semua penderitaan.

Youmna sang jurnalis di Shujaiya.
Bertemu anak anak yang terlantar.
Mereka memungut makanan dari sampah.
Dan meminum air dari comberan.

Alaa sang tukang cukur di Al Nuseirat.
Mencukur rambut orang orang tanpa bayaran.
Dia cukup senang mendapat sedikit imbalan.
Rokok , roti , kopi atau ucapan terima kasih.

Hossam sang jurnalis di stadion Yarmouk.
Meliput banyak pengungsi yang berdatangan.
Mereka kelelahan , kelaparan , kehausan.
Terlantar tak punya tenda.

Renad sang gadis cilik di Deir El Balah.
Selalu ceria memasak berbagai makanan.
Dia memasak maqluba tanpa ayam.
Harga ayam naik tinggi tak terbeli.

Doaa sang jurnalis di rumah sakit Al Nasser.
Mengunjungi anak anak yang terluka.
Ada yang tangan dan kakinya buntung.
Ada yang kulitnya mengelupas terkena fosfor.

Israa sang guru di Al Bureij.
Mengajak rekan rekannya membuka tenda sekolah.
Mereka memberi alat menulis dan menggambar.
Anak anak senang bisa sekolah lagi.

Hind sang jurnalis di rumah sakit Al Aqsa.
Menyiarkan berita yang mengerikan.
Tenda tenda di sekitarnya hancur berantakan.
Terbakar terkena bombardir pesawat jet.

Samih sang pemuda pemain oud di Deir El Balah.
Penuh semangat bernyanyi sambil memainkan oud.
Sementara teman temannya lincah menari dabke.
Menghibur orang orang yang mengungsi.

Samara sang jurnalis di Al Zaitun.
Mendatangi tenda tenda para pengungsi.
Banyak anak anak yang kulitnya gatal.
Penuh borok dirubungi lalat.

Abdullah sang petani di Khan Yunis.
Nekat menyelinap kembali ke kebunnya.
Agar dia bisa memanen sekarung buah olive.
Cukup untuk dibagi para pengungsi.

Faiz sang jurnalis di Rafah.
Meliput jalanan yang sepi.
Tak ada apapun selain mayat mayat berlumuran darah.
Tewas bergelimpangan diserang quadcopter.

Hassan sang dosen di Al Rimal.
Tanpa lelah melakukan kuliah online.
Para mahasiswa bersemangat melanjutkan kuliah.
Tak peduli dengan kekacauan , kesulitan dan keterbatasan.

Mahmoud sang jurnalis di Shujaiya.
Menutup hidungnya sambil melakukan liputan.
Mayat mayat membusuk menjadi tulang belulang.
Dimakan anjing anjing liar yang kelaparan.

Abdallah sang relawan di Deir El Balah.
Sibuk mengurusi banyak kucing liar.
Dia mengobati dan memberi makan.
Lalu membelai belai dan bermain main.

  Mousa sang penyelamat sipil di Beit Hanoun.
Merasa putus asa tidak bisa menolong.
Orang orang yang terluka tertimpa bangunan.
Merintih rintih kesakitan menunggu kematian.

Fadi sang relawan di Al Maghazi.
Terus bergerak bersama rekan rekannya.
Mereka memasang solar panel , mengebor sumur dan membuat.
Para pengungsi memuji kerja keras mereka.

Yousef sang petugas medis di rumah sakit Al Quds.
Merasa ketakutan naik ambulance.
Drone pengebom terus mengejar.
Meledakkan jalanan yang dilewati.

Menna sang pelukis di Al Shati.
Menyuruh anak anak untuk mengantri.
Sementara dia melukis wajah mereka satu persatu.
Lukisan semangka , Handala dan bendera Palestina.

Nofal sang jurnalis di Shujaiya.
Mewawancarai seorang pria kurus penuh luka.
Pria itu baru saja dibebaskan dari penjara.
Terus disiksa hingga mengalami trauma.

Maha sang jurnalis di Deir El Balah.
Bersantai di pantai sambil memandangi senja.
Sementara anak anak muda di sekitarnya.
Penuh semangat bermain sepakbola.

Naji sang sopir taxi di kota Gaza.
Menyetir mobilnya pelan pelan sambil menangis.
Dia sedih melihat seluruh kotanya hancur lebur.
Tak ada yang tersisa selain puing puing reruntuhan.

Fatema sang relawan di Al Shati.
Berkumpul bersama anak anak perempuan di tenda besar.
Mereka duduk di tikar sambil membaca ayat ayat Al Quran.
Terdengar merdu hingga meneguhkan keimanan.

Ismail sang jurnalis di Jabalia.
Bertemu seorang pria yang naik kereta keledai pelan pelan.
kereta keledai itu mengangkut mayat anak anak yang berlumuran darah.
Ada yang kepalanya pecah , ada yang perutnya hancur.

Nour sang jurnalis di kota Gaza.
Tertawa senang melihat anak anak muda di sekitarnya.
Mereka bermain parkour melompati puing puing reruntuhan.
Lalu mengibarkan bendera Palestina di atas atap yang hampir roboh.

Khaled sang jurnalis di Beit Hanoun.
Tergesa gesa meliput pengeboman drone di jalanan.
Ledakan bom menghancurkan mobil hingga ringsek.
Orang orang di dalam mobil tewas mengenaskan berlumuran darah.

Ashraf sang insinyur elektronik di Al Nuseirat.
Tampak senang memamerkan barang barang buatannya.
Kipas angin , lampu meja , charger ponsel hingga kulkas.
Semuanya dibuat dengan rongsokan yang dia temukan.

Lubna sang jurnalis di rumah sakit Al Shifa.
Meliput kengerian setelah pembantaian massal.
Ratusan mayat membusuk bergelimpangan dimana mana.
Semuanya hancur tak berbentuk setelah dilindas tank dan buldoser.

Firas sang relawan di Al Bureij.
Naik truk bersama rekan rekannya ke tempat pengungsian.
Begitu tiba mereka langsung membagikan sepatu , mantel dan jaket tebal.
Anak anak senang tak lagi kedinginan.

Jumana sang janda di Al Mawasi.
Menangis teringat suaminya yang tewas tertembak quadcopter.
Dia juga lelah berusaha bertahan hidup tanpa suaminya.
Sementara anak anaknya masih kecil semua.

Rami sang pemuda kreatif di Al Nuseirat.
Mengumpulkan banyak kardus bekas dari tempat sampah.
Setelah itu dia membuat beraneka mainan kardus untuk anak anak.
Mobil mobilan , motor motoran , kapal kapalan dan lainnya.

Wedad sang gadis remaja di Al Mawasi.
Termenung sedih sambil memegang kunci tua dan kunci baru.
Kunci tua itu milik neneknya yang terusir dari rumah sejak 1948.
Kunci baru itu miliknya sendiri yang terus dibawa setelah rumahnya dihancurkan.

Mosab sang pelukis mural di Rafah.
Membawa banyak peralatan lukis dan cat beraneka warna.
Dengan penuh semangat dia melukis mural di reruntuhan tembok yang lebar.
Yang dia lukis adalah sosok Handala sedang makan semangka.

Dokter Ayaz di rumah sakit Al Awda.
Menangis melihat bayi bayi prematur yang tidur dalam inkubator.
Tak ada kiriman bahan bakar untuk terus menyalakan listrik yang hampir padam.
Bayi bayi prematur itu akan segera mati satu persatu.

Aboud sang pemuda kreatif di Al Maghazi.
Mengajak anak anak membuat layangan besar bendera Palestina.
Lalu mereka menerbangkan layangan besar itu di tepi pantai.
Siapapun yang melihatnya merasa masih punya harapan.

Duka lara yang dialami orang orang Gaza masih terus berlanjut.
Tapi orang orang Gaza masih terus melanjutkan suka cita.
Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan.
Menikmati apapun yang masih bisa dinikmati.


November 2024

By Alvian Eleven
Leonoah Apr 2020
Alas sais y medya na ng umaga nang makauwi si Natividad mula sa bahay ng kanyang amo. Pagkababa n’ya ng maliit na bag na laman ang kanyang cellphone at wallet na merong labin-limang libo at iilang barya ay marahan siyang naglakad tungo sa kwartong tinutulugan ng kanyang tatlong anak. Hinawi niya ang berdeng kurtina at sumilip sa kanyang mga anghel.
Babae ang panganay ni Natividad, o di kaya’y Vida. Labindalawang taong gulang na ito at nasa Grade 7 na. Isa sa mga malas na naabutan ng pahirap na K-12 program. Ang gitna naman ay sampung taong gulang na lalaki at mayroong down syndrome. Special child ang tawag nila sa batang tulad nito, pero “abnormal” o “abno” naman ang ipinalayaw ng mga lasinggero sa kanila. Ang bunso naman niya, si bunsoy, ay kakatapak lamang ng Grade 1. Pitong taong gulang na ito at ito ang katangkaran sa mga babae sa klase nito. Sabi ng kapwa niya magulang ay late na raw ang edad nito para sa baiting, pero kapag mahirap ka, mas maigi na ang huli kaysa wala.
Nang makitang nahihimbing pa ang mga ito ay tahimik s’yang tumalikod at naglakad papuntang kusina. Ipagluluto niya ang mga anak ng sopas at adobong manok. May mga natira pa namang sangkap na iilang gulay, gatas, at macaroni na galing pa sa bahay ni Kapitan noong nangatulong siya sa paghahanda para sa piyesta. Bumili rin siya ng kalahating kilo na pakpak ng manok, kalahating kilo pa ulit ng atay ng manok, at limang kilo ng bigas.
Inuna niya ang pagsasaing. Umabot pa ng tatlong gatang ang natitirang bigas nila sa pulang timba ng biskwit kaya ‘yun na lang ang ginamit niya. Pagkatapos ay agad niya rin itong pinalitan ng bagong biling bigas.
De-uling pa ang kalan ni Vida kaya inabot siya ng limang minuto bago nakapagpaapoy. Siniguro niyang malakas ang apoy para madaling masaing. Kakaunti na lang kasi ang oras na natitira.
Habang hinihintay na maluto ang kanin ay dumiretso na sa paghahanda ng mga sangkap si Vida. Siniguro niyang tahimik ang bawat kilos para maiwasang magising ang mga anak. Mas mapapatagal lamang kasi kung sasabay pa ang mga ito sa kanyang pagluluto.
Habang hinahati at pinaparami ang manok ay patingin-tingin s’ya sa labas. Inaabangan ang inaasahan niyang mga bisita.
Mukang magtatagal pa sila ah. Ano na kayang balita? Dito lamang naikot ang isip ni Vida sa tuwing nakikitang medyo normal pa sa labas.
May mga potpot na nagbebenta na pan de sal at monay, mga nanay na labas-masok ng kani-kanilang mga bahay dahil tulad niya ay naghahanda rin ng pagkain, at mga lalaking kauuwi lamang sa trabaho o siguro kaya’y galing sa inuman.
Tulog pa ata ang karamihan ng mga bata. Mabuti naman, walang maingay. Hindi magigising ang tatlo.
Binalikan niya ang sinaing at tiningnan kung pupwede na bang hanguin.
Okay na ito. Dapat ako magmadali talaga.
Dali-dali niyang isinalang ang kaserolang may laman na pinira-pirasong manok.
Habang hinihintay na maluto ang manok ay paunti-unti rin siyang naglilinis. Tahimik pa rin ang bawat kilos. Lampas kalahating oras na siyang nakakauwi at ano mang oras ay baka magising ang mga anak niya o di kaya’y dumating ang mga hinihintay n’ya.
Winalis niya ang buong bahay. Maliit lang naman iyon kaya mabilis lamang siyang natapos. Pagkatapos ay marahan siyang naglakad papasok sa maliit nilang tulugan, kinuha ang lumang backpack ng kanyang panganay at sinilid doon ang ilang damit. Tatlong blouse, dalawang mahabang pambaba at isang short. Dinamihan niya ang panloob dahil alanganin na kakaunti lamang ang dala.
Pagkatapos niyang mag-empake ay itinago niya muna backpack sa ilalim ng lababo. Hinango niya na rin ang manok at agad na pinalitan ng palayok na pamana pa sa kanya. Dahil hinanda niya na kanina sa labas ang lahat ng kakailanganin ay dahan dahan niyang sinara ang pinto para hindi marinig mula sa loob ang ingay ng paggigisa.
Bawat kilos niya ay mabilis, halata **** naghahabol ng oras. Kailangang makatapos agad siya para may makain ang tatlo sa paggising nila.
Nang makatapos sa sopas ay agad niya itong ipinasok at ipinatong sa lamesa. Sinigurong nakalapat ang takip para mainit-init pa sakaling tanghaliin ng gising ang mga anak.
Dali-daling hinugasan ang ginamit na kaserola sa paglalaga at agad ulit itong isinalang sa apoy. Atay ng manok ang binili niya para siguradong mas mabilis maluluto. Magandang ipang-ulam ang adobo dahil ma-sarsa, pwede ring ulit-ulitin ang pag-iinit hanggang maubos.
Habang hinihintay na lumambot na ang mga patatas, nakarinig siya ng mga yabag mula sa likuran.
Nandito na sila. Hindi pa tapos ‘tong adobo.
“Vida.” Narinig niyang tawag sa kanya ng pamilyar na boses ng lalaki. Malapit niyang kaibigan si Tobias. Tata Tobi kung tawagin ng mga anak niya. Madalas niya ditong ihabilin ang tatlo kapag kailangan niyang mag-overnight sa bahay ng amo.
“Tobi. Andito na pala kayo,” nginitian niya pa ang dalawang kasama nitong nasa likuran. Tahimik lang ang mga itong nagmamasid sa kanya.
“Hindi pa tapos ang adobo ko eh. Ilalahok ko pa lang ang atay. Pwedeng upo muna kayo doon sa loob? Saglit na lang naman ‘to.”
Mukhang nag-aalangan pa ang dalawa pero tahimik itong kinausap ni Tobi. Maya-maya ay parang pumayag na rin ito at tahimik na naglakad papasok. Narinig niya pang sinabihan ni Tobi ang mga ito na dahan-dahan lamang dahil natutulog ang mga anak niya. Napangiti na lamang siya rito.
Pagkalahok ng atay at tinakpan niya ang kaserola. Tahimik siyang naglakad papasok habang nararamdaman ang pagmamasid sa kanya. Tumungo siya sa lababo at kinuha ang backpack.
Lumapit siya sa mga panauhin at tahimik na dinaluhan ang mga ito tapos ay sabay-sabay nilang pinanood ang usok galing sa adobong atay.
“M-ma’am.” Rinig niyang tawag sa kanya ng kasama ni Tobias. Corazon ang nakaburdang apelyido sa plantsadong uniporme. Mukhang bata pa ito at baguhan.
“Naku, ser. ‘Wag na po ganoon ang itawag niyo sa akin. Alam niyo naman na kung sino ako.” Maraan niyang sabi dito, nahihiya.
“Vida. Pwede ka namang tumanggi.” Si Tobias talaga.
“Tobi naman. Parang hindi ka pamilyar. Tabingi ang tatsulok, Tobias. Alam mo iyan.” Iniiwasan niyang salubungin ang mga mata ni Tobias. Nararamdaman niya kasi ang paninitig nito. Tumatagos. Damang-dama niya sa bawat himaymay ng katawan niya at baka saglit lamang na pagtingin dito ay umiyak na siya.
Kanina niya pa nilulunok ang umaalsang hagulhol dail ayaw niyang magising ang mga anak.
“Vida…” marahang tawag sa kanya ng isa pang kasama ni Tobi. Mukhang mas matanda ito sa Corazon pero halatang mas matanda pa rin ang kaibigan niya.
“Ano ba talaga ang nangyari?”
“Ser…Abit,” mabagal niyang basa sa apelyido nito.
“Ngayon lang po ako nanindigan para sa sarili ko.” garalgal ang boses niya. Nararamdaman niya na ang umaahon na luha.
“Isang beses ko lang po naramdaman na tao ako, ser. At ngayon po iyon. Nakakapangsisi na sa ganitong paraan ko lang nabawi ang pagkatao ko, pero ang mahalaga po ay ang mga anak ko. Mahalaga po sila sa’kin, ser.” mahina lamang ang pagkakasabi niya, sapat na para magkarinigan silang apat.
“Kung mahalaga sila, bakit mo ginawa ‘yon? Vida, bakit ka pumatay?”
Sasagot n asana siya ng marinig niyang kumaluskos ang banig mula sa kuwarto. Lumabas doon ang panganay niyang pupungas-pungas pa. dagli niya itong pinalapit at pinaupo sa kinauupuan niya. Lumuhod siya sa harap nito para magpantay sila.
“Anak. Good morning. Kamusta ang tulog mo?”
“Good morning din, nay. Sino po sila? ‘Ta Tobi?”
“Kaibigan sila ni ‘Ta Tobias, be. Hinihintay nila ako kasi may pupuntahan kami eh.” marahan niyang paliwanag, tinatantya ang bawat salita dahil bagong gising lamang ang anak.
“Saan, nay? May handaan po uli sina ser?” tukoy nito sa mga dati niyang amo.
“Basta ‘nak. Kunin mo muna yung bag ko doon sa lamesa, dali. Kunin ko yung ulam natin mamaya. Masarap yun, be.”
Agad naman itong sumunod habang kinukuha niya na rin ang bagong luto na adobo. Pagkapatong sa lamesa ng ulam ay nilapitan niya ulit ang anak na tinitingnan-tingnan ang tahimik na mga  kasama ni Tobias.
“Be…” tawag niya rito.
Pagkalingon nito sa kanya ay hinawakan niya ang mga kamay nito. Nagsisikip na ang lalamunan niya. Nag-iinit na rin ang mga mata niya at nahihirapan na sa pagbuga ng hangin.
“Be, wala na sina ser. Wala na sila, hindi na nila tayo magugulo.” ngiti niya rito. Namilog naman ang mga mata nito. Halata **** natuwa sa narinig.
“Tahimik na tayo, nay? Hindi na nila kakalampagin ang pinto natin sa gabi?”
“Hindi na siguro, anak. Makakatulog na kayo ng dire-diretso, pangako.” Sinapo niya ang mukha nito tapos ay matunog na hinalikan sa pisngi at noo. ‘Eto na ang matagal niyang pinapangarap na buhay para sa mga anak. Tahimik. Simple. Walang gulo.
“Kaso, ‘nak, kailangan kong sumama sa kanila.” Turo niya kayna Tobias. Nanonood lamang ito sa kanila. Hawak na rin ni Tobi ang backpack niya.
“May ginawa kasi si nanay, be. Para diretso na ang tulog natin at para di na tayo guluhin nina ser. Pramis ko naman sa’yo be, magsasama ulit tayo. Pangako. Bilangin mo ang tulog na hindi tayo magkakasama. Tapos pagbalik ko, hihigitan ko pa ‘yon ng maraming maraming tulog na magkakasama na tayo.”
“Nay…” nagtataka na ang itsura ng anak niya. Namumula na kasi ang mukha niya panigurado. Kakapigil na humagulhol dahil ayaw niyang magising ang dalawa pang anak.
“Anak parang ano lang ito…abroad. Diba may kaklase kang nasa abroad ang nanay? Doon din ako, be.”
Bigla ay nagtubig ang mga mata ng panganay niya. Malalaking butil ng tubig. Hindi niya alam kung naniniwala pa ba ito sa mga sinasabi niya, o kung naiintindihan na nito ang mga nangyayari.
“Itong bag ko, andiyan yung wallet at telepono ko. Diba matagal mo nang gusto magkaroon ng ganon, be? Iyo na ‘yan, basta dapat iingatan mo ha. Yung pera be, kay Tata Tobias mo ihahabilin. Habang nagtatrabaho ako, kay ‘Ta Tobi muna kayo.”
“Nay, hindi ka naman magtatrabaho eh.” Lumabi ang anak niya tapos ay tuluyan nang nalaglag ang luha.
Tinawanan niya naman ito. “Sira, magtatrabaho ako. Basta intayin mo ‘ko be ha? Kayo nina bunsoy ko, ha?” Hindi niya napigilang lambing-lambingin ito na parang batang munti. Kailangan ay sulitin niya ang pagkakataon.
Paulit-ulit niya itong dinampian ng maliliit na halik sa mukha, wala na siyang pakealam kung malasahan niya ang alat ng luha nito. Kailangan ay masulit niya ang natitirang oras.
“Nay, sama po ako. Sama kami ni bunsoy. Tahimik lang kami lagi, pramis, nay. Parang kapag andito si ser, hindi naman kami gugulo doon.” Tuluyan na ngang umalpas ang hikbi niya. Naalala niyang muli ang rason kung ba’t n’ya ito ginagawa. Para sa tahimik na buhay ng mga anak.
“Sus, maniwala sa’yo, be. Basta hintayin mo si nay. ‘Lika ***** tayo doon sa kwarto, magbabye ako kayna bunsoy.” Yakag niya rito. Sumama naman ito sa kanya habang nakayakap sa baywang niya. Humihikbi-hikbi pa rin ito habang naagos ang luha.
Tahimik niyang nilapitan ang dalawa. Kinumutan niyang muli ang mga ito at kinintalan ng masusuyong halik sa mga noo. Bata pa ang mga anak niya. Marami pa silang magagawa. Malayo pa ang mararating nila. Hindi tulad ng mga magulang nila, ‘yun ang sisiguraduhin niya. Hindi ito mapapatulad sa kanila ng mister niya.
“Be, dito ka na lang ha. Alis na si nanay. Alagaan mo sina bunsoy, be, ha. Pati sarili mo. Ang iskul mo anak, kahit hindi ka manguna, ayos lang kay nanay. Hindi naman ako magagalit. Basta gagalingan mo hangga’t kaya mo ha. Mahal kita, be. Kayong tatlo. Mahal na mahal namin kayo.” Mahigpit niya itong niyakap habang paiyak na binubulong ang mga habilin. Wala na ring tigil ang pag-iyak niya kaya agad na siyang tumayo. Baka magising pa ang dalawa.
Nakita niya namang nakaabang sa pinto si Tobi bitbit ang bag niya. Kinuha niya rito ang bag at sinabihang ito na ang bahala sa mga anak. Baog si Tobias at iniwan na ng asawa. Sumama raw sa ibang lalaking mas mayaman pa rito. Kagawad si Tobias sa lugar nila kaya sigurado siyang hindi magugutom ang mga anak niya rito. May tiwala siyang mamahalin ni Tobias na parang sarili nitong mga anak ang tatlo dahil matagal niya na itong nasaksihan.
Pagsakay sa sasakyan kasama ang dalawang pulis na kasama ni Tobias ay saka lamang siya pinosasan ng lalaking may burdang Corazon.
“Kilala namang sindikato yung napatay mo, ma’am. Kulang lamang kami sa ebidensya dahil malakas ang kapit sa taas. Kung sana…sana ay hindi ka nag-iwan ng sulat.”
“Nabuhay ang mga anak kong may duwag na ina, ser. Ayokong lumaki pa sila sa puder ng isang taong walang paninindigan. Pinatay niya na ang asawa ko. Dapat ay sapat na ‘yon na bayad sa utang namin, diba?” kung kanina ay halo humagulhol siya sa harap ng mga anak, ngayon ay walang emosyong mahahamig sa boses niya. Nakatingin lamang siya sa labas at tinititigan ang mga napapatingin sa dumadaang sasakyan ng pulis.
Kung sana ay hindi tinulungan ng mga nakatataas ang amo niya. Kung sana ay nakakalap ng sapat na mga ebidensya ang mga pulis na ngayon ay kasama niya. Kung sana ay may naipambayad sila sa inutang ng asawa niya para pambayad sa panganganak niya.
Kung hindi siguro siya mahirap, baka wala siya rito.
unedited
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Eugene Sep 2017
Instagram

Anak: Tay, ano po iyong ingles ng gramo?
Tatay: Gram, anak.
Anak: E 'yong kilogramo po?
Tatay: Kilogram, anak.
Anak: May relasyon po ba ang gramo sa kilogram?
Nanay: anak ng kilogram ang gramo, anak.
Anak: Aaah! Ganun po ba? E 'yong tinatawag na instagram po?
Nanay: Madali lang iyan, anak. Ang tanong mo ba ay kung magkadugo sila?
Anak: Tumango ang anak.
Nanay: Ang instagram ay lolo ng gramo at tatay ng kilogramo.
Tatay: Umalis ka nga sa harapan ng anak mo. Na-bo-bobo ako sa iyo e. Dinadamay mo pa anak mo.
#jokes, #humor
Eugene Oct 2018
"Anak, ilang oras na lang, aakyat ka na sa entablado. Proud na proud ako sa iyo, anak" wika ng kaniyang ina habang inaayos ang suot niyang toga. Isang matamis na ngiti naman pinakawalan ng binata at niyakap nang mahigpit ang ina.

Ito na ang araw na pinakahihintay niya.

Ang araw na magtatapos na siya sa kolehiyo.

Ang araw na pinaka-pinanabikan niyang dumating sa buong buhay niya.

"Anak, mauna ka na muna roon sa unibersidad at ako ay susunod na lamang. May tatapusin lang ako rito sa ating tahanan. Hindi puwedeng hindi maganda ang iyong ina kapag akay-akay kitang nagma-martsa,"  Isang halik sa pisngi ang iginawad ng ina sa anak.

Lumipas pa ang dalawang oras, isa, at hanggang sa naging tatlumpung minuto na lamang ay hindi pa rin nakikita ng binata ang kaniyang ina. Kabadong-kabado na siya nang mga sandaling iyon.

"ROGEN! ROGEN!" sigaw ng isang tinig. Hinanap ni Rogen ang pinanggalingan ng tinig at doon ay nakita niya ang kaniyang matalik na kaibigang hingal na hingal na tumatakbo patungo sa kaniya.

"Bakit tila hapong-hapo ka, Arwan?" aniya.

"Ang--ina. Ang-- iyong ina! isinugod sa ospital ang iyong ina,"  agad namang kumaripas ng takbo si Rogen, suot-suot ang togang mayroon siya upang puntahan ang pinakamalapit na ospital sa kanilang bayan nang marinig ang tungkol sa ina.

Habang tinatakbo ang daan patungo ay hindi napigilan ni Rogen ang pagpatak ng mga luha sa kaniyang mga mata. Nang marating ang ospital ay agad niyang pinuntahan ang information desk. Sinabi ng nars na nasa emergency room ang kaniyang pakay at hindi pa nakakalabas ang doktor.

Pinuntahan niya ang emergency room at doon ay natagpuan niya ang sariling kausap ang kaniyang amang matagal niyang hindi nakita.

"Rogen, anak," agad siyang niyakap nito. Hindi naman nakapagsalita si Rogen dahil ang puso at isipan niya ay nasa kaniyang ina.

"Anak, patawarin mo ako kung ngayon lamang ako nakauwi at hindi ko inasahang sa muling pagkikita namin ng iyong ina ay aatakihin siya ng kaniyang sakit sa puso," mulagat ang mga mata ni Rogen nang marinig ang salitang iyon. May sakit ang kaniyang ina at hindi niya alam? Inalalayan siya ng kaniyang ama na umupo at doon sinabi sa kaniya ang lahat.

"Anak, graduation mo ngayon. Kabilin-bilinan ng iyong ina kanina bago siya atakihin ng kaniyang sakit na kailangan **** daluhan ang pagtatapos mo. Wala man siya o nasa tabi mo man daw siya ay dapat personal **** abutin ang diploma mo at ang medalya **** apat na taong mo ring pinaghirapang makamit," patuloy ang pag-agos ng mga luha sa mga mata ng kaniyang ama habang siya ay humahagulgol na. Ang medalyang iyon sana ang sorpresa niya sa kaniyang ina pero mukhang nalaman na rin niya pala ito.

"Mayroon ka na lamang sampung minuto upang bumalik sa unibersidad at kunin ang iyong medalya at diploma, anak. Ako na ang bahala sa iyong ina. Alam kong bibigyan pa siya ng Panginoong makita ang medalya at diploma mo. Tuparin mo ang bilin niya, Rogen."

Kahit mabigat sa kalooban ay pinahiran ni Rogen ang kaniyang mga luha at tumayo. Sa kauna-unahang pagkakataon ay ginantihan niya ang yakap ng kaniyang ama at mabilis na tumakbo palabas sa ospital .

Sampung minuto na nang makalabas siya sa ospital.

Siyam na minuto nang pumara siya ng masasakyan at dali-daling sumakay dito.

Walong minuto nang magsimulang umandar ang dyip.

Pitong minuto nang biglang bumagal ang usad ng mga sasakyan.

Anim na minuto nang iabot ni Rogen ang bayad sa drayber at naghintay pa ng isang minuto.

Limang minuto at hindi na nakatiis si Rogen. Bumaba na ito ng dyip.

Apat na minuto na at hindi na niya ramdam ang init nang mga oras na iyon maging ang mga nakabibinging busina ng mga sasakyan sa kalsada.

Tatlong minuto na at nasa tapat na siya ng unibersidad. Ang lahat ay nasa loob na ng convention hall.

Dalawang minuto na at kailangan niyang magmadali dahil dinig na dinig na niya ang pagtawag sa mga apelyido ng magsisipagtapos na nagsisimula sa letrang "B".

Isang minuto na at sa wakas narating din niya ang convention hall. Tamang-tama lang dahil buong pangalan na niya ang tinawag ng EMCEE.

"Batobalani, Ujuy Rogen, MAGNA *** LAUDE!"

Basang-basa na ng mga luha ang togang suot ni Rogen nang mga sandaling iyon pero taas-noo pa rin siyang naglakad upang umakyat sa entablado. Nanalangin sa isipang sana ay huwag munang kunin ang kaniyang ina.

Nang makaakyat ay binati siya ng mga naroon at isinabit sa kaniya ang kaniyang medalya.

"Everyone, let us hear the message of success to our first ever Magna *** Laude of West Visayas University - College of Education, Rogen Ujuy Batobalani!"

"Isang maikling talumpati lamang po ang aking ibibigay sa kadahilanang hindi ko po nakasama ang aking ina rito sa entablado upang magsabit sa akin ng aking medalya. Nasa emergency room po siya ngayon at nag-aagaw buhay." muli na namang pumatak ang kaniyang mga luha.

"Sa aking ina, nais kong malaman mo na walang araw na hindi ko inihahandog ang mga gantimpalang nakamit ko sa unibersidad na ito. At itong medalyang ito at ang diplomang kukunin ko ay para sa iyo. Para sa walang sawang pag-suporta mo sa akin. Para sa araw-araw **** pagpapaalala sa akin na ang buhay ng isang tao ay parang isang mahabang tulay na may iba't ibang uri ng balakid sa daang kailangang suungin, at lagpasan ng may lakas ng loob, tiwala, at malakas na kapit sa ating Panginoon upang makita ang dulo nito. Walang hanggan ang aking pasasalamat sa iyo, mahal kong ina. Mahal na Panginoon, maraming salamat din po at nagkaroon ako ng isang inang katulad niyang mabait, maalalahanin, maalaga at mapagmahal. Alam Niyo po ang iniiyak ng aking puso at nawa ay Iyo po itong pakinggan."

Ang hindi alam ni Rogen, matapos ang maikling talumpating iyon ay siya namang pagtigil ng tibok ng puso ng kaniyang ina sa ospital.
Anak:
"Ika'y Tulang muli't muli'y binabasa ng madla,
Na 'di makalilimutan; na binabaon sa alaala
Tulang puno ng damdamin na ni nais ipabatid
At ang saknong ng pag-ibig Mo'y,
Siyang tutugma sa puso kong minsa'y naging sugatan."

Ama:
"Minsang ibinigay ko sa iyo ang pagkakataong
Unawain ang kahulugan ng kamusmusan.
Sa lupaing ugat ng iyong kaluluwa't
Siyang kanlungan ng mga pangako Ko't
Mga pangarap na laan sayo.
Bumangon ka, Anak
Ako ang Siyang sasagwan
Ako ang aabot sayo."

Anak:
"Sabay nating kinatha ang tula ng aking buhay;
Mga saknong at tugma na sarikulay,
Mga katagang baun-baon ko
Sa malayu-layong paglalakbay."

Ama:
"Pagal ka ma'y,
Nanahan pa rin sa puso ng bawat isa,
Di mo man tiyak ang katiyakan, natitiyak Ko
Na ang pag-ibig Ko'y, kailanma'y di ka iiwan.
Anak, hanggang sa huling tapon ng lupa
At huling tapon ng luha,
Hanggang sa huling liwanag
Ng itutulos **** kandila,
Hanggang sa huling pagpagpag mo
Ng sar't saring pangungulila,
Patuloy Kitang mamahalin,
Anuman ang mangyari."

Anak:
*
"Singbigat ng katotohanan
At ng pangarap na mala-kalawakan,
Ito ang huling handog ng makata **** anak:
Ang mabatid kong Ikaw ang buhay na eternal
At ako'y isang kathang Ikaw ang tinitingala --
Ikaw ang dinadakila.
Ama, ako'y malaya
Ikaw ang buhay, Ikaw ang agos
Ikaw ang tagumpay;
Gisingin Mo ang diwa
Ang bugso at alab ng damdaming hilaw
Ikaw ang masundan
Nang maihain nang patas
Ang pag-ibig **** umaapaw."

#041215 ‪
Convo namin ni Lord
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Hi tita,
Kamusta?
Alam niyo naman po na matalik na magkaibigan kami ng anak nyo.
Matalik na kaibigan mo rin ang nanay ko.
Pitong taon na nung nakilala ko anak niyo,
Gwapo at matalino siya,
Kaya hindi na ako nagtataka kung bakit maraming naghahabol sakanya.

Malapit pamilya niyo sa amin.
Tita, Thankful ako na inaalagaan mo ako.
Binibigyan mo ako ng regalo tuwing birthday ko.
Minsan inaayusan mo pa ako,
Iniintindi ko kasi wala kang anak na babae.
Kulang na nga lang pati *****'t bra ibigay mo saakin.

Ikaw pa ang bumigay saakin ng napkin nung first time ko magkaregla.
Ilang beses na rin ako nakasakay sa kotse niyo.
Sabi mo pa ako ang mata mo na nagbabantay sa anak mo pag may pasok.
Lagi ko pong tinutulungan anak niyo.

Pero tita alam niyo po ba ano ang masaklap?
7 billion ang tao dito sa mundo pero anak mo pa rin ang gusto ko.
Pero alam niyo po ba ano ang mas masaklap?
Anak mo ang gusto ko pero kahit kailan saakin ay hindi siya nagkagusto.
Another poem that I used my language. It's too long because I don't know how to make it short. It's like I'm shouting out to someone. Hope you like it :)
Anak kumusta na ang Dodoy ko diyan sa syudad, Masaya ka ba diyan , ha?

Kami ng itay mo at ng mga kapatid mo dito ay ayos naman.

Natanggap ko nga pala yung sulat mo nakaraang lingo alam kong mahirap mabuhay at mag-aral dyan sa syudad anak, pagbutihan mulang at mairaraos ka rin namin.

At yung itay mo hindi na umiinum ng alak at di na naglalasing, meron na rin siyang tatlong-daang katao  na under sa kanya. Sa sobrang busy niya nga sa trabahao, hindi niya na  nga masabi mensahe niya para  sayo ngayon,  nasa trabaho kase siya naglilinis at nagdadamo sa sementeryo.

Nanganak na nga pala ate mo kaso di pa namin nakikita ang yung bata, di pa tuloy naming alam kung tito kana o tita, kaya dodoy tulungan mo kaming magdasal nasana maging tita ka para di matigas ang ulo ng bata at di magmana sa kuya mo.

Nandoon sa bundok  nagtatraining sa Army, eh nakapagtataka may mga baril wala namang uniporme.

Okey naman ang lagay ng panahon dito sa atin, dalawang beses lang umulan ngayong lingo. Noong una tatlong araw tas nung sumunod apat na araw naman.

Ang itay mo okey lang din, naalala mo na yung sinabi ng doktor na mabubulag na daw siya buti nalang pumunta kami sa albularyo nakaraang lingo at pinigaan siya nang binendisyonang kalamansi, ipapatak daw yun sa mata ng itay mo at gagaling na daw ang  katarata niya sa makalawa.

Anak wag ka magalala sinusulat ko to nang dahan-dahan, alam ko naming di ka mabilis bumasa.

P.S. Maglalagay sana ako ng pera sa sobre  kaso nalawayan  ko na anak, di bale sa sususnod na buwan nalang ako magpapadala ng pera sa iyo anak, magaral ka ng mabuti!
Short funny story written in tagalog. Hope you enjoy.
Huehuehue
jia Jul 2019
kung walang tatayo para sa bayan, sino?
ikaw na takot at naniniwala sa kuro-kuro?
ikaw na sanay na sa sistemang pabago-bago?
kung hindi tayo lalaban, sino?

sino bang dapat lumaban at makiaklas?
sino bang nandyan hanggang bukas?
sino bang nais humamon upang maging patas?
sino ba dapat ang kailangang tinitingala at tinitingnan sa itaas?

hindi ba't ikaw ang dapat gumawa ng paraan?
hindi ba't ikaw na mamamayan?
hindi ba't ikaw na Pilipino sa dugo at laman?
hindi ba't ikaw na anak ng bayan?

sa bawat siglong dadaan ay nanatili ang rebolusyon,
ang tanging kailangan ay pagmamahal sa nasyon.
mga aksyon natin dapat iayon,
kaya lumaban ka para sa sarili, sa bayan at sa susunod na henerasyon.
para sa bayan.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
040120

Hinga, buga
Hinga, buga
Ganyan nga
Langhapin mo ang sariwang hanging pabaon Ko sayo,
Kasama ng mga pangakong kalasag at kalakasan mo,
Mga pangakong magsisilbihing pahingahan mo,
Mga pangakong ilaw mo sa dilim
Na mas maliwanag pa sa Buwan at mga bituin
Mas maliwanag kaysa sa mga alitaptap
Na sinusundan mo ng tingin.
Na sa tuwing tiyak ang ligaya o lungkot **** taglay
Ay napapawi nito ang sakit
Ang hikbi ng puso **** walang ginawa kundi umiyak
Ang bilis ng tibok na puso **** paulit ulit na kinakabahan —
Kinakabahan na mahuli ang iyong kamalian
At hindi tanggapin at akayin ng kahit na sinuman.
At habang pasan mo, tagumpay man o kabiguan
Ay matikman mo rin na hindi ka lang basta-basta
Hindi Basta-bastang buhay lamang
At nagtatago sa dilim.
Hindi ko hinayang madala ka ng dilim
Hindi kita dinala sa dilim para ikay maging sakim
At mapuno ng kirot ang kawalan mo ng pag-ibig.
Huminga ka na may gayak,
Huminga ka nang May pag-asa.

Hinga, buga
Hinga, buga
Ganyan, paulit ulit hanggang sa makuha mo ang tamang tiyempo
Nang masabayan mo ang binabato kong mga ritmo
Ibuga mo ang iyong mga kamalian
Ibuga mo ang iyong mga kasalanan —
Mga kasalanang tila isang kumunoy na humahatak sayo
Pabalik sa kadiliman
Mga kasalanang minsan mo nang iniwan
Tama na ang paghinga sa walang kasiguraduhan,
Tama na ang pagsambit na kasalanan mo naman
Tama na ang paulit-ulit na bersyon mo ng “Ayoko na ng kasalanan at gusto ko na tong iwan,”
Ngunit nariyan ka pa rin,
Humihinga ka pa rin sa iskwater na minsang ika’y parang sardinas na nakasiksik
Tama na, tama na Anak.

Hinga, buga
Hinga buga,
Naghihingalo ka na
At paulit-ulit **** nasasaktan ang iyong sarili kahit Sabi Kong tama na
Naghihikahos ka na —
Ngunit wag **** isiping napapagod ako
Na sa tuwing nakikita kita sa iyong kahinaan
Ay napapagod na rin akong gamutin ka.
Pagkat hindi ako nagsasawang mahalin ka,
Na sa tuwing sinasabi ko sayong
Umuwi ka sa akin ay naghihintay ako sa pagbabalik mo
Na hindi ako nagsasawang maghintay sa pagsabi ****,
“Ama, narito na ako.”

Hinga, buga,
Hinga, buga
Malayo pa Lang ay nakikilala ko na maging ang iyong anino
Ang iyong pagsisisi buhat sa iyong paglisang makasarili
Ngunit buo ang aking pagpatawad
At ang pag-ibig ko’y dalisay at wagas
Na sa Krus ay dumanak ang dugo ng bugtong kong anak
Ang Anak ko si Hesus na nagpalaya sa iyo
At nagbigay sayo ng daan patungo sa katiyakan
Naririnig ko na
Ang mga padyak **** sabik sa aking paglambing
Ang mga pandinig **** naghihintay sa aking mga Salita
Na pinuno ko ng siksik, liglig at umaapaw kong pag-ibig
Maging ang pagtambol ng puso mo sa kaba
Nakikilala ko ang lahat sayo at sana alam ****
Sanang alam ****
Matagal nang bukas ang ating pintuan para sayo,
Oo ating pintuan at hindi pintuan Ko lamang.
Tahan na Anak, tahan na at nakauwi ka na
Nakauwi ka na sayong tahanan.

Hinga, buga,
Hinga, buga
Tayo na anak,
Sa akin ka na mamahinga.
iamtheavatar Oct 2016
Lubhang mapanganib
ang sinumang daig
ng isang dayuhan umibig
sa 'di sinilangang bayan.

O, anong poot at sigalot
ang kanyang itinanim
sa Kaluntiang nagbigay-lilim
sa kanyang murang katawan,
Upang silaban at yurakan
ang kabanalan ng kasarinlan

Ang magkapatid ng pisi
ay 'di dapat magtunggali,
Ngunit ang isang bayaran
ay masahol pa sa kawatan

Kaya ako'y nananawagan
sa maringal kong Haring Bayan,
O, kanyang tipunin
Mga anak ng Dakilang Lahi,
Handang paglingkuran
ang lupang kinamulatan

Pagkat ang aking lupang kinamulatan
ay isang makatang manunulat,
Siya ay bukal ng kaluwalhatian,
Angkan ng kayumangging balat

Samakatuwid, bigyang pansin
ang nagngangalit na damdamin
ng Sinaunang Mandirigma,
Sa awit ng himagsikan
dumaloy ang himig ng dangal,
At sa kalupkop ng kanyang sandata
lumigwak ang kagitingan
magpasahanggang kamatayan,
Sa ngalan ng kalayaan

**iamthe_avatar ©2016
A poem for the great Filipino people.
ZT Jun 2015
Habang hawak-hawak mo ang kanyang kamay
            'San man kayo magpunta
Kailan ba'y naisip mo ako
            Na nalulunod sa pangungulila
                        Nang ako'y iyong binitiwan?

Habang kayakap mo siya
            Sa gabing maginaw
Kailan ba'y naisip mo ako
            Na naghihintay sa'yo
                        Mag-isa, nanlalamig
                                    At sa init ng 'yong yakap ay uhaw?

Habang hinahalikan mo
Ang kanyang mapupulang labi
Kailan ba'y naisip mo ako
            Na halos matuyo na ang labi
                        Sa kasasambit ng pangalan mo?

Habang binubulong mo sa kanya
            Kung gaano mo siya kamahal
Kailan ba'y naisip mo ako,
            Narinig mo ako?
                        Sumisigaw na "Mahal na Mahal kita!"

Habang pinagmamasdan mo
            Ang kanyang matamis na ngiti
Kailan ba'y naisip mo ako,
            Nakita mo ako, nakita mo
                        Kung gaano na karaming patak ng luha
                                    Ang naidilig ko sa lupa?

At sa kung siya ay umiiyak at iyong pinatatahan
Habang pinupunasan mo
Ang kanyang mga luha
Kailan ba'y naisip mo ako,
            Naisipan mo man lang ba?
                        Na itigil ang paulit-ulit
                                    Na pagsaksak mo sa puso kong
                                                Dumudgo sa kaiibig sayo?

Pero alam ko
Na may kasalan din ako
Kasi....

Kailan ma'y di ko naisip
Na sa higpit ng yakap ko'y nasasakal ka na pala

Kailan ma'y di ko naisip
Na kahit gaano kalawak ang bahay nati'y
            Nasisikipan parin ang iyong dibdib
                        At hindi kana nakakahinga

Kailan  ma'y di ko naisip
Na kahit napagalitan ka sa opisina, sabik ka sana sa paguwi
Pero ang dadatnan mo lang ay isang malawak na bahay
Na mayroong isang "ako" na puro dada at reklamo lang
At ang iyong naririnig mula sa aking bibig
na tila daig pa ang isang rapper
sa bilis at walang paltos na panlalait

Kailan ma'y di ko naisip
'di ko inisip ang iyong opinyon
Kasi palagi nalang ako, ako, ako
            Ako ang tama

Kailan ma'y di ko naisip
Habang ika'y umuuwing pagod
Dinuduro pa rin kita
            At ito'y tumatagos na sa puso mo
                        Hanggang sa sinabi **** tama na,
                                    Hindi mo na kaya, Ayaw mo na

At yun umalis kana, iniwan mo na ako

Pero heto ako ngayon sa harapan mo...
Nagtatanong
            Kung mahal mo pa ba ako?

At kung ang iyong sagot ay hindi na'y

Heto ako ngayon sa harapan mo...
Nagbabakasakali
            Na may pag-asa pang mahalin mo ako ulit

At kung wala na ay

Heto ako ngayon
Sa harapan mo
Lumuluhod
Nagmamakaawa
Na balikan mo ako

Balikan mo ako
Balikan mo kami

Pakiusap umuwi ka na
Sa malawak na bahay
Na bahay mo, na bahay ko

Umuwi ka na, kahit 'di para sa'kin
Kun'di para sa mga anak mo, na anak ko
Para sa pamilyang ito

Parang awa mo na
Bumalik ka na
Kasi sa malawak na bahay
Naroon ako, at ang mga anak mo
Nangungulila... at
Naghihintay
Sa pagbalik mo

x.x
Actually I am a Filipina, so at times I may also post Tagalog poems, I hope other Filipinos will like it too.. This poem is inspired by real life existing family problems of people
solEmn oaSis Nov 2015
IKA-9 NG NOBYEMBRE, 2 MIL QUINCE TAONG KASALUKUYAN
KASALUKUYAN AKO NAGMUMUNI KUNG KAILAN AT ILAN
ilan pa kaya sa inyo ang sa akin ay naniniwala
naniniwalang kaya ko pang magpatuloy
magpatuloy sa aking mga adhikain
adhikain na nagsisilbing inspirasyon
inspirasyong bumubuhay sa aking mga anak
mga anak na gagabay sa ating pagtanda
sa ating pagtanda...tanging hiling ko,tayo ay buo pa rin
buo pa rin ang pananampalataya,pag-ibig at pag-asa
pag-asang maituturing na ginto sa loob ng kahon
loob ng kahon na siyang daanan ng mga mensahe
mensaheng dapat ingatan at gawing pribado
pribado na hindi tulad ng aking buhay
aking buhay na nakasalalay sa mundo ng mga makata
makata ng bawat lahi na minsan nang pinag-apoy ang mitsa at tuloyang*  nagningas
nagningas hanggang sa pumutok  ang araw
ANG ARAW NG KASARINLAN ay KASAYSAYAN ng KALAYAAN!
kalayaang makapagpahayag ng sariling himig at pahiwatig
nitong aking IKA-DALAWAMPU'T ISANG TULA
TULANG PINAMAGATAN KONG
=_ PAANYAYA AT PASINAYA _=
i proudly present to you my 21st presentation
of my emotion beyond the caption...
here in Hello Poetry,,
i found my self unselfishly!
though each one of us,
attending our own world sometimes.
Glen Castillo Jul 2018
Sabi nila,kapag nahanap mo na daw ang tunay na pag-ibig ay nahanap mo na rin ang iyong langit dito sa lupa. Kaya't naniniwala akong langit din ang maghahatid sa'yo patungo sa akin. Pero naiinip na akong maghintay at nanghihinayang sa bawat sandaling lumilipas , na hindi ko man lang magawang hawakan ang iyong mga kamay sa mga panahong kailangan mo ng karamay.Na hindi ko man lang magawang damayan ka kung dumadanas ka ng lumbay.Alam kong katulad ko,pakiramdam mo minsan ay binitawan ka na din ng mundo.Kaya't patawarin mo ako kung sa mga pagkakataong nararanasan mo yan ay wala ako d'yan para ikaw ay aking ma-salo. Kung totoong ang pag-ibig at ang langit ay may malalim na kaugnayan sa isa’t-isa,malakas ang kutob ko na tayo din ay iginuhit na katulad nila. Minsan na din akong nagtanong,saang sulok ng langit ka kaya naroroon? Malapit ka kaya sa araw? O marahil nasa tabi ka lang ng buwan,na sa tuwing sasapit ang dilim ako ay binabantayan.Kaya pala kahit saan ako magpunta ako'y lagi niyang sinusundan. Pero maaari din na ika'y kapiling ng mga bituin na kay daming nais mag angkin. Kay palad kong pagdating ng araw ikaw ay napa sa-akin. Kaya habang wala ka pa,ako muna ay magiging kaisa ng mga mabubuting kawal ng ating bayan. Makikidigma kung kinakailangan,ipaglalaban kung ano ang makat'wiran. Upang sa iyong pagdating ay malaya nating tatamasahin ang payapang buhay. Kaya habang wala ka pa ako'y taos puso kung manalangin sa ating may likha. Na paghariin niya nawa ang kabutihan sa aking puso bilang isang tao at higit sa lahat ay bilang kanyang anak , upang sa sandaling tayo'y pagtagpuin ako rin sa iyo ay magiging isang mabuting kabiyak. Hindi pa man tayo nagtatagpo,nais kung malaman mo na laman kang palagi ng aking panalangin. At habambuhay kong itatangi ang iyong pag-ibig na siyang dahilan kung bakit maka ilang ulit kong nanaising mabuhay. Nais kong ipagsigawan sa mundo na iniibig kitang wagas,ngunit mas mamatamisin kong hintayin ka at kapag naglapat na ang ating mga dibdib,ibubulong ko sa'yo na ikaw ang aking daigdig. Maghihintay lang ako,habang wala ka pa.




© 2018 Glen Castillo
All Rights Reserved.
Pag-ibig sa tatlong salita (IKAW,BAYAN at DIYOS)
Wolff Sep 2018
Tatlong katok lang ang layo ng katahimikan
"wala dito, kanina pa umalis mama ko"
utos sa anak na walong taong gulang
habang nagtatago sa palikuran
"sabihin mo sa mama mo, na nagbigay ako ng ulam"
"salamat po ninang!"
"walang anuman", bago siya lumisan.

tatlong katok lang ang layo ng katahimikan
"wala dito, kanina pa umalis mama ko"
utos sa anak na walong taong gulang
habang nagtatago sa palikuran
napakamot na lang ang naniningil ng utang
gigil na nagpaandar ng motor
sapagkat siya'y nagulangan

tatlong katok lang ang layo ng katahimikan
sa pagkatok, tanong ay "tao po?"
sagot ay "tao po"
biglaan ang pagka gulantang
"anak, dali! magtago ka doon sa palikuran"
alam na niya kung sino ang dumating
takot ang bumalot sa kapaligiran
namumugtong na mga mata
at nginig na mga kamay na parehas kumakaliwa
bakas ang kaba sa mukha

at tatlong katok lang ang layo ng katahimikan
ang pinto'y hindi binubuksan
nabasag ang katahimikan kasabay
ng pagbagsak ng sirang pintuan
nasurpresa sa kanyang mga bisita
nangingilid na ang luha
bigay todo ang pagmamakaawa
isa dalawa tatlo, hanggang anim
anim na nakaunipormeng magsasaka
hindi palay ang itinatanim, kundi bala

kasabay ng panlalamig ng katawan
ang ingay ay nilamon bigla ng katahimikan
at kasabay ng katahimikan
ang kanyang ina
ay
binawian
ng
buhay...
© 2018 Kenneth Bituin
All Rights Reserved.
Glen Castillo Jul 2018
Umaga na pala,
Subalit tila umpisa pa lang ito ng dilim
Dito sa bayan kong nasa sinapupunan ng mga sakim
Pagpagan ang mga baro't saya habang hawak ang sedula
Nilang mga uhaw sa tronong ipinangako sa kanila

Naluklok na bagong puno,sa pagdaka’y nagpaulan
Ng mga balang hindi man tingga ay tumatagos sa kaibuturan
Sa dati niyang ka giyera na s'yang mga tunay na anak ng bayan
Iginapos sila’t ipiniit sa sandipang karapatan

Yaong mga bago niyang kawal ay matatayog pa sa kalabaw
‘Pagkat kasama niyang magkakamal ng salaping umaapaw
Mag kaka-ututang labi ay iisa ang kaliskis at balagat
Sila na mag kaibigang dila at ngipin sa pilak din mag-papangagat

Habang ang mga dating sadyang tapat sa gampanin
Ay mistulang mga bayani na lang sa hangin
Ang pagka dalisay nila sa maka-kapwang  tungkulin
Parang sa tubig na isulat at hindi na basahin

Kawawang Sta. Teresita bayan kong dinusta
Ng mga ganid sa kapangyarihan at mapang-alipusta
Akong anak mo’y nasa daluyong ng kapanglawan
Kabiyak mo sa balsang itinali sa nagluluksang pampang

Kawawang Sta. Teresita ginahasa ng mga mapag-samantala
Hinubaran ng dangal at piniringan ng telang mapula pa sa pula
Binusalan ang bibig hanggang sigaw mo’y hindi na marinig
Mga araw mo ngayo’y mamumugto sa haharapin **** pag-liligalig

Tahan na Sta. Teresita,Tahan na,
Bayan kong sakdal iniibig
Matatapos din ang sigwa,
Tutulay muli ang lunday sa sapa.




© 2018 Glen Castillo
All Rights Reserved.
Mahal kong Bayan ng Sta. Teresita sa kasalukuyang panahon
7/31/2018
Napabuntong-hininga na lamang
Tila ba tumatakbo ang bubutil na pawis sa noo niya
Sasabak na naman si Tatang sa gyera
Pilit binuhat ang sakong mas mabigat pa sa kanya
Marupok na ang mga buto
Ngunit hindi ang puso
Ang wika nya, "Walang hindi gagawin para sa apo."
Si Nena, sampu na ang anak
Hindi na magkanda-ugaga
Iiyak ang isa, gutom naman sa kabila
Sa sususunod na buwan,
malapit na siyang manganak
Ang ama ng mga bata, naroon sa kanto
nagpapakalunod sa alak
Sabi nga nila, walang hindi gagawin
ang magulang para sa anak.
Tanghaling tapat na,
almusal pa rin ang hinahanap
Natulala na lamang si Nena nang malaman,
ang tatay niya'y
patay na



-Tula X, Margaret Austin Go
090316 #AlphabetsOfLove #SpokenWords

Nag-aral ako't rumolyo ang panahon
Nagbilang ng taon, nabihag ng pag-ibig Niyang pabaon.
Naghalungkat ako ng mga mumunti Niyang Katha
Sa tarangkahang puno
Ng higit pa sa dalubhasang mga Salita.
At heto --
Heto ang Bukas na Liham
Ng pag-ibig ng isang tunay na Mandirigma.
Para sa lahat ng nanghihina't nasawi ng tadhana,
Para sa lahat ng humuhugot
Sa sandamakmak na nagdidilimang mga eskima
Heto, heto nga pala ang ABAKADA ng Pag-ibig.

----

A-alalayan Kita't baka mahulog ka't masaktan pa ng iba. Baka magpasalo ka na naman sa mga bolerong nanunungkit ng pag-ibig -- silang susungkit ng mga bituin para sayo, silang haharana sayo ng kilig, silang magsasabing maghihintay sayo kahit pa sa magkabilang mundo -- silang magdudulot lamang ng matinding pait sa puso mo pag hindi ka pa handa, pag hindi ka pa nahilom at pag hindi pa panahon. Oo, silang muling gugusot ng pagkatao mo.

B-abalikan Kita, hindi dahil Ako ang nang-iwan. Pakiramdam mo kasi'y wala ka nang halaga; yung tipong iniwan ka na ng lahat sa ere't kaunti na lamang ay pabagsak ka na -- yung wala ka nang matakbuhan pa, yung paikut-ikot na lang, yung takbo ka na lang nang takbo -- hanggang sa mapagod ka na lang. Mapapagod at kusa kang hihinto -- yung bibitiw ka na, yung aayaw ka na, yung titigil ka na, yung wala ka nang pakialam. Kaya't --

K-akalingain Kita, di gaya ng pag-ibig na minsang nagpaluha sayo. Nang nasisilayan Kitang magdamagang umiiyak. At kasabay ng bawat teleseryeng pinapanood mo ay luluha ka't hahagulgol ka sa isang sulok. Paulit-ulit sa bawat alaala, parang lirikong sinasabayan mo sa bawat hugot na pasan-pasan mo. Na lahat na lang, tila ba'y konektado sa kanya. Na wala ka nang mapanghawakan pa. Iiyak ka na naman ba? Pero --

D-aramayan pa rin Kita, hindi lang sa mga pagkakataong sawi ka; pero pati sa mga oras na gusto mo siyang balikan. Doon ay papagitna Ako at pipigilin Kita. Gusto kong makita yung totoong ikaw, yung dapat sanang ikaw -- yung ikaw na kahit wala siya'y buo ka pa rin. Yung hindi mo malilimutang mahal -- mahalaga ka para sa Akin.

E-h nasasaktan ka na. Ganyan ba ang pag-ibig na gusto mo? Na siya na ang nagiging mundo mo? Na halos wala ka nang kibo sa roletang dapat sana'y para sayo? Ganyan ba, ganyan ba ang totoong nagmamahal? Na hahayaan **** malugmok ka't madungisan ang sarili ng paulit-ulit at miserable **** nakaraan? Na hindi ka na kikilos, na parang wala ka nang balak bumangon at salubungin ang araw. Na parang hahayaan mo na lamang manlamig ang kapeng itinimpla sayo ng mga higit pang nagmamahal sayo. Pero --

G-agamutin Kita. Lahat ng mga sugat at pasang idinulot sayo ng nakaraa'y pawang aalisin Ko. Ako mismo ang kukuha ng bulak at Siyang papahid at dadampi sa bawat kirot at hapding naiwan sayo ng minsang ipinaglaban mo. Ako mismo ang iihip sa bawat nangigitim at sariwang mga pantal at peklat na bumabalot at kumukubli sa dapat sanang ikaw. Handa Ako at kaya Ko -- kaya kong alisin ang lahat --

H-anggang sa makabangon kang muli't maranasan mo ang pagbabagong ganap. At mapagtanto **** hindi naman siya kawalan sa pagkatao at pagkatawag mo. Masakit man pakinggan pero oo, hindi siya ang buhay mo. Uulitin ko: hindi siya ang buhay mo. Tumingin ka sa mga mata Ko. Pagkat oo, buo ka pa rin at walang nagbago sa paningin Ko sayo.

I-iyak ka paminsan pero ang lahat ay mananatiling alaala na lamang; luha mo'y sasaluhi't pupunasan Ko. Bibilangin Ko ang bawat butil na walang humpay na dumarampi at darampi pa sayong mga pisngi, higit pa sa matatamis na pangako niyang napako na rin kalaunan. Oo, napako ang lahat -- napako ang lahat sa Akin.

L-umaban Ako at patuloy Kitang ipinaglalaban. Tiniis ko ang bawat matitinik na hagupit sa mga balat Ko; maging mga pangungutya ng mundo. Para sayo -- para sayo, lahat ay ginawa Ko na; lahat ay tinapos Ko na at lahat ay iginapos Ko na. Pagkat --

M-ahal Kita at hindi Ako magsasawang patunayan yan sayo. Walang anumang bagay sa mundo na makapagtitibag at makahihigit sa pag-ibig Kong laan sayo. Mahal Kita at mas mamahalin pa -- higit sa mga araw na bilang, higit sa mga oras na ninakaw ng dilim pagka maaga ang takipsilim, higit sa kaibuturan ng dagat na wala pang nakalalangoy -- higit sa mga panahong pipiliin **** mahalin na rin Ako.

N-i hindi Kita iiwan, ni hindi pababayaan. Kaya -- wag ka sanang matakot na buksang muli ang puso mo, pagkat ni minsan -- ni minsa'y hindi Ko naisip na biguin ka. At hindi Ko naisip na paasahin ka gamit lamang ang mga salita, pagkat kalauna'y darating Ako para sunduin ka. Totoo ang bawat pangako Ko at lahat ay para sa ikabubuti mo, kaya't panghawakan mo ito -- hindi gaya ng pagsalo ng tubig gamit ang mga kamay mo. Pero hindi, hindi masasayang ang pag-ibig mo.

O-o, naiintindihan Kita, na nahihirapan kang magtiwalang muli dahil sa sobrang nasaktan ka na. Hindi Kita minamadali at hindi Ko ipipilit ang pag-ibig Ko sayo. Hahayaan Kita -- hahayaan Kita kasi gusto kong kusa ang pagtitiwala't pagmamahal mo. At --

P-apasanin Kita. Gaya ng isang Inahing naglilimlim sa kanyang mga inakay, gaya ng isang Inahing hahagis sa kanila sa himpapawid gamit ang sariling mga pakpak. At Gaya ng isang Inahing sasalo at papasan sa kanila pag nahulog silang muli -- hanggang sa makalipad sila -- hanggang sa makalipad kang muli. At buhat sa ereng pinagtambayan, buhat sa ereng pinagkatakutan mo'y, ngayo'y makakaya mo na. Kahit na sabi mo'y naputulan ka na ng pakpak; kahit pa sabi mo'y hindi ka na muling makalilipad pa. Mali, mali ang paniniwala **** yan pagkat --

R-aragasa ang pagpapala't ibubuhos Kong ganap ang Sarili Ko sayo. Ayokong iniisip **** hindi mo na kaya ang buhay; ayokong mawalan ka ng pag-asa dahil lang umasa ka sa maling tao o maling mga bagay o mga sitwasyon. Sabi mo pa nga, wala nang saysay ang buhay mo. Sabi mo nga, hindi mo na kaya. Oo --

S-asabayan Kita -- sasabayan, hindi lamang sa pag-abot ng mga pangarap mo. At sa bawat lubak na madarapa ka, tandaan **** narito Ako't aagapay sayo, kahit ilang beses ka pang matisod sa pagtalikod o pagkatalisod ay handa pa rin Akong saluhin ka -- sasaluhin at payayabungin.

T-atayo Ako sa harap mo at Ako ang magsisilbing harang sa bawat balang ikaw ang puntirya. Manatili ka lang -- manatili nang may buong pananampalataya at Ako -- Ako ang gagawa ng mga bagay na imposible sa paningin mo -- mga bagay na mistulang imahinasyon mo lang; mga bagay na binaon mo na sa limot pagkat huminto ka, huminto ka dahil napagod ka. Pero tapos na, tapos na ang panahon ng kapaguran. At ngayo'y --

U-nti-unti **** mararamdamang kusa na ang pagyapak mo kasama Ako. Na kaya mo na pala, na nakahawak ka na rin sa mga kamay Ko; na hindi ka na bibitaw pa. Pagkat, kailanma'y hinding-hindi Kita binitawan. Oo, hindi Kita hinila noon pagkat ayokong napipilitan ka pero matagal na -- matagal na akong nakahawak sayo; hindi mo lang napapansin o hindi mo Ako nagagawang tingnan.

W-ag kang mag-alala't alam ko ang kapasidad mo - kung kailan mo kaya at kung kailan hindi. Alam kong minsan mahina ka, pero maging mahinahon ka.

Y-ayakapin Kita, Anak; at kung iiyak kang muli, pwede bang sa mga bisig Ko na lang? Ikaw ang tanging Yaman ko't alay Ko sayo ang lahat. Mahal Kita, at ito'y walang hanggan.

---
Ngayon, magtatapos Ako
Magtatapos ako kahit na sarado pa ang puso mo
Kahit na may iba ka pang mahal sa ngayon
Kahit tila naririndi ka na sa pagkatok Ko
Kahit pa pinagsasarudahan mo Ako
Kahit pa ayaw mo pa Akong tanggapin
Kahit pa sabi mo'y hindi ka pa handa
Kahit pa sambit mo'y sa susunod na lang
O kahit pa sigaw mo'y tumigil na Ako
Pero hindi, ayokong magtapos ng ganito.
Magtatapos Ako't maghihintay sa sagot mo
At sana, sana'y dugtungan mo ang liham ng paanyaya
Dalawang letrang magkatulad lang
Dalawang letra lang ay sapat na
At ito -- ito na marahil ang pagtatapos
Na Ikaw ang Simula.
Joshua Nov 2019
"Akin na pera mo."
"Dali, ilabas mo pati cellphone mo, lahat!"
"Babarilin kita!"

Hindi ako nakapagsalita.
Hindi nakagalaw. Natulala.
Ang bilis ng pangyayari.
Nakakatakot. Na wala man lang akong nagawa.

Gabi ng lumabas ako sa aming tahanan,
Kinailangan kong bumili ng ulam para sa hapunan,
Naglalakad ako ng isang kilometro,
Makabili lang ng pagkaing ihahain sa mga anak ko.

Madilim na. At walang ilaw ang kalye.
Mas pinili ko na rin maglakad para tipid pamasahe.
Medyo malapit lang din kasi nakasanayan ko na.
Ang maglakad ng malayo na walang saplot ang paa.

Malamang hinihintay na nila ako.
Kaya binilisan ko ang lakad ko.
Excited na rin akong makain nila ang paborito nilang ulam.
Tortang talong na masustansya para sa aming hapunan.

Ngunit nang malapit na ako sa pamilihan,
Dalawang lalaking nakamotor, ako'y nilapitan.
"Akin na pera mo."
"Dali, ilabas mo pati cellphone mo, lahat!"
"Babarilin kita!"

Napaluhod ako sa kalsada.
Nanghinayang sa karampot na baryang aking kinita.
Buong araw ako nagtrabaho,
Holdaper lang pala ang kukuha ng pinaghirapan ko.

"Mga anak, pasensya na, wala akong nabili eh"
"Ayos lang yan Pa, may asin at toyo pa naman eh"
"Bukas babawi ako mga anak ko."
"Hindi po papa, kami po ang babawi sa inyo."

Nawalan ako ng pera sa araw na ito,
Pero salamat at ganito ang pananaw nila sa mundo,
Na ang lahat ng ginagawa para sayo,
Ay sakripisyong dapat pinagpapasalamat mo.
Marge Redelicia Jul 2015
naririnig mo ba?
ang bell ni manong na nagtitinda ng ice cream.
ang mga huni ng iba't ibang klase ng ibon.
ang mga harurot ng mga ikot jeep.
naririnig mo ba?
ang mga tawanan ng mga magkakaibigan
mga kuwentuhan, mga tanong at makabuluhang talakayan.
naririnig mo ba?
ang mga lapis at bolpen ng mga estudyante
na kumakayod sa mga papel:
husay
sa bawat ukit.
naririnig mo ba?
ang mga yapak ng mga iba't ibang klase ng Pilipino at talino
sa kalyeng binudburan ng mga dahong acacia
dangal
sa bawat apak at kumpas ng kamay,
sa bawat hinga.

naririnig mo ba?
ang mga salitang mapanlinlang, mapang-alipusta
ang mga sigaw sa sakit,
hiyaw sa hapdi, dahil sa
mga hampas at palo
ang mga tama ng mga kamao
naririnig mo ba?
ang mga iyak
ang mga hikbi ng mga kaibigan
para sa mga kapatid nilang nasaktan.
ang mga hagulgol ng mga magulang
na nawalan ng anak:
mga puso, mga pamilyang
hindi na buo.
wasak,
nasira na.

naririnig mo ba?
ang mga boses na nananawagan na
"tama na"
"utang na loob, itigil niyo na"
kasi
hanggang kailan pa
tutugtog ang ng paulit-ulit-ulit
ang sirang plaka ng karahasan
na patuloy na naririnig sa panahong ito
mula pa sa mga nagdaang dekada?

nakakalungkot, hindi, nakakasuklam
ang mga mapaminsalang kaganapan na nangyayari
sa ating mahal na pamantasan.
ang tawag sa atin ay mga
iskolar ng bayan,
para sa
bayan
pero paano tayo mabubuhay nang para sa iba
kung paminsan hindi nga makita ang
pagmamahal at respeto sa atin mismo,
mga kapwang magkaeskwela.

hahayaan na lang ba natin ang ating mga sarili
na magpadala sa indak ng
karumaldumal na kanta ng kalupitan?
hahayaan na lang ba ang mga isipan na matulog.
hahayaan na lang ba ang mga puso na magmanhid.
kailan pa?
tama na!
nabibingi na ang ating mga tenga.
nandiri. nagsasawa.
oras na para itigil ang pagtugtog ng mga nota.
oras na para tapusin ang karahasan.
oras na para talunin ang apatya at walang pagkabahala.
oras na para sa hustisya.
oras na para sa ating lahat,
estudyante man o hindi, may organisasyon man o wala
na tumayo, makilahok at umaksyon
para pahilumin ang sakit,
para itama ang mali.
oras na para sindihan ang liwanag dito sa diliman.
oras na para mabuhay ang pag-asa ng bayan.
a spoken word poem against fraternity-related violence
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mungkin suamimu tak pandai berkata apalagi merayu dengan romantisme karya sastra...
Tapi mungkin dengan cara itulah Allah menjaga lisannya...
Menjauhkannya dari fitnah dunia yang tak halal baginya...

Mungkin suamimu tak pandai berkata..
Tapi heningnya menahan kita banyak bicara..
Memutus rantai kalimat sanggahan yang lahirkan perkara..
Sehingga keseimbangan suasana lebih terjaga..

Andai saja Allah ciptakan sebaliknya, mungkin rumahmu bagai arena tarung laga
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu tak berparas mempesona
Apalagi secantik selebritis di warta berita..
Tapi mungkin lisannya selalu berucap kata mutiara yang terpancar dari jiwa yang terjaga...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin hatimu tak tenang saat jauh darinya
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin suamimu bukanlah saudagar kaya yang membawa pulang limpahan laba hasil usaha...
Namun meskipun besarannya begitu sederhana...
Mungkin ia selalu menjaga kehalalan apa yang dibawa..

Mungkin suamimu bukanlah pejabat yang bertahta, yang dihormati dan dipuja bawahannya
Tapi mungkin dibalik kedudukannya yang biasa, ia mampu menjadi imam bagi keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya,
Mungkin belum tentu ia miliki derajat takwa
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa yang masakannya selezat pujasera...
Tapi mungkin ia pandai mendidik buah hatinya, memahat pribadi yang berkarater mulia.

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa,
Yang terkadang masakannya itu-itu saja
Tapi mungkin ia pandai mengatur alokasi harta, sehingga pemberianmu tak terhambur percuma

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin kecintaanmu akan terlalu berlebih padanya...
Melebihi cintamu pada Allah sang pemberi karunia..
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat kau melakukan semuanya
Tapi mungkin ia sabar membantumu... meringankan pekerjaan rumah tangga..
Sehingga semua terlaksana dengan kerja sama..

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat minim perannya dalam keluarga...
Tapi mungkin ia sangat keras bekerja
Sehingga nafkah telah cukup terpenuhi lewat dirinya...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin banyak para gadis menanti dipinang menjadi yang kedua
Jika suamimu terlalu sempurna...
Aaa.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Tak mampu menyulap rumah menjadi rapi tertata...
Tapi mungkin ia begitu cerdas menguasai matematika...
Sehingga anak yang cerdas dalam eksakta terlahir dari rahimnya karena genetika...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Menambah sedikit tugasmu dalam membantunya bekerja..
Tapi mungkin ia begitu taat dalam beragama..
Membimbing anak-anak dalam kerangka syariat agama...
Sehingga meringankan kewajibanmu dalam membimbing keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin engkau merasa tugasmu telah tertunai sempurna..
Cukup sekedar menyempurnakan nafkah keluarga
Aaa..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Percayalah......
Selalu ada kebaikan dalam setiap ketetapan Allah Sang Sutradara
Maka temukanlah sebanyak-banyaknya rahasia dibaliknya..
Agar engkau mengerti mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Jikalau engkau masih sulit menemukan jawabannya...
Gantilah kaca matamu dengan kacamata syukur atas segala karunia...

Adalah hakmu jika engkau berharap Khadijahmu menjadi lebih sempurna...
Asalkan kau siap membimbingnya dengan menjadi Muhammad baginya.

‪#‎RZMuhasabah‬

Suka · Komentari · Bagikan
Maemae Tominio Sep 2016
SYA
Sa dami ng tao  na nabubuhay sa mundo,
Hindi lang isa o dalawa ang nakakaranas nito,
Mga tanong na animo'y basag na salamin na di na mabuo,
Walang ibang kayang sumagot kundi mismong puso mo.

Sinu ba naka imbento ng pagmamahal?
Bakit pag nasaktan, paglimot ay kaytagal,
Mga nakaraa'y gusto **** balikan,
Ngunit tadhana sayo'y gusto ng kalimutan.

Biktima ka na ba ng maling pagmamahal?
Yung tipong mahal mo sya, mahal ka nya ngunit bawal,
Mainit sa mata ng iba at hindi kaaya aya,
Ngunit para sa inyong dalawa'y pag sasama nyo'y anong kasing saya.

Agwat ba ng edad ay hindi alintana?
Sa paningin ba ng iba'y hindi maganda?
Mamahalin mo pa ba ang isang tulad nya?
Kahit ba ang edad mo'y doble sakanya?

Paanu ba masusukat ang pagmamahal sayo?
Sa tagal ba ng kanyang paghalik o pagsusundo sayo?
Sa rami ng okasyong nabibigay nyang regalo,
Dun mo ba makikita kung mahal kang totoo?

Paanu kung isang araw puso mo'y tumibok,
Sa taong di pa nakikita o nahahawakan kahit hibla ng buhok,
Mamahalin mo pa ba sya kahit sobrang lungkot,
Hindi nya magawang yakapin kapag ika'y nagmumukmok.

Mahirap talaga kapag ang mahal mo'y nasa malayo,
Lalo na kung umaasa kalang sa wifi ng kapitbahay nyo,
Na kapag mahina ang net , babagal din sayo,
Ngunit tinitiis ang lahat para sa mahal mo.

Paanu kung nalaman mo ang nakaraan nya?
Pagmamahal mo ba'y magbabago at mawawala,
Mga supling na nag aalaga sakanya,
Nagpasaya't nag aruga noong wala ka pa.

Iisipin mo pa ba ang nakaraan,?
Kung sa puso mo'y masaya ka sa kasalukuyan,
Mahirap man tanggapin sa unang nalaman,
Ngunit tinanggap mo parin sya sa kabila ng kanyang pinagdaanan.

Hindi pa ba napapagod ang iyong puso?
Sa nalaman mo'y bat hindi ka sumuko?
Ganito ba talaga kapag mahal **** totoo?
Tatanggapin lahat kahit komplikado.

Sa muli **** pagtanggap, may biglang nagparamdam,
Babaeng nakasama nya at gusto syang balikan,
Ikaw ba'y magpaparaya na at sya'y iwanan,
Na kahit labag sa loob mo'y iyong bibitawan.

Ngunit sa pag bitaw mo'y syang pag kapit sayo,
Mga paliwanag nya na nagpapatatag sa puso mo,
Pipiliin mo ba ang kasiyahan ng iba o kasiyahan nyo?
At tanggapin sya ulit at bumuo ng panibago.

Tadhana na ba talaga ang gumagawa para ika'y ilayo,
Nakaraan nya'y nagbalik na at may isa pang panibago,
Biyaya sa sinapupunan nya'y dugo't laman mo,
wala na bang magandang mangyayari sa relasyong to?

Mapapabuntong hininga ka nalang sa mga pangyayari,
Kailangan na ba tong itigil at hindi na maaari,
Kayrami ng rason para sa sarili mo naman ika'y makabawi,
Sa lahat ng luhang pumatak at pighati.

Panu kung ang mahal mo'y taglay lahat yan?
Dobleng edad, may mga anak, at meron pa sa tyan?
Tanga ka kapag hindi mo pa binitawan,
Nagmahal ka ng totoo kapag sya'y iyong pinag laban.

Ngunit hindi na susukat sa pananatili mo kung gaano sya kamahal,
Minsan gagawin **** bumitaw para sa katahimikan ,
Katahimikan ng puso nyo at ng nasasakupan,
Kailangan sumugal kahit na nasasaktan.

Alam **** darating ang panahon na maghihiwalay tayo,
Pero sana bumalik ka kapag puso mo'y tinitibok pariny ay ako,
Masakit man isipin na mag hihiwalay tayo,
Pero sana isipin mo na minahal kita ng totoo.

Yang katagang yan ang gusto kong sabihin sayo,
Ngunit takot ang dila ko na ipahayag ang mga ito,
Takot ako na masaktan ka sa paglayo ko
At takot ako na baka di matanggap ng puso ko.

Alam kong marami pang pag subok ang darating,
Alam kong panghihinaan ako ng loob kapag itoy dumating,
Sana gabayan mo ako sa anumang pag dedesisyon
Huwag kang titigil para bigyan ako ng leksyon.

Umiyak man tayo ng ilang beses,
nasaktan man tayo nag paulit ulit,
Marinig ko lang malalambing **** boses,
Sakit ng nadaramay ,saya ang pumalit.

Lagi **** tatandaan na mahal kita,
Mahal kita at tanggap ko kung anu ka,
Hindi importante kung ano ang nakaraang iyong nagawa,
Ang mahalaga ay ngayong masaya tayo sa isat isa.

Hindi ko man maramdaman ang init ng yakap mo,
Hindi ko man maramdaman ang dampi ng mga labi mo,
Maramdaman ko lang na nandyan ka lagi sa tabi ko,
Hindi ako mag sasawang unawain ka at magpaka totoo.

Balang araw magsasama tayo at sana ikaw na,
Kung hindi man ikaw, ang mahalaga tayoy naging masaya,
Hindi man matagal ngunit magsisilbi itong alaala,
Na dadalhin natin sa ating pagtanda.

#love
#sacrifice
Abby Elbambo Jul 2016
Ang unang pahina:

Para sa kauna-unahang nilalang na mabubuo sa aking sinapupunan
Sinasabi ko na sayo ngayon pa lang na ika’y aking papangalanang “tao”
Dahil alam kong dadating ang panahon na iyong susubukang alamin ang kahulugan ng itinatawag sa iyo
At nais ko na sa iyong paghahanap ay iyong maungkat ang balde-baldeng mga salitang nakalimutan na ng ating lipunan
Sabay nating tutuklasin kung sino ka nga ba sa isang mundong mapangdikta
Na sa bawat pagsabi ng “Magpakalalaki ka nga!”
Alam mo na upang maging isa ay kailangan **** maging tao muna
At sa unang araw na ika’y magpapaiyak ng sinuman sa ngalan ng “pagiging lalaki”,
Ay sisimulan ko ang pag-uukit ng mga linya sa iyong mga palad
Upang sa tuwing padadapuin ang kamay sa sinuman sa ngalan ng karahasan ay una kang masasaktan

Anak,
Gusto kong malaman mo na kahit di ko pa alam kung ano ang iyong paboritong kulay
Alam ko na ang nasa kaibuturan mo
Dahil tulad ko, ika’y isa rin lamang nilalang

Pupunuin ko ang kwarto mo ng libu-libong salamin
Dahil alam kong darating ang panahon na bubulungan ka ng kung anu-anong mga korporasyon na nagsasabing ika’y kulang pa
Kinukutsya ang bawat aspeto ng katawan **** di sakto sa kanilang imahe sayo
At nais ko na sa iyong pagising at pag-uwi ay di matatakasan ang tignan ang sarili sa salamin
Umaasang maaalala ang ipinangalan sa iyo ng nanay **** nakatayo rito ngayon

Tao,
Isang araw ay itatapon kita sa mundo
Hindi iiwan pero hahayaang mamili para sa sarili
Tandaan ang pangalan mo at unawain na hindi lahat ng likha ng tao ay tama

Balikan mo ako sa iyong unang galos.
This is a piece I wrote for my Theology class that tackled the distorted view of men in alcohol advertisments. It's also in Filipino--which is my native language.
JE Aug 2018
Hindi ko alam paano ko to sisimulan
Pero bawat gabi ako ay nadadatnan
Sa tanong na laging dumadaan
Dito sa sarili kong sugatan

Pero ang tanong na ito,
Ang laging nagpapahinto
Sa kasayahan kong di aabut nang minuto
Sa pag iisip ko, sino nga ba ako?

Napapaisip ako gabi gabi
Kung saan nga ba ako magsisisi
Ang hindi pag hanap sa katanungan kong tangi?
O balang araw malaman kong ano nga ba akung klase..

Ang mundung ito na malawak
Ay napakaraming tanong na hawak
Iba, mga kababalaghang di tiyak
Nasa kanila ba ang sagot kong tiyak?

Ano nga ba ako dito sa mundo
mag-aaral? anak? Kaibigan? Bestfriend? kalaro? Classmate? O Baka naman isang tagapayo
O baka wala lang talaga ako
Dito sa mundong tinitirhan ko

Baka isa lang akung extra?
Sa buhay ng iba,
Na mahalaga lang pag may problema
At wala nang kwenta pag lahat masaya

Baka nga ganon lang talaga ako
Dito sa mundong tinitirhan ko
Pero minsan sinasabi ko
Baka mahanap ko ang sagot ko dito

Sagot nang isang tanong ko
Sino nga ba talaga ako?
Irah Joyce Dec 2015
Isa
Isang taong nasasaktan
Isang taong umaasa
Isang taong nagbigay tiwala
Sa isang taong kanyang pinaka mamahal
Isang pagiibigan na nabuo sa loob ng isang taon
Isang magandang relasyon
Nasira ng isang sigalot
Isang pangakong bibitiwan
Ng isang pusong umaasa

Dalawa
Dalawang taong pinagtagpo
Dalawang taong nag-ibigan
Dalawang taong nagbigay kulay
Sa buhay ng isa't isa
Dalawang pusong pinag-isa
Dalawang labing nakangiti sa tuwina
Dalawang matang lumuluha
Dahil ang dalawa'y hindi na isa


Tatlo
Tatlong laruan na nagbuo ng pamilya
Tatlong laruang ginawang anak ng dalawa
Tatlong salita na nagbigay ligaya
Sa pusong tatlong taon ng umaasa
Kung may magmamahal pa ba?
Tatlong minuto kapiling ka ay sapat na
Upang mapawi ang lungkot
at mapalitan ng ligaya
Tatlong masasakit na kataga
Ang naghiwalay ng landas ng dalawa


Apat
Apat na buwan ang hinintay
Bago makamtan ang matamis kong 'OO'
Apat, ang bilang ng letra
sa isang salitang tawag mo sa akin
Noong ika-apat na beses na tayo'y nagkasama doon ka nagtapat sa'kin


Lima
Limang buwan tayong isa
Lima, ang sukat ng aking paa
Na lagi **** pinagtatawanan
Lima, ang bilang ng mga daliri ko
Na lagi **** hawak-hawak
Limang minutong yakap
madalas **** ibinibigay


Anim
Anim ang bilang ng letra
ng iyong pangalan
Anim ang dami ng nais **** alagang hayop
Anim ang bilang ng pagpunta ko sa inyo
Higit pa sa anim na beses kong uulitin ito:
Mahal pa rin kita


Pito
Pitong kontenenteng nais nating lakbayin
Pitong araw sa isang linggo
Mga araw na pinasaya mo ako
Pitong bilyong tao sa mundo
Ikaw ang pinili ko


Walo
Walo, isang numerong mahalaga sa'tin
Walo, isang numerong ginagamit
sa tuwing naglalambingan
Walo kapag pinalitan ang huling letra ng 'a'
Wala, parang tanga


Siyam
Siyam ang araw ng kaarawan ko
Siyam ang numero sa likod ng tshirt mo
Siyam katunong ng pangalan
ng matalik kong kaibigan na nasaktan ko ng lubos
Siyam and dami ng taon na bibilangin
bago matupad ang pangarap nating dalawa


Sampu*
Sampung taon mula ngayon
Ipinangako mo sakin ang isang masayang buhay
Sampung taeon mula ngayon haharap tayong dalawa sa altar
Sampung taon, maghihintay ako
Yan ang pangako ko
"Tagu-taguan, maliwanag ang buwan
Sona-sonahan, madilim na naman.
Pagbilang kong tatlo, nakatago na kayo
Mapagod man kayo, tuloy pa rin ang laban ko
Isa.. dalawa.. tatlo.. Game?"*

Pag si Juan ang nagsalita,
Nag-aalitan ang madla.
Pag tikom ang bibig,
Siya'y bulag raw sa maralita.

Pag nilatag ang naplantsa,
Lalatiguhin ng administrasyon.
Pag walang plataporma,
Ihahagis sa bangin ng suhestisyon.

Kalaban pala nati'y ang sariling atin,
Demokrasya nga'y may sapin pa rin sa bibig
Mga bolang itim, saang lupalop ang padpad
Mapait ang kapayapaan,
Dakila ma'y kanilang binabagsak din.

Walang nakatitiis sa bayang nagpapapansin
Masakit nga naman sa bulsa ang tunay na bayanihan
Dugo'y dumanak makamtan lamang ang demokrasya
Sobra-sobra nga lang ang danak ng iilang raleyista.

Sadsad sa suliranin ang Inang tinakwil
Mga anak sa lama'y namasyal pa sa ibang bayan
Hindi na matapus-tapos ito'y pagdadamayan,
Damay sa kurapsyon, damay sa pagtitwakal ng mga Inakay.
Yuyuko na lang ang nasa langit
Pagkat nagapi ang mga tunay na Anak --
Ang lipunang ginahasa ng iilang ganid,
Paulit-ulit na, ang hapdi ng kamusmusan.

May iilang nagtatanong,
May iilang walang pagtataka,
Musmos sa bayan, wala namang pag-usbong
Kaya't iba na lang ang nakikinabang
Puspos sa distansya
Ng kamalian ng nakaraan.

Hugas-kamay ang iilan,
Simpleng hindi batian,
Wika nga ba ng pagkakalimutan?
Parang away-kalye, away-bata
Aso't pusa, sa lipunang
ang hepe'y sila-sila lang din.

Batu-bato pik, naglalaro ang iilan
Bukas tataya na naman sa lotto
At pag natalo'y iiyak na lang,
Bibigyan ng tsokolate,
Pangako para sa matamis na pag-iibigan
Ngunit balat lang pala,
Mapagbalatkayong himagsikan
Tapos, hahanap ng Darna
Pagkalunok ng bato ng kamanhidan.
CRESTINE CUERPO Aug 2017
Boom!  Pagsabog!
Na sa aking dibdib ay kumabog!
Ang isip at kaluluwa ko'y nabubulabog!
Ito nga ba'y himig ng kapayapaan o himig ng digmaan?

Isa akong musmos na batang---- naninirahan sa isang bayan,
Dito ako lumaki at nagkaroon ng pangalan,
Bayang Marawi ang lupang aking sinilangan,
Isang bayang tanyag sa kaunlaran,
Ngunit ngayo'y nagiging usap-usapan sa t.v, radyo at maging sa pahayagan.

Hindi ko malilimutan ang gabing nagdaan,
Gabi!--- ng ika-23 ng Mayo ang nagpinta sa aking pusong sugatan,
Isa ako sa mga nawalan ng magulang,
at saksi sa karahasan na walang katapusan,
Hudyat ng pagguho ng pag-asang aking pinanghahawakan.

at habang aking pinagmamasdan,
Isa-isang nabubulagta at dugu-an,
Ang aking mga kamag-anak at kaibigan,
at sila'y.....wala na----- wala ng malay at nakahandusay.

Wala akong magawa kundi ang tumakbo ng tumakbo,
kumarepas ako ng takbo.....ng isang napakabilis na takbo.... nanginginig sa takot...pagod na pagod...  humihingal....
Iyak ng iyak at nagsusumamo
at habang ako'y papalayo ng papalayo--------
Naisip ko:
      "Saan ako patutungo?"
       "Sa mga pangyayaring ito sino          
         ang namumuno?"
         Sila ba'y mga Muslim o
         Kristiyano?"
        Ngunit maging sino man sila----
        Sila'y hindi santo na may pusong
        bato,
        Dahil sila'y pumapatay ng kahit
        na sino,
        at ito'y hindi makatarungan at
        makatao.

       Ang sakit....Oo ang saklap...ang
       bayan na naghahatid ng
       kaunlaran,
       Ngayon ay nabubura at nag-iiwan
       ng isang malagim na ala-ala,
      Nagsisilbing aral sa tuwina at          
      nagpa-paalala,
      Na kinakailangan ng isang may      
      malinis na adhikain at tapat sa
       tungkulin ang namamahala.

    Ano nga ba ang hatid ng kaguluhang ito?
Kaginhawaan o Kahirapan?
Kabuhayan o Kamatayan?

Ang katotohanang ito'y--------
Isang malagim na karimlan!
Pagluha para sa aming mga kabataan,
Crestine Cuerpo
at pagmamaka-awa para sa darating naming kinabukasan,

Oo.....masakit ang mawalan,
Ngunit kailangan kong maging matapang,
Dahil ako'y isang Pilipinong handang lumaban,
Kaya't sigaw ko Pagbabago! Katarungan!

Sa mga kinauukulan:
   Nasaan? Nasaan? ang inyong pagmamalasakit sa kapwa at sa bayan?
Kung sa isip at puso niyo'y  para lamang sa pera at kapangyarihan?


Kapatid... Kapuso.... Kabarkada....  at Kapamilya.......
Gumising ka ang lahat ay may-----hangganan.
Andrei Corre Aug 2017
At sa pagkagat ng dilim
Kasabay ng pamamaalam ng araw sa'tin
Mahihimlay ko sa sulok ng apat na dingding
Huhubarin ang mga ngiti, ipapahinga ang bibig at ibababa ang hinlalaki kong kanina pa nangangawit
Sa kapapaalala sa mundo na ayos lang
Na makakatagal pa ko ng kahit sampung minuto

Sampung minuto---
Ito lang ang kailangan para tuluyan nang tapusin ang sinimulang kwento natin
At sampung minuto para dapuan ka nila ng tingin at sabihin sa'king
Kailangan na kitang talikuran
Ngunit di na ko inabot ng sampung minuto pa para pakingga't tupdin sila
Dahil sampung segundo lang---
Isa, dalawa, bitaw na, bitaw
Lima, anim, ayoko pa, ayoko pero
Siyam, sampu...ay nagawa na kitang bitawan
Ang sabi kasi ni nanay ay di ka nararapat para sa'kin
Sabi ni tatay pag-aaral ko muna ang atupagin
Ang sabi nila ay dapat ko silang sundin
Ang mga bumuhay at nag-aruga sa akin ay dapat na lagi kong susundin

Huwag mo nang gawin yan, ito ang mas bigyan **** pansin
Di yan makabubuti para sa'yo, bat di mo na lang tularan ang kapatid mo
Ang lalaki dapat ay matikas
Ang tanga tanga mo, wala kang mararating diyan
Kahit sino kayang makagawa ng ganyan, magsundalo ka na lang
Dinaig ka pa ng nakababata sa'yo?
Dapat pareho kayong tinitingala ng tao

Kaya't binigo ko ang nag-iisa kong pag-ibig at sumuong sa digmaang di ko kailanmang naisip
Dahil dapat lagi pa ring susundin ang mga bumuhay at nag-aruga sa'kin, mga bumuhay at nag-aruga sa'kin dapat kong sundin, ang sa'kin ay nag-aruga't bumuhay lagi pa ring susundin
Nay, yakapin mo ko't pahupain ang hapdi
Kaya, Tay, tapikin mo ko sa balikat at sabihin **** tama ang ginawa kong pagtupad sa pangarap mo
Dahil tapos na tapos na ko
Pagod na pagod na ko
Sa panonood sa pagkislap ng mga mata ni bunso
Mga kutikutitap na di mapapasakin dahil ang mga mata ko'y namumugto
Mga matang naniningkit na katatanaw sa sarili kong mga pangarap
Dahil ng mg paa ko'y habol ang bawat dikta't kagustuhan niyo

Sawa na kong pilit pantayan si bunso
Dahil kahit anong gawin ko'y di bubukal sa'kin ang kaligayahan
Di tulad niyang may malayang kinabukasan
Ako'y may busal ang bibig, may taling mga kamay, nakakulong sa ekspektasyon ng sarili kong mga magulang

Pagod na ko, ayoko na
Ayoko nang marinig ang "Tingnan mo siya,buti pa siya, mas magaling pa siya..."
Hindi ako binigay sa inyo para ikumpara niyo sa isa niyo pang anak at sa anak ng iba na hinihiling niyong meron din kayo

Gusto ko lang naman marinig na may tinama ako kahit papano, kahit kapiranggot
Gusto kong marinig ang "Salamat" at "Mahal kita" at "Ipinagmamalaki kita" dahil tapos na tapos na ko
Pagod na pagod na kong
Habulin ang liwanag ng talang matagal nang namatay sa kalawakan
Kaya Nay, Tay
Ako po muna
Ako naman ngayon...
Lev Rosario Sep 2021
At kumawala ako sa panahon
Ako
Hawak ang camera
Pagkatapos kunan ng letrato
Ang pamilya
Sa lumang bahay
Na unti unting ginigiba
Nang mga elemento

Sino ba ako?
Sino itong mga kasama ko?

Nasa dulong kanan
Ang aking tinatawag na Ina
Naka puting T shirt
At itim na pantalon
Malaki Ang ngiti
Pero tila may tinatago
Sa likod ng mga mata

Nasa dulong kaliwa
Ang aking tinatawag na Tito
Bitbit ang kanyang Dachshund
Ang anak ay
Hindi imbitado sa handa
Yumaman sa pagtatrabaho
Sa Estados Unidos

Sa Gitna
Ang aking tinatawag na Lola
Hindi na ngumiti
Ubos na ang mga araw
Kung saan siya'y napapangiti
May sugat na hindi na gumagaling
Dahil sa Diabetes

Nakapaligid Ang iba
Mga pinsan, Tito at Tita
Makukulay ang suot
Maiingay at matatakaw
Bata at matanda

Lahat ng ito
Kasama ako
Nanggaling sa iisang matris
Mula bata hanggang pagtanda
Nakipagsalamuha, naglaruan, naglakihan, nagmahalan, nag awayan...
Ito kami
Ito ako

Ano ang ibig sabihin nitong lahat?

Nakatitig ako sa letrato
Habang natunaw ang madla
Maya't maya ay uuwi na
Sa kani-kanilang tahanan
Iisa ang pinanggalingan
Saan ang patutunguhan?

Sino ba ako?
Sino itong mga nasa letrato?

Ako ay may ina
Ang aking ina ay may ina rin
At ang ina ay may ina rin
At ang ina ng ina ay may ina rin
At ang ina ng ina...

Katabi ng aking Tito
Ang panganay na pinsan
Muntik nang mamatay sa dengue
Noong kabataan
Naghahanap na ng trabaho
Naghahanap na rin ng girlfriend

Bawat isa ay may pangarap
May iba't ibang Diyos
May iba't ibang lengguwahe

Ako
Ang tagakuha ng letrato
Sino ba ako?
Miyembro ng isang pamilya
Estudyante, kapatid, anak, pinsan, pamangkin, kaklase, kalahi
Tagasulat ng tula na ito
Tagakuwento ng mga nakalimutan at  makakalimutan
Tagapagmahal ng mga taong pwedeng mahalin
011717

(Para sa lahat ng mga tumatakbo, mga napilayan at napaltusan. Para sa mga gusto nang huminto pero may humihila sayo pabalik na hindi mabuo-buo ang loob **** lumisan kasi pagod ka na rin sa katatakbo. Oo, ayos lang maging totoo't amining pagod ka na. Natakot kang humarap sa mundo pagkat napuno ka ng sari't saring mga isyu sa buhay mo, kaya akala mo walang saysay ang bawat salaysay. Akala mo, wala nang nais makinig sa bawat kwento **** tila paulit-ulit na lang. Akala mo, tuldok na at wala nang kasunod pa. Wala kang matakbuhan at lagi ka na lang tumatakas. Oo, nasanay ka na at akala mo ayos lang at tama yun. Nagtatago ka sa dilim at ayaw **** lumantad, natakot kang makita yung totoong ikaw kasi ayaw **** mahusgahan o makaani ng masasakit na salita. Natakot kang magtiwala ulit pero pag lumantad ka, doon ka lang pala makalalaya. Saksi ang lahat ng nilikha sayong pag-amin na hindi mo kayang mag-isa, na ayaw mo nang mamuhay nang may paglihim. Na gusto mo nang magbago at patuloy na lumaban -- lumaban nang patas at ayaw mo nang talikuran ang nakaraan. Na gusto mo nang harapin ang mga hindi matapus-tapos na mga isyu sa buhay mo -- mga isyung tila mga sundalong kalansay buhat sa nakaraang kailangan mo nang sugpuin. Oo, kaya mo. Oo, kaya Niya sa buhay mo. Buhay ka pa, humihinga ka pa. Kaya mo yan!)

Ayokong palipasin ang sandali nang pagpikit -- habang nakasandal ka sa kalangitan. Habang iniisip **** hindi mo Ako kayang abutin. Iniisip mo sigurong kinaligtaan Kita, na hindi na Kita tinitingnan pagkat mas pinili **** magtago sa dilim. Akala mo siguro'y hindi ko alam kung nasaan ka -- kung saan at paano mo isinantabi ang sarili mo kaya't hindi Ko maibuhos ang pagpapala Ko sayo. Oo, kasi umiiwas ka, umiilag ka at nilalayuan mo Ako.

Hindi Ako nakikipaglaro ng Tagu-taguan sayo kung saan ay ihahatak mo ang iyong sarili palayo sa Akin at itatatak sa puso't isipang hindi ka na pupuwedeng lumantad hangga't wala pa ang liwanag. Naghihintay lang Ako, naghihintay Ako kung saan mo Ako pinasandal at sa bawat melodiya't pag-indak ng mga ulap na wari mo'y nagtatago rin Ako, noon pa ma'y inilantad Ko na ang Aking sarili sayo. Hinihintay Kitang magpasakop sa Ilaw Ko, nang magkusa kang magpataya sa Akin gamit ang Aking mga yakap.

Pagkat hindi mo na kailangan pang magtago -- hindi mo na kailangang maghintay nang napakatagal para lamang masabi **** nahilom ka na. Ang paglantad mo ay siyang pagsuko mo at bagamat ito'y pagsuko, makinig ka: naging matapang ka na. Hindi mo na kailangang yumukong tangan-tangan ang hiya pagkat sa iyong pagpapakumbaba'y itataas Kita gamit ang aking Ngalan at titingala ka na. Matititigan Mo na rin Ako, makikilala mo na rin Ako.

Iba't iba man ang anyo Ko'y Ako pa rin ito. May ipinapaabot lamang Ako sayo nang mas maging malapit tayo sa isa't isa. Igagawad Ko sayo ang aking lakas kasabay nang pagbitaw Ko ng mga Salita. At kahit gabi na'y mag-iilaw at mag-aapoy ka pa rin pagkat ikaw na ang magiging taya. Ikaw na ang maghahanap sa mga nawawala't magbubukas ng pintuan para sa mga nagtatago't nagpabaon na sa dilim.

Wag **** tulugan ang dilim pagkat parating na ang Umaga kung kailan at kung saa'y mas magiging lantad na ang lahat. Babangon Ako hindi bilang Buwan na may pakislap na liwanag ngunit bilang Haring Araw at susugpuin ang dilim. Wala nang makapagtatago pa pagkat magiging hayag na ang lahat.

Kaya Anak, wag kang matakot at ngayon pa lang ay ihayag mo ang iyong sarili sa Aking liwanag -- sa Aking liwanag na papandong sayo at uutos sa dilim nang tuluyan mo nang masilayan ang iyong sarili -- ang iyong sariling may pagpupunyagi. Maghanda ka, malapit na ang pagdating Ko. Maghanda ka, magkakasama na rin Tayo.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Lumaki ako na kinukwentuhan ng aking inay bago ako tumungo sa panaginip ko tuwing gabi.
Kinakantahan niya ako ng mga oyayi’t hele. Hinding hindi ko malilimutan ang mga gabing iyon.
Hindi lang ang tugtog ng awitin ng kanta niya ang pinakinggan ko, pati na rin ang pintig.
Pintig ng tibok ng puso naming mag ina na onti onting nagtutugma sa tugtog ng kanta na inawit naming dalawa.
At tuwing magsisimula ang awit, ako’y sumasabay… A-Ba-Ka-Da…
Ngunit hanggang ngayon, hanggang Da lang ang aking natandaan. Ang aking inay ay may katawa-tawang paraan ng pagkanta ng awiting ito. Matatapos siya sa Da, ipagpapatuloy sa Du at magsisimula ulit sa A at sasabihing “aking anak hindi kita sinukuan.” “A-Ba-Ka-Da-Du-A-Ba-… aking anak hindi kita sinukuan.” Hindi ko naunawaan ang kantahing ito at hindi ko inisip na unawain. Isang gabi, kumuha siya ng pluma at papel. Sumulat siya ngunit hindi ko ito nabasa. Ibinilin niya saakin na basahin ito sa tamang panahon. Hindi ko ito naintindihan pero talagang naghintay ako para sa sinasabi niyang panahon. Ilang taon ang lumipas, ngayon, ako’y nakaharap sa kanya(sa puntod niya), hawak ang papel na sinulatan niya noong ako’y munting musmos pa. Nakatingin ako sakanya, hinihiling kay Bathala na maibabalik ko ang mga taon na lumipas.
Isa. Dalawa. Tatlo. Onti-onting tumulo ang aking mga luha.
Umawit ako ng mahinhin… A… Ba… Ka… Da…Du… A… Ba… Aking inay, kailanma’y di kita sinukuan…
Ito na siguro ang tamang panahong ihinahayag ng aking mahal na ina. Binuksan ko ang papel na kanyang sinulatan. At saaking pagbuklat, ako’y nagulat at natulala. Mayroong labing apat lamang na salitang nakasulat dito. “Ang BAlakid ay KAkalat at DAdating. DUmating Ang BAlakid, aking anak hindi kita sinukuan.” Ngayon ay naunawaan ko na ang ipinararating ng aking inay. Gusto ko siyang kausapin sa huling pagkakataon para sabihin na salamat. Salamat sakanya kasi kahit na DUmating ang mga balakid ay tinuruan niya akong lumaban. Kaya ngayon, handa na ako sa mga DAdating na pagsubok dahil alam kong nasa tabi ko lamang siya.
The language used is filipino.
Mysterious Aries Sep 2015
Galit na galit ang asawa, anak at kababayan ni Pepe

Pano nga naman, ang napulot ni Pepeng tatlong daang libo ay ibinalik sa may-ari...


"Kung di mo ibinalik sana ay di na tayo magdidildil ng asin"
ang may galit na sambit ng kanyang asawa...

"Kung di mo ibinalik sana ama ay di na ako araw-araw maglalakad patungo sa eskwela"
ang may paninising salita ng anak...

"Kung di mo ibinalik sana Pepe di hindi na kayo maghihirap"
ang may panghihinayang na usal ng kanyang mga kababayan...


Tumingin sa kanila si Pepe at nagsalita

"Aking asawa, aking anak, aking kababayan
Hindi ang ganyang ugali ang nais kong inyong matutunan
Dahil higit sa lahat nais kong inyong malaman
Na hindi lang tayo sa lupa... nag-iipon ng YAMAN"...


Written: November 30, 2011 @ 11:00 am
Nom de plum: Mysterious Aries
050916

Minulat tayong may sukli ng kasaysayan,
Saksi sa matinding gisahan ng rekado sa Tahanan.
Pangako'y iniukit ng mga Anak na payak
Nagbabasagan ng plato, nagtitilamsikang tubig,
Pagbili ng lakas ng loob
at talas ng dila sa Pulitikang Tindahan;
Luha't dangal, pawang huling hain
Ng Ama't Ina ng Lipunan.

Nakakangalay makisabay sa uso
Kung nawalay pati ang yupi-yuping puso.
Hindi tayo nagpaampon sa Lipunang mapanukso,
Yakap ang Langit, uhaw lamang sa pagbabago!

Sumisigaw ang damdaming nilusaw ang galit,
Ang pait ng kahapong sinabuyan ng panlalait.
Minsan, sobra ang demokrasya kaya't may kapalit.
Kaya't minsa'y susulong bagkus panay ang subalit.

Hindi natin kayang palayasin ang Ama't Ina,
Kung ngayon pa lang, may mga multong rebelde na.
Hindi natin kayang itaboy ang kamay ng Hari ng mga Isla,
Pagkat tayo'y ibinigkis, iba't iba man ang pananampalataya.
At higit pa sa pulso ng Bayan ang nagluklok sa kanila.
Mainam na ngang masaktan sa una,
Kung saan dunong at talino'y maituon sa pagpapakumbaba.
Masakit sa loob kapag tinatama ka,
At bawat palo't kusang pagdidisiplina.

Kung hindi susundin silang Ama't Ina,
Kung hindi magpapasakop sa babaguhing sistema,
Kung hindi huhubarin ang estadong may ibang klima,
Hinding-hindi bubuhos ang pagpapala.

Umaasa tayo pagkat di natin kayang mag-isa,
Sandigan nati'y hindi na Pulitikang Balisa,
Sana'y pag-iisip ay mabago ng Amang may grasya,
At tayo'y maging bahagi ng paghilom ng bansa.

— The End —