Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Makhfi Jun 2018
ANDEHRA BAHUT GEHRA THA...........
chandani bhi thi...kuch sitare bhi the..par na jane kyu  ...Andehra bahut gehra tha
Madhushala damak rahi thi andhe musafiron ki pukaar mein..par aawaz mein prem nahi tha bass thi do pal ke sukh ki duhai...
soot boot wale bhi aa rahe aur gir pad ke jaa rahe..
kuch motor pe aye the ussi par chale gaye....
andhe  thee sab shayad...ya roshini ne andere ko chupa diya tha....kyki meine dekha tha...andehra bahut gehra tha.                
madushala ke deewar ke par ek baachi roo rahi thi vo zindagi ki bhik mang rahi thi
na jane usne koon sa dukh dekha tha.....uski aanke laal aur maan bhari saa lag raha tha
Na vo matvale dekh paye na hum madhosh sunn paye uski pukar kyuki.... andehra bahut gehra tha
do matwalone uuse paise de chale..par kya vo uska guzara tha
kyuki sooch ke dekhiye andehri raat madhushala ke par vo baachi akeli thi
vo madhushala abhi bhi khadi hai..hamare dilo mein
shayad humne uska bachpan chiina
shayad vo andehra uske dukh ko chipa raha thi
vo raaat bahut kali thi..hawa matwali thi...uss raat aur anne wali raat andehra bahut gehra tha
Ahmed Ali Sep 2017
Woman...

The scriptures had a name and I became Eve,
The ancients often worshiped me,
The wise sealed lips in front of me,
The wisdom that mystics think of me
To Hindus I am Kali and Parvati too,
Yet I love and bear the lovers too,
I am a woman with beauty and brains,
And a worrier riding equine manes,
The mountain song and the Dolphin of the blue sea,
And Honey bee kissing the bosoms of Rose beauty,
I am the one with all these graces,
And I bring happiness to all new faces,
Does it matter what I am now and then
As my Gaya relaxes like perfect Zen.
Description of female...?

(By: Khan, BA)
Description  of female..?
I.
Please wait for me
for I shall return
My love for you will forever burn
Though we must part
There's no reason to cry
Just say so long
Because lovers never
say goodbye
I love you
My darling
more than life itself
I wouldn't try to hurt you
For I'd only be hurting my self
Just kiss me dear
And hold me tight
For you know this is not our last night
Though we must part
There's no reason to cry
Just say so long
Because lovers never say goodbye
KALI

II.
KALI
KALI
KALI
KALI
KALI
KALI
Well, my KALI
Do *** de wadda
I love you so
Do *** de wadda
My KALI
Do *** de wadda
I want you to know
Do *** de wadda
oh my dear
Do *** de wadda
That I love you so
Do *** de wadda
Please come back to me
Do *** de wadda
I want you, my love
Do *** de wadda, oh
Wish you were here
Do *** de wadda
I need you so much
Do *** de wadda
My dear
Do *** de wadda
My KALI
Do *** de wadda, oh
KALI
KALI
KALI
Oh, my KALI
KALI
KALI
KALI
Oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh
Do *** de wadda
Do *** de wadda
Do *** de wadda
Do *** de wadda, oh
Do *** de wadda
Do *** de wadda
KALI
KALI
KALI
Oh my KALI
KALI
KALI
KALI

Do *** de wadda
Do *** de wadda, oh
Oh my KALI
KALI
KALI
Please come back to me
I want you so much
AH
Wish you were here
AH
I need you so much
AH
My dear
AH
Oh darling
I wish you were near me
do wah dee wah dee wah
Oh, please come back to me
do wah dee wah dee wah
I want you so much
do wah dee wah dee wah
Wish you were here
do wah dee wah dee wah
I need you so much
do wah dee wah dee wah
KALI
KALI

III.
I’ve been searching all this wide world
Now I’ve found my candy girl
Candy girl
KALI

I’ve found me a girl.
KALI
She sets my heart a whirl.
KALI
With huggin, huggin
And kissin, kissin
And lovin
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl.
Whoa oh oh oh oh KALI
KALI KALI KALI KALI KALI

We get along so well
KALI
I know just why I fell
KALI
She’s thrillin thrillin
We’re chillin chillin
Oh she’s so Divine
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl
Whoa oh oh oh oh KALI
When we’re out together KALI
Everyone knows the way we feel KALI
We glow with the glow of love KALI
And it’s plain to see that our love is real KALI
Oh my candy girl
Whoa oh oh oh oh KALI

I’m as happy as can be KALI
She’s gonna love me for eternity KALI
To hold me hold me
To love me love me
Until the end of time
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl
OH KALI

IV.
Mmm dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby oo
Doo ooby doo
KALI

Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
KALI KALI KALI KALI KALI

Come to me to stay
KALI
You’re my obsession
For ever and a day
MY SWEET SWEET
KALI

I want I want you to know
That I love love you so so so so
Please hold hold me so tight
All through through the night
MY KALI

Please speak to my softly softly
And hear what I what I say
I will love you
always always always
Love you
KALI

I’ve waited waited so long
For your kisses and your love
I need need you so much
Want to feel your warm touch
KALI

Mmm dooby do
Dahm dahm dahm do **** ooby do
Dahm dahm dahm do **** ooby do
Dahm dahm dahm
oh dahm Uhm dooby do

Mmm dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm dahm oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Damg dahm dahm dahm oo
KALI
KALI
KALI
YOUR MY END OF TIME
END OF TIME
KALI
Noandy Sep 2016
Katanya langit akan berbintang malam ini, "Pulanglah dalam remangmu dan duduklah termangu. Berdoalah menghadap langit; jika sungguh kau berdoa, barulah ia akan berpijar."

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa jadi doaku yang kurang hening. Bisa jadi aku salah merapal namamu dalam doa.

Katanya,
langit akan berbintang malam ini. Katanya juga, kau akan pulang, kembali ke dalam remangku.

Aku lihat langit.
Aku intip karam malam dalam diriku.

Di langit tak ada bintang. Di gelapku tak ada kau. Di doaku sajalah namamu disebut-sebut sekian kali.

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa saja mereka berbohong, dan aku tak akan pernah tahu.

Seperti dahulu, kau beri aku bintang.
Dahulu bintang cumalah batu.
D Jun 2019
?
Jam tujuh pagi tadi Ibu mengetuk pintu
Bunyi ketukan itu sampai empat kali terulang
Di ketukan empat setengah,
Pintu terbuka setengah juga
“Ya?”
“Mandi, Mbak.”
“Pingin tidur lagi.”
“Tapi hari ini hari kemenangan.”
Raut wajahnya yang telah menjadi warisanku tak sedikitpun menunjukkan bahwa dia telah memenangkan apapun.
Tidak seperti kebanyakan orang,
Untuknya hari ini bukanlah tentang seberapa kental kolam santan yang menyimbahi santapan-santapan
Bukan juga tentang berpeluk-rindu dengan orang-orang sambil sesekali bertukar kabar
Lelah mengutuk dirinya karena seumur hidup merasa kalah,
Aku tahu bahwa sehari saja ia ingin merasa menang.
Ia sendiri tahu betul saat hari ini berakhir dan tamu berpamit untuk pulang setelah semua habis terkunyah; ia akan kembali merasa kalah.
Menang atas dan untuk apa?
Seribu kata maaf pun ia telan begitu saja tanpa mencerna kata tersebut keluar dari mulut siapa
Tanpa adanya hari kemenangan yang dibanjiri oleh teks bersampul maaf,
Hidupnya memang sudah tentang meminta maaf dan memaafkan
Tak ada pilihan lain.
Hanya saja hari ini sinar sendu wajahnya menunjukkan bahwa akhirnya,
Setidaknya untuk dia,
Harapan pahitnya terhadap ‘maaf dan memaafkan’ akan diselebrasikan;
Dan seperti dirinya, lebih dari sejuta orang akan melakukannya walaupun untuk sehari saja.
Kepada siapa lagi ia harus meminta maaf dan meminta dimaafkan?
D Apr 2019
"Dalam segala manis dan tragisnya perkawinan,
Kami sebagai perempuan, mati berkali-kali
Dan lahir pula kembali—
Tentu juga berkali-kali

Disaat kau menyaksikan puluhan katup bibir yang mengatakan “Sah.”
Disaat itu pula,
Kau seakan disadarkan
Bahwa kau tak lebih dari pisau yang harus terus diasah

Bukan supaya tajam untuk dapat menikam,
Namun supaya siap mencacah manis-pahitnya peristiwa kehidupan menjadi dadu-dadu kecil
Lalu menanyakan untuk menyerapnya kembali
Untuk diri sendiri

Kau,
Mati dan lahir lagi,
Bukan sebagai isteri,
Namun seutuhnya sebagai wanita yang mengayomi
Sampai akhirnya kematian itu berdiri di depan pintu
Untuk menjemputmu lagi

Disaat kau duduk dan melihat pandangan puluhan manusia
Yang seakan-akan mengatakan,
“Berpandailah dengan urusan dapur.”
Mereka dengan bodohnya menutup mata kepada fakta

Bahwa sekarang, kau adalah busur
Yang dengan senantiasa akan mengarahkan kemana anak-anak panahmu melaju
Kau, bertulang rusuk dan adalah tulang rusuk
Bukan tulang rusuk dari lanangmu,
Namun dari rumah segala rumah

Disaat insan keci itu menangis lahir,
Disitulah Tuhan dengan segala kuasa-Nya menyemukakanmu
Dengan kelahiran yang absolut.
Mutlak. Nyata. Tanpa majas atau embel-embel.

Kau, bukan hanya wanita bersusu yang menyusui;
Walau serapanmu terhadap puji-kejinya kehidupan
Akan juga diserap oleh ‘anak panah’ mu
Melalui air susu dan tutur katamu

Disaat kau melahirkan anak manusia,
Tentunya tanpa tanda tanya,
Kau betul-betul
Lahir kembali."
Seán Mac Falls Dec 2016
.
In disused field is a blooming temple.
An ancient apple tree waiting eternal,
This stone bold sculpture was forged
With nimbus hands and windy eyes.
In hushed airs, Shiva dances to light,
Waves, sacred arms without swaying.

Bearded ones come to pay homage,
The solemn chickadees, the ranging
Sparrows, red robed robins— priestly
Doves, all who see are one enveloped
In graces of the New World Bodhi tree,
Waiting for blossoms so dearly come.

Edge of boughs brim under heavens
Landing with mystic verges of spirit
Into the mind of the eyes of nature—
Kali-flowered ears of lichen are pale
Green in their devotions, pummeled
By seas of seasons, foggy to the fray.

Finches, yellow, reflecting in a star,
Devout wee lamas golden with halo,
Are kneeling above berm, this nobby
Trunk, stave, inside bodacious stupa
Bell who sings clear, without ringing,
Body of elder grace, wisdoms, ages.

In cast irreverence, seldom do crows
Visit, when they do there is menace
Of the Jinn, dark giants in the levels,
Mercifully, out of shame, they do not
Stay, black wings due, die in luminous
Day moon, rain soak sun, balmy mist.

On pilgrim journeys, whirlings, prayer
Wheels, guide shy flocks riding gnarl,
Indie goddess, to overreaching love,
By sores of hollow in the steps, open
To being, brindles of myriad meadow
In temple blossoms— numinous suns.

Of both earth and sky, shines a beauty,
Whose form is written in blistering bark,
The ciphers of tongue to Sanskrit leaves
And lost fruits, given over, unforbiddens,
Within old apple tree a great wilderness
And all the branch of wings are knowing.
Mikaila Apr 2017
We come from power.
Our ancestors dealt in wiles,
Appraising glances at the world around
Lowered gazes and eyelashes that cast shadows
Hiding minds sharp enough to slit throats.
We come from deception and
Seduction.  
Glittering eyes and soft thighs
Sculpted cheeks and long necks
Smiles that could cut
Diamond.
As you toil through the world,
Know that your body is the most dangerous weapon
These men have ever seen.
Know that you raise hairs on their arms.
Do not forget where you came from-
Generations
Of women who sold their bodies and their lies
To marriage or to strangers
But never sold their souls.
Women who used
What they had,
Ruthless and unapologetic.
This world has fangs
And we come from the women who said
I will strike first
Rather than be devoured.
We come from power, not ruin.
Just because we have been hidden away
Silenced and enslaved,
This does not change.
We hold something in us that temples have been built to
Stones slick and red with the blood of violent sacrifices
Made
To our full lips
Our *******
Our dancing eyes
Wars have been fought
Cities have burned
Civilizations
Have crumbled
For us!
And good.
Good, they will.
Good, bleed for me.
Kneel for me.
Pray to me.
Call me
Sacred
And lay awake nights dreaming of my flesh.
This world has changed
But not so much as you think.
Do not forget that you come from blood
From steel
From a survivalism that only we carry pounding in our veins.
They locked us away, and we sang through the bars
Sirens who needed no weapons to break our shackles
They told themselves they used us
While we bled them dry for the pleasure of it.
We come from power!
Power that cannot be stolen from us
No matter what happens.
They looked at us and they saw
Gods.
They saw
Death.
They saw
Salvation.
They saw
The Morrigan,
The Furies,
They saw
Kali,
Destroyer of Worlds.
They fell to their knees
And in their awe
Could only name their ships, their weapons, their
Deities
For us.

Your holy lineage
Beckons.

Take what you want
And don't forget that you were born to do it.
Demand worship.
Demand
Blood.
They deserve it
And they know it:

They fear us.
They've always feared us.
And they should.
Sirens are often referred to in Greek Mythology as the muses of the lower world.
I so often get lost on the train
my mind wonders – to strange and thoughtful places,
I seep through the carriages and people like a gliding ghost
half existent in transient memory,

a translucent thin veil membrane separating me
from this reality,
and the shifting worlds of imagination.

My imagination overwhelms me often, it is powerful and I feel lost
in my internal worlds and can't connect to anything external from my own process,

my own neurosis – I want to get beyond my neurosis,
my fears, my stupid little set backs.

Fear itself becomes a huge beast in my mind,
a multi-limbed Kali staring at me with half crazed eyes,
meeting me with the intention of true chaos – a challenge.

I wish to climb the ladder that suddenly appears and become myself;
Infinite in direction and potential

I want to love myself and be loved.
I want to love,
I want to love.

I stare out of the window again, streets, signs and derelict buildings
zoom and melt into one huge encompassing space,
one straight up urban landscape.

And as I am enveloped in this concrete world
via the mechanistic medium of train

I wonder:
/
Will I ever feel better?
will I ever feel peace?
Will I ever know love?
will I ever understand?
and do I really want to?

Truth is such a hard pill to swallow in the end.
I imagine anyway, I imagine.

Do you ?
I wrote this ages ago when I was living and working in London, capturing the feeling of feeling a bit lost on the DLR train.
Membinasakan, demi bertahan
Menindas, mencerca, demi jadi raja hutan (singa kali..)
Ganas dan bengis, mengingkari kawan seperjuangan
Memang, manusia sekarang banyak yang tak lebih dari binatang!

Aku juga ingin jadi binatang
Binatang semut..
Ulat dimakan ayam
Ayam dimakan elang
Elang dimakan harimau
Semut? Semut tak pernah masuk rantai makanan
Karena ia kedahuluan mati terinjak

Walau begitu
Semut menggemukkan tanah
Tanah gembur tempat tumbuh rumput dan pohon subur
Rumput dan pohon subur jadi pusat rantai makanan

Kalian lihat kan peran semut?
Cakap dan mulia urusannya
Saking jadi pahlawan
Semut tak layak dinamai binatang
Mereka tak pas jadi tandingannya
hehe

Makanya aku ingin jadi semut
terlanjur modern.
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Oka Nov 2019
Umur berpihak dengan raga
menahan gejolak membara jiwa
umur menggengam hati dan berdoa
"tuhan, jangan kau membuatnya buta
mengejar idealisme, terkekang fatamorgana.
kembalikanlah ia,
ke mana hidup menuruti realita."
umur makin takut melihatnya
mendobrak dinding bata
batasnya dengan dunia
"Tiada guna,
di luar sana
kau hanya akan binasa,
ku hanya memiliki cinta
dan ku tak ingin kau kecewa..."
"Bukan cinta bila tangisan
membanjiri mata,
bukan kasih jika wilayah ditempa
membatasi ruang bermuara
semua perilaku hina padaku tertimpa
ku terima dengan hati leluasa
tanpanya ku tak akan bermetamorfosa
jangan kau berlara-lara
melihat juangku yang remaja
kekacauan ini indah
membuatku merasakan untuk kali pertama
hidup tiada kesempatan kedua."
"dasar kamu anak biadab"
sekali,dua kali aku tersakiti
sekali,dua kali aku ingin mati
sekali,dua kali aku hanya ingin disayangi

siang ini aku mati
malam ini aku mati
bulan sebagai saksi
tetes,tetes aku pun senyap
kelam hidup ini

hampa,sunyi aku tidak ingin sepi
sekali dua kali,aku tidak hidup lagi
tuhan,maaf aku tidak kuat lagi
senyap senyap jiwaku ini
ditelan oleh bumi
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Calling me “too much” is a lazy way of saying
You don’t know how to fan the flame of your own fire.
Does my brilliance upset you?
It’s not my fault that the anger runs through my blood like a snake
That settles at the base of my spine
And infuses my light with a red tinted hue
That screams I am NOT to be messed with.

The tongue I hold in my mouth is as sharp as a dagger
And it can spit barbed wire as easily as it can French kiss.
To deny the way I ****, destroy and scream
Is to deny the way I make love and sing universes into creation.

I am not white or black magick.
I am chaos magick.
And I will destroy as I sing Kali’s name,
And hang the heads of men like a garland around my holy throat.
JoJo Nguyen Jan 2017
Where can I find Kali?
I have no Gold to Gamble
No body wants me
A cyclopic *******
Perhaps I can find her
In my massive consumption
of Drink<strikeout\ing\>  and Swine?
JoJo Nguyen Feb 2013
We dance on Kali's sword,
watching memories fade
away in real-time.
Dance, fool, dance.
Arms looped in arm,
we circle, chanting, holding
on to each other
as the world is cleaved,
and shaped into...
What?
Rebirth?
Redemption?
Or just plain old something new.

A chaotic whites
at least not stained red
this time too much.
We small band
looping, preserving,
what we think best
for Vishnu to fill up
the next green sprouts
with purple majesty.
RIP.
So Dreamy Jan 2017
voice over: Atlas*

Ketika langit mengubah rupanya menjadi senja sewarna matahari tenggelam, kuajak Venus duduk di kafe tak jauh dari stasiun. Perjalanan hari ini cukup lelah, meskipun pengamatan kami berjalan lancar. Tapi, aku selalu berharap anggota kelompok kami lainnya lebih sering ikut bergerak agar kami tidak selalu pergi berdua. Museum yang kami kunjungi kali ini adalah museum seni, yang kuduga salah satu hal yang amat Venus hargai. Ia penikmat karya seni. Matanya terus memandang takjub karya-karya yang kebanyakan orang tak pahimi apa maknanya, namun Venus menatapnya seolah barang yang dilihatnya ialah nyata. Kau tahu, memandangi seorang perempuan berambut gelombang sepunggung, yang bertinggi badan hanya sehidungmu, rahang tegas, alis yang tebal, memandangi karya-karya seni di hadapannya dengan tatapan antusiasmenya; bukankah ia definisi seni yang sesungguhnya? Yang paling nyata di depan mataku?

Dan, kemudian ia menoleh, tersenyum saat sadar aku memandanginya dari belakang. Ia mengatakan sesuatu, "Atlas, lihat sini! Lukisan yang satu ini benar-benar indah."

Dan, setelah 3 bulan meragukannya, sekarang aku yakin; aku menyukainya, sangat menyukainya, saat kurasakan Venus adalah seni yang lebih indah, terindah.
(daydreaming of 9th october 2016)
Noandy Feb 2016
Yang mengutarakan salam pagi ini
Hanya sesayat keheningan
Dari reruntuhan nafas yang tiap isapnya
Riuh dirundung rindu

Perhatikan,
Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung
Yang biasanya, tanpa kita sadari
Teralun lemas tiap pagi
Lembut tanpa gemericik

Kidung itu bisa jadi sudah keterlaluan
Bisa jadi ia terlalu sadis pada sepi tiap subuh.
Senandung itu, memang benar,
Sebatas bisikan-bisikan lantang
Yang gemar memuja sepi dengan memporak-porandakannya,
Yang gemar menghantui sunyi agar  terlelap sebelum terbit.

Mungkin,
kidung itu terlalu masokis
Bernyanyi sendiri tanpa ada yang
Peduli pada dendangnya yang kelewat mengusik
Dan kelewat menggoda, sehingga semua lebih memilih
Terlelap saja. Bukan berdansa.

Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung perih
Yang biasanya teralun malas tiap pagi
Menggerakkan setan-setan kecil
Untuk membutakan mata dan membuat tuli dalam sekejap.
Jangan berdansa.

Tak ada yang peduli, semua masih tertidur.
Dan itu bisa jadi salahmu sendiri.
Tapi tak apa, iblis masih menyayangimu
Dengan sangat manusiawi.

Lagipula, seperti pagi ini,
Kesunyian kembali bersila pada permadaninya
Ditemani kicauan mencibir burung rohani.

Selamat pagi,
Senyap.

Anda yakin tidak ingin bangun
Dan menanggapi kidung yang terus memanggil
Untuk berdansa setengah jiwa?
Subuh hanya datang seterbit sekali.
Tuhan hanya merindu lima kali sehari.
The path winded through the jungle their tread was cautious slow
Walk they must still a long way till the sun goes down below
They carried with them precious merchandise monies earned from trade
What dangers lay on their way what would befall them they were afraid.

They walked ceaseless in worried face their words broke the silence
The shadows lengthened it bothered them still long was the distance
As luck would have it there came along a retinue of tradesmen
They too were heading the same way carrying with them trade's gain.

Thank god we have met you for we carry with us good treasure
The way is not safe we have heard dangers lurk in immense measure
We would be secure if we travelled together in large number's strength
For our wealth we must safe keep till we reach the journey's length.


As was proposed so was done they befriended and resumed their way
Warmly chatting sharing anecdotes not knowing when passed the day
When came evening they halted at a place set up camps there  for the night
Unburdened themselves for rest and gossip enveloped in glow of moonlight.

They discussed business profits bargains the many losses and gains in deals
Smoking hookahs chewing betel leaves passing time till served their meals
When dinner was over they sat together shrouded in smoke and night's song
Basking in friendship not once doubting tomorrow would never come along.

Behind each man sat another one a silent sign game was on play
Eyes roamed on eyes death in disguise waited to fall on its prey
Then came one call ominous and small a voice said let's take break
In one clean swift sweep fastened handkerchiefs strangled the unaware necks.


In less than a minute stopped each heartbeat with such precision was it made
Bodies lay still the hunters got their **** without much struggle and bloodshed.
They buried each corpse leaving no trace the two groups became one
In the name of Kali they had used the noose got the ***** for a job well done.
No organized cult of killers has ever murdered as many people as the Thuggee. In the 1830s this Indian secret society strangled upward of 30,000 native people and travelers as a sacrifice to their goddess Kali, the Hindu Triple Goddess of creation, preservation, and destruction. The name Thuggee comes from the Sanskrit" sthaga", deceiver. William Sleeman, an officer in the Bengal Army appointed by Governor General Lord Bentinck rid India of the society of stranglers who were not seen after the 1850s.
Dan Filcek Apr 2017
My Aphrodite, My Bast
I call you “The Goddess”
My Cerridwen, My Diana
The Goddess of what?
My Freya, My Gaia
You ask me what I love
My Hera, My Isis
The ancients had many aspects
My Juno, My Kali
I worship all of yours.
My Lakshmi, My Maat,
Even if deadly...
My Pavarti, My Rhea
I did not create you
My Themis, My Venus
But I adore your creation.
National Poetry Month 2017
Egeria Litha Sep 2014
The ace of swords
Double edged
The dawn of knowing
Watch as it rises
From the west
It's impersonal
Like channeling
The Holy Spirit
Brilliant tone
The right words
We spend hours
Attempting to conglomerate
What we all truly want to say
Declare
Pronounced
Ringing long after it's been said
My emotional depth
A void to fall into
Did you really think
My pure positive prana
Did not cast a shadow
Darker than Black Goddess?
Did I leave an imprint
In your heart...
Or your mind?
My name is Scarlett
My vibration sets things on fire
Amira I Jun 2020
Bulan kembali memutari bumi
untuk ke-enam kalinya di tahun ini.
Bersyukur, hanya itu yang dapat kulakukan
untuk segala nikmat yang masih kurasakan.
Kalau kata Pak Sapardi, dalam sajaknya
« Hujan Bulan Juni ».
Ia itu tabah, bijak, dan arif.
Namun, akankah ia turun kali ini?
untuk merahasiakan, menghapus, dan membiarkan––
––segala sesuatu perbuatan manusia, pun baik dan buruk.
ditulis pada tengah malam pergantian hari pertama ke hari kedua bulan Juni.
f Mar 2019
Terimakasih Jakarta
saya bersyukur. Sore itu ada kesempatan
dimana, segelas susu cokelat dan secangkir kopi susu, bertemu di hiruk-pikuk Jakarta
kali ini saya berterimakasih karena macet Jakarta. Seakan-akan waktu berhenti untuk mempertemukan kita.
Orked Saerah Nov 2014
Seorang Part I
Baru-baru ini aku merasakan yang hidup ini tidak lagi bermakna buat aku. Di mana aku rasa kosong setiap kali nak memulakan sesuatu. Bagaikan terputus tali layang-layang yang asyik ditiup angin di langit biru itu. Aku cuba dan terus mencuba untuk memahami setiap apa yang berlaku di sekeliling aku. Akhirnya aku masih di situ dan terbelenggu keseorangan tanpa sesiapa pun sedar aku di mana. Tidak ada tangan yang mahu menolong aku apatah lagi bahu untuk ku sandarkan tiap kali aku mencurahkan air mata. Aku keseorangan.

Seorang Part II
Aku masih diam di situ kaku. Sejenak aku terdetik untuk mendongak ke langit. Tika itu kelihatan malam pekat dihiasi dengan bintang-bintang berkerlipan penuh gemerlapan dan juga bulan yang terang memukau aku seketika. Waktu itu aku masih ingin menangis lagi kerana aku lupa pada Yang Maha Mendengar Yang Maha Melihat Yang Maha Mengasihi. Aku alpa kerna selama ini aku melupakan Yang Maha Berkuasa. Aku merasakan kerdil waktu itu dan pada saat itu juga aku merasakan aku dibius semangat baru.

Seorang Part III
.............................................................­..............................
RAJ NANDY Nov 2014
Friends, in the Introductory portion we have seen how Herodotus
gave birth to the subject of 'History'. Now I conclude this true story
by quoting a poem by the English poet Edgar O' Shaughnessy, which
is very appropriate for my Story! Please take your time to read, there is no hurry! Thanks, -Raj Nandy.

        HISTORIANS  AFTER  HERODOTUS
Herodotus became the trail blazer with his narration
of History,
Inspiring several Greek and Roman chroniclers as  
we subsequently get to see!
There was Thucydides, Livy, Sallust, Xenophon, and
Polybius,
Not forgetting chroniclers like Julius Caesar, Tacitus,
and the oft quoted Plutarch!
The Roman scholar Cicero had called Herodotus the
‘Father of History’;
But later the Greek historian Plutarch criticized him
for his many hearsay inaccuracies!
Even though Herodotus had cautioned his readers in
his Historical narrations, -
About those hearsay accounts and doubtful portions!
Greek historian Thucydides, who was a junior and a
contemporary of Herodotus,
For his accurate historical rendering of ‘The
Peloponnesian War’ between Athens and Sparta, -
Was praised by later scholars very much!

CYCLIC AND LINEAR PATTERNS OF HISTORY:
Herodotus believed in Nemesis and a repetitive
pattern of History.
While Thucydides with his strict investigation drew
a line between myth and reality!
Thucydides viewed history as a political struggle
based on the nature of man;
And felt that since human nature does not change
often, -
The past events would reoccur once again !
The Greeks believed in this cyclic notion of History,
Also developed a prose style to narrate their stories!
Unlike the Greeks, Roman History did not begin in an
oral Homeric tradition,
But they had a ready-made Greek model for their
historical narrations!
Roman historiography began after the Second Punic
War against Hannibal of Carthage,
When Quintus Flavius Pictor wrote Rome’s History
in Greek, instead of Latin!     (around 200BC)
Cato the Elder, was the first to write in Latin Rome’s
History,
While the Roman Livy born in Padua in 59 BC, was
praised for introducing a ‘milky richness’ of style  
for narrating these true stories !
From Julius Caesar’s accounts we learn about the
Gallic Wars and events of those ancient days;
But he Romans had used History for propaganda
and self-praise !
Also to make the conquered world to look up to them
with wonder and admiration;
For the Romans were creating History with their
conquests in a steady progression!

CYCLIC VIEW OF TIME AND HISTORY
Perhaps the cyclic view of Time has influenced the
cyclic concept of History to a great extent,
Since this cyclic view was held by many of those
Ancients !
Ancient doctrine of 'eternal return' like the seasons
of Summer, Autumn, Winter and Spring, existed
in old Egypt, and the Hindu religion;
Also with the Greek Pythagoreans and Stoic
conceptions;
As well as in the Mayans and the Aztec Civilizations!
In the East, cyclic theory of History as succession of
dynastic rule developed in China,
While the Vedic Hindus developed their theory of
Cycles of Yugas!    (epoch or era)
Writing of Indian History had commenced with
the Colonial British initially,
Who had criticized India for its lack of a sense of
History and Historiography!
The ancient Hindus were more concerned with
religious philosophy, and the essence of existence,
Rather than getting absorbed with historical details!
The Hindus divide cosmic time into cyclic eras of
Satya, Tretra, Dwapara, and Kali Yugas;
With each era covering many thousands of our
human eras!
These Yugas or Cyclic segments of time is said to
repeat itself in a cyclic motion, -
Which had perhaps mystified their early views
of a clear Historical perception.
However, later Indian historians have corrected
the earlier British interpretations, -
By dividing Indian History into Ancient, Medieval
and Modern Periods,
Replacing the earlier Hindu, Muslim, and British
Periods as Colonial segregation!
And also by correcting the British Aryan Invasion
Theory as Aryan Migration;
Based on more accurate historical research and
better perception!

CHRISTIAN AND LATER VIEWS OF HISTORY:
St. Augustine during the 4th century AD, systematized
the Christian view of History, -
As a struggle between the City of God and the City
of Man, where the City of God gains victory, -
Establishing peace and prosperity!
The Christian view is therefore Linear with a
positive beginning and an end;
A providential view from the Creation of Adam
till the Day of Last Judgment!

THE RENAISSANCE: (14TH - 17TH CENTURIES):
During this period the theological view gradually
begun to fade, giving rise to the Cyclic concept of
History,
As illustrated by the decline and fall of the mighty
Roman Empire, immortalized by Edward Gibbons
in his narrated story!
This cyclic view was also maintained by Oswald
Spengler, Nikolai Danilevsky, and Paul Kennedy,
during the 19th and the 20th Centuries.

AGE OF ENLIGHTENMENT : THE 18TH CENTURY
This period advocated the use of reason to obtain
objective truth, when human beings made all the
difference freed from superstition and bigotry;
Which led to favoring a Linear and a progressive
view of History.
Voltaire symbolizing the spirit of this age had
supported human wit and education, -
Since only enlightened people could give History
a positive direction !
For Karl Marx Feudalism was followed by Capitalism,
and Capitalism by Communism.
History of existing Society as the History of Class
Struggle - was Karl Marx’s new concept!
For social material forces drove History, and this
‘historical materialism’ as a revolutionary view, -
many later Scholars did accept!

SOME MODERN CONCEPTS ABOUT HISTORY
Now I share the views of three of our renowned
Historians; the German Oswald Spengler, the
British Arnold Toynbee, and the American
Carroll Quigley,
To provide you with three different concepts
of History.
Oswald Spengler (1880-1936):
Spengler’s reputation rests on his work titled
‘Decline of the West’, considered as a major
contribution to social theory;
Where he rejects the ‘Linear’ view in favor of
definite, observable, and unrelated cycles of
History!
Rejecting the Eurocentric view of History and its
Linear division into ‘Ancient-Medieval-Modern’
Eras,
Spengler recognizes eight ‘high cultures’ which
evolve as organism, following the cycles of
growth, development, and decline;
And his views astonished the Western mind!
These high cultures were the Babylonian,
Egyptian, Chinese, Indian, Mexican ( Mayan&
Aztec), Classical (Greece& Rome), Arabian,
and Western or Euro-American!
Cultures have a life span of about a thousand
years each,
So the Western Civilization too shall decline one
day, - Spengler did teach!

Arnold Toynbee (1889-1975):
Toynbee’s 12 volumes on ‘A Study of History’
covers a wider spectrum of 23 Civilizations,
Where he rejects Spengler’s cynical theory of
growth and decline of Western Nations!
“Civilization is a movement and not a condition,
a voyage not a harbor”, Arnold said;
Like human beings Civilizations were free to chart
their own course with the capacity to ‘consciously’
choose its destiny, he had felt!
Arnold moves on to formulate his Theory of
‘Challenge and Response’, since by responding to
such challenges Civilizations could move on !
These challenges could be social or environmental
he had said;
The Greeks responded to their growing population
by taking to the seas and maritime trade,
And also prospered as their overseas colonies had
begun to spread!
Toynbee’s Civilization start to decay when they lose
their moral fiber,
He perhaps over emphasized the religious and
cultural aspects, ignoring those economic factors!
But his views were certainly more popular than
the cynical Spengler!

Carroll Quigley (1910-1977):
Quigley’s scientific trained mind could not accept
either of the above views,
So he created a synthesis of Spengler and Toynbee,
while paying History its dues!
Quigley laid down seven stages for the evolution
of Civilization;
Commencing with Mixture, Gestation, Expansion,
Conflict, Universal Empire, Decay, and Invasion!
His Civilizations are neither groups nor individuals,
But each is a system which share some common
traits.
In Quigley’s model each system come into being
adapted to their environment;
But since environment always changes, Quigley
states with some relish, -
Systems which cannot adapt themselves, must
necessarily perish!

WE ARE ALL LIVING PARTICIPANTS IN THE
  LONG UNFOLDING HUMAN STORY!
“Know Thy Self” said Socrates, and the Delphic
Oracle had pronounced that he was wisest of
the Greeks!
To know ourselves truly we must know about
our past,
For this evolutionary process shall continue as
long as the Human species last!
Today we remain as a living monument to the
past,
We continue to make History as long as humans
on this planet shall last!
Our planet earth is around 4.5 billion years old;
While the first ****-erectus emerged around
two million years hence - we are told!
By walking ***** the two hands became free to
develop,
With flexible fingers and the rotating thumb;
Which was crucial for shaping the destiny of
the Human species on earth!
Our Civilization proper dates back to about
five thousand BC,
Thus an emerging pattern we can easily see!
With the development of human consciousness
we have learned to delve inwards, -
To discovered within a vast macro world!
Now, I would love to conclude this narration by
quoting from the English poet Arthur William
Edgar O’Shaughnessy’s book ‘Music and
Moonlight’;       (1874)
Do try to follow the philosophical content relevant
to the Cyclic History of Mankind!

“We are the music makers,
And we are the dreamers of dreams,
Wandering by lone sea-brakers,
And sitting by desolate streams;
World losers and world forsakers,
On whom the pale moon gleams;
Yet we are the movers and shakers
Of the world for ever, it seems.

With wonderful deathless ditties,
We build up the world’s great cities,
And out of a fabulous story
We fashion an empire’s glory.
One man with a dream, at pleasure,
Shall go forth and conquer a crown;
And there with a new song’s measure
Can trample an empire down.

We, in the ages lying
In the buried past of the earth,
Built Nineveh with our sighing,
And Babel itself with our mirth;
And overthrew them with prophesying
To the old of the new world’s worth;
For Each Age Is a Dream That’s Dying,
Or One That Is Coming To Birth.”

Thanks my readers and poet friends,
Sincerely hope you will now appreciate
History better, and love its contents!
**ALL COPYRIGHTS ARE WITH THE AUTHOR
RAJ NANDY OF NEW DELHI
Friends, those who have read part one will find the concluding portion in this narration of mine, which I tried my best to simplify! Mentioned the two basic views of History, the Linear & the Cyclic views in my narrated Story! Hope you liked the poem quoted at the end by me ! Thanks, -Raj
Shaded Lamp Aug 2014
Nothing escapes the all consuming march of time!

As
KALI consumed time and space
Her dimensions grew and grew
Her skin darkened to deep space black
From unfathomable ocean blue
Rivers of obsidian flowed as her wild hair
Untamed, magnificent, streaming
Three blood red eyes past, present, future
Decided who needed redeeming
Four arms, three of which were grasping
A sword, a spear, a bowl
The fourth grabbed a Thuggee's head
Sword decapitated the soul
A crimson red snake of a tongue lashed
Out for every drop of blood
Then the sword slashed every throat there
Her tongue lapped up the flood
KALI'S gaze finally cast upon terrified Giles
Evaporating his body with fire
Conscience was all that remained in that dimension
His conscience changed
KALI'S desire
Frightful fury morphed in to motherly compassion
Her skin back from black to blue
Spewing out rearranged history, time and space
No other being could construe
But a mother must teach her children lessons
So she left Giles not without guilt
A ****** message painted on his forehead
And *
*a sword driven to its hilt
THE END!
Jack Jun 2022
Terbangun aku di kamar mimpi,
dulunya kau ada di sisi,
kini sepi,

mata dan minda tempat ku jelajah,
menerokai diri mu tanpa lelah,

kembara kita tiada henti,
kerna, tiap kali kita bersua,
kucupan dan senyuman manis menghiasi pipi,

ku susun aksara ini,
untuk mereka tahu,
bertapa indahnya kau di mata ku

cereka tiada noktah atau koma,
kerna di sini,
kau kekal selamanya.

Bila kau tiada,
Jumantara ku gelita
Malam ku sunyi tanpa suara,
renjana pada roh ku kian lemah.

ku berharap kita bersua lagi,
dengan renjana sama dengan ku,
kau bagaikan sahmura,
menghiasi kamar mimpi,
dengan ukiran kirana di bibir,

kerna

Gian aku kepada sanubari mu,
tiada henti
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Elle Sang Mar 2016
Aku cemburu pada embun pagi hari yang selalu ada disana untukmu
Aku cemburu pada sinar matahari yang leluasa mendekapmu tiap kali kau terbangun dari tidurmu
Kadang aku cemburu melihat hal yang membuatmu selalu tersenyum
Angin yang berhembus pun tahu untuk siapa rinduku tertuju
Namun aku tak ingin banyak bicara tentangmu
Aku hanya ingin berada disampingmu
Loveeyta Sep 2020
Kerap kali kita bertanya,
Tuhan, apakah angka adalah pengukur semua?
Waktu, umur, nominal saldo, nilai,
Jarak, kecepatan, durasi, *****,
Apakah angka pengukur semua?

Bagaimana dengan kenikmatan, kebahagiaan?
Apakah angka mampu,
Mengukur segala nikmat dan bahagia,
Yang kita jumpai setiap harinya

Lalu, bagaimana dengan ketepatan?
Apakah waktu yang tepat untukku,
Tentu tepat untuk orang lain?
Kembali aku menoleh ke cermin

Kadang aku berlari,
Namun orang lain terhenti,
Resah aku dibuat,
Lalu aku ikut berhenti

Orang lain mulai berlari,
Aku masih nyaman di sini,
Resah aku dibuat,
Aku pun masih berhenti

Bagaimana cara kerja nasib, Tuhan?
Apakah hidup ini memang sebuah perlombaan?
Mengapa aku selalu dituntut stigma,
Bahwa yang paling cepat adalah yang paling bahagia
Fah Aug 2013
new powers appear everyday
off course

simple stops in the day play out their onwards gleaming parralells of night


you shall not pass beyond my chartered flight

as day time slips to night

kali
is
the army's leader
i'd be scared


if i was u

but i'm not

i'm w

and w

is for winning
so sorry not sorry if i am a ninja of the night and i know martial arts

but - when i say i wearthis face for the both of us

we all know who is the most beautiful

friends all over
smoke and mirrors roy , all smoke and mirrors


and at athe age of 13 that is when my training truly began
at 10 my head was a book

( this is a riddle btw
)time rider

i'm the sphinx

and also the elepahnt in the room

i have found my niche and it is clean clear and free

night /
Prathipa Nair Sep 2016
Morning sun kissing on my forehead
Struggling to open my slugged eyes
Crows informing the arrival of guests
Says grandmother to mother
Keep ready one excess glass of rice
Flavour of steamed rice flour with layers of coconut
And chickpea curry with potatoes
Garnished with fresh curry leaves
Entering the gateway of my nose
Motivating me to jump from my bed
Ending the battle with my toothbrush
Came running forthright to the dining table
Lento my hands reaching the plate served hot
Unanticipatedly that terror voice from aft
Stop it ! Go take your bath !
It was my grandmother glowing fresh
With sandalwood paste on her forehead
Like Goddess Kali standing in front of me with a knife !

— The End —