Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 25 Mei 2008

Kapan ku boleh ke sana
Dunia terindah untuk semua
Udara harum nan sejuk
Tiada panas mentari yang menyengat
Boleh kah aku melangkah
Menuju ke pintu surge
Impian semua manusia
Sudikah Kau Tuhan?
Bila ku pijakkan kaki di surge
Merasakan hidup istimewa
Penuh ayat-ayat doa
Surga-Mu  indah Tuhan…
Bolehkah ku sentuh sejenak
Merasa damai nan indah
Ku mulai masuk ‘tuk selamanya
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Zenobia Jan 2010
We've crossed the road into teenage haste
Generation gap
With confusion, harum scarum, mistrust, disparity
Not knowing who to listen or follow
Family, or so called, not your friends
You keep thinking we the parents our your enemy
When we only try to teach you
Embrace you with the facts of life
Are life, Are love has been
No More, No Less  
You know we given the best lessons of life
But it's your choice to make it right
You can't keep trying to keep pushing
Not expect to get pushed back
We our your parents
Not your friends
My word as your parent is bond
Don't take and misstep
Out of your place
Cause even though
Still you're moving around to find the right direction
The wrong direction will be probation officers
In your face
Think long and hard of the identity you want to choose
One time, two times, three times
You Lose
I'm just talking and giving tough love
All can be remove
With your last desire
To breathe free air
Your wake up call could be
Being locked up
In the streets with a dare
Bang, Bang, you're dead

So can we sit down without a lot of frustration
Talk things over
Everything changes in life
Nothing stays the same for long
Soon you'll be an adult
To make the choice
If they are wrong or right
Just don't make them now
Preferably not ever
Strange day's of a teenage life
Doesn't stay the same
Forever
One thing I do know
God doesn't put us here
On Earth
Without a purpose or a plan



(upwc)-Zenobia/aka/LadyZ710-1/30/10
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
zozek Apr 2021
I hate spring
hatching eggs
chirping birds
and blooming flowers
especially the disparagingly  
flourishing violet-blue, harum-scarum hyacinth
despite your aching absence
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Senin 20 Oktonber 2008


Malam ini aku bersedih
Aku menangis, aku berfikir
Agar waktu menunggu
Hingga aku mulai tenang

Cobaan hidup datang
Melumuri ragaku
Hingga terasa lumpuh
Tak berdaya bagai mati

Ku tunggu hujan bunga
Yang harum bebaskan raga
Mungkinkah aku bisa sabar?
Jika petir tetap menyambar
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mendengarmu berceloteh,
Daun telingaku kian mengecil,
Menciut sesak dalam lubangnya,
Hingga tiada bunyi menggugah pikiran.

Memandangmu beserta materimu,
Kelopak mataku tak kuasa terbuka,
Ku paksa terbelalak, menatap tajam,
Sampai pandanganku kosong hampa.

Menghadiri kelas mata kuliahmu,
Detik jarum jam seakan tertidur tuk berdetak,
Ruangan seakan penuh dengan jeritan jiwa,
Tinggallah hasrat untuk kembali pulang.

Wahai bapak dosenku,
Adakah engkau menawarkan air di panasnya hati,
Akankah kau menabur harum bunga di otak yang usang,
Atau apakah rasa jemu takkan terganti?.
Taylor St Onge Apr 2014
The yucca plant from my mother’s garden sits
unattended and on the verge of death next to her
eldest rose bush, now wildly overgrown and lightly
blushing in the cosset of the midmourning sun.  Its
withered rosettes droop down to its bed of maroon-stained stones
in crisp, harum-scarum patterns as if the plant is spending its life
like currency trying to touch its toes.  I oftentimes
find myself wondering if the reason behind this
slow rotting of mother dearest’s garden is hidden within her
five-year absence.  If I didn’t know any better, I’d say
her nursery missed the d
                                              i
               ­                                  g
                                                     g
                                                        i
     ­                                                       n
        ­                                                        g
of her weathered hands.

She was the biosphere of my world; I suppose that
it only makes sense for the earth to match my thirst.  We
sit side by side, that yucca plant and I, as we struggle to
nod our heads towards daylight while we rise on
the side of the house that is more or less
cloaked in shadow; the side that she would sunbathe
on during scorching late afternoons.  Perhaps without her
body giving shelter, all her garden is doomed to
atrophy like muscle in the sunlight.

I find irony in the way that my mother’s favored plant
was the “ghost in the graveyard;” a perverted parallel
to the game that she never wanted us to play.  I think it to be
sort of sardonic that her pride swallowed the possibility of
a cure being found within that ****** plant’s roots. She,
a third generation American girl,
had blood as muddled as the mud
that buried that yucca’s heart.
The boundary line between Mother and
nature coalesces into one:
                                               Gaea
                                               six feet under
                                               melting into soil
                                               I hope she becomes seawater.
mommy drabbles
John B Nov 2015
It was so hard to put in words

Tho I spoke to you when idle ears were far from my lips

When words flowed like a river

Like a river yes and still but your beauty is my sun

In your presence only steam pours from me

Your heat burning the shell from my heart

You make me weak

My Venus

I wanted to plough your fertal pastures

Like a good stuard

For its own benefits before my own

You were sharp and curious

Listened intently to my ranting and stared into my eyes

I thought myself weak but you understood better than my pupils

Your apatites reached my ears as a warning but iticed me instead

Your history no surprise or mark against you

I wanted all of you for mine

To make perfect an only slightly tarnished vestal

To complete you in hopes you could complete me

But your eyes cut my soul like a knife without ever seeing it

Your voice crushed my bones to dust with a whisper

Pity

Gref

How low we were when heavens bowed before us

I would have given myself to you in no unbinding terms

But you could not offer the same and I could tell you wanted too

I value your honesty and wish you had lied

Should fate spit on us again in this way

We're I to find myself in your shoes

I suposse I'd recomend Polyamory

I wouldn't take you up on it for him

Then I'm not gay and you never did discriminate

Just saying the world could be my harum

Time and space at my Mercy

A machine in the next room to customize entitys for company

You would be my bottom ***** for life

Given that's as bigoted as an analogy gets

It's coming from a good place
"You could slit my throat and with my one last gasping breath I'd apologize for bleeding on your shirt."
ga Sep 2017
Pernahkah aku menjadi kembang apimu
Meletup-letup berirama
Mempesona penuh warna
Memantik rindu tak kunjung reda

Pernahkah aku menjadi senyummu
Segaris indah warna merah
Membentuk sudut surga
Di atas pipimu yang merona

Pernahkah aku menjadi bungamu
Harum mewangi walaupun sepi
Senyum melekat tiada henti
Bermekaran di relung hati

Atau

Apakah aku ini sedihmu
Terbendung oleh pelupuk
Membasahi mata cokelatmu
Tumpah menyusuri sudut matamu
Pernahkah aku menjadi "aku" bagimu
Bardo Aug 2023
< So how far back can you go then ?
How far down the Rope of Songs can you go ?
You were a Rocker weren't you, you liked Rock n' Roll
In the 80's you had a Walkman, you'd be listening to tapes and songs on the radio
You also wanted to be a drummer once, you loved the power and energy there
But what about the early days though, I'm interested particularly in the early days
How far back can you go I wonder
Yea! How far back and what memories do they bring up ? >

Back in the 70's watching Top of the Pops every Thursday evening on the BBC, essential viewing
With its exciting Whole Lotta Love intro
It was something exciting, thrilling
Waiting to see your favourite Band
And to see the Charts, how they were doing
In the Seventies there was Glam Rock, my eldest brother and me we were always arguing and fighting with one another, sibling rivalry I suppose
If he supported United then I'd have to support City...silly stuff
He liked the band Slade whereas I liked...I supported Marc Bolan and T-Rex
Solid Gold East Action I really liked that song
It was very fast, he rarely did fast songs Marc
Telegram Sam..."you're my main man"
Metal Guru..."is it true"
Twentieth Century Boy..."I wanna be your toy"
The hair on your neck would stand up when he'd come on...
Slade were good though, secretly I liked Slade too, they had great songs
*** on feel the Noise/ Girls grab the boys..
Coz I luv you...Mama we'er all crazy now...
Skweeze me Pleeze me "You know how to squeeze me..."
But there were lots of other good bands and so many great songs
We used to play cards for small money...pennies, a series of different card games, and we'd put on records while we played
We even learned to play Chess and we started a Chess League between us,
We'd always listen to the music as we played.

The Sweet's "Blockbuster" with its intro of police sirens, it spent about 5 weeks at No.1 in the UK Charts...
It reminds me of...of Fish that song...Fish on Fridays, we used to have fish every Friday, I didn't like fish there was bones in it
I wouldn't eat it then Mam would get angry
One time she took a mouthful of my fish trying to prove there were no bones in it
Then suddenly she started to cough and splutter and choke
A Bone had actually got caught in her throat
I thought it was my fault, I thought I'd killed her
She had to go to hospital to get it out
I was going to tell her "I told you the fish was dangerous"
That memory just came back to me when I thought of that song and that time

Yea! I liked Marc Bolan and T-Rex, songs like Metal Guru, Twentieth Century Boy
I remember I didn't like the lyric "Twentieth Century Boy/ I wanna be your toy"
It sounded silly to me that lyric, I suppose I wanted things to make sense
And when he did that song "New York City" with the lyric
"Did you ever see a woman coming out of New York City with a frog in her hand"
I thought then he was maybe losing it a bit
< You...you were a very serious child then weren't you ? >
I suppose I was...like a lot of children are...maybe I just wanted things to make sense.

< I'm interested in the early days, even the very early days and the memories you have
How far back can you go ? What about the funny novelty songs ? >
Chuck Berry had a No. 1 with "My Ding a Ling" playing with his Ding a Ling, we all thought it was very funny
Stayed at No. 1 for several weeks
"Gimme that thing, gimme gimme that thing (or Ding)" was another funny song
"Mouldy Old Dough" by Lieutenant Pigeon a keyboard song with the constant refrain of just "Mouldy Old Dough"
Cat Stevens had a song "I can't keep it in/ I gotta let it out/ gotta show the world..."
Novelty songs were important, they'd interest even your parents
They'd pass a comment "Ha! Ha! That's a funny song"
< And there were sad songs too, weren't there, really sad songs ? >
"Billy don't be a hero don't be a fool with your life" by Paper Lace about a young bride trying to talk her young fiancee out of going off to war, he doesn't listen and never comes back, he gets killed
The Government sends her a letter, she throws it away...
"Seasons in the Sun" by Terry Jacks, 'Goodbye Michelle my little one/
We've known each other since we were nine or ten/ We climbed hills and trees skinned our knees...ABC's / O! Michelle it's hard to die when all the birds are singing in the sky..."
You'd nearly be in tears listening to it.
We used to buy Top of the Pops compilation records with lots of hits on them
Sometimes Mom would like a song, 'Stay with me' by the band Blue Mink
"Stay with me, lay with me/ Love me for longer..."
Always reminds me of my Mom that song
'Killing me softly with your song' Roberta Flack was another
'Tie a yellow ribbon round the old oak tree..."
At school every Friday the teacher would have a spelling test, I used win it a lot, I was good at spelling
The teacher used to give some sweets as a prize, I used bring them home to my Mum.

The Eurovision Song contest (all the European countries would put forward a song), I remember being let stay up to watch Abba win in 1974 with 'Waterloo'
In their fabulous outfits...they looked like Stars, Giants to us, Norse legends from Sweden.  They were amazing!
And what about our own Dana, the young Irish girl from Derry who won the Eurovision for Ireland for the first time with 'All kinds of everything...remind me of you"
I was too young to be allowed to stay up to watch that one
But you could probably hear the adults shouting for Joy from the room below
Happy Nay amazed to see one of our own having done so well, being recognised, flying the flag for Ireland
And then there was seeing Thin Lizzy playing 'Whiskey in the Jar' on Top of the Pops, the first Irish Rock band ever to appear on the show
It was so exciting watching them on our old Black and white TV...an Irish Band one of your very own up there on the World stage
And what about Gilbert O'Sullivan from Waterford I think reaching No. 1 in the Charts with his lovely song 'Clair'
We thought it was a love song but at the end it was revealed it was in fact about a little girl he used babysit for...so sweet.
We used to get comics and magazines secondhand, bought at jumble sales (remember jumble sales)
There was a music magazine for young kids, mainly for girls I think
It was called 'Jackie', there'd be a few in our bundle
They'd have big pictures of all the current hearthrobs
Donny Osmond, David Cassidy, the Bay City Rollers
The young fans would go crazy for their idols
I remember Donny Osmond singing Puppy Love and his version of The Twelfth of Never...
"I'll love you till the bluebells forget to bloom
I'll love you till the clover has lost its perfume
I'll love you till the poets run out of rhyme
Until the Twelfth of Never/ And that's a long long time"...
They were beautiful words about loving, a forever love
And Baby I love you by The Ronettes "Baby I love you/ I love everything about you...
All singing about this wonderful mysterious thing called...called Love.

<Can you go back further than that?>
When we'd go up the village where the amusement arcade was
There'd be songs playing, there were dreamy songs
Albatross by Fleetwood Mac, A whiter shade of Pale by Procol Harum
There was an instrumental I remember called "Sylvia" by the Dutch band Focus
There was a lovely leggy blonde girl named Sylvia in my class at school
And yes! I think she was actually from Holland
(We had a few foreign girls in our class)
Y'know I think she fancied me...did Sylvia
She used to smile at me a lot.
I have a memory of being at the fairground in the Summer with its swing boats and bumper cars
It's roundabouts with the horses and swings, the shooting gallery, the stall for throwing rings over things and taking a prize home
I remember candy floss and ice cream cones
I remember playing the penny slot machines in the amusement arcade, all the different machines
I remember a song "California Man" by The Move... wonderful Summer days.

In the Sixties an Elvis or a Beatles film was a big deal
I remember A Hard Days Night in brilliant black and white
And then "Help" in wonderful colour
Trying to get a fabulous Ring off Ringo the drummer's finger... great songs
Watching The Banana Splits "One Banana Two Banana Three Banana Four/All Bananas going right through the door...
Remember The Monkees"Hey!Hey! We're The Monkees/You never know where we'll be found... We're the young generation and we got something to say"
Last Train to Clarksville, I'm a Believer... great songs too
Remember The Age of Aquarius "This is the age of Aquarius..."
The Sixties yeah!

<Did your Mom and Dad have a Singles collection, the old 45's. Do you remember?>
On our old Dansette record player Roy Orbison singing In Dreams and its B side Sharadoba a magical Egyptian sounding song
And also It's Over about a love affair breaking up
And its wonderful B side Indian Wedding, that was my favorite song among the 45's
It told the story of Yellow Hand and White Feather two Indians getting married
But then going off into the swirling snow never to return
Gone to the Land of the Rising Sun...
You'd listen to them over and over again those songs and that wonderful haunting voice.
<And what were you thinking about, what would be running through your mind when you'd be listening to those songs?>
I remember I wanted to be special that I'd have some special powers and be able to do great things
Something that would make me stand out and that people would be amazed
Maybe some of the girls too, would be very impressed.
My Dad he liked Jim Reeves, he had a lovely velvety smooth voice
He sang Billy Bayou 'Billy Billy Bayou watch where you go/ You're walking on quicksand/ Walk slow/ Billy Billy Bayou watch what you say/ A pretty girl is gonna get you one of these days...
He sang a lot of slow love songs "Put your sweet lips a little closer to the phone and let believe that we're together all alone...
Anna Marie... Anna Marie
Four Walls to know me...

<Tell me about Christmas, the Christmas songs?>
Christmas was a magical time in our house, we'd have the Christmas tree with all the decorations and coloured lights on it
We'd have long concertina like decorations going from wall to wall, so colourful
And lots of glittery things
The songs... Slade singing 'Happy Christmas Everybody', Wizard singing 'I wish it could be Christmas everyday', Mud singing 'It'll be lonely this Christmas (without you to hold)' sounded like Elvis
Johnny Mathis singing 'When a child is born',
'Little Drummer Boy'...
In those days because of school and family you had a strong sense of belonging, having friends, attending birthdays and sports and community events and church
I remember the Christmas party in Primary school (Kindergarten), you had to bring your own treats
I'd only have some biscuits and diluted orange juice
Most people were relatively poor in those days
I was a bit embarrassed having so little
There was one boy and all he had was a bottle of milk to bring
Some used make fun of him, kids could be cruel sometimes.

I remember the teacher brought in a tape recorder once and taped every boy and girl's voice and then he'd play them back
I used dread when my voice would come up
'Cos suddenly the whole class would erupt in laughter
For some reason my voice sounded funny when taped
Even the teacher used smile
I felt so humiliated nay destroyed with them all laughing at me...
I remember... I remember singing the Christmas Carol 'Angels we have heard on high' with its chorus
"Glo..ooria, Gloria in Excelsis Deo"
It was Latin I think but I didn't know this
I thought we were singing "Gloria in a Chelsea stable"
I thought to myself "Jesus must be a supporter of Chelsea football/soccer club" heh!
We had Perry Como's Christmas album with the story of 'Frosty the Snowman' and 'The Christmas Song' ...
"chestnuts roasting on an open fire/ Jack Frost nipping at your nose/ Yuletide carols being sung by a choir/ And folks dressed up like Eskimos..."
And Bing Crosby of course, singing White Christmas
I think we all dreamed of a White Christmas
At school we'd sing 'Away in a Manger' and 'The First Nowell'
Y'know if I sing those songs even now to myself, I can... I can almost remember...

<What about the other songs you learned at school, funny songs, sad songs and the memories they bring up? >
There was a song 'Those were the days (my friend we thought they'd never end)' it was in the Charts
I think the teacher taught us it
The people in the song would be having a great time laughing and drinking and dancing in the taverns
But as they'd grow older their lives would change and they'd get lonelier and sadder...
'Puff the Magic Dragon' I remember there was a very sad bit in this song
Puff and his childhood friend would have so many great adventures together
But then one day, his friend he came no more (he'd found other toys to play with)
Poor Puff was left bereft, he slowly slunk back into his cave... this used to make me sad...
We did patriotic songs 'Roddy McCorley' (goes to die on the Bridge of Toom today)
We had a songbook at school, I still have it
It had lots of old folk songs
Oh! Susanna, Skip to my Lou, The Camptown Races
"Michael Finnegan beginagin/ He had hairs on his chinagin/ Poor old Michael Finnegan"
We used laugh at that song
"What are we going to do with the drunken sailor... early in the morning "
'Marching through Georgia' "Hurra! Hurra! We bring the Jubilee/ Hurra! Hurra! The flag that sets us free...a rousing song
The teacher would play a musical instrument, a melodica I think it was called
She'd blow into it and it had keys on top that'd she'd finger to create the notes
She divided the class into those who could sing and the others, the Crows she called us who couldn't
I was among the Crows
It made me feel bad being called a Crow.
In Primary school we used to play soccer during the breaks
It was usually the Boys from the Housing Estate versus the rest of us from the Village
There was never any tactics, the whole team en masse would just run after the ball LoL
I remember I used to get angry sometimes probably because of something someone had said to me
When I was angry I'd become like The Incredible Hulk
I'd go through the whole lot of them, beat them all
I was Unstoppable
I was the first boy in my class to ever score a goal using my head
The school would also have soccer leagues and we'd get put onto teams
But we were so small compared to the bigger older boys we'd hardly ever get a touch of the ball
But I... I managed to get a goal once which was unheard of from someone in our year
I was so happy.... delighted! My teacher even announced it to the whole class
That I'd scored... I was so chuffed
When I went home and told my parents though they didn't seem to think it was anything special....
My Dad he liked accordion music, he liked The Alexander Brothers from Scotland
They had a song 'Nobody's Child'
"I'm Nobody's Child, no one to love me/ No mother's kisses no mother's smiles/ I'm like a flower just growing wild..."

I used to sleep alone in my room
You'd be afraid there in the Dark on your own
There'd be a nightlight on the wall all lit up
A religious picture, the ****** Mary holding the child Jesus
I'd get Mom to leave the door open so I could faintly hear the voices downstairs
Sometimes I couldn't hear anything and I'd be afraid everybody had gone and left me
So I'd get up and sit on the landing listening
There was a few times when I'd actually go down the stairs
I'd be so relieved to see them all still there
I used sing songs in the dark to keep the fear away, songs we learned at school
"We're going to the Zoo Zoo Zoo/ How about You You You/ You can come too too too..."
Old MacDonald had a farm E-I-E-I O! and on that farm he had some...
"10 green bottles standing on a wall/ And if one green bottle should accidentally fall/ There'd be nine green bottles standing on the wall...
Sometimes I used recite poems we'd learned
"Two little blackbirds singing in the sun/ One flew away and then there was one... One little brick wall lonely in the sun/ Waiting for the blackbirds to come and sing again "
I also remember trying to recite to myself the multiplication tables...

<There were funny rhymes and nursery rhymes wasn't there? >
Christmas is coming/ The Goose is getting fat/ Please put a penny in the old Man's hat/ If you haven't got a penny a halfpenny will do/ If you haven't got a halfpenny God bless you...
Hickory Dickery dock/ The mouse ran up the clock...
They could be strangely violent sounding
Jack and Jill went up the hill/To fetch a pail of water/ Jack fell down and broke his crown/ And Jill came tumbling after...
Humpty Dumpty sat on a wall/ Humpty Dumpty had a great fall...
Three blind mice/ See how they run/ They all run after the farmer's wife/ She cuts off their tails with a carving knife...
Girls are made of all things nice... sugar and spice/What are little boys made of/ Frogs and snails and puppy dogs tails...
Adam and Eve went up my sleeve and never came down till Christmas Eve...
I remember the early games we played, Snakes and Ladders, Ludo, Tiddlywinks trying to flick little plastic counters into a tiny plastic bucket, also playing draughts and marbles...

<Can you go back any further ? >
My Mom singing in the kitchen doing her daily chores singing some song off the radio
Dickie Rock an Irish showband singer singing
"Come back to stay/ And promise me you'll never stray/ I promise that I'll be true...
Sean Dunphy another Irish singer singing "If I could choose" (came second in the Eurovision Song contest)
Tom Jones 'The Green green grass of Home '
There was a lot of easy listening type songs on the radio Burt Bacharach type songs
Andy Williams, Englebert Huberdinck (Please release me let me go/ I don't love you anymore), Doris Day maybe
There's a lot I can't remember now
Val Doonican another Irish singer who'd made it big in the UK
(Had his own TV program for many years on the BBC)
He had a big hit with the song "Walk Tall"
"Walk tall and look the world right in the eye/That's what my mother told me when I was about knee high...
I remember one magical Christmas we got a present of a plastic projector
It came with several slides, they had wonderfully colourful cartoony pictures on them that told a story
We'd turn off all the lights and project it onto the wall
I remember it was like magic, the colours they were so vivid, they were like the colors off stained Glass windows...
The colour of things was very important when you were a kid, they'd almost create feelings inside of you
Colours came first... before words ever did
We often didn't understand the grown ups with their big words...
I remember getting collections of different kinds of toy soldiers and then staging battles
I remember collecting little toy Dinky cars they were called, that was their brand
And Matchbox cars (another brand) ... even today when I see certain colours of cars I am reminded of those old toy cars I used to play with... strange

<What are your earliest memories then? >
There was a question I always wanted to ask the adults but I never did, I thought it kind of funny and didn't want them to laugh at me
The question was "Why does Life always show me ?" An existentialist question even then.

We lived by the sea so you'd be lulled to sleep every night by the flowing up and flowing back of the sea... the tide... its gentle swaying back and forth motion
We had a black cloth picture/painting on the wall, a night scene with swans on a lake and an exotic house in the background with the Moon shining
It was so quiet and peaceful to look at...
My bedroom wallpaper had lovely red or pinkish roses
There was a colourful flower design sewn onto my pillowcase
It used to be lovely getting into bed with fresh linen...
I remember I used to get funny dreams even then, sometimes scary dreams
But I remember you were always safe 'cos in the dream you had a special ring you could put on and then the scary dream would go away (I've often wondered after was that maybe where Tolkien got his inspiration for The Lord of the Rings and Wagner the music composer for his music opera "The Ring")

<Can you go back...any further ? >
Going back further, you're almost falling off the edge of the world there
To a time... to a time when there were no words
When a child comes into the world they have no words
There's only... only The Silence... The Great Silence,
Silence is a strange thing, you can hear Silence
The fact that you can hear it means it must be changing from moment to moment
It too is just like a music, it's probably the first music
Without it there could be no other
The Music of the Spheres someone once called it
It just stays there in the background... glistening... your constant companion
Probably the first sound you ever heard, and probably the last you'll ever hear
It can grow very loud
It wasn't threatening, there were no monsters in it
Not until you went to school and learned words and heard scary stories
Did the monsters come
Words they can cast shadows... sometimes very long shadows...
There was a cot with wooden bars, I remember having a blanket with lovely warm colors on it, soft light blues and yellows, wooly sheep, Bo Peep or Bears or something
We had a golden coloured curtain with lots of designs on it in the bedroom
I remember if you looked hard enough you'd start to see faces in the curtain
Sometimes they would frighten me, they'd look very sharp and angry looking or maybe very sad unhappy looking...
I suppose today I still see faces, in my mind, in the great curtain of all my memories, all those I ever met and knew...

I remember looking at my Mom's face and not knowing what she was
Babies their a complete clean slate, have no words, they know nothing of this world
Gradually they warm to their Mom's affections and come to trust her and bond with her.
Because you had no words when very young there'd be huge gaps in your consciousness
When your consciousness would be completely clear and still
The silence and stillness would envelop you
... and there was something else... something else there... something deep in the silence
Out of it would come something very strange and quite wonderful
It'd come upon you suddenly...it was like your consciousness was changing, opening up
It was like you were descending into some great... some great complex
Your eyes would be closed but still you could see it and feel it... you were part of it
And it was so natural and so familiar...it was where you came from...it was Home
There was a first part that would lead into another part... and then another, all different
Yea, it had several stages and you'd pass through each stage from the outside going inward right to the very last stage... the very Source of Life itself
And you'd be completely at ease with yourself, you'd be completely at Home there
It'd come every night... that Special thing.,. that Special Place
Y'know sometimes when I see a little baby asleep in its pram, I know... I know where they are
Their away now, away in that Special Place
Far faraway from this world of care, so peaceful and so quiet there
Guarded by unknowingness and the Great Silence
With no fear or confusion there to bedevil it
Knowing only a relaxation so deep and a great Stillness within...

But me! I was the youngest in my house, I was always fighting with my brothers
And I was a terrible worrier just like my Mother
I'd be worried about school and the teachers, and trying to understand my (school) lessons
And there'd always be problems, arguments, confusions... humiliations and cruel harsh words spoken
At night I remember I used shake my head vigorously as if trying to rid my mind
Of words that had been spoken, words that hurt or stung...or confused me
I used bump my head gently against the wall
But no! I couldn't escape them... my peace it was broken now...it was gone
And that Special Place just like in the song Puff the Magic Dragon
It came no more...it was lost to me.

I suppose this is all I can remember, all I can recall
I guess this is where I must have come in
I suppose I must have reached the end... the End of my Rope here.
More a series of reminiscences than a poem, a bit like a meditation. No one ever writes about the very early days of their lives, it's a closed door, written off, a time forgotten, that goes unvisited. But perhaps there was something magical incredible behind that door. Everyone should maybe take a trip down their Rope of Songs.
When the sun came crashing from the sky
we knew why the oceans all ran dry
and we,
like harum scarum lunatics watched all this, believed it was a magic trick and later it would be alright.
But the night grew strong the longer it went on and we were wrong to laugh and play while everything we had,
faded into grey,then black and we realised it would not be back at the click of the fingers.

Some vestiges of a memory lingers on and fables told are of a day of gold and light and might we hear the story one more time,as told by the old man with more time upon his hands,about the distant lands where men could see,it seems an eternity of gloom has left much room and yet not to expand but contract back into caves, and slaves we were to ever think the madness could go on without some form of retribution,
some divine or godly intervention
an architect whose own invention had been superseded by  what those whom he had invented needed?

It's all too late
we'll have to wait for another spot that turns up in a universe,where nothing worse than this could possibly occur
and though the candle is unlit,a bit of it will fall into another lighting of the sky
and once more I'm sure we'll wonder why
the magician always spins a double zero and wins.
ga Nov 2017
Bermekaran bunga mengiringi senyummu
Harum mewangi semanis madu
Rendahkan sedikit sekuntum kelopakmu
Tak ayal kumbang bergemuruh

Semanis madu kau mengundang
Aku terbuai layaknya kumbang
Indah gemulai tak kunjung lekang
Kau ratuku bukan sembarang

Tak kusadar burung berkeciap
Gagah benar paruh mengkilap
Hebat benar kepakkan sayap
Kumbang limbung terbangnya kalap

Bunga indah harum mewangi
Ternyata pandai bermain api
Tak disangka membakar janji
Batang indah bertumbuh duri

Kumbang sesak terbangnya lirih
Perihnya hati dusta sang terkasih
Berharap terang hujanpun masih
Berharap lekang sayangpun masih
04/10/2017
Atta Jan 2020
mungkin akan menjadi cerita ter-lusuh yang pernah aku tulis

-----

ingat ketika aku dan kamu di padang rumput yang menguning?
lalu kita sama-sama terpukau dengan pemandangan di depan mata
waktu itu kita sama-sama tidak berusaha memotretnya
karena masing-masing kita hanya fokus mencari ide untuk memulai percakapan


mungkin saat itu aku sudah terpikir sesuatu untuk aku mulai
tapi lucunya, malah kamu yang memulai percakapan
waktu itu kamu bertanya tentang kehidupanku semester ini
baik atau tidak baik
seperti biasa aku mengumpat, sungguh, tidak baik hidupku satu semester ini


kamu tertawa, entah menertawakan nasibku atau reaksiku
kamu tertawa seakan aku baru saja memberi lelucon terlucu abad ini
mungkin kalau kamu bukan kamu, aku sudah marah
tapi aku justru suka
dan jujur, aku bisa saja bersyukur mempunyai nasib seburuk itu hanya untuk mendengarkanmu tertawa


setelah itu giliranmu bercerita
aku sudah bisa menebak, ceritamu pasti seputar hal yang tidak penting
dan memang benar.....
tapi aku tetap mendengarkan, karena pupil matamu melebar
tanda kamu suka dengan hal yang kamu ceritakan
dan aku suka ketika kamu semangat dalam meceritakannya
aku mendengarkan


-//-


waktu berjalan, obrolan kami mulai masuk dalam topik yang rumit
tentang penciptaan, tentang dunia, tentang alasan kami hidup
biasanya otakku mulai memanas ketika membicarakan hal ini
dengan lawan bicara yang lain
tapi denganmu, aku mengidamkan lebih
seperti perpustakaan yang disinari lampu kuning hangat
dan kutu buku yang tersenyum membaca tumpukan buku harum


setelahnya...
ini bersambung ya udh mlm ngantuk bye
kepo kan syp xixixiix
ga Jun 2018
Pertama kalinya kugenggam tanganmu
Satu kembang api dipantik dari ulu hatiku
Seribu lainnya menyusul saat jemari kita saling bertaut
Menghiasi langit malam dengan pendar menggoda
Hitam pekat dibasuh percik api warna-warni
Kusaksikan dengan jelas saat kutatap wajahmu lekat-lekat

Kala itu tak satupun kata berhasil kita ucapkan
Namum dalam hati, tiap detik kulayangkan ribuan doa
dan segala mantra :
"Tuhan sang empunya dunia ini, hendaklah hentikan waktu sejenak untuk hambamu ini. Atau panjangkanlah malam sebelum mentari terbit nanti. Terima kasih Engkau turunkan bidadari, tepat disebelah hambamu ini".

Rambutmu bagaikan ombak musim panas
Bergulung-gulung indah harum manis bergairah
Namun dadaku layaknya laut dikala badai
Gemuruh layaknya seribu ksatria berkuda
Inginku berteriak sekencang-kencangnya
Gemanya terdengar sampai kampung Ayah-Ibuku

Jikalau nun jauh di belahan dunia sana
Seseorang berhasil menginjakkan kakinya di bulan
Inginku umumkan pada dunia
Malam itu akulah manusia pertama yang berhasil menggenggam bulan
Akulah pungguk yang melawan seluruh hukum gravitasi
Akulah pungguk yang tak lagi merindukan bulan

Kalau saja bisa, saat itu juga
Ingin kutuliskan berlembar-lembar puisi cinta
Ingin kupetik gitar dan bersenandung mesra
Karena bisikan lembutmu melantunkan hasrat hidup
Tatapan sayumu membiaskan mimpi-mimpiku
Senyuman indahmu melukiskan harapan-harapanku
Mimpi dan harapan seorang lelaki biasa
Menghabiskan hidup dengannya, tuan putriku ratuku, malaikatku, wanitaku yang istimewa
22/05/2018
Pagi mulai menjelang, biar kuantar kau pulang
Amara Numen Aug 2020
Bacakan untukku tragedi penghancur semesta
Dalam bayang yang merana
Ditengah malam para pendosa
Bacakan untukku kematian yang harum
Melesat masuk kedalam ringkuhnya tulang-tulangmu
Hingga remuk berbutir pasir
Panggil para penguasa dalam mayanya utopia
Biar mereka merangkak disana
Amira I Jun 2020
Rumah joglo di tengah sawah.
Dengan cahaya remang yang berasal dari pojok ruangan ini.
Pemutar piringan hitammu baru selesai kau perbaiki.
Ku memilih untuk mendengarkan album Chet Baker Sings dengan vokalnya, seingatku itu milik mendiang kakekmu.
Gelas-gelas tinggi sudah kau siapkan, sebotol anggur dari Bordeaux sudah ku buka.
Makan malam kita sudah tandas, dua piring penuh berisi daging sapi yang sore tadi ku panggang, hampir matang penuh, bersama hancuran kentang yang sedikit dibubuhi garam dan lada, dengan saus krim jamur.
Jasmu sudah kau tanggalkan dan sampirkan di sisi sofa coklat tua itu.
Gaun hitamku masih rapih melekat pada tubuhku, namun rambutku, yang hanya sepanjang bahu, sudah ku urai, agar kau bisa menghirup harum bunga sakuranya.
Kita menari, pelan, sembari menengguk asam dan manisnya anggur Bordeaux itu.
Ku kira Chet Baker telah letih bernyanyi dan bermain trumpet, suaranya perlahan hilang, digantikan oleh suara jangkrik dari luar sana.
Aku pun lelah, ku rebahkan tubuhku di sofa coklat itu, menyandarkan kepala di dekat sampiran jasmu, menghirup bau cendana yang hampir hilang.
Kau menghampiriku, memelukku erat, menghirup leherku, pipiku, dan mengecup bibirku.
Pelan-pelan, satu per satu pakaian kita tanggal, di bawah cahaya temaram, ditemani suara jangkrik, kita melebur, melebur jadi satu.
Tanah Ubud, tak pernah gagal membuatku jatuh cinta, sengaja maupun tidak.
terinspirasi dari lagu Sal Priadi berjudul sama.
rks Aug 2017
Seharusnya aku ingat bagaimana penampilanku saat pertama bertemu denganmu
Seharusnya aku ingat kalimat pertama yang kuucapkan padamu
Seharusnya aku ingat harum minyak wangi yang kupakai saat pertama bertemu denganmu
Sekarang aku kebingungan, bagaimana agar membuatmu jatuh hati lagi padaku
Wk kortas Mar 2017
We need more Martians , they nattered at me all the time,
More monsters—people like to be scared,
As if those callow youngsters,
Growing up with two cars in the garage
And three sets at the country club,
Their fraternity mixers at Whittier or Occidental,
Knew the first **** thing about terror.
Still, they wanted me to grind out the harum-scarum hokum
They enjoyed watching two-reelers on Saturday afternoons
While men were doing hard work in Leyte and Manila,
As if the transitory fear of some ghoulish bogeyman
Would last through the thirty-second epics
Featuring some cartoon bear shilling for beer
Or bunnies extolling the virtues of toilet paper.
Let me tell you what fear is, I would say time and again,
It’s a padlocked fence and a smokestack
Which isn’t churning out a **** thing.
It’s the jobs you can’t get because you said something
(And more likely, you didn’t) twenty years ago.
It’s one more envelope from the bank or the phone company
With bold red lettering on the front
That you don’t open because you know what it says
And how it doesn’t matter one bit,
Because you can’t do a ******* thing about it
,
And these promising young men would just look at me
Like I was some poorly made-up extraterrestrial
From one of their Buck ******* Rogers potboilers.

Several of my neighbors here were among the men,
Mostly boys in truth, who marched with the 126th New York,
Taking fire at Petersburg and The Wilderness,
At Spotsylvania and Cold Harbor.
We have spoken about the horrors of war,
The kaleidoscope of confusion and dread,
No direction leading to shelter, no road guiding the way to home.
They have said that, as frightening as the sound of the minie *****,
Zipping overhead like malevolent flies,
And the cannon were, what they found truly awful
Was the manner in which those fields,
So like the ones where they had flushed out quail as children,
Became foreboding nightmare landscapes,
Containing a dark madness
That they never dreamed could have existed.
the sonofabitch tremor
  from a tall cup of americano

i am somewhere in the heart of Libis
  feeling the libidinous snarl
  of trucks, the poignant treason
    of leaves slamming against each other,
  the bamboozle of the youth

   this is my 5th poem sliding out
    of my whetstone mouth
   sharpening the dull blade of tongue
    as the harum-scarum of the swivel
   door crafts a rising hullaballoo.

    spilling coffee on my ****** white
     this sonofabitch tremor
    terrorizes the purity of the *******
       clenched against no succor,
    eyes squinting in lachrymose fretting
      palpebral shade of tossed out gray
        caprice of clouds — no
  
   more coffee
      for me,
          these words nudging me
   keeping me awake with
      persistence.
slipshod toboggan feeling
before nakedness reeling
past dried vandals on walls
  colorway harum-scarum

entrails of blinded sides
  open to eyes and their
possible misconceptions

such that
baring all is showing less
and showcasing more
   is no other than pretension

going guillotine
sick or sane in one
asylum afloat
like flotsam there
  and jetsam here

   hoarded onomatopoeic
cacophony: street beat
  back to basic superstition—
no continuations or ellipses
   tell-tale that gamblers all
and losers swell, the jazz needed
   to synchronize in tune,
an off-beat gyration in split-screen
   flat affect. exeunt.
wichitarick Dec 2021
New age blindly falling from grace, fighting a hidden enemy

Teen and anxious once the norm now a psych diagnosis, distress taken as some bad label

Faceless facts hard to retract, flashing light world in blight, Harum-scarum analysis isn't reality

Inner truth now given to a mental sleuth, hidden truth never seen, cause and effect does it mentally disable or inadvertently enable

Swallowing knowledge left us choking,  repetition offers no variation, life has no on or off switch, harder to remain stable when emotions are constantly displayed openly on the table so irrationally

Paranoid covered in a blanket of fear, selected target our mind now a part of the market, pointing at humans being inhumane part of the game, being playful becoming a lost fable

Why always recall when you're about to fall, simple shuffle of memory cards can show greener yards, following pre-plotted maps leads to another casualty

Not as bad as it appears, forget learning to simply survive, permanent pessimist, Impossible to relax when buried in facts, wasteful worry replacing meaningful ways to remain grateful

Instant diagnoses blown into multi tethered prognosis, finding middle ground when being told you're not normal or crazy leaves many lacking, losing leverage when searching for adequacy

Mass medias senseless sayings gather no moss to keep the blues ball rolling, taking fun from function,  new dog and pony show, subconsciously afraid, living life now seen as something fateful

Digging our own graves, personal pall bearers for basic thought, selling freedom for an unfulfilled diagnosis, words a magic elixir, removing ways to face fear rationally

Social wisdom masking the freedom of a child to walk through a puddle instead of a lifetime of insight finding knowledge to walk around them, remembering to smile gives strength to go the extra mile, life on life's terms need not be painful. R.C.
First thoughts were follow up on something I did before on  basic thoughts being changed by negative feedback,or "feeling" something mentally wrong when it is just LIFE! goes deeper and wider than simple prose allows and is now several generations deep,do we try and reverse this?  or become scared of our shadows? :) thanks for reading your thoughts are helpful,PEACE TAKES PRACTICE. Rick
SC Jun 2016
Eclectic as long as I recall
labeled weird by peers
nothing could wipe
the smile of all 32's ...
Scanning for tunes
memory lane
some frightening
many sweet....
from Procol Harum
to James Brown...
Flashbacks ~
A happy "pool rat"...
AM lessons that led to free swim
followed by team practice
and night swim...
Oblivious to the
burnt out shells
~vestiges of the summer of '65.
Heavy police presence
Ghetto birds
day and night...
Coalescence
willfully ignoring the horrendous
savoring the sweet....
the boy around the corner
who broke into song
each time I walked by
"My Cherie Amor..."
Dancing in the street,
the parks
where ever a boom box bellowed...
Cheap wine
blissful ignorance...
all revisited
thanks to a song.
Hark….the herald angels sing, and twitter
for mass communication mediums stop the presses
when I, a regular schlemiel
take shampoo to mine matted mass mop
of straggly follicles, and commence
to dispense with the heady eco system
viz rare crop of flora and fauna

(some rank as endangered species) rub and band together
to scratch envy of neigh bring ponytails
and create quite an niche, and where also can be found
lousy knit wit vendors ready to scalp
and give shaft to razor sharp purveyors,
who mane lee scout out available head room to nap
without a stir, tub bed down

(praying Holy Scott no wash out nor Harris mint occurs),
or burrow vis a vis, where subcutaneous porous droplet size
water ship down pieces of prime residence found
counting one mister comb lee bald faced realtor
amidst competing rival bulb buss scissor hands
(with knot to heavy a price toupee)

affianced to rapunzel, whom he sheared split ends
as her barber of civil, one dapper dan d ruff dude to offer
lice cent shuss insects a tonsured cut above other stylish habitués
(preferring to fraternize, glad-hand, and hobnob
amidst a cluster of big wigs housed by yours truly - Samson

in gleaming puffy pompadour pads tightly secured
with the best dread locks, which harum-scarum
green barrettes serve as first line of rinse able defense
IdentityGuard (with franchisee
Bob O Link averse to split hairs, but fierce
as a Mohawk and ring leader to protect any curl of mine)
waving away intruders, who if insist tubby persistent
and tangle with fate cannot expect camaraderie
from buzz cutting crew i.e. the fuzz

to give expletive filled lathering,
severe shame poo wing subjugation
plus an up braiding experience), and teach stragglers
they will suffer a real perm in hint bang up job
if they brazenly brush against brylcream of the crop
rooted as rightful heirs (hairs) of tousled doo mane.
Yenson Aug 2019
Go play with pale and trembling
taunt them early agers who turn grey at thirty-five
ain't got a continuous back nothing ghostly about me and mine
shot your guns and fire arrows of steel watch me laugh at asinine
naked attractions and see their problems and its indeed ugly things
go find rabbis and save for extensions otherwise spill your hate
its all you've got.
Oh a nine in hand and just as good as when twenty one
take a look see ageless and a shinning gloss with no wrinkles
watch that mind as sharp as blade, balanced erudte hail the good
simmer in your coven and cast your spells
Merlin did not hide underground
as ghostly cowards, poor in minds, poor in land
stunted tools for stunted tools
what else to do for shams
in whiter shades of pale.....
This long time doodling Yankee 
(who calls Southeastern Montgomery, Pennsylvania LV
plus III four seasons visited 
upon swath of topography to see
and hear flora and fauna over run 
via industrialization he doth experience pity
sympathy, humanity deafening cacophony undermining 
once abundant bounty, which mutiny 
upon bounty outwits mother nature
in this REAL LIFE “GAME” of jeopardy 
where survival of the fattest dominates avast geography
thence a tempest in a global teapot doth brew
which phenomena Gaia foments,
inducing meteorologists due
tee fully issuing catastrophic fallout
asper category 5 carved foo
tang clan along Gulf Coast 
reserving special vengeance (alas domino effect) 
for oil derricks hue mans insatiably drill into 
ever more difficult to access reservoirs sans fossil fuels, but Jew
blintz echoes across watery expanse when excavator loo
king for liquid gold hit a mother lode
(or off shoot) exciting new
man hick pumps furiously fracking gnome hatter 
watching grim faced absent magic spells such as phew 
fi foe...aghast at the rapacious, pernicious, malicious....rue
th less ness heaped upon Planet Earth, 
where tipping point 
re: specifically **** Sapiens over population will true
lee interrogate meteorological altercations, conflagrations, and
exterminations of multitudinous
botanical and animal genus or species 
as wrath of monster storms akin to a oceanic brigand
wreaking loss of life and limb, additionally bringing destruction 
as megadeath metal lick ha - monstrous maelstrom 
mercilessly muscles itself when making land
fall, where record rainfall submerges
once smug Texans man
dated to evacuate far from the pan
demon harum-scarum as retribution
for incessant lambasting wan
ton ness exploiting terrestrial resources selfishly that will eventually ban
hush the dominant primate requisitioned to become extinct – anon

miss lee as voluntarism spontaneously spawned and spun off from Biblical deluge
strangers reaching out to rescue folks unbeknownst to them without a wince
forever prompting that age old question asper why do person only evince
good Sammaritism during disasters proof  
mortal camaraderie, defensiveness, from giving, generating 
kudzu offshoots providing salutary assistance doth convince.
humanity amidst adversity.
=======================================
You look after me when I fall asleep on the floor
Good people love their vowed chaste life to keep
In bare, naked, and cold base of that ground's kiss
I feel your warmness close me as a quickfire touch

Togetherness is better than a single big tree in the desert
Solitaire diamond may be mesmerizing Moon but are rare
Your sound of silence in a sea of magic is a perfect harmony
You always captured the mood here well in changing events

Many seasons came and went but we are in this family house,
Spouse never shakes but awakes to fulfill fate and destination
Someday our grandkids will be there to greet us at the door
Time will come as a witness to strange but real vantage point

Life is really not a harum-scarum shadow of Alice in the glass
Color alone does not make any difference but the art in bliss
I am lucky that still, water runs deep beneath the surface
And we are uncaged Souls in the comfort of sweet darkness

Written by
~~~Jawahar Gupta~~~
entrapped within webbed wide world
weft as a **** pulled stilts skein
at warp speed exhibiting
my heroic trumpian wiles
cuz he (johnny come lately) a then
exemplary hedonist, narcissist,
and polygamist dons
comical, farcical, illogical, lunatical...
offal dolled up endearing guise,
when inconvenient truth broached

particularly determining paternity,
no matter countless progeny sport windblown
swiftly tailored mimicked
matted coiffure of mine
resembling hirsute trademark
of appalling though
revered forty fifth president,
nevertheless harried hair styles
in tandem with fabrications riles
the madding crowd - myself included

into frenzied ******* state,
no matter yours truly upholds
voluntary penitential platonic
marital modus operandi
suddenly as one celibate sexagenarian
absent physical *******
intolerable as hemorrhoids or piles
analogous to flat footed
yardbird schlepping miles
joining the long line of exiles.

Vice president of United states
gifted with maiden name Harris,
whose surname same as mine
one I feel like a proud boy to profess,
cuz ma late polymath
papa jack of all trades
self taught handyman skills
as an A1 roofer who repaired
and raised the entire roof
from stem to stern

never contracted shingles,
nor did his prodigal son - yours truly - me
experience the bane of painful rash
that can appear as a stripe of blisters
that wraps around the side of the torso
and caused by varicella-zoster virus (VZV),
the same virus that causes chickenpox,
hence Preparation H
best over the counter ideal balm
to ameliorate painful ****** itch

and thwart bummed out uneasiness,
enjoying consummated adultery
avoiding using uncomfortable prophylactics
(prickly prohibited topic dejure)
though riding *******
doth severely aggravate,
complicate, impregnate, and vitiate
surrogate domestic policy
putting a modern spin
on Anna and the King of Siam

with intent to create aery vision of utopia,
where videre licet barenaked ladies
essentially gamely frolic
in the autumn mist
fomenting one after another
to tease out rock ribbed ready *******
with premature ******* for excitation
Harum-scarum fidelity be ******
bordello supplants "city on a hill"
buzzfeeding ******* bunnies

with fourteen carrots to squire
then politely escort each
to their respective boudoir
in a blatant, explicit effort
to foster and grow caliphate
at the expense of electorate qualm
impossible mission to keep
brood of squired earthlings in the balance
portends especial ominous nightmare
if Project 2025 implemented

also known as
the 2025 Presidential Transition Project,
constitutes a political initiative
published by the Heritage Foundation
that aims to promote conservative
and right-wing policies
to reshape the United States federal government
and consolidate executive power
if the Republican candidate
garners majority of votes

making first day on the Somme
feel like kindergarten tussle
as anarchy rears up across
United States of America
pitting (olive him nonetheless) despicable
unnamed despot wannabe
analogous courtesy unsettled Leviathan
surfacing from the deep cyber sea
against cherished inalienable
constitutional rights buoying

the land of the free
and home of the brave
renting the country asunder,
with incendiary vitriolic rhetoric,
which similar fate befell Vietnam
thanks be partially
to hydrogenated, and promulgated
American foreign policy.
as highlighted below
to recaptcha wretched colonialism.

The (shameful – my input) about United States' foreign policy in Vietnam was shaped by several factors, including the Domino Theory, the Vietnam War, and the legacy of the war:

The Domino Theory
The U.S. foreign policy after World War II was based on the idea that if one country fell to Communism, the surrounding countries would follow, like dominoes.

The Vietnam War
The U.S. supported South Vietnam against North Vietnam, and fought in the war directly. The U.S. trained and assisted South Vietnamese forces, and conducted ground operations, river and canal patrols, and more. The war was costly and divisive, with estimates of over 3 million Vietnamese deaths and around 58,318 American deaths.

The legacy of the war
After the war, the U.S. imposed a trade embargo on Vietnam and severed ties with the country. The U.S. believed that Vietnam had violated the Paris Peace Accords and had not accounted for American prisoners of war. The embargo lasted until 1994.

Normalizing relations
In the 1990s, President Bill Clinton began normalizing diplomatic relations with Vietnam. Today, the U.S. and Vietnam have a relationship that includes maritime security assistance, and partnerships between Vietnamese universities and U.S. higher education institutions. 

The United States' foreign policy in Vietnam was shaped by several factors, including the Domino Theory, the Vietnam War, and the legacy of the war:

The Domino Theory
The U.S. foreign policy after World War II was based on the idea that if one country fell to Communism, the surrounding countries would follow, like dominoes.

The Vietnam War
The U.S. supported South Vietnam against North Vietnam, and fought in the war directly. The U.S. trained and assisted South Vietnamese forces, and conducted ground operations, river and canal patrols, and more. The war was costly and divisive, with estimates of over 3 million Vietnamese deaths and around 58,318 American deaths.

The legacy of the war
After the war, the U.S. imposed a trade embargo on Vietnam and severed ties with the country. The U.S. believed that Vietnam had violated the Paris Peace Accords and had not accounted for American prisoners of war. The embargo lasted until 1994.

Normalizing relations
In the 1990s, President Bill Clinton began normalizing diplomatic relations with Vietnam. Today, the U.S. and Vietnam have a relationship that includes maritime security assistance, and partnerships between Vietnamese universities and U.S. higher education institutions.

Before concluding this poem,
I wanna hammer home,
and nail laughable
personal misperception of
suspecting that roofers
specifically plagued with shingles
constituted from the following materials.

Asphalt: A traditional choice
for homeowners, asphalt shingles
made from a fiberglass or paper mat
covered in tar and granules.

Composite: These synthetic shingles
made from a combination of materials,
including recycled materials,
slate, laminate, and wood.

Wood: Wood shingles and shakes
made from logs of trees like Western Red Cedar,
Cypress, pine, or Redwood.

Some pieces are treated
with preservatives or fire retardants.
Hidden within these lies beneath her disguise,
An enemy within drenched in sin for my demise,

The harum haunting and surrounding as corrupt spies,
Lingering whispering and swarming deceit covered my sanity hypnotized,

Dropping below the nightly sea unable to breathe I'm oxidized,
Heart full of lead and feeling dead, sinking my spirit with heavy bereaved anvils fossilized,

She gifted me this weight,
She took what I could relate,
Stole my breathe so I wouldn't escape,
Held me down till it was too late,
Smirking at my burnt coffin case,
Spreading my ashes upon the landscape,

This murderess conceived every possible fate,

Her wickedness to deception was immensely great,

As she mortified others to regulate,
Her plan worked, she's after checkmate,

Death by assumption as her thrusts clumping,
Density of her maleficent empty soul around was dumping,
No sound I'm everywhere but nowhere to be found, no blood pumping,

This murderess with clandestine traits concealed my shell within her hell,
Her wickedness laughs about my heart no longer thumping,

No one is confronting her becoming this murderess,
Everyone emitting to her false image, wickedness convinced everyone the story of me jumping.
Earlier today April 4th, 2022,
which supersedes bald faced headlines
pointing finger and
Putin blame for Bucha killings
squarely on head & shoulders
of Russian autocrat, née
yours truly lathered
his hirsute higglety-pigglety
thinning oily tresses.

Hark….the herald angels sing,
snapchat and twitter Uber view doo
for mass communication mediums
stop the well conditioned presses
when I, a regular schlemiel
took shampoo to mine matted mass mop
(lame and feeble dreadful locks)
of straggly follicles, and commenced
to dispense with the heady ecosystem

viz rare crop of flora and fauna
(some rank as endangered species)
rub and band together
to scratch envy of flaky key
neigh bring ponytails
and create quite an niche,
and where also can be found
lousy knit wit vendors ready to scalp
and give shaft to razor sharp purveyors,

who mane lee scout out
available head room to nap
without a stir, tub bed down
(praying  Holy Scott no wash out
nor Harris mint occurs),
or burrow vis a vis,
where subcutaneous porous droplet size
water ship down pieces of
prime residence found

counting one mister
comb lee bald faced realtor
amidst competing rival
bulb buss (h)Edward scissorhands
(with knot to heavy a price toupee)
affianced to rapunzel,
whom he sheared split ends
as her barber of civil,
one dapper dan duh ruff dude to offer

lice cent shuss insects a tonsured cut
above other stylish habitués
(preferring to fraternize,
glad-hand, and hobnob
amidst a cluster of big wigs
housed by yours truly - Samson
in gleaming puffy pompadour
pads tightly secured
with the best dreadlocks,

which harum-scarum
green barrettes serve
as first line of rinse able defense
IdentityGuard (with franchisee
Bob O Link averse
to split hairs, but fierce
as a Mohawk and ring leader
to protect any curl of mine)
waving away intruders,

who if insist tubby persistent
and tangle with fate
cannot expect camaraderie
from buzz cutting crew i.e. the fuzz
to give expletive filled lathering,
severe shame poo wing subjugation
plus an up braiding experience),
and teach stragglers
they will suffer a real perm

in hint bang up job
and experience embarrassing cut up
if they brazenly brush
against brylcreem of the crop
rooted as rightful heirs (hairs)
of tousled doo mane
and thus tail all told.
Imagine if ye will
earlier one blustery February sixteenth
two thousand twenty one,
yours truly experienced atypical thrill
perusing pages of heavily laden word book
marking where I leave off reading
courtesy no frills inked quill
(sold to yours truly courtesy original
big bird on his deathbed)

plus jotting down page number
so mundane effort to marry me interest
with me lingua franca (English language)
neither void nor nill
aforementioned laborious literary task
persevered despite forgoing
eating and sleeping might ****
(reading every last word)

hoop ping diligence improves vocabulary
making me maxillary stronger
no matter chronological years
considered smidgen whipping
over third scored Sam Hill
Earth orbitz around nearest star
traveling at (pun one mach two)

warp speed amidst escadrille
whereby accompanying aircraft
eventually zooms into Brazil
housing disproportionate Amazon
rainforest biome encompassing
6.7 million square kilometers and shared
by eight countries.

Even before (the square root of 3844)
years ago exiting the womb
Logophile mine self anointed
nom figuratively feathery de plume
no matter mine cranium
ready to explode ka-boom
I continue to parlay mental energy

like some garden variety harum scarum
and jam additional minutiae
(at thee expense not preserving sanity)
despite very limited (maximum) headroom
to decrease hydranencephaly
the whole hare brain scheme
rigged up with shunted
(think chutes and ladders) flume.

One definite lament
until death doth do me proud
constitutes deficient intelligence
genetically (father) endowed
imbibing cerebral thirst for knowledge
constitutes the lack of photographic memory
nsync with fifty plus shades of gray matter
ofttimes smoldering like dark storm cloud
to retain information I read aloud.

Quite an exciting
(seat of pants) life I did asseverate
less to impress any anonymous reader,
whose interest I did pique and captivate
versus (verses crafted) more so to delineate
quirky passion (couched as poetic endeavor)
inexplicable how to formulate
though no justification be given
hoop fully only kudos to generate.

— The End —