Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
The Unknown Mar 2017
Eso es el dia
en que no puedo parar de decirla
Muda
La digo como esa para que
no me puedes comprender
No importa
No importa en que idoma la digo
Tu no me vas a entender
Muda
Es la misma que el grito del viento
en mi pecho que me duele
cuando la luz me despierta
Muda
Como la furiosa y fuerte
pero futil
Nadie puede sentir
Eso es lo que ella me dice
La bruja me hace
Muda
This is the rare moment when I think it's worth something
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
fatin Oct 2017
hembus aku nafas kelelahan
membaca bait cinta yg ditulis para muda
masing-masing melempar rasa
namun siapalah aku
mengatakan tidak pada rasa indah itu?

resah kamu mungkin tenang untuk aku
tatkala dunia goncang berebut harta
aku disini masih keliru tentang rasa
kemudiannya, aku melihat lirik mata anak muda yang sedang bebas teroka dunia
indah dan segar matanya
bersinar umpama harapan cerah sentiasa menanti mereka

sempat aku pesan anak muda,
teruslah berjuang demi rasamu
sematkan cinta kepada setiapnya
agar mudah kita kemudian hari kelak

kerana aku pasti
cinta yang tumbuh itu akan bersemi
dan terus ramai...

hingga satu hari, kan seluruh dunia tersenyum.
maka, teruslah.
teruslah...menulis..


944pm
oct 2nd 17
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
Aridea P Nov 2011
Palembang, 3 November

Masih ingat ku di usia muda
Saat ku dikelilingi ruang hampa
Jari tetap menggoreskan tinta
Hati tetap menerawang asa

Di hati terdalam terselip doa indah
Permohonan gadis kecil yang kesepian
Aku berdoa tapi terus bekerja
Sendirian.. Tak ada seorangpun di sekitar

Merasa orang biasa tak kan mengerti
Susah pun tuk diungkap
Tak mampi lagi berucap
Malu pun yang ada di setiap kata

Berjanji kepada Tuhan
Akan berbuat baik jika diberi teman
Tipe yang langsung mengerti akan keadaan
Dan tak harus ku ucap lagi tuk Dia dengarkan

Bisa ku dengar semua sunyi
Ada kejutan dibalik kesunyian-Nya
Akan selalu ku nanti Soulmate Aridea
Hingga Tuhan percaya aku akan membutuhkannya


Created by. Aridea Purple a.k.a Erika Maya W Handoko
Alia Ruray Nov 2014
Hidup dengan segala problematikanya
sejenak senang sejenak tenang
sejenak buram sejenak suram

Matahari bawaku cahaya
Tapi aku kepanasan
Hijab bawaku perlindungan
Tapi aku tertutup
Pohon bawaku udara
Tapi aku tumbangkan untuk wi-fi
Ini baik tapi ini buruk.

Lalu hadir kerutan ditengah keningku
Melengkapi lipatan hitam mata ini
Hasil semua akar-akar pikiran
Bola matapun sekarang berfilter

Kuingat mawar pemberiannya
Gambar persembahan mereka
Seluruh tumpahan merah muda itu
Tapi tetap saja kabut dari belakang datang
Ia bersembunyi hanya tuk muncul kembali
-
-
-
Mengapa begini?
Terlalu banyak tapi
Mengindahkan kebingungan
Terbawa kelelahan
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Aridea P Sep 2012
Palembang, 7 September 2012

Apa kau bilang?
Seenaknya memerintah!
Tuk apa Tuhan menciptakan raga yang sehat,
kaki yang kuat.
Bila kau tak mau menggerakkannya.
Kau hanya membuat mereka terdiam.
Mereka akan mati!
Mati mengurangi ***** di tubuhmu.

Apa kau bilang tadi?
Bukannya ku ini babu mu!
Seenaknya memerintah!
Menganggap yang muda mudah diperdaya.
Kau ini pintar!
Tapi tak cukup pintar.
Untuk apa kau sekolah tinggi?
Jika mulutmu tak dijaga.

Masih bilang apa kau tadi?
Kau memang lebih tua,
sudah banyak menghasilkan uang.
Tapi aku tidak bodoh!
Aku muda tapi bisa menghasilkan uang.
Aku terpelajar!
Ku akan miliki pekerjaan yang buat kau berkata WOW!

Aku balas apa yang kau katakan.
Terus, kau mau apa?
M Feb 2019
tidak disadari, langit yang biru berubah
menjadi warna oranye dan ungu muda.
perpaduannya pun sangat indah,
ditemani pula oleh kicauan burung yang sunyi.

selang waktu berjalan, hati semakin berat,
pena dan kertas, aku bertemu lagi denganmu.
langit yang indah tiba tiba berteriak,
seperti singa yang mengaung ditengah ladang.

apakah mungkin, bahwa kita melihat langit yang sama?
perbedaan waktu yang tidak masuk akal, ingin membuatku
menguras air di lautan yang biru,
yang menghalangi pertemuan kita.

gila, bukan?
aku berbicara kepada kertas putih,
layaknya kertas ini adalah sahabatku,
atau kuping yang selalu mendengar.

tangisan hati pun terlalu keras, malam ini.
langit yang indah, sekarang bersaturasi,
menjadi warna abu abu yang gelap,
jadi ini, toh.

ini, yang dinamakan
berbicara kepada kertas,
saat air mata milik senja,
turun dari langit.
a drabble in indonesian, this poem is so hard to convert to english, but i will try to. you can translate this if you want <3
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Joshua Soesanto Jun 2014
aku ingin teriak
menghilangkan penat yang semakin memberat
sendiri tanpa wujud manusia bersama malam, mengelapkan bumi
titik terang seperti tidak berpihak di antara hati dan jiwa bergejolak
mimpi semakin jauh

satu cerita seperti gambaran perjalanan hidup
mengarah kepada kematian jiwa
keraslah
keringlah
seperti akar hasrat yang haus akan hujan nurani sebuah sosok

lalu makin penuhlah pikiran dengan kotoran suara "omong kosong"
puisi jingga yang kata banyak orang sebagai makna dari "hidup"
kapankah sebuah imajinasi berwujud nyata?
bertumbuh, bermutasi sebagai bagian dari mimpi yang pernah ada

sepertinya kopi dan rokok pun sudah bosan
mendengar celoteh sang pemberontak
tapi, mereka selalu ada
suntikan darurat adrenaline ke otak

disaat itulah..
aku membunuh tuan waktu
lupa reluk, remuk.
siraman spiritual kepada luka-luka nanah di masa muda

mungkinkah kopi berwujud manusia?
*apakah ia bidadari? *
dan
mengapa aku menanti dia mati?

ternyata benar
kematian adalah sebuah regulasi
ia menjadi bubuk mantra.. luruslah hidup katanya
seduh
delapan puluh derajat panasnya
sebuah bisikan kata-kata "pesona"
maka meronalah ia.. berbusa senyum
cairan itu.. damai

damai
selalu damai
lima huruf memukul ingatan akan senderan hangat dada yang empuk
detak jantungnya terdengar berdebar
kembalinya mantra halus jatuh dari bibir
kata-kata tertahan yang tak sempat kembali

akan kah kembali?
mungkin.
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Aridea P Oct 2011
Palembang, Sabtu 2 Oktober 2010

Hari ini terjadi lagi
Kakak ku yang indah bertambah usia
Kini ia berbeda dari 29 tahun kemarin
Yang mana masih muda dan polosnya

Tak bisa ku berikan apa-apa
Kecuali doa yang tak henti ku panjatkan
Supaya kakak ku panjang umur
Sehat selalu dan cepat menikah

Pesanku untuknya, adalah
Teruslah ciptakan lirik indah
Karena ku suka saat kau berkata
Dalam bentuk nada yang indah

Pesanku kan ku sampaikan
Melalui sinyal-sinyal batin kita
Semoga Allah SWT melindunginya
Dan biarkan ia hidup bahagia


Created By. Aridea Purple
To Arlonsy M.
Glenn Sentes Mar 2013
dahil wara katapusan an duon san mga mata
mabubuhay akong minamatay
san dating kaaway ko sa lawas na ini
sa lawas na ini naghambog an talawon
pinapagubtik an kaaluhan na nagpapamuda
muda na nagpupukaw saakon gurugab-i
kendi na nagpapahibi
mesias na naghahala-hala

magiging madalas an pagsid-ip niya sa bintana
para laen ko makita an liwanag
malaog siya sa kahon ko
laen para magkawat
kundi dagdagan an pagub-at
makasakat an pagbagsak
siya na ako
masurat tula.

~Written by Melton Balicano
(a bikol dialect)


since these eyes have been weighed down on unending
i shall live while being slain by an old foe in this body
this body where the craven had once boasted
surging chagrins that blaspheme
blasphemy that rouses this corpse in the dark
treats that shed tears
a messiah that taunts.

he shall constantly peep through the window
so that I see no light
he will break in my casket
not to thieve
but to burden further
the downfall shall rise
then he becomes me
penning a poem.

~a translation of Balicano's masterpiece
Glenn Sentes
Joshua Soesanto Jun 2014
pola pikir bumi tak seiring hasrat pemimpi
saat kala jatuhnya langit dari angkasa
jutaan pasang mata melebur
kadang hidup, seperti kopi rasanya

tegukan pertama serasa tembakan petir terasa
penuh kejutan untuk setiap liur asapnya
cari sudut, panorama inspirasi
jauh hisap nikotin, seruput kepala cangkir

satu perempuan jatuh dalam cangkir
dibayangi riuh ramai cerita cinta orang lain
pelukan, cumbu pasif
biar dada tertusuk duri, nikmati sajalah sendiri

kita masih muda, dosa kecil berbalik sedikit
lentikan jemari memeluk selongsong leher
sedikit kecupan akan lahir matahari kecil dari sana
mungkin esok, lusa atau mungkin cukup hari ini

sekembalinya aku pada sepetir kopi daerah
terasa benar ada yang berlari, memeluk
lalu tersenyum, berkata "kopi ini mimpi"
berkicaulah pisau, tusuk! bunuh!

lalu
terbangunlah euphoria meditasi.
Piramidal, funesta de la tierra
nacida sombra, al cielo encaminaba
de vanos obeliscos ***** altiva,
escalar pretendiendo las estrellas;
si bien sus luces bellas
esemptas siempre, siempre rutilantes,
la tenebrosa guerra
que con negros vapores le intimaba
la vaporosa sombra fugitiva
burlaban tan distantes,
que su atezado ceño
al superior convexo aún no llegaba
del orbe de la diosa
que tres veces hermosa
con tres hermosos rostros ser ostenta;
quedando sólo dueño
del aire que empañaba
con el aliento denso que exhalaba.
Y en la quietud contenta
de impero silencioso,
sumisas sólo voces consentía
de las nocturnas aves
tan oscuras tan graves,
que aún el silencio no se interrumpía.
Con tardo vuelo, y canto, de él oído
mal, y aún peor del ánimo admitido,
la avergonzada Nictímene acecha
de las sagradas puertas los resquicios
o de las claraboyas eminentes
los huecos más propicios,
que capaz a su intento le abren la brecha,
y sacrílega llega a los lucientes
faroles sacros de perenne llama,
que extingue, sino inflama
en licor claro la materia crasa
consumiendo; que el árbol de Minerva
de su fruto, de prensas agravado,
congojoso sudó y rindió forzado.
Y aquellas que su casa
campo vieron volver, sus telas yerba,
a la deidad de Baco inobedientes
ya no historias contando diferentes,
en forma si afrentosa transformadas
segunda forman niebla,
ser vistas, aun temiendo en la tiniebla,
aves sin pluma aladas:
aquellas tres oficiosas, digo,
atrevidas hermanas,
que el tremendo castigo
de desnudas les dio pardas membranas
alas, tan mal dispuestas
que escarnio son aun de las más funestas:
éstas con el parlero
ministro de Plutón un tiempo, ahora
supersticioso indicio agorero,
solos la no canora
componían capilla pavorosa,
máximas negras, longas entonando
y pausas, más que voces, esperando
a la torpe mensura perezosa
de mayor proporción tal vez que el viento
con flemático echaba movimiento
de tan tardo compás, tan detenido,
que en medio se quedó tal vez dormido.
Este. pues, triste son intercadente
de la asombrosa turba temerosa,
menos a la atención solicitaba
que al suelo persuadía;
antes si, lentamente,
si su obtusa consonancia espaciosa
al sosiego inducía
y al reposo los miembros convidaba,
el silencio intimando a los vivientes,
uno y otro sellando labio obscuro
con indicante dedo, Harpócrates la noche silenciosa;
a cuyo, aunque no duro, si bien imperioso
precepto, todos fueron obedientes.
El viento sosegado, el can dormido:
éste yace, aquél quedo,
los átomos no mueve
con el susurro hacer temiendo leve,
aunque poco sacrílego ruido,
violador del silencio sosegado.
El mar, no ya alterado,
ni aún la instable mecía
cerúlea cuna donde el sol dormía;
y los dormidos siempre mudos peces,
en los lechos 1amosos
de sus obscuros senos cavernosos,
mudos eran dos veces.
Y entre ellos la engañosa encantadora
Almone, a los que antes
en peces transformó simples amantes,
transformada también vengaba ahora.
En los del monte senos escondidos
cóncavos de peñascos mal formados,
de su esperanza menos defendidos
que de su obscuridad asegurados,
cuya mansión sombría
ser puede noche en la mitad del día,
incógnita aún al cierto
montaraz pie del cazador experto,
depuesta la fiereza
de unos, y de otros el temor depuesto,
yacía el vulgo bruto,
a la naturaleza
el de su potestad vagando impuesto,
universal tributo.
Y el rey -que vigilancias afectaba-
aun con abiertos ojos no velaba.
El de sus mismos perros acosado,
monarca en otro tiempo esclarecido,
tímido ya venado,
con vigilante oído,
del sosegado ambiente,
al menor perceptible movimiento
que los átomos muda,
la oreja alterna aguda
y el leve rumor siente
que aun le altera dormido.
Y en 1a quietud del nido,
que de brozas y lodo instable hamaca
formó en la más opaca
parte del árbol, duerme recogida
la leve turba, descansando el viento
del que le corta alado movimiento.
De Júpiter el ave generosa
(como el fin reina) por no darse entera
al descanso, que vicio considera
si de preciso pasa, cuidadosa
de no incurrir de omisa en el exceso,
a un sólo pie librada fía el peso
y en otro guarda el cálculo pequeño,
despertador reloj del leve sueño,
porque si necesario fue admitido
no pueda dilatarse continuado,
antes interrumpido
del regio sea pastoral cuidado.
¡Oh de la majestad pensión gravosa,
que aun el menor descuido no perdona!
Causa quizá que ha hecho misteriosa,
circular denotando la corona
en círculo dorado,
que el afán es no menos continuado.
El sueño todo, en fin, lo poseía:
todo. en fin, el silencio lo ocupaba.
Aun el ladrón dormía:
aun el amante no se desvelaba:
el conticinio casi ya pasando
iba y la sombra dimidiaba, cuando
de las diurnas tareas fatigados
y no sólo oprimidos
del afán ponderosos
del corporal trabajo, más cansados
del deleite también; que también cansa
objeto continuado a 1os sentidos
aún siendo deleitoso;
que la naturaleza siempre alterna
ya una, ya otra balanza,
distribuyendo varios ejercicios,
ya al ocio, ya al trabajo destinados,
en el fiel infiel con que gobierna
la aparatosa máquina del mundo.
Así pues, del profundo
sueño dulce los miembros ocupados,
quedaron los sentidos
del que ejercicio tiene ordinario
trabajo, en fin, pero trabajo amado
-si hay amable trabajo-
si privados no, al menos suspendidos.
Y cediendo al retrato del contrario
de la vida que lentamente armado
cobarde embiste y vence perezoso
con armas soñolientas,
desde el cayado humilde al cetro altivo
sin que haya distintivo
que el sayal de la púrpura discierna;
pues su nivel, en todo poderoso,
gradúa por esemptas
a ningunas personas,
desde la de a quien tres forman coronas
soberana tiara
hasta la que pajiza vive choza;
desde la que el Danubio undoso dora,
a la que junco humilde, humilde mora;
y con siempre igual vara
(como, en efecto, imagen poderosa
de la muerte) Morfeo
el sayal mide igual con el brocado.
El alma, pues, suspensa
del exterior gobierno en que ocupada
en material empleo,
o bien o mal da el día por gastado,
solamente dispensa,
remota, si del todo separada
no, a los de muerte temporal opresos,
lánguidos miembros, sosegados huesos,
los gajes del calor vegetativo,
el cuerpo siendo, en sosegada calma,
un cadáver con alma,
muerto a la vida y a la muerte vivo,
de lo segundo dando tardas señas
el de reloj humano
vital volante que, sino con mano,
con arterial concierto, unas pequeñas
muestras, pulsando, manifiesta lento
de su bien regulado movimiento.
Este, pues, miembro rey y centro vivo
de espíritus vitales,
con su asociado respirante fuelle
pulmón, que imán del viento es atractivo,
que en movimientos nunca desiguales
o comprimiendo yo o ya dilatando
el musculoso, claro, arcaduz blando,
hace que en él resuelle
el que le circunscribe fresco ambiente
que impele ya caliente
y él venga su expulsión haciendo activo
pequeños robos al calor nativo,
algún tiempo llorados,
nunca recuperados,
si ahora no sentidos de su dueño,
que repetido no hay robo pequeño.
Estos, pues, de mayor, como ya digo,
excepción, uno y otro fiel testigo,
la vida aseguraban,
mientras con mudas voces impugnaban
la información, callados los sentidos
con no replicar sólo defendidos;
y la lengua, torpe, enmudecía,
con no poder hablar los desmentía;
y aquella del calor más competente
científica oficina
próvida de los miembros despensera,
que avara nunca v siempre diligente,
ni a la parte prefiere más vecina
ni olvida a la remota,
y, en ajustado natural cuadrante,
las cuantidades nota
que a cada cual tocarle considera,
del que alambicó quilo el incesante
calor en el manjar que medianero
piadoso entre él y el húmedo interpuso
su inocente substancia,
pagando por entero
la que ya piedad sea o ya arrogancia,
al contrario voraz necio la expuso
merecido castigo, aunque se excuse
al que en pendencia ajena se introduce.
Esta, pues, si no fragua de Vulcano,
templada hoguera del calor humano,
al cerebro enviaba
húmedos, mas tan claros los vapores
de los atemperados cuatro humores,
que con ellos no sólo empañaba
los simulacros que la estimativa
dio a la imaginativa,
y aquesta por custodia más segura
en forma ya más pura
entregó a la memoria que, oficiosa,
gravó tenaz y guarda cuidadosa
sino que daban a la fantasía
lugar de que formase
imágenes diversas y del modo
que en tersa superficie, que de faro
cristalino portento, asilo raro
fue en distancia longísima se veían,
(sin que ésta le estorbase)
del reino casi de Neptuno todo,
las que distantes le surcaban naves.
Viéndose claramente,
en su azogada luna,
el número, el tamaño y la fortuna
que en la instable campaña transparente
arriesgadas tenían,
mientras aguas y vientos dividían
sus velas leves y sus quillas graves,
así ella, sosegada, iba copiando
las imágenes todas de las cosas
y el pincel invisible iba formando
de mentales, sin luz, siempre vistosas
colores. las figuras,
no sólo ya de todas las criaturas
sublunares, mas aun también de aquellas
que intelectuales claras son estrellas
y en el modo posible
que concebirse puede lo invisible,
en sí mañosa las representaba
y al alma las mostraba.
La cual, en tanto, toda convertida
a su inmaterial ser y esencia bella,
aquella contemplaba,
participada de alto ser centella,
que con similitud en sí gozaba.
I juzgándose casi dividida
de aquella que impedida
siempre la tiene, corporal cadena
que grosera embaraza y torpe impide
el vuelo intelectual con que ya mide
la cuantidad inmensa de la esfera,
ya el curso considera
regular con que giran desiguales
los cuerpos celestiales;
culpa si grave, merecida pena,
torcedor del sosiego riguroso
de estudio vanamente juicioso;
puesta a su parecer, en la eminente
cumbre de un monte a quien el mismo Atlante
que preside gigante
a los demás, enano obedecía,
y Olimpo, cuya sosegada frente,
nunca de aura agitada
consintió ser violada,
aun falda suya ser no merecía,
pues las nubes que opaca son corona
de la más elevada corpulencia
del volcán más soberbio que en la tierra
gigante erguido intima al cielo guerra,
apenas densa zona
de su altiva eminencia
o a su vasta cintura
cíngulo tosco son, que mal ceñido
o el viento lo desata sacudido
o vecino el calor del sol, lo apura
a la región primera de su altura,
ínfima parte, digo, dividiendo
en tres su continuado cuerpo horrendo,
el rápido no pudo, el veloz vuelo
del águila -que puntas hace al cielo
y el sol bebe los rayos pretendiendo
entre sus luces colocar su nido-
llegar; bien que esforzando
mas que nunca el impulso, ya batiendo
las dos plumadas velas, ya peinando
con las garras el aire, ha pretendido
tejiendo de los átomos escalas
que su inmunidad rompan sus dos alas.
Las pirámides dos -ostentaciones
de Menfis vano y de la arquitectura
último esmero- si ya no pendones
fijos, no tremolantes, cuya altura
coronada de bárbaros trofeos,
tumba y bandera fue a los Ptolomeos,
que al viento, que a las nubes publicaba,
si ya también el cielo no decía
de su grande su siempre vencedora
ciudad -ya Cairo ahora-
las que, porque a su copia enmudecía
la fama no contaba
gitanas glorias, menéficas proezas,
aun en el viento, aun en el cielo impresas.
Estas que en nivelada simetría
su estatura crecía
con tal disminución, con arte tanto,
que cuánto más al cielo caminaba
a la vista que lince la miraba,
entre los vientos se desaparecía
sin permitir mirar la sutil *****
que al primer orbe finge que se junta
hasta que fatigada del espanto,
no descendida sino despeñada
se hallaba al pie de la espaciosa basa.
Tarde o mal recobrada
del desvanecimiento,
que pena fue no escasa
del visual alado atrevimiento,
cuyos cuerpos opacos
no al sol opuestos, antes avenidos
con sus luces, si no confederados
con él, como en efecto confiantes,
tan del todo bañados
de un resplandor eran, que lucidos,
nunca de calurosos caminantes
al fatigado aliento, a los pies flacos
ofrecieron alfombra,
aun de pequeña, aun de señal de sombra.
Estas que glorias ya sean de gitanas
o elaciones profanas,
bárbaros hieroglíficos de ciego
error, según el griego,
ciego también dulcísimo poeta,
si ya por las que escribe
aquileyas proezas
o marciales, de Ulises, sutilezas,
la unión no le recibe
de los historiadores o le acepta
cuando entre su catálogo le cuente,
que gloría más que número le aumente,
de cuya dulce serie numerosa
fuera más fácil cosa
al temido Jonante
el rayo fulminante
quitar o la pescada
a Alcídes clava herrada,
que un hemistiquio solo
-de los que le: dictó propicio Apolo-
según de Homero digo, la sentencia.
Las pirámides fueron materiales
tipos solos, señales exteriores
de las que dimensiones interiores
especies son del alma intencionales
que como sube en piramidal *****
al cielo la ambiciosa llama ardiente,
así la humana mente
su figura trasunta
y a la causa primera siempre aspira,
céntrico punto donde recta tira
la línea, si ya no circunferencia
que contiene infinita toda esencia.
Estos pues, montes dos artificiales,
bien maravillas, bien milagros sean,
y aun aquella blasfema altiva torre,
de quien hoy dolorosas son señales
no en piedras, sino en lenguas desiguales
porque voraz el tiempo no ]as borre,
los idiomas diversos que escasean
el sociable trato de las gentes
haciendo que parezcan diferentes
los que unos hizo la naturaleza,
de la lengua por solo la extrañeza; .
si fueran comparados
a la mental pirámide elevada,
donde, sin saber como colocada
el alma se miró, tan atrasados
se hallaran que cualquiera
graduara su cima por esfera,
pues su ambicioso anhelo,
haciendo cumbre de su propio vuelo,
en lo más eminente
la encumbró parte de su propia mente,
de sí tan remontada que creía
que a otra nueva región de sí salía.
En cuya casi elevación inmensa,
gozosa, mas suspensa,
suspensa, pero ufana
y atónita, aunque ufana la suprema
de lo sublunar reina soberana,
la vista perspicaz libre de antojos
de sus intelectuales y bellos ojos,
sin que distancia tema
ni de obstáculo opaco se recele,
de que interpuesto algún objeto cele,
libre tendió por todo lo criado,
cuyo inmenso agregado
cúmulo incomprehensible
aunque a la vista quiso manifiesto
dar señas de posible,
a la comprehensión no, que entorpecida
con la sobra de objetos y excedida
de la grandeza de ellos su potencia,
retrocedió cobarde,
tanto no del osado presupuesto
revocó la intención arrepentida,
la vista que intentó descomedida
en vano hacer alarde
contra objeto que excede en excelencia
las líneas visuales,
contra el sol, digo, cuerpo luminoso,
cuyos rayos castigo son fogoso,
de fuerzas desiguales
despreciando, castigan rayo a rayo
el confiado antes atrevido
y ya llorado ensayo,
necia experiencia que costosa tanto
fue que Icaro ya su propio llanto
lo anegó enternecido
como el entendimiento aquí vencido,
no menos de la inmensa muchedumbre
de tanta maquinosa pesadumbre
de diversas especies conglobado
esférico compuesto,
que de las cualidades
de cada cual cedió tan asombrado
que, entre la copia puesto,
pobre con ella en las neutralidades
de un mar de asombros, la elección confusa
equívoco las ondas zozobraba.
Y por mirarlo todo; nada veía,
ni discernir podía,
bota la facultad intelectiva
en tanta, tan difusa
incomprensible especie que miraba
desde el un eje en que librada estriba
la máquina voluble de la esfera,
el contrapuesto polo,
las partes ya no sólo,
que al universo todo considera
serle perfeccionantes
a su ornato no más pertenecientes;
mas ni aun las que ignorantes;
miembros son de su cuerpo dilatado,
proporcionadamente competentes.
Mas como al que ha usurpado
diuturna obscuridad de los objetos
visibles los colores
si súbitos le asaltan resplandores,
con la sombra de luz queda más ciego:
que el exceso contrarios hace efectos
en la torpe potencia, que la lumbre
del sol admitir luego
no puede por la falta de costumbre;
y a la tiniebla misma que antes era
tenebroso a la vista impedimento,
de los agravios de la luz apela
y una vez y otra con la mano cela
de los débiles ojos deslumbrados
los rayos vacilantes,
sirviendo va piadosa medianera
la sombra de instrumento
para que recobrados
por grados se habiliten,
porque después constantes
su operación más firme ejerciten.
Recurso natural, innata ciencia
que confirmada ya de la experiencia,
maestro quizá mudo,
retórico ejemplar inducir pudo
a uno y otro galeno
para que del mortífero veneno,
en bien proporcionadas cantidades,
escrupulosamente regulando
las ocultas nocivas cualidades,
ya por sobrado exceso
de cálidas o frías,
o ya por ignoradas simpatías
o antipatías con que van obrando
las causas naturales su progreso,
a la admiración dando, suspendida,
efecto cierto en causa no sabida,
con prolijo desvelo y remirada,
empírica
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Sarah Oct 2013
Maaf
Maaf
Maaf

Kau bukan secarik kertas
yang dibuang begitu saja setelah kupakai
Kusut, coreng-moreng
Bukan, kau adalah kartu pos
yang disimpan rapi di lemari jati
Meski usiamu tiada muda

Kau bukan terik matahari
yang dicaci orang ketika ada,
diabaikan ketika tiada
Bukan, kau adalah suara rintik hujan
yang dipuji, dikagumi, didengar
Meski kau membasahi baju mereka

Kau bukan jam rusak
yang digantung terlalu tinggi untuk diganti
Berdebu, usang
Bukan, kau adalah api
yang dicari orang sampai kalang-kabut
Meski kau membakar rumah mereka

Tapi maaf jika aku membuatmu merasa seperti
secarik kertas, terik matahari, dan jam rusak
Bukan niat ingin menyakiti
Tapi aku memang tak bisa dicintai

Maaf.
GOD I **** AT WRITING IN BAHASA INDONESIA but hey this is my first attempt so please forgive me?
Aridea P May 2012
Palembang, 31 Mei 2012


Maaf
Aku hanya bisa bilang maaf
Hanya itu yang tersisa

Maaf
Tlah ku ungkapkan cinta
Tak sanggup lagi ku jaga

Maaf
Aku kekanak-kanakan
Aku memang masih sangat muda

Maaf
Aku tak bisa menurutimu
Kau bilang ini bukan cinta

Maaf
Hidupku aku yang jalani
Kau lah yang aku cintai

Maaf lagi
Aku harus pergi
Tak ingin terjerumus lebih dalam lagi
Safira Azizah Oct 2018
katakanlah, aku celaka
tersandung ke dalam lumbung asmara.

                                    celaka kah aku
mengendap-endap di bawah rumah mu?

katakanlah, aku terkutuk
seorang yang tak diundang
tak semestinya duduk di ruang tamu.

                                 terkutuk kah aku
membubung asa di atas hampa?

                 sadarkah aku
        sedang menanti sekarat
           dan karamnya harap?

dan ku akui,
aku ini binatang keparat
--berharap dua cincin akan enyah jua dimakan karat.


sampai jumpa cinta masa muda,
aku akan menanti di ujung tua
menyesal, sembari menatap
harap dan nyata
mustahil bersua.

maafkan aku menunggu hingga renta,
tak lain karena dirimu di relungku, sintas.
based on a woman who waited in her whole life, to marry someone she loved dearly.
Recuerde el alma dormida,
avive el seso e despierte
  contemplando
cómo se passa la vida,
cómo se viene la muerte
  tan callando;
  cuán presto se va el plazer,
cómo, después de acordado,
  da dolor;
cómo, a nuestro parescer,
cualquiere tiempo passado
  fue mejor.

  Pues si vemos lo presente
cómo en un punto s'es ido
  e acabado,
si juzgamos sabiamente,
daremos lo non venido
  por passado.
  Non se engañe nadi, no,
pensando que ha de durar
  lo que espera
más que duró lo que vio,
pues que todo ha de passar
  por tal manera.

  Nuestras vidas son los ríos
que van a dar en la mar,
  qu'es el morir;
allí van los señoríos
derechos a se acabar
  e consumir;
  allí los ríos caudales,
allí los otros medianos
  e más chicos,
allegados, son iguales
los que viven por sus manos
  e los ricos.

  Dexo las invocaciones
de los famosos poetas
  y oradores;
non curo de sus ficciones,
que traen yerbas secretas
  sus sabores.
  Aquél sólo m'encomiendo,
Aquél sólo invoco yo
  de verdad,
que en este mundo viviendo,
el mundo non conoció
  su deidad.

  Este mundo es el camino
para el otro, qu'es morada
  sin pesar;
mas cumple tener buen tino
para andar esta jornada
  sin errar.
  Partimos cuando nascemos,
andamos mientra vivimos,
  e llegamos
al tiempo que feneçemos;
assí que cuando morimos,
  descansamos.

  Este mundo bueno fue
si bien usásemos dél
  como debemos,
porque, segund nuestra fe,
es para ganar aquél
  que atendemos.
  Aun aquel fijo de Dios
para sobirnos al cielo
  descendió
a nescer acá entre nos,
y a vivir en este suelo
  do murió.

  Si fuesse en nuestro poder
hazer la cara hermosa
  corporal,
como podemos hazer
el alma tan glorïosa
  angelical,
  ¡qué diligencia tan viva
toviéramos toda hora
  e tan presta,
en componer la cativa,
dexándonos la señora
  descompuesta!

  Ved de cuán poco valor
son las cosas tras que andamos
  y corremos,
que, en este mundo traidor,
aun primero que muramos
  las perdemos.
  Dellas deshaze la edad,
dellas casos desastrados
  que acaeçen,
dellas, por su calidad,
en los más altos estados
  desfallescen.

  Dezidme: La hermosura,
la gentil frescura y tez
  de la cara,
la color e la blancura,
cuando viene la vejez,
  ¿cuál se para?
  Las mañas e ligereza
e la fuerça corporal
  de juventud,
todo se torna graveza
cuando llega el arrabal
  de senectud.

  Pues la sangre de los godos,
y el linaje e la nobleza
  tan crescida,
¡por cuántas vías e modos
se pierde su grand alteza
  en esta vida!
  Unos, por poco valer,
por cuán baxos e abatidos
  que los tienen;
otros que, por non tener,
con oficios non debidos
  se mantienen.

  Los estados e riqueza,
que nos dexen a deshora
  ¿quién lo duda?,
non les pidamos firmeza.
pues que son d'una señora;
  que se muda,
  que bienes son de Fortuna
que revuelven con su rueda
  presurosa,
la cual non puede ser una
ni estar estable ni queda
  en una cosa.

  Pero digo c'acompañen
e lleguen fasta la fuessa
  con su dueño:
por esso non nos engañen,
pues se va la vida apriessa
  como sueño,
e los deleites d'acá
son, en que nos deleitamos,
  temporales,
e los tormentos d'allá,
que por ellos esperamos,
  eternales.

  Los plazeres e dulçores
desta vida trabajada
  que tenemos,
non son sino corredores,
e la muerte, la çelada
  en que caemos.
  Non mirando a nuestro daño,
corremos a rienda suelta
  sin parar;
desque vemos el engaño
y queremos dar la vuelta
  no hay lugar.

  Esos reyes poderosos
que vemos por escripturas
  ya passadas
con casos tristes, llorosos,
fueron sus buenas venturas
  trastornadas;
  assí, que no hay cosa fuerte,
que a papas y emperadores
  e perlados,
assí los trata la muerte
como a los pobres pastores
  de ganados.

  Dexemos a los troyanos,
que sus males non los vimos,
  ni sus glorias;
dexemos a los romanos,
aunque oímos e leímos
  sus hestorias;
  non curemos de saber
lo d'aquel siglo passado
  qué fue d'ello;
vengamos a lo d'ayer,
que también es olvidado
  como aquello.

  ¿Qué se hizo el rey don Joan?
Los infantes d'Aragón
  ¿qué se hizieron?
¿Qué fue de tanto galán,
qué de tanta invinción
  como truxeron?
  ¿Fueron sino devaneos,
qué fueron sino verduras
  de las eras,
las justas e los torneos,
paramentos, bordaduras
  e çimeras?

  ¿Qué se hizieron las damas,
sus tocados e vestidos,
  sus olores?
¿Qué se hizieron las llamas
de los fuegos encendidos
  d'amadores?
  ¿Qué se hizo aquel trovar,
las músicas acordadas
  que tañían?
¿Qué se hizo aquel dançar,
aquellas ropas chapadas
  que traían?

  Pues el otro, su heredero
don Anrique, ¡qué poderes
  alcançaba!
¡Cuánd blando, cuánd halaguero
el mundo con sus plazeres
  se le daba!
  Mas verás cuánd enemigo,
cuánd contrario, cuánd cruel
  se le mostró;
habiéndole sido amigo,
¡cuánd poco duró con él
  lo que le dio!

  Las dávidas desmedidas,
los edeficios reales
  llenos d'oro,
las vaxillas tan fabridas
los enriques e reales
  del tesoro,
  los jaezes, los caballos
de sus gentes e atavíos
  tan sobrados
¿dónde iremos a buscallos?;
¿qué fueron sino rocíos
  de los prados?

  Pues su hermano el innocente
qu'en su vida sucesor
  se llamó
¡qué corte tan excellente
tuvo, e cuánto grand señor
  le siguió!
  Mas, como fuesse mortal,
metióle la Muerte luego
  en su fragua.
¡Oh jüicio divinal!,
cuando más ardía el fuego,
  echaste agua.

  Pues aquel grand Condestable,
maestre que conoscimos
  tan privado,
non cumple que dél se hable,
mas sólo como lo vimos
  degollado.
  Sus infinitos tesoros,
sus villas e sus lugares,
  su mandar,
¿qué le fueron sino lloros?,
¿qué fueron sino pesares
  al dexar?

  E los otros dos hermanos,
maestres tan prosperados
  como reyes,
c'a los grandes e medianos
truxieron tan sojuzgados
  a sus leyes;
  aquella prosperidad
qu'en tan alto fue subida
  y ensalzada,
¿qué fue sino claridad
que cuando más encendida
  fue amatada?

  Tantos duques excelentes,
tantos marqueses e condes
  e varones
como vimos tan potentes,
dí, Muerte, ¿dó los escondes,
  e traspones?
  E las sus claras hazañas
que hizieron en las guerras
  y en las pazes,
cuando tú, cruda, t'ensañas,
con tu fuerça, las atierras
  e desfazes.

  Las huestes inumerables,
los pendones, estandartes
  e banderas,
los castillos impugnables,
los muros e balüartes
  e barreras,
  la cava honda, chapada,
o cualquier otro reparo,
  ¿qué aprovecha?
Cuando tú vienes airada,
todo lo passas de claro
  con tu flecha.

  Aquel de buenos abrigo,
amado, por virtuoso,
  de la gente,
el maestre don Rodrigo
Manrique, tanto famoso
  e tan valiente;
sus hechos grandes e claros
non cumple que los alabe,
  pues los vieron;
ni los quiero hazer caros,
pues qu'el mundo todo sabe
  cuáles fueron.

  Amigo de sus amigos,
¡qué señor para criados
  e parientes!
¡Qué enemigo d'enemigos!
¡Qué maestro d'esforçados
  e valientes!
  ¡Qué seso para discretos!
¡Qué gracia para donosos!
  ¡Qué razón!
¡Qué benino a los sujetos!
¡A los bravos e dañosos,
  qué león!

  En ventura, Octavïano;
Julio César en vencer
  e batallar;
en la virtud, Africano;
Aníbal en el saber
  e trabajar;
  en la bondad, un Trajano;
Tito en liberalidad
  con alegría;
en su braço, Aureliano;
Marco Atilio en la verdad
  que prometía.

  Antoño Pío en clemencia;
Marco Aurelio en igualdad
  del semblante;
Adriano en la elocuencia;
Teodosio en humanidad
  e buen talante.
  Aurelio Alexandre fue
en desciplina e rigor
  de la guerra;
un Constantino en la fe,
Camilo en el grand amor
  de su tierra.

  Non dexó grandes tesoros,
ni alcançó muchas riquezas
  ni vaxillas;
mas fizo guerra a los moros
ganando sus fortalezas
  e sus villas;
  y en las lides que venció,
cuántos moros e cavallos
  se perdieron;
y en este oficio ganó
las rentas e los vasallos
  que le dieron.

  Pues por su honra y estado,
en otros tiempos passados
  ¿cómo s'hubo?
Quedando desamparado,
con hermanos e criados
  se sostuvo.
  Después que fechos famosos
fizo en esta misma guerra
  que hazía,
fizo tratos tan honrosos
que le dieron aun más tierra
  que tenía.

  Estas sus viejas hestorias
que con su braço pintó
  en joventud,
con otras nuevas victorias
agora las renovó
  en senectud.
  Por su gran habilidad,
por méritos e ancianía
  bien gastada,
alcançó la dignidad
de la grand Caballería
  dell Espada.

  E sus villas e sus tierras,
ocupadas de tiranos
  las halló;
mas por çercos e por guerras
e por fuerça de sus manos
  las cobró.
  Pues nuestro rey natural,
si de las obras que obró
  fue servido,
dígalo el de Portogal,
y, en Castilla, quien siguió
  su partido.

  Después de puesta la vida
tantas vezes por su ley
  al tablero;
después de tan bien servida
la corona de su rey
  verdadero;
  después de tanta hazaña
a que non puede bastar
  cuenta cierta,
en la su villa d'Ocaña
vino la Muerte a llamar
  a su puerta,

  diziendo: "Buen caballero,
dexad el mundo engañoso
  e su halago;
vuestro corazón d'azero
muestre su esfuerço famoso
  en este trago;
  e pues de vida e salud
fezistes tan poca cuenta
  por la fama;
esfuércese la virtud
para sofrir esta afruenta
  que vos llama."

  "Non se vos haga tan amarga
la batalla temerosa
  qu'esperáis,
pues otra vida más larga
de la fama glorïosa
  acá dexáis.
  Aunqu'esta vida d'honor
tampoco no es eternal
  ni verdadera;
mas, con todo, es muy mejor
que la otra temporal,
  peresçedera."

  "El vivir qu'es perdurable
non se gana con estados
  mundanales,
ni con vida delectable
donde moran los pecados
  infernales;
  mas los buenos religiosos
gánanlo con oraciones
  e con lloros;
los caballeros famosos,
con trabajos e aflicciones
  contra moros."

  "E pues vos, claro varón,
tanta sangre derramastes
  de paganos,
esperad el galardón
que en este mundo ganastes
  por las manos;
e con esta confiança
e con la fe tan entera
  que tenéis,
partid con buena esperança,
qu'estotra vida tercera
  ganaréis."

  "Non tengamos tiempo ya
en esta vida mesquina
  por tal modo,
que mi voluntad está
conforme con la divina
  para todo;
  e consiento en mi morir
con voluntad plazentera,
  clara e pura,
que querer hombre vivir
cuando Dios quiere que muera,
  es locura."

  "Tú que, por nuestra maldad,
tomaste forma servil
  e baxo nombre;
tú, que a tu divinidad
juntaste cosa tan vil
  como es el hombre;
tú, que tan grandes tormentos
sofriste sin resistencia
  en tu persona,
non por mis merescimientos,
mas por tu sola clemencia
  me perdona".

  Assí, con tal entender,
todos sentidos humanos
  conservados,
cercado de su mujer
y de sus hijos e hermanos
  e criados,
  dio el alma a quien gela dio
(el cual la ponga en el cielo
  en su gloria),
que aunque la vida perdió,
dexónos harto consuelo
  su memoria.
fatin Oct 2017
menangis dan berontak jiwa muda
melawan prejudis dan komunis
minda anak kecil pula dijajah
katanya ini untuk masa depan
namun mereka lupa dan sentiasa lupa
dunia ini sifatnya selamanya sementara

diktator terus tersenyum
korupsi negeri negeri menjadi bukti mereka kuasa besar
kapal empayar tidak lagi membawa selamat
malah
--membawa mangsa untuk segala seterusnya

rakyat pula umpama anak kecil
terumbang ambing dan terus merengek
gaduh rebutkan yang tak pasti
cuma ada beberapa yang berani, kan kedengaran suaranya
lalu mereka itu dibunuh
agar senyap
agar tiada masalah ditelinga

kelihatan belia itu duduk
menongkat dagu
keluh resah dan bimbangnya kedengaran
berat nafasnya
--lalu berapa lama lagi?
tanda soal yang tidak berjawab di minda nya
umpama terdampar di laut dengan pelampung
menanti untuk diselamat
tapi masih tak pasti.

seru untuk semua yang ada;
yang masih berkudrat
yang masih waras akalnya
--lalu berapa lama lagi?

-f 1029pm oct 2nd
Heme aquí ya, profesor
de lenguas vivas (ayer
maestro de gay-saber,
aprendiz de ruiseñor),
en un pueblo húmedo y frío,
destartalado y sombrío,
entre andaluz y manchego.Invierno. Cerca del fuego.
Fuera llueve un agua fina,
que ora se trueca en neblina,
ora se torna aguanieve.Fantástico labrador,
pienso en los campos.¡Señor
qué bien haces!  Llueve, llueve
tu agua constante y menuda
sobre alcaceles y habares,
tu agua muda,
en viñedos y olivares.Te bendecirán conmigo
los sembradores del trigo;
los que viven de coger
la aceituna;
los que esperan la fortuna
de comer;
los que hogaño,
como antaño,
tienen toda su moneda
en la rueda,
traidora rueda del año.¡Llueve, llueve; tu neblina
que se torne en aguanieve,
y otra vez en agua fina!¡Llueve, Señor, llueve, llueve!   En mi estancia, iluminada
por esta luz invernal
-la tarde gris tamizada
por la lluvia y el cristal-,
sueño y medito.                 Clarea
el reloj arrinconado,
y su tic-tic, olvidado
por repetido, golpea.Tic-tic, tic-tic... Ya te he oído.
Tic-tic, tic-tic... Siempre igual,
monótono y aburrido.Tic-tic, tic-tic, el latido
de un corazón de metal.En estos pueblos, ¿se escucha
el latir del tiempo?  No.En estos pueblos se lucha
sin tregua con el reló,
con esa monotonía
que mide un tiempo vacío.Pero ¿tu hora es la mía?
¿Tu tiempo, reloj, el mío?(Tic-tic, tic-tic...) Era un día
(Tic-tic, tic-tic) que pasó,
y lo que yo más quería
la muerte se lo llevó.   Lejos suena un clamoreo
de campanas...Arrecia el repiqueteo
de la lluvia en las ventanas.Fantástico labrador,
vuelvo a mis campos. ¡Señor,
cuánto te bendecirán
los sembradores del pan!Señor, ¿no es tu lluvia ley,
en los campos que ara el buey,
y en los palacios del rey?¡Oh, agua buena, deja vida
en tu huida!¡Oh, tú, que vas gota a gota,
fuente a fuente y río a río,
como este tiempo de hastío
corriendo a la mar remota,
en cuanto quiere nacer,
cuanto espera
florecer
al sol de la primavera,
sé piadosa,
que mañana
serás espiga temprana,
prado verde, carne rosa,
y más: razón y locura
y amargura
de querer y no poder
creer, creer y creer!   Anochece;
el hilo de la bombilla
se enrojece,
luego brilla,
resplandece
poco más que una cerilla.Dios sabe dónde andarán
mis gafas... entre librotes
revistas y papelotes,
¿quién las encuentra?... Aquí están.Libros nuevos. Abro uno
de Unamuno.¡Oh, el dilecto,
predilecto
de esta España que se agita,
porque nace o resucita!Siempre te ha sido, ¡oh Rector
de Salamanca!, leal
este humilde profesor
de un instituto rural.Esa tu filosofía
que llamas diletantesca,
voltaria y funambulesca,
gran don Miguel, es la mía.Agua del buen manantial,
siempre viva,
fugitiva;
poesía, cosa cordial.¿Constructora?-No hay cimiento
ni en el alma ni en el viento-.Bogadora,
marinera,
hacia la mar sin ribera.Enrique Bergson: Los datos
inmediatos
de la conciencia. ¿Esto es
otro embeleco francés?Este Bergson es un tuno;
¿verdad, maestro Unamuno?Bergson no da como aquel
Immanuel
el volatín inmortal;
este endiablado judío
ha hallado el libre albedrío
dentro de su mechinal.No está mal;
cada sabio, su problema,
y cada loco, su tema.Algo importa 
que en la vida mala y corta
que llevamos
libres o siervos seamos:
mas, si vamos
a la mar,
lo mismo nos ha de dar.¡Oh, estos pueblos!  Reflexiones,
lecturas y acotaciones
pronto dan en lo que son:
bostezos de Salomón.¿Todo es
soledad de soledades.
vanidad de vanidades,
que dijo el Eciesiastés?Mi paraguas, mi sombrero,
mi gabán...El aguacero
amaina...Vámonos, pues.   Es de noche. Se platica
al fondo de una botica.-Yo no sé,
don José,
cómo son los liberales
tan perros, tan inmorales.-¡Oh, tranquilícese usté!
Pasados los carnavales,
vendrán los conservadores,
buenos administradores
de su casa.Todo llega y todo pasa.
Nada eterno:
ni gobierno
que perdure,
ni mal que cien años dure.-Tras estos tiempos vendrán
otros tiempos y otros y otros,
y lo mismo que nosotros
otros se jorobarán.Así es la vida, don Juan.-Es verdad, así es la vida.
-La cebada está crecida.
-Con estas lluvias...
                    Y van
las habas que es un primor.
-Cierto; para marzo, en flor.
Pero la escarcha, los hielos...
-Y, además, los olivares
están pidiendo a los cielos
aguas a torrentes.
                  -A mares.¡Las fatigas, los sudores
que pasan los labradores!En otro tiempo...
                  Llovía
también cuando Dios quería.-Hasta mañana, señores.
  Tic-tic, tic-tic... Ya pasó
un día como otro día,
dice la monotonía
del reloj.   Sobre mi mesa Los datos
de la conciencia, inmediatos.No está mal
este yo fundamental,
contingente y libre, a ratos,
creativo, original;
este yo que vive y siente
dentro la carne mortal
¡ay! por saltar impaciente
las bardas de su corral.
Llegará un día en que la raza humana
Se habrá secado como planta vana,
Y el viejo sol en el espacio sea
Carbón inútil de apagada tea.
Llegará un día en que el enfriado mundo
Será un silencio lúgubre y profundo:
Una gran sombra rodeará la esfera
Donde no volverá la primavera;
La tierra muerta, como un ojo ciego,
Seguirá andando siempre sin sosiego,
Pero en la sombra, a tientas, solitaria,
Sin un canto, ni un ¡ay!, ni una plegaria.
Sola, con sus criaturas preferidas
En el seno cansadas y dormidas.
(Madre que marcha aún con el veneno
de los hijos ya muertos en el seno.)
Ni una ciudad de pie... Ruinas y escombros
Soportará sobre los muertos hombros.
Desde allí arriba, negra la montaña
La mirará con expresión huraña.
Acaso el mar no será más que un duro
Bloque de hielo, como todo oscuro.
Y así, angustiado en su dureza, a solas
Soñará con sus buques y sus olas,
Y pasará los años en acecho
De un solo barco que le surque el pecho.
Y allá, donde la tierra se le aduna,
Ensoñará la playa con la luna,
Y ya nada tendrá más que el deseo,
Pues la luna será otro mausoleo.
En vano querrá el bloque mover bocas
Para tragar los hombres, y las rocas
Oír sobre ellas el horrendo grito
Del náufrago clamando al infinito:
Ya nada quedará; de polo a polo
Lo habrá barrido todo un viento solo:
Voluptuosas moradas de latinos
Y míseros refugios de beduinos;
Oscuras cuevas de los esquimales
Y finas y lujosas catedrales;
Y negros, y amarillos y cobrizos,
Y blancos y malayos y mestizos

Se mirarán entonces bajo tierra
Pidiéndose perdón por tanta guerra.
De las manos tomados, la redonda
Tierra, circundarán en una ronda.
Y gemirán en coro de lamentos:
¡Oh cuántos vanos, torpes sufrimientos!
-La tierra era un jardín lleno de rosas
Y lleno de ciudades primorosas;
-Se recostaban sobre ríos unas,
Otras sobre los bosques y lagunas.
-Entre ellas se tendían finos rieles,
Que eran a modo de esperanzas fieles,
-Y florecía el campo, y todo era
Risueño y fresco como una pradera;
-Y en vez de comprender, puñal en mano
Estábamos, hermano contra hermano;
-Calumniábanse entre ellas las mujeres
Y poblaban el mundo mercaderes;
-Íbamos todos contra el que era bueno
A cargarlo de lodo y de veneno...
-Y ahora, blancos huesos, la redonda
Tierra rodeamos en hermana ronda.
-Y de la humana, nuestra llamarada,
¡Sobre la tierra en pie no queda nada!

Pero quién sabe si una estatua muda
De pie no quede aún sola y desnuda.
Y así, surcando por las sombras, sea
El último refugio de la idea.
El último refugio de la forma
Que quiso definir de Dios la norma
Y que, aplastada por su sutileza,
Sin entenderla, dio con la belleza.
Y alguna dulce, cariñosa estrella,
Preguntará tal vez: ¿Quién es aquélla?
¿Quién es esa mujer que así se atreve,
Sola, en el mundo muerto que se mueve?
Y la amará por celestial instinto
Hasta que caiga al fin desde su plinto.
Y acaso un día, por piedad sin nombre
Hacia esta pobre tierra y hacia el hombre,
La luz de un sol que viaje pasajero
Vuelva a incendiarla en su fulgor primero,
Y le insinúe: Oh fatigada esfera:
¡Sueña un momento con la primavera!
-Absórbeme un instante: soy el alma
Universal que muda y no se calma...

¡Cómo se moverán bajo la tierra
Aquellos muertos que su seno encierra!

¡Cómo pujando hacia la luz divina
Querrán volar al que los ilumina!
Mas será en vano que los muertos ojos
Pretendan alcanzar los rayos rojos.
¡En vano! ¡En vano!... ¡Demasiado espesas
Serán las capas, ay, sobre sus huesas!...
Amontonados todos y vencidos,
Ya no podrán dejar los viejos nidos,
Y al llamado del astro pasajero,
Ningún hombre podrá gritar: ¡Yo quiero!...
Una victoria. Es tarde, no sabías.
Llegó como azucena a mi albedrío
el blanco talle que traspasa
la eternidad inmóvil de la tierra,
empujando una débil forma clara
hasta horadar la arcilla
con rayo blanco o espolón de leche.
Muda, compacta oscuridad del suelo
en cuyo precipicio
avanza la flor clara
hasta que el pabellón de su blancura
derrota el fondo indigno de la noche
y de la claridad en movimiento
se derraman atónitas semillas.
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
Es media noche; la luna
Irradia en el firmamento;
Y riza al pasar el viento
Las ondas de la laguna.

En el bosque secular,
Y entre el tupido ramaje,
Turba el pájaro salvaje
La quietud con su cantar.

Y entre los contornos vagos
Del horizonte, a lo lejos
Brillan cual claros espejos,
Al pie del monte, los lagos.

Yace en paz, sola y rendida
De Tenoch la ciudad bella,
Parece que impera en ella
La muerte más que la vida.

Y no es ficción, es verdad;
Que fue tan triste su suerte
Que la orillan a la muerte
El luto y la soledad.
Su esplendor está apagado
De la guerra al terremoto;
El gran huebuetl está roto
Y el teponaxtle callado.

No alumbra el teocal, la luz
Del copal de suave aroma,
Porque el teocal se desploma
Bajo el peso de la cruz.

No cubren mantos de pluma
Los cuerpos de altivos reyes;
Tiene otro Dios y otras leyes
La tierra de Moctezuma.

Y ante este Dios y esta ley
Que transforman su recinto
Sólo al César Carlos Quinto
Reconoce como rey.

¡Cuántos heroicos afanes!
¡Cuántos horribles estragos
Han visto bosques y lagos,
Ventisqueros y volcanes!

Está el palacio vacío
Sin pompas ni ricas galas;
Desiertas se ven sus salas
Su exterior mudo y sombrío.

Y zumba en su derredor
Sel viento la aguda queja,
Como un suspiro que deja
Honda impresión de dolor.

Es el profundo lamento
De una raza sin fortuna:
¡La sangre que en la laguna
Flota y se queja en el viento!

Por eso duerme rendida
De Tenoch la ciudad bella,
Como si imperase en ella
La muerte más que la vida.
Frente a la anchurosa plaza,
Cerca del teocal sagrado
Y del palacio olvidado
Que pronta ruina amenaza,

Donde con riqueza suma
Viviera, en tiempo mejor,
Axayacatl el señor
Y padre de Moctezuma,

En corta y estrecha calle
Desde la cual, el que pasa
Mira fabricar la casa
Del alto marqués del Valle.

Así en la noche sombría
Como en la tarde callada
Y al fulgor de la alborada
Con que nace el nuevo día,

En toscas piedras sentado
Y con harapos vestido,
Entre las manos hundido
El semblante demacrado;

Un hombre de aspecto rudo,
Imagen de desventura,
Siempre en la misma postura,
Y como una estatua muda,

Inclinada la cabeza,
Allí lo encuentra la gente,
como la expresión viviente
De la más honda tristeza.

¿En qué piensa? ¿Qué medita?
¿Qué dolor su alma destroza
Que ni llora, ni solloza,
Ni se queja, ni se agita?

En su conjunto reviste
Tanta tristeza ignorada,
Que la gente acostumbrada
clama al verlo: «¡el indio triste!»

Le conocen por tal nombre
En el pueblo y la nobleza,
Y dicen: es la tristeza
Que tiene formas de hombre.

A nadie llegó a contar
Su tenaz dolor profundo;
Siempre triste lo vio el mundo
En aquel mismo lugar;

Tal vez fue algún descendiente
De los nobles mejicanos,
Que al ver en extrañas manos
Y en poder de extraña gente

La nación que libre un día
Vivió con riqueza y calma
Sintió en el fondo del alma
Horrible melancolía.

Y sin ninguna amenaza,
Viendo a su nación cautiva,
Fue la expresión muda y viva
De la aflicción de su raza.

Muchos años se le vio
En igual sitio sentado,
Y allí pobre y resignado
De su tristeza murió.

Su desconocida historia
Al vulgo pasma y arredra,
Y en tosca estatua de piedra
Honrar quiso su memoria.

La estatua al cabo cayó,
Que al tiempo nada resiste,
Y «Calle del Indio Triste»
Esa calle se llamó,

Sin poder averiguar
Con ciencia ni sutileza
La causa de la tristeza
Del indio de aquel lugar;

Pero en nuestro hermoso valle,
Y en nuestra mejor ciudad,
Pasan de edad en edad
Ese nombre y esa calle.
Los quince y los dieciocho,
los dieciocho y los veinte...
Me voy a cumplir los años
al fuego que me requiere,
y si resuena mi hora
antes de los doce meses,
los cumpliré bajo tierra.
Yo trato que de mí queden
una memoria de sol
y un sonido de valiente.

Si cada boca de España,
de su juventud, pusiese
estas palabras, mordiéndolas,
en lo mejor de sus dientes:
si la juventud de España,
de un impulso solo y verde,
alzara su gallardía,
sus músculos extendiese
contra los desenfrenados
que apropiarse España quieren,
sería el mar arrojando
a la arena muda siempre
varios caballos de estiércol
de sus pueblos transparentes,
con un brazo inacabable
de perpetua espuma fuerte.

Si el Cid volviera a clavar
aquellos huesos que aún hieren
el polvo y el pensamiento,
aquel cerro de su frente,
aquel trueno de su alma
y aquella espada indeleble,
sin rival, sobre su sombra
de entrelazados laureles:
al mirar lo que de España
los alemanes pretenden,
los italianos procuran,
los moros, los portugueses,
que han grabado en nuestro cielo
constelaciones crueles
de crímenes empapados
en una sangre inocente,
subiera en su airado potro
y en su cólera celeste
a derribar trimotores
como quien derriba mieses.

Bajo una zarpa de lluvia,
y un racimo de relente,
y un ejército de sol,
campan los cuerpos rebeldes
de los españoles dignos
que al yugo no se someten,
y la claridad los sigue,
y los robles los refieren.
Entre graves camilleros
hay heridos que se mueren
con el rostro rodeado
de tan diáfanos ponientes,
que son auroras sembradas
alrededor de sus sienes.
Parecen plata dormida
y oro en reposo parecen.

Llegaron a las trincheras
y dijeron firmemente:
¡Aquí echaremos
raíces
antes que nadie nos eche!
Y la muerte se sintió
orgullosa de tenerles.

Pero en los negros rincones,
en los más negros, se tienden
a llorar por los caídos
madres que les dieron leche,
hermanas que los lavaron,
novias que han sido de nieve
y que se han vuelto de luto
y que se han vuelto de fiebre;
desconcertadas viudas,
desparramadas mujeres,
cartas y fotografías
que los expresan fielmente,
donde los ojos se rompen
de tanto ver y no verles,
de tanta lágrima muda,
de tanta hermosura ausente.


Juventud solar de España:
que pase el tiempo y se quede
con un murmullo de huesos
heroicos en su corriente.
Echa tus huesos al campo,
echar las fuerzas que tienes
a las cordilleras foscas
y al olivo del aceite.
Reluce por los collados,
y apaga la mala gente,
y atrévete con el plomo,
y el hombro y la pierna extiende.

Sangre que no se desborda,
juventud que no se atreve,
ni es sangre, ni es juventud,
ni relucen, ni florecen.
Cuerpos que nacen vencidos,
vencidos y grises mueren:
vienen con la edad de un siglo,
y son viejos cuando vienen.

La juventud siempre empuja
la juventud siempre vence,
y la salvación de España
de su juventud depende.

La muerte junto al fusil,
antes que se nos destierre,
antes que se nos escupa,
antes que se nos afrente
y antes que entre las cenizas
que de nuestro pueblo queden,
arrastrados sin remedio
gritemos amargamente:
¡Ay España de mi vida,
ay España de mi muerte!
Wow babygirl, 6 meses passaram depressa, e antes que eu me desse conta estava verdadeiramente vivo. Cada um desses dias foi único. Cada briga, cada sorriso, cada termo que inventamos, cada momento que tivemos, como você fazendo baby talk várias vezes sem querer, imitar animais (tão fofa imitando uma baleia) fazer os ditos "olhões" pra mim, correr por mim, chorar por mim, lutar por mim, e infelizmente até mesmo morrer por mim. A forma que andamos de mãos dadas meio que nos abraçando, você ter medo da Disney, eu aprender a andar de ônibus, ir na sua casa escondido, contar pros meus pais sobre você, contar pros seus pais que queria ser seu namorado, suas mixes, nossas músicas, coisas sobre o mundo que aprendi, na verdade aprendi muitas coisas sobre mim mesmo com você, algumas bem~ (cordas dizem tudo), eu comecei a amar minha vida por ter você comigo. Errei muito, fiz muitas coisas que sempre vou me arrepender, perdi sua confiança várias vezes té o ponto que estamos, e brigamos MUITO cara, como você costuma dizer não deve ter uma semana que não brigamos. E sinceramente acredito que isso vai mudar logo. Sei que nunca vai esquecer, e sempre vamos falar sobre os meus erros, eu te magoei e seria infernalmente horrível eu te obrigar a guardar tudo dentro de si, eu mereço ouvir essas coisas, são meus erros, e vou passar o resto da minha vida lutando pra me redimir por eles. Espero conseguir...

Ah, acho que devia ter dito isso no inicio, mas esse texto não vai ser separado em 100 coisas, mas vai ser tão bom quanto, e escrito em um dia, um dia pra eu escrever tudo que sinto por você. Sinceramente, acho que nem em mil anos conseguiria...Você me ensinou o que é o amor, e foi muito mais incrível do que eu pensava. Quando era menor, acreditava que se tirasse boas notas eu podia ficar rico e que isso me faria feliz. Mas ai você veio pra minha vida, e me mostrou como estava errado, eu largaria tudo por você, qualquer emprego, qualquer coisa, minha vida é sua, em todos os sentidos que possa imaginar. Eu quero ser tudo que você precisa. E vou sempre ser, ok? Mas, como disse no começo, passou tudo muito rápido. Pra mim, ainda somos como na 6ª série, apenas crianças juntas e se divertindo, eu gostando de você e você gostando de mim. Ainda sinto aquele mesmo sentimento. Você é meu primeiro e único amor, sempre vai ser, e não deve ter coisa melhor que isso. Logo no início mencionei estar verdadeiramente vivo, acho que já te contei isso algumas vezes, mas você me deu todos os tipos de sentimentos, você me fez sentir o mundo e sua beleza; sua beleza, ou seja, você. Você é a minha felicidade, e eu vou viver pra te fazer feliz. Você perdeu a fé em mim, mas eu te prometo, nunca vamos nos separar meu amor, nunca, e definitivamente vamos casar. E espero que essa seja a última vez que se faça necessário pedir, mas...Acredita em mim?

Tenho muito medo de te decepcionar, sabia? Tipo, você vive dizendo que sou perfeito, e que eu sou capaz de qualquer coisa, e que você acredita em mim, mas eu me sinto tão pouco. Não sou sequer capaz de escrever um bom texto pra você. Ou de passar uma semana sem brigar. Provavelmente não vou ter um emprego que te dê orgulho, não vou me sentir perfeito, mas eu também acredito em você, e por isso acredito que eu sou perfeito pra você. Mas isso não muda que eu tenho que me esforçar ao máximo pelo nosso futuro. Quero ficar com você pra sempre meu amor, e dar vários selinhos na sua boca até você sorrir, ou pegar nos seus pés quando você menos esperar, pular na cama e no sofá, brincar com você, namorar com você, comer com você, assistir filmes, tomar leite em pó, te amarrar e várias outras coisas que vamos fazer~ várias coisas, que de pouco em pouco e juntas, vão te fazer feliz.

É impressionante o quanto vivemos, e o quão rápido vivemos, e de pensar que foram apenas 6 meses...e que vamos ficar juntos esse mesmo tempo mais infinitas vezes, 1 ano, 2 anos, 20 anos, para sempre Rebeca.

Feliz aniversário de 6 meses amor da minha vida. (please see notes)
Prom?
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Bapak ... pada senja kali ini , entah mengapa aku ingin saja mengenangmu
kemarin ,aku melihat kau begitu parau ,gelegar suara tawa yg tdk lagi seriang dulu
Wajah keriput sudah tdk semulus dulu sewaktu muda .

Bahkan aku tidak pernah ingat kapan terakhir kali aku mencium keningmu ..
mencium tanganmu
Ya rabb , maafkan
Este domingo triste pienso en ti dulcemente
y mi vieja mentira de olvido, ya no miente.

La soledad, a veces, es peor castigo...
Pero, ¡qué alegre todo, si estuvieras conmigo!

Entonces no querría mirar las nubes grises,
formando extraños mapas de imposibles países;
y el monótono ruido del agua no sería
el motivo secreto de mi melancolía.

Este domingo triste nace de algo que es mío,
que quizás es tu ausencia y quizás es mi hastío,
mientras corren las aguas por la calle en declive
y el corazón se muere de un ensueño que vive.

La tarde pide un poco de sol, como un mendigo,
y acaso hubiera sol si estuvieras conmigo;
y tendría la tarde, fragantemente muda,
el ingenuo impudor de una niña desnuda.

Si estuvieras conmigo, amor que no volviste,
¡qué alegre me sería este domingo triste!
Grave símbolo esquivo.
Grave símbolo esquivo, nocturna
torva idea en el caos girando.
Hámlet frío que nada enardece.
Aquí, allá, va la sombra señera,
allá, aquí, señorial, taciturna,
(señorial, hiperbóreo, elusivo):
fantasmal Segismundo parece
y harto asaz metafísico, cuando
cruza impávido el árida esfera.

Grave símbolo huraño.
Grave símbolo huraño, fantasma
vagueante por muelle archipiélago
-bruma ingrave y caletas de nube
y ensenadas y fjords de neblina-.
Grave símbolo hermético: pasma
su presciencia del huésped de ogaño,
su pergenio de gríseo querube
(del calígene caos murciélago)
vagueante en la onda opalina.

Más lontano que nunca.
Más lontano que nunca. Más solo
que si fuese ficción. Puro endriago
y entelequia y emblema cerébreo:
del antártico al ártico Polo
sombra aciaga de atuendo fatal
-exhumada de cúya espelunca?-,
gris fantasma lucífugo y vago
por el fondo angoroso, tenébreo,
que sacude hosco viento abisal.

Más lontano jamás.
Más lontano jamás. Ciego, mudo,
mares surca y océanos hiende
metafísicos: mástil de roble
que no curva el henchido velamen,
ni el de Zeus zig-zag troza crudo...,
ni se abate ante el tedio, quizás.
Más lontano jamás: Fosco, inmoble
De su hito insular no desciende
y aunque voces lascivas lo llamen.

Juglar ebrio de añejo y hodierno
mosto clásico o filtros letales.
Si Dionisos o Baco.
Baco rubio o Dionysos de endrino
crespo casco de obscuro falerno.
Trovador para el lay venusino.
Juglar ebrio de bocas o vino:
me dominan las fuerzas sensuales
-hondo amor o femíneo arrumaco-
trovador, amadís sempiterno.
Me saturan los zumos fatales
-denso aroma, perfume calino-
del ajenjo de oriente opalino.

Casiopeia de luz que amortigua
fonje niebla, tul fosco de bruma,
copo blándulo, flor de la espuma,
cendal níveo y aéreo...
Cendal níveo y aéreo... La ambigua
color vaga que apenas se esfuma
si aparece... fugaz Casiopeia
peregnina, la errátil Ligeia,
la de hoy y de ayer y la antigua
-entre un vaho letal, deletéreo... -

Casiopeia con ojos azules,
Elsa grácil y esbelta,
Elsa grácil y esbelta, Elsa blonda!
-si morena Xatlí, la lontana-.
Elsa blonda y esbelta, Elsa grácil!
Casiopeia en el mar! Quién Ulises
de esa núbil Calypso! Odiseo
de esa ingrávida Circe temprana
-blonda, ebúrnea y pueril!- Impoluta
Casiopeia -auniendnino su delta-.
Nea Aglae ni arisca ni fácil...
Casiopeia triscando en la onda,
Casiopeia en la playa! Sus gules
labios húmidos son los de Iseo!
Oh Tristán! de las sienes ya grises!
Oh Tristán!: con tus ojos escruta:
¿ves la nao en la linde lontana?

Turbio afán o morboso deseo
sangre y carne y espíritu incendie.
Ebrio en torno -falena-.
Ebrio en torno -falena piróvaga-
ronde, al cálido surco: Leteo
que el orsado senil vilipendie
si antes fuera la misma giróvaga...
-si ayer Paris de Helena la helena,
si ayer Paris, rival de Romeo... -
Turbio afán y deseo sin lindes,
siempre, oh Vida, me infundas y brindes!

Cante siempre a mi oído.
Cante siempre a mi oído la tibia
voz fragante de Circe y Onfalia.
Siempre séanme sólo refugio
pulcro amor y acendrada lascivia.
Bruna endrina de muslos de dahlia,
rubia láctea de ardido regazo!
Lejos váyase el frío artilugio
cerebral ante el lúbrico abrazo!

Casiopeia, los ojos de alinde
muy más tersos que vívidas gémulas
irradiantes: la frente de argento
-flava crencha a su frente,
flava crencha a su frente las alas
si a las róseas orejas los nidos;
frágil cinto; el eréctil portento
par sin par retador e insurgente;
frágil cinto que casi se rinde
de qué hechizo al agobio -tan grato-.
En sus ojos giraban sus émulas
-danzarinas lontanas y trémulas-:
estrellada cohorte: de Palas
la sapiencia, en sus ojos dormidos.
De Afrodita posesa el acento
caricioso. Medea furente...
Salomé, la bacante demente...

Casiopeia danzando.
Casiopeia danzando en la sombra
vagueante, irisada de ópalos:
nefelíbata al són de inasible
rumor lieto, velada armonía
cuasi muda y susurro inaudible
(muelle y tibio, melífico y blando)
para torpes oídos: que asombra
con febril sortilegio, si tópalos
sabio oído: les sigue, les halla,
les acoge, goloso, en su malla,
y en gozarlos su ser se extasía.

Casiopeia de luz.
Casiopeia de luz inexhausta,
halo blondo en el mar de zafiro,
rubia estrella en el mar de abenuz.
Irreal concreción de la eterna
maravilla del cosmos: su fausta
lumbre, siempre, y en éxtasis, miro
de la hórrida, absurda caverna
poeana o guindado en mi cruz.

Casiopeia, eternal Casiopeia,
sutil símbolo, lis, donosura;
su luz fausta y su música, hechizo
de sortílega acción obsesora
e inebriante, muy más que la obscura
flor dormida en las redes del rizo
toisón, urna que ensueño atesora
y el hastío a la vez: Casiopeia
peregrina, la errátil Ligeia,
la de hoy y de ayer y ventura...
Esta es la noche, la fraterna noche,
noche fogosa, noche lustral, noche aladínea: oh Noche en Éxtasis!

    De un viaje absurdo mi sér llega transido:
destrizado mi espíritu señero;
fatigado mi cuerpo que tronchó la borrasca,
me magulló el naufragio contra arrecies y rompientes,
me amorató el cansancio fustigante,
que ensordeció la grita inarmoniosa:
por el aduar sombrío topé encendidas las lumbres temblorosas de tu tienda:
Ya otra ocasión, oh Noche, canté tu amor sin esperanza...!

Canto otra vez al linde de tu tienda,
Noche, Noche Morena...!

    Tú me darás, oh Noche, el tibio asilo
de tu regazo, que perfuman exquisitos aromas:

Yo busco tu refugio, oh Noche, oh dulce Noche,
Noche ligeia -toda sutil encanto-;
oh Noche toda amor, toda supraterrena delicia...!

    has de acoger mi espíritu y mi cuerpo
férvidos, Noche Elegida:

    si a ti me doy, Noche Pura;
si en tus brazos y muslos diamantinos me refugio,
Noche Amorosa;

    si bajo tus constelaciones inextinguibles
-oh nébulas de Andrómeda y Orión-
mi pobre luz humillo, oh Noche Omnisapiente...!

    has de acoger mi espíritu y mi cuerpo,
mi corazón, mi sangre, todo mi sér, oh Noche,
Noche, Noche Elegida!

    Yo te amaré con amor infinito,
Noche Eterna;
    yo te amaré con amor transitorio,
Noche en Fuga;
    yo te amaré con seráfico amor,
Noche Virgen;
    yo te amaré con amor turbulento,
Noche en Ascuas;
    yo te amaré con amor cerebral, inmaterial, fosforescente, irradiante
Noche Metafísica;
    bajo la rósea luz de Venus encendida,
yo te amaré, Noche Insaciable;
    yo te amaré bajo la advocación de la romántica Selene,
Noche Diana;
    pérfido te amaré,
Noche Proclive;
    yo tempestuoso te amaré,
Noche Vortiginosa;
    yo te amaré glacial,
Noche Fría;
    yo te amaré furtivo,
Noche Cauta;
    yo te amaré cantando a gritos mi pasión,
Noche Desafiante;
    tácito te amaré,
Noche Muda.

    Has de acoger mi espíritu y mi cuerpo,
mi sangre, mi corazón, todo mi  sér
-únicos-, Noche Unica,
Noche, Noche Elegida...!

    Yo busco tu refugio, oh Noche, oh pulcra Noche,
Noche ligeia -toda sutil encanto-,
oh Noche toda amor, toda supraterrena delicia...:

Esta es la Noche, la Fraterna Noche,
Noche Amante,  Noche Lustral...: mi Noche en Éxtasis...!!
Favian Wiratno Dec 2018
Semarang; Disini aku merindukanmu.
Katanya tidak ada penyesalan
Nyatanya memang tidak ada harapan
Malam semakin menyeramak,
Pasangan muda-mudi makin memadat.
Bersemara di Semarang katanya.
Biarkalah dia pulang,
Lalu kembalilah setahun kemudian,
Sambil membawa sepercik senyuman sejuta luka.
Trilogi dari 3 Puisi yang dipost 3 hari kedepan. (Part 1)
Como uma gota de água se juntando formando um oceano,
É a cor da esperança azulada desse mar perto dos teus seios,
Nada diferente da saudade das noites loucas perto da água,
Em que vivi momentos eternos para o meu coração,
Não poderia nunca esquecer que aqueci meus anseios junto de ti,
Acreditei na realização dos melhores sonhos perante o teu sorriso,
O teu silêncio confortou-me sempre que precisava de paz e harmonia.
A cor dos teus olhos igual à do meu coração nunca eu vou esquecer,
Como não me esqueço das tuas mãos quentes agarrando o meu corpo,
O teu suspiro suave mantendo-me quente e aconchegado nos teus braços.
Se eu voltar a viver esses momentos para sempre recordar,
Será ironia de um destino permanente e cada vez mais distante,
Mas é essa a verdade que ficou, é difícil ocuparem o teu lugar,
Também porque continua ocupado com as tuas coisas,
O teu cheiro mantem-se impregnado em mim como se fosse hoje,
O som das tuas palavras doces ficou nos meus ouvidos,
E ainda hoje te ouço por vezes nos meus sonhos!
Tudo acabou mal mas não muda a pessoa que tu és!
És exactamente aquilo que te dizia tantas vezes ao ouvido!
Coisas que só eu e tu sabemos e vamos recordando!
Um desejo que estejas bem e guardes de mim boa lembrança!
Se assim for nada que pudesse existir me deixaria mais feliz.

Autor: António Benigno
El lastimado Belardo
con los celos de su ausencia
a la hermosísima Filis
humildemente se queja.

«-¡Ay, dice, señora mía,
y cuán caro que me cuesta
el imaginar que un hora
he de estar sin que te vea!

¿Cómo he de vivir sin ti,
pues vivo en ti por firmeza,
y ésta el ausencia la muda
por mucha fe que se tenga?

Sois tan flacas las mujeres
que a cualquier viento que llega
literalmente os volvéis
como al aire la veleta.

Perdóname, hermosa Filis,
que el mucho amor me hace fuerza
a que diga desvaríos,
por más que después lo sienta.

¡Ay, sin ventura de mí!
¿qué haré sin tu vista bella?
daré mil quejas al aire
y ansina diré a las selvas:

¡Ay triste mal de ausencia,
y quien podrá decir lo que me cuestas!

No digo yo, mi señora,
que estás en aquesta prueba
quejosa de mi partida,
aunque sabes que es tan cierta.

Yo me quejo de mi suerte,
porque es tal, y tal mi estrella,
que juntas a mi ventura
harán que tu fe sea fuerza.

¡Maldiga Dios, Filis mía,
el primero que la ausencia
juzgó con amor posible,
y dispuso tantas penas!

Yo me parto, y mi partir
tanto aqueste pecho aprieta,
que como en bascas de muerte
el alma y cuerpo pelean.

¡Dios sabe, bella señora,
si quedarme aquí quisiera,
y dejar al mayoral
que solo a la aldea se fuera!

He de obedecerle al fin,
que me obliga mi nobleza,
y aunque amor me desobliga,
es fuerza que el honor venza-».

¡Ay triste mal de ausencia,
y quien podrá decir lo que me cuestas!
O coração não mais bate ansioso
Não se queixa se se parte
Mudo, calado,
Pede que me esqueça que existe
E que sucumba,
Muda, calada,
Ao vazio que me toma o peito
Para que nele faça casa novamente.

A cabeça divaga, inquieta,
Queixando-se só de não se queixar
Calada, indiferente,
À impulsividade que me toma
E que me torna,
Feroz, calada,
Num outro animal qualquer
Que me rasga a pele e alma sujas.

Sou presa e predadora nesta Primavera que chega
Não mais borboleta mas fera sedenta
Do sangue que em si mesma corre
Feroz, abafada,
Por drogas rotineiras
E uma cabeça que se não cala
Abafada, empurrada,
Por whiskey rasca e brancos quentes
Caio no ímpasse do quase esquecimento.
O corpo que me prende não é o meu
O Ser, levou-o a nortada
Sou só sentires inexistentes e pensares duvidosos
Matei-me e, impura, continuo a viver
Presa na vida e presa de mim.
Aridea P Feb 2013
Palembang, 6 Februari 2013

Aku ini pohon muda yang ditebang
Roboh

Aku ini kursi rotan yang patah
Rapuh

Aku ini daun hijau yang jatuh
Gugur

Aku ini aku yang Rapuh
Tak tersentuh

— The End —