Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Fahali Machi Nov 2013
Ku terlelap seperti lalu lintas jakarta, berjalan dan berhenti, dari padat menjadi kosong. Yang tak tahu pergi kemana. Gambar-gambar yang lewat begitu saja seperti cepatnya kereta. Lampu-lampu jalan yang menerangi aspal hitam. penjual-penjual yang menjual minuman di lampu merah. Pengamen yang bermimpi membuat kemacetan menjadi hal musikal. Keringat-keringat dibalik helm dan jaket kulit. Tawa-canda dibaluti pendingin didalam mobil. Bis-bis kota dengan kepenuhan penumpang. Orang-orang yang mengumpat jika kau dengar dengan seksama, umpatan mereka begitu indah, tak ada seorangpun di bagian dunia lain mampu menirunya. para pedestrian yang semakin tergeser eksistensinya karena tak ada lagi ruang bagi mereka. Stasiun-stasiun yang nampak menakjubkan ketika sepi. Spanduk-spanduk keagamaan yang dipasang sembarangan sama layaknya dengan iklan-iklan yang berteriak ke telingamu tiap radius 10 meter. aku terlelap bagaikan lalu lintas jakarta. Aku tak tahu kemana.
Rainy nights thinking about Rwanda,
fog seeps out of the woods.
Like smoke, it crawls across the fields.
My head lights attempt to cut through it,
as it intensifies, inhibiting my drive,
but it’s nothing compared to Rwanda.

I arrive at the Mobil,
wait five minutes for the cashier to notice I’m here.
When she does, she hobbles over.
I attempt to buy a pack of backwoods,
my card gets declined,
but it’s nothing compared to Rwanda.

I get in my car,
and have a fit when I can’t find my keys,
but it’s nothing compared to Rwanda.

I begin to drive,
get cut off and curse fellow man,
but it’s nothing compared to Rwanda.

I ***** and I moan,
an entitled little ****,
but I’m alive,


which many can’t say after Rwanda.
Copyright Barry Pietrantonio

I wrote this after watching Hotel Rwanda one night. The title comes from the idea that a motel is a lesser version of a hotel, and my problems are much lesser than the people of Rwandas are, along with many others who experience such brutal violence. Let me know what you think, and if the title works. Thanks!
PJ Poesy Mar 2016
Measure horizon interjecting South Asia
Hammurabi formed Akkadian Nation
Babylonian beast winged lion
upon your cajoled eyes
Mesopotamian feast
a civilization dreaming
under oil fields now known as Iraq
petroleum empowered
How history repeats
in crude circumstances
Assyrian War rages on

Have all temples been replaced by
mosques or filling stations
for Halliburton to gas up?
tanks, projectile convoys
not a winged god amongst them
unless you count Mobil

Babylonia azimuth
combustible tankers horizon
sunrise or sunset
both burn black
We must eliminate this dependence which has caused the fall of humanity, once again.  My sincere condolences to Belgium and all suffering loss. Fueled by greed is this thing fashioned as terrorism. Greed has always worked this way through history. Cloaked in madness it is. Remove the veils of delusion.
Elle Sang May 2018
Sambil mengendarai mobil, aku melirik calar yang menghiasi tangan kananku. Merah seakan salah satu kucingku baru saja mengamuk. Tapi hanya aku dan sebilah pisau di kamar yang tahu itu bukan hasil karya seekor kucing melainkan binatang yang jauh lebih biadab, depresi.
Lampu dijalanan berubah merah, sambil melihat sekeliling aku tersenyum mengamati hiruk pikuk yang sedang terjadi.
Aku jadi rindu perasaan utuh yang lambat laun terkikis waktu dan kalimat-kalimat bernoda.
"Kurang kuat iman sih"
Tak ada kaitannya dengan imanku, sayang.
"Mungkin cuma ada di kepalamu saja."
Dan kepalaku adalah satu-satunya tempat dimana aku tak bisa lari.
"Memang penyebab depresimu apa?"
Karena 1095 hariku tercemar darah, puntung rokok, pecahan gelas, dan caci makian tiada henti. Tak semudah itu untuk keluar hidup-hidup dari kandang singa, harus ada luka yang aku tanggung seumur hidup.
"Apakah kau gila?"
Aku bukan gila, aku baik-baik saja. Hanya ada bagian di dalam sana yang mati dan tak bisa diperbaiki lagi.
Lampu hijau dan klakson dari mobil membangunkanku dari suara-suara itu.
Tapi ketika sudah melaju dengan kecepatan yang nyaman ada satu suara yang muncul lagi, menoreh hatiku.
"Aku tak habis pikir bagaimana seseorang bisa nekat melukai dirinya sendiri sedangkan masih banyak yang bisa dilakukan"
Kalau kau tak paham, tak mengapa.
Tapi aku melakukan itu bukan untuk mati, aku lelah tak merasa apapun karena ada bagian di dalamku yang memang sudah mati.
"Kau mirip banteng ketaton"
Ya, aku marah kalau kau seenaknya menyebut aku gila.
Aku terluka kalau kau seenaknya main hakim sendiri.
Calar itu adalah sebuah pengingat bahwa aku masih hidup.
Untuk mereka, korban kebiadaban depresi.
Kalian tidak sendiri.
ophelia Jan 2019
indahnya kota jogjakarta pada malam itu
tidak seberapa indah dengan
binar mata
dan senyum lekuk bibir mu
pada malam itu,
bising klakson mobil pada kemacatan malam itu bahkan bukanlah perihal yang menggangu. nyaman, bahkan bagiku semua tenang.
teringat jelas bagaimana kita menelusuri kota jogja sambil mendengarkan lagu saat kau menggengam tanganku erat, bagaikan takut kehilangannya.
untukmu Tuan,
sosok yang selalu memberikan ku kehangatan di malam hari disaat semua bergetar kedinginan.
tubuh dan ragamu yang amat ku kasihi,
terima kasih sudah memperlihatkan indahnya dunia yang pernah jahat ini.
padamu Tuan,
aku mengundangmu untuk sejenak meletakan kepala mu dibahuku dan menikmati malam yang indah, berdua.
Coco Sep 2019
Silau mobil menabrak kelopak mataku
Bersandar pada jendela kenangan
Sambil tangan berpeluk pada ruang hampa

Aku melewati bekas tapakan kita, lagi
Aku langsung mengembara melewati waktu

Masa itu, kita duduk berdampingan
Sangat jelas diingatanku
Didalam bis, kita mengobrol
Kau duduk bersandar di bangku mu
Dan aku yang bersandar di jendela

Kau hanya fokus padaku
Menatap ku dengan sabar sambil mendengarkan cerita ku
Bahkan, kalau boleh jujur, pada masa sekarang pun aku masih ingin tatapan itu, lagi

Bagaimana kau tersenyum melihatku berimajinasi
Menyambut segala harapanku

Tuan, aku ingin melihatmu lagi
Adakah celah kesempatan itu?
Masihkah kau sama seperti isi memori ku?
Hope u get the feeling
andenrangs poet Nov 2014
det er altid så
nemt at løse andres problemer
og sige "****! gør det nu"
især når det handler
om noget så banalt og ik
så kompliceret som et opkald
til et andet menneske som endda
foregår igennem et rør
så du ikke behøver at se den anden person
smile og få tårer i øjnene på samme tid
og jeg tør ikke men ringer
alligevel op fuldstændig
monotomt mens jeg holder
vejret og hele min krop eksploderer
som var den lavet af tynd is da din stemme
giver genlyd i mit øre og ber mig om at
indtale en besked for der er noget der er
vigtigere end mig og du har forlagt telefonen
på hylden sammen med dine følelser
mens du overbeviser alle om at jeg ikke
findes derude et sted
og jeg prøver at få fremstammet at jeg
savner dig og at jeg håber
du har det godt
men intet andet kommer ud end smertefulde
og (u)betydelige tårer for jeg
frygter at du nok aldrig vil
være i stand til at sige "i lige måde"
når jeg siger at jeg faktisk savner
dig mere end
jeg nogensinde har savnet nogen
så jeg ligger røret på og får
en meddelse fra instagram
om at en har liket mit billede
af noget helt ubetydeligt fra mit
ih så spændende liv og jeg himler med
øjnene af mig selv når jeg tænker på
at det billede kun ligger der for
at glæde dig så du måske vil tænke på
mig igen og min mobil ringer konstant
men kun i mit eget hoved
og jeg tror jeg er ved at gå fra
forstanden for de eneste
ubesvarede opkald jeg har er
aldrig fra dig og dem du har er
altid fra mig
hvad gør man når taletiden er opbrugt?
Skylar Bouchard May 2016
Easy-going energy moguls at Exxon Mobil,
Insidiously sip scotch in their ivory towers,
They take no blame for the blame is ours,
We, the worker bees, were employed to **** the soil,
Little did we know it was the hallowed ground under our very own families feet,
Now we look towards our homes and see nothing but ash and hell fire,
Our collective youth and countless hours of precious life,
Traded for false abundance and counterfeit wealth,
When it all burns will you still care about your bank account?
Written by Skylar Bouchard. All Rights Reserved.
C S Cizek Dec 2014
8:55 A.M.
Wednesday,
December 3, 2014

Eyes dry, stagnant like a box fan
in a windowless room in summer.
Del Monte plastic blades—black
on the serrated side—dice rotting
pizza tomato trash air.

Stomach like a battery acid pond.
Flannel, Dockers, hair slicked
tight like road signs, tossing oyster
crackers to acid ducks. The sky's
on fire.

Clouds textured like *******
and never-ending like Escher.

Jet planes carry ***** comatose
patients into the sun to burn
out like a light bulb
a few flickers of life gone.

Hands dry, faulted like missing
bathroom tiles at Exxon-Mobil/
Sunoco/Shell beneath the metal
sink where crabgrass sprouts
from the cracks like

cheap caulk from Second-Hand Hardware.
Bent nails, rusted patching trowels,
ants in the quick-dry drywall mix.

I'll never reach Nirvana.
Mateuš Conrad Nov 2015
i wish i could ******* like a stephen king once in a while, but then my imagination sometimes gets a kick in the **** from delusional thinking, this the antidote to "a lack of imagination," this the artistic equivalence to a magician's trick, the illusionary works of sawing a woman in half; the many times i spilled some whisky on it... it happens... it happens so automatically that it's sometimes terrifying; now to find that cognitive anchor... ah, here it is: i.*

th- following l-tt-rs hav- b--om- -isabl--

e
c
d
3 / ω


on my k-yboar-,
h-n- th- hyph-nation.

p-rhaps to slow m- -own,
or what-v-r r-ason th-r- is to it,
-onstru-ting a n-w -nigma?

so th- r-ason w-str-n so-i-ty is
-xp-ri-n-ing
a flux of pr-matur- --m-ntia
is --u to population siz-

an- th- young on-s b-ing for---
into a -ompl-x worl-
of s-rious maths an s-rious -h-mistry:
so mu-h th-ory
an- th-n only giv-n bor--om among
banaliti-s of r-p-at r-p-at -
-ompl-x th-ori-s
to b- thrown into a worl- of -istill-ri-s

whisk-y an- vo-ka typos of
form-r -ompl-xiti-s
r-quiring p-rfum-s to say th- l-ast... -st-rs:
sw--t aromati- -h-mistry.

but from th- -r-am worl-:
1. paint s-otlan- with 3 r-- strip-s
2. paint -nglan- with 3 blu- strip-s
3. op-n a win- bottl- with a mat-hsti-k
    an- fin- -arth in th- bottl-: mu--y
    grit, soil.
4. ov-r h-ar talk of my -at-gorisation
    of th- anglo-slav; as a -hat up lin-.

o-- thing is... it's only th- lin-
      3 / £
             E
               D
                 C

t--hnophob- m-, th- oth-r 3 works though...
on th- mobil-:
                        7 8 9
                        4 5 6
                        1 2 3.
NURUL AMALIA Aug 2017
coba jelaskan lagi
waktu itu saat kau bilang sesuatu
hatiku sulit mencernanya
seperti kalimat kiasan yang coba kumaknai
ada apa dibalik tirai itu?
lihat aku malu
angin menertawakanku

aku ingin mendengarnya lagi
suara dari hatimu
waktu itu suara mobil memecah pendengaranku
aku tatap saja bingkai itu
nadiku berletup cepat
lalu kau tersenyum
Diksimerindu May 2019
Jiwa yang berlalu lalang
Dibawah ratusan ataupun ribuan
Payung hitam yang mengembang
Berlindung dari jeritan nestapa
.
Hanya tersisa kantuk yang menguap
Di sepanjang trotoar jalan
ataupun dalam kemacetan
dan asap rokok yang mengepul
di pinggir halte bus yang ramai tak jelas
.
Sesekali, seseorang akan menoleh
Dari jendela mobil dan berkata
"Aku tak melihat apa-apa"
Lalu tenggelam dalam sinisnya
Diantara bising klakson mobil
Ataupun kesibukan siluet kota
.
Layaknya seperti papan reklame
Yang terpampang nyata
Dengan warna monokrom
"Selamat datang bagi pendatang baru, dan Selamat tinggal."
Michael Marchese Dec 2017
The charlatans are back again
With bombs to drop from ballpoint pens
Jerusalem Leviathans
Since lions ate the Zion movement
Now Big Ben is crumbling
And mumbling some skittish Yiddish
To some pig anti-Semitic
Who the critics just diminish as dominions of the British who still commonwealth the nations with their Exxon Mobil stations
While the colonies are sick and medicated on these rations, pullin’ racist colored race cards when the kingdoms of creation are the real abominations that the oligarchs of Noah’s arks still preach to seal your fate in
Coffer coffins of the status quotient tokenism banquet, stuffin’ off shore banks with patients who are drowning in malaises
As the taxing burden raises for the barely makin’ raisins in the sun to have some fun go fundin’ Contras cappin’ convents full o’ nuns, don’t get it twisted sister act, I’m coming strapped with Warsaw Pact because the cops be cappin’ rappers when they packin’ artifact on all the fiction superstition
Burning question abolition
Voodoo economic prison cells
Still selling us religions
Of democracy and freedoms makin’ edens
In the middle eastern promise lands
Just broken dreams and neverlands
Cuz no mans makes a stand or plan
To ban these ku klux clan Greenspans
ZZ Mar 2018
lagi, ingin ku menyalahkan takdir yang menyeretku kaki demi kaki
saat kusadari, kaulah hening yang tercipta di setiap kata sunyi.
ku harap kau yang ada di sini, jiwa dari tempat yang tiap hari kita datangi.
kali ini hanya ada suara jangkrik yang kegirangan
karena aku mulai terhanyut sepi.

kucoba abaikan tapi ada kosong yang selalu mengajakku kembali
“sini menangis lagi, aku tau kau tak sekuat ini”
tak apa, malam nanti kita akan bersua
dalam malam yang enggan berdusta
kuharap aku sedang mati,
tapi hanya terdengar ejekan raungan knalpot mobil yang tak peduli.

-“Aquarium kaca”, 17 April 2017
juga dapat dibaca di https://tintaqabila.wordpress.com/2017/04/29/kaki-demi-kaki/
Donna Jun 2017
I've been at work all day
And I cannot move
So instead I write poetry
And get into the groove
No wait a minute
I don't know what to write
Everything is blank
It's gone out of sight
So i stuff my mouth
With lots of yummy food
Putting me in
A most fabulous mood
I sit and think
About my journey home
And i must admit
I love my mobil phone
But I look outside
Where nature lives
And it's so dam beautiful
It whole heartily gives
The day still light
I can see the trees
Green leaves are dancing
In summers sweet breeze
Magpies zoom
Across blue sky
Under fluffy clouds
Not to high
Even the bees
Buzz on by
Looking for honey
Busy little guys
Daisies bloom
In a bush of weeds
A trio of geese
All in a lead
Car windows open
Loud music blaring
Singing along
Good times sharing
Big fat lorries
Sandwich me in
But my son's car is nifty
With an invisible fin
Over a bridge
We slowly go
Built up traffic
Is so slowwwwwww..
Mums and babies
In a park having fun
Horses in field
Enjoy warm sun
Night draws in
Stars begin to shine
And though the moon is halved
It still looks fine
Writing things down
Is a lovely way to express
It sure helps me
Unwind and de-stress
Normally I don't write long poems but feel inspired tonight as it helps me unleash my mind to get to my Great love 'An haiku' x

— The End —