Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Quick to anger, quicker to hate
Leaves nothing up to fate
Fate fails time and again
So destiny did he take into his own hand
Never again will love be lost
Never again shall his heart be covered with frost
Running around for eons, not having a home
Finally a place to settle, a love to call his own
Kaos knew no love for so long
He knew that is must've been wrong
To not have someone by his side, bringing order to all he has wrought
He lives now, still, and cannot be bought
Kaos the Wolf, he is known to almost none
But The God of Chaos he is, as Odin named him so
Kaos remembers all, yet cannot say 'no'
When the Allfather beckons and calls
Kaos knows he must listen, lest he causes his own fall
Chaos must be caused there is no other to do it
So Kaos raises his head and howls out remembering every bit
To his love, his mate, Kaos looks, tears in his eyes
Waiting for her to beckon and tell him they'll never say their goodbyes
All is well as she pats his head
"Silly wolf, I'll never leave your side," she said.
A wolf named Kaos runs to and fro'
Howling and bellowing this wolf needs his home
Unlike Odin's wolves, Geri and Freki, Kaos cannot live on blood and wine alone
Kaos lives on his love and home, far from being alone
The wolf named Kaos cannot live on blood and wine alone
The wolf named Kaos needs his love, and needs his home.
andenrangs poet Sep 2014
jeg bevarede roen
lige indtil jeg river mine
nye nylonstrømper
på et rusten søm
husk dit pas og
husk din frakke
det kan være koldt
og måske vil det
regne men vi
ved det ikke så
husk også en paraply
jeg drukner i ord
om blå sygesikring
kommafejl og fejlagtige
billeder på snapchat
med misforståede ord
så jeg sætter mig
på tæppet
og er ligeglad
mens jeg ser mine
følelser gå
op i røg
og slukker
for min
kaos maksine
fanden tage snapchat og kommafejl.
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang *****. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)
nick armbrister Sep 2021
The Big Boss
My manager is a locust brain
He doesn’t know what he’s doing

My manager is a locust brain
The job is kaos when he’s in charge here

My manager is a locust brain
Production takes a dip under him

My manager is a locust brain
He got the job by kissing arses

My manager is a locust brain
The supervisor is much more skilled

My manager is a locust brain
I ignore him due to his utter ineptitude

My manager is a locust brain
Even the toilet cleaner hates him!

My manager is a locust brain
Because he can’t read or write

My manager is a locust brain
Due to his lack of experience and *****

My manager is a locust brain
Simply because he’s my manager

My manager is a locust brain
And we’re gonna set him on fire!

My manager is a locust brain
Is my manager no longer cos he’s dead!
nick armbrister Jul 2021
Coined Up
Maybe we will all be dead in 6 months
Due to being jabbed up with the vac
Which was to stop the CCP Virus
But it backfired due to the mushrooms
Which are a toxin and **** in many ways
Only the rabid anti vaccers will live
In a kaos driven world of lunatix
Do you want to exist then and there?
Toss a coin get a jab wait and see
Marolle Nov 2015
det kan mærkes i maven og hjertet
det gør ondt som bare fanden
det kommer i jag og forsvinder langsomt
denne tomme følelse af noget
der burde være der men ikke er
denne tomme følelse af savn
til noget man ikke kan sætte en finger på
savn af selskab, savn af kram,
savn af nogen der mærker på min sjæl
savner ikke den overfladiske socialisation
hvor jeg pænt sidder og lytter
for sådan er jeg opdraget
”bla bla bla, mine problemer bla bla bla,
men hvordan har du det egentlig, Maria?”
min svar er altid ”det har jeg ikke tænkt over”
for det har jeg ikke, det er ikke en løgn
har travlt med at få styr på alt det lort
som folk bliver ved med at læsse af på mig
alle deres problemer med boligselskaber,
mennesker de ikke kan lide, pengeproblemer,
drengeproblemer, arbejdsproblemer,
skoleproblemer, venneproblemer
jeg er træt
og det er først når jeg er alene
at jeg kan mærke hvordan jeg har det
mærke mig selv og mærke ensomheden
mærke min sjæl  
og den skræmmer mig
jeg ved ikke hvem jeg skal sige det til
eller hvordan jeg skal forklare det
”hej, jeg har det ad helvede til,
der er en klump af kaos, ensomhed og
noget andet ubeskriveligt der trykker
inde i min mave”
for hvad ville folk ikke tænke
Maria er altid glad, *** vil altid lytte
*** smiler frejdigt og laver hendes ting
men sådan er jeg slet ikke
jeg er i stykker

*(Marolle)
This sorrow compleats me
like fuel to the flames
you anger it feads me
I'll forever play you're games

I'm barried in kaos
and I not break free
or dig myself a little hole
so that I mat breed

I'm suffercated from you
you've swon thes bright eyes blind
now I'm invisabul

Without you
you're the only thing that's mine

this sorrow it is me...
This poem makes me wanna puke
Muzaffer Feb 2019
Aşkın
ömrü uzattığın inanmıyorum
fakat
ayrılığın kısalttığına eminim..

Kaç
yağmur kaldı yüzümüzde
toprağa düşmeyi bekleyen?
Hazel Mar 2018
Blodsprængte øjne, fordi sprittens syndere
befamler min krop.
Længslens læske drikke, af blod, sved, og kaos. KLAMT.
Væsken danser ned i svælget, ombestemmer sig ikke.
Smagen er KLAM, følelsen ligegyldig. Endeløs og ligegyldig.
Jeg har diskofjæs, Grønne, røde, og blå lyssilhouetter
banker på ydersiden af mit indre.
Gid du var ligegyldig!
-Hazel
KajK Jun 2015
Jeg er farveblind
Men holder for rødt

Mens du får fartbøder
For grønt
Og ensomheden ikke skænker noget i dit ellers tomme glas

Den skænker og overfylder
Mit i forvejen fyldte glas
Hvori min nedtrykte jalousi befinder sig

Den overfalder mig
Og jeg snubler i ord
Som kun tænkes i tanker

Et virvar
Et kaos
Et uendelig langt forspring
Som jeg
Aldrig
Ville kunne indhente

En undskyldning
For en manglende egenskab
Som jeg kun ejer svagt
Som du kun ejer kraftigt
Jeg ved det
Matthew Mckeown Jun 2018
The death of discourse on
the minds of elite professors,
free speech slain-

highly educated zombies.
feeding on
un-maturated brains

Safe spaces created with
the mantra- see no evil,
hear no evil, speak no evil,

all the while inciting
riots and kaos, fomenting
campi upheaveal

Learning being crucified
the latest fad-
intellectual suicide...
T2m Aug 2014
Born to the certainty of dying
Then where is the reason for trying?
Striving to keep and guard this already lost life
Is it the yearning to live for just another day?
Or an effort to evade death?
- A lost battle even from the onset -
Or the fear of death itself?
I say, it is because man was not meant to die
But looking at the cards in hand
Die we must
Then why all the fuss?
We are a people like that.

The tricks life on us
He puts us into different skin tone
Different tongues
And places us on different points of the earth
The subtle differences that have turned us into gladiators
Earth the arena
And life the emperor.
Our clashes and wars
His entertainment
Our sorrow and pain
His pleasure
The differences that should've been complementary
Have brought us immeasurable kaos and calamity
We are a people like that.

Imagine a world where everything is the same
Gender, human beings only dividing line
But everything else, the same
Same skin tone and tongues
Same faces and same names
All men called Johns
And women, she-Johns
Imagine the boredom of such a monotonous world.
I guess being different is beautiful after all.
And maybe, that is why we are a people like that.
Laura Amstutz Feb 2019
Mig, jeg kaster skovle efter angsten

Kaster mig ud i diverse dårlige ideer

Kaster kroner i brønde der alligevel er tørre

Kaster karamelpapir til fuglene så de dør

Så de mærker alle andres lidelser og længsler

Kaster konkylier tilbage i havet fordi de
ikke skal have lov til at være andetsteds
end hvor de hører til

Kaster kabaler i kloakkerne så de kalder på mig
i takt til klapsalver

Klapper ude af takt

Klapper du af mig når jeg kvajer mig?

Klapper du af mine dårlige ideer og
konsultationer med kroppens
indre kaotiske kaos

Når jeg ikke selv kan konfrontere mig
selv?

Knuser kantstenens kølige, spørgende higen
efter mit latterlige liv
skarp sårbarhed

                      du stikker dig selv

  det, at du ikke kan få mast dig selv ind i denne verdensorden
            er et sundhedstegn

det klæder ham at blive forladt

     brudstykke


                            alt for mange lider af planlægning

                 nutidens dagsorden:
                                                         eliminer kaos, impuls, LYST

done!
Miruki Runa Oct 2015
He was the one to bring us together.
How symmetric for the same to draw us apart.
A shifting magnetic field.
Once positive. Then not.

How odd.
What went in came out.
Nothing gained nothing lost.
But the matter itself - a kaos.

Like a storm.
Inside you feel change.
But at the end nothing lost nothing gained.
All the same matter, just scarred, rearranged.

Was the fight worth the storm?
Was there a point?
If it took away
the friends that it brought?

I thought he was the story.
Really, he was just the opening shot
that started the battle
of the beautiful friendship of us.

Like a hot day, like a cold night
seemed it would always last.
But finally, also like them
the same <he> brought <it> to an end.

Like a storm.
Inside you feel change.
But at the end nothing lost nothing gained.
All the same matter, just scarred, rearranged.

Was the fight worth the storm?
Was there a point?
If it took away
the friends that it brought?
Čortoloman Mar 2018
Neutralnost je neutralna. Nije mir ni kaos, već nijedno. Nije bog ni bez boga. Nije ni jedno. Nije ni sreća ni ljubav ni tuga ni mržnja, već ni jedno. Informacija i znanje, ignorantnost i podatak. Isto je. Postojiti ili ne. Isto je.
et behov for noget ukendt
          ukontrolleret,
ukontrollerende

   ønsket om ændring
om kontroltab
    om kaos
Colin tyson Sep 2020
How I beg for some peace just a moment or 2
A bit of clarity in the confusion that is you
We fight everyday over the simple things.
yet you never let me win.
You hold me hostage with your disbeliefs.
That i fear I will never be free.
O how I wish for some silence just a moment or 2
Just a brake from the kaos that is you
You drive me crazy with your negative thoughts.
From morning till night you keep me in a spin even when i sleep you wont give in.
How I beg for some peace just a moment or to a bit of clarity in the confusion that is you
MARK RIORDAN May 2020
I AM SICK AND TIRED OF TRUMP
JOE BIDEN YOU MUST WIN
TAKE DOWN TRUMPS PRESIDENCY
BEFORE ANOTHER TERM BEGINS



ITS BEEN FOUR YEARS OF TURMOIL
KAOS AND TOTAL DESTRUCTION
FOR  AMERICA AND ITS CITIZENS
JOE YOU HAVE YOUR FINGER ON THE BUTTON


mark riordan poetic avenger facebook

trump2020007 you tube videos to vote with
200 videos on trump a must view

— The End —