Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Lay me doon in the caul caul groon
Whaur afore monie mair huv gaun
Lay me doon in the caul caul groon
Whaur afore monie mair huv gaun

It was silent. His body sunk into the earth.
His soul long gone from there. He had died
A gun upon his arms.

When they come a wull staun ma groon
Staun ma groon al nae be afraid

He had died with a home that his dream would
live on.

Thoughts awe hame tak awa ma fear
Sweat an bluid hide ma veil awe tears

Later they had told us he had died with courage
and valor.

Ains a year say a prayer faur me
Close yir een an remember me

The shots continue he fell by the
tenth.

Nair mair shall a see the sun
For a fell tae a Germans gun

A ******* grasped in his stone
cold hand

Lay me doon in the caul caul groon
Whaur afore monie mair huv gaun

He saw a line of faces, brown, black
and white. Some were smiling others,
crying

Lay me doon in the caul caul groon
Whaur afore monie mair huv gaun

His body sunk into the cold, wet ground
As God opened his arms, for a boy
drenched in blood.

Whaur afore monie mair huv gaun*

A group waited in the wings. Soldiers
from many places. Who fought to keep
their shores safe.
Thank You
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Manas Madrecha Jun 2015
English Transliteration - Satya Sarvopari Sarvaat

Jhoot bolna aam ** gaya, par mahimaa satya ki kam naa aanknaa,
Bheetar ki naitiktaa ko, vivek-nayan se zaroor jhaank naa...

Man aur vani ki akhandta, vibhakt ** ne naa denaa,
Jhoot par avalambit **, swa-nistha khone naa denaa...

Kapat aacharan ko apnakar, aarthik sukh hi paaoge,
Sabal charitra banaa lo gar, toh nityaanand tak jaaoge...

Vani par jiske satya sadaa, vachan shakti siddh hogi,
Mukh se upji har shabdaavali, vaastav mein sanghatit hogi...

Abhisandhi ka gar karo prayog, jo logo ko sambhramit kare,
Toh unki nahi, tumhaari mithya, jo aatm ko hi dooshit kare...

Jab jab kanth kare dhwani, prajwalit ** satyajyoti se har baat,
Jhoot gaun samaksh uske, satya sarvopari sarvaat...

- - - - -

English Translation - Truth is above everything

Speaking lies have become common, but don't underestimate the significance of Truth,
Do peep into your inner morality through the eyes of conscience...

Do not let the integrity of Mind & Speech be dissected,
By adhering onto fallacy, do not let your self morale be lost...

By embracing fraudulent behavior, you will only get monetary pleasure,
But if you build a brawny (strong) Character, you will go till Eternal Happiness (Salvation) ...

The one who always has Truth on his Speech, the force of oration will become effectual,
Every vocabulary out from his mouth, will constitute into Reality...

If you do use deceit, for misapprehending the people,
Then the illusion is not theirs, but yours, for it pollutes your own self...

When ever the throat makes sound, let every talk be illuminated with the light of Truth,
Lie is inferior in front of it, Truth is above every thing...

- - - - -

Original Poem - सत्य सर्वोपरि सर्वात्

झूठ बोलना आम हो गया, पर महिमा सत्य की कम ना आंकना।
भीतर की नैतिकता को, विवेक-नयन से ज़रूर झांकना।।

मन और वाणी की अखंडता, विभक्त होने ना देना।
झूठ पर अवलंबित हो, स्वनिष्ठा खोने ना देना।।

कपट आचरण को अपनाकर, आर्थिक सुख ही पाओगे।
सबल चरित्र बना लो गर, तो नित्यानंद तक जाओगे।।

वाणी पर जिसके सत्य सदा, वचन-शक्ति सिद्ध होगी।
मुख से उपजी हर शब्दावली, वास्तव में संघटित होगी।।

अभिसंधि का गर करो प्रयोग, जो लोगो को संभ्रमित करे।
तो उनकी नहीं, तुम्हारी मिथ्या, जो आत्म को ही दूषित करे।।

जब जब कंठ करे ध्वनि, प्रज्वलित हो सत्यज्योति से बात।
झूठ गौण समक्ष उसके, सत्य सर्वोपरि सर्वात्।।

© Poem by Manas Madrecha
This poem was first published on the blog 'Simplifying Universe'
(http://www.simplifyinguniverse.blogspot.com) in May, 2015.
Edna Sweetlove Dec 2014
Ah wuz lookin oot o' mah winder and ah saw this lad
wi' a barry wee lassie gaun' up the hill.
-Wair the **** d'ye think you're gaun tae? ah yells oot.
But the daft ***** didnae answer at aww,
must've been oot o' thir ****** heids wi' E's or summat,
d'ye ken what ah'm tellin' ye,ye daft radge?
-Wair ye're ******* going? ah yells a couple mair times
and finally the gadge yells back to ays,
-Up the ******* hill tae fetch a pail o' ******* watter,
me Ma's hud her ******' taps turned oaf by the ******' Corporation,
which is a ******* pain in the erse ah had ter agree.
I realised ah knew the wee **** Jack but,
eh wuz an auld classmate of ays and eh's hung oot wi' ma brar n me,
when we wuz bairns oan the Scheme,eh?

-That's a bonny wee lassie ye've goat wi' ye, there Jack, ah yelled,
thinking ah'd nae kick her oot o' mah scratcher
withoot gi'ing her a guid ride.
Ah huvtae sey ah recognised hir as a wee ****
called Jill from the Scheme, a right tidy wee ride
in mah opinion wi' a guid little ***** on hir, as ah recall.
-Mind ye're own ******' business, the **** yells back at ays,
takin' the pail in yin hand and the ****'s wee hand in the other yin.

Ah can tell ye ah totally pished meself wi' laughter
when the pair o' they wide ***** fell doon,
Jack breakin' his ******' croon n the groond,
ah'm sure he nivver meant it tae happen,
'n eh mustae squashed his ******* bawws
as eh fell doon n aww from the wey he screamed oot,
but the wee lassie cam tumbling doon the ****** hill n aww,
heid n **** oor her ******' erse
'n ah could see she wasnae wearin' any ****** *******
'n her ***** was on display under her skirt.
Ah wouldnae expect anything else from a wee ****,eh?

-Dinnae worry, ah'll com and help ye, ah called oot,
but when ah goat thir, both o them wis deid,
ah thoat o' gittin mah hole wi' the deid lassie n aww,
but you shouldnae dae that, it's no respectful tae wimmin,
'n eywis, the polis might trace me through the DNA,
those ***** are clivvir 'n aw, ye ken.
So ah contented mesel' wi' rummidging through the poakits
o' the lad's jaykit tae see if eh hud ehs payment from the Joab Centre,
but the daft **** mustae spent it aww on a boatil or two o Grants,
ah ken ah'd hae done the same mahsel'.
And there wasnae a penny in the lassie's purse,
so ah thoat ah'd jus' **** oaf doon the ******
'n ask some **** tae call the hoaspital and the ****** polis.
Eh?
This tribute to Irvine Welsh, Scotland's most successful living novelist, is my masterpiece.
A note of seeming truth and trust
                      Hid crafty observation;
                And secret hung, with poison’d crust,
                      The dirk of defamation:
                A mask that like the gorget show’d
                      Dye-varying, on the pigeon;
                And for a mantle large and broad,
              He wrapt him in Religion.
                   (Hypocrisy-à-la-Mode)


Upon a simmer Sunday morn,
     When Nature’s face is fair,
I walked forth to view the corn
     An’ ***** the caller air.
The risin’ sun owre Galston muirs
     Wi’ glorious light was glintin,
The hares were hirplin down the furrs,
     The lav’rocks they were chantin
          Fu’ sweet that day.

As lightsomely I glowr’d abroad
     To see a scene sae gay,
Three hizzies, early at the road,
     Cam skelpin up the way.
Twa had manteeles o’ dolefu’ black,
     But ane wi’ lyart linin;
The third, that gaed a wee a-back,
     Was in the fashion shining
          Fu’ gay that day.

The twa appear’d like sisters twin
     In feature, form, an’ claes;
Their visage wither’d, lang an’ thin,
     An’ sour as ony slaes.
The third cam up, hap-step-an’-lowp,
     As light as ony lambie,
An’ wi’ a curchie low did stoop,
     As soon as e’er she saw me,
          Fu’ kind that day.

Wi’ bonnet aff, quoth I, “Sweet lass,
     I think ye seem to ken me;
I’m sure I’ve seen that bonie face,
     But yet I canna name ye.”
Quo’ she, an’ laughin as she spak,
     An’ taks me by the han’s,
“Ye, for my sake, hae gien the ****
     Of a’ the ten comman’s
          A screed some day.

“My name is Fun—your cronie dear,
     The nearest friend ye hae;
An’ this is Superstition here,
     An’ that’s Hypocrisy.
I’m gaun to Mauchline Holy Fair,
     To spend an hour in daffin:
Gin ye’ll go there, you runkl’d pair,
     We will get famous laughin
          At them this day.”

Quoth I, “With a’ my heart, I’ll do’t:
     I’ll get my Sunday’s sark on,
An’ meet you on the holy spot;
     Faith, we’se hae fine remarkin!”
Then I gaed hame at crowdie-time
     An’ soon I made me ready;
For roads were clad frae side to side
     Wi’ monie a wearie body
          In droves that day.

Here, farmers ****, in ridin graith,
     Gaed hoddin by their cotters,
There swankies young, in braw braidclaith
     Are springin owre the gutters.
The lasses, skelpin barefit, thrang,
     In silks an’ scarlets glitter,
Wi’ sweet-milk cheese in mony a whang,
     An’ farls, bak’d wi’ butter,
          Fu’ crump that day.

When by the plate we set our nose,
     Weel heaped up wi’ ha’pence,
A greedy glowr Black Bonnet throws,
     An’ we maun draw our tippence.
Then in we go to see the show:
     On ev’ry side they’re gath’rin,
Some carryin dails, some chairs an’ stools,
     An’ some are busy bleth’rin
          Right loud that day.


Here some are thinkin on their sins,
     An’ some upo’ their claes;
Ane curses feet that fyl’d his shins,
     Anither sighs an’ prays:
On this hand sits a chosen swatch,
     Wi’ *****’d-up grace-proud faces;
On that a set o’ chaps at watch,
     Thrang winkin on the lasses
          To chairs that day.

O happy is that man and blest!
     Nae wonder that it pride him!
Whase ain dear lass that he likes best,
     Comes clinkin down beside him!
Wi’ arm repos’d on the chair back,
     He sweetly does compose him;
Which by degrees slips round her neck,
     An’s loof upon her *****,
          Unken’d that day.

Now a’ the congregation o’er
     Is silent expectation;
For Moodie speels the holy door,
     Wi’ tidings o’ salvation.
Should Hornie, as in ancient days,
     ‘Mang sons o’ God present him,
The vera sight o’ Moodie’s face
     To’s ain het hame had sent him
          Wi’ fright that day.

Hear how he clears the points o’ faith
     Wi’ rattlin an’ wi’ thumpin!
Now meekly calm, now wild in wrath
     He’s stampin, an’ he’s jumpin!
His lengthen’d chin, his turn’d-up snout,
     His eldritch squeal and gestures,
Oh, how they fire the heart devout
     Like cantharidian plaisters,
          On sic a day!

But hark! the tent has chang’d its voice:
     There’s peace and rest nae langer;
For a’ the real judges rise,
     They canna sit for anger.
Smith opens out his cauld harangues,
     On practice and on morals;
An’ aff the godly pour in thrangs,
     To gie the jars an’ barrels
          A lift that day.

What signifies his barren shine
     Of moral pow’rs and reason?
His English style an’ gesture fine
     Are a’ clean out o’ season.
Like Socrates or Antonine
     Or some auld pagan heathen,
The moral man he does define,
     But ne’er a word o’ faith in
          That’s right that day.

In guid time comes an antidote
     Against sic poison’d nostrum;
For Peebles, frae the water-fit,
     Ascends the holy rostrum:
See, up he’s got the word o’ God
     An’ meek an’ mim has view’d it,
While Common Sense has ta’en the road,
     An’s aff, an’ up the Cowgate
          Fast, fast that day.

Wee Miller niest the Guard relieves,
     An’ Orthodoxy raibles,
Tho’ in his heart he weel believes
     An’ thinks it auld wives’ fables:
But faith! the birkie wants a Manse,
     So cannilie he hums them;
Altho’ his carnal wit an’ sense
     Like hafflins-wise o’ercomes him
          At times that day.

Now **** an’ ben the change-house fills
     Wi’ yill-caup commentators:
Here’s cryin out for bakes an gills,
     An’ there the pint-stowp clatters;
While thick an’ thrang, an’ loud an’ lang,
     Wi’ logic an’ wi’ Scripture,
They raise a din, that in the end
     Is like to breed a rupture
          O’ wrath that day.

Leeze me on drink! it gies us mair
     Than either school or college
It kindles wit, it waukens lear,
     It pangs us fou o’ knowledge.
Be’t whisky-gill or penny-wheep,
     Or ony stronger potion,
It never fails, on drinkin deep,
     To kittle up our notion
          By night or day.

The lads an’ lasses, blythely bent
     To mind baith saul an’ body,
Sit round the table weel content,
     An’ steer about the toddy,
On this ane’s dress an’ that ane’s leuk
     They’re makin observations;
While some are cozie i’ the neuk,
     An’ forming assignations
          To meet some day.

But now the Lord’s ain trumpet touts,
     Till a’ the hills rae rairin,
An’ echoes back return the shouts—
     Black Russell is na sparin.
His piercing words, like highlan’ swords,
     Divide the joints an’ marrow;
His talk o’ hell, whare devils dwell,
     Our vera “sauls does harrow”
          Wi’ fright that day.

A vast, unbottom’d, boundless pit,
     Fill’d fou o’ lowin brunstane,
Whase ragin flame, an’ scorching heat
     *** melt the hardest whun-stane!
The half-asleep start up wi’ fear
     An’ think they hear it roarin,
When presently it does appear
     ’Twas but some neibor snorin,
          Asleep that day.

‘Twad be owre lang a tale to tell,
     How mony stories past,
An’ how they crouded to the yill,
     When they were a’ dismist:
How drink gaed round in cogs an’ caups
     Amang the furms an’ benches:
An’ cheese and bred frae women’s laps
     Was dealt about in lunches
          An’ dauds that day.

In comes a gausie, **** guidwife
     An’ sits down by the fire,
Syne draws her kebbuck an’ her knife;
     The lasses they are shyer:
The auld guidmen, about the grace
     Frae side to side they bother,
Till some ane by his bonnet lays,
     And gi’es them’t like a tether
          Fu’ lang that day.

Waesucks! for him that gets nae lass,
     Or lasses that hae naething!
Sma’ need has he to say a grace,
     Or melvie his braw clathing!
O wives, be mindfu’ ance yoursel
     How bonie lads ye wanted,
An’ dinna for a kebbuck-heel
     Let lasses be affronted
          On sic a day!

Now Clinkumbell, wi’ rattlin tow,
     Begins to jow an’ croon;
Some swagger hame the best they dow,
     Some wait the afternoon.
At slaps the billies halt a blink,
     Till lasses strip their shoon:
Wi’ faith an’ hope, an’ love an’ drink,
     They’re a’ in famous tune
          For crack that day.

How monie hearts this day converts
     O’ sinners and o’ lasses
Their hearts o’ stane, gin night, are gane
     As saft as ony flesh is.
There’s some are fou o’ love divine,
     There’s some are fou o’ brandy;
An’ monie jobs that day begin,
     May end in houghmagandie
          Some ither day.
ON SEEING ONE ON A LADY’S BONNET AT CHURCH

Ha! whare ye gaun, ye crowlin ferlie!
Your impudence protects you sairly:
I canna say but ye strunt rarely
Owre gauze and lace;
Tho’ faith, I fear ye dine but sparely
On sic a place.

Ye ugly, creepin, blastit wonner,
Detested, shunned by saunt an’ sinner,
How daur ye set your fit upon her,
Sae fine a lady!
*** somewhere else and seek your dinner,
On some poor body.

Swith, in some beggar’s haffet squattle;
There ye may creep, and sprawl, and sprattle
Wi’ ither kindred, jumpin cattle,
In shoals and nations;
Whare horn or bane ne’er daur unsettle
Your thick plantations.

Now haud ye there, ye’re out o’ sight,
Below the fatt’rels, snug an’ tight;
Na faith ye yet! ye’ll no be right
Till ye’ve got on it,
The vera tapmost, towering height
O’ Miss’s bonnet.

My sooth! right bauld ye set your nose out,
As plump an’ grey as onie grozet:
O for some rank, mercurial rozet,
Or fell, red smeddum,
I’d gie ye sic a hearty dose o’t,
*** dress your droddum!

I *** na been surprised to spy
You on an auld wife’s flainen toy;
Or aiblins some bit duddie boy,
On’s wyliecoat;
But Miss’s fine Lunardi!—fie!
How daur ye do’t?

O Jenny, dinna toss your head,
An’ set your beauties a’ abread!
Ye little ken what cursed speed
The blastie’s makin!
Thae winks and finger-ends, I dread,
Are notice takin!

O, *** some Power the giftie gie us
To see oursels as others see us!
It *** frae monie a blunder free us
An’ foolish notion:
What airs in dress an’ gait *** lea’e us,
And ev’n Devotion!
Hermes Varini Jan 2021
A Lone Walker nowe Ah!
Intae Theis Murky Naycht
‘Yont Whin-Rock menacin’,
Ewry Wound bygane an’ the Scar
Freish Bluid o’ mine fuelin’,
Lang, lang, IT! the Blacklyn Howr,
Unfathomable, Unearthly,
Verra Guid Fyre wearin’,
Burnan Hye! Gore o’ mine
Awa, awa, IT owre spilled!
Soil o’ Alabaster gravin’,
An’ abön, Great Orrah! a Presence yirr,
Near-hand ay flashin’,
Rumblin’, guid tremblin’,
Lyke a Rhodium-Demon Hyear
Unco! stick-an-stowe towerin’,
An’ a Mirror-Vision ay broo!
O’ Red Gore fuil an’ pruid!
Great Rowth ragin’!
Human nae, nae IT laanger!
Heyne intae Theis Skye-Mirror,
Image o’ mine! nae, nae IT laanger!
Ma Rubye Brooch Micht, och!
Stylle haiwin',
An' wae Veins o’ Deep Lowe imbued,
Ma ain stylle! Glamis’ Orrah! Dearest!
Athwart ma Solitarye Gait
Ays a Storm-Blast fallin’,
An’ wnto me! wnto me noo, IT!
O’er an’ o’er! Carham’s Scyld-Hel Orrah!
Stylle Theis Dangerus! Verra Dangerus, IT!
Highlan’ Thwndir-Rode o’ mine
Intae Theis Guid Kintra whooshin’,
An’ the nae ****** Cauld Landis Micht,
Swaird-Wounded, stylle Ironclad Ah!
Fore’er unco! wi’in Oun Hye Fyre
Thro’ nae croud strollin’,
Ays yf frae Hye Þunor His-sel
The Lone War-Whisper Weel-Gaun!
Wae Thae Verra Woirds o’ Battle-Angyr
Lewdlie! Theis Specular Bluish Fyre o’ mine!
Thus Thwndir-Taukin’:

NUNC IN HOC SIGNO VINCES
QUIA FOCUS TEMPESTATIS MODO EST TIBI
ET VEXILLA FULMINIS PRODEUNT UNIVERSI
IN FERRO CAERULEO SANGUINEQUE
AD TE PICTORUM NOCTE TETRA
ET IN SPECULO RESULTANTE FORMA
THOR GOTHORUM UBI DESCENDET LAETO
AB ULTIMA GLITNIR MAGNO MALLEO
DEUS FLAVUS QUI ALTO FERRO SECURIQUE
TONITRUO INDIGNAM VIAM MALEDIXIT
FULMINIS IGITUR TETRA UMBRA TUA
ALTA FLAMMA CALIGINEA VEXILLAQUE
SUPREMO IGNE OVERMAN ULTOR.
A composition of mine containing an Enigma, in archaic Scottish, as ending in Classical Latin. The empowered Other-Self of the narrator, the Overman himself, at length appears, and finally speaks as a Mirror-Vision. "VEXILLA FULMINIS PRODEUNT UNIVERSI" means thus "the Banners of the Cosmic Lightning issue forth" and "PICTORUM NOCTE TETRA" "into the Murky Night of the Picts", whereas "ALTA FLAMMA" "through the High Flame" (as thus both instrumental ablatives). "THOR GOTHORUM UBI DESCENDET LAETO AB ULTIMA GLITNIR MAGNO MALLEO DEUS FLAVUS QUI ALTO FERRO SECURIQUE TONITRUO INDIGNAM VIAM MALEDIXIT" reads "where Thor of (from) the Goths, joyful descends, from Last Glitnir (Norse sacred location) with his Mighty Hammer, the Fair God who with the High Iron and the Axe, through the Thunder the Unworthy Path cursed". Touching otherwise "IN SPECULO RESULTANTE FORMA", "FORMA" ("form") is looked upon in sheer Aristotelian terms, as thus opposed to matter. It is indicated that the narrator cannot die, for he possesses veins imbued with incorruptible Heraclitean Fire, hence his Night Stroll, in a manner akin to "The Man of the Crowd", is everlasting. "Thae", "Theis" and "Thus" form an alliteration.
VM Jan 2021
Hari ini dia datang lagi
Dengan gaun kuning tanpa lengan
Rambutnya dibelah dua dan dikepang dengan dua warna karet rambut yang berbeda pada tiap-tiap ujungnya
Senyumnya manis sekali

"Dasar anak cantik"

Dia tersenyum semakin lebar sambil menawarkan aku setangkai balon
Sepertinya balon itu baru saja digelembungkan
Aku menggeseknya dengan kuku yang baru saja kupotong
Aku pikir dia akan mengernyit, entah kenapa dia malah tertawa

"Kemana saja kamu selama ini?"

Tertulis sebuah nama restoran yang kukenal pada balon itu
Jelas bukan tempat makan favoritku
Karena aku tak terlalu antusias saat melihat namanya
Sebuah tempat yang sering didatangi anak bini
Dipenuhi oleh emosi-emosi semu
Hanya untuk terlihat intim—setidaknya bukan tempat untuk anak gadis yang terus menatap layar ponselnya tanpa henti

"Darimana kamu tahu aku ada di sini?"

Dia memberikan aku kepingan lakban yang ternyata masih tercecer
Saat itu aku memperapikan koleksi buku harian, ya, dengan upaya untuk tidak melihatnya lagi
Supaya aku tak jatuh kepada rasa ingin membaca ulang semua tulisanku
Sial! Pasti dia mengawasi aku

"Apa tujuanmu kesini?"

Air mata berderai dari kedua matanya yang bulat
Seolah akan mengujarkan sesuatu dari mulutnya, dia hanya diam
Mungkin bukan diam, tapi mengoceh dengan kata-kata yang tak dapat kucerna
Kugenggam telapak tangan nya—sungguh kecil dibanding milikku
Dia masih saja menangis tanpa henti
Untuk segala tenggang rasa yang aku tahan kepada anak-anak, kali ini cukup iba rasanya

"Ayo, lah, aku hanya ingin merokok di sini"

Entahlah, enyahlah
Aku juga harus beranjak pergi dari sini
Lapangan tenis kosong yang dihiasi dedaunan repih
Amira I Jun 2020
Rumah joglo di tengah sawah.
Dengan cahaya remang yang berasal dari pojok ruangan ini.
Pemutar piringan hitammu baru selesai kau perbaiki.
Ku memilih untuk mendengarkan album Chet Baker Sings dengan vokalnya, seingatku itu milik mendiang kakekmu.
Gelas-gelas tinggi sudah kau siapkan, sebotol anggur dari Bordeaux sudah ku buka.
Makan malam kita sudah tandas, dua piring penuh berisi daging sapi yang sore tadi ku panggang, hampir matang penuh, bersama hancuran kentang yang sedikit dibubuhi garam dan lada, dengan saus krim jamur.
Jasmu sudah kau tanggalkan dan sampirkan di sisi sofa coklat tua itu.
Gaun hitamku masih rapih melekat pada tubuhku, namun rambutku, yang hanya sepanjang bahu, sudah ku urai, agar kau bisa menghirup harum bunga sakuranya.
Kita menari, pelan, sembari menengguk asam dan manisnya anggur Bordeaux itu.
Ku kira Chet Baker telah letih bernyanyi dan bermain trumpet, suaranya perlahan hilang, digantikan oleh suara jangkrik dari luar sana.
Aku pun lelah, ku rebahkan tubuhku di sofa coklat itu, menyandarkan kepala di dekat sampiran jasmu, menghirup bau cendana yang hampir hilang.
Kau menghampiriku, memelukku erat, menghirup leherku, pipiku, dan mengecup bibirku.
Pelan-pelan, satu per satu pakaian kita tanggal, di bawah cahaya temaram, ditemani suara jangkrik, kita melebur, melebur jadi satu.
Tanah Ubud, tak pernah gagal membuatku jatuh cinta, sengaja maupun tidak.
terinspirasi dari lagu Sal Priadi berjudul sama.
xGalih Aug 2020
Sejenak kita tunda laju lalu-lalang kendaraan yang kebingungan di kota kecil yang mulai penuh sesak.
Menghentikan bising suara mesin di kepala.
Memejamkan mata dari keriuhan yang rumit dalam saku.
Menggantung gaun-gaun yang telah lama tak kita baringkan.

Barangkali kita terlalu sibuk melupakan.
Terlalu berusaha menjauh dari diri sendiri.
Mungkin kita ini tak pernah tersesat pada dunia yang menyesatkan siapa saja.
Tersedak tawa oleh lelucon yang mencekik mimpi-mimpi.

Kita terus berlari tanpa tahu arah, kebingungan dan gelisah.
Seperti kereta kuda di taman bermain yang sepi pengunjung.
Kita terus saja berbicara tanpa pernah merasa.
Seperti suara klakson yang meraung-raung di kota yang semakin sibuk.

Kita terlalu berapi-api memperdebatkan apa saja.
Terus berteriak dan terbakar.
Terlalu sering menertawai, tanpa tahu lelucon sesungguhnya.
Tanpa tahu upacara kematian telah dipersiapkan di akhir tawa.

— The End —