Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
EP Robles Aug 17
A whisper soft—across the vale,
Where Rona Mae Ronda treads—
Her footfall light, a breeze’s tale,
Through meadows gold—she spreads.

No need of day—her presence brings,
A twilight soft and kind—
With every step—a thousand springs,
Awake in heart and mind.

The daisy turns—her face to see,
As Rona Mae Ronda glides—
Through clover fields—so carelessly,
Where innocence—abides.

The robin pauses in his flight,
To hear her laughter’s sound—
For Rona Mae—by day or night,
Turns all to sacred ground.

She leaves no trace—yet all can tell,
Wherever she has been—
The very air—begins to swell,
With what the soul—has seen.

:: 08.12.2024 ::
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Aryan Sam Jun 2018
Ik gal kaha.

Menu 2016 to hi yakeen ja ** gea c
Ki thuhade lai menu bhulna bada easy c
Bcz us time jado thuhade viah di gal chali c
Tuci menu ik war bi nai c dasea
Nd us bhenchod nu pyar kar bethe c tuci

Yaar me kade kisi hor nu pyar nai kita, na hi kade kar paya. Beshak me hor bada kuj kita.
Bhawe oh kudi baji c ya nasha.
Par kisi hor nu kade pyar nai kr sakea.

Menu sala ehi samj nai a reha
Ki me thuhanu yaad karna band kr dawa
Ya ewe hi yaad krda raha

Me badi try kr reha ki yaad na kara.
Par is baar gal kuj hor he
2016 wich me bhul gea c u nu
But etki, gaand fati hoi a meri
Bus ik mar nai sakda
Baki bahro kush rehna penda

Kini war dekh chukea me thuhanu lal rang de choore wich
Sali iko dua nikdi ki maut a jawe menu
Bcz me khud mar nai sakda
*** bi ro reha

Yaad a ik wari, jado apa park wicho di ja rahe c
Te ik munda park wich ro reha c
Te me us time
Keha c ki sala
Kinna pagal he
Munda ewe kiwe ro sakda
Aj oh munde di yaad andi menu
Te meri kahi gal
Aj samj anda ki sala rona ki hunda

Bhen di lun hoi bi meri life di
Sala kite bi dil nI lagda mera

I know u nu mazak hi lag reha hona
Ha me kita bi mazak hi c thuhade naal
Te aj usdi saza bhugat reha ha
Ena jyada tadap reha ha

Pata ik ta banda ro ke mann halka kr lenda
Ik banda andro ronda
Jeda sala andro rona, te usda mann bi halka nai hunda
Bada ikha hunda

Fat jandi he
Rooh kamb jandi he
Sala jad bi kade wife nu patiala chad ke anda
Ta sad song laganda. Badi myshkil naal sad song sunan nu milde
Te bus sara rasta ronda anda me
Sach kaha ohi ik time hunda jad me ro sakda ha te apna mann halka karda ha
Cheeka marda ha, chest te mukke marda ha
Thapad tak marda ha apne aap nu
Sala sochda ki isi bahane kuch dil halka ** jawe
Par kithe.
Nai hunda.

Heena jj, menu pata ki mera *** koi hak nai reha.
Par metho ik haq na khona
Oh thuhanu dekhan da.
Me kade life wich interfair nai krda
Bus menu dekhan to na rokna kade.

Me tadfna chanda ha
Rona chanda ha
Apni galtia krke

Ameen
Mes de rosas. Van mis rimas
en ronda, a la vasta selva,
a recoger miel y aromas
en las flores entreabiertas.
Amada, ven. El gran bosque
es nuestro templo; allí ondea
y flota un santo perfume
de amor. El pájaro vuela
de un árbol a otro y saluda
la frente rosada y bella
como a un alba; y las encinas
robustas, altas, soberbias,
cuando tú pasas agitan
de los himnos de esa lengua;
sus hojas verdes y trémulas,
y enarcan sus ramas como
para que pase una reina.
¡Oh amada mía! Es el dulce
tiempo de la primavera.

Mira: en tus ojos, los míos;
da al viento la cabellera,
y que bañe el sol ese aro
de luz salvaje y espléndida.
Dame que aprieten mis manos
las tuyas de rosa y seda,
y ríe, y muestren  tus labios
su púrpura húmeda y fresca.
Yo voy a decirte rimas,
tú vas a escuchar risueña;
si acaso algún ruiseñor
viniese a posarse cerca
y a contar alguna historia
de ninfas, rosas o estrellas,
tú no oirás notas ni trinos,
sino enamorada y regia,
escucharás mis canciones
fija en mis labios que tiemblan.
¡Oh amada mía! Es el dulce
tiempo de la primavera.

Allá hay una clara fuente
que brota de una caverna,
donde se bañan desnudas
las blancas ninfas que juegan.
Ríen al son de la espuma,
hienden la linfa serena;
entre polvo cristalino
esponjan sus cabelleras,
y saben himnos de amores
en hermosa lengua griega,
que en glorioso tiempo antiguo
Pan inventó en las florestas.
Amada, pondré en mis rimas
la palabra más soberbia
de las frases de los versos
de los himnos de la lengua;
y te diré esa palabra
empapada en miel hiblea...
¡Oh, amada mía! Es el dulce
tiempo de la primavera.

Van en sus grupos vibrantes
revolando las abejas
como un áureo torbellino
que la blanca luz alegra,
y sobre el agua sonora
pasan radiantes, ligeras,
con sus alas cristalinas
las irisadas libélulas.
Oye: canta la cigarra
porque ama al sol, que en la selva
su polvo de oro tamiza
entre las hojas espesas.
Su aliento nos da en un soplo
fecundo la madre tierra,
con el alma de los cálices
y el aroma de las yerbas.

¿Ves aquel nido? Hay un ave.
Son dos: el macho y la hembra.
Ella tiene el buche blanco,
él tiene las plumas negras.
En la garganta el gorjeo,
las alas blancas y trémulas;
y los picos que se chocan
como labios que se besan.
El nido es cántico. El ave
incuba el trino, ¡oh poetas!
de la lira universal
el ave pulsa una cuerda.
Bendito el calor sagrado
que hizo reventar las yemas,
¡oh, amada mía, Es el dulce
tiempo de la primavera.

Mi dulce musa Delicia
me trajo un ánfora griega
cincelada en alabastro,
de vino de Naxos llena;
y una hermosa copa de oro,
la base henchida de perlas,
para que bebiese el vino
que es propicio a los poetas.
En la ánfora está Diana,
real, orgullosa y esbelta,
con su desnudez divina
y en actitud cinegética.
Y en la copa luminosa
está Venus Citerea
tendida cerca de Adonis
que sus caricias desdeña.
No quiere el vino de Naxos
ni el ánfora de ansas bellas,
ni la copa donde Cipria
al gallardo Adonis ruega.
Quiero beber del amor
sólo en tu boca bermeja.
¡Oh amada mía! Es el dulce
tiempo de la primavera.
mEb Oct 2010
Upon his glottal’s larynx spreads a lingual deformity. Isolation as a result from tuggo disaffiliates. Misshapen promontory in the direction of upper-body inflammation. Not only above torso alone, location;head/injury;mouth/main informative;tongue.
The boy’s tongue was permanently horned. A horn of 18 inches shy, where taste buds formulate, he owned a lone spike. He wasn’t abraded by the unfoldment of onlookers around. His irregular attachment was a main confidant. Criticized, he was not welcomed by towns near. Citizen’s were baffled and disgusted, ridiculing him daily, he did not impale with grieve over appearance. Enmity he wanted and craved. Among the works of flesh, square inch niches, repugnance revealed. Revenge, revenge. Vindictive spirit shelled so timely and calm. Remaining this state of sumptuous integrity made him stronger each go about. These goes were so stimulus, adding to the *** of hatred. Deep into the tundra’s most vile he intruded. Went so every month or few, for weeks at a time. For this sheet of rigid earth so contiguous to the town made the worried weary, the skeptical seared, and the nautical not so knitted with directional sense. This was his consummation of gathering. The place of being a being. The dry winter amid eight months was restricted, so the moment a due mustn’t be bothered. He had his reason of validness for course. A rich succulent from the bearings of plant life on cliffs. Repelling an obstacle such as was ludicrous for even one born the ever so adequate and society defined norm. Now having a tongue with a horn, some sought might as well die to be reborn. He had to, to stay alive. The liquid, which sit so treacherous, was the mold to mouth medicine. To speak at all it must be attained. Not only a curdling death trap waiting to swallow, the boy had to get a plentiful amount for the hard hitting winters collied. His tongue could swell like the storms, loud crimson on the esophagus. To die of asphyxiation was his dodge of ultimatum.
While passing by a local television in a thrift shop-
“Today’s Newscast: Blizzards, moving in at speeds of 94 mph. Predicted to cover like a blanket for 12 months. Ice Age relative people, this one is gonna be big! Stay indoors at night, the barometric’s indicate that from 9PM to 4AM temperatures as low as 28- will stouten for the next year. Once again people, stay indoors at these hours, get your needs when available. Back to you Ronda with the quintuplets birth today!”
Plucked and grit witted he stood. He felt the trepidation of abhorrence swaying in orbit around him. How to emanate from this delay? At least five clones of self did not exist for him. Merriment struct pro, while the cons derived from which they know. Exultation when despondent, how greatly that gift could gab. Despoilment of that, he weighed options out. To altercate thick snow or simply, let it go. Afraid to die unrivaled, the off cutting is wisest. Since his first second to now he’s flourished with his horn. Obliteration to the occulted manifestation mannered as an antique replica of anyone catching him by twice by day. Remove it, remove it, remove if you want life in your years that follow. Remove it, ever so. Remove it, cut and sew. Cut and sew. Remove.
This plateau poisoned place stay calm, anticipating climate of tempest bold reaches, anyone who was anyone was not so. Negative degrees. How could he retaliate the opposite, while acquiring a surgeon field hay day buck builder? Eruption turns the wave of cons. An only equal precision, deciding, tonight is the night. To assemble the tools, publicly was questionable, no more, through. He will emerge to the lands and people a new man, sustained, and hornless. No more. From scratch he will vender what’s needed. Wood was chiseled under the last moon viewed for three sixty three days ahead. Uprooted vines of old pine will hold the bark tight. Breath revealing around the outsides of his appendage. Like a fork in the road, which way can you go, for him air strides both. Scuffling fearful towards the pike of the tundra, he is where wanted by none. A be all end all as you could alleviate ones slightest sympathy, the courage it takes, ****** immense. His sweat was not seen, but there it consists. One hand grappled around his earthly dagger, tongue positioned in an outward arrangement. Travail glowing all over him as an aura unlanguid with no disruption veering. Abound now, without great weight on his shoulders, he’s lived. Ascending keen eyes towards the blood bath around his feet, going both ways around the fork and road. After relinquishing his steady gavel, the checking of his pulse is counted. 5, 6, 7, 8, seconds, still life to live. For the very first ritual to come, placed in his mouth, the tongue. The rigid roof so unfamiliar and new he bestowed in his joy of such a common flank. The tundra felt warm as he inside let over pour. Once more a milder gasp as he vociferates to the last moon for the year. On his peak, and favored place of being, he let out his tongue. Sharp inclement so hawkish and frosted he felt. The lilliputian of no pain, heeded by first snow to wane.
this was inspired by the album art of Morgul;

http://black-legion-shop.de/catalog/images/Morgul%20-%20Sketch%20Of%20Supposed%20Murderer%20-%20CD.jpg
Maria Mitea Nov 2022
Nobody knew I am on the road
Except for Ronda,

I had new responsibilities,
The money helped to  survive with food, heat, and electricity,

Every Monday
I go back to the bush, and she takes care of the home,

It was just live,

And it was good,

Because we cared for each other,

We met in a strange way,

The toilet was filled with  ****,

They were living like this, and being taken advantage of,
Nobody has to leave in those conditions,
For food, she was getting money from her father,  a  trapper, and fisherman,

I wanted to take care of her, and Wendy,  her little daughter,

Ronda was looking for love in a relationship,

She knew that would take care of her.

The trailer where she was living, that trailer was on her father's property,
The property was big enough, a refrigerator plant, that kept the hunting food frozen for the winter,
It had other places where he can put a dead hunted body,

I tried my best.

What did she do after you were gone?

She found love,

Ronda,  Wendy, Teresa,

I am not there,

So much shame, so much regret,

I was working up in Ear Falls, a gold mine,  more than a mile deep into the earth,
Working with my  hands, explosives

So much shame,
So much regret,
I lived with the pain of not holding, not even once,  holding my daughter in my arms,

Explosives, made by the Chinese, invented by the  Nobel,
He made all his money by selling gunpowder, blowing out the earth,
And this is where the mining started,  
After each  explosion, we go down into the mine and  take the all rock out with our hands,

All my life I lived with the pain of not holding my daughter in my arms,

Later he invested in Nobel prizes,
but,
She knew
Love will take care of her.
.
Allá en la oscura hondonada,
Del sol a la luz incierta,
Se ve la casa desierta
En donde vivió mi amada.

En medio al maizal tupido,
Que se extiende hasta la loma,
Parece blanca paloma
Que cubre amorosa un nido.

Cuando es de noche en la honda
Y rumorosa cañada,
Voy a la casa olvidada,
Como alma en pena que ronda.

En el largo corredor
Sordo mi paso retumba...
Aquello parece tumba
Que no embalsama una flor!

Y me encamino a su reja
Y pongo el oído atento,
Y tan sólo escucho el viento
Que alza, al pasar, una queja.

Bajo cortina de hiedra,
Donde con voz de reproche
El aura gime en la noche,
Se encuentra un banco de piedra,

Y en él me siento a traer
A mi alma, que arropa el duelo,
Aquellas horas de cielo
Que nunca habrán de volver;

Horas en que ya sin calma,
Del amor en el exceso,
Temblaba en su labio el beso
Y en sus pupilas el alma;

Y en que su voz celestial
Mi corazón arrullaba,
Mientras la noche cantaba
En el frondoso maizal.

...¡Oh alma! en vano la nombras,
En vano buscas sus rastros!...
Serenos brillan los astros,
Y el perro ladra en las sombras.
Cantando vas, riendo por el agua,
por el aire silbando vas, riendo,
en ronda azul y oro, plata y verde,
dichoso de pasar y repasar
entre el rojo primer brotar de abril,
¡forma distinta, de instantáneas
igualdades de luz, vida, color,
con nosotros, orillas inflamadas!

¡Qué alegre eres tú, ser,
con qué alegría universal eterna!
¡Rompes feliz el ondear del aire,
bogas contrario el ondular del agua!
¿No tienes que comer ni que dormir?
¿Toda la primavera es tu lugar?
¿Lo verde todo, lo azul todo,
lo floreciente todo es tuyo?
¡No hay temor en tu gloria;
tu destino es volver, volver, volver,
en ronda plata y verde, azul y oro,
por una eternidad de eternidades!

Nos das la mano, en un momento
de afinidad posible, de amor súbito,
de concesión radiante;
y, a tu contacto cálido,
en loca vibración de carne y alma,
nos encendemos de armonía,
nos olvidamos, nuevos, de lo mismo,
lucimos, un instante, alegres de oro.
¡Parece que también vamos a ser
perennes como tú,
que vamos a volar del mar al monte,
que vamos a saltar del cielo al mar,
que vamos a volver, volver, volver
por una eternidad de eternidades!
¡Y cantamos, reímos por el aire,
por el agua reímos y silbamos!

¡Pero tú no te tienes que olvidar,
tú eres presencia casual perpetua,
eres la criatura afortunada,
el májico ser solo, el ser insombre,
el adorado por calor y gracia,
el libre, el embriagante robador,
que, en ronda azul y oro, plata y verde,
riendo vas, silbando por el aire,
por el agua cantando vas, riendo!
Llegará un día en que la raza humana
Se habrá secado como planta vana,
Y el viejo sol en el espacio sea
Carbón inútil de apagada tea.
Llegará un día en que el enfriado mundo
Será un silencio lúgubre y profundo:
Una gran sombra rodeará la esfera
Donde no volverá la primavera;
La tierra muerta, como un ojo ciego,
Seguirá andando siempre sin sosiego,
Pero en la sombra, a tientas, solitaria,
Sin un canto, ni un ¡ay!, ni una plegaria.
Sola, con sus criaturas preferidas
En el seno cansadas y dormidas.
(Madre que marcha aún con el veneno
de los hijos ya muertos en el seno.)
Ni una ciudad de pie... Ruinas y escombros
Soportará sobre los muertos hombros.
Desde allí arriba, negra la montaña
La mirará con expresión huraña.
Acaso el mar no será más que un duro
Bloque de hielo, como todo oscuro.
Y así, angustiado en su dureza, a solas
Soñará con sus buques y sus olas,
Y pasará los años en acecho
De un solo barco que le surque el pecho.
Y allá, donde la tierra se le aduna,
Ensoñará la playa con la luna,
Y ya nada tendrá más que el deseo,
Pues la luna será otro mausoleo.
En vano querrá el bloque mover bocas
Para tragar los hombres, y las rocas
Oír sobre ellas el horrendo grito
Del náufrago clamando al infinito:
Ya nada quedará; de polo a polo
Lo habrá barrido todo un viento solo:
Voluptuosas moradas de latinos
Y míseros refugios de beduinos;
Oscuras cuevas de los esquimales
Y finas y lujosas catedrales;
Y negros, y amarillos y cobrizos,
Y blancos y malayos y mestizos

Se mirarán entonces bajo tierra
Pidiéndose perdón por tanta guerra.
De las manos tomados, la redonda
Tierra, circundarán en una ronda.
Y gemirán en coro de lamentos:
¡Oh cuántos vanos, torpes sufrimientos!
-La tierra era un jardín lleno de rosas
Y lleno de ciudades primorosas;
-Se recostaban sobre ríos unas,
Otras sobre los bosques y lagunas.
-Entre ellas se tendían finos rieles,
Que eran a modo de esperanzas fieles,
-Y florecía el campo, y todo era
Risueño y fresco como una pradera;
-Y en vez de comprender, puñal en mano
Estábamos, hermano contra hermano;
-Calumniábanse entre ellas las mujeres
Y poblaban el mundo mercaderes;
-Íbamos todos contra el que era bueno
A cargarlo de lodo y de veneno...
-Y ahora, blancos huesos, la redonda
Tierra rodeamos en hermana ronda.
-Y de la humana, nuestra llamarada,
¡Sobre la tierra en pie no queda nada!

Pero quién sabe si una estatua muda
De pie no quede aún sola y desnuda.
Y así, surcando por las sombras, sea
El último refugio de la idea.
El último refugio de la forma
Que quiso definir de Dios la norma
Y que, aplastada por su sutileza,
Sin entenderla, dio con la belleza.
Y alguna dulce, cariñosa estrella,
Preguntará tal vez: ¿Quién es aquélla?
¿Quién es esa mujer que así se atreve,
Sola, en el mundo muerto que se mueve?
Y la amará por celestial instinto
Hasta que caiga al fin desde su plinto.
Y acaso un día, por piedad sin nombre
Hacia esta pobre tierra y hacia el hombre,
La luz de un sol que viaje pasajero
Vuelva a incendiarla en su fulgor primero,
Y le insinúe: Oh fatigada esfera:
¡Sueña un momento con la primavera!
-Absórbeme un instante: soy el alma
Universal que muda y no se calma...

¡Cómo se moverán bajo la tierra
Aquellos muertos que su seno encierra!

¡Cómo pujando hacia la luz divina
Querrán volar al que los ilumina!
Mas será en vano que los muertos ojos
Pretendan alcanzar los rayos rojos.
¡En vano! ¡En vano!... ¡Demasiado espesas
Serán las capas, ay, sobre sus huesas!...
Amontonados todos y vencidos,
Ya no podrán dejar los viejos nidos,
Y al llamado del astro pasajero,
Ningún hombre podrá gritar: ¡Yo quiero!...
Carolina May 2016
Se encuentra a la deriva.
Sin un manto, sin calor.
Sólo el frío en su alma,
y en sus ojos vacío eterno.
Si pudiera verse a sí misma,
a través de la mirada de otra persona,
se sorprendería al observar
bellísima tristeza que a su rostro decora.
Sin embargo sólo ve aquello visible al ojo,
lo que está más allá es invisible
a su pobre visión en su pequeño mundo gris.
Gris, gris como su cabello;
El que tanto desea acariciar con sus frágiles dedos.
Gris, gris como la neblina;
Similar a la de la naturaleza,
aunque ésta se encuentra en su corazón,
tapando sus conductos; causándole una silenciosa agonía.
Gris, tan gris como como el azul;
nunca sabes cuando se vuelve triste.
Y si hay algo que ella pueda hacer,
no lo sabe.
Porque si lo supiera sería capaz de sentir,
es un hecho.
Lo que no es certero
es el sentimiento que ronda su interior.
El cual atrae pensamientos oscuros
que su cansada mente no parece soportar.
Quebrándose cada noche,
oculta todo bajo una sonrisa.
Su cabeza sigue gritando,
monstruos aún susurrando
y ella casi a duras penas escapando.
¿Podrá algún día vivir?
¿Podrá algún día despertar de la pesadilla?
¿Será notada por alguien?
¿Será esta noche su última?
Ella quiere saber,
yo me quiero esconder.
Ella quiere vivir,
yo sólo quiero morir.
Ella está atrapada en un gran espacio vacío, sin encontrar salida.
Es espacio se encuentra dentro de mi.
Y ante mi abrazo te sentí rendida...
y ante tu sumisión, mis besos sabios
pusieron a temblar entre tus labios
ansias de amor y de placer y vida...

Fue un instante no más, uno de esos
siglos-instantes que el amor nos brinda,
prometiéndole un lauro al que se rinda
primero en la batalla de los besos...

Lo ves, mujer... No cabe en la materia
la espiritualidad de lo insensible;
todo es vencido ante el irresistible
empujón de la carne y su miseria....

Y te sentí temblar como la fronda
al soplo tibio de la brisa vaga,
cuando en su trino el ruiseñor divaga
y peina el sol su cabellera blonda...

Y te sentí temblar como la onda
que su quietud sobre la arena apaga,
y como el ave que sin rumbo vaga
y un circulo invisible traza y ronda.

Y te sentí languidecer al peso
de mis labios, al peso de un gran beso
que perfumó en tus labios a un suspiro,

tal como languidece en la laguna
un cisne enamorado de la Luna,
al no hallarla en el cielo de zafiro...

Y te sentí latir, tal como late
al manotazo del ciclón la hoja,
como en la espada late, humeante y roja,
la sangre que bebiera en el combate;

tal como el sauce que su frente abate
cuando la nube en su aflicción lo moja,
o como el oceáno que se enoja
y en el escollo solitario bate.

Y te sentí vencida, con el lento
y anhelado y temido vencimiento
del sol, cuando la Noche abre la puerta

del ***** templo de su Dios ignoto;
y te sentí dormida, como un loto
en la serenidad de un agua muerta...

Y te sentí anhelante y temblorosa
cual la irisada espuma de un torrente;
como un lucero en la región silente,
insinuando una seña misteriosa;

cual la palma que agita, rumorosa,
su abanico de jade, lentamente,
como despunta en un jardín durmiente
el milagro de gracia de una rosa;

y cual la cierva cuando la acorrala
la jauría, cual ave moribunda
que pliega triste su ya inútil ala,

y adoré tu sensual melancolía
llena de rendición meditabunda,
¡y te sentí profundamente mía!...
Noche. Este viento vagabundo lleva
las alas entumidas
y heladas. El gran Andes
yergue al inmenso azul su blanca cima.
La nieve cae en copos,
sus rosas transparentes cristaliza;
en la ciudad, los delicados hombros
y gargantas se abrigan;
ruedan y van los coches,
suenan alegres pianos, el gas brilla;
y si no hay un fogón que le caliente,
el que es pobre tirita.
Yo estoy con mis radiantes ilusiones
y mis nostalgias íntimas,
junto a la chimenea
bien harta de tizones que crepitan.
Y me pongo a pensar: ¡Oh! ¡Si estuviese
ella, la de mis ansias infinitas,
la de mis sueños locos
y mis azules noches pensativas!
¿Cómo? Mirad:
                                  De la apacible estancia
en la extensión tranquila
vertería la lámpara reflejos
de luces opalinas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría;
el golpe de la lluvia en los cristales,
y el vendedor que grita
su monótona y triste melopea
a las glaciales brisas.
Dentro, la ronda de mis mil delirios,
las canciones de notas cristalinas,
unas manos que toquen mis cabellos,
un aliento que roce mis mejillas,
un perfume de amor, mil conmociones,
mil ardientes caricias;
ella y yo: los dos juntos, los dos solos;
la amada y el amado, ¡oh Poesía!
los besos de sus labios,
la música triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
¡Oh! ¡Bien haya el brasero
lleno de pedrería!
Topacios y carbunclos ,
rubíes y amatistas
en la ancha copa etrusca
repleta de ceniza.
Los lechos abrigados,
las almohadas mullidas,
las pieles de Astrakán, los besos cálidos
que dan las bocas húmedas y tibias.
¡Oh, viejo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Sí, estaría a mi lado,
dándome sus sonrisas,
ella, la que hace falta a mis estrofas,
esa que mi cerebro se imagina;
la que, si estoy en sueños,
se acerca y me visita;
ella que, hermosa, tiene
una carne ideal, grandes pupilas,
algo del mármol, blanca luz de estrella;
nerviosa, sensitiva,
muestra el cuello gentil y delicado
de las Hebes antiguas;
bellos gestos de diosa,
tersos brazos de ninfa,
lustrosa cabellera
en la nuca encrespada y recogida
y ojeras que denuncian
ansias profundas y pasiones vivas.
¡Ah, por verla encarnada,
por gozar sus caricias,
por sentir en mis labios
los besos de su amor, diera la vida!
Entre tanto hace frío.
Yo contemplo las llamas que se agitan,
cantando alegres con sus lenguas de oro,
móviles, caprichosas e intranquilas,
en la negra y cercana chimenea
do el tuero brillador estalla en chispas.
Luego pienso en el coro
de las alegres liras.
En la copa labrada, el vino *****,
la copa hirviente en cuyos bordes brillan
con iris temblorosos y cambiantes
como un collar de prismas;
el vino ***** que la sangre enciende,
y pone el corazón con alegría,
y hace escribir a los poetas locos
sonetos áureos y flamantes silvas.
El Invierno es beodo.
Cuando soplan sus brisas,
brotan las viejas cubas
la sangre de las viñas.
Sí, yo pintara su cabeza cana
con corona de pámpanos guarnida.
El Invierno es galeoto,
porque en las noches frías
Paolo besa a Francesca
en la boca encendida,
mientras su sangre como fuego corre
y el corazón ardiendo le palpita.
-¡Oh crudo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Ardor adolescente,
miradas y caricias;
cómo estaría trémula en mis brazos
la dulce amada mía,
dándome con sus ojos luz sagrada,
con su aroma de flor, savia divina.
En la alcoba la lámpara
derramando sus luces opalinas;
oyéndose tan sólo
suspiros, ecos, risas;
el ruido de los besos;
la música  triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría.
No digamos la palabra del canto,
cantemos. Alrededor de los huesos,
en los panteones, cantemos.
Al lado de los agonizantes,
de las parturientas, de los quebrados, de los presos,
de los trabajadores, cantemos.
Bailemos, bebamos, violemos.
Ronda del fuego, círculo de sombras,
con los brazos en alto, que la muerte llega.

Encerrados ahora en el ataúd del aire,
hijos de la locura, caminemos
en torno de los esqueletos.
Es blanda y dulce como una cama con mujer
Lloremos.
Cantemos: la muerte, la muerte, la muerte,
hija de puta, viene.

La tengo aquí, me sube, me agarra
por dentro.
Como un esperma contenido,
como un vino enfermo.
Por los ahorcados lloremos,
por los curas, por los limpiabotas,
por las ceras de los hospitales,
por los sin oficio y los cantantes.
Lloremos por mí,
el más feliz, ay, lloremos.

Lloremos un barril de lágrimas.
Con un montón de ojos lloremos.
Que el mundo sepa que lloramos aquí
por el amor crucificado y las vírgenes,
por nuestra hambre de Dios
(¡pequeño Dios el hombre!)
y por los riñones del domingo.

Lloremos llanto clásico, bailando,
riendo con la boca mojada de lágrimas.
Que el mundo sepa que sabemos ser trágicos.
Lloremos por el polvo
y por la muerte de la rosa en las manos de los mendigos.
Yo, el último, os invito
a bailar sobre el cráneo del tiempo.
¡De dos en dos los muertos!
Al tambor, a la Luna,
al compás del viento.
¡A cogerse las manos, sepultureros!
Gloria del hombre vivo:
¡espacio para el miedo
que va a bailar la danza que bailemos!
 
Tranca la tranca,
con la musiquilla del concierto
¡qué fácil es bailar remuerto!¿Vamos a seguir con el cuento del canto y de la risa?
¡Ojos de sombra, corazón de ciego!
Pirámides de huesos se derrumban,
la madre hace los muertos.
Aremos los panteones y sembremos.
Trigo de muerto, pan de cada día,
en nuestra boca coja saliva.
(Moneda de los muertos sucia y salada,
en mi lengua hace de hostia petrificada).
Hay que ver florecer en los jardines
piernas y espaldas entre arroyos de orines.
Cráneos con sus helechos, dientes violetas,
margaritas en las caderas de los poetas.
Que en medio de este cante
el loco pájaro gigante,
aleluya en el ala del vuelo,
aleluya por el cielo.

¡De pie, esqueletos!
Tenemos las sonrisas por amuletos.
¡Entremos a la danza,
en las cuencas los ojos de la esperanza!Hay que mirar los niños en la flor de la muerte floreciendo,
luz untada en los pétalos nocturnos de la muerte.
Hay que mirar los ojos de los ancianos
mansamente encendidos, ardiendo en el aceite
votivo de la muerte.
Hay que mirar los pechos de las vírgenes
delgados de leche
amamantando las crías de la muerte.
Hay que mirar, tocar, brazos y piernas,
bocas mejillas, vientres
deshaciéndose en el ácido de la muerte.
Novias y madres caen,
se derrumban hermanos silenciosamente
en el pozo de la muerte.
Ejército de ciegos,
uno tras otro, de repente,
metiendo el pie en el hoyo de la muerte.Acude, sombra, al sitio en que la muerte
nos espera.
Asiste, llanto, visitante *****.
Agujas en los ojos, dedos en la garganta,
brazos de pesadumbre sofocando el pecho.
La desgracia ha barrido el lugar
y ha cercado el lamento.
Coros de ruinas organiza el viento.
Viudos pasan y huérfanos,
y mujeres sin hombre,
y madres arrancadas, con la raíz al aire,
y todos en silencio.
Asiste, hermano, padre,
ven conmigo, ternura de perro.
Mi amor sale como el sol diariamente.
Cortemos la fruta del árbol *****,
bebamos el agua del río *****,
respiremos el aire *****.

No pasa, no sucede, no hablar del tiempo.
Esto ha de ser, no sé, esto es el fuego
-no brasa, no llama, no ceniza-
fuego sin rostro, *****.
Deja que me arranquen uno a uno los dedos,
después la mano, el brazo,
que me arranquen el cuerpo,
que me busquen inútilmente *****.

Vamos, acude, llama, congrega
tu rebaño, muerte, tu pequeño
rebaño del día, enciérralo en tu puño,
aprisco de sueño.

Dejo en ti, madre nuestra,
en ti me dejo.
Gota perpetua,
bautizo verdadero,
en ti, inicial, final, estoy, me quedo.
De sombra, sol y muerte, volandera
grana zumbando, el ruedo gira herido
por un clarín de sangre azul torera.

Abanicos de aplausos, en bandadas,
descienden, giradores, del tendido,
la ronda a coronar de los espadas.

Se hace añicos el aire, y violento,
un mar por media luna gris mandado
prende fuego a un farol que apaga el viento.

¡Buen caballito de los toros, vuela,
sin más jinete de oro y plata, al prado
de tu gloria de azúcar y canela!

Cinco picas al monte, y cinco olas
sus lomos empinados convirtiendo
en verbena de sangre y banderolas.

Carrusel de claveles y mantillas
de luna macarena y sol, bebiendo,
de naranja y limón, las banderillas.

Blonda negra, partida por dos bandas,
de amor injerto en oro la cintura,
presidenta del cielo y las barandas,

rosa en el palco de la muerte aún viva,
libre y por fuera sanguinaria y dura,
pero de corza el corazón, cautiva.

Brindis, cristiana mora, a ti, volando,
cuervo mudo y sin ojos, la montera
del áureo espada que en el sol lidiando

y en la sombra, vendido, de puntillas,
da su junco a la media luna fiera,
y a la muerte su gracia, de rodillas.

Veloz, rayo de plata en campo de oro
nacido de la arena y suspendido,
por un estambre, de la gloria, al toro,

mar sangriento de picas coronado,
en Dolorosa grana convertido,
centrar el ruedo manda, traspasado.

Feria de cascabel y percalina,
muerta la media luna gladiadora,
de limón y naranja, remolina

de la muerte, girando, y los toreros,
bajo una alegoría voladora
de palmas, abanicos y sombreros.
Mari Gee May 2013
Lights,camera....
Watching people
People watching
Letting them pass
instead of acknowledging our connection
there's Timothy, we're in the same class ,
he doesn't know, but I think it's adorable
that he always forgets his calculator and asks for mine.
there's Lianne, we went to high school together, but now
we pretend we've never met,
turning our heads at the just the right angle,
so our eyes won't ever pass by each other, god forbid.
Clean slate, this college is.
Lights, camera...yet no action.
Here's Ronda. I want to tell her how beautiful she is
So she believes in herself.
But I just sit here.
People watching.
College campuses have a knack
of giving us windows to stare out of,
but no doors to lead us where we want to go.
El palacio virreinal
Se encuentra sumido en sombra.
Sobre el techo y en el patio
La lluvia cae monótona;
Se ve una luz solamente
En una cerrada alcoba,
Y en ella están departiendo
En voz lenta, dos personas:
Con el Virrey don José
Solís y Folch y Cardona,
Habla el Alcalde ordinario
Moreno Escandón, que gloria
Como Fiscal de la Audiencia
Fue después; que la Colonia
Enalteció con ingenio
Y virtudes, y que en toda
Inquietud para el Virrey
Le dió ayuda cariñosa
Y fue noble confidente
De sus últimas congojas.
De pronto dice Moreno
En tono de quien reprocha:
-«Nada en Santa Fe dijisteis;
Tan sólo cuando a la Costa
Llegó el Bailío, supimos
Que de la Corte española
Un nuevo Virrey vendría».

-«Esta carga abrumadora,
Respondió Solís, depuse
Hace más de un año. En notas
Ante el Monarca he insistido.
Me oyó. Soy feliz ahora».

-«¿Y a uniros vais a Sevilla
A vuestro hermano, que es honra
De España como Arzobispo,
O a servirle a la Corona
Como Mariscal de Campo
Con vuestra espada gloriosa?»

Del Virrey la voz oyose
Que se extendía en la sombra...
No era la voz de otros días
Clara, vibrante, imperiosa,
Sino voz entrecortada,
Como de alguien que se agota,
Voz de quien hablar pretende
Pero en vez de hablar, solloza.

-«Aquí quedarme he pensado,
Y no es intención de ahora».

-«Qué es lo que decís?», Moreno
Con sorpresa lo interroga.
«¿Habéis resuelto quedaros,
Como holgazana persona
En Santa Fe, que os ha visto
Siempre el primero entre pompa,
Entre honores, y acatado,
Y en tanto, luciendo en otra
Mano la real insignia?
¿No dirán que una deshonra
Del aprecio del Monarca
Vuestro ilustre nombre borra?
¡En Santa Fe!... No comprendo...
¿Qué dirán todos?»
-«No importa.
Si al Cielo irroguele ofensas
Con mi vida licenciosa,
Aquí donde yo he debido
Ser de fiel creyente norma,
Es fuerza que se me vea
Como sombra de una sombra...»

Seguía tenaz la lluvia
Cayendo en la noche lóbrega.

Moreno Escanden decía:
-«Seréis de la gente ociosa
Comidilla. Bravas lenguas
En Santa Fe siempre sobran
Para hacer de todo burla
Y para regar ponzoña.
¿Vos Duque de Montellano,
Como cesante y de ronda
De noche por las callejas
Siendo aquí de todos mofa,
Cuando antes en torno vuestro
Se oían sólo lisonjas?»
-«¿A España? ¿A la Corte? ¿A
fiestas?
Hondo cansancio me postra...

»Busco el sueño, pero el sueño
Sólo es para mí zozobra:
Oigo ruido de cadenas,
Negras visiones se agolpan
A mi rededor; me hundo
Como entre revueltas olas;
Lucho con ellas, y sirtes
Veo ante mí tenebrosas,
Y en sobresalto despierto;
Sudor helado me moja
Las sienes; estrecho nudo
Al querer hablar, me ahoga...
Me incorporo; todo inútil,
Y en tanto... lejos la aurora
Que mis visiones disipe,
Visiones trágicas y horridas.
Busco amores olvidados,
Pido músicas ruidosas,
Bullicio de gente alegre,
Pero el tedio me devora.
Sangre soy empobrecida
De una raza que se agota,
Néctar quizá de otros tiempos
En una embriagante copa,
Y que hoy, al pasar los años,
Es de la vida una sobra».
-«¿Y no rezáis?»
-«Rezo... En vano».

-«Pero la misericordia
Del cielo, que es infinita,
Al pecador no abandona,
Al que los brazos le tiende
Y consuelo y paz implora».

-«Es verdad. Mas cuando triste,
En la quietud de mi alcoba,
Me postro a rezar, visiones
Me perturban tentadoras.
Aquí conmigo el pecado
Ha vivido; y se alzan formas
Que se acercan, que se alejan,
Que vuelven, después se borran,
Y vuelven después... y juntan
A mí la encendida boca».

Moreno Escandón callaba;
Era alta noche. En las hojas
Del patio se percibía
El lento caer de gotas.


Y Solís seguía:
-«A veces
Tristes claustros mi memoria
Cruzan en hondo silencio;
Arcos y arcos, grises losas,
Retablos en blancos muros
Donde se extiende la sombra
Que débil lámpara alumbra;
En la capilla el aroma
Del incienso; a media noche
Del órgano lentas notas
Que van borrando... borrando
Del mundo alegrías locas,
Y nos llevan lentamente
A una luz de eterna gloria,
En redor humildad viendo
Y el alma ante Dios absorta;
Y Cristo manando sangre,
Y entre sangre su corona
De espinas; albas risueñas
Sobre el huerto... olor de rosas
Que cuidan para la Virgen
Manos antes pecadoras...
La comunidad que pasa;
En el coro la salmodia...
¡Luz celestial que se enciende,
Y la tierra que se borra!»

Moreno Escandón callaba.
En Santa Fe silenciosa
Sonó una campana. Trinos,
Más trinos entre las frondas
Que se agitan en el patio.

Salió Moreno.
La alcoba
Quedó en silencio profundo...
Luego una voz que solloza...
Y otra vez silencio...
Un Cristo,
Divina misericordia,
Abre los brazos. El Duque
Las rodillas ante él dobla;
A sus pies se abraza. Llanto
Su rostro pálido moja,
Y abrazado al Mártir sigue
Hasta que llega la aurora.

Di a los pobres su fortuna;
En humilde ceremonia
Entregó el mando a Messía,
Y esa tarde en su carroza,
Con su uniforme de gala,
Por las calles silenciosas
Fue al convento franciscano
Donde sonaban las notas
Del órgano y ascendía
De incienso fragante aroma.
Llamó al Prior. Y esa noche
Vestido de tela hosca,
De rodillas, en su celda,
Vio nuevamente la aurora.
Estos días
Estas venas
Esta energía
Que se mueve
Día a día.

Mis quimeras
Mis demonios
Y La Luz
Que penetra
almas.

Mi voz que se oculta
En lo secreto
Y el silencio
Que ronda
Por los callejones.

Un trozo de mis días
Se escribe con tinta
Y el otro es capturado
Por una imagen
De nubes grises.

Dias grises
Son aquellos
Donde hay lluvia
Y canciones
Que nunca olvido.
Son días grises
Fríos,
con aroma a café
Y sueños
Son días de lápiz
Y papel como lo
Son de cama.

Días para mirar
Dentro de tus ojos

Dias grises para estar
En casa y para estar contigo.
Aryan Sam Aug 2018
*** tak ta tuci pregnant bi ** gaye hone
thuhanu kuj ni pata ehna thoughts naal kini fatdi he
dil daily karda he ki thuhdae office de samne aawa
te ake dekha u nu
but control kr lenda ha kisi na kisi tarah
daily raat nu 2 mint kharar bus stand te ruk ke janda ha,
ki thuhade ghar wal nu jawa ya na jawa.
dil ena krda ki shyad chatt te tuci khade howe te me dekh lawa
but fer dimag kenda chad rehn de dilla.
kyu tang krna us nu
oh kushi kushi apni life spend kr rahi he
ta usdi life kyu spoil krni

Yaar I want to see you.
fati hoi a meri
thuhanu bilkul bi fikar ni andi?
ki kiwe reh reha hona me?
daily ronda ha
daily yaad andi he thuhadi.
But serioulsy u r stone heart
kash me bi ban jawa dubara ewe da
pehla changa bhalwa ban gea c
jado jalandhar to bad breakup hoea c
*** sala pata nai ki ** gea
us time bi 6-8 months lagge c recovery lai
but is time sala ** hi nai reha
menu bi dasdo ewe da ki kara me
ki bhul jawa u nu
jiwe tuci bhul gaye

@@
! !
! !
Una rosa en el alto jardín que tú deseas.
Una rueda en la pura sintaxis del acero.
Desnuda la montaña de niebla impresionista.
Los grises oteando sus balaustradas últimas.
Los pintores modernos en sus blancos estudios,
cortan la flor aséptica de la raíz cuadrada.
En las aguas del Sena un ice-berg  de mármol
enfría las ventanas y disipa las yedras.
El hombre pisa fuerte las calles enlosadas.
Los cristales esquivan la magia del reflejo.
El Gobierno ha cerrado las tiendas de perfume.
La máquina eterniza sus compases binarios.
Una ausencia de bosques, biombos y entrecejos
yerra por los tejados de las casas antiguas.
El aire pulimenta su prisma sobre el mar
y el horizonte sube como un gran acueducto.
Marineros que ignoran el vino y la penumbra,
decapitan sirenas en los mares de plomo.
La Noche, negra estatua de la prudencia, tiene
el espejo redondo de la luna en su mano.
Un deseo de formas y límites nos gana.
Viene el hombre que mira con el metro amarillo.
Venus es una blanca naturaleza muerta
y los coleccionistas de mariposas huyen.
Cadaqués, en el fiel del agua y la colina,
eleva escalinatas y oculta caracolas.
Las flautas de madera pacifican el aire.
Un viejo dios silvestre da frutas a los niños.
Sus pescadores duermen, sin ensueño, en la arena.
En alta mar les sirve de brújula una rosa.
El horizonte virgen de pañuelos heridos,
junta los grandes vidrios del pez y de la luna.
Una dura corona de blancos bergantines
ciñe frentes amargas y cabellos de arena.
Las sirenas convencen, pero no sugestionan,
y salen si mostramos un vaso de agua dulce.
¡Oh, Salvador Dalí, de voz aceitunada!
No elogio tu imperfecto pincel adolescente
ni tu color que ronda la color de tu tiempo,
pero alabo tus ansias de eterno limitado.
Alma higiénica, vives sobre mármoles nuevos.
Huyes la oscura selva de formas increíbles.
Tu fantasía llega donde llegan tus manos,
y gozas el soneto del mar en tu ventana.
El mundo tiene sordas penumbras y desorden,
en los primeros términos que el humano frecuenta.
Pero ya las estrellas ocultando paisajes,
señalan el esquema perfecto de sus órbitas.
La corriente del tiempo se remansa y ordena
en las formas numéricas de un siglo y otro siglo.
Y la Muerte vencida se refugia temblando
en el círculo estrecho del minuto presente.
Al coger tu paleta, con un tiro en un ala,
pides la luz que anima la copa del olivo.
Ancha luz de Minerva, constructora de andamios,
donde no cabe el sueño ni su flora inexacta.
Pides la luz antigua que se queda en la frente,
sin bajar a la boca ni al corazón del bosque.
Luz que temen las vides entrañables de Baco
y la fuerza sin orden que lleva el agua curva.
Haces bien en poner banderines de aviso,
en el límite oscuro que relumbra de noche.
Como pintor no quieres que te ablande la forma
el algodón cambiante de una nube imprevista.
El pez en la pecera y el pájaro en la jaula.
No quieres inventarlos en el mar o en el viento.
Estilizas o copias después de haber mirado,
con honestas pupilas sus cuerpecillos ágiles.
Amas una materia definida y exacta
donde el hongo no pueda poner su campamento.
Amas la arquitectura que construye en lo ausente
y admites la bandera como una simple broma.
Dice el compás de acero su corto verso elástico.
Desconocidas islas desmiente ya la esfera.
Dice la línea recta su vertical esfuerzo
y los sabios cristales cantan sus geometrías.
Pero también la rosa del jardín donde vives.
¡Siempre la rosa, siempre, norte y sur de nosotros!
Tranquila y concentrada como una estatua ciega,
ignorante de esfuerzos soterrados que causa.
Rosa pura que limpia de artificios y croquis
y nos abre las alas tenues de la sonrisa
(Mariposa clavada que medita su vuelo).
Rosa del equilibrio sin dolores buscados.
¡Siempre la rosa!
¡Oh, Salvador Dalí de voz aceitunada!
Digo lo que me dicen tu persona y tus cuadros.
No alabo tu imperfecto pincel adolescente,
pero canto la firme dirección de tus flechas.
Canto tu bello esfuerzo de luces catalanas,
tu amor a lo que tiene explicación posible.
Canto tu corazón astronómico y tierno,
de baraja francesa y sin ninguna herida.
Canto el ansia de estatua que persigues sin tregua,
el miedo a la emoción que te aguarda en la calle.
Canto la sirenita de la mar que te canta
montada en bicicleta de corales y conchas.
Pero ante todo canto un común pensamiento
que nos une en las horas oscuras y doradas.
No es el Arte la luz que nos ciega los ojos.
Es primero el amor, la amistad o la esgrima.
Es primero que el cuadro que paciente dibujas
el seno de Teresa, la de cutis insomne,
el apretado bucle de Matilde la ingrata,
nuestra amistad pintada como un juego de oca.
Huellas dactilográficas de sangre sobre el oro,
rayen el corazón de Cataluña eterna.
Estrellas como puños sin halcón te relumbren,
mientras que tu pintura y tu vida florecen.
No mires la clepsidra con alas membranosas,
ni la dura guadaña de las alegorías.
Viste y desnuda siempre tu pincel en el aire
frente a la mar poblada de barcos y marinos.
Haley Rome Sep 2013
You’re sitting on the barstool next to Ronda and the fool.
Both are getting drunker than the man on the moon.
And the isolation kicks in till you’re locked up in your room.
Where to go, where to gone, where to die.
And your shirt is stained with incense dripping down between your toes.
Beneath the floor the liquids slipping to where nobody knows.
But the drinks just keep on pouring in the pockets of your clothes.
Where to go, where to gone, where goodbye.

And you feel the record turning
While the waitresses start burning
Into the floorboards or your eyelids,
To a place nobody knows.
Your temperature is busy rising
And you’re having trouble crying
Out about the things you have to say,
About what nobody knows.

Your body’s run away and now your nothing but your eyes.
Catching raindrops in your eyelids, tears for someone who can’t cry.
But will these tears still serve you when it’s you who has to die?
Where to go, where to gone, where oh my.
These lifeless souls all float around in their velvet parade.
You’re drinking whisky swaying slowly in the stillness of the shade.
You can’t muster up the courage to be the one who was saved.
Where to go, where to gone, where to hide.
«Tienes estrellas en la frente»,
me hubieran dicho hace unos años gentes desconocidas,
rostros que no he de conocer jamás.
No sé por qué se me ha ocurrido
esto de las estrellas, ni qué quiere decir.
(Habré de recordarlo mañana, cuando sea de día). Y otra idea
que viene y va: es un símbolo,
más bien un argumento para un cuento ******.
Tiene que ver con un caballo de cartón y un niño.
(Cuando despierte de la fiebre, al terminar el viaje,
veré que es tema propio para un cuento
con fondo de sonajas, panderos y rabeles.
Un argumento que ya ha sido escrito
cientos de veces, enternecedor, ******,
folletinesco). Un niño que soñaba
con un caballo que no tuvo.
Y cuando se hizo hombre lo compró
para vengarse de los años.
Ya imagináis lo que sucede
cuando intenta desenterrar
el niño antiguo. Veinte, treinta años
tan gran retraso mata demasiadas cosas
Esta es la idea que me ronda: un cuento repetido
hasta la saciedad, efectista, ridículo,
un cuento lacrimoso propio de Navidad.

No sé por qué se me ha ocurrido
este estúpido ejemplo. (¿Y qué era aquello otro
de las estrellas en la frente?,
No me explico que pueda enternecerme
algo que en otras circunstancias
me hubiera hecho reír. Cuando sea de día
me excusaré conmigo mismo
-estaba solo en el departamento,
tiritaba de fiebre, era de noche,
el tren cruzaba lugares desconocidos...
Me excusaré también por no haberme asomado
a acariciar verdores, cielos pálidos, ciudades, ríos.
(Diré que era de noche, que nada se veía fuera.
Y mentiré. Porque este viaje pude hacerlo
hoy, de día, sin fiebre, y hubiera sido igual.
O ayer, de noche, enfermo. Y, sin embargo,
hubiera adivinado lo escondido en lo oscuro).

Debí aclarar que eso de las estrellas,
lo del caballo de cartón, la fiebre
el paisaje invisible detrás de los cristales,
ocurría viajando hacia París.
Aclararé. Por vez primera salía de mi patria
con veinte años de retraso
sobre mis esperanzas. Miré mi pasaporte. En mi fotografía
una aureola de ceniza velaba el cráneo calvo.
(«Tienes estrellas en la frente, muchacho»,
me hubieran dicho entonces).
El pasaporte era en mi mano
una orden de libertad
que llegó veinte años tarde.
Entonces, en su día, en mi día,
hubiera yo besado las piedras de París,
cantado bajo un cielo irrepetible,
quemado el aire con mi vida...

... Quemado el aire. Ya no es hora. Gracias
de todos modos. Has llegado tarde.
Sé bienvenido con mi fotografía,
datos y cifras personales,
mi profesión, mi edad, mis tantas cosas olvidadas o desterradas.
Ahora ya da lo mismo Londres, París, Madrid.
Igual música llevan el Támesis, el Sena, el Manzanares.
Esta serenidad (o indiferencia: como queráis llamarlo)
dan los días. Incluso puedo mezclar en un poema,
sin temor al ridículo,
estos nombres de ríos navegables y abiertos -Sena,
Támesis-,
con los de cauces casi secos -Manzanares:
San Sebastián de flechas gongorinas, lopescas, quevedescas.
Porque no es hora ya de engrandecer,
de idealizar, de mentir bellamente,
sino que es hora de reconocer
y de aceptar, sin canto y sin pasión,
como si ante un notario hiciese testamento
momentos antes de mi muerte.
Un documento, no un poema.
Un testimonio, una radiografía
que no pretende ser hermosa, sino útil.

Útil, tal vez, para mí solo
(es decir, objetivamente inútil). ¡Qué tristeza
este juguete que llega tan tarde!
Ahora el mundo no es ya nieblas acá,
playas y piedras radiantes allá,
ni ríos navegables que abren sus brazos al que llega
de una patria de ríos violentos y profundos
como las gentes que los ven pasar.
Cualquier punto del orbe (perdonad
la generalización pedantesca)
es un lugar para soñar, para vivir,
para estar solo y continuar la espera
sin demasiada avidez,
sin emoción y sin sorpresa.

No es lo peor que esto suceda así,
sino que pudo suceder de otra manera.
Y lo pienso, Dios mío, besando el pasaporte,
unas escasas hojas de papel
entre las que han quedado tantas cosas
que ya no tienen realidad.
Tantas cosas que un día pudieron haber sido.
Sol espledente de primavera,
a cuyo beso, fresca y lozana,
la flor se yergue, la mariposa
viola el capullo, la yema estalla;
sol espledente de primavera:
¡yo te aborrezco! porque desgarras
las brumas leves, que me circundan
como rizado crespón de plata.
  A mí me gustan las tardes grises,
las melancolías, las heladas,
en que las rosas tiemblan de frío,
en que los cierzos gimiendo pasan,
en que las aves, entre las hojas,
el pico esconden bajo del ala.
  A mí me gustan esas penumbras
indefinibles de la enramada,
a cuyo amparo corren las fuentes,
surgen los gnomos, las hojas charlan...
  Sol espledente de primavera,
cede tu gloria, declina, pasa:
deja las brumas que me rodean
como rizado crespón de plata.
  Bellas mujeres de ardientes ojos,
de vivos labios, de tez rosada,
¡os aborrezco! Vuestros encantos
ni me seducen ni me arrebatan.
  A mí me gustan las niñas tristes,
a mí me gustan las niñas pálidas,
las de apacibles ojos obscuros
donde perenne misterio irradia;
las de miradas que me acarician
bajo el alero de las pestañas...
  Más que las rosas, amo los lirios
y las gardenias inmaculadas;
más que claveles de sangre y fuego,
la sensitiva mi vista encanta...
  Bellas mujeres de ardientes ojos,
de vivos labios, de tez rosada:
pasad en ronda vertiginosa;
vuestros encantos no me arrebatan...
  Himnos vibrantes de las victorias,
notas triunfales, bélicas marchas,
¡os aborrezco! porque, al oíros,
trémulas huyen mis musas blancas.
  A mí me gustan las notas leves...
las notas leves... las notas lánguidas,
las que parecen suspiros hondos...
suspiros hondos de almas que pasan...
  Chopin: delirio por tus nocturnos;
Beethoven: sueño con tus sonatas:
Weber: adoro tu Pensamiento
Schubert: me arroba tu Serenata.
  ¡Oh! Cuántas veces, bajo el imperio
de vuestra música apasionada,
Ella me dice: ¿Me quieres mucho?
y yo respondo: ¡Con toda el alma!
  Himnos vibrantes de las victorias,
notas triunfales, bélicas marchas:
¡chit! porque huyen al escucharos,
trémulas todas, mis musas blancas...
  Sol espledente de primavera,
lindas mujeres de faz rosada,
himnos triunfales...; ¡dejadme a solas
con mis ensueños y mis nostalgias!
  Pálidas brumas que me rodean
como rizado crespón de plata,
vagas penumbras, niñas enfermas
de ojos obscuros y tez de nácar,
notas dolientes: ¡venid, que os amo!
¡Venid, que os amo! ¡Tended las alas!
Melancolía del «ayer»... Sorpresa
Triste del corazón que fue cobarde...
Un adiós sin motivo, y que nos pesa
Cuando volver a la ilusión ya es tarde.

Y el alma dice, al recordar un día:
«La culpa no fue suya, sino mía».

Tal vez, a solas, en el mismo instante,
Ya sin que llanto a las pupilas fluya,
Dirá en las sombras otra voz distante:
«La culpa no fue mía, sino suya».

Y las dos voces, en callado giro,
Se unirán, en la noche, en un suspiro.
Y queda en un azul de lontananza,
Sola, una reja, que un rosal enflora,
Y lo que fue de dos una esperanza,
Ya, para siempre, en el dolor se llora.

Y un gemido, que en llanto se disuelve,
¿Diciendo va: «La juventud no vuelve».

Y enjugándonos lágrima furtiva,
O en las manos oculta la cabeza
Vemos que, como sombra pensativa,
Se sienta a nuestro lado la Tristeza.

Y el alma llora, ante esperanza trunca,
Lo que ya al corazón no vuelve nunca.

Entonces es el recordar... La ronda
De lo pasado: la primera riña,
Su dulce voz, su cabellera blonda,
Y su adorable ingenuidad de niña;

Y triste siente el corazón herido
El dolor que nos deja un bien perdido.

«¿Dónde estarás?», nos preguntamos.
«¿Dónde?»
«¿Pasas entre los hombres sonreída,
O callado pesar en ti se esconde
Si eres mitad acaso de otra vida?».

Lejana voz de lo que ya no existe:
¡Cómo nos llegas desolada y triste!

«¡Siempre!» decimos, y es la voz sincera;
Juramos: «¡Siempre!» y el jurar no es vano;
Y no es que el corazón cumplir no quiera
Es porque el corazón es barro humano.

El corazón ser fiel siempre ambiciona,
Mas sin quererlo, siempre nos traiciona.

¿Y para qué culparnos? ¿Y en la vida
Para qué disculpar promesa vana?
Se dice adiós, y el corazón olvida,
Pero también lo olvidarán mañana.

El amor al olvido se eslabona,
Y en amor, sólo es grande el que perdona.
ConnectHook Apr 2017
La Kumbia Kalvinista no es ritmo vaticano
se baila todo libre con la biblia en la mano

La Kumbia Kalvinista es la onda reformada
las sectas sí prometen—pero no entregan nada

Esta cumbia trascendente, pero poco conocida
es la cumbre de verdad, y predestina pura vida

La Kumbia Kalvinista es la nueva nueva onda
se la cantan las iglesias y ofrecen otra ronda

La Kumbia Kalvinista no lo bailan los de Roma
si un padre lo intenta terminará caído en coma

es un baile teológico que es absurdo mientras lógico
lo baile cada tribu, cada etnia y antropólogo

el papa mismo, y su esposa
bailan esta cumbia fabulosa
tu estado de animo no es nada
sino gracia predestinada

lo bailan los sajones con cojones
lo bailan las alemanas si le dan la ganas
este baile está basado en un ritmo luterano
apetece a los gringos, a los indios, y a fulano
no bailaban los franceses aunque Calvin era suya
si bailaban los escoceses y gritaban aleluya !
NaPoWriMo #23

¿Haiku?  pues... no sé.
es algo chino, yo creo.
Es un poema.
Playa de la Roqueta:
Sobre la piedra, contra la nube,
Entre los aires estás, conmigo
Que invisible respiro amor en torno tuyo.
Mas no eres tú, sino tu imagen.

Tu imagen de hace años,
Hermosa como siempre, sobre el papel, hablándome,
Aunque tan lejos yo, de ti tan lejos hoy
En tiempo y en espacio.
Pero en olvido no, porque al mirarla,
Al contemplar tu imagen de aquel tiempo,
Dentro de mí la hallo y lo revivo.

Tu gracia y tu sonrisa,
Compañeras en días a la distancia, vuelven
Poderosas a mí, ahora que estoy,
Como otras tantas veces
Antes de conocerte, solo.

Un plazo fijo tuvo
Nuestro conocimiento y trato, como todo
En la vida, y un día, uno cualquiera,
Sin causa ni pretexto aparente,
Nos dejamos de ver. ¿Lo presentiste?
Yo sí, que siempre estuve presintiéndolo.

La tentación me ronda
De pensar, ¿para qué todo aquello:
El tormento de amar, antiguo como el mundo,
Que unos pocos instantes rescatar consiguen?
Trabajos del amor perdidos.

No. No reniegues de aquello,
Al amor no perjures.
Todo estuvo pagado, sí, todo bien pagado,
Pero valió la pena,
La pena del trabajo
De amor, que a pensar ibas hoy perdido.

En la hora de la muerte
(Si puede el hombre para ella
Hacer presagios, cálculos),
Tu imagen a mi lado
Acaso me sonría como hoy me ha sonreído,
Iluminando este existir oscuro y apartado
Con el amor, única luz del mundo.
Blancas y azules, la ligera ronda
De mariposas en la orilla juega,
Y el río, en un recodo de la vega,
En ancho pozo la corriente ahonda.

De alto nogal bajo tupida fronda,
Ella, a bañarse, de mañana llega;
Pronto a las aguas su pudor entrega
Y de ellas se alza su cabeza blonda.

Y de repente brilla en sus cabellos
Un manojo de fúlgidos destellos
Que filtra el sol por el ramaje umbrío;

Y su áurea cabellera destrenzada
Es como una radiosa llamarada
Que va flotando en la mitad del río.
Aryan Sam Oct 2018
Menu supne ande rehnde a
Tere te ode ni
Ohnu bhenchod nu sine te sulawe
Tu har raat hanere ni
Mera chehra nai ghumda
Tere odo chaar chufere?

Une matha chumea pehla?
Ya hath chumme tere?

Son nai dinde menu eh khyaal
Sari raat ehi soch ke lang janda
Ki kite pregnent ta nai hongai
Aj eh kita hona
Oh kita hona
Dil te satt lagdi he
Bus hanju nai ande, bcz show nai kr sakda hanju
Udo ronda ha andro andri

Menu apni galti di saz mil rahi he
Nd me kush ha ki menu saza mil rahi he
Saali fat jandi he
Nd daily fatdi he
Ronda por las orillas, desnuda, saludable, recién salida del baño, recién nacida de la noche. En su pecho arden joyas arrancadas al verano. Cubre su **** la yerba lacia, la yerba azul, casi negra, que crece en los bordes del volcán. En su vientre un águila despliega sus alas, dos banderas enemigas se enlazan, reposa el agua. Viene de lejos, del país húmedo. Pocos la han visto. Diré su secreto: de día, es una piedra al lado del camino; de noche, un río que fluye al costado del hombre.
Un bello niño de junco,
anchos hombros, fino talle,
piel de nocturna manzana,
boca triste y ojos grandes,
nervio de plata caliente,
ronda la desierta calle.
Sus zapatos de charol
rompen las dalias del aire,
con los dos ritmos que cantan
breves lutos celestiales.
En la ribera del mar
no hay palma que se le iguale,
ni emperador coronado,
ni lucero caminante.
Cuando la cabeza inclina
sobre su pecho de jaspe,
la noche busca llanuras
porque quiere arrodillarse.
Las guitarras suenan solas
para San Gabriel Arcángel,
domador de palomillas
y enemigo de los sauces.
San Gabriel: El niño llora
en el vientre de su madre.
No olvides que los gitanos
te regalaron el traje.

Anunciación de los Reyes,
bien lunada y mal vestida,
abre la puerta al lucero
que por la calle venía.
El Arcángel San Gabriel,
entre azucena y sonrisa,
bisnieto de la Giralda,
se acercaba de visita.
En su chaleco bordado
grillos ocultos palpitan.
Las estrellas de la noche
se volvieron campanillas.
San Gabriel: Aquí me tienes
con tres clavos de alegría.
Tu fulgor abre jazmines
sobre mi cara encendida.

Dios te salve, Anunciación.
Morena de maravilla.
Tendrás un niño más bello
que los tallos de la brisa.
¡Ay, San Gabriel de mis ojos!
¡Gabrielillo de mi vida!,
Para sentarte yo sueño
un sillón de clavellinas.
Dios te salve, Anunciación,
bien lunada y mal vestida.
Tu niño tendrá en el pecho
un lunar y tres heridas.
¡Ay, San Gabriel que reluces!
¡Gabrielillo de mi vidal!
En el fondo de mis pechos
ya nace la leche tibia.
Dios te salve, Anunciación.
Madre de cien dinastías.
Áridos lucen tus ojos,
paisajes de caballista.

El niño canta en el seno
de Anunciación sorprendida.
Tres balas de almendra verde
tiemblan en su vocecita.

Ya San Gabriel en el aire
por una escala subía.
Las estrellas de la noche
se volvieron siemprevivas.
Aryan Sam Mar 2018
Sajjan adeeb da song
Cheta tera
Aj repeat te chlea sara din
Sala ena rona aya
Ki krke rakh dita he?

Bhenchod zindagi khrab ** *** he
Meri frnd naal gal chal rahi c
Kripa nam he usda
Usde samne bi roi gea me
Phone te c usde naal
Oh bi ron lag *** menu ronda sun ke phon te

Yaar heena, kidda zigra he tera
Metho eh time kadea ni ja reha
Te tuci es time wicho kiwe nikal
Gaye
Menu pata eh sab tuci bi face kita he
Tuci bi ewe hi roye hone
But sach kaha meri fati hoi he
Hell wali fati hoi a

Faad ke rakh diti tuci meri
Baddua lag *** menu thuhadi
¡Ay del que llega sediento
a ver el agua correr,
y dice: la sed que siento
no me la calma el beber! ¡Ay de quien bebe y, saciada
la sed, desprecia la vida:
moneda al tahúr prestada,
que sea al azar rendida! Del iluso que suspira
bajo el orden soberano,
y del que sueña la lira
pitagórica en su mano. ¡Ay del noble peregrino
que se para a meditar,
después de largo camino
en el horror de llegar! ¡Ay de la melancolía
que llorando se consuela,
y de la melomanía
de un corazón de zarzuela! ¡Ay de nuestro ruiseñor,
si en una noche serena
se cura del mal de amor
que llora y canta sin pena! ¡De los jardines secretos,
de los pensiles soñados,
y de los sueños poblados
de propósitos discretos! ¡Ay del galán sin fortuna
que ronda a la luna bella;
de cuantos caen de la luna,
de cuantos se marchan a ella! ¡De quien el fruto prendido
en la rama no alcanzó,
de quien el fruto ha mordido
y el gusto amargo probó! ¡Y de nuestro amor primero
y de su fe mal pagada,
y, también, del verdadero
amante de nuestra amada!
Llueve, llueve, llueve. Detrás del balcón
Oye, triste y sola, de la lluvia el son.

Recuerda los años de su edad primera,
Los sueños de entonces. Feliz primavera!

Y pasan, cual sombras, memorias lejanas
De tardes risueñas y azules mañanas.

Fue amada y fue bella. Rumor de alas de oro
De las ilusiones en alegre coro....

¡Hoy en su tristeza solitaria y honda
Desfilan recuerdos en fúnebre ronda!

La primera cita bajo naranjales,
Y al oído el canto de los madrigales;

Músicas de bailes, remotas cadencias,
Con el dulce encanto de las confidencias;

Violines en noches de luna, violines
De las serenatas, bajo albos jazmines;

Fiestas de otros días, canción de esperanza:
¡El ensueño ha muerto y el dolor avanza!..

Llueve, llueve... Y triste de la lluvia el son
Va cayendo en sombras a su corazón.
Tú que hueles la flor de la bella palabra
acaso no comprendas las mías sin aroma.
Tú que buscas el agua que corre transparente
no has de beber mis aguas rojas.Tú que sigues el vuelo de la belleza, acaso
nunca jamás pensaste cómo la muerte ronda
ni cómo vida y muerte -agua y fuego- hermanadas
van socavando nuestra roca.Perfección de la vida que nos talla y dispone
para la perfección de la muerte remota.
Y lo demás, palabras, palabras y palabras,
¡ay, palabras maravillosas!Tú que bebes el vino en la copa de plata
no sabes el camino de la fuente que brota
en la piedra. No sacias tu sed en su agua pura
con tus dos manos como copa.Lo has olvidado todo porque lo sabes todo.
Te crees dueño, no hermano menor de cuanto nombras.
Y olvidas las raíces («Mi Obra», dices), olvidas
que vida y muerte son tu obra.No has venido a la tierra a poner diques y orden
en el maravilloso desorden de las cosas.
Has venido a nombrarlas, a comulgar con ellas
sin alzar vallas a su gloria.Nada te pertenece. Todo es afluente, arroyo.
Sus aguas en tu cauce temporal desembocan.
Y hechos un solo río os vertéis en el mar,
«que es el morir», dicen las coplas.No has venido a poner orden, dique. Has venido
a hacer moler la muela con tu agua transitoria.
Tu fin no está en ti mismo («Mi Obra», dices), olvidas
que vida y muerte son tu obra.Y que el cantar que hoy cantas será apagado un día
por la música de otras olas.
Aryan Sam Jul 2018
Aj me apnia purania emails pad reha c
Sach kaha ta sala pad ke rona a gea
Jida hi start kita rona a gea
Tuci menu kende c ips ban jao
Ye ban jo wo ban jo
Nd me sala kuj ni kita
Asli kasoorwar me hi ha
Ki apna viah ni ** sakea
Me apne busienss de chkr wich thuhanu gawa lea
Sala mere to fuddu bNda koi ** sakda dunia wichh, nai koi bi nai.

Aj a reha c wapis office to.
Ikala c gaddi wich.
Sach dasa. Sare raste ronda aya me
Meeh pe reha c nd me ro reha c
Sad song wi chal rahe c
Hawa de warkea te , tera naa likh lea.
Paun lai me tenu, krna payar sikh lea.

Sala bada rona aya aj.
Am sorry heena ji
No dormía: vagaba en ese limbo
en que cambian de forma los objetos,
misteriosos espacios que separan
      la vigilia del sueño.

Las ideas que en ronda silenciosa
daban vueltas en torno a mi cerebro,
poco a poco en su danza se movían
      con un compás más lento.

De la luz que entra al alma por los ojos
los párpados velaban el reflejo;
mas otra luz el mundo de visiones
      alumbraba por dentro.

En este punto resonó en mi oído
un rumor semejante al que en el templo
vaga confuso al terminar los fieles
      con un Amén sus rezos.

Y oí como una voz delgada y triste
que por mi nombre me llamó a lo lejos,
¡y sentí olor de cirios apagados,
      de humedad y de incienso!

Entró la noche y del olvido en brazos
caí cual piedra en su profundo seno.
Dormí y al despertar exclamé: -¡Alguno
      que yo quería ha muerto!
Voy a confiarte, amada,
uno de los secretos
que más me martirizan. Es el caso
que a las veces mi ceño
tiene en un punto un mismo
de cólera y esplín los fruncimientos.
O callo como un mudo,
o charlo como un necio,
suplicando el discurso
de burlas, carcajadas y dicterios.
¿Que me miran? Agravio.
¿Me han hablado? Zahiero.
Medio loco de atar, medio sonámbulo,
con mi poco de cuerdo.
¡Cómo bailan, en ronda y remolino,
por las cuatro paredes del cerebro
repicando a compás sus consonantes,
mil endiablados versos
que imitan, en sus cláusulas y ritmos,
las músicas macabras de los muertos!
¡Y cómo se atropellan,
para saltar a un tiempo,
las estrofas sombrías,
de vocablos sangrientos
que me suele enseñar la musa pálida,
la triste musa de los días negros!
Yo soy así. ¡Qué se hace! ¡Boberías
de soñador neurótico y enfermo!
¿Quieres saber acaso
la causa del misterio?
Una estatua de carne
me envenenó la vida con sus besos.
Y tenía tus labios, lindos, rojos
y tenía tus ojos, grandes, bellos...
En los naranjos susurrando el viento;
El patio por la luna iluminado;
Mi corazón llorando en su aislamiento,
Y cerca su sillón abandonado.

De ese grato soñar en la alborada
Las horas eran cual danzante ronda;
Y hoy yace oscura la mansión callada
Sin que el amor a la ilusión responda.

Distraída bordaba. Yo leía
Entre el azul de atardecer risueño,
Y cual hilo de luz, la poesía
Nuestras almas juntaba un ensueño.

Ensueño ¿En dónde estás?… ¡Oh vida en calma
De otro tiempo… hoy ausencia y hondo hastío!
Se va la luna… y se me oprime el alma
Viendo a mi lado su sillón vacío.

— The End —