Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aisyah Adler Mar 2016
Perasaan ini terus bergelung
Bersembunyi di dalam relung.
Seakan mencoba tuk keluar, namun keadaan tak mendukung.
Ia pun lelah akan waktu yang terus berjalan namun berbanding terbalik dengannya
Yang hanya duduk beralaskan rasa percaya
Menatap langit kelabu menunggu turunnya rintikkan hujan pertama.
Walau kerinduannya semakin lama semakin bertambah,
Ia tak pernah bosan untuk membendungnya
Dan menunggu,
Menunggu datangnya hujan.
Karena ia percaya bahwa seberapa besar kerinduannya, seberapa dalam rasa sakitnya, dan seberapa lama ia menanggung deritanya, hujan yang turun akan menyapu bersih luka di relungnya.
Bagaikan obat penawar yang selalu ia temukan saat penyakitnya kembali datang.

Ia tak pernah bosan bercerita kepada langit,
yang dengan setia mendengar celotehannya.
Sambil menunggu turunnya hujan, ia bercerita akan lika liku yang ia alami.
Mendongak menatap langit, dan bercerita.
Sejenak ia dapat mengalihkan perhatiaannya dari hingar bingar sekitar
dan menemukan ketenangannya sendiri.
Yaitu bersama langit, saat menunggu hujan.

Rintikan pertama menerpa wajahnya. berhasil mengangkat sudut-sudut bibirnya.
Ia tersenyum.
Yang ditunggu memang tak pernah datang terlambat.
Diikuti dengan rintikan lainnya dan kemudian hujan turun dengan deras.
Inilah kebahagiaannya.
Namun juga kesedihannya.
Saat rintikan hujan yang turun berhasil membuatnya tersenyum sekaligus menangis.
Karena dapat membawa ketenangan dan penghapus luka,
namun juga dapat membawa kerinduan yang turun disetiap rintikannya.

“Jika hujan tidak dapat membuatku seutuhnya bahagia, lantas kemana lagi aku harus mengadu?”
Sarah Oct 2014
mungkin alam semesta turut berduka atas kepergianmu.
does this even make any sense
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
M Feb 2019
tidak disadari, langit yang biru berubah
menjadi warna oranye dan ungu muda.
perpaduannya pun sangat indah,
ditemani pula oleh kicauan burung yang sunyi.

selang waktu berjalan, hati semakin berat,
pena dan kertas, aku bertemu lagi denganmu.
langit yang indah tiba tiba berteriak,
seperti singa yang mengaung ditengah ladang.

apakah mungkin, bahwa kita melihat langit yang sama?
perbedaan waktu yang tidak masuk akal, ingin membuatku
menguras air di lautan yang biru,
yang menghalangi pertemuan kita.

gila, bukan?
aku berbicara kepada kertas putih,
layaknya kertas ini adalah sahabatku,
atau kuping yang selalu mendengar.

tangisan hati pun terlalu keras, malam ini.
langit yang indah, sekarang bersaturasi,
menjadi warna abu abu yang gelap,
jadi ini, toh.

ini, yang dinamakan
berbicara kepada kertas,
saat air mata milik senja,
turun dari langit.
a drabble in indonesian, this poem is so hard to convert to english, but i will try to. you can translate this if you want <3
Aridea P Sep 2012
Palembang, 5 September 2012

Aku melihatmu,
sama seperti waktu pertama kali aku melihatnya.
Bukan karena ketampananmu,
tetapi karena kamu seorang Lelaki.

Namun dia bukan kamu,,,
dan kamu bukanlah dirinya,,,

Tak pernah aku melihat jari-jemarinya,
seperti aku melihat jemarimu.
Bukan hazel green eyes dia juga yang kulihat,
melainkan hitam bola matamu.

Aku melihatmu,
dari kursi belakang bus.
Did you see me?
Aku turun dari bus dan menghampirimu.

Namun yang kulihat bukan senyumanmu,
karena kamu tak pernah tersenyum kepadaku.
Bukan senyumannya juga yang ku harapkan,
melainkan senyumanmu.
JHT Jun 2017
Pada hari yang baik di bulan yang baik ini;
Hujan turun lagi membasahi segenap pertanahan;
Di balik bulirnya seorang pujangga termenung;
Menuliskan kembali lirik-lirik tersedih dalam puisinya:

Wahai imaji hujan di masa lalu;
Pernah kulupa namun mengapa belum kurela?
Wahai melodi hujan di masa lalu;
Kembali kau ketuk palung paling dalam;
Kehalusan suara wanita yang pernah ada;
Mengapa tak lenyap bersama kejatuhanmu?

Apakah lagi-lagi aku berdiri pada persimpangan yang sama?
Penuh kabut, memudar namun seyogianya belum sirna;
Tahun demi tahun telah berlalu bersama kejatuhan hujan;
Namun mengapa kesepian tak pernah berlalu?
Walau kesedihan menolak segala kefanaan;
Yang belum berubah menjadi sebuah kejadian;
Yang menolak segala bentuk pengulangan;

Apakah kekosongan merupakan bentuk realita tertunggal
Yang selamanya akan terus berbahasa dalam kebisuannya?
Mengapa masih aku mengaku yang tertabah;
Jika musibah tak mampu melenyapkan;
Segala terpaan angin rindu yang pernah berhembus?
Jika segala ketakuan masih menjadi ada dalam tiada;
Mengapa pernah juga kau lepas ikatan kita?

Perlahan kata-kata itu meresap kepada perakaran;
Sebolehjadinya ujung pena tak mampu memahami;
Segala makna yang tersirat dalam rampaian puisinya;
Bila kepergianmu adalah kesenduan dari berkat kehidupan;
Ajarkanlah aku berdamai dengan segala bentuk prasangka;
Yang datang bersama bayanganmu di kala hujan.
Dan kembali pepohonan bersemi bersama dengan perakaran yang dibasahi titik hujan. Bagaikan prasangka menolak segala bentuk pengulangan. Seorang pujangga terjebak dalam ketidakpastian diskursif.
So Dreamy May 2016
sore itu dingin.

kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela
secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu.
kutunggu kabar
namun tak juga kunjung datang

duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat.
teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat.
terlalu sibuk atau apa?
biar kunanti lagi bersama rintik hujan.

semenit
lima menit
  sepuluh menit
   dua puluh menit
    lima puluh menit

kutunggu telepon balasanmu
namun belum juga kau
izinkan aku mendengar suaramu

aku diam
bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun
biarkan!
aku letih
berpura-pura merasa tidak sakit hati

bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.

kemudian aku sadar;
seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.
Bintun Nahl 1453 Feb 2015
Desember bersambut hujan, menderas berlukiskan mendung. Sejuk menusuk tulang, yah hujan desember memang tak main
- main dan tak tanggung - tanggung, serius. Memelukmu dingin bertubi - tubi.
Belajar dari 'hujan desember'
Pengorbanan seperti apa yang akan kau ukir untuk membuka pintu kemenangan dakwah ?
Setergenang jalan setapak kah, dengan guyuran hujan ?
Atau, sesemangat hujan desember kah ? Dengan turunnya susul menyusul melembabkan tanah tahun depan, menyusun rencana agar tanah tak mengering dan gugurlah dedaunan karena cuaca tak menentu ..
Segemuruh deras hujan kah ? Berirama dan memberi isyarat bahwa lagi - lagi akan menggenang walau ada saja suara sumbang "aah, hujan turun lagi, sampai kapan "
Dan entah akan kembali kah ia, dengan desember yang sama atau justru tertelan waktu dan mati ..
Maka, prestasi apa yang telah terukir setahun ini dan rencana - rencana apa yang telah tersusun rapi untuk mendobrak peradaban kelam ini ?
Mengembalikan peradaban gemilang "KHILAFAH ISLAMIYAH" ..
Mengubur Demokrasi Kapitalisme Sekularisme dan tak bergairah lagi untuk bangkit ..
Jangan sampai waktu tak menggenapkan umur .
Jangan sampai terlanjur gigit jari, menyesal.
Dan, jangan pernah bosan untuk tetap menyeru walau terus dihujat . Demi terterapkannya syari'at islam dan hidup sejahtera dalam naungannya ..
Maka, jangan lupa sedekapkan kedua tangan dan berdoalah akan kemenangan islam dipercepat ..
Karena hidup adalah IBADAH, AMANAH, dan MUHASABAH ..
Allahumma Shayyiban Naafi'an ..
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Kini aku menulis dari sudut kiri
Memalingkan mukaku dari hadapanmu
Tak ingin terlihat olehmu

Di sini, aku membaca sembunyi-sembunyi
Menahan kedip,
Tak ingin melewatkan membaca namamu

Di sini dingin,
hujan baru saja turun
Membasahi jalanan yang terlalu lama kering
Aku tak ingin pergi keluar
Hanya ingin di sini
Merasakan rasa ini lagi
Rasa seperti ini
Sekarang ini,
saat aku menulis ini

Rasa yang sulit tuk diungkapkan
Lebih sulit dari berjalan di atas bara
Lebih sulit dari mengingat namamu
Sangat sulit daripada menulis namamu
Sangat amat sulit daripada menyebut namamu

Rasa,
yang tak akan pernah berhenti membuatku menulis
Rasa,
yang tak mampu ku ucapkan sendiri
Rasa ini
Rasa yang sulit tuk dimengerti
Rasa yang tak akan pernah hilang
Rasa yang sulit tuk tak dibahas

Terima kasih tlah membuatku menulis dari kiri
Ann P Aug 2018
Setiap tarikan napas
Satu hembusan
Aku berhutang

Setiap langkah kaki
Satu jejak
Aku berhutang

Seribu
Seratus ribu
Satu juta
Berjuta-juta rupiah
Aku dapatkan
Aku pun berhutang

Hutang yang kekal
Hutang yang indah
Hutang turun temurun

Pada mu
Pahlawan ku
Aku berhutang
Berhutang kemerdekaan
Berhutang kebahagiaan
Berhutang persatuan

Pada mu
Pahlawan ku
Aku berjanji
Menjaga Indonesia
Membanggakan Indonesia
Untuk membayar
Perjuangan hebat mu
Elle Sang Jun 2016
Tak ada yang bergerak di luar jendela
Rahasia tersimpan rapi diantara bantal-bantal yang tersusun
Izinkan aku untuk masuk
Aku tak akan menyakitimu

Kita terjebak diantara Surga dan Neraka
Mencari tempat berlindung
Ketika rasa sakit mengalir turun seperti hujan
Mereka membagikan rasa itu secara cuma-cuma

Saat bagian tersulit berakhir
Kita akan terus berada disini
Kita bisa memberitahu Iblis untuk kembali ke tempat ia berasal
Karena kau dan aku telah melawati batas-batas ketakutan berdua.
ophelia Jul 2019
teruntuk bulan Juli,
walaupun aku selalu membenci hujan dan bagaimana air turun dari langit,
bagaimana hujan menghancurkan segala hari-hariku dan lembab tanah yang mengganggu,
dan yang pada akhirnya bulan Juli,
mataharimu bersinar cerah,
dan saking teriknya,
panasmu menusuk jiwa bagaikan aku tidak siap untuk segalanya,
aku jatuh sendirian dan sejujurnya,
naif.
aku rindu,
langit gelap dan aroma basah tanah saat air hujan turun,
aku rindu,
kamu memegang tangan eratku pada tengah hujan di kota itu
teruntuk bulan Juli,
maukah kamu untuk terakhir kali menjatuhkan hujan dari langitmu itu?
bukan,
bukan untuk mengenang hal indah,
tidak,
tidak, untuk apalagi?
hujan di bulan Juli,
aku mohon,
hanya untuk membasuh semua luka sakit.
rain of july, the monophones
Jovanka Marsha S Dec 2017
JOGJA

“Jogja sedang berusaha menutupi kesedihan karena penyesalannya, buktinya akhir-akhir ini Jogja ramai sekali”
“Untuk apa Jogja bersedih?
Bukankah banyak yang mencintainya selama ini?
Buktinya Jogja bisa dengan mudahnya tebar keramahan kesana-kemari kemudian mendapatkan banyak hati.”


JAKARTA

“Jakarta sudah tidak kuat lagi menahan sakit perasaannya hingga ia menangis, buktinya kemarin hujannya turun deras sekali”
“Untuk apa Jakarta menangis?
Bukankah Jakarta begitu kuat?
Buktinya ia tahan mendengar suara bising dari banyak pasangan kekasih yang melempar janji-janji palsu selama ini.”


BANDUNG

“Bandung bingung menanggapi apa yang terjadi terhadap Jogja dan Jakarta, buktinya ia hanya bisa diam.”
“Tidakkah kau tahu bahwa bandung selalu bersuara?
Tetapi selama ini suaranya tersamarkan oleh suara hujan.
Buktinya suaranya tidak bisa dibuktikan.”
poeticmetaphors on Tumblr
Jakarta | 16 Jul | 2.06 AM
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

Hari ini aku tak ingin berhenti menulis
Bagiku menulis itu sangat berarti
Aku bisa mencurahkan isi pikiranku tanpa aku harus berucap
Ucapanku terkadang tak didengar orang, kau tahu?
AH, bukan!
Ucapanku bahkan tak pernah didengar orang
Aku hanya batu, yang hanya dilangkahi orang setiap kali berjalan

Hari ini mentari bersembunyi di balik awan mendung
Namun panas teriknya masih bisa ku rasakan dikulitku
Aku hanya bisa berteduh di bawah atap kamarku
Padahal jiwa ini ingin sekali menari di bawah mentari
Padahal kaki ini ingin sekali tenggelam di pasir pantai yang kasar
Ingin sekali rasanya membawa diri ini ke air laut biru nan luas
Aku ingin sekali mengapung di air garam yang bening
Namun yang kulakukan hanya mengetik tulisan tak berarti

Hujan mulai turun
Apa daya aku hanya bisa menunggu
Aku terkurung di dalam dunia sendiri
AKu belum berani tuk berkelana sendiri
Klo Sifa May 2016
seperti mendung yang merupakan tanda hujan turun
seperti embun yang merupakan tanda matahari terbit
sepasti jam yang berdetak
seperti dan sepasti itu kau memberikan tanda

bahwa suatu saat kau akan lupa

pada kata-kata yang terucap
pada goresan pena yang tertancap
padaku

dibantu dengan hari yang tidak lelah berganti
aku berusaha berjalan pergi
sudah tidak ada yang diharapkan bulan pada matahari pukul 6 pagi
pada akhirnya dia akan terganti

aku akan diganti
malam aku tahu bahwa kau sudah tidak lagi bisa dipertahankan. aku tahu ini terdengar konyol karena sudah beberapa kalo kucoba memberi alasan ini. Kali ini mungkin berbeda. Karena kau yang memberikan alasannya.
Vickiazaira Nov 2022
Seolah langit mendengar sebuah sendu
Turun membasahi tiada ragu
Tak sadar air itu turut membaur
Lekas ku usap tanpa ada yang tahu
Di tulis ketika hujan turun di Bandung sore hari
Alia Ruray Feb 2015
Papa sekarang sudah di puncak
Turun kebawah bukan tugasnya.
Mama hanya bisa terseret
Laksanakan tugas seorang pasangan.

Apadayaku yang berada di sini..
dalam, dalam, di bawah tanah.
berteriak jua tak sampai
bisingku tak kuasa menyentuh

Semata-mata mengandalkan kacang;
puluhan bungkus tuk bahagia
Semata-mata mengandalkan air;
puluhan gelas tuk air mata

Mama mengingatkan tuk bersua
Nyatanya bersua itu lemah,
dan anak 16 tahun tidak kuat.
Gaduh, gaduh, gaduh saja bisanya.

Semak pun belukar menjadi-jadi
sebuah bentuk proteksi yang nyata.
Biarkan durinya berfungsi;
bak pedang tuk mereka.
made on 11/11/2014
Bella Ayu Apr 2019
Untuk yang merindukan Rumah, lebih dari apapun.
Rumah bukan lah tentang bangunan, ruang, pintu-pintu yang kokoh, atau jendela-jendela yang ditata.
Bukan tentang jenis kayu apa yang digunakan untuk pintu-pintu, jendela-jendela, entah itu jati, sigi atau mahoni.
Ini tentang apa yang hidup di dalam sana.


Aku pernah memiliki rumah, dan selalu ingin kembali pulang kesana, tapi seseorang yang memiliki peranan sangat penting di rumah, pergi meninggalkan, anggaplah ia sebagai jantungnya, dan ketika jantung tersebut sudah berhenti berdetak, mati lah yang akan kau temukan. Barangkali ia sudah menemukan rumah barunya, dan benar saja.
Baginya aku dan ibu hanyalah tamu, dan kau tidak pernah benar-benar menerima tamu, mereka lalu lalang disana, ia menemukan rumah barunya, bukan aku bukan juga ibu.

Saat aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali pulang dan mengingat-ingat jalan menuju rumah, aku menemukannya, namun rumah itu sudah terkunci sangat rapat, aku megetuknya, tak juga si pemilik membukakan pintunya, beberapa waktu aku masi mencobanya, mungkin tidur di teras rumah ini dan berharap suatu waktu pintunya akan dibuka oleh sang pemilik, namun waktu yang ku tunggu itu tak pernah datang. Aku mencoba mengintip lewat jendela-jendela yang kokoh, aku melihat seorang anak kecil laki-laki berlarian di ruang tengah dekat perapian. Aku tersingkir.

Hujan turun dengan derasnya, bukan dari langit, melainkan dari pelupuk mataku, sepertinya awan hitam menyelimuti seluruh ruang hatiku, aku tersadar bahwa ia sudah benar-benar pergi meninggalkan rumah lamanya, dan sudah benar-benar juga menemukan rumah barunya.

Saat ini aku sedang mencoba untuk membangun rumah yang lebih kuat, kokoh, dan indah. Aku tidak akan kembali pulang atau kembali mengingat-ingat jalan menuju rumah lamaku.
Aku akan membuatnya sendiri, dan semoga rumah baruku tidak pergi lagi.
Sipaa Adriani May 2019
Awan seakan mulai mengabu
Petir pun bersahut sahutan menyeru
Hujan turun perlahan
Seolah menemani diri yang baru saja kehilangan

Rintiknya membawa sejuta kenang
Tentang seseorang,
NURUL AMALIA Aug 2017
Hujan lebat telah turun
Berganti matahari yang cerah terbit
Sekarang biru
Aku sendiri berjalan di tangga pelangi
Lalu awan putih menjemputku
Aku hanya duduk manis di atasnya
Merasakan angin yang berbisik lembut ditelingaku
Mengisyaratkan dan mencoba meyakinkanku, untuk jangan takut
Sementara burung bernyanyi riang
Menemaniku untuk berjalan-jalan
Aku baru saja tiba di depan sebuah istana
Penuh bunga bunga yang mekar
Dan menyambutku
Lalu aku ingin tinggal di sana
Jika aku bisa..
Ismail Nasution Nov 2017
Deru dan hening turun ke hilir
Ingatan kita hanyut menuju muara

Angin meniupkan wangimu
Rindu menyala di perapian
Melahirkan kehidupan tanpa suara

Sedang awan berdusta tentang hujan
Yang tak seindah dari balik jendela
Namun aku lebih membenci jarak
Yang membangun antara sebelum kita
ga Apr 2018
Langit sore memerah malu
Saat ia menatap ketat lembayung senja
Sejurus angin bertiup lembut
Menggoda tiap helai rambutnya

Untaian awan paham akan isi hatinya
Melepaskan dahaga penikmat rindu
Pelipur lara di kala sendu
Tumpah ruah menghujani bumi

Rintik hujan memancing senyum di bibirnya
Butiran awan menggantung malas
Di antara bulu matanya yang lentik
Turun menyusuri sudut matanya

Pipinya merona tak peduli dinginnya senja
Tangannya terulur menyambut sang malam
Gadis hujan yang ingin mencintai malam
Malam yang menciptakan badai dari hujan
24/04/2018
gadis hujan
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Ky Dec 2017
Hembusan angin sayu, menyapa rumput sendu
Rintik hujan turun segan, basah ranting kerontang
Seolah bersatu padu, gambarkan kecewaku

Mereka kata "lihat mata si bodoh keluar tangis"
Kubilang "pergi jauh dasar iblis"

Sendiri kini kau disana
Gantung diri hilang kecewa

Jatinangor, 21 Desember 2017
Jerry Feb 2018
Lovely faces with gorgeous bodies;
Dancing on the beats of music...

Fewer in love, few in love with the idea of love,
Most, just waiting for the right time; To make a move...

The time is flying, beats getting louder,
Lovers’ ecstatic, others’ still hopeful;
Rest’ losing the plot, rolling on the floor...

Finally, its 2.30 a.m., the zoo of love, desire & lust;
Smelling ****, beer and blood...

Fewer in love, left already,
Few in love with the idea of love, lost the plot & senses;
Scavengers waiting, other walking with dejection...

Seven days pause then again, a new weekend, but the same Zoo;
And so, would be sensations…

Written by MAJI, Turun Yliopisto
Uploaded on behalf of a friend! Not written by me.
Jerry Feb 2018
In the game of three;
There was no way for me

In the game of two;
I played, only to lose

There is no blame;
Just the wrong game

Now i play solo;
Like a glowing halo

Written by MAJI, Turun Yliopisto
Uploaded on behalf of a friend! Not written by me.
Amira I Jun 2020
Bulan kembali memutari bumi
untuk ke-enam kalinya di tahun ini.
Bersyukur, hanya itu yang dapat kulakukan
untuk segala nikmat yang masih kurasakan.
Kalau kata Pak Sapardi, dalam sajaknya
« Hujan Bulan Juni ».
Ia itu tabah, bijak, dan arif.
Namun, akankah ia turun kali ini?
untuk merahasiakan, menghapus, dan membiarkan––
––segala sesuatu perbuatan manusia, pun baik dan buruk.
ditulis pada tengah malam pergantian hari pertama ke hari kedua bulan Juni.
Semoga kamu masih ingat.

Seperti aku yang ingat betul suhu tubuhmu pada pukul 3 pagi saat hujan turun dan tubuhku sibuk mencari kehangatan yang kau tawar.

Semoga kamu masih ingat.

Caraku menciummu, dengan segala isi yang aku punya.

Tunggu,
Cukup dengan pembahasan “semoga kamu masih ingat” ini.
Apa nyatanya kau sudah lupa semua ?

Kalau begitu lebih baik ajari aku.
Bagaimana pilihan menjadi lupa begitu mudah untuk semua ?
Aku bermain dengan Raja Hutan
GEIGA VIA TANARO Apr 2018
Sore, pasca hujan turun.

Kami menyusuri setapak di pinggir hampar padi demi beberapa bungkus mi.
Seperjalanan kami hanya membicarakan hal-hal kecil yang belum pernah diperhatikan masing-masing dari kami.
Seakan paus di laut begitu penting dibahas dari perjalanan kecil itu.
Kami bawa payung satu-satu, tapi tanpa payung sepertinya teduh sudah hadir.

Kami juga pernah pulang lewat jalan kecil yang berakhir di muka ungaran setelah makan siang.
Dia; temanku menatap nanar muka ungaran.
Wajah kecilnya tersapu rambutnya yang mengikut angin.
Ia teringat teras rumah, teh hangat, dan ibunya yang tiada.
Udara bukan main sejuk, tapi ceritanya bukan main menusuk.

Aku suka petrikor.
Ia selalu berhasil mengundang rona juga lara.
Salah satu anugerah tersederhana yang pernah tercipta seakan hanya untuku saja.
Ingar bingar Aug 2019
Akhir-akhir ini kemarau
tak kunjung pulang
aku ingin hujan
aku ingin dia datang
turun deras
mengucuri segala resah, rindu
dan perkara yang tak kunjung hilang
aku ingin hujan
datang membawaku
pergi bersamanya
mengalir melewati segala sudut dan celah dunia
supaya ketika saatnya aku pulang,
resah dan perkaraku telah tertinggal
di tempat-tempat yang mungkin
tak akan pernah kusinggahi lagi.
-M- Sep 2019
hutan digunduli
rakyat di provokasi
mahasiswa turun aksi
kembali ke zaman reformasi

kebebasan diperketat
yang keblabasan malah dipercepat
ini bukan tontonan pelepas penat
tapi menyadarkan para pengkhianat

negara ini milik bersama
tapi penguasa yang seenaknya
jika tidak ada kita-kita
kau bisa apa

kekuasaan bukan tolak ukur
sampai urusan selangkangan saja diatur
kalian itu cocoknya hanya tidur
sekalinya kerja malah ngelantur

kasihan ibu pertiwi
diperkosa anak sendiri
cakapnya saja mengabdi
tapi sikapnya bak pencuri

Indonesia

berduka

atau

bercanda
Nita Jul 2020
Aku tak dapat memperkirakan pukul berapa rintik hujan akan turun hari ini
Barangkali kamu masih sanggup menunggu hingga reda
Jadi,  bagaimana?
Masih ingin pergi denganku?

— The End —