Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Jun 2012
Palembang, 19 Juni 2012

Apa yang salah pada diriku?
Membuka lembaran lama, mengenangmu
Menangis lagi, mengingat kamu
Membayangkan wajahmu
Mengingat raut senyum indahmu

Apa yang salah pada diriku?
Mencuri bagian hidupmu
Menyimpannya di memoriku

Apa yang salah pada diriku?
Bergerak pun enggan
Berjalan pun aku tak mampu
Pikiran ini tak terfokus
Karena tergenangi kenangan yang lalu

Apa yang salah pada diriku?
Menunduk bersandar dagu pada lutut
Berdoa, meminta pada-Nya

Apa yang salah pada diriku?
Berucap pun aku tak sanggup
Hanya bisa mendengar lagu, dan aku ingat kamu
Untuk berbaring lagi punggungku hampir runtuh
Duduk pun tak bisa lagi

Apa yang salah pada diriku?
Melototi layar putih
Hanya ada putih

Apa yang salah pada diriku?
Mata ini tak mau tertutup, tak bisa tidur
Terjaga siang dan malam
Aku bernafas seakan tak ada lagi udara
Aku melihat seakan tak ada lagi hal yang nyata
Dean Al Fataa Jun 2013
Di malam bulan terpotong jadi tawa, angin membelahku jadi tiga bujursangkar. Satu untuk diriku sendiri, satu untuk bibir kemaraumu, dan yang lain, mungkin, untuk dua anjing lapar yang Tuhan pelihara dalam diriku dan dirimu.

Di situ, di rimbunan gelap yang padat dan waktu yang mengering, ingatan mempertemukan kita walau sebentar. Kau berlari membawa kotak yang di dalamnya mungkin adalah namaku, dan aku berlari di belakangmu menjauhi danau.

Sayap-sayap yang tidur, kepala yang dinaungi tali-temali, dan jejak-jejak bernafas rapat. Bagimu, dunia mungkin masih adalah tabir yang kaku.

Oh.

Burung-burung dalam kepala! Itu kekakuan yang liris membunuhku.


Malang, 3 April 2013
KA Poetry Oct 2017
Wanita berlapis kerudung
Apakah lancang diriku untuk berbincang ?
Perasaan yang terus menarik diriku untuk mendekat
Pikiran yang terus menahan akan menghormati

Apakah yang ada didalam hatimu?
Seisi coklat dengan beraneka rasa?
Atau
Seikat bunga dengan sama warna?

Rasa ingin tahu yang sangat besar
Membuat diriku ingin memasuki dunia mu
Dunia yang mengguncang
Namun, tidak banyak yang merasakan

Buku - buku yang disusun rapih
Namun tidak satupun isinya mengenaimu
Bayangan yang selalu hadir di mata
Namun tidak ada pelaku bayangan itu

Bolehkah diriku mendapatkan kehormatan
Untuk masuk dan mempelajari hatimu?
Maafkan diriku yang lancang ini
Aku hanya ingin tahu tentang seorang putri berkerudung.
16/10/2017 | 19.08 | Indonesia
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
KA Poetry Nov 2017
Menelusuri ujung dunia
Tidak berujung

Temani diriku
Terangi diriku
Tuntun diriku

Kau pun menghilang
Diriku, terabaikan.
26/11/2017 | 00.51 | Indonesia
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Aku berjalan,
menyusuri lorong gelap dan dingin
Menatap lurus pada satu tujuan
Pintu berukiran abstrak
Tanpa kunci aku bisa masuk dengan mudahnya
Tanpa kode aku lolos dari tes keamanan

Aku terus berjalan,
menapaki lantai yang lembap
Menuju suatu benda tinggi besar yang datar

Aku berhenti.

Berdiam diri cukup lama
Terpaku tanpa mampu berkata

Aku berdiri di depan cermin
Aku melihat diriku
Lihat Dia!
Dialah aku yang haus akan cinta
Dialah aku yang menadah kasih sayang
Aku berlutut dan meminta
Bawa dia ke sini Tuhan
Ke hatiku

Aku masih terdiam terpaku
Menyaksikan apa yang ada di hadapanku
Berpikir, betapa bodohnya aku
Aku berbalik tanpa berkata sepatah pun
Dan pergi meninggalkan aku yang masih terperangkap di cermin itu

Masih bisa kuubah, ucapku pada diriku
Takkan ku biarkan penderitaan menyentuh hidupku,
sedikitpun
Aku akan berbalik dan melupakan semua
Melanjutkan perjalanan hingga tugasku usai
KA Poetry Dec 2017
Nama mu terukir sangat indah
Kebahagiaan yang tiada dua
Kisah kita memang baru sebentar
Namun hatimu ingin beranjak

Tanya hatimu,
Sebelum engkau pergi
Masihkah diriku menghuni didalamnya?
Terlalu rapuh untuk tersandar dan menerima

Diriku memang tidak mendekati sempurna
Aku... Gagal... Membahagiakan mu
Diriku tak pernah berhenti mencoba
Aku... Tidak... Layak

Sebelum kau memilih untuk pergi
Aku tak pernah lelah menanti
Nama mu yang selalu ada di setiap doa
Aku akan merindukanmu

Terima kasih untuk segalanya.
08/11/2017 | 17.44 | Indonesia
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
ga Aug 2017
Temukan aku, cari aku
Hancurkan aku, remukkan aku
Caci diriku hinakan jiwaku
Buat aku berlutut menangis di hadapanmu
Hempaskan tubuhku rebahkan kepalaku
Lakukanlah, hancurkan diriku.

Tapi ketika saatnya tiba
Ulurkan tanganmu, raihlah kepalaku
Berjongkoklah, sentuh pipiku
Elus rambutku hapus air mataku
Tundukkan kepalamu, dekatkan ke telingaku
Bisikkan padaku sebuah kata dari dalam hatimu
Hembuskan padaku sebuah harapan
Lantunkan lagu itu, lagu kehidupan

Tatap mataku, ajak aku berdiri
Pandang wajahku, yakinkan aku
Genggamlah tanganku sementara kau mulai melangkah
Peluk erat jariku dengan jemari lentikmu
Berikan hangat tubuhmu, genggam erat tanganku

Ayunkan kakimu, berlarilah
Bawa aku bersamamu, beri aku jalan
Menolehlah sesekali ke belakang
Aku akan tetap berada di sana
Memandangi jemarimu memeluk jemariku
02/04/16
Aridea P Oct 2011
Jumat, 6 Agustus 2010

Tak lagi kini kata syukur pada diriku
Tak ku sadari begitu bencinya Dia
Hingga kini ku diberi kesempatan
Yang tak ku sadari adalah cahaya-Nya

Tak lagi kini ku terpanggil untuk-Nya
Tak tahu aku ada apa dengan raga
Dan jiwa pun kini ku tak tahu di mana berada
Hanya ocehan kasar yang terucap
Tingkah laku yang berdosa saja
Perenungan yang membawa hasil
Namun tak sanggup aku berkata maaf

Sudah terlambat dan telah berlalu
Ku hanya bisa menangis sedu
Dan menanggung perasaan malu

Ku harap kali ini
Ku mampu memanfaatkan waktu
Demi hatapan dan tujuanku
Mengembalikan kata syukur pada diriku
Dan ku ucap syukur itu setiap waktu


Created by. Aridea .P
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Aridea P Dec 2011
Palembang, 17 Desember 2011

Aku hidup dengan nafas mu Bapak, Ibu
Aku ada karena Dia Yang Maha Satu

Namun raga ini aku yang bawa
Jiwa ini aku yang menjaga
Hidup ini aku yang memilih
Cerita ini aku yang jalani

Aku tumbuh bersama nafas mereka
Aku termotivasi karena mereka juga

Nafas kita menyatu
Mereka menghela nafas kebahagianku
Aku menghela nafas kebahagian-Mu
Nafas kami juga nafas mu, Bapak.. Ibu..

Kau pelita kehidupan
Obor benderang di gelap ku
Bekal mengenyangkan di lapar ku
Oasis indah nan segar di dahaga ku

Tak akan ada aku tanpa-Nya
Tak akan hidup aku hingga sekarang tanpa Bapak dan Ibu
Tak akan aku bertahan tanpa diriku sendiri
Dan aku hidup tuk bersama mereka

Aku yang menentukan
Dia tinggal menyetujuinya
Bapak Ibu hanya bmendoakan
Dan sebentar lagi mereka ku gapai

(it’s because I Love Shane, Mark, Kian and Nicky)
Loveeyta Jul 2017
Malam itu hujan,
Entah Tuhan ingin membuatku semakin sedih karena suasana yang mendukung,
Atau  Tuhan tidak ingin semua mengetahui kalau aku menangis.

Malam itu hujan,
Ketika semua perkataan yang keluar dari mulutmu membuat aku bertanya,
Apakah kamu benar-benar orang yang pernah aku sayang dahulu?
Apakah kamu benar-benar orang yang selama ini aku perjuangkan?

Karena malam itu ketika hujan,
Aku seperti tidak mengenal dirimu.

Malam itu hujan,
Ketika semua perkataan yang keluar dari mulutmu tidak lebih hanya membuat aku merasa sakit,
Apakah benar ini balasan dari semua usahaku untuk membuat kita baik-baik saja?
Apakah benar ini balasan dari semua usahaku untuk membuat kita tidak bertemu kata perpisahan?

Tapi tidak dengan malam itu ketika hujan,
Kamu bersikap seperti orang asing yang tidak aku kenal,
Kamu mendorongku untuk pergi dari kehidupanmu,
Kamu itu siapa?
Aku yakinkan diriku sekali lagi,
Apa kamu benar-benar orang yang selama ini aku sayang?

Malam itu hujan,
Aku tidak bisa berkutik kecuali meneteskan air mata,
Semudah itu untukmu?
Ketika selama ini aku bertahan dengan alasan yang mengharuskan diriku untuk pergi,
Semudah itu untukmu?
Ketika aku harus menahan rindu setiap malam,
Bertanya-tanya apakah dirimu baik saja di sana,
Semudah itu untukmu?

Tapi aku tidak menyalahkan malam itu ketika hujan,
Kepergianmu malam itu membuat aku sadar,
Kenapa aku terlalu takut untuk pergi sebelumnya,
Sedangkan kamu bisa melakukan dengan semudah itu?

Pergilah, aku merelakanmu.
Pergilah, bawa hujan di malam itu sebagai simbol akhir dari segalanya,
Pergilah, jangan pernah kau menoleh ke belakang untuk melihatku,
Aku yakin akan baik-baik saja,
Walau kini aku masih menangis bersama hujan.
KA Poetry Jun 2018
Tak pernah luput wajahmu yang selalu muncul di benakku.
Berkata " jemput diriku ".
Semakin mendekat, Semakin terasa mimpi.
Hingga kini, diriku memutuskan untuk bermimpi.
05/06/2018 | 20.51 | Indonesia | K.***
ga Aug 2017
Ketika sore mengayunkan cahaya terakhirnya
Kutahu saatnya akan tiba
Kusiapkan diriku menyambut malam,
Sang tirai gelap selimut jiwaku

Hitam membentang sunyi meresap
Cahaya-cahaya dipadamkan, disisakan yang redup
Kumainkan kenangan-kenangan lampau di atas panggung pekat
Kulantunkan kisah-kisah dalam alunan bisu

Anganku berkelana dalam diam
Khayalku liar bercabang-cabang
Dengan tenang malam menemaniku
Kesunyiannya memberanikan diriku

Ratusan kisah dan kenangan kupentaskan
dalam ribuan malam yang selalu kunikmati
Walau tanpa bintang, ditemani sang rembulan
Aku berkawan dengan malam
8/23/16
Aridea P Nov 2013
Semusim ini ku jalani dengan bebas
Hingga suatu hari di musim berikutnya aku tersesat
Menanggung sakitnya duri kehidupan akibat perbuatanku sendiri
Di saat begitu siapa yang ada bersamaku di jalanan sepi?
Kalian bisa lihat sendiri betapa kehilangannya diriku
Kehilangan akal sehatku
Kalian tidak mengerti, kalian tidak mau mengerti
Aku memang terlalu rumit

Musim ini aku ditemani sepi
Melanglang buana sendiri
Mencoba tuk temukan ketenangan yang pernah aku miliki
Aku duduk lama di tepi sungai dan menatap ke air seraya lirih
Menggoyangkan kaki-kakiku yg beralas sepatu usang
Merasakan angin sore menusuk hingga ke telapak kaki
Aku menunggu mentari jatuh di ufuk barat
Kemudian pulang berjalan kaki berharap pamrih
Hari ini aku masih sendiri
Musim masih lama berakhir
hey it's b Feb 19
Hai, sudah lama rupanya diri ini tidak mencurahkan segala hal yang ada di kepala nya melalui platform ini..

Karena selama ini aku mempunyai diary berjalanku yang kini sudah berpulang ke pangkuan yang Maha Kuasa

Rupanya, dan ya memang aku kembali menemukan diriku yang berkelut dengan kata demi kata yang berisik di kepala nya

Sebagai bentuk coping mechanism nya aku menuangkan melalui untaian kata, dan mungkin aku mulai menulis lagi? Ntahlah

Aku mulai sajak ini dengan..

Mengisi takdir baik untuk diriku.

19/02/2024
Griefing phase
Aridea P Nov 2011
Palembang, 3 November 2011

Sunyi . . .
Di luar hujan mereda tinggal rintik
Aku duduk terlemas terpaku
Otak ku berputar "mengapa ini selalu terjadi kepada ku?"

Aku menangis...
Aku menyesal...
Aku meronta...
Di dalam hati

Aku bertanya. . .
Apa salah ku?
Ya, andai aku bisa lebih sabar
Allah pasti kan memberiku hadiah

Namun tadi aku belum beruntung
Aku kecewa . . .
Pada diriku sendiri
Mengapa tak ku dengar kata hatiku?

Seakan inilah takdir ku
Tidak pernah beruntung
Baiknya, Allah selalu mendengar doa ku
"Maafkan aku, boleh ku minta hadiah ku?"
Aridea P Apr 2015
Palembang, 26 April 2015

Dear Mama,
Aku ingin bercerita
Aku seperti orang buta, Mama
Aku tidak bisa melihat mana hal yang baik, mana hal yang buruk
Aku tidak bisa membedakan di antara keduanya, Mama

Mama Sayang,
Aku ingin bercerita
Aku seperti orang lumpuh, Mama
Aku tidak bisa menyelesaikan masalahku sendiri
Bahkan aku memilih berdiam diri daripada menghadapinya

Mamaku yang Cantik,
Aku ingin bercerita
Aku seperti orang tuli
Aku sedikitpun aku tidak menghiraukan dunia sekitar
Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri

Mama,
Aku ingin bercerita
Aku pembuat onar di sini, aku ingin pulang ke pelukanmu
Aku ingin jadi anak baik
Seperti saat masih di dalam pengasuhanmu

Mama, aku rindu Mama
Aridea P Apr 2013
Palembang, 14 April 2013

Jika kamu tidak menyukaiku,
tolong agar bagaimanapun tuk mencintaiku
Jika kamu tidak menginginkanku di sini,
maka rindukan aku
Jika kamu ingin melupakanku,
maka ingatlah aku selalu
Jika kamu tidak ingin mengetahui tentang diriku,
maka pikirkanlah aku
Jika kamu berharap tidak pernah mengenalku,
maka ijinkanlah aku hadir di mimpimu
Jika kamu menginginkanku tiada,
maka hiduplah bersamaku
Jika kamu sangat amat membenciku,
Aku akan sangat lebih mencintaimu


I Love You, Someone
Aridea P Jan 2012
Di suatu tempat, di suatu hari

Kini ku beranjak dewasa
Dan malam ini aku berfikir
Hormonku telah mencapai puncak

Aku butuh bercinta
Ya... memang gila diriku ini
Tapi... aku benar-benar dan sangat ingin

Ku butuh pelukan seorang pria
Di setiap malamku yang dingin
Ku butuh ciuman mesranya
Untuk menghangatkan tubuh ini

Adakah pangeran yang mau melakukannya untukku?

Setiap malam aku kesepian
Hanya bermimpi...
Bercumbu dengan bayangannya
Memeluknya... menciumnya
Begitu mesra menyentuh jiwa

Gila! Gila! Gila!
Memang gila fikiranku ini
Tapi tak bisa ku hindari
Saat nafsu ini melumuri jiwaku
Pikiranku... dan cintaku

Begitu jauh...rumah pangeranku
Tak sanggup sendiri aku ke sana
Sekali lagi...
Pelukan...
Sentuhan...
Kecupan...

Dan saat-saat bercintalah yang akan ku tunggu
Hingga sang pangeran tiba
xGalih Aug 2020
/I/
Tik, tik, tik, angka-angka berdetak di tengah malam yang riuh dalam sunyi.
Aku melukis senyum pada langit pirau yang terjebak dalam ruang-ruang gelap.
Jendela mempersilahkan gagak masuk menyampaikan rekam tawa dari orang-orang yang melukis kesedihan di birai bibir.
Seolah parade, bergembiralah seisi ruangan yang hanya ada aku saja di dalamnya.

/II/
Kota mulai curiga kepada siapa saja yang mencoba menetap.
Berlari dan tergesa adalah cara bunuh diri dalam kota yang melaju cepat dan semakin cepat.
Aku memilih menjebak diriku dalam ruang tak berpintu, yang lantainya kususun dari debur gelombang bulan purnama.
Ranjangnya mencekik kerongkonganku di pagi hari yang tak pernah tiba.

/III/
Apakah terlambat untuk menjadi diriku sendiri?
Ataukah terlalu cepat untuk menemukan diriku dalam tubuh yang nirmakna?
Jika kesunyian berbunga makna, seharusnya aku menemui makna atas diriku pada suatu pagi di ujung simpul tali.
Aku melayang, engkau menerka udara.
Aku hidup, engkau perdebatkan prosesi pemakaman dalam daftar-daftar tak kasat mata.

/IV/
Seekor nyamuk menganggu kewarasaannya dalam menghitung berapa bintang yang tak pernah melempar cahaya.
Keningnya menjelma komidi putar, menjauh, mendekat, pergi dan kembali.
Suara-suara berbaris, mempersempit lorong waktu dan jembatan kota yang mulai menua.
Telapak tangannya bergetar seiring detak jantung yang terus mempercepat kembang-kempisnya.

/V/
Senang pernah bersua, tapi aku tak ingat.
Di antara aku dan lainnya, siapa yang memperkenalkan diri di awal pertemuan?
Begitu juga esok hari, wajah siapa yang tergores dalam cermin?
Siapa yang mengucap selamat tinggal dalam jumpa yang seharusnya tak pernah menjadi sebuah perpisahan?
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Tuesday 2 September 2008

Sudahkah akhir cerita ku
Namun mengapa kamu di sini
Semakin indah semakin ku sayang
Hingga, ku tak bisa pergi tanpa mu
Namun, diriku tidak mampu
Diri ku tak berdaya
Bila melihatmu lebih nahagia dengannya
Mengapa, bukan ku yang di sana
Mengapa, senyum ku tidak ada
Ku hanya senyum sendiri
Melihatmu bahagia
Tubuhku tak berdaya
Sambil terluka . . .
KA Poetry Dec 2017
Waktu adalah sahabatku
Jarak adalah musuhku
Bersamamu adalah saat kesukaanku
Berjarak denganmu adalah keengananku

Terlintas di benak ingin membuat mesin waktu
Melintasi waktu
Teleportasi menuju duniamu
Menghabiskan waktu yang tersisa bersamamu

Berbicara segala hal
Mendengarkan segala hal
Mencintai segala hal tentangmu
Bersenggama selamanya denganmu

Tuhan telah menurunkan malaikat di hidupku
Setiap malam kubisikkan doa-doa ku kepadaNya agar diriku layak
Setiap hal di dirimu membuat segalanya sempurna untuk menjadi layak
Tuhan, jaga malaikat ini untuk tetap disisiku.
06/11/2017 | 23.56 | Indonesia
Noandy Sep 2016
Katanya langit akan berbintang malam ini, "Pulanglah dalam remangmu dan duduklah termangu. Berdoalah menghadap langit; jika sungguh kau berdoa, barulah ia akan berpijar."

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa jadi doaku yang kurang hening. Bisa jadi aku salah merapal namamu dalam doa.

Katanya,
langit akan berbintang malam ini. Katanya juga, kau akan pulang, kembali ke dalam remangku.

Aku lihat langit.
Aku intip karam malam dalam diriku.

Di langit tak ada bintang. Di gelapku tak ada kau. Di doaku sajalah namamu disebut-sebut sekian kali.

Katanya langit akan berbintang malam ini. Bisa saja mereka berbohong, dan aku tak akan pernah tahu.

Seperti dahulu, kau beri aku bintang.
Dahulu bintang cumalah batu.
NURUL AMALIA Jul 2016
Aku tak mengenal dirimu sebelumnya
kamu tak tahu diriku
tapi saat itu..
Awan abu- abu menggantung dilangit
menumpahkan isinya
ya hujan..
hujanlah yang mengawali pertemuan kita
pertemuan yang indah
hujan jadi saksi cinta kita


NA.2016
Aridea P Oct 2011
Setia ku hingga akhir waktu
Cinta ku tak mati meski hancur
Kasih ku tak habis slalu merindu
Diriku kan mati ditinggal mu

Suara hati ini bisu
Jejak langkah ini lumpuh
Tapi tetap kepakkan sayap
Menuju surga hidup kebahagiaan

Lagu cinta hilang
Berasa hening kali ini
Suara indah berhenti
Hatipun bersedih

Luapan cintaku tak berakhir
Sampai nanti, sampai aku mati
a daydreamer Nov 2018
Di dalam tulang belulangku ini
Ada diriku yang terpendam;
Ia sudah bergejolak
Saat lampu padam,
Seakan memanggilku
Dengan suara lantang.

Dan saat aku melihat sebatang rokok
Yang menyala di genggamanku,
Aku menjadi ingat,
Kalau diriku yang gelap ini,
Tidak muncul saat senja datang.
KA Poetry Nov 2017
Cinta
Mungkin adalah hal yang paling sakral di kehidupan
Terjadi ketika 2 insan bertemu
Saling menerangi sesama

Rindu
Mungkin adalah hal yang paling ajaib di kehidupan
Terjadi ketika dirimu terlintas di benakku
Turbulensi yang bergejolak di hati dan pikiran

Doa
Adalah saat ketika keajaiban akan terjadi
Ketika kuucapkan namamu yang begitu indah di doaku
Agar didengar oleh Allah SWT

Dirimu
Sebuah anugerah yang sangat dijaga
Begitu sucinya dirimu untuk dilihat
Seolah-olah menggugurkan segala bintang

Diriku..
Lelaki yang mendambakanmu
Seperti kerumunan semut yang berciuman dan yang mencubit
Pada waktu satu anak kecil yang menggigit-gigit kuku jari

Rindu adalah bulu matamu, bergulung-gulung layaknya ombak

Perempuan ciptaan cahaya
Perempuan semua anggrek kesayangan
Kau layaknya labuhan terjauh, pekat, tidak berujung
Bolehkah aku berlayar disana?
11/11/2017 | 20.34 |Indonesia
Ara Oct 2013
Yes
Aku jahat bukan?
Merampas hatimu ketika kau sesungguhnya masih sangat mencintainya?

Aku egois kah?
Membiarkan hati kecilmu itu menghianati cinta yang sebenarnya. Cinta yg lain yang lebih besar dari
yang kupunya.


Bukankah aku jahat?
Merasa diriku yang sangat sakit, padahal hatimulah yang lebih sakit dari ini. Kau tersiksa dalam kebimbanganmu sendiri.

Aku tahu, aku hanya menjadi bayang-bayang gelap diantara kalian.
Aku juga tahu kau hanya rehat sejenak darinya.

Maaf, telah menjadi orang ketiga diantara kau dan dirinya~
ga Mar 2018
Carilah di antara benci dan cinta
Di sela-sela malam menuju pagi
Di belakang tirai megah pentas kehidupan
Akan kau dapati diriku

Kumpulkan semua amarah dan kecewa
Ambil jari kelingkingku, tautkan milikmu
Sembari ucapkan omong kosong dan ilusi
Akan kau dapati diriku

Berbaringlah di lantai, pejamkan matamu
Sibaklah kemelut seribu bayangan hitam
Terbanglah bersama awan lara bersayapkan derita
Akan kau dapati mimpiku
15/03/2018
Mungkin memang hanya diriku
Yang terlalu dalam jatuh dalam godaan asmara
Hingga membuatku terasa mati dibunuh diri sendiri
Sengaja menyayat hati
Menutupi bingar amarah ini
Sakit yang membuatku terenyum
Tersenyum dengan hati merintih pedih
Bunda, tak ada tempat bagiku untuk kembali
Siapakah diriku
Dimanakah hati ini terbuang
Hanya memandang kosong dalam angan tanpa buaian selayang pandang
Meratap pada langit
Berdusta pada tanah
Kini tinggallah aku berdua dengan-Mu
Masih adakah tempat bagiku di pangkuan-Mu?
Aridea P Mar 2017
Palembang 27 Maret 2017

Untuk diriku sang penikmat kopi

Aku telah bangun saat fajar masih terlelap
Kemudian aku membuka jendela agar embun menatapku
Ku biarkan tamu pagi nan sejuk menyapu rambutku yang pirang
Seketika itu aku teringat tuk menyeruput kopi di gelas favoritku
Segelas Capuccinno hangat di tanganku sekarang
Mulai ku teguk sambil ku pejamkan mata
Ku rasakan manisnya krimer di lidahku
Mengingatkanku pada kamu
Pemanis di dalam hidupku

Aku hendak bekerja seperti biasanya
Kini mentari menantangku untuk menakhlukkannya
Ku pasang perisaiku dengan lengkap
Kemudian ku berpikir tuk mendapatkan segelas Caramel Frappe tuk menyejukkan hari ini

Tak terasa mentari kini telah lelah tuk bersinar
Sehingga membuat dunia kian gelap
Aku seduh Black Coffee tanpa gula
Tak ku hiraukan rasa pahitnya ketika menyentuh lidahku
Lebih pahit mana dengan kenyataan aku hidup tanpa cintamu?
KA Poetry Jan 2018
Beruntung bisa berbincang
Terikat dalam dunia mu
Mencinta dibalik pertemanan
Menumbuhkan bibit cerita diriku & dirimu

Izinkan aku untuk memberi isyarat
Biarkanlah perasaan mu menjalar
Dekaplah bila terasa nyaman
Rasa ini telah menyatakan

Semesta yang menjadi saksi
Bahwa keajaiban terjadi di hati ku
Mendekatlah
Tangan mu akan merasakan detak ini

Berdetak hanya untuk mu
Sampai akhir hayat
Terikat dengan mu
Mendekatlah.
23/01/2018 | 20.24 | Indonesia | K.***
NURUL AMALIA Aug 2017
berawal dari waktu
memaksaku menyeret kakiku
melangkah gontai sambil pergi
aku merengek, terisak !
dan mengadu pada-Nya
tunggu ini secepat aku berkedip barusaja
ya, dulu memang aku kecil
nyaliku memang masih payah
masih terjerat pada keduanya
bahkan sekarangpun..

keduanya ingin aku yang terbaik
aku tak tahu yang dirasa mereka
tapi aku sendiri berontak
menyalahkan waktu yang jelas tak akan berhenti
aku kutuk waktu
mengapa begitu kilat
ragaku masih ingin tetap dirumah

tunggu, sejenak aku merasa keliru
bukankah ini baik
aku juga ingin membuat keduanya senang
mimpi harus coba kupanjat
tangga itu sudah dihadapanku
aku termasuk yang beruntung
bersyukurlah!
batinku melerai
aku meyakinkan diriku sekuat tenaga

"ini bukan rumahku" gertakku
saat aku tiba ditempat asing itu
akupun terpaksa tinggal
demi pengetahuan yang ingin kuraup
iya, jika belum paham akan kujelaskan
aku seorang mahasiswa sekarang
predikat yang melekat padaku kini
berat..
pandangan semuanya akan berbeda terhadapku

sungguh aku menemui teman baik
berjuang sama sama, namun tetap harus sendiri
aku menarik nafas..
waktuku kini juga telah memaksaku
rasanya pagi sudah menjadi sore
agaknya aku harus selesaikan hariku
mengerjakan tugas akhirku disana...
memang sulit sekali ketika saatnya tiba harus merantau untuk mencari ilmu, apalagi aku anak tunggal. gak bisadeh jauh dari ortu, and btw jadi anak kos itu enak enak enggak, mungkin kamu kamu juga kalau anak kos bakal ngerasain. dan welcome skripsi.. hope you will be passed sweetly.. okay waktu memang sangat cepat berlalu, gunakan waktumu sebaik mungkin. akupun masih belajar dan mencoba.
afteryourimbaud Jun 2018
Apa yang ku mahu

Hanya ku yang tahu



Biar ada datang membelenggu

Akan datang angin menyatu



Lari,lari pergi saja diriku

Jauh ke puncak aku tetap berlalu



Aku jiwa lama termangu

Bosan, letih jadi diriku



Kerna ada saja yang rasa tahu

Lebih dari rohku.


16 April 2012
Fahali Machi Mar 2012
jika sebuah botol berisi api harus dilemparkan ke wajah-wajah anonimus sebagai bentuk pembelaan terhadap kaum-kaum marjinal. akan kuisi botol ini berisi bunga dan kulemparkan kepada dirimu sebagai bentuk pembelaan diriku terhadap benih-benih benci dirimu kepadaku.
(in English)

if this bottle that filled with fire i must throw to the face of the anonymous as a form of my defense to the marginals, i'll fill the bottle with flower and i'll throw it to your face, as a form of defense of your hatred to me

— The End —