Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 25 Mei 2008

Kapan ku boleh ke sana
Dunia terindah untuk semua
Udara harum nan sejuk
Tiada panas mentari yang menyengat
Boleh kah aku melangkah
Menuju ke pintu surge
Impian semua manusia
Sudikah Kau Tuhan?
Bila ku pijakkan kaki di surge
Merasakan hidup istimewa
Penuh ayat-ayat doa
Surga-Mu  indah Tuhan…
Bolehkah ku sentuh sejenak
Merasa damai nan indah
Ku mulai masuk ‘tuk selamanya
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Aridea P Oct 2011
Palembang, 22 Juni 2011

Api itu hampir merajai waktu
Merenggut harta benda tanpa ampun
Mangarang tubuh yang sesepuh
Duduk pun terdiam di kursi besi butut

Kekuatan api bagai Sang Supernova
Membumbung tinggi tak ada yang terjaga
Meletup-letup bagai haus dan lapar
Tinggallah hamparan abu di senja tiba

Sebelum fajar menyingsing indah
Berisik di tengah jalan sirine mengulang
Langkah kaki mondar-mandir yang tentu arah
Bergotong royong pun dengan peluh dan baju basah

Ku duduk terdiam terpaku
Setengah melamun di sebelum senja muncul
Ku tersadar pun di tengah padam lampu
Dan ku lihat Monalisa tersenyum pada ku

Ku duduk bersimpuh di kaki
Menunduk dan berharap ini hanya mimpi
Dan aku bangkit tuk lihat situasi
Ku dengar mayat rapuh bagai tiada arti lagi

Tak mampu tumpah air mata
Hanya tubuh kaku mati rasa
Pikiran yang ingin selalu waspada
Mental ini rapuh butuh udara

Abu terasa di mana-mana
Terinjak, menyatu dengan tanah
Menutup mata kini selaalu terjaga
Menjaga hari tanpa Supernova

9 Juni penuh cerita
Di bawah tangisan dan panikan
Wanita memasak dan menjaga anak
Pria bahu membahu membangun rumah
waktu itu kita jalan keluar malam-malam
awalnya sedikit hangat didalam ruangan yang temaram
lalu kita melangkah keluar, dan dinginnya malam buat semuanya menjadi suram
sepertinya angin kencang menjalar dengan kejam
malam menjadi bisu, sambil berjalan pun kita berdua diam

lalu kamu menunjuk-nunjuk bangunan dengan lampu-lampu dan dinding kayu
sepertinya hangat disitu, kalau tidak salah kamu bilang begitu
saya setuju
dengan kamu saya selalu setuju
dijalanan kecil kita melangkah kesitu buru-buru

didalam sana udara dingin sudah tidak terasa lagi
dengan hati yang riang saya pilih coklat panas dari menu yang kamu beri
kata orang coklat bisa menghasilkan hormon endorfin
bisa membuat hari yang sedang bermuram durja menjadi tersenyum kembali

lalu saat itu coklat panas sudah ada didepan saya
saya sentuh pinggiran gelasnya
hangat
saya minum perlahan-lahan
sedikit demi sedikit, tanpa tergesa-gesa
sengaja
karena tidak terlalu besar ukurannya
kalau cepat habis bagaimana?

lama kelamaan habis, semuanya juga akan habis
saya ingin gelas kosong bekas coklat panas ini tidak digubris
tapi akhirnya pelayan itu datang dan mengambilnya sambil tersenyum manis
kehangatan kembali terkikis dan menipis

kita kembali berdiri dan keluar menelusuri malam yang dingin
kembali bergelut dengan angin
ingin saya bawa satu gelas coklat panas itu lagi
tapi dia akan membeku seiring berjalannya waktu, mungkin

tanpa suara, saya tahu kamu mendengar
tanpa cahaya, saya tahu kamu melihat
tanpa kata, saya tahu kamu mengerti

maka, terimakasih untuk ‘coklat panas’ nya.
mungkin bisa kita seduh kembali suatu saat nanti


Jakarta, 27 Desember 2012
*(puisi ini bukan tentang apa-apa. puisi ini tidak berarti apa-apa. puisi ini tidak ada yang mengerti selain saya dan satu orang lagi. puisi ini tentang sebuah Rahasia)
Alia Ruray Nov 2014
Hidup dengan segala problematikanya
sejenak senang sejenak tenang
sejenak buram sejenak suram

Matahari bawaku cahaya
Tapi aku kepanasan
Hijab bawaku perlindungan
Tapi aku tertutup
Pohon bawaku udara
Tapi aku tumbangkan untuk wi-fi
Ini baik tapi ini buruk.

Lalu hadir kerutan ditengah keningku
Melengkapi lipatan hitam mata ini
Hasil semua akar-akar pikiran
Bola matapun sekarang berfilter

Kuingat mawar pemberiannya
Gambar persembahan mereka
Seluruh tumpahan merah muda itu
Tapi tetap saja kabut dari belakang datang
Ia bersembunyi hanya tuk muncul kembali
-
-
-
Mengapa begini?
Terlalu banyak tapi
Mengindahkan kebingungan
Terbawa kelelahan
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Kudengar adzan berkumandang
Ah! Subuh datang
Membangunkanku dari istirahat malam
Mengecoh mimpi indah malam itu

Belum, kubelum siap bangun
Tapi semesta mendoktrinku
Kuharus bangun dan terjaga
Kuiyakan saja mereka

Sesaat pagi tiba
Kelembutan angin memuaskanku
Segar aroma udara memenuhiku
Pipit mericau ramai
Sesal tak ada dalam benakku
Hanya puas dan sentosa
Kutak menyesal bangun subuh
Aku ingin pagi ini bujur

Tiba-tiba sengat datang
Tolong! Tolong aku
Siang datang mencuri pagiku
Aku mulai belingsatan
Panas matahari mengantup
Aku bergidik
Meratap
Siang jahat!
Aku kutuk siang
Namun ia tak mau pergi
Ia malah semakin menjadi-jadi

Aku hilang kendali
Aku marah
Kembalikan pagiku!
Aku memohon pada siang
Aku menangis
Bahkan aku bersujud
"Siang, aku rindu pagiku"
Aku rindu ricauan pipit pagi itu
Aku kehilangan angan-angan

*Novita Olivera.
Silahkan mengartikan sendiri puisi diatas! Ada beberapa persepsi mengenai puisi "Selamat tinggal pagi." Puisi ini saya tulis setelah menonton AADC-2 yang sangat menginspirasi untuk terus menuliskan puisi. Dan sebenarnya puisi ini agak berkaitan dengan kisah AADC-2. -pipi
afteryourimbaud Sep 2018
setiap kota
takkan kekal abadi
dan yang ada
di dalamnya
hanyalah penghuni
yang kekal
selamanya ditemani
isi-isi
yang tak berisi
tiada puisi,
tiada seni
tanpa arah
tanpa erti
yang ada hanyalah
imbalan
dan keuntungan
yang berpuing
di udara kota
yang berlegar
di pengairan kota
segalanya
terasa muram
apa bezanya
hidup di dalam
lohong hitam?
Aridea P Jun 2012
Palembang, 19 Juni 2012

Apa yang salah pada diriku?
Membuka lembaran lama, mengenangmu
Menangis lagi, mengingat kamu
Membayangkan wajahmu
Mengingat raut senyum indahmu

Apa yang salah pada diriku?
Mencuri bagian hidupmu
Menyimpannya di memoriku

Apa yang salah pada diriku?
Bergerak pun enggan
Berjalan pun aku tak mampu
Pikiran ini tak terfokus
Karena tergenangi kenangan yang lalu

Apa yang salah pada diriku?
Menunduk bersandar dagu pada lutut
Berdoa, meminta pada-Nya

Apa yang salah pada diriku?
Berucap pun aku tak sanggup
Hanya bisa mendengar lagu, dan aku ingat kamu
Untuk berbaring lagi punggungku hampir runtuh
Duduk pun tak bisa lagi

Apa yang salah pada diriku?
Melototi layar putih
Hanya ada putih

Apa yang salah pada diriku?
Mata ini tak mau tertutup, tak bisa tidur
Terjaga siang dan malam
Aku bernafas seakan tak ada lagi udara
Aku melihat seakan tak ada lagi hal yang nyata
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau bagaikan embun di pagi hari
Menyegarkan tubuhku dengan sejukmu
Merasakan kamu di setiap ku hirup udaramu

Kau bagaikan sinar mentari di siang hari
Menyelimutiku dengan terikmu
Berada di atasku setiap waktu

Kau bagaikan udara di sore hari
Menyentuhku tak disengaja
Membelai rambutku dan aku bahagia

Kau bagaikan gelap di malam hari
Tak pernah melihat wajahmu
Tak pernah bermimpi kamu

Kau adalah nafasku untuk hidup
Yang selalu ku ingat setiap waktu untuk ku hirup
So Dreamy Nov 2014
Diawali dengan udara pukul setengah empat sore yang hangat dan suasana hati yang sedang bagus, aku melihat perempuan itu berada di tamannya yang berantakan. Ya, berantakan kataku. Tamannya, bukan dirinya. Ia duduk di sana, dengan anggun dan cantiknya membibiti bunga bakung dan menyirami bunga krisan. Di sekelilingnya terdapat semak bunga mawar liar dan pohon pinus tua. Pohon itu berbatang tebal dan tampak kukuh, kini ia duduk menyila di bawahnya, berbincang dengan semak lavender di sebelahnya. Ia tidak gila, tapi tampak penyayang dan sangat lembut. Rambutnya yang berwarna gelap itu diterpa angin senja, di atasnya secerah sinar matahari menyeruak dari balik dedaunan membuat wajahnya tampak berkilau. Lihat bagaimana cara matanya mengerling dan lihat bagaimana caranya tersenyum; manis sekali.

Itu dia, Qinaani.

(Mahesa)
Aridea P Jan 2014
Ayahku adalah Cahaya
Yang menerangiku dalam perjalanan di dunia
Menuntunku tuk memilih arah yang tepat
Menyayangiku sepanjang doanya
Memelukku dari jauh dalam sholatnya
Menciumku melalui ayat-ayat suci yang dibacanya

Ibuku adalah Udara
Yang memberikanku kehidupan ini
Yang menyentuhku dengan hati
Menyayangiku sepanjang kuku yang akan selalu tumbuh
Merangkulku dengan hati dan pikirannya
Merawatku sepenuh hati dan segenap raganya

Adik-adikku adalah Air
Yang menyejukkan dengan senyuman mereka
Motivasiku tuk meraih impian mereka
Alasanku bekerja keras tuk membangun bahtera
Dengan mereka aku sangat bahagia
Dengan suara mereka aku kuat
.
.
.
Namun aku hanyalah Aku
Yang tak mampu memiliki mereka seutuhnya
Yang tak miliki cukup banyak waktu tuk mengenal mereka
Yang jarang bersua dan menanam rindu pada mereka
Aku hanyalah pejuang di Samudera Seberang

Aku hanyalah Aku
Yang memiliki perasaan dan pikiran
Tuk memilih jalan hidupku sendiri
Yang membutuhkan seorang teman
Teman sejati yang sejak dulu kun anti
Teman yang benar-benar tean
Yang ada di sampingku saat susah senang
Selamanya …
Aridea P Dec 2013
Palembang, 14 Desember 2013


siapakah aku? yang bercahaya dikala senja tiba
berlari mengepakkan kedua tangan, mencoba menggenggam udara
mengijinkan peluh muncul membasahi seluruh tubuhku
hingga mentari tepat di atas kepala aku berdoa, tuk menjadi cahaya bintang saat malam tiba


siapakah aku? yang terus berlari kencang menapaki kerikil tajam
tak peduli walau menembus hujan melawan badai
ketika mentari sudah malu menampakkan cahayanya
aku berdoa
meminta, jikalau cahaya bintangku redup, mentari senantiasa menggantikan di pagi berikutnya


siapakah aku? yang kehilangan cahaya senja
berjalan menunduk, kecewa
meski mentari bersinar seperti yang ku harapkan
aku masih kan meminta cahayaku dikembalikan
tak ingin membuka mata jika pagi berwajah gelap


siapakah aku? yang tak lagi bersinar di langit malam
tak lagi menjadi bintang
kehilangan sinar senja
tak lagi bebas berlari di bawah mentari
tak lagi bernyawa

siapakah aku?
NURUL AMALIA Aug 2017
Disini aku masih di bawah langit milik bumiku
Tapi berbeda tempat dan aroma tanah
Aku merasa di atmosfer era abad pertengahan
Melihat banyak kastil dengan arsitektur tua
Pemandangan yang indah di Montmartre, sebuah kerajaan seni
yang siap memanjakan mataku seketika

Musim gugur menciptakan lukisan indah secara alami
Tempat itu seperti kanvas
Diciptakan oleh kuas ajaib anugrah yang kuasa
Meski Claude Monete dan Renoir sudah tidak ada lagi
Aku bisa melihat perpaduan warna cantik di musim gugur dengan mata telanjang
kuning, oranye, merah dan coklat
Lukisan yang begitu indah

Biarkan aku memakai jaket hari ini
Sebab udara membuatku cukup dingin
Aku berjalan-jalan di pedesaan Prancis
Pohon-pohon gugur di sepanjang jalan
ditemani oleh nyanyian burung yang menyemarakan hariku
Ini sudah waktunya panen
Aku menyukai labu di ladang
Memilih apel dan pir di kebun dekat benteng Talcy

Prancis seperti harta karun emas
Paris di musim gugur bulan ini
Menara Eiffel sudah menungguku
kali ini aku berjalan di atas dedaunan
Begitu renyah di bawah kakiku
Pohon maple di atas saya memayungi meski hari tak hujan
Daunnya yang tersentuh angin berputar-putar
Mengirim mereka untuk menari di udara
Sangat romantis
Aku sedang duduk di bangku kayu
Ah jika September tiba...
Aridea P Feb 2015
(Palembang, 9 Februari 2015)

Hatiku ini rapuh, kamu tau?
Aku sendiri pun tak mampu menyentuhnya dengan perkataan
Aku selalu membungkusnya dengan kebahagiaan

Hatiku ini istimewa, kamu mengerti?
Aku menjaganya agar selalu bersih dan suci
Aku menyimpannya untukku bagi dengan orang-orang yang sedih

Dimana hatimu?
Kamu berlagak semua baik saja dan meninggalkan hatiku terluka
Kau menorehkan  pecahan beling di hatiku dan menganggapnya tak terluka

Dimana akalmu saat ini?
Kamu membuat hatiku sedih, hatiku tak mampu berikan kebahagiaan bagi orang lain
Kamu tak punya hati hanya memikirkan dirimu sendiri

Hatiku ini bukan barang yang bisa kamu banting saat kamu marah
Hatiku ini bukan pisau tumpul yang kamu tusukan ke dalam tanah
Hatiku ini hanyalah air yang masih dibutuhkan orang lain
Hatiku ini hanyalah udara yang tak terlihat namun memberikan kehidupan
Hatiku ini bukanlah gabus yang bisa kau cabik-cabik, hanya untuk membuat hatimu senang

Hatiku hanyalah hati yang bisa mati
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Aridea P Sep 2012
Palembang, 31 Agustus 2012

Bulan
Bulat
Kuning
Terang
Di dunia yang gelap,
segelap hidupku

Bulan
Sendirian
Berlari
Mengejar mentari
Membutuhkan sinar,
sama seperti aku

Aku masih bisa mendengar lagu di udara
Hingga mentari tiba
Bulan pun hilang,
seperti akal ku
Aku ditinggal sendiri
Dan lagu pun berhenti
Alia Ruray Nov 2015
Aku harus mendaki tebing bernama proses; menaklukannya. Legenda berkata bahwa diujungnya tinggallah sesuatu yang baik. Namun memang semua pendaki tau bahwa tebing yang satu ini tidaklah mulus. Bebatuan, dataran curam, udara dingin, debu menyesakkan, silahkan kau sebut semua hal itu. Mereka ada di tebing ini, selalu.


Semesta kejam dan kamu sendirian. Setidaknya itulah yang harus aku ingat. Aku tidak mau berujung hanya sebagai seonggok jasad dengan nama tertulis. Maka dari itu datanglah keharusan untuk mengejar sesuatu yang baik ini.


Aku takut. Aku takut. Sebenarnya aku takut. Karena semacam tebing bukanlah rumahku. Tebing kurang akan rasa nyaman dan rasa cukup tau. Sungguh tak pula aku paham benar dengan apa yang dimaksud dengan 'sesuatu yang baik'. Namun semua orang tetap harus mendaki, entah kenapa.
(Aug 15, 2015)
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 29 April 2008


Ku langkahkan kaki ku
Naik sesuatu yang akan membawa ku
Roda berputar mengelilingi kota
Yang panjang berkelok-kelok


Di tengah jalan ku lihat dia
Dengan lekuk senyum penuh sinar
Sesaat saja aku melihatnya
Aku pun berlalu lanjutkan perjalanan


Roda berhenti, aku keluar
Menghirup udara luar
Kerlipan cahaya hiasi malam
Langkahku mulai dekati pintu


Aku keluar dengan perut kenyang
Masuk kembali dan bawa ku pulang
Di tengah jalan ku antusias
Mencari dia lagi yang indah


Tapi, tak terlihat senyum cahayanya
Aku berlalu jauh dari dia
Hatiku sedih tak memandangnya
Aku pun pulang diantar roda
Aridea P Oct 2011
Saat cinta mempersatukan
Kau yang indah dengan dia
Aku pun terancam sendiri
Tak ada harapan lagi

Kau bahagia...
Aku akan sangt bahagia
Karena kau temukan
Dewi Cinta yang kau inginkan

Semoga bahagia
Dan setia dengan mu
Ku kan mendendam
Bila dia mengkhianati mu

Meski vonis yang kejam
Ku terima hidup di kandang
Yang panas dan pengap
Tak bisa hirup udara bebas

Ketika vonis ku berakhir
Kau akan ku cari
Tapi, melihat mu telah bahagia lagi
Ku kan mengenang itu untuk terakhir kali


By. Aridea Purple
el Jan 2016
aku iri kepada sang mentari yang dapat kapanpun mengikuti jejak langkah kakimu
aku iri kepada sang rembulan yang menemanimu saat kau tidak dapat terlelap di malam hari
aku iri kepada udara yang kau hirup setiap waktu
aku iri kepada hujan yang membasahi tubuhmu ketika kau merasa sedih
aku iri karena aku tidak pernah bisa ada disampingmu
ketika kau membutuhkanku
padahal, kau selalu ada untukku ketika aku membutuhkanmu. maafkan aku.
Aridea P Jan 2012
Palembang, 6 Januari 2011

Dewasa ini
Awan hampir menipis
Takkan lagi menyelimuti langit
Tak mampu lagi menutupi terik

Di masa ini
Udara tak bersahabat lagi
Tak ingin didekati
Dan selalu berlari-lari

Sekarang ini
Penjahat bagai belut yang licin
Tak mampu tersentuh dengan tangan kosong
Selalu bisa lolos dari jeruji

Dunia ini, hari ini
Semakin tidak adil menghakimi
Tak berdaya, miskin, mudah tuk dijatuhi
Tinggal menunggu dunia ini berakhir
Diadema L Amadea Jul 2018
bukan tidak percaya diri,

hanya saja...
rasanya sulit ketika kau berulang kali tenggelam
sampai akhirnya kau lelah untuk meraih udara di atas
lalu nyaman dengan kedalaman

maksudku
haruskah kita selalu berkembang diatas ?
bukankah sama saja ?
semua sudah ditimbang baik buruknya,
tergantung dari sudut mana kau melihatnya.

untukku, aku yang masih 17 tahun ini
sempat terbesit
sudah ingin hidup di ketenangan itu

tidak mau terlalu banyak mengambil bintang
usahakan lebih banyak bersyukur
bercengkrama dengan anemon laut di bawah sana
hiu maupun predator buas pun akan coba kuakrabkan

kalau memang kita tidak diterima diatas kenapa tidak coba membangun istana di bawah ?
apa salahnya terus berusaha tetapi lain jalur dengan para mayoritas ?
tidak salah kan ?

semoga kamu juga bisa menenangkan diri sendiri

aku jauh sama kamu soalna.
Alya Adzkia Jun 2019
Matahari bersembunyi dibalik langit kelabu dan tergantikan oleh awan mendung. Angin berhembus horizontal, mencium kulitku, dan meninggalkannya gemetar. Atmosfir yang hangat dan dekorasi cakrawala biru seketika berubah menjadi udara dingin yang mencekam. Melodi rintik air hujan dan kilatan petir mengambil alih langit kelabu kala itu.

Aroma tanah yang terhantam rintik air hujan sedaritadi terus mengingatkanku terhadap apa yang telah aku lalui bersama hujan. Terdapat lagu dalam melodi rintik air hujan, akan terasa jika kamu sedang merindukan sesuatu.

Kemeja milikmu masih aku kenakan. Bertanding dengan dinginnya atmosfir kala itu. Kamu menang. Aku hangat.

Aku bisikkan beribu-ribu harapan dan rahasia kepada cakrawala mendung nan kelabu.

Sampaikan pada hujan, aku berterimakasih.
tulisan ini disponsori oleh dewa perang yang terus menderu didalam kepalaku.
EVewritesss May 2018
terbalas pertemuan singkat tadi siang
dengan sedikit berdebah dengan ego
malu menukik dan gemetar beramai gaduh

sulit juga, berjuang dengan lara yang
kian runyam
kian dalam
kian menepis dalam malam

aku yakin dia bertanya
"kenapa dia?"
haha.. apa aku harus jawab aku rindu
aku rindu seperti dulu

bukan apa-apa
tidak ada lugas kata atau tindakannya
hanya saja aku sudah terlajur menyukainya
menyukai derap langkahnya
lemah gemulai tubuhnya beradu dengan udara sekitar
aku juga suka saat matanya bertemu dengan mataku
sisi lainnya muncul
lebih hangat dari yang kubayangkan

bolehkah juga aku berseru ?
aku menyukaimu ! sangat..
lungai sudah jika itu terucap
pasrah..

tapi tenang, aku masi pandai menyimpan
masih pandai menukik ego
tapi tetap
aku rindu,.,.,.,.

                                                      -rindu,mengenang-
pada malam yang dingin setelah banyak mengerutu basa basi tak pasti
Aridea P Jul 2012
Palembang. 26 Juni 2012

Kalau udara tak bisa dibeli
Mengapa aku tidak bisa bernafas tanpamu?
Kalau cinta membuat orang bahagia
Mengapa aku menangis setiap kali mengingatmu?
Kalau berkata begitu mudah
Mengapa sangat susah tuk bilang I Love You?
Masih kubayangkan seperti apa jadinya aku apabila suatu saat aku benar-benar bisa memiliki dia. Mencintai dia begitu dekat. Sedekat tarikan napas dari setiap udara segar yang aku hirup di pagi hari. Masuk ke dalam paru-paru. Kemudian bercumbu di sana.

Benar apabila aku memang sangat ingin bisa memiliki, segala hal yang mungkin tidak pernah bisa aku miliki.
Begitu naif apabila kita sedang belajar mencintai seseorang.
O wajahnya. O matanya. O hidungnya. O pipinya. O bibirnya. O rambutnya yang panjang tergerai jatuh di bahunya. Begitu jelas, hingga mimpi seperti realita.
Dia begitu jelas terlihat. Dia begitu nyata, bahkan kurasakan sesuatu berdetak begitu cepat dan kencang, seperti angin yang menyibak rambutnya.
Senyumnya membuat segala yang hancur menyatu kembali, tetapi tidak, tidak untuk setiap kali.

Aku masih mencintainya, begitulah cinta yang semestinya aku akan katakan apabila memang dia benar ada di sini. Tetapi dia tidak di sini. Dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mencintainya.

Dia begitu dekat, tetapi juga begitu jauh. Dia jauh dari mataku. Dan dia begitu jauh untuk bisa merasakan perasaanku padanya.
Indonesia, 23 Maret 2021
Arif Aditya Abyan Nugroho
Pada suatu hari yang kejam.
Budi mau ke sekolah.
Ganti baju, minum susu, tidak lupa gosok gigi.
“Buk, Budi berangkat dulu ya.”

Ibu pertiwi tidak menjawab.
Budi melongok ke dapur lalu melihat ibu pertiwi.
Tampangnya kusut, pakaiannya berantakan dan matanya sembab.
Budi marah.
Sosok bangsat macam mana yang telah membuat ibu pertiwi sedih !
Di mana bapak pertiwi? Ibu pertiwi sudah jadi janda dan masih dicabuli. Memang anjing !

Jadi siapa yang telah membuat ibu pertiwi sedih?
Apakah si bangsat itu adalah mereka?
Yang menanam beton raksasa dan mengambil semua dengan paksa?

Atau apakah si bangsat itu adalah kalian?
Yang menumpang dan mengotori air udara tanah, menggusur alam atas nama pembangunan?

Atau apakah si bangsat itu adalah dia ?
Yang berjalan angkuh dan tamak. Sesekali mencari peluang, sumber daya mana lagi yang bisa di sikat ?
Babat terus tambang, sekalian laut, hutan, juga hewan!

Atau apakah si bangsat itu adalah saya ?
Bersembunyi di balik hati nurani yang katanya peduli, katanya cinta bumi, saya adalah omong kosong!
Saya tidak benar-benar cinta. Jijik betul merasa ibu pertiwi sungguh berarti, ikut menjerit ketika ia ternodai, mana yang lebih munafik apakah diri saya atau aksi ?

Pada suatu hari yang kejam,
Budi tidak berangkat ke sekolah.
Akal sehat budi meronta ingin lari selamatkan diri bersama ibu pertiwi.
Anak cicit Adam dan Hawa terlalu goblok dan jahat.
Manusia terlalu serakah dan merasa berkuasa.
Lihat itu,
Asap hitam pekat bergerak mendekat.
Mampus kau! Ibu pertiwi sudah sekarat!

Pada suatu hari yang kejam,
malam datang dan manusia mulai buta.
Ibu pertiwi gelap gulita, budi merangkak tanpa arah.
Apa perlu listrik untuk buka mata?
Atau cukup hanya sepercik bara?
Budi bingung. Ibu pertiwi sedih. Bapak pertiwi bodo amat.
untuk pertama kali saya bacakan tanggal 22 Juni 2019 dalam acara “Diskusi Panel: Dimulai dari Kita kepada Lingkungan” oleh Light Up Indonesia, Weston Energy.
Diadema L Amadea May 2018
ada udara dingin menyeruak kedalam sepi yang tak mau beranjak

dan disini,
saya coba melawan rindu yang sulit jinak
sebab diantara kita terbentang jarak
sembari menulis sajak
HAHAHHAHAHHAHAHHAHAHAfak.
afteryourimbaud Jun 2018
[Untukmu di Langkawi, 26 Jun 2018]

Beratus-ratus retakan kaca
tidakkan pernah imbang neraca
betapa berat hatiku menunggu
detik-detik tak berpenghujung
beribu-ribu detakan hati
takkan pernah akan ku lari

biar Bukowski dengan kebuntuan
biar Rimbaud dengan ketidaktentuan
akan hanya ada dirimu dalam
laci yang penuh dengan kepastian.

Berbatu-batu kau ke utara
begitulah rasa ini terawang-awang di udara.
Merinda Jan 2019
Hey buddy
Engkau yang tak pernah mungkin kembali
Kau yang membuatku terjebak dalam sebuah ironi
Kita dihadapkan dengan sebuah hukum pasti
Semua yang terlahir pasti akan mati
Pada masanya
10 tahun penuh makna
Bersamamu ku dapat melihat indahnya dunia
Ya, indahnya dunia
Walaupun sekarang engkau sudah di alam baka
Dan sosokmu hanya tergambar dalam sebuah berkas kamera
Kehadiranmu kala itu bak seberkas cahaya
Yang membuatku tetap ingin bertahan di tengah ketidakadilan dan penindasan yg bermakna
Di saat aku tidak bisa lagi melihat sisi baik 'manusia'
Ketika aku pulang dari kandang ilmu dengan penuh tangisan
Seakan engkau menanyakan 'apa yg sedang terjadi?'
Ketika aku hanya ingin berhenti
Berhenti dari segalanya
Bahkan untuk sekedar bersinggungan dengan udara
Engkau seakan tak rela
Aku tak pernah ingin mengulang waktu
Walaupun itu bersamamu
Waktu yang begitu berat bagi hidupku
Waktu yang membuat semua yg kucita-citakan seakan tabu
Waktu yang telah membentukku sebagai sosok pemalu
Malu dalam segala hal
Bahkan terlalu malu hanya untuk sekedar mengatakan 'aku'
Aku hanya ingin menambah waktuku bersamamu
Agar aku bisa membagi kisahku denganmu
Aku yang sudah bisa pergi jauh
Yang sudah banyak mengenal Medan baru
Yang sedikit banyak telah mendapat penerimaan waktu
Dulu, saat aku jatuh
Engkau selalu ada didekatku
Dengan untaian kata motivasi dan semangat alamu
Tapi, di usia rentamu
Aku terlalu peduli dengan sibukku
Hingga ku lupa hanya sekedar menyapa keadaanmu
Entah apa yg ada dipikirku
Sungguh egois memang
Tapi, apa mau dikata
Semua telah tertulis rapi dicatatan-Nya
Aku hanya bisa menjalankan
Dengan tetap menjagamu dalam lamunan
Mousamous Sep 2017
pasal IV: tentang hujan yang tak kunjung reda, dan tangis yang tak kunjung berakhir.

- terkadang, ada beberapa hal yang datang, selain membawa berkah dan kebahagiaan, juga turut di dalamnya kesedihan yang berlarutlarut. seperti halnya hujan, yang datang membawa unsur kehidupan, tapi kemudian, dinginnya mengundang pilu, berusah mencari kehangatan. begitu pula dirimu, datang sekiranya membuatku bahagia walau di awal, namun akhirnya memilih pergi setelah membunuh setiap harapan baru yang tumbuh dengan tega.

- ada beberapa hal yang terjadi, namun datangnya tak dapat dihentikan, dan kepergiannya tak dapat dipaksakan, layaknya hujan ketika mentari tengah bersinar, membuat sebagian orang mendengus kesal, banyak hal rencana yang gagal. seperti halnya dirimu, ketika dirimu datang ketika ku tengah sedemikian rupa menata hati. kau datang mengambil setitik kecil potonganmu yang tertinggal, kemudian justru potongan kecil itu yang menghancurkan hati yang telah tertata rapi. hancur. kembali. lalu kau beranjak pergi, layaknya hujan badai yang reda, seolah tak terjadi apaapa.

- setelahnya, setelah sisasisa hujan pada dedaunan mengering, dan musim hujan telah berlalu, masih sesekali duakali ia datang, mebawa harapan sekilas, kemudian pergi seolah tak ingin kembali. sejenak menentramkan,  meluruhkan kotoran di udara, namun tetesannyamengandung racun yang tak baik. seperti ketikamu datang tibatiba, seolaholah baikbaik saja, ternyata memang tidak ada apaapa, bukan benarbenar tidak ada, hanya saja, bukan untukku, tapi untuk dia yang lain.

- selalu ada akhir dari jutaan tetesan air yang jatuh ke bumi, dan semoga, hal itu juga berlaku pada diriku. entah kapan tangis akan reda, namun kau tetap saja berlalu, semoga kau tak lagi datang membawa harapan. maafkan keegoisanku memilih menangisi kepergianmu.

prdks.
ps: jika dirimu tau rasanya hujan yang turun ketika mentari tengah bersinar, harusnya kau tau, bagaimana rasanya tangis yang muncul ketika senyum tengah memekar. maafkan keegoisanku.
EVewritesss Aug 2018
Kala malam sudah semakin gelap
Sinar bintang mulai berbinar
Kepala terangkat membelalak langit yang kian lungai berkedip kedip

Ada malam yang aku rasa masih terang karena lampu taman
Gelap masih sembunyi berselisih paham dengan cahaya listrik

Ada senja juga yang kadang sulit kutemukan
Jujur saja, sangat langka akhir akhir ini
Sungguh jarang aku melihat jingganya yang begitu matang bergelora bersama langit
Begitu indah

Ada juga pagi yang aku bayangkan udara bersih dan putih
Namun, kau tahu bukan.
Sudah ada asap yang bermunculan berselih juga dengan kabut
Aku juga berfikir itu kabut
Nyatanya asap sampah pinggir jalan
Sunggu pilu..

Jadi, apa yang bisa kamu bayangkan dari pengandaian itu?
Tidak semua hal yang katanya begitu akan jadi begitu
Tidak semua tanya akan dijawab benar
Tidak semua hal yang kau bayangkan sesuai ekspetasi dan bayanganmu
Setinggi galaksi bima saktipun kau bermimpi jika memangtuhan tidak mengiyakan
Ya.. sudah
Apa boleh buat
Cari
Cari pertanyaan yang lain yang mampu dijawab
Yang tak akan membuatmu kecewa
Yang bisa kau perlihatkan
Yang bisa kau puja
(Santunan malam selasa)
Amira I Apr 2018
Waktu masih menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit siang itu.
Aku sedang berada dalam perjalanan singkat yang ku tak tahu mengapa terasa lama.
Entah dari mana kabut-kabut itu muncul, menyapa dedaunan, ranting, serta bunga-bunga mungil yang baru saja mekar.
Hujan tidak lebat kala itu, bahkan tidak tumpah barang setetes pun.
Kabut yang teduh namun diam-diam membutakan.
Yang tanpa ku sadari telah menculikku ke entah berantah, jauh dari realita yang ada, aku berlarian menembusnya tanpa takut tergelincir pun terjatuh.
Meski dinginnya udara sudah meresap ke dalam tubuhku, mengalir bersama aliran darahku, juga perlahan menusuk tulang belulangku, aku merasa aman.
Sebab ternyata, kabut adalah teman baikku, yang telah lama hilang; namun kini ku menemukannya kembali.
zrskii Jul 2021
Hidup dalam "zaman" baru yang terasa di dalam sangkar,
Terperangkap seperti binatang buas,
Hampir dua tahun umur dibazir untuk menatap nasib,
Imaginasi permulaan tahun baru kian terpudar,
Halus di udara menjejas kehidupan,
Manusia masih mengharap agar "kamu" terhapus.
Surya Kurniawan Jun 2017
Dalam ke-tiga ratus empat puluh empat meter per detik kecepatan suara, ternyata tak ada bibirmu didalamnya. Sebab kabar tak lebih cepat dari suara, dan tak lebih lambat dari jatuh cinta.

Apakah mungkin, suara dapat merasuk lebih cepat jika dia merangkak di dalam air mata?

Mungkin juga sebaiknya kita perhatikan bagaimana suara merambat melalui  dua puluh satu derajat selsius suhu udara, menjadi sebuah rangkaian gelombang kata-kata yang melambat dan merangkai dengan sendirinya.

Apakah mungkin getaran suara dapat lebih cepat, jika kulitku tidak menjadi sehangat ini?

Jika kamu bukan getaran suara, lantas mengapa sepersekian detik nama mu bergaung dalam kenangan?
GEIGA VIA TANARO Apr 2018
Sore, pasca hujan turun.

Kami menyusuri setapak di pinggir hampar padi demi beberapa bungkus mi.
Seperjalanan kami hanya membicarakan hal-hal kecil yang belum pernah diperhatikan masing-masing dari kami.
Seakan paus di laut begitu penting dibahas dari perjalanan kecil itu.
Kami bawa payung satu-satu, tapi tanpa payung sepertinya teduh sudah hadir.

Kami juga pernah pulang lewat jalan kecil yang berakhir di muka ungaran setelah makan siang.
Dia; temanku menatap nanar muka ungaran.
Wajah kecilnya tersapu rambutnya yang mengikut angin.
Ia teringat teras rumah, teh hangat, dan ibunya yang tiada.
Udara bukan main sejuk, tapi ceritanya bukan main menusuk.

Aku suka petrikor.
Ia selalu berhasil mengundang rona juga lara.
Salah satu anugerah tersederhana yang pernah tercipta seakan hanya untuku saja.
sweet sugar Jul 2018
kulihat warna dedaunan begitu indah melayang di udara
begitu kuat namun rapuh hingga terbang terbawa angin
begitu rindang namun sekejap hilang ditelan pergantian bumi

apakah benar yang kulihat adalah dedaunan?
ataukah hanya hatiku menipu sang mata yang telah lama merindukannya

biar

biarlah tetap aku abadikan indah yang kulihat malam itu
tersimpan jelas dalam hati dan mataku

apapun itu
dedaunan tetaplah dedaunan
akan selalu indah walau sudah jauh pergi bersama angin
xGalih Aug 2020
/I/
Tik, tik, tik, angka-angka berdetak di tengah malam yang riuh dalam sunyi.
Aku melukis senyum pada langit pirau yang terjebak dalam ruang-ruang gelap.
Jendela mempersilahkan gagak masuk menyampaikan rekam tawa dari orang-orang yang melukis kesedihan di birai bibir.
Seolah parade, bergembiralah seisi ruangan yang hanya ada aku saja di dalamnya.

/II/
Kota mulai curiga kepada siapa saja yang mencoba menetap.
Berlari dan tergesa adalah cara bunuh diri dalam kota yang melaju cepat dan semakin cepat.
Aku memilih menjebak diriku dalam ruang tak berpintu, yang lantainya kususun dari debur gelombang bulan purnama.
Ranjangnya mencekik kerongkonganku di pagi hari yang tak pernah tiba.

/III/
Apakah terlambat untuk menjadi diriku sendiri?
Ataukah terlalu cepat untuk menemukan diriku dalam tubuh yang nirmakna?
Jika kesunyian berbunga makna, seharusnya aku menemui makna atas diriku pada suatu pagi di ujung simpul tali.
Aku melayang, engkau menerka udara.
Aku hidup, engkau perdebatkan prosesi pemakaman dalam daftar-daftar tak kasat mata.

/IV/
Seekor nyamuk menganggu kewarasaannya dalam menghitung berapa bintang yang tak pernah melempar cahaya.
Keningnya menjelma komidi putar, menjauh, mendekat, pergi dan kembali.
Suara-suara berbaris, mempersempit lorong waktu dan jembatan kota yang mulai menua.
Telapak tangannya bergetar seiring detak jantung yang terus mempercepat kembang-kempisnya.

/V/
Senang pernah bersua, tapi aku tak ingat.
Di antara aku dan lainnya, siapa yang memperkenalkan diri di awal pertemuan?
Begitu juga esok hari, wajah siapa yang tergores dalam cermin?
Siapa yang mengucap selamat tinggal dalam jumpa yang seharusnya tak pernah menjadi sebuah perpisahan?

— The End —