Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Sebelum 07 Oktober adalah normal lama.
Orang orang Gaza masih punya kehidupan.
Kehidupan yang telah menjadi masa lalu.
Masa lalu yang hanya bisa dikenang.

Hassan selalu senang tiap jumat siang.
Setelah shalat jumat dia bisa makan enak bersama keluarganya.
Lalu bersantai di tepi pantai hingga sore.
Itulah normal lama Hassan.

Tiap hari Asmaa bersemangat mengajar.
Pelajaran bahasa Arab untuk sekolah dasar.
Murid muridnya selalu berisik di dalam kelas.
Itulah normal lama Asmaa.

Samara selalu merayakan ulang tahun anaknya.
Dia membuat kue **** dan memasang hiasan lucu.
Boneka besar menjadi hadiah untuk anaknya.
Itulah normal lama Samara.

Tiap sore Mai selalu menyetir mobilnya.
Pelan pelan melewati jalan Al Rashid yang ramai.
Sambil melihat lihat suasana tepi pantai.
Itulah normal lama Mai.

Mustafa sibuk bekerja siang malam.
Mengumpulkan uang untuk membayar dowri.
Agar dia bisa secepatnya mengawini gadis pujaannya.
Itulah normal lama Mustafa.

Fadi selalu begadang tiap malam.
Saat listrik menyala dia sibuk melakukan banyak hal.
Mengecas laptop , mengetik makalah , mencuci baju dan lainnya.
Itulah normal lama Fadi.

Tiap hari Mariam selalu sibuk.
Pagi hingga sore dia berada di kantor.
Bekerja mengurusi periklanan dan digital marketing.
Itulah normal lama Mariam.

Heba selalu senang belanja di pasar.
Dia membeli daging , sayuran , buah buahan dan bumbu masakan.
Saat tiba di rumah dia langsung bersemangat memasak.
Itulah normal lama Heba.

Saat pagi Yousef sering pergi ke dermaga.
Dia melihat laut sambil menghirup udara segar.
Lalu membeli banyak ikan yang baru ditangkap nelayan.
Itulah normal lama Yousef.

Mohammed bertubuh kekar.
Tiap sore dia rutin pergi ke gym atau latihan tinju.
Terus berolahraga menjaga kebugaran tubuh.
Itulah normal lama Mohammed.

Lulus kuliah Abdullah masih menganggur.
Dia sering berhutang apapun di toko tetangganya.
Saat ditagih seperti biasa dia selalu menghilang.
Itulah normal lama Abdullah.

Keluarga Ali punya kebun olive.
Tiap musim panen dia selalu senang memetik olive.
Sambil makan manakeesh dan zaatar bersama keluarganya.
Itulah normal lama Ali.

Tiap malam Tareq sibuk belajar.
Dia ingin mendapat nilai tinggi saat ujian tawjihi.
Agar keluarganya merasa bangga padanya.
Itulah normal lama Tareq.

Ayahnya Omar bekerja di bengkel.
Dia sering memasang tabung gas untuk mobil.
Sopir sopir taksi tidak perlu membeli bensin.
Itulah normal lama ayahnya Omar.

Tiap menerima gaji Khaled merasa senang.
Dia selalu mengajak keluarganya makan enak.
Menyantap berbagai hidangan sea food di restoran Abu Hasira.
Itulah normal lama Khaled.

Wajah Eman selalu tampak cantik.
Dia rutin pergi ke salon melakukan perawatan.
Produk produk kecantikan juga dia beli semua.
Itulah normal lama Eman.

Ketika musim dingin Aya selalu senang.
Dia menghabiskan waktu membaca koleksi novelnya.
Sambil makan burger dan mereguk hangatnya sahlab.
Itulah normal lama Aya.

Tiap hari Walid selalu keliling Elsaraya.
Dia menyopir taksi mencari cari penumpang.
Sementara anak anak jalanan menjual tissue dan biskuit.
Itulah normal lama Walid.

Saat ada orang menikah Nassar selalu diundang.
Dia menjadi fotografer untuk memotret pengantin.
Pernikahan meriah di hotel dan resort tepi pantai.
Itulah normal lama Nassar.

Saat ramadhan toko Fatema selalu ramai.
Orang orang datang membeli berbagai kue buatannya.
Kaak , qatayef , baklava , kunafa dan lainnya.
Itulah normal lama Fatema.

Ketika hujan deras malam hari.
Kakeknya Ashraf selalu mendengarkan radio.
Menunggu lagu lagu Fairuz diputar sambil menghisap hookah.
Itulah normal lama kakeknya Ashraf.

Saat pertandingan El Classico.
Khalil dan teman temannya selalu pergi ke kafe.
Nonton bersama sambil bersorak sorak.
Itulah normal lama Khalil.

Huda kuliah literatur Inggris di Universitas Al Azhar.
Dia senang menghabiskan waktu di kampus.
Nongkrong di kantin atau baca buku di perpustakaan.
Itulah normal lama Huda.

Ketika musim panas Kareem tidak betah di rumah.
Dia sering nongkrong bersama teman temannya di tepi pantai.
Sambil makan jagung , kacang dan minum barrad.
Itulah normal lama Kareem.

Generator di rumah Shayma sering mati.
Biasanya dia keluar membawa laptop nongkrong di kafe.
Mereguk hangatnya mocca sambil mengunduh film dan anime.
Itulah normal lama Shayma.

Ayahnya Lubna punya kebun buah buahan.
Stroberi , jeruk , lemon , semangka dan kurma.
Tiap hari kebun itu selalu diurus secara telaten.
Itulah normal lama ayahnya Lubna.

Malak sering ikut kegiatan.
Pemberdayaan dan kreatifitas anak muda.
Dia belajar coding dan konten multimedia.
Itulah normal lama Malak.

Setelah lulus kuliah Zaina sulit mendapat pekerjaan.
Dia membuka kios kecil yang menjual falalel.
Orang orang selalu datang membeli falafel buatannya.
Itulah normal lama Zaina.

Dima punya banyak koleksi novel.
Dia sering membeli berbagai novel di toko Samir Mansour.
Lalu dia membacanya sambil berbaring di kasur.
Itulah normal lama Dima.

Tiap pulang sekolah anak anaknya Hussein selalu senang.
Mereka dibelikan Playstation agar bisa bermain game.
Ada balapan , pertarungan dan petualangan.
Itulah normal lama anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu enerjik.
Dia menjadi instruktur fitness dan aerobik.
Tak mengherankan kalau tubuhnya tampak langsing dan kencang.
Itulah normal lama Reem.

Masa akhir kuliah Amal sibuk belajar.
Dia ingin segera lulus dengan nilai yang bagus.
Mendapat beasiswa kuliah ke Eropa adalah impiannya.
Itulah normal lama Amal.

Menjadi ahli bedah adalah pekerjaan Dr Ghassan.
Selama puluhan tahun dia menjadi dokter di rumah sakit Al Quds.
Walaupun gajinya tak seberapa tapi dia selalu semangat bekerja.
Itulah normal lama Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya baru saja pindah ke apartemen.
Apartemen berfasilitas lengkap yang dibangun di tepi pantai.
Kehidupan terasa nyaman tanpa mengalami masalah apapun.
Itulah normal lama Ahmed.

Setelah lulus kuliah medis Aboud langsung bekerja di rumah sakit Al Shifa.
Dia senang bekerja dengan rekan rekannya yang penuh semangat.
Menyembuhkan orang orang dengan berbagai keluhan penyakit.
Itulah normal lama Aboud.

Kehidupan Mahmoud benar benar bahagia.
Dia tinggal di apartemen mewah bersama keluarganya.
Berbagai bisnis yang dia punya terus menerus untung besar.
Itulah normal lama Mahmoud.

Tiap hari Sham senang menghabiskan waktu di rumah.
Berkumpul bersama keluarganya menikmati kebersamaan yang menyenangkan.
Baginya keluarga adalah segalanya.
Itulah normal lama Sham.

Sondos kuliah hukum di Universitas Al Azhar.
Dia mempelajari hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dia ingin Palestina yang terjajah mendapatkan keadilan.
Itulah normal lama Sondos.

Melukis adalah hobi Bayan dan Layan.
Mereka paling senang melukis langit seperti lukisan Van Gogh.
Bagi mereka langit menyimpan segala misteri yang tak diketahui manusia.
Itulah normal lama Bayan dan Layan.

Normal lama berakhir setelah 07 Oktober.
Orang orang Gaza tidak lagi punya kehidupan.
Hanya ada masa kini yang menyakitkan.
Dan masa depan yang terancam.


November 2024

By Alvian Eleven
Karapatang Ari 2016
WMSU MABUHAY ESU
DONWARD CAÑETE GOMEZ BUGHAW


Kung isa-isahin ang nangakaraan
Simula no'ng ika'y aking niligawan
Hanggang sa dumating ating hiwalayan,
Maikuk'wento ko ng walang alangan.

Unang kita palang, napaibig ako
Sa isang babae at Nimfang tulad mo;
Puso ko'y nahulog ng di napagtanto,
Siguro'y pakana ito ni Kupido.

Iyong itinanong, "Ikaw ba si Donward?"
Ako'y napatigil nang dahil sa gulat
Ako ay lumingo't ikaw ay hinarap,
Aking itinugon isang tango't kindat.

Nang ako'y lumabas na sa isang silid
Hindi ko mawari't ikaw ay nawaglit;
Ako ay nalumbay sa nasahing pilit
Ano't ang tadhana ay nagmamalupit.

Gusto ko pa namang ika'y makilala
Paanong nangyari't agad kang nawala,
Hindi tuloy kita natanong o sinta
Sa iyong pangalan na pang-engkantada.

Aking inusisa ang aking sarili:
"May pag-asa pa bang makita kang muli?
May tadhana kayang magtatagpo uli
Sa ating dalawa kahit na sandali?"

Hanggang isang araw, nang aking makita
Iyong kaibigang naglakad mag-isa
Agad kong tinanong kung ika'y nagsimba
Marahan n'yang sagot nasa tuluyan ka.

Pagkatapos niyon tinanong ko na s'ya
Sa iyong pangalan na may pagkad'yosa
Agaran niyang sagot, "Devina Mindaña,
Ang buong pangalan ng aking kasama.

Nagpatuloy kami sa pagkuk'wentuhan
Habang naglalakad sa tabi ng daan
Hanggang sa dumating ang aming usapan
Sa punto na ako ay kanyang mabuk'han.

Diretsahang tanong ay 'may gusto ka ba,
Sa kaibigan kong nanuot sa ganda?'
Sagot ko'y mistula isang tugong parsa,
Naging dahilan ko'y, 'Naku, wala! Wala!'

Imbis na makuha, siya ay natawa
At nang tanungin ko'y naging sagot niya:
"Subukan mo nalang ang ligawan siya
At baka maantig, batong puso niya.

Ni minsan ay hindi siya nagkaroon
ng isang siyota, pagkat umaambon
ang pangarap niyang gustong maisulong
ang makapagtapos at ang makaahon."

Pagkasabi niyon, ako ay nangusap:
"Diyata't parehas kami ng pangarap,
Kapwa puso namin ay nangangagliyab
Sa iisang nais na para sa bukas."

Nagpatuloy kami sa aming usapan
Hanggang sa tuluyang siya'y namaalam.
"Ako'y ikumusta sa 'yong kaibigan,"
Wika ko nang siya'y tumawid sa daan.

Nagpatuloy ako sa aking paglakad
Hanggang sa marating ang nagliliwanag
nating pamantasang nagtatahang huwad
ng dunong at puring nanahanang likas.

Nagdaan ang gabi't umaga na naman
Pagsulat ng tula'y aking sinimulan,
Yaong tulang handog sayo kamahalan
Nitong si Balagtas, Donward ang pangalan.

Ang iyong pangalan ang naiititik
Niyong aking plumang espadang matulis;
Ang tinta ay dugong may hinalong pawis
Nitong aking huli't wagas na pag-ibig.

Ngunit sa kabila, niyong aking katha
Aking nalimutan ang lahat ng bigla
Maging pangalan mo, sintang minumutya
Kung kaya't nagtanong uli ang makata.

"Siya ang babaeng aking naibigan,"
Pagkukuwento ko kay Jesang huwaran
Nang ika'y nakitang naglakad sa daan
Kasama ang dal'wa mo pang kaibigan.

At nang naguluha'y aking itinuro,
Pagkatapos niyo'y siyang aking sugo;
Si Jesang huwaran ay parang kabayo,
Ika'y sinalubong ng lakarang-takbo.

Agad kang tinanong sa iyong pangalan
Katulad ng aking naging kautusan.
Nang ika'y tawagin -- o kay saklap naman
Di mo man lang ako nagawang balingan.

Nang aking tanungin si Jesang huwaran,
Nang siya'y nagbalik sa pinanggalingan,
Kung ano ang iyong tunay na pangalan:
"Devina Mindaña," kanyang kasagutan.

Hindi lumalao't hindi nakayanan
Ng puso kong ito, ang manahimik lang;
Kaya't nagsimulang ikaw ay sabayan,
Kahit hindi pa man kilalang lubusan.

Ewan ko kung bakit ako'y tinarayan,
Gusto kong magtanong, pero di na lamang;
Sa sungit mo kasi'y baka lang talikdan
At bago aalis ay iyong duraan.

Subalit, lumipas ilang linggo't buwan
Tayo'y nagkasundo't nagkausap minsan;
Insidenteng iyo'y di ko malimutan,
Malamyos **** tinig, aking napakinggan.

Nang ako'y tanungin sa aking pangalan,
Sa telepono ko'y sagot ay Superman;
At nang mukhang galit, agad sinabihang,
"Huwag kang magalit, ika'y biniro lang."

Agad kong sinabi ang aking pangalan
Baka tuloy ako'y iyong mabulyawan:
"Si Donward po ito," sabi kong marahan,
Pagpapakilala sa 'king katauhan.

Patuloy ang takbo ng ating kuwento,
Ang lahat ng iyo'y aking naging sulo,
Sa papasukin kong isang labirinto;
Sa isang kastilyong nasa iyong puso.

Hanggang isang gabi, mayroong sayawan,
Napuno ng tao ang gitnang bulwagan;
Ang aking sarili'y hindi napigilan
Na ika'y hanapi't maisayaw man lang.

Ngunit ng matunto'y hindi nakaasta,
Ang aking nasahin ay naglahong bigla;
Imbis na lapita't dalhin ka sa gitna,
Ay hindi na lama't ako'y nababakla.

Aking aaminin ang kadahilanan,
Takot na talaga ang pusong iniwan
Na baka lang uli't ito ay masaktan
Tulad ng sa aking naging kasaysayan.

Kaya't hindi ako nagpadalos-dalos
At baka pa tuloy yaon ay mapaltos;
Ang mabulilyaso'y mahirap na unos
Nitong aking pusong may panimding lubos.

Akin pang naitanong sa isang pinsan mo
K'wento ng pag-ibig na tungkol sa iyo
At kung maaaring ikaw ay masuyo,
Naging tugon niya'y: 'Ewan ko! Ewan ko!'

"Huwag ikagalit kung ika'y tanungin,"
Sabi ng pinsan **** maalam tumingin
Di sa kanyang mata na nakakatingin,
(Kung hindi'y sa kanyang talas na loobin).

Aking naging tugon doon sa kausap,
Yaong binibining aking nakaharap:
"Hindi magagalit itong nakatapat
Hangga't ang puso ko'y hindi nagkasugat.

Pagkatapos niyo'y kanya ng sinabi
Ang ibig itanong na nangagsumagi
Sa kanyang isipang lubhang mapanuri,
Ang kanyang hinala ay ibinahagi.

"Ikaw ba'y may gusto sa kanya na lihim?
Huwag **** itago't ng hindi lusawin
Ang laman ng puso at iyong pagtingin
Ng iyong ugaling, pagkasinungaling!"

Pagkatapos niyo'y agad kong sinagot
Tanong niyang sadyang nakakapanubok
At ipinagtapat yaong aking loob
Ng walang alanga't maski pagkatakot.

"Ako nga'y may gusto sa kanya na lihim,
Subalit paanong siya'y maging akin
Gayung tingin pala'y akin ng sapitin,
Ang lumbay, ang hapdi't kabiguan man din?"

"Di ko masasagot ang 'yong katanungan,"
Naging tugon niyong butihin **** pinsan,
"Tanging payo ko lang ay pahalagahan,
Huwag pabayaa't siya ay igalang."

Aking isinunod nang kami'y matapos
Ay ang iyong ateng wari d'yosang Venus;
Agad kong sinabi habang napalunok
Yaong aking pakay at nang s'ya'y masubok.

Imbis na tugunin yaong aking pakay,
Ako'y di pinansin kung kaya't nangalay
Dalawa kong mata sa kanilaynilay
Ako'y nanghihina't puso'y nanlupaypay.

Aking iniisip sa tuwi-tuwina
Ay ang pangalan mo, mahal kong Devina;
At ang hinihiling sa bantay kong tala,
Hihinting pag-asang makapiling kita.

Kaya't hindi ako nakapagpipigil,
Iyong aking loob na nanghihilahil
Aking inihayag sayo aking giliw
Ng walang palaman at maski kasaliw.

Tandang tanda ko pa no'ng makasabay ka
Papuntang simbaha'y sinusuyo kita
Hanggang sa pagpasok ako'y sumasama
Kahit hindi alam ang gagawin sinta.

Bago nagsimula ang misa mahal ko,
Ang aking larawa'y iniabot sayo;
May sulat sa likod, sana'y nabasa mo,
Yaong pangungusap ay mula sa puso.

Di kita nakitang ako ay nilingon,
Sapagkat atens'yo'y naroong natuon
Sa isang lalaking pumasok na roon,
At sayo'y tumabi hanggang sa humapon.

At nang nagsimula'y umalis na ako,
Pagkat ako itong walang sinasanto;
Baka tuloy ako magsasang-demonyo
Sa aking nakitang katuwaan ninyo.

Hindi ko malaman kung bakit sumakit,
Nanibugho ako, ano't iyo'y salik?;
Ano nga ba ito't tila naninikip?
Lintik na pag-ibig, puso ko'y napunit!

Napaisip ako habang naglalakad
Hanggang sa isip ko'y nagkakaliwanag;
'Manibugho sayo'y hindi nararapat,'
Napatungo ako sa sariling habag.

Ilang saglit pa at akin ng pinahid
Luhang sumalimbay sa pisnging makinis
At saka nangusap ng pagkamasakit:
"Wag kang mag-alala't di ko ipipilit."

"Itong pag-ibig kong nagniningas apoy,
Nasisiguro kong hindi magluluoy;
Ngunit, kung hindi mo bayaang tumuloy,
Mas mabuti pa ang puso ko'y itaboy!"

Nang ako'y magbalik doon sa simbahan,
Sa dami ng tao'y di kita nasilayan;
Ngunit, nang tanawin sa kinauup'an,
Naroong Devina't kinaiinisan.

Nanatili ako't hindi na umalis,
Di tulad kaninang lumabas sa inis;
Ako'y umupo na at nakikisiksik,
Kahit patapos na ang misang di ibig.

Hindi ko nga ibig, pagmimisang iyon
At maging pagsamba't gano'ng pagtitipon;
Pagtayo't pagluhod di ko tinutugon,
Pagkat ako itong walang panginoon.

Araw ay lumipas mula ng masuyo,
Ika'y sinubuka't nang hindi malugo
Itong aking pusong namalaging bigo
Sa loob ng dibdib, namugang tibo.

Iyong naging tugon ay nakakapaso,
Masakit isipi't maging ipupuso;
Yaong tumatama'y animoy palaso,
Narok sa dibdib, sugat aking tamo!

Sa kabila niyo'y di pa rin sumuko,
Tanging ikaw pa rin ang pinipintuho;
Kaya't wag isiping ito'y isang laro,
Pag-ibig kong ito'y hindi isang biro.

Hanggang sa dumating gabing aking asam,
Sa lilim ng mangga, bago ang sayawan
Ay iyong inamin ang nararamdaman,
Ating tagpong iyo'y di malilimutan.

Ipinagtapat mo na ika'y may gusto,
Ngunit di matugon itong aking puso,
Sapagkat ikaw ay mayroon ng nobyo
Di mo kayang iwa't ayaw **** manloko.

Aking naging tugon sa iyong sinabi,
Ay handang maghintay at mamamalagi
Hanggang sa panahong ikaw ay mahuli,
Makita't malamang di na nakatali.

Sa mukha'y nakita, matamis na ngiti
Niyong Mona Lisang, pinta ni Da Vinci;
Ako'y natigilan ilan pang sandali,
Nang aking matanaw, gandang natatangi.

Bago pa nag-umpisa'y pumasok na tayo,
Sa hinaraya kong dakilang palasyo,
At sa lilingkuran tayo ay naupo,
Niyong maliwanag, loob ng himnasyo.

At nang magsimulang musika'y tumugtog,
Ika'y namaalam at para dumulog
doon sa bulwaga't makikitatsulok,
ng sayaw sa indak dulot ng indayog.

Bago pa marating ang gitnang bulwagan,
Ako'y sumunod na't di ka nilubayan
Hangga't di pumayag sa 'king kagustuhan
Na maisayaw ka at makasaliwan.

Lumipas ang gabi't umaga'y sumapit,
Ang araw at linggo'y tila naging saglit;
Ako'y nagtataka't biglang napaisip,
Ano at ang oras ay mukhang bumilis.

Hanggang isang gabi nang aking tanungin,
Sa iyo, o, mahal kung bibigyang pansin;
Hanggang kailan mo pagdudurusahin;
May pag-asa pa bang nadama'y diringgin?

Iyong naging sagot sa katanungan ko:
"Di na magdurusa't ngayo'y maging tayo."
Ang rurok ng saya ay aking natamo,
Lalo pa't sinabing mahal mo rin ako.

Sa kadahilanang gustong masiguro,
Aking naitanong kung iyo'y totoo;
Baka mo lang kasi ako'y binibiro,
At kung maniwala'y sugatan ang puso.

Iyong ibinalik, ating gunitain,
Doon sa manggahan 'sang gabing madilim;
Ipinagtapat mo ang iyong damdamin,
Ngunit, di nagawang puso ko'y tugunin.

Pagkat mayroon kang sintang iniibig,
Iisang lalaking namugad sa dibdib;
Di mo maloloko't iyong inihasik
Sa paso ng puso't bukirin ng isip.

Pagkatapos niyo'y sinabi sa akin,
Na ating pag-ibig, manatiling lihim;
Aking naging tugo'y 'sang tangong lampahin
Pagkat aking isip, gulong-gulo man din.

"Sigurado ka ba sa'yong naging pasya?"
Ang muli kong tanong, bago naniwala
Sayo aking mahal na isang diwata,
Yaong aking ibig at pinapantasya.

Iyong naging tugon sa aking sinabi:
"Kung ayaw mo'y huwag, di ko masisisi;
Ano pa't puso mo'y sadyang madiskarte,
Baka may iba ng pinipintakasi."

Agad kong sinabi sa iyo mahal ko:
"Ano at kay daling ikaw ay magtampo,
Nagtanong lang nama't ako'y naniguro
Baka mo lang kasi, ako'y nilalaro.

Lumipas ang gabi't umaga'y sumapit,
Unang araw natin ay lubhang mapait,
Pagkat di nakayang ako ay lumapit,
Sayo aking sinta't ewan ko kung bakit.

Ilang sandali pa't hindi nakatiis,
Sa pagkakaupo'y tumayo't lumihis
ng landas patungo kay Musa kong ibig,
pagkat aking puso'y lubhang naligalig.

Muli kang tinanong kung pasya'y totoo,
Di na mababawi't di na mababago;
Iyong naging tugon sa katanungan ko,
Pisngi ko'y hinaplos, sabay sabing 'oo.'

Kay sarap marinig, salita **** iyon,
Iisa ang punto at maging ang layon;
Para bang lagaslas ng tubig sa balon,
Ibig kong pakinggan sa buong maghapon.

Matapos ang pasko'y siyang araw natin,
Na kung gunitai'y araw na inamin,
tinugon ang puso at binigyang pansin,
at saka sinabing, ako'y mahal mo rin.

Aking gabing iyo'y narurok ang saya,
Ngiti niyong buwa'y nakakahalina;
Ibig kong isulat ay isang pantasya,
At ikaw Devina, yaong engkantada.

Araw'y nangaglipas, daho'y nangalaglag,
Ano at ang oras tila naging iglap;
Siyang araw natin ay muling lumapag,
Ano at ang panaho'y tila naging lundag.

Iyong regalo mo'y hindi malimutan,
At maging pagbating ibig kong pakinggan,
Sa bawat umagang araw'y sumisilang
At kung maaari'y mapawalang-hanggan.

Ngunit nang magdaan ilang araw't linggo,
Naging malungkuti't di na palakibo;
Puso ko'y mistula isang boteng tibo,
Nabiyak sa dusa nang itatuwa mo.

Sa tuwi-tuwina'y napaisip ako,
Talaga nga kayang tapat ang puso mo?;
Ulo ko'y sasabog, bulkang Pinatubo,
Bakit ba't isip ko'y nagkakaganito?

Ilang araw kitang hindi tinawagan,
Pagkat labis akong nagdusa't nagdamdam;
Malakas kong loob ay di nilubayan
Ng kapighatia't maging kalungkutan.

Tayo nga'y mayroong isang kasunduan,
Di maikaila't sinasang-ayunan
Ngunit, ang itat'wa'y di makatarungan,
Alalahanin **** ako'y nasasaktan.

Ako'y wag itulad sa makinang robot
Na di nakaramdam maski anong kirot;
Ako ay may pusong nakakatilaok,
Pumipintig baga'y putak ng 'sang manok.

Kaya't nang sadyain sa tinutuluyan,
Ika'y kinausap at pinagsabihang:
"Sakaling darating ating hiwalayan,
Huwag magpaloko sa kalalakihan.

At saka-sakaling sayo'y may  manligaw,
Isipin mo muna't wag agad pumataw;
Pasya'y siguruhin bago mo ibitaw,
Ang iyong salita, nang di ka maligaw."

Unang halik nati'y hindi malimutan,
At kahit na yao'y isang nakaw lamang,
Pangyayaring iyo'y di makaligtaan,
Naging saksi natin ay ang Taguisian.

Tila ba talulot ng isang bulaklak
Labi **** sa akin na nangangagtapat;
Animo'y pabango yaong halimuyak,
Ng iyong hiningang sa halik nangganyak.

Ika-labinlima, araw ng Pebrero,
Hindi malimutan ating naging tagpo;
Sa iyong tuluya'y nagkasama tayo,
Doon sa Kwek Kwekan, nagdiwang ang puso.

Ako'y isang taong lubhang maramdamin,
Ang hapdi at kirot siyang tinitiim;
Puso ko'y tila ba 'sang pagong patpatin,
Sa loob ng dibdib sakit ang kapiling.

Kaya't nang makitang may kasamang iba,
Marahang lumason sa puso ko sinta
Ay ang panibugho't sakit na nadama;
At para maglaho, alak ay tinungga.

Sa ika-tatlumpu, na araw ng Marso,
Akin pang naalala pagbisita sayo,
Sa inyong tahana't mapayapang baryo,
Nagmano pa ako sa ama't ina mo.

Ibig kong ang lahat ay di na magtapos,
Masasayang araw nating lumalagos
Sa isip, sa puso't maging sa malamyos,
Na kantahi't tulang aking inihandog.

Ngunit, nang lumipas ang ika-limang araw
mula nang makita't sa inyo'y madalaw
ay isang mensahe ang lubhang gumunaw
sa aking damdami't marahang tumunaw.

Animo'y balaraw yaong tumatama,
Nang ang mensahe mo ay aking nabasa;
Gusto kong umiyak, gusto kong magwala,
Ngunit, anong saysay gayung wala na nga?

Kung isaulan ko itong aking luha,
Masasayang lama't walang mapapala;
Kaya't kahit ibig, ako ay tumawa,
Wag lamang masadlak yaong pagdurusa.

Kung ang kalayaa'y siyang ibig sinta,
At ang saktan ako'y ikaliligaya
Aba'y payag ako't ikaw na bahala,
Basta lang ang akin ika'y liligaya.

Kay sakit isiping tayo ay hindi na,
Ngunit, kung ito man ang itinadhana,
Aba'y pag-ibig ko't pag-ibig mo sinta,
Di makakahadlang sa ibig sumila.

Mahal ko paalam sa ating pag-ibig,
Mahal ko paalam, kahit na masakit;
Mga alaala'y huwag ng ibalik,
Burahin ng lahat sa puso at isip.


~WAKAS~
Ang tulang ito ay handog ko para kay Devina Mindaña.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphant­asmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasma­lphantasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalpha­ntasmalphantasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantas­malphantasmalphantasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalp­hantasmalphantasmalphantasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphant­asmalphantasmalphantasmalphantasmal
phantasmalphantasmalphantasma­lphantasmalphantasmalphantasmalphantasmal
phantasmalphantasmalpha­ntasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmal
phantasmalphantas­malphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmal
phantasmalp­hantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmal
phant­asmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmal­
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphan­tasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasm­alphantasmal
phantasmalphantasmalphantasmalphantasmalphantasmalph­antasmalphantasmal
                                  Asphalt Man
                                  Phantasm La
                                  Shaman Plat
                                  Asthma Plan
****** Hast
****** Hats
****** Shat
Napalms Hat
Plasma Than
Sampan Halt
Sampan Lath
                                                            ­        Manta Plash
                                                           ­         A Plasma Nth
                                                             ­       A Ham Plants
                                                          ­          A Hams Plant
A Mash Plant
A Sham Plant
A Maths Plan
A Math Plans
A Than Palms
A Than Lamps
A Than Psalm
Aha Plant Ms
Alpha Tan Ms
Alpha Ant Ms
Lama Pas Nth
Lama Asp Nth
Lama Spa Nth
Lama Sap Nth
Lamas Pa Nth
**** Path Ms
**** Phat Ms
Natal Hap Ms
Alas Amp Nth
Alas Map Nth
Ha Lam Pants
Ha Palm Tans
Ha Palm Ants
Ha Lamp Tans
Ha Lamp Ants
Ha Palms Tan
Ha Palms Ant
Ha Lamps Tan
Ha Lamps Ant
Ha Psalm Tan
Ha Psalm Ant
Ha Lams Pant
Ha Alms Pant
Ha Slam Pant
Ha Malts Nap
Ha Malts Pan
Ha Malt Pans
Ha Malt Snap
Ha Malt Naps
Ha Malt Span
Ha Plan Tams
Ha Plan Mast
Ha Plan Mats
Ha Plans Tam
Ha Plans Mat
                               Ha Plants Ma
Ha Plants Am
Ha Plant Sam
Ha Plant Mas
                               Ha Slant Amp
Ha Slant Map
Ha Splat Man
Ha Plats Man
                               Ha Plat Mans
Ah Lam Pants
Ah Palm Tans
Ah Palm Ants
Ah Lamp Tans
Ah Lamp Ants
Ah Palms Tan
Ah Palms Ant
Ah Lamps Tan
Ah Lamps Ant
Ah Psalm Tan
Ah Psalm Ant
Ah Lams Pant
Ah Alms Pant
Ah Slam Pant
Ah Malts Nap
Ah Malts Pan
Ah Malt Pans
Ah Malt Snap
Ah Malt Naps
Ah Malt Span
Ah Plan Tams
Ah Plan Mast
  Ah Plan Mats
   Ah Plans Tam
    Ah Plans Mat
     Ah Plants Ma
      Ah Plants Am
       Ah Plant Sam
        Ah Plant Mas
         Ah Slant Amp
          Ah Slant Map
           Ah Splat Man
            Ah Plats Man
             Ah Plat Mans
              Plash Ma Tan
Plash Ma Ant
Plash Am Tan
Plash Am Ant
Plash Man At
Plash Tam An
Plash Mat An
Lash Ma Pant
Lash Am Pant
Lash Man Tap
Lash Man Apt
Lash Man Pat
Lash Amp Tan
Lash Amp Ant
Lash Map Tan
Lash Map Ant
Lash Tamp An
Lash Tam Nap
Lash Tam Pan
Lash Mat Nap
Lash Mat Pan
Laths Ma Nap
Laths Ma Pan
Laths Am Nap
Laths Am Pan
Laths Man Pa
Laths Amp An
Laths Map An
Halts Ma Nap
Halts Ma Pan
Halts Am Nap
Halts Am Pan
Halts Man Pa
Halts Amp An
Halts Map An
Shalt Ma Nap
Shalt Ma Pan
Shalt Am Nap
Shalt Am Pan
Shalt Man Pa
Shalt Amp An
Shalt Map An
Halt Ma Pans
Halt Ma Snap
Halt Ma Naps
Halt Ma Span
Halt Am Pans
Halt Am Snap
Halt Am Naps
Halt Am Span
Halt Man Pas
Halt Man Asp
Halt Man Spa
Halt Man Sap
Halt Mans Pa
Halt Amp San
Halt Map San
Halt Maps An
Halt Amps An
Halt Sam Nap
Halt Sam Pan
Halt Mas Nap
Halt Mas Pan
Lath Ma Pans
Lath Ma Snap
Lath Ma Naps
Lath Ma Span
Lath Am Pans
Lath Am Snap
Lath Am Naps
Lath Am Span
Lath Man Pas
Lath Man Asp
Lath Man Spa
Lath Man Sap
Lath Mans Pa
Lath Amp San
Lath Map San
Lath Maps An
Lath Amps An
Lath Sam Nap
Lath Sam Pan
Lath Mas Nap
Lath Mas Pan
Ham La Pants
Ham Plan Sat
Ham Plans At
Ham Plant As
Ham Slant Pa
Ham Alp Tans
Ham Alp Ants
Ham Lap Tans
Ham Lap Ants
Ham Pal Tans
Ham Pal Ants
Ham Laps Tan
Ham Laps Ant
Ham Pals Tan
Ham Pals Ant
Ham Alps Tan
Ham Alps Ant
Ham Slap Tan
Ham Slap Ant
Ham Splat An
Ham Plats An
Ham Plat San
Ham Las Pant
Ham Slat Nap
Ham Slat Pan
Ham Salt Nap
Ham Salt Pan
Ham Last Nap
Ham Last Pan
Hams La Pant
Hams Plan At
Hams Alp Tan
Hams Alp Ant
Hams Lap Tan
Hams Lap Ant
Hams Pal Tan
Hams Pal Ant
Hams Plat An
Mash La Pant
Mash Plan At
Mash Alp Tan
Mash Alp Ant
Mash Lap Tan
Mash Lap Ant
Mash Pal Tan
Mash Pal Ant
Mash Plat An
Sham La Pant
Sham Plan At
Sham Alp Tan
Sham Alp Ant
Sham Lap Tan
Sham Lap Ant
Sham Pal Tan
Sham Pal Ant
Sham Plat An
Maths La Nap
Maths La Pan
Maths Alp An
Maths Lap An
Maths Pal An
Math La Pans
Math La Snap
Math La Naps
Math La Span
Math Plan As
Math Alp San
Math Lap San
Math Pal San
Math Laps An
Math Pals An
Math Alps An
Math Slap An
Math Las Nap
Math Las Pan
Than La Maps
Than La Amps
Than Lam Pas
Than Lam Asp
Than Lam Spa
Than Lam Sap
Than Palm As
Than Lamp As
Than Lams Pa
Than Alms Pa
Than Slam Pa
Than Alp Sam
Than Alp Mas
Than Lap Sam
Than Lap Mas
Than Pal Sam
Than Pal Mas
Than Laps Ma
Than Laps Am
Than Pals Ma
Than Pals Am
Than Alps Ma
Than Alps Am
Than Slap Ma
Than Slap Am
Than Las Amp
Than Las Map
Hap Lam Tans
Hap Lam Ants
Hap Lams Tan
Hap Lams Ant
Hap Alms Tan
Hap Alms Ant
Hap Slam Tan
Hap Slam Ant
Hap Malts An
Hap Malt San
Hap Slant Ma
Hap Slant Am
Hap Slat Man
Hap Salt Man
Hap Last Man
Hasp Lam Tan
Hasp Lam Ant
Hasp Malt An
Haps Lam Tan
Haps Lam Ant
Haps Malt An
Paths La Man
Paths Lam An
Staph La Man
Staph Lam An
Path La Mans
Path Lam San
Path Lams An
Path Alms An
Path Slam An
Path Las Man
Phat La Mans
Phat Lam San
Phat Lams An
Phat Alms An
Phat Slam An
Phat Las Man
Has Lam Pant
Has Palm Tan
Has Palm Ant
Has Lamp Tan
Has Lamp Ant
Has Malt Nap
Has Malt Pan
Has Plan Tam
Has Plan Mat
Has Plant Ma
Has Plant Am
Has Plat Man
Ash Lam Pant
Ash Palm Tan
Ash Palm Ant
Ash Lamp Tan
Ash Lamp Ant
Ash Malt Nap
Ash Malt Pan
Ash Plan Tam
Ash Plan Mat
Ash Plant Ma
Ash Plant Am
Ash Plat Man
Hast Lam Nap
Hast Lam Pan
Hast Palm An
Hast Lamp An
Hast Plan Ma
Hast Plan Am
Hast Alp Man
Hast Lap Man
Hast Pal Man
Hats Lam Nap
Hats Lam Pan
Hats Palm An
Hats Lamp An
Hats Plan Ma
Hats Plan Am
Hats Alp Man
Hats Lap Man
Hats Pal Man
Shat Lam Nap
Shat Lam Pan
Shat Palm An
Shat Lamp An
Shat Plan Ma
Shat Plan Am
Shat Alp Man
Shat Lap Man
Shat Pal Man
Hat Lam Pans
Hat Lam Snap
Hat Lam Naps
Hat Lam Span
Hat Palm San
Hat Lamp San
Hat Palms An
Hat Lamps An
Hat Psalm An
Hat Lams Nap
Hat Lams Pan
Hat Alms Nap
Hat Alms Pan
Hat Slam Nap
Hat Slam Pan
Hat Plan Sam
Hat Plan Mas
Hat Plans Ma
Hat Plans Am
Hat Alp Mans
Hat Lap Mans
Hat Pal Mans
Hat Laps Man
Hat Pals Man
Hat Alps Man
Hat Slap Man
A Ha Plant Ms
A Ah Plant Ms
A Halt Nap Ms
A Halt Pan Ms
A Lath Nap Ms
A Lath Pan Ms
A Than Alp Ms
A Than Lap Ms
A Than Pal Ms
A Hat Plan Ms
A La Maps Nth
A La Amps Nth
A Lam Pas Nth
A Lam Asp Nth
A Lam Spa Nth
A Lam Sap Nth
A Palm As Nth
A Lamp As Nth
A Lams Pa Nth
A Alms Pa Nth
A Slam Pa Nth
A Alp Sam Nth
A Alp Mas Nth
A Lap Sam Nth
A Lap Mas Nth
A Pal Sam Nth
A Pal Mas Nth
A Laps Ma Nth
A Laps Am Nth
A Pals Ma Nth
A Pals Am Nth
A Alps Ma Nth
A Alps Am Nth
A Slap Ma Nth
A Slap Am Nth
A Las Amp Nth
A Las Map Nth
Ha La Pant Ms
Ha Plan At Ms
Ha Alp Tan Ms
Ha Alp Ant Ms
Ha Lap Tan Ms
Ha Lap Ant Ms
Ha Pal Tan Ms
Ha Pal Ant Ms
Ha Plat An Ms
Ah La Pant Ms
Ah Plan At Ms
Ah Alp Tan Ms
Ah Alp Ant Ms
Ah Lap Tan Ms
Ah Lap Ant Ms
Ah Pal Tan Ms
Ah Pal Ant Ms
Ah Plat An Ms
Halt An Pa Ms
Lath An Pa Ms
Than La Pa Ms
Hap La Tan Ms
Hap La Ant Ms
Path La An Ms
Phat La An Ms
Hat La Nap Ms
Hat La Pan Ms
Hat Alp An Ms
Hat Lap An Ms
Hat Pal An Ms
La Ma Pas Nth
La Ma Asp Nth
La Ma Spa Nth
La Ma Sap Nth
La Am Pas Nth
La Am Asp Nth
La Am Spa Nth
La Am Sap Nth
La Amp As Nth
La Map As Nth
La Sam Pa Nth
La Mas Pa Nth
Lam Pa As Nth
Alp Ma As Nth
Alp Am As Nth
Lap Ma As Nth
Lap Am As Nth
Pal Ma As Nth
Pal Am As Nth
Las Ma Pa Nth
Las Am Pa Nth
A La Pa Nth Ms
Molly Smithson May 2014
Fake concrete crosses and the worn black skeletons of barns hover above secondary looped highways. We weave and bob over the Mountain.

Old dirt roads share the same name as the mailboxes that still line them. The Walker Homestead: now a pile of trucks stacked on top of a doublewide toppled next to a house once built in classic southern architecture.

Stripped naked pines are whipped by cold mists.

I awoke during the credits. I lay with tongues. I fall to sleep in verses.

For $30, you can heal in an hour at Hot Springs.

“The Dali Lama has soaked in our tubs!” The woman told me on the phone. “Seven years ago, that is.”

“He’s not still in there, is he?”

The Lama’s not betting on Hot Springs North Carolina for total consciousness. Or maybe he is.

Maybe any *******, even Madison County, can bring you enlightenment when you’re basically a God on earth.

Google: Does the Dali Lama have a car like the Pope-Mobile when he travels? Is he carried on one of those Cleopatra looking things? Sedan chairs.

Ross plays a CD he listened to when he drove the flat empty asphalt of Montana and Colorado.

He was searching for stunning landscapes to shred. A kind of enlightenment I don’t think the Dali Lama could do.

Google: Has the Dali Lama ever snowboarded? Read the whole Dali Lama Wikipedia page.

It’s only the Killers though. We both sing the chorus, staring straight ahead.

I got soul but I’m not a soldier.

Ross says he never liked that song. It’s something I never knew.

Hot Springs has been one of Western North Carolina’s premiere locations for rest and relaxation since 1778.

Except in 1916, when it was an internment camp for German civilian prisoners who were on a cruise ship captured on the coast.

They were all very friendly and really bonded with the townspeople. Some of the Germans even returned with their families and are buried in Hot Springs.

Some prisoners are buried in the town graveyard.

The building to our left was the most lavish resort in the Mountains. It had sixteen marble lined pools filled with healing mineral waters that were surrounded by groomed lawns. The summering crowd played croquet.

It burned down in 1920.

We don’t get offered a lawn game when we arrive. Just visitor towels for $1 and an ashtray.

Cold mists whip among the mineral pools.

I awoke during the credits. I lay with tongues. I fall to sleep in verses.

Ross and I consider having *** in the hot springs. We try once or twice, but parts don’t fit they way they do usually.

I see tiny flecks in the water.

Are they essence of the healing mineral springs or elements of the soakers’ fat bodies before me?

Ross lights a cigar. It smells like burning hair. I light a cigarette in retaliation.

The chubby spa attendant knocks on the door.

“Your time is up,” he drawls.  

What does that mean?

Are we going to be executed and laid next to the German civilian prisoners?

≈Did the Dali Lama receive such treatment?

The water drains, screeching as it is pulled away.

They don’t tell you where it ends up.

The mineral pools swirl with tiny flecks .

I awoke during the credits. I lay with tongues. I fall to sleep in verses.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
So Dreamy Jan 2017
Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melepas seikat rindu
Untuk seseorang berpandangan sayu
Yang telah lama diombang-ambing oleh gelombang kelabu
Seberat langit mendung yang sendu
Berpayung ia lama mencari lentera menuju ujung jalan
Sembari menanti hentinya rintik hujan
Tanah becek berlumpur tempat kakinya lama singgah
Di mana guntur tak ada lelahnya menumpah ruahkan gundah

Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melekatkan seikat harapan
Untuk seseorang yang tengah dihuyung geramnya badai topan
Yang tak hentinya berharap agar matanya dibutakan mentari pagi
Jiwanya lama berkelana mencari, entah ke mana cahaya itu pergi
Jauh dalam sudut yang gelap ia dibiarkan sendiri*

-------------------------------------------------------­------------------------------------

Telah kuleburkan kata demi kata menjadi beberapa helai untaian kalimat
Untuk kompas dalam hidupmu yang telah kehilangan arah
Dibutakan oleh gulungan-gulungan masalah

Juga dalam doa-doa malamku dan setiap sujudku di atas sajadah,
Kubisikkan sebuah pinta agar dirimu selalu dalam pentunjuk-Nya,
Agar kelak dapat kau baca helaian untaian kalimat penyamangatku,
Yang kusampirkan dalam saku jaketmu hari itu,
Dapat merontokkan seluruh perasaan kelabu dalam kalbumu,
Mendepakmu dari sudut gelap di ruang tergelap pikiranmu sendiri.
NELSON MANDELA, NUMBER 46664 IS DEAD; EULOGICALLY ELEGIZING DIRGE FOR SON OF AFRICA, HOPE OF HUMANITY AND PERMANENT FLAME OF DEMOCRACY


Alexander K Opicho
(Eldoret, Kenya; aopicho@yahoo.com)

Nelson Mandela, South Africa's anti-apartheid beacon, has died
One of the best-known political prisoners of his generation,
South Africa's first black president, He was 95.
His struggle against apartheid and racial segregation
Lead to the vision of South Africa as a rainbow nation
In which all folks were to be treated equally regardless of color
Speaking in 1990 on his release from Pollsmoor Prison
After 27 years behind bars, Mandela posited;
I have fought against white ******* and
I have fought against black *******
I have cherished the idea of a democratic
And a free society in which all persons live together
In harmony and with equal opportunity
It is an ideal which I hope to live for and to achieve
But if need be, it is an ideal for which I am prepared to die,

Fortunately, he was never called upon
To make such a sacrifice
And the anti-apartheid campaign did produce results
A ban on mixed marriages between whites and folks of color,
This was designed to enforce total racial segregation
Was lifted in 1985
Mandela was born on July 18, 1918
His father Gadla named him "Rolihlahla,"
Meaning “troublemaker” in the Xhosa language
Perhaps  parental premonitions of his ability to foment change.
Madiba, as he is affectionately known
By many South Africans,
Was born to Gadla Henry Mphakanyiswa,
a chief, and his third wife Nosekeni *****
He grew up with two sisters
In the small rural village of Qunu
In South Africa's Eastern Cape Province.
Unlike other boys his age,
Madiba had the privilege of attending university
Where he studied law
He became a ringleader of student protest
And then moved to Johannesburg to escape an arranged marriage
It was there he became involved in politics.
In 1944 he joined the African National Congress (ANC),
Four years before the National Party,
Which institutionalized racial segregation, came to power
.
Racial segregation triggered mass protests
And civil disobedience campaigns,
In which Mandela played a central role
After the ANC was banned in 1961
Mandela founded its military wing Umkhonto we Sizwe
The Spear of the Nation
As its commander-in-chief,
He led underground guerrilla attacks
Against state institutions.
He secretly went abroad in 1962
To drum up financial support
And organize military training for ANC cadres
On his return, he was arrested
And sentenced to prison
Mandela served 17 years
On the notorious Roben Island, off Cape Town,
Mandela was elected as South Africa's first black president
On May 10, 1994
Cell number five, where he was incarcerated,
Is now a tourist attraction
From 1988 onwards, Mandela was slowly prepared
For his release from prison
Just three years earlier he had rejected a pardon
This was conditional
On the ANC renouncing violence
On 11 February 1990,
After nearly three decades in prison,
Mandela, the South African freedom beacon was released
He continued his struggle
For the abolition of racial segregation
In April 1994,
South Africa held its first free election.
On May 10,
Nelson Mandela became South Africa's first elected black president,
Mandela jointly won
The Nobel Peace Prize
With Frederik de Clerk in 1993
On taking office
Mandela focused on reconciliation
Between ethnic groups
And together with Archbishop Desmond Tutu,
He set up the South African Truth and Reconciliation Commission (TRC)
To help the country
Come to terms
With the crimes committed under apartheid
After his retirement
From active politics in 1999,
Madiba dedicated himself
To social causes,
Helping children and ***-AIDS patients,
His second son
Makgatho died of ***-AIDS
In 2005 at the age of 54,
South Africans have fought
a noble struggle against the apartheid
But today they face a far greater threat
Mandela he posited in a reference to the ***-AIDS pandemic,
His successor
Thabo Mbeki
The ANC slogan of 1994; A better life for all
Was fulfilled only
For a small portion of the black elite
Growing corruption,
Crime and lack of job prospects
Continue to threaten the Rainbow Nation,
On the international stage
Mandela acted as a mediator
In the Burundi civil war
And also joined criticism
Of the Iraq policy
Of the United States and Great Britain
He won the Nobel Prize in 1993
And played a decisive role
Into bringing the first FIFA World Cup to Africa,
His beloved great-granddaughter
Zenani Mandela died tragically
On the eve of the competition
And he withdrew from the public life
With the death of Nelson Mandela
The world loses a great freedom-struggleer
And heroic statesman
His native South Africa loses
At the very least a commanding presence
Even if the grandfather of nine grandchildren
Was scarcely seen in public in recent year

Media and politicians are vying
To outdo one another with their tributes
To Nelson Mandela, who himself disliked
The personality cult
That's one of the things
That made him unique,
Nelson Mandela was no saint,
Even though that is how the media
Are now portraying him
Every headline makes him appear more superhuman
And much of the admiration is close to idolatry
Some of the folks who met him
Say they felt a special Mandela karma
In his presence.
Madiba magic was invoked
Whenever South Africa needed a miracle,

Mandela himself was embarrassed
By the personality cult
Only reluctantly did he agree to have streets
Schools and institutes named after him
To allow bronze statues and Mandela museums
To be built
A trend that will continue to grow.

He repeatedly pointed
To the collective achievements
Of the resistance movement
To figures who preceded him
In the struggle against injustice
And to fellow campaigners
Such as Mahatma Gandhi, Albert Luthuli
Or his friend and companion in arms
Oliver Tambo who today stands in Mandela's shadow,
Tambo helped create the Mandela legend
Which conquered the world
A tale in which every upright man
And woman could see him
Or herself reflected,
When Prisoner Number 46664 was released
After 27 years behind bars
He had become a brand
A worldwide idol
The target of projected hopes
And wishes that no human being
Could fulfill alone,
Who would dare scratch?
The shining surface of such a man
List his youthful misdemeanors
His illegitimate children
Who would mention his weakness for women?
For models
Pop starlets
And female journalists
With whom he flirted
In a politically incorrect way
When already a respected elder statesman?
Who would speak out critically?
Against the attacks
He planned when he headed the ANC
Armed wing Umkhonto we Sizwe
And who would criticize the way
He would often explode in anger
Or dismiss any opinions other than his own?
His record as head of government
Is also not above reproach
Those years were marked by pragmatism
And political reticence
Overdue decisions were not taken
Day to day matters were left to others
When choosing his political friends
His judgment was not always perfect
A Mandela grandchild is named
After Colonel Muammar Gaddaffi
Seen from today's perspective
Not everything fits
The generally accepted
Picture of visionary and genius,
But Mandela can be excused
These lapses
Because despite everything
He achieved more than ordinary human beings
His long period of imprisonment
Played a significant role here
It did not break him, it formed him
Robben Island
Had been a university of life for Mandela once posited
He learned discipline there
In dialogue with his guards
He learnt humility, patience and tolerance
His youthful anger dissolved
He mellowed and acquired
The wisdom of age
When he was at last released
Mandela was no longer
Burning with rage,
He was now a humanized revolutionary
Mandela wanted reconciliation
At almost any price
His own transformation
Was his greatest strength
The ability to break free
From ideological utopia
And to be able to see the greater whole
The realization
That those who think differently
Are not necessarily enemies
The ability to listen,
To spread the message of reconciliation
To the point of betraying what he believed in,
Only in this way could he
Serve as a role model
To both black and white humanity
, communists and entrepreneurs,
Catholics and Muslims.
He became a visional missionary,
An ecclesiast of brotherly love
And compassion
Wherever he was, each humanity was equal
He had respect for musicians and presidents
Monarchs and cleaning ladies
He remembered names
And would ask about relatives
He gave each humanity his full attention
With a smile, a joke, a well aimed remark,
He won over every audience
His aura enveloped each humanity,
Even his political enemies,
That did not qualify him
For the status of demi-god
But he was idolized and rightly so
He must be named in the same breath
As Mahatma Gandhi, the Dalai Lama
Or Martin Luther King
Mandela wrote a chapter of world history
Even Barack Obama posited
He would not have become
President of the United States
Without Mandela as a role model,

And so it is not so important
That Mandela is now portrayed
Larger than life
The fact that not everything
He did in politics succeeded is a minor matter
His achievement is to have lived
A life credibly characterized
By humanism, tolerance and non-violence,
When Mandela was released
From prison in 1990,
The old world order of the Cold War era
Was collapsing
Mandela stood at the crossroads and set off in the right direction
How easily he could have played with fire, sought revenge,
Or simply failed; He could have withdrawn from public life or,
Like other companions in arms, earned millions,
Two marriages failed because of the political circumstances
His sons died tragically long before him
It was only when he was 80 and met his third wife,
Graca Machel,
That he again found warmth,
Partnership and private happiness,
Setbacks did not leave him bitter
Because he regarded his own life
As being less important
Than the cause he believed in
He served the community humbly,
With a sense of responsibility
Of duty and willingness to make sacrifices
Qualities that are today only rarely encountered,

How small and pathetic his successors now seem
Their battles for power will probably now be fought
Even more unscrupulously than in the past
How embarrassing are his own relatives
Who argued over his legacy at his hospital bed
Mandela was no saint
But a man with strengths and weaknesses,
Shaped by his environment
It will be hard to find a greater person
Just a little bit more Mandela every day
Would achieve a great deal
Not only in Africa
But in the bestridden geographies
Epochs and diversities of man,

In my post dirge I will ever echo words of Mandella
He shone on the crepuscular darkness of the Swedish
Academy, where cometh the Nobel glory;
Development and peace are indivisible
Without peace and international security
Nations cannot focus
On the upliftment
Of the most underprivileged of their citizens.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
if i was a pearl i’d feel itchy scratchy stuck inside an oyster shell if i was a tree i’d  be a big fat redwood fantasizing about Julia Butterfly Hill living and peeing around me if i was a dog i’d be a Catahoula hound if i was Italian i’d be Sicilian if i was pasta i’d be spaghetti if i was Icelandic i’d be Bjork if i was a rock star i’d be Elvis Presley Bob Dylan Jimi Hendrix Jim Morrison John Lennon Bruce Spingsteen Maynard James Keenan if i was i writer i’d be Herman Melville Mark Twain James Joyce William Faulkner Thomas Bernhard Yukio Mishima Naguib Mahfouz Phillip K. **** Gabriel Garcia Marquez Annie Proulx Lydia Davis if i was a poet i’d be Walt Whitman Sylvia Plath Ted Hughes Gwendolyn Brooks Pablo Neruda  Heather McHugh Carl Sandburg Robert Frost Arthur Rimbaud Dante Alighieri Homer if i was a painter i’d be Leonardo Da Vinci Michelangelo da Caravaggio Johan Vermeer Rembrandt van Rijn Paul Cezanne Marcel Duchamp Jackson ******* Mark Rothko Ad Reinhardt Anselm Kiefer Susan Rothenberg if i was a photographer i’d be Man Ray Ansel Adams Edward Weston Diane Arbus Robert Mapplethorpe Sally Mann Helmut Newton Richard Avedon Annie Leibovitz if i was a philosopher i’d be Socrates Plato Aristotle Jean Jacques Rousseau Sören Kierkegaard Immanuel Kant Karl Marx Georg Hegel Friedrich Nietzsche Henry David Thoreau Ralph Waldo Emerson  Jean-Paul Sartre Jean Baudrillard Michel Foucault if i was a singer i’d be Woody Guthrie Otis Redding Grace Slick Bob Marley Joni Mitchell Marvin Gaye Johnny Cash Patsy Cline June Carter Patti Smith Chrissie Hinde Nick Cave P J Harvey Beyonce if i wa a band i’d be Velvet Underground Ramones *** Pistols Clash Cure Smiths Joy Division Uncle Tupelo Pixies Nirvana Nine Inch Nails Madrugada Sigur Ros White Stripes Thee Silver Mt. Zion Memorial Orchestra Justice of the Unicorns if i was a boot i’d be Chippewa Frye Ariat Red Wing Tony Lama Wellington if i was a shoe i’d be Christian Louboutin Jimmy Choo Kedds Chaco Chuck Taylor p f flyer if i was a dress i’d be Channel Dolce & Gabbanna Giorgio Armani Marc Jacobs Comme des Garçons if i was a cowboy shirt i’d be H bar C Rockmount Temp Tex Karman Wrangler Levis Strauss Lee if i was a hat i’d be a Stetson Borsalino Stephen Jones if i was a fruit i’d be a mango apple banana blackberry if i was an scent i’d smell like fresh perspiration jasmine sandalwood ylang ylang the ocean if i was a doctor i’d be a gynecologist neurosurgeon if i was a flower i’d be a hibiscus rose orchard if i was a stone i’d be a sparkling ruby diamond opal if i was a knife i’d be a k-bar switch-blade machete if i was a gun i’d be a Remington Winchester Beretta Glock AK-47 if i was a car i’d be a Lamborghini Ferrari BMW Saab Volkswagen GTO Ford Mustang Dodge Challenger if i was a  TV show i’d be Law and Order if i was actor i’d be Charlie Chaplin Humphrey Bogart Steve McQueen Robert De Niro Ed Norton Shawn Penn if i was an actress i’d be Marlene Dietrich Ingrid Bergman Natalie Wood Audrey Hepburn Marilyn Monroe Helen Mirren  Meryil Streep Brigette Fonda Robin Wright Julianne Moore Angie Harmon if i was a female comedian i’d be Gilda Radner Lily Tomlin Nora Dunn Joan Cusack Sarah Silverman Tina Fey if i was a  football player i’d be Sid Luckman George Blanda Walter Payton **** Butkus Mike Singletary Joe Montana Jerry Rice Payton Manning LaDanian Tomlinson  Drew Breeze if i was a celebrity i’d be Charlotte Gainsbourg if i was a rapper i’d be Tupac Shakur if i was a movie director i’d be Sam Peckinpah Robert Altman Stanley Kubrick Roman Polanski Werner Herzog Rainer Fassbinder Louis Bunuel Alfred Hitchcock Jean-Luc Godard François Truffaut if i was a bird i’d be a eagle hawk sparrow bluebird if i was a fish i’d be a dolphin shark narwhal Charlie the tuna if i was breakfast i’d be a French toast pancake folded in half with 2 strips of bacon in between if i was a cold cereal i’d be snap crackle popping rice crispies shredded wheat cheerios oatmeal if i was tea i’d be Japanese green matcha Irish breakfast Tulsi Thai holy basil Lapsang souchong Luzianne Lipton if i was a soap i’d be French hand milled ayurvedic Avon Ivory Dove Pears Aveda  if i was a man i’d be a football basketball baseball tennis swimmer athlete if i was a woman i’d be a track star runner writer painter gardener doctor nurse yoga mom i'm just scratching the surface and the beat goes on lahdy dah dah
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
Rob Urban Jun 2012
Lost in the dim
streets of the
Marunouchi district
I describe
this wounded city in an
  unending internal
monologue as I follow
the signs to Tokyo Station and
descend into the
underground passages
  of the metro,
seeking life and anything bright
in this half-lit, humid midnight.

I find the train finally
to Shibuya, the Piccadilly
and Times Square of Japan,
and even there the lights
are dimmer and the neon
  that does remain
  is all the more garish by
contrast.
I cross the street
near a sign that says
  "Baby Dolls" in English
over a business that turns
out to be a pet
  shop, of all things.

Like
the Japanese, I sometimes feel I live
in reduced circumstances, forced to proceed with caution:
A poorly chosen
adjective, a
mangled metaphor
could so easily trigger the
tsunami that
    sweeps away the containment
             facilities that
                   protect us
                        from ourselves
                                                            and others.
  
The next night at dinner, the sweltering room
     suddenly rocks and
        conversation stops
                  as the building sways and the
candles flicker.

'Felt like a 4, maybe a 5,'
says one of my tablemates,
a friend from years ago
in the States.

'At least a five-and-a-half,'
says another, gesturing
at the still-moving shadows
on the wall. And I think
     of other sweaty, dimly lit rooms,
      bodies in slow, restrained motion,       all
          in a moment that falls
                         between
                                     tremors.

         Then the swaying stops and we return
to our dinner. The shock, or aftershock,
isn't mentioned again,
though we do return, repeatedly, to the
big one,
         and the tidal wave that
                           swept so much away.

En route to the monsoon
I go east to come west,
   clouds gathering slowly
     in the vicinity of my chest.

Next day in Shanghai, the sun's glare reflects
  off skyscrapers,
and the streets teem
with determined shoppers
and sightseers
wielding credit cards and iPhone cameras, clad
in T-shirts with English words and phrases.
I fall
          in step
             beside a young woman on
                 the outdoor escalator whose
shirt, white on black,
reads, 'I am very, very happy.' I smile
and then notice, coming
down the other side,
another woman
wearing
        exactly the same
       message, only
                        in neon pink. So many
                                  very,
                                          very
                                                 happy people!
Yet the ATMs sometimes dispense
counterfeit 100 yuan notes and
elsewhere in the realm
      police fire on
      protestors seeking
                more than consumer goods,
while officials fret
about American credit
and the security of their investments, and
     the government executes mayors for taking
                       bribes from real estate developers.
    
    A drizzle greets me in Hong Kong,
a tablecloth of fog draped over the peaks
   that turns into a rain shower.
I find my way to work after many twists and turns
through shopping malls and building lobbies and endless
turning halls of luxury retail.
               At dinner I have a century egg and think
of Chinese mothers
urging their children,
'Eat! Eat your green, gooey treat.
On the street afterwards, a
near-naked girl grabs my arm,
pulls me toward a doorway marked by a 'Live Girls’
sign. 'No kidding,’ I think as I pull myself carefully
free, and cross the street.

On the flight to Bombay, I doze
   under a sweaty airline blanket, and
       dream that I am already there and the rains
         have come in earnest as I sit with the presumably
           semi-fictional Didier of Shantaram in the real but as-yet-unseen
            Leopold's Café, drinking Kingfishers,
              and he is telling me,  confidentially,
                     exactly where to find what I’ve lost as I wake
with the screech and grip of wheels on runway.
            

     Next day on the street outside the real Leopold's,
bullet holes preserved in the walls from the last terrorist attack,
I am trailed through the Colaba district
by a mother and children,  'Please sir, buy us milk, sir, buy us some rice,
I will show you the store.'
    A man approaches, offering a drum,
                        another a large balloon (What would I do with that?)
A shoeshine guy offers
                                           to shine my sneakers, then shares
the story of his arrival and struggle in Bombay.
     And I buy
             the milk and the rice and some
                      small cakes and in a second
                          the crowd of children swells
                               into the street
               and I sense
                     the danger of the crazy traffic to the crowd
                         that I have created, and I
think, what do I do?
           I flee, get into a taxi and head
                             to the Gateway of India, feeling
                                                                                  that I have failed a test.

                                       My last night in Mumbai, the rains come, flooding
     streets and drenching pavement dwellers and washing
the humid filth from the air. When it ends
           after two hours, the air is cool and fresh
                                  and I take a stroll at midnight
          in the street outside my hotel and enter the slum
   from which each morning I have watched
the residents emerge,  perfectly coiffed. I buy
some trinkets at a tiny stand and talk briefly
      with a boy who approaches, curious about a foreigner out for a walk.

A couple of days after that, in
the foothills of the Himalayas,  monks' robes flutter
on a clothesline like scarlet prayer flags behind the
Dalai Lama's temple.
I trek to 11,000 feet along a
narrow rocky path through thick
monsoon mist,
   stopping every 10 steps
to
   catch
        my  breath,
              testing each rock before placing my weight.
Sometimes
    the surface is slick and I nearly fall,
sometimes
    the stones
        themselves shift. I learn slowly, like some
             newborn foal, or just another
                clumsy city boy,
                   that in certain terrains the
       smallest misstep
                            can end with a slide
                                             into the abyss.
                  At the peak there's a chai shop that sells drinks and cigarettes
                                of all things and I order a coffee and noodles for lunch.
While I eat,
      perched on a rock in a silence that is both ex- and
      in-ternal,
the clouds in front of me slowly part to reveal
a glacier that takes up three-quarters of the sky, craggy and white and
beautiful. I snap a few shots,
quickly,
before the cloud curtain closes
again,
obscuring the mountain.
                                                
                                     --Rob Urban: Tokyo, Shanghai, Mumbai, Delhi, Dharamshala
                                        7/13/11-7/30/11
"Tagu-taguan, maliwanag ang buwan
Sona-sonahan, madilim na naman.
Pagbilang kong tatlo, nakatago na kayo
Mapagod man kayo, tuloy pa rin ang laban ko
Isa.. dalawa.. tatlo.. Game?"*

Pag si Juan ang nagsalita,
Nag-aalitan ang madla.
Pag tikom ang bibig,
Siya'y bulag raw sa maralita.

Pag nilatag ang naplantsa,
Lalatiguhin ng administrasyon.
Pag walang plataporma,
Ihahagis sa bangin ng suhestisyon.

Kalaban pala nati'y ang sariling atin,
Demokrasya nga'y may sapin pa rin sa bibig
Mga bolang itim, saang lupalop ang padpad
Mapait ang kapayapaan,
Dakila ma'y kanilang binabagsak din.

Walang nakatitiis sa bayang nagpapapansin
Masakit nga naman sa bulsa ang tunay na bayanihan
Dugo'y dumanak makamtan lamang ang demokrasya
Sobra-sobra nga lang ang danak ng iilang raleyista.

Sadsad sa suliranin ang Inang tinakwil
Mga anak sa lama'y namasyal pa sa ibang bayan
Hindi na matapus-tapos ito'y pagdadamayan,
Damay sa kurapsyon, damay sa pagtitwakal ng mga Inakay.
Yuyuko na lang ang nasa langit
Pagkat nagapi ang mga tunay na Anak --
Ang lipunang ginahasa ng iilang ganid,
Paulit-ulit na, ang hapdi ng kamusmusan.

May iilang nagtatanong,
May iilang walang pagtataka,
Musmos sa bayan, wala namang pag-usbong
Kaya't iba na lang ang nakikinabang
Puspos sa distansya
Ng kamalian ng nakaraan.

Hugas-kamay ang iilan,
Simpleng hindi batian,
Wika nga ba ng pagkakalimutan?
Parang away-kalye, away-bata
Aso't pusa, sa lipunang
ang hepe'y sila-sila lang din.

Batu-bato pik, naglalaro ang iilan
Bukas tataya na naman sa lotto
At pag natalo'y iiyak na lang,
Bibigyan ng tsokolate,
Pangako para sa matamis na pag-iibigan
Ngunit balat lang pala,
Mapagbalatkayong himagsikan
Tapos, hahanap ng Darna
Pagkalunok ng bato ng kamanhidan.
Sean Hunt Jan 2016
Lama Leonard
Sing me a song again,
Before your life is over
Before you leave the stage and dive
Down below the clover
Before you reap the seeds you sowed
The wild world over
Between the alphas and the omegas
In bawdry nights inside bodegas


Lama Leonard listen to  
My song before you go
I've listened to yours since sixty eight
And now it's getting late
Ukulele days are numbered now
I  finally found my key
I'd like to know,  before I go,
You listened once to me

Sean Hunt  2013
I have been listening to Leonard Cohen's music since 1968.  I used to live in his neighborhood in Montreal, and we crossed paths in the very early hours of the morning in a diner.  He seemed to be in worse shape than me which was quite an accomplishment in those days.  We both pursued Buddhist studies, and meditated for many years on different mountains, he in California, me in Scotland and Spain.  After monkhood he hooked up with an exotic Hawaiian jazz singer many years younger than him;  I hooked up with a Spanish jazz singer many years younger than me.  I think we are both on our own once again.  There have been many curious parallels in our lives.  I see him as a very special person, an accomplished and humble spiritual seeker.  He is 82 and his impending departure from our stage (probably before mine) sparked this poem a few years ago.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
When I die
I don't care what happens to my body
throw ashes in the air, scatter 'em in East River
bury an urn in Elizabeth New Jersey, B'nai Israel Cemetery
But l want a big funeral
St. Patrick's Cathedral, St. Mark's Church, the largest synagogue in
        Manhattan
First, there's family, brother, nephews, spry aged Edith stepmother
        96, Aunt Honey from old Newark,
Doctor Joel, cousin Mindy, brother Gene one eyed one ear'd, sister-
        in-law blonde Connie, five nephews, stepbrothers & sisters
        their grandchildren,
companion Peter Orlovsky, caretakers Rosenthal & Hale, Bill Morgan--
Next, teacher Trungpa Vajracharya's ghost mind, Gelek Rinpoche,
        there Sakyong Mipham, Dalai Lama alert, chance visiting
        America, Satchitananda Swami
Shivananda, Dehorahava Baba, Karmapa XVI, Dudjom Rinpoche,
        Katagiri & Suzuki Roshi's phantoms
Baker, Whalen, Daido Loorie, Qwong, Frail White-haired Kapleau
        Roshis, Lama Tarchen --
Then, most important, lovers over half-century
Dozens, a hundred, more, older fellows bald & rich
young boys met naked recently in bed, crowds surprised to see each
        other, innumerable, intimate, exchanging memories
"He taught me to meditate, now I'm an old veteran of the thousand
        day retreat --"
"I played music on subway platforms, I'm straight but loved him he
        loved me"
"I felt more love from him at 19 than ever from anyone"
"We'd lie under covers gossip, read my poetry, hug & kiss belly to belly
        arms round each other"
"I'd always get into his bed with underwear on & by morning my
        skivvies would be on the floor"
"Japanese, always wanted take it up my *** with a master"
"We'd talk all night about Kerouac & Cassady sit Buddhalike then
        sleep in his captain's bed."
"He seemed to need so much affection, a shame not to make him happy"
"I was lonely never in bed **** with anyone before, he was so gentle my
        stomach
shuddered when he traced his finger along my abdomen ****** to hips-- "
"All I did was lay back eyes closed, he'd bring me to come with mouth
        & fingers along my waist"
"He gave great head"
So there be gossip from loves of 1948, ghost of Neal Cassady commin-
        gling with flesh and youthful blood of 1997
and surprise -- "You too? But I thought you were straight!"
"I am but Ginsberg an exception, for some reason he pleased me."
"I forgot whether I was straight gay queer or funny, was myself, tender
        and affectionate to be kissed on the top of my head,
my forehead throat heart & solar plexus, mid-belly. on my *****,
        tickled with his tongue my behind"
"I loved the way he'd recite 'But at my back allways hear/ time's winged
        chariot hurrying near,' heads together, eye to eye, on a
        pillow --"
Among lovers one handsome youth straggling the rear
"I studied his poetry class, 17 year-old kid, ran some errands to his
        walk-up flat,
seduced me didn't want to, made me come, went home, never saw him
        again never wanted to... "
"He couldn't get it up but loved me," "A clean old man." "He made
        sure I came first"
This the crowd most surprised proud at ceremonial place of honor--
Then poets & musicians -- college boys' grunge bands -- age-old rock
        star Beatles, faithful guitar accompanists, gay classical con-
        ductors, unknown high Jazz music composers, funky trum-
        peters, bowed bass & french horn black geniuses, folksinger
        fiddlers with dobro tamborine harmonica mandolin auto-
        harp pennywhistles & kazoos
Next, artist Italian romantic realists schooled in mystic 60's India,
        Late fauve Tuscan painter-poets, Classic draftsman *****-
        chusets surreal jackanapes with continental wives, poverty
        sketchbook gesso oil watercolor masters from American
        provinces
Then highschool teachers, lonely Irish librarians, delicate biblio-
        philes, *** liberation troops nay armies, ladies of either ***
"I met him dozens of times he never remembered my name I loved
        him anyway, true artist"
"Nervous breakdown after menopause, his poetry humor saved me
        from suicide hospitals"
"Charmant, genius with modest manners, washed sink, dishes my
        studio guest a week in Budapest"
Thousands of readers, "Howl changed my life in Libertyville Illinois"
"I saw him read Montclair State Teachers College decided be a poet-- "
"He turned me on, I started with garage rock sang my songs in Kansas
        City"
"Kaddish made me weep for myself & father alive in Nevada City"
"Father Death comforted me when my sister died Boston l982"
"I read what he said in a newsmagazine, blew my mind, realized
        others like me out there"
Deaf & Dumb bards with hand signing quick brilliant gestures
Then Journalists, editors's secretaries, agents, portraitists & photo-
        graphy aficionados, rock critics, cultured laborors, cultural
        historians come to witness the historic funeral
Super-fans, poetasters, aging Beatnicks & Deadheads, autograph-
        hunters, distinguished paparazzi, intelligent gawkers
Everyone knew they were part of 'History" except the deceased
who never knew exactly what was happening even when I was alive

                                                February 22, 1997
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Emanuel Martinez Mar 2013
If (WO)men are the ones that suffer an exacerbated amount
Of the violence, the ****, the abuse, and everything that comes
with and from struggle and alienation;
it is because of their femininity that men at times
have come to believe that their contributions soften institutions.
That at times throughout history neither capitalism, neoliberalism nor revolutionary experiments like that of Cuba have placed femininity as compatible
with progress or resolution.
In which case femininity must be hidden, silenced, or displaced with no purpose or place to belong.

Thus everyone closely associated with this femininity such as homosexuals, transgendered (WO)men, and "effeminate" males, (ignoring, subverting and negating the lesbian identity because of their gender) have come to be marginalized by a structural system of exclusion.

(WO)men carrying the highest burden for originating the associative distinction

Homosexuals battling to find love by constantly having to assert their masculinity

Transgendered (Wo)men afraid of expressing their through identity.

Lesbians fighting to legitimize their own identity separate from the directives ascribed onto them by virtue of being born women.

Males who are labeled effeminate because of their sympathy toward those who struggle and are alienated.

And every other individual who refuses to deliver to give a marker to their identity and a degree to their femininity.

Hold fast in your femininity and embrace the rancor that society grants you
As a homosexual I speak with you brother and sister, not for you

Realize that our self-ascribed degrees of femininity and identity are as revolutionary and transformative, and thus necessary, as those of Che Guevara, Mohammed Ali, Harriet Tubman, or the Dali Lama.

That because we have decided to embrace our degrees of femininity, problematic to any movement, at one point or another, we have inadvertently decided to align our selves with those who are alienated the most by the systems in which they live.

So that in this way we must make our struggles deliberate and political. Let our degrees of femininity become legitimizing banners of solidarity for anyone who suffers in any corner of the world.
March 10, 2013
Aisyah Adler Mar 2016
Perasaan ini terus bergelung
Bersembunyi di dalam relung.
Seakan mencoba tuk keluar, namun keadaan tak mendukung.
Ia pun lelah akan waktu yang terus berjalan namun berbanding terbalik dengannya
Yang hanya duduk beralaskan rasa percaya
Menatap langit kelabu menunggu turunnya rintikkan hujan pertama.
Walau kerinduannya semakin lama semakin bertambah,
Ia tak pernah bosan untuk membendungnya
Dan menunggu,
Menunggu datangnya hujan.
Karena ia percaya bahwa seberapa besar kerinduannya, seberapa dalam rasa sakitnya, dan seberapa lama ia menanggung deritanya, hujan yang turun akan menyapu bersih luka di relungnya.
Bagaikan obat penawar yang selalu ia temukan saat penyakitnya kembali datang.

Ia tak pernah bosan bercerita kepada langit,
yang dengan setia mendengar celotehannya.
Sambil menunggu turunnya hujan, ia bercerita akan lika liku yang ia alami.
Mendongak menatap langit, dan bercerita.
Sejenak ia dapat mengalihkan perhatiaannya dari hingar bingar sekitar
dan menemukan ketenangannya sendiri.
Yaitu bersama langit, saat menunggu hujan.

Rintikan pertama menerpa wajahnya. berhasil mengangkat sudut-sudut bibirnya.
Ia tersenyum.
Yang ditunggu memang tak pernah datang terlambat.
Diikuti dengan rintikan lainnya dan kemudian hujan turun dengan deras.
Inilah kebahagiaannya.
Namun juga kesedihannya.
Saat rintikan hujan yang turun berhasil membuatnya tersenyum sekaligus menangis.
Karena dapat membawa ketenangan dan penghapus luka,
namun juga dapat membawa kerinduan yang turun disetiap rintikannya.

“Jika hujan tidak dapat membuatku seutuhnya bahagia, lantas kemana lagi aku harus mengadu?”
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
Jonny Angel Mar 2014
Who doesn't remember Tony Lama
& those flashy pearl buttons,
cruisin' down the streets in torn jeans,
shirts unbuttoned to flat-navels
revealing sprouting chest hairs.

The disco ball twirled dance-magic,
along with the beach sounds
of sweet soothing melodies,
the ones that made you want
to sunbath covered
in Banana Boat oil.

A little bit of grease
went a long ways,
while warring with stars,
we got drunk in the bars,
sometimes got lucky in our cars
dreaming of better days
that weren't too great after all.

I miss those simple dates,
the ones without
immediate gratification
based on
the grand designs of
computer-aged
mobility.
Mateuš Conrad Feb 2020
why did i ever go out on a friday night?
drinks with "friends" and hitting the essex
club "scene" -
well - no much of a scene -
there was never the music you'd want to listen
to: come friday or saturday -
even mid-week when all the rock kids
were "hanging out" -
what would be chances of being your own d.j. -
catching something really new...
POIZON - church is poizon -
cool mom - something between a crossbreed
of cage the elephants and nirvana on blew -
3rd view - moi -
but i used to: and i remember that gehenna of
a sobering walk - alone after a night out -
like some furious son of sam -
when youth still had the adrenaline with it
and a sense of anger ******* around with
disillusionment -

those were the friday nights: bon jovi highlights
and long hair and milking a somewhat androgynous
look - sometimes the mascara would come out...
those were the days of having milk skin
and a proper shave -
the long hair and the waistcoast and cravat: semi-,

the lonesome story before i met my beard:
fwyday mordaithceirch -
i actually have a name for it...
i forgot what's already the designated
whittle pecker mr. pritchard of the down down:
below...

oh, oh so what...
rough friday nights in my youth -
on the clubbing "scene" -
and always that moral hangover when it came
to drinking with others -
ever since i started drinking by myself:
i forgot the mirror and that bucket
of warm water beside my bed to put my hand
in before going to sleep...
once or twice the company was worth the drink -
but most of the time you only kept
such company: because you were drinking -
drinking was never an afterthought -

now... i like drinking alone -
at least i can keep fact-checking the company
and the odd vocab peacock taking to the catwalk
of a ruminating free-fall tongue waggle
and rummage - the needle in the haystack
adventure - or... the ******* bucket
of deshelled oysters...

there have been some awful friday nights -
but: seeing how i started to give my beard
a welsh name borrowed from a willem dafoe
novel - and how it simply became pointless
to wake the dead with the angry tantrums
of youth: and how i seem to have
forgotten where my 20s "went" -
somehow rooted in: da-sein and how
i "wasted" 2 years on one book by kant -
2 years on one book by heidegger -
and: how i didn't have the time to "catch-up"
on the greek classics -

oh these island dwelling people -
i try to imagine them not being a seafaring:
and their messiah / superiority complex -
with their breakfast that could hardly
be digested come the hour of noon -
or no messiah / superiority complex -
the traffic: indeed - works like clockword...
from left to right...
sidenote: what of fahrenheit and
the feet and inches - stones and pounds?
ounces?
the metric of: baseline 0 here,
baseline 00 over there...

no... Michele Campanella piano solo take
on wagner's das rheingelt: entry of the gods into
valhalla - it's hardly anemic -
it's... the last leaf of autumn falling -
because the crescendo has already happened...
a befitting closure...

the superior island folk and their...
hyphens and germanic loan words -
how almost all names in chemistry are still
in their germanic: intact form of: no hyphen:
broken leg or broken arm...

woodwinds... perhaps... the violins providing
the humming of birds:
chirp chirp: no chirping -
and of course the horn - but the horns never
as prominent as those drank from...

something has happened today -
but i am... left without having any english
sensibility / egalitarianism -
somehow i always equate egalitarianism with
the english - the islanders -
a firework went off in the background -
mr. sloth awoke mrs. slouch after 3 years
for a firecracker celebration...

because who would want to be ruled
over by unelected: chocolatiers...
esp. after their trial run in the Congo -
but i have certainly had worse friday nights...

it can't exactly get much worse than...
say... listening to the siegfried idyll...
multitasking: drinking a cider, smoking a cigarette,
balancing act of folded leg sat on
perched on a windowsill solving a no. 11,289
sudoku from the 27th jan. 2020...
otherwise prior to:
imagine my disbelief at the pleasure -

with numbers to somehow escape thinking in words:
no grand arithmetic linear gymnastics -
of the end result -
certainly no logical statements -
just a whirlwind of numbers complimenting
these few words...
and what a fine friday night it has become:

the pizza was made - god save me from the perfume
of yeast... or checking on the rising dough
from time to time -
the leftover yeast gave me the opportunity
to bake an imitation sourdough crust pretty-as-a-picture
loaf that: would make any mushroom blush
and shy away from unfolding into an umbrella pose...
or a Y... curling outward-inward into an upsilon Υ...

because how could i forget the pleasure of
sifting through numbers?
by the time i attempted puzzle no. 11,290
i had to write a "map"

           a             b             c
      x   x   x   x   x   x   x   x   x  
1)   x   x   x   x   x   x   x   x   x
      x   x   x   x   x   x   x   x   x
      x   x   x   x   x   x   x   x   x
2)   x   x   x   x   x   x   x   x   x
      x   x   x   x   x   x   x   x   x
      x   x   x   x   x   x   x   x   x
3)   x   x   x   x   x   x   x   x   x
      x   x   x   x   x   x   x   x   x

come to think of it... where's a subscript?
if i'm going to use 1, 2, 3...
to tier the allocation of squares...
tennis and sudoku...
tennis: a game of 7 rectangles -
and how many judges and ball boys / girls?
sudoku - a puzzle of 10 squares - perhaps...
if i'll use tiers 1, 2, 3: a1, b2, c3...
what if... sudoku invoked letters rather than
numbers?

much later... oh believe me...
this is the antithesis of knausgård
writing about using googlemaps...
        
           a             b             c
      x   x   x   x   x   x   x   x   x  
1)   x   x   x   3   x   x   6   x   4
      x   x   x   2   x   4   x   8   9
      x   1   9   x   4   x   x   6   2
2)   x   x   x   7   x   x   x   5   x
      x   x   2   x   x   8   x   4   x
      x   2   x   x   x   x   x   x   x
3)   x   x   6   1   9   5   x   x   3
      x   3   8   4   x   x   x   7   x

it's still a schematic - the narrative is yet
to begin... otherwise...
there's nothing smart about this...
i have tired eyes sometimes:
i succumb and have to allow myself
to no acid-bath these eyes in words...

esp. since i speak so rarely -
imagine... in england and i spear
the bare minimum of english -
i can: i have to: i will - when being prompted -
but i can't remember the last time
i had an honest: informal exchange
of letters... lapped up by the glutton
tongue... i looked and looked
and with my silence i can attest:
there's a speech-impediment -
a stutter that's not born from nervousness...
but... an allusion to a "stoic" through
my lack of conversation...

at least on paper i can exfoliate -
enough cider and enoug whiskey and i'm all
sparrow McDermott!
ugh... the devolved scots and the likewise
welsh... devolved nations...
only this aspect of Brexit is... well...
imagine the "evolved" status of post-Yugoslavia...
Kosovo...
this is the only aspect of an otherwise:
fair enough that's... well...
if you lived for 3 years among the scots...
you'd get to appreciate them...
this is the only aspect of this whole affair
i will ever appreciate...
i would pour blood and **** into
the Welsh continuing their...
preservation of the iaith...
forever and the more - i would love to see
scotland start to dig trenches and
forget trainspotting gaelic -
parading like ponces and humpty dumpteys
with "harkccents"... glasgewian bull-runnings...
cousins aye and wee -

a thing of beauty: a thing of union...
but this... they were bullied in brussels...
they came back and started to bully the scots...
if you have lived -
the betas of cardiff - but they tongue: remains!
look far back and wales would encompass
cornwall -
ignorant i of a 26 year "servitude" on these isles...
quiz me on outside of London:
no point...
perhaps i too would wish for the lost
theta in Dublin - towing: to t'ink...
as any sanskrit H-surd does matter...

           a             b             c
      x   x   x   x   x   x   x   x   x  
1)   x   x   x   3   x   x   6   x   4
      x   x   x   2   x   4   x   8   9
      x   1   9   x   4   x   x   6   2
2)   x   x   x   7   x   x   x   5   x
      x   x   2   x   x   8   x   4   x
      x   2   x   x   x   x   x   x   x
3)   x   x   6   1   9   5   x   x   3
      x   3   8   4   x   x   x   7   x

but if i will replace... the side tiers of numbers...
the numbers in the puzzle will have to become
letters - greek... probably iota, epsilon and upper-case
gamma...

the bullied have returned from the palance
of the chocalatiers and: back to their old ways
of bullying the rest of these island folk...
because: it's infantile for me imagine
a resurrection of the crown (poland)
and the grand duchy of lithuania -
the commonwealth -
but somehow the united kingdom is not
fated to become the next yugoslavia -

i can confirm - up in edinburgh i was
confirmed by having the hat of Knox having
scalped me -
never is always metaphor: vaguely -
as in literally - in these quasi-paragraphs...
so it's not... infantile to even "think" that
the british empire can be revived?
zee window-licker spezials of
cross-breed h'americana postcards sent?
i nibble to attempt a joke...

oh i can bulldozer this whole narrative...
turn into a berserker -
i've saved enough money to deal
with the label loser...
all it will take is me having drunk enough -
sightseeing the slums of london's east end
and then hitting the brothel:
like an iron-head... to the pillow
and the ***** of a *******...

because i have had worse friday nights...
terrible company...
if i were not a michel de montaigne or a knausgård:
me me me, me me, me me me me,
write enough of that and:
to meme to grafitti... or to...
why are there no diacritical markers in
the english language worthy of recognition?
why would i...
rhoi fy **** y Cymraeg enw?
give my beard a welsh name?
and why is that not a cedilla C but a ******* K?
why not... Çumraeg?

on foreign shores i have made it adamant that...
this sense of foreigness does not
peppermint my presence with hopes to:
add to - an integration -
just borrow what the local have made: left-overs...
and work with that...

(insert snigger) - the neu-vikings of
northumberland...

           a             b             c
      x   x   x   x   x   x   x   x   x  
1)   x   x   x   3   x   x   6   x   4
      x   x   x   2   x   4   x   8   9
      x   1   9   x   4   x   x   6   2
2)   x   x   x   7   x   x   x   5   x
      x   x   2   x   x   8   x   4   x
      x   2   x   x   x   x   x   x   x
3)   x   x   6   1   9   5   x   x   3
      x   3   8   4   x   x   x   7   x

this really does have a linear narrative...
here goes...
3(c1), 9(c3), 1(c1), 2(c3), 2(c1), 2(a1), 9(a3), 8(c3),
4(c3), 8(c2), 8(a2), 5(b2), 7(c2), 3(b2), 3(b3), 8(b3),
7(c1), 5(c1), 7(b3), 5(c3), 1(c3), 6(c3), 1(c2), 3(c2),
9(c2), 9(b2), 6(b1), 6(b2), 6(b3), 2(b3), 2(b2), 1(b2),
1(b1), 9(b1), 9(a1), 8(b1), 8(a1), 5(b1), 7(b1), 7(a1)...

and then a "gamble" in the narrative...
the (7a2 and the 5a2 - interchange)....
it's a pleasure - not a chore -
5  9  4
2  8  7
3  6  1
8  1  9
6  4  3
7  5  2 - this line... what if it was 5  7  2?
1  2  5
4  7  6
9  3  8
if i want to solve this puzzle - i will solve it
and not read a tabloid article /
whatever the hell has become of youtube...
my diamond jukebox...

otherwise the "narrative" continued from
7a2 and the 5a2 interchange:
7(3a), 4(a3), 4(a2), 6(a1), 4(a1), 5(a1), 5(a3),
1(a3), 1(a1), 3(a1), 3(a2), 6(a2)... end result?

           a             b             c
      5   9   4   6   8   1   2   3   7  
1)   2   8   7   3   5   9   6   1   4
      3   6   1   2   7   4   5   8   9
      8   1   9   5   4   3   7   6   2
2)   6   4   3   7   1   2   9   5   8
      7   5   2   9   6   8   3   4   1
      1   2   5   8   3   7   4   9   6
3)   4   7   6   1   9   5   8   2   3
      9   3   8   4   2   6   1   7   5

because i can imagine this not being:
the most difficult Finnish sudoku...
i can almost imagine this puzzle
to be in greek...
where: 1ι, 2ζ, 3ε, 4χ, 5Σ, 6δ, 7Γ, 8β, 9ρ...

in the background all i hear is:
corvus corax' la i mbealtaine...
the greek version of the japanese puzzle...

           a             b             c
      Σ   9   χ   6   8   ι   ζ   ε   7  
1)   ζ   8   7   ε   Σ   9   6   ι   χ
      ε   6   ι   ζ   7   χ   Σ   8   9
      8   ι   9   Σ   χ   ε   7   6   ζ
2)   6   χ   ε   7   ι   ζ   9   Σ   8
      7   Σ   ζ   9   6   8   ε   χ   ι
      ι   ζ   Σ   8   ε   7   χ   9   6
3)   χ   7   6   ι   9   Σ   8   ζ   ε
      9   ε   8   χ   ζ   6   ι   7   Σ

half-way... i just wanted to "selfie" what
will become of this... i no longer write: i paint...

            a             b             c
      Σ   9   χ   δ   8   ι   ζ   ε   Γ  
1)   ζ   8   Γ   ε   Σ   9   δ   ι   χ
      ε   δ   ι   ζ   Γ   χ   Σ   8   9
      8   ι   9   Σ   χ   ε   Γ   δ   ζ
2)   δ   χ   ε   Γ   ι   ζ   9   Σ   8
      Γ   Σ   ζ   9   δ   8   ε   χ   ι
      ι   ζ   Σ   8   ε   Γ   χ   9   δ
3)   χ   Γ   δ   ι   9   Σ   8   ζ   ε
      9   ε   8   χ   ζ   δ   ι   Γ   Σ

going... going... gone...

            a             b             c
      Σ   ρ   χ   δ   β   ι   ζ   ε   Γ  
1)   ζ   β   Γ   ε   Σ   ρ   δ   ι   χ
      ε   δ   ι   ζ   Γ   χ   Σ   β   ρ
      β   ι   ρ   Σ   χ   ε   Γ   δ   ζ
2)   δ   χ   ε   Γ   ι   ζ   ρ   Σ   β
      Γ   Σ   ζ   ρ   δ   β   ε   χ   ι
      ι   ζ   Σ   β   ε   Γ   χ   ρ   δ
3)   χ   Γ   δ   ι   ρ   Σ   β   ζ   ε
      ρ   ε   β   χ   ζ   δ   ι   Γ   Σ

i don't mind a people being right...
but the overt-gloating...
without having to work around the sort
of paranoia associated with:
how the russians are not allowed to glutton
themselves on gloating -
because they are always made
to feel suspcious - the russians can't gloat
like most of the anglo- speaking world...
always suspect: russophobia evil genuises...
tip-toeing goliaths - less the blundering
fudge-packers of "global ****"...
and i kissed a boy and i liked it...
my genitals started shrinking
and my *** started to exfoliate with:
welcome all! welcome all hard and on!
and that tongue in my mouth always helps...
but imagine my surprise when
i started to navigate my hands
but the reply came:
timbuktu and mt. kilimanjaro will not be found
attached to this sort of torso...
wrong dog, wrong tree...

some things really do require numbers...
i once had a mathematics teacher in high school
bemoan the origin of modern numbers
and how we once: upon a time used these letters...
but did our arithmetic with visual aids
akin to the abacus... because...
you'd have to "read braille" when counting...
to differentiate the already: lettered numbers
and the letters being letters -
and all arithmetic functions
were "spoken of" but never depicted...
i.e. there was no VII + III = X...
there was no XV - XI = IV...
eh?! arithmetic was cat-intuitive...
not spoken of - done by either the visual
aid of fingers when haggling
in a market place -
or by the abacus aid in a bureucratic office!

i said this was the most perfect friday night...
what did i have to offer?
no clickbait title - some gems of wording
in between?
the patient reader - as ever - most rewarded -

but... oh my god... the sensation of
changing the bed sheets...
it's friday night and you're... changing your bed sheets...
and they are more crisp and clean
than any political event that the journalist leeches
are milking -
and you do it with a saving private ryan precision -
you will sleep in this bed: well into
11am of a today to come...
believe me: that you will...

- in that i am still walking among the germanic people -
if the germans will sing a: bretonisher marsch...
then the two peoples are alligned by
their sentiment for the crow as their godhead:
alles menschen totem...
what could possibly make me feel welcome?
french grammar is polish grammar...
matin de printemps - poranek wiosny -
spring morning in reverse in germanic...
how many more examples would i ever wish
to give?

there was a moment in my life where...
i realised my faults... i should have read
the Pickwick Papers... anything by C. Dickens to be sure...
instead came Stendhal, Voltaire, Balzac...
because if you said to me...
BBC radio 4... the archers...
and... thomas hardy: madding crowd?
you'd accuse me of being ignorant of:
London is a bustling cosmopolitan in-waiting
from the busy-body industrial proto-Beijing
it was of 100 years ago?    
the French had cosmopolitan intellectualism
100 years prior to the english...
100 years later and it's still not much...
is anyone about to cite me william hazlitt?!

the trouble with the english is that they hold dear
to that one old 19th century idea -
this waiting for: awaiting a revival of darwinism...
the "blatantly" obvious needs a resurgence!
because a michael faraday must most surely
be forgotten!
how many times will this already painful reality
need to be emphasised once more:
intellectually - via a darwinism?
no one stresses the copernican "upside-down"...
or what is copernican "west" up in space?
how does acknowledging the sphere
of the earth - ease you reading a flat map -
moving from point A to point B?

earlier this week - for once in my life i was
ashamed of what i wrote -
so i wrote for scribli per se: scribbles for
scribbles themselves -
the darwinian germanic folk who say:
alles von afrika...
how the hebrews debased themselves
in both aushwitz and breaking their bones
on the emoji hieroglyphs -
alles von afrika: ja... so sicher... so wahr!

ask any slavic person among the germanic
peoples...
where from? wir (ar) sind lesen und schreiben
"afrika": i.e. Indu...
if the african challenged the hebrews
with... "the best they had": egyptian emojis...
why would i not stress my birth
with pseudo cedilla Ş / इ... ☦ -
this indo-european is not... at home with
these african-germanoids...
pseudos and quasi -
these chocolate frenzied busy-buddies!

from the caucasian and further still from
that whittle sub-corinthian quote: continent...
somehow, "somehow" this part of this story
is read: south to north... always a grand
marker missing when the people went
east, squinted... learned skeleton existence,
atoms... and the frenzy of letters:
owls and ******* **** flinging beetles
back in the north eastern tip of
africa: in that egyptian haemorrhage of "idea"...

i assure myself... perhaps the form came from
africa... but sure as **** the tongue only arrived
in the lap of the Dalai Lama...
as did the "thinking" and the music
across prior to the Mongol's curiosity
over the tundra of Siberia...
something had to be placed on a loan...
and coming back to the cradle and the crux
had to happen like so...
not this current: ergo: so...
quickened and: what news from Damascus?!

first impressions count...
i made my bed... it's newly washed...
as crisp as falling onto a bed a prawn crackers...
without the crumbs' itch...
like listening to some german:
juggernaut... this will do... i can fall asleep
with this: grab hören zu der winderhall...
mehr flöte - weniger violinekratzen!
schlechtdeutsche? alle deutsche ist gut deutsche...
erwarten etwas isländisch zu sein
gesprochen insel von insel: auf diese inseln?!

to make a crisp bed of freshly washed sheets...
to sleep in them alone...
given the grammar is not that far removed...
are the french even remotely translated
as a germanic "sort of" people?
"they" or "we" share the same grammar...
and there are celtic freedoms that would
never be allowed to exfoliate under
strict anglo-ßaß obligations...

oh sure! great people! steam engine: choo-choo!
newton et al...
shakespeare: when they taught us shakespeare
they should have taught us bernard shaw...
when they forced jane eyre down our throats
we should have been reading
the pickwick papers...
the music will remain german -
because as much as vaughan williams...
holst and händel were "were" english...
esp. latter with his umlaut that spread over
toward i-and-j...

why wouldn't you **** at the pillar of the empire:
a past most assured - dust, books and moths...
like hell will i come to correct my ways
to state the: pish-poor Elgar... this poo'em too...
himmel... sky...
leerenhimmel - empty sky -
nein sonne während der tag:
das englischnebel: bedeckthimmel...
nein mond während der nacht...
nur so...

i of the lesser men of this world duly bow
my presence before the altar of the higher men
of these isles...
and hope and pray that their wisdom
will not bestow upon them any major calamity...
with not irony or ridicule i wish upon
these peoples... the right sort of oars
to turn this rooted island
into the people's imagined langboot...

there are only one british people a people
who will pursue to gloat having been
conquered by the romans...
being raided by the vikings...
integrating the anglo-ßaß...
a second viking coming via the Normans...
the push-over remains of the celts...
that somehow translated itself into
the: empire...
ideal: to compensate...
the islamic fervor for the... resurrected
caliphate...
jokes about the dritte ***** and the vierte *****...
that's pretty much the precursor jokes
surrounding: ein zweite ***** -
auf welche die sonne nimmer setzt -
ever wonder how that translates with the increased
cases of insomnia?!

again: bad german is better than
no german.
the Dali Lama
is a man of happy karma  
he laughs quite a lot
much like Mary Jane's ***
Zach Willett Nov 2012
hit the road
i’ve been bold
talking in my sleep
i grit my teeth

walking the streets at night
i’ve decided that everything is emptiness
everything as i know it, is emptiness
how refreshing life is
how incredibly refreshing my mind is

my mind is emptiness
my heart is emptiness
my lust is emptiness
my love is emptiness
my thoughts, my theories, my ambitions, my abortions, my cheating, lying habits, my dreams, my girlfriends, my world, my room, my hate, my anger, my joy, my pain are all emptiness

nothing happens
nothing is a word and words don’t exist
the way that i am tied to words is emptiness
the alcoholism is emptiness
the drugs are emptiness
the friends are emptiness
my family is emptiness
i am emptiness

there is no support, no conflict, no harbored poor emotions, no bold ideas, no sympathy, no death, no life and no person.

thank god, allah, buddha, shiva, abraham, dalai lama, bob dobbs, the cosmos, myself and all those other wonderful concepts that don’t exist because they are mere words.
Aridea P Nov 2013
Semusim ini ku jalani dengan bebas
Hingga suatu hari di musim berikutnya aku tersesat
Menanggung sakitnya duri kehidupan akibat perbuatanku sendiri
Di saat begitu siapa yang ada bersamaku di jalanan sepi?
Kalian bisa lihat sendiri betapa kehilangannya diriku
Kehilangan akal sehatku
Kalian tidak mengerti, kalian tidak mau mengerti
Aku memang terlalu rumit

Musim ini aku ditemani sepi
Melanglang buana sendiri
Mencoba tuk temukan ketenangan yang pernah aku miliki
Aku duduk lama di tepi sungai dan menatap ke air seraya lirih
Menggoyangkan kaki-kakiku yg beralas sepatu usang
Merasakan angin sore menusuk hingga ke telapak kaki
Aku menunggu mentari jatuh di ufuk barat
Kemudian pulang berjalan kaki berharap pamrih
Hari ini aku masih sendiri
Musim masih lama berakhir
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
A la luz de la tarde moribunda
Recorro el olvidado cementerio,
Y una dulce piedad mi pecho inunda
Al pensar de la muerte en el misterio.

Del occidente a las postreras luces
Mi errabunda mirada sólo advierte
Los toscos leños de torcidas cruces,
Despojos en la playa de la Muerte.

De madreselvas que el Abril enflora,
Cercado humilde en torno se levanta,
Donde vierte sus lágrimas la aurora,
Y donde el ave, por las tardes, canta.

Corre cerca un arroyo en hondo cauce
Que a trechos lama verdinegra viste,
Y de la orilla se levanta un sauce,
Cual de la Muerte centinela triste.

Y al oír el rumor en la maleza,
Mi mente inquiere, de la sombra esclava,
Si es rumor de la vida que ya empieza,
O rumor de la vida que se acaba.

«¿Muere todo?» me digo. En el instante
Alzarse veo de las verdes lomas,
Para perderse en el azul radiante,
Una blanca bandada de palomas.

Y del bardo sajón el hondo verso,
Verso consolador, mi oído hiere:
No hay muerte porque es vida el universo;
Los muertos no están muertos...  ¡Nada muere!
¡No hay muerte! ¡todo es vida!...
                                                     
El sol que ahora,
Por entre nubes de encendida grana
Va llegando al ocaso, ya es aurora
Para otros mundos, en región lejana.

Peregrina en la sombra, el alma yerra
Cuando un perdido bien llora en su duelo.
Los dones de los cielos a la tierra
No mueren... ¡Tornan de la tierra al cielo!
Si ya llegaron a la eterna vida
Los que a la sima del sepulcro ruedan,
Con júbilo cantemos su partida,
¡Y lloremos más bien por los que quedan!

Sus ojos vieron, en la tierra, cardos,
Y sangraron sus pies en los abrojos...
¡Ya los abrojos son fragantes nardos,
Y todo es fiesta y luz para sus ojos!

Su pan fue duro, y largo su camino,
Su dicha terrenal fue transitoria...
Si ya la muerte a libertarlos vino,
¿Porqué no alzarnos himnos de victoria?
La dulce faz en el hogar querida,
Que fue en las sombras cual polar estrella:
La dulce faz, ausente de la vida,
¡Ya sonríe más fúlgida y más bella!

La mano que posada en nuestra frente,
En horas de dolor fue blanda pluma,
Transfigurada, diáfana, fulgente,
Ya como rosa de Sarón perfuma.

Y los ojos queridos, siempre amados,
Que alegraron los páramos desiertos,
Aunque entre sombras los miréis cerrados,
¡Sabed que están para la luz abiertos!

Y el corazón que nos amó, santuario
De todos nuestros sueños terrenales,
Al surgir de la noche del osario,
Es ya vaso de aromas edenales.

Para la nave errante ya hay remanso;
Para la mente humana, un mundo abierto;
Para los pies heridos... ya hay descanso,
Y para el pobre náufrago... ya hay puerto.
No hay muerte, aunque se apague a nuestros ojos
Lo que dio a nuestra vida luz y encanto;
¡Todo es vida, aunque en míseros despojos
Caiga en raudal copioso nuestro llanto!

No hay muerte, aunque a la tumba a los que amamos
(La frente baja y de dolor cubiertos),
Llevemos a dormir... y aunque creamos
Que los muertos queridos están muertos.

Ni fue su adiós eterna despedida...
Como buscando un sol de primavera
Dejaron las tinieblas de la vida
Por nueva vida, en luminosa esfera.

Padre, madre y hermanos, de fatigas
En el mundo sufridos compañeros,
Grermen fuisteis ayer... ¡hoy sois espigas,
Espigas del Señor en los graneros!

Dejaron su terrena vestidura
Y ya lauro inmortal radia en sus frentes;
Y aunque partieron para excelsa altura,
Con nosotros están... no están ausentes!
Son luz para el humano pensamiento,
Rayo en la estrella y música en la brisa.
¿Canta el aura en las frondas?...  ¡Es su acento!
¿Una estrella miráis?...  ¡Es su sonrisa!

Por eso cuando en horas de amargura
El horizonte ennegrecido vemos,
Oímos como voces de dulzura
Pero de dónde vienen... ¡no sabemos!

¡Son ellos... cerca están!  Y aunque circuya
Luz eterna a sus almas donde moran
En el placer nuestra alegría es suya,
Y en el dolor, con nuestro llanto lloran.

A nuestro lado van.  Son luz y egida
De nuestros pasos débiles e inciertos
No hay muerte...  ¡Todo alienta, todo es vida!
¡Y los muertos queridos no están muertos!

Porque al caer el corazón inerte
Un mundo se abre de infinitas galas,
¡Y como eterno galardón, la Muerte
Cambia el sudario del sepulcro, en alas!
If the bar-girl does not falter,
The beer will flow on and on.
This maiden is my refuge
And this place my haven.

Written by the 6th Dalai Lama (1683-1706)
dth Apr 2016
Cinta bukan melulu soal siapa yang lebih dulu. Yang telah lama singgah bisa jadi sama rapuhnya dengan yang sekedar lalu-lalang.

Cinta bukan melulu soal detak jantung yang berdegup kencang, bukan melulu soal pupil yang melebar. Yang telah kehilangan nafasnya bisa jadi yang semenjak dahulu telah menyimpan asa.

Cinta bukan melulu soal hukum tawar-menawar. Saat sudah kehabisan apa yang ditawarkan, terkadang cinta dengan naifnya tetap menyambut dengan tangan terbuka. Persetan dengan hukum ekonomi, yang memberi kurang bisa jadi telah memberi seluruh yang mereka miliki.

Cinta bukan melulu soal mengabaikan ketidaksempurnaan. Justru cinta menerima seutuhnya, segala kesempurnaan maupun ketidaksempurnaan. Setiap gores dan luka, bukalah mata dan terimalah mereka dengan utuh. Yang terlihat baik bisa jadi membuatmu menutup mata atas keburukan mereka.

Cinta bukan melulu soal apa yang terlihat, karena bisa jadi indera kita dibuatnya luluh lantak di hadapannya.
“Tak ada cinta yang muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit.”
—Pramoedya Ananta Toer,
'Bumi Manusia'
waktu itu kita jalan keluar malam-malam
awalnya sedikit hangat didalam ruangan yang temaram
lalu kita melangkah keluar, dan dinginnya malam buat semuanya menjadi suram
sepertinya angin kencang menjalar dengan kejam
malam menjadi bisu, sambil berjalan pun kita berdua diam

lalu kamu menunjuk-nunjuk bangunan dengan lampu-lampu dan dinding kayu
sepertinya hangat disitu, kalau tidak salah kamu bilang begitu
saya setuju
dengan kamu saya selalu setuju
dijalanan kecil kita melangkah kesitu buru-buru

didalam sana udara dingin sudah tidak terasa lagi
dengan hati yang riang saya pilih coklat panas dari menu yang kamu beri
kata orang coklat bisa menghasilkan hormon endorfin
bisa membuat hari yang sedang bermuram durja menjadi tersenyum kembali

lalu saat itu coklat panas sudah ada didepan saya
saya sentuh pinggiran gelasnya
hangat
saya minum perlahan-lahan
sedikit demi sedikit, tanpa tergesa-gesa
sengaja
karena tidak terlalu besar ukurannya
kalau cepat habis bagaimana?

lama kelamaan habis, semuanya juga akan habis
saya ingin gelas kosong bekas coklat panas ini tidak digubris
tapi akhirnya pelayan itu datang dan mengambilnya sambil tersenyum manis
kehangatan kembali terkikis dan menipis

kita kembali berdiri dan keluar menelusuri malam yang dingin
kembali bergelut dengan angin
ingin saya bawa satu gelas coklat panas itu lagi
tapi dia akan membeku seiring berjalannya waktu, mungkin

tanpa suara, saya tahu kamu mendengar
tanpa cahaya, saya tahu kamu melihat
tanpa kata, saya tahu kamu mengerti

maka, terimakasih untuk ‘coklat panas’ nya.
mungkin bisa kita seduh kembali suatu saat nanti


Jakarta, 27 Desember 2012
*(puisi ini bukan tentang apa-apa. puisi ini tidak berarti apa-apa. puisi ini tidak ada yang mengerti selain saya dan satu orang lagi. puisi ini tentang sebuah Rahasia)

— The End —