Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Spanish

    Yo te diré los sueños de mi vida
En lo más hondo de la noche azul…
Mi alma desnuda temblará en tus manos,
Sobre tus hombros pesará mi cruz.

Las cumbres de la vida son tan solas,
Tan solas y tan frías! Y encerré
Mis ansias en mí misma, y toda entera
Como una torre de marfil me alcé.

Hoy abriré a tu alma el gran misterio;
Tu alma es capaz de penetrar en mí.
En el silencio hay vértigos de abismo:
Yo vacilaba, me sostengo en ti.

Muero de ensueños; beberé en tus fuentes
Puras y frescas la verdad, yo sé
Que está en el fondo magno de tu pecho
El manantial que vencerá mi sed.

Y sé que en nuestras vidas se produjo
El milagro inefable del reflejo…
En el silencio de la noche mi alma
Llega a la tuya como a un gran espejo.

Imagina el amor que habré soñado
En la tumba glacial de mi silencio!
Más grande que la vida, más que el sueño,
Bajo el azur sin fin se sintió preso.

Imagina mi amor, amor que quiere
Vida imposible, vida sobrehumana,
Tú que sabes si pesan, si consumen
Alma y sueños de Olimpo en carne humana.

Y cuando frente al alma que sentia
Poco el azur para bañar sus alas,
Como un gran horizonte aurisolado
O una playa de luz se abrió tu alma:

Imagina! Estrecha vivo, radiante
El Imposible! La ilusión vivida!
Bendije a Dios, al sol, la flor, el aire,
La vida toda porque tú eras vida!

Si con angustia yo compré esta dicha,
Bendito el llanto que manchó mis ojos!
¡Todas las llagas del pasado ríen
Al sol naciente por sus labios rojos!

¡Ah! tú sabrás mi amor, mas vamos lejos
A través de la noche florecida;
Acá lo humano asusta, acá se oye,
Se ve, se siente sin cesar la vida.

Vamos más lejos en la noche, vamos
Donde ni un eco repercuta en mí,
Como una flor nocturna allá en la sombra
Y abriré dulcemente para ti.


              English

I will tell you the dreams of my life
On this deepest of blue nights.
In your hands my soul will tremble,
On your shoulders my cross will rest.

The summits of life are lonely,
So lonely and so cold! I locked
My yearnings inside, and all reside
In the ivory tower I raised.

Today I will reveal a great mystery;
Your soul has the power to penetrate me.
In silence are vertigos of the abyss:
I hesitate, I am sustained in you.

I die of dreams; I will drink truth,
Pure and cool, from your springs.
I know in the well of your breast
Is a fountain that vanquishes my thirst.

And I know that in our lives, this
Is the inexpressible miracle of reflection…
In the silence, my soul arrives at yours
As to a magnificent mirror.

Imagine the love I dreamed
In the glacial tomb of silence!
Larger than life, larger than dream,
A love imprisoned beneath an azure without end.

Imagine my love, love which desires
Impossible life, superhuman life,
You who know how it burdens and consumes,
Dreams of Olympus bound by human flesh.

And when met with a soul which found
A bit of azure to bathe its wings,
Like a great, golden sun, or a shore
Made of light, your soul opened:

Imagine! To embrace the Impossible!
Radiant! The lived illusion!
Blessed be God, the sun, the flower, the air,
And all of life, because you are life!

If I bought this happiness with my anguish,
Bless the weeping that stains my eyes!
All the ulcers of the past laugh
At the sun rising from red lips!

Ah you will know, My Love,
We will travel far across the flowery night;
There what is human frightens, there you can hear it,
See it, feel it, life without end.

We go further into night, we go
Where in me not an echo reverberates,
Like a nocturnal flower in the shade,
I will open sweetly for you.
Joshua Soesanto Jun 2014
sajak yang terulang
semua terlihat sama
balkon di pagi hari dengan kopi kita
bercengkerama lepas kata

rasa manis tanpa gula terasa
kita masih tetap bertukar kisah
dari hulu ke hilir tanpa derasnya alur
kita masih tetap saling menghibur

akan ada waktu
waktu di antara batas cemburu dan kerelaan
menerima kenyataan
sebagai buah resonansi pengakuan

kamu selalu bisa menerjemahkan
rasa yang tak sempat singgah
sederet sajak demi sajak, aku begah
kapan terhenti?
terhenti saat di culik damai
pertanda bahwa jiwa kita pergi
kata itu diam
sediam damai itu sendiri

langit biru mendayu
tapi mata ini semu
hanya bayangan perlahan melayu
haru..
karena tak sempat menyentuhmu

hanya memaksa sumpah
menanak lelah
meminum darah
sedikit sengatan lebah, aku pun rebah
terbangun, lalu ingat
ternyata ada..ya..ada
seikat warna yang tak pernah kita miliki

ternyata kau pun tahu, aku menunggu
dari balik pohon tua di seberang sungai
"tunggu sajalah, sampai lumut memakan dinding waktu"
abu-abu, karena takut jatuh hati

kamu di bawa pergi seorang tuan
dengan kapal bernama masa lalu
sedangkan aku disini
diam-diam menyulam awan menjadi kamu

jika kamu
di antara damai dan terang
aku rela menyembunyikan bintang
aku rela menyembunyikan mentari
aku rela menyandera damai semesta
karena kamu keajaiban
yang aku panggil dalam percakapan bisu
tanpa suara

sejauh perjalanan mata dan hati
aku pun pergi
tak sempat menoleh kebelakang
hanya menitipkan pesan tak harap balasan

semoga harimu bermuara pada kesederhanaan
sesederhana tuhan menaruh cinta baru tiap pagi
sesederhana embun pada dedadunan
sesederhana matahari..
indah dan jatuh begitu eloknya
sesederhana..
sesederhana..

kamu apa adanya.
Dustin Tebbutt - The Breach #Nowplaying #Tracklist
Elle Sang Jan 2016
Hai...
Kau mungkin tak akan tahu siapa aku
Dan sejujurnya aku tak akan mengenalmu
Namun kau dan aku memiliki suatu kesamaan
Ia yang kau perjuangkan, yang kau sayangi hingga hatimu sakit
Dulu pernah menjalani hari demi hari bersamaku
Ia juga pernah ku perjuangkan hingga raga ini tak mampu lagi
Ia yang selalu ku sayangi hingga hati ini tak merasa sakitnya

Aku hanya ingin menitipkan sebuah pesan untukmu
Sebuah pesan kecil yang bisa saja kau abaikan jika kau mau
Jangan pernah merasa lelah untuk memperjuangkannya
Jangan berhenti menyayanginya walau mungkin ia menyakitimu secara tak sadar
Karena jika aku masih mampu dan ia masih membuka hatinya
Aku pun tak akan berhenti melakukan kedua hal tersebut
Apa yang bisa ku lakukan sekarang adalah menyisipkan namanya disela doa-doaku agar ia bahagia dengan hidupnya
Dan agar kau tetap terus menjaganya sebagaimana aku akan menjaganya
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Aridea P Oct 2011
Palembang, Rabu 26 Juli 2011

Aku sayang dia
Aku jaga dia sejak pertama ku milikinya
Ku genggam erat dia seakan tak ingin berpisah
Ku selalu awasi dia tak ingin kehilangannya

Dia selalu ada di setiap ku butuh
Kawan terbaik mencurahkan inspirasiku
Tak terbayang jika dia pergi tinggalkan ku
Atau hanya hilang tanpa jejak atau pesan sekalipun

Yang pertama, tak bisa terganti
Sekali sayang, dan akan terus selamanya
Perasaanku tak tercurah tanpanya
Berhari-hari aku bersamanya dengan setia

Namun di hari itu aku kecewa
Yang aku sayang yang terus aku jaga
Dia mati di kala waktunya belum tiba
Aku kecewa ketika mereka membunuhnya

Aku marah, aku kesal
Aku minta mereka mengembalikannya
Tapi yang ku dapat hanya heningan
Tanda mereka tak mau berbuat apa-apa

Aku sudah tahu jawaban mereka
Meskipun belum terucap, hanya bahasa gerak
Mereka tidak mengerti rasanya kehilangan
Mereka tidak peduli dengan perasan orang

Ku hanya ingin pertanggungjawaban
Dan kembalikan dia kembali ke genggamanku
Tolong sekali saja Kalian mngerti perasaan seseorang
Dia adalah pena ungu yang paling ku sayang

"Pena Ungu ku tinggal kenangan"
Loveeyta Sep 2020
Kerap kali kita bertanya,
Tuhan, apakah angka adalah pengukur semua?
Waktu, umur, nominal saldo, nilai,
Jarak, kecepatan, durasi, *****,
Apakah angka pengukur semua?

Bagaimana dengan kenikmatan, kebahagiaan?
Apakah angka mampu,
Mengukur segala nikmat dan bahagia,
Yang kita jumpai setiap harinya

Lalu, bagaimana dengan ketepatan?
Apakah waktu yang tepat untukku,
Tentu tepat untuk orang lain?
Kembali aku menoleh ke cermin

Kadang aku berlari,
Namun orang lain terhenti,
Resah aku dibuat,
Lalu aku ikut berhenti

Orang lain mulai berlari,
Aku masih nyaman di sini,
Resah aku dibuat,
Aku pun masih berhenti

Bagaimana cara kerja nasib, Tuhan?
Apakah hidup ini memang sebuah perlombaan?
Mengapa aku selalu dituntut stigma,
Bahwa yang paling cepat adalah yang paling bahagia
el Aug 2014
kursi di bawah pohon kenari
masih dengan setia duduk disana
tidak peduli siapa yang mendudukinya
atau siapa yang lewat di depannya
ia tetap setia menunggu kedatangannya
burung-burung dengan bebas menyuarakan
nada-nada indah berisi pesan
untuk diberikan kepadamu,
tuan tanpa nama
jangan berpura-pura tidak peduli kepada dunia
di lubuk hatimu yang terdalam, sial,
aku sangat yakin kau kesepian
kau membutuhkan seorang teman yang rela
mendengar ocehan mautmu sampai matahari
tenggelam di ufuk barat nantinya
kemarilah, tuan tanpa nama
duduk bersamaku di bawah pohon kenari
dan menikmati indahnya matahari senja
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
el Aug 2014
tidak semua pesan dapat kusampaikan langsung
termasuk secarik puisi ini
yang berisi sejuta rasa rindu akan hadirmu disamping
walau itu adalah sebuah ilusi
aku menerbangkan surat ini dengan angin
berharap nanti kau menerimanya
dan sadar akan hadirku disini dan rindu yang tidak dapat dibendung lagi
adibah Jan 2019
Berhenti,
Jangan mengejar terlalu jauh
Kalau sudah lelah
Berhenti saja, ya?
Untuk kamu, yang mungkin sedang mengemban dilema.
NURUL AMALIA Aug 2017
sudah kuceritakan pada senja
tentang hari yang kulewati
bersama mentari bahkan hujan
dan aku merangkai kisahku

tapi kadang aku bercerita pada malam
malah, bulan dan bintang juga ikut bercengkrama
iya, jika hari tak hujan
mereka berani menemuiku

aku mencoba mengerti bahasa mereka
sama hal nya yang mereka lakukan
tapi kuakui mereka pendengar yang baik

aku masih berdiri didekat jendela
memahami gestur dan menunggu jawaban mereka
atas pertanyaan yang kuajukan  tentang seseorang
dan menitip pesan rahasia untuknya
fatin Oct 2017
hembus aku nafas kelelahan
membaca bait cinta yg ditulis para muda
masing-masing melempar rasa
namun siapalah aku
mengatakan tidak pada rasa indah itu?

resah kamu mungkin tenang untuk aku
tatkala dunia goncang berebut harta
aku disini masih keliru tentang rasa
kemudiannya, aku melihat lirik mata anak muda yang sedang bebas teroka dunia
indah dan segar matanya
bersinar umpama harapan cerah sentiasa menanti mereka

sempat aku pesan anak muda,
teruslah berjuang demi rasamu
sematkan cinta kepada setiapnya
agar mudah kita kemudian hari kelak

kerana aku pasti
cinta yang tumbuh itu akan bersemi
dan terus ramai...

hingga satu hari, kan seluruh dunia tersenyum.
maka, teruslah.
teruslah...menulis..


944pm
oct 2nd 17
Sipaa Adriani Jun 2019
Kemana kau tuan,hilang tanpa pesan
Meninggalkan hamba dengan sejuta kerinduan
Boleh hamba mengatakan? Bahwasanya kehilangan tuan,tidak pernah hamba inginkan
Bahkan,sejak kepergian tuan
Hamba masih berdiri disini,mempertahankan,berharap tuan akan merubah arah pijakan
Dan kembali ke sisi di pangkuan

Semenjak tuan pergi,
Desau angin mulai menyepi,
Kicau burung tak terdengar lagi
Berganti dengan sesak nafas hamba,dan suara tangis yang kian menusuk telinga
Hamba masih belum bisa menerima kenyataan,
Bahkan,merelakan tuan pergi saja masih terasa menyakitkan
deadboycreek Sep 2018
dicen que no es bueno guardarse las cosas
porque las cosas son veneno
y si mi craneo se abriera como la tierra
como un cascarón donde en algún tiempo
vivió una serpiente gruesa y obscura
que arrastra su cuerpo pesado sobre
el piso de madera

dicen que las cosas no deben guardarse
atras de los ojos como un sótano
obsuro y húmedo donde solo ocurren
cosas obscuras y húmedas
cosas que palpitan
los recuerdos palpitan
y pesan mas que cualquier caja
cubierta de polvo

dicen que es bueno decir las cosas como son
pero me tiemblan las manos
cuando quiero hablar y quisiera correr hasta
encontrarme con el mar y ser nada
o morirme en los brazos de alguien
morirme en los brazos tuyos
lo que sea que me haga sentir
menos sola y pequeña, menos estúpida
un poco menos yo

dicen que no es bueno guardarse las cosas
y no se porque me las guardo
si me pesan tanto y no me dejan en paz
ni poder dejar de pensar, respirar
dicen que no es bueno guardarse nada
y también que es obscena la resignada
indeterminada, cansada, agotada
mirada fija que no logro adherir
a alguna parte

siento cosas que no me explico
que no logro alcanzar ni aunque extienda los brazos
intentando rodear el mundo con mi cabeza
como una tela, se resiste, se rompe y -
me dejo caer sobre tí
septiembre 4 2018
(septiembre 30 1:25 a.m. 2018)
¡Vamos hacia el infierno!

El grito suena bien  en el vientre de la cueva,
el salmo bajo el mediodía de los templos
y la canción en el crepúsculo...
El grito es el primero.

Hay un turno de voces:
yo grito,
tú rezas,
él canta...
El grito es el primero.

Y hay un turno de bridas:
él las lleva,
tú las llevas,
yo las llevo.
Y a la hora de las sombras subterráneas
la blasfemia reclama sus derechos.

Los caballos piafan ya enganchados y la carroza aguarda...
¿Quién la lleva? Yo: el blasfemo.
Yo la llevo, yo llevo hoy la carroza,
yo la llevo.

Este es el poeta,
tú eres el salmista,
ése es el que llora,  
tú eres el que grita...
yo soy el blasfemo.
Yo la llevo. Yo llevo hoy la carroza,
yo la llevo.

¡Arriba! ¡Subid todos!
¡Vamos hacia el infierno!
La aijada tiene su ritmo,
y la tralla,
y el frito,
y el aullido...
y la blasfemia del cochero.
¡Arre! ¡Arre!

¡Músicos,
poetas y salmistas;
obispos y guerreros!...
Voy a cantar.

Vida mía, vida mía,
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!
Vida mía, vida mía,
tengo un ojo pitañoso
y el otro con ictericia.
Vida mía, vida mía,
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!

Esta es mi copla, la copla de mi carne,
la copla de mi cuerpo.
Mas si mis ojos están sucios
los vuestros están ciegos.

¡Músicos,
poetas y salmistas;
obispos y guerreros!...
Voy a cantar otra vez.
El viejo rey de Castilla
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!
El viejo rey de Castilla
tiene una pierna leprosa
y la otra sifilítica.
El viejo rey de Castilla
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!

Esta es la copla de mi tierra,
la copla de mi reino.
Mas si mi reino está podrido
su espíritu es eterno.

¡Músicos,
poetas y salmistas;
obispos y guerreros!...
Llevadme de nuevo el compás.

En los cuernos de la mitra
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!
En los cuernos de la mitra
hay una plegaria verde
y otra plegaria amarilla.
En los cuernos de la mitra
¡Ay! ¡Ay! ¡Ay!

Esta es la copla de mi alma,
de mi alma sin templo
porque la bestia negra apocalíptica,
lo ha llenado de estiércol.

Tres veces cantó el gallo,
tres veces negó Pedro,
tres veces canto yo:
por mi carne,
por mi patria
y por mi templo...
Por todo lo que tuve
y ya no tengo...

Vamos bien,
no hemos errado el sendero.
Conjugad otra vez:
este es el poeta,
tú eres el salmista,
ese es el que llora,
tú eres el que grita.
Yo soy el blasfemo...
¿Y el sabio? ¿Donde está el sabio? ¡Eh, tú!

Tú que sabes lo que pesan las piedras y lo que corre el viento...
¿Cuál es la velocidad de las tinieblas y la dureza del silencio?
¿No contestas?... Pues las bridas son mías.
Yo la llevo, yo llevo hoy la carroza,
yo la llevo.

Músicos, sabios,
poetas y salmistas,
obispos y guerreros...
Dejadme todavía preguntar:
¿Quién ha roto la luna del espejo?
¿Quién ha sido?
¿La piedra de la huelga,
la pistola del gangster,
o el tapón del champaña que disparó el banquero?
¿Quién ha sido?
¿El canto rodado del poeta,
el reculón del sabio,
o el empujón del necio?
¿Quién ha sido,
la vara del juez,
el báculo
o el cetro?
¿Quién ha sido?
¿Nadie sabe quién ha sido?
Pues las bridas son mías. ¡Adelante!
¡Arre! ¡Arre!... ¡Vamos hacia el infierno!

Y para hacer más corta la jornada
ahora cantaremos en coro, y cantaremos las coplas del Gran Conserje Pedro.
Yo llevaré la voz cantante y vosotros el estribillo
con lúgubre ritmo de allegreto.Vino la guerra.
Y para hacer obuses y torpedos
los soldados iban recogiendo
todos los hierros viejos de la ciudad.
Y Pedro, el Gran Conserje Pedro,
le dijo a un soldado: Tomad esto...
Y le dio las llaves del templo.Pedro, Pedro...
El Gran Conserje Pedro
que ha vendido las llaves del templo.Pedro...
Te dijo el Señor de los Olivos
cuando heriste con tu espada al siervo:
Mete esa espada en la vaina,
que yo sé a lo que vengo.
Y la metiste... con las cajas de caudales en el templo.Pedro, Pedro,
el Gran Conserje Pedro,
amigo de soldados y banqueros.Y ahora tenemos que ir al cielo
dando un gran rodeo
por el camino del infierno,
cavando un largo túnel en el suelo
y preguntando a las raíces y a los topos,
por qué ya no hay campanas ni espadañas, Pedro,
y los pájaros... todos tus pájaros se han muerto.¡Pedro, Pedro,
todos tus pájaros se han muerto!

Sin embargo, señores, yo no soy un escéptico
y hay unas cuantas cosas en que creo.
Por ejemplo, creo en el Sol, en el Diluvio y en el estiércol;
en la blasfemia, en las lágrimas y en el infierno;
en la guadaña y en el Viento;
en el lagar, en la piedra redonda del amolador
y en la piedra redonda del viejo molinero;
y en el hacha que derriba los árboles
y descuartiza los salmos y los versos;
en la locura y en el sueño...
y en el gas de la fiebre también creo,
en ese gas ingrávido, expansivo y etéreo,
antifilosófico, antidogmático y antidialéctico
que revienta los globos... los grandes globos, los globitos
y el cerebro.

Y creo
que hay luz en el rito,
luz en el culto
y luz en el misterio.

Creo
que el agua se hace vino,
y sangre el vino,
sangre de Dios y sangre de mi cuerpo.

Creo
que el trigo se hace harina
y carne la harina...
carne de Dios y carne de mi cuerpo.

Creo
que un hombre honrado
cuando nos da su pan
tiene el cuerpo de Cristo entre los dedos.

Y creo
que en el cáliz y en la hostia
hoy no hay más que babas del Gran Conserje Pedro.
Este es mi credo,
y pronto será el vuestro.
Ya lo iréis aprendiendo.

Con él entraremos
por la puerta norte y saldremos
por el postigo del infierno.
El infierno no es un fin, es un medio...
(Nos salvaremos por el fuego).
Y no es un fuego eterno.
Pero es, como las lágrimas, un elevado precio
que hay que pagarle a Dios, sin bulas ni descuentos,
para entrar en el reino de la luz,
en el reino de los hombres, en el reino de los héroes,
en el reino
que vosotros habéis llamado siempre el reino beatífico del cielo.
¡Vamos allá!

¿Estamos todos? Hagamos el último recuento:
Este es el salmista, el que deshizo el salmo
cuando dijo con ira y sin consejo:
"Tú eres el Dios que venga mis agravios
y sujeta debajo de mí, pueblos".
Y este es el poeta luciferino,
el que inventó el poema
esterilizado y antiséptico
y guardó en autoclaves la canción,
puritano, orgulloso y fariseo.
¡Oh, puristas y estetas!
Aún no está limpio vuestro verso
y su última escoria ha de dejarla
en los crisoles del infierno.
Aquí van los artistas sodomitas,
los pintores bizcos y los poetas inversos.
(No lloréis. Pero no digáis tampoco
que la Luz y el Amor se ven mejor torciendo
la mirada
y el ****.
Ni llanto ni ufanía. Vamos al gran taller,
a la gran fragua donde se enderezan los entuertos).
Aquél es el que grita, el hombre de la furia,
y aquél otro el que llora, el hombre del lamento.
Allá va el rey leproso y sifilítico,
este es el bobo intrépido
y este es el sabio tímido,
cargado de tarjetas y de miedo:
ni para decir e pur si mouve
le ha quedado resuello.

Aquí van el juez y el gangster
los dos juntos en el mismo verso.
Este es el Presidente demócrata y guerrero
que desnudó la espada en el verano
y debió desnudarla en el invierno.
(¡Ay del que se armó tan sólo
para defender su granero,
y no se armó para defender
el pan de todos primero!
¡Ay, del que dice todavía:
nos proponemos conservar lo nuestro!)
Allí va el demagogo,
aquél es el banquero,
estos son los cristianos
(Que ahora se llaman los "cristeros")
Y este es el hombre de la mitra,
la bestia de dos cuernos,
el que vendió las llaves...
el Gran Conserje Pedro.¡Aquí van todos!
Y aquí voy yo con ellos.
Aquí voy yo también, yo, el hombre de la tralla,
el de los ojos sucios... el blasfemo.


ahora ya sin hogar y sin reino,
sin canción y sin salmo,
sin llaves y sin templo...
yo la llevo, yo llevo hoy la carroza,
yo la llevo.

Se va del salmo al llanto,
del llanto al grito,
del grito al veneno...
¡Arre! ¡Arre!
¡Y se gana la luz desde el infierno!
Yo que sólo canté de la exquisita
partitura del íntimo decoro,
alzo hoy la voz a la mitad del foro
a la manera del tenor que imita
la gutural modulación del bajo
para cortar a la epopeya un gajo.
Navegaré por las olas civiles
con remos que no pesan, porque van
como los brazos del correo chuan
que remaba la Mancha con fusiles.
Diré con una épica sordina:
la Patria es impecable y diamantina.
Suave Patria: permite que te envuelva
en la más honda música de selva
con que me modelaste por entero
al golpe cadencioso de las hachas,
entre risas y gritos de muchachas
y pájaros de oficio carpintero.Patria: tu superficie es el maíz,
tus minas el palacio del Rey de Oros,
y tu cielo, las garzas en desliz
y el relámpago verde de los loros.
El Niño Dios te escrituró un establo
y los veneros del petróleo el diablo.
Sobre tu Capital, cada hora vuela
ojerosa y pintada, en carretela;
y en tu provincia, del reloj en vela
que rondan los palomos colipavos,
las campanadas caen como centavos.
Patria: tu mutilado territorio
se viste de percal y de abalorio.
Suave Patria: tu casa todavía
es tan grande, que el tren va por la vía
como aguinaldo de juguetería.
Y en el barullo de las estaciones,
con tu mirada de mestiza, pones
la inmensidad sobre los corazones.
¿Quién, en la noche que asusta a la rana,
no miró, antes de saber del vicio,
del brazo de su novia, la galana
pólvora de los juegos de artificio?
Suave Patria: en tu tórrido festín
luces policromías de delfín,
y con tu pelo rubio se desposa
el alma, equilibrista chuparrosa,
y a tus dos trenzas de tabaco sabe
ofrendar aguamiel toda mi briosa
raza de bailadores de jarabe.
Tu barro suena a plata, y en tu puño
su sonora miseria es alcancía;
y por las madrugadas del terruño,
en calles como espejos se vacía
el santo olor de la panadería.
Cuando nacemos, nos regalas notas,
después, un paraíso de compotas,
y luego te regalas toda entera
suave Patria, alacena y pajarera.
Al triste y al feliz dices que sí,
que en tu lengua de amor prueben de ti
la picadura del ajonjolí.
¡Y tu cielo nupcial, que cuando truena
de deleites frenéticos nos llena!
Trueno de nuestras nubes, que nos baña
de locura, enloquece a la montaña,
requiebra a la mujer, sana al lunático,
incorpora a los muertos, pide el Viático,
y al fin derrumba las madererías
de Dios, sobre las tierras labrantías.
Trueno del temporal: oigo en tus quejas
crujir los esqueletos en parejas,
oigo lo que se fue, lo que aún no toco
y la hora actual con su vientre de coco.
Y oigo en el brinco de tu ida y venida,
oh trueno, la ruleta de mi vida.                (Cuauhtémoc)Joven abuelo: escúchame loarte,
único héroe a la altura del arte.
Anacrónicamente, absurdamente,
a tu nopal inclínase el rosal;
al idioma del blanco, tú lo imantas
y es surtidor de católica fuente
que de responsos llena el victorial
zócalo de cenizas de tus plantas.
No como a César el rubor patricio
te cubre el rostro en medio del suplicio;
tu cabeza desnuda se nos queda,
hemisféricamente de moneda.
Moneda espiritual en que se fragua
todo lo que sufriste: la piragua
prisionera , al azoro de tus crías,
el sollozar de tus mitologías,
la Malinche, los ídolos a nado,
y por encima, haberte desatado
del pecho curvo de la emperatriz
como del pecho de una codorniz.Suave Patria: tú vales por el río
de las virtudes de tu mujerío.
Tus hijas atraviesan como hadas,
o destilando un invisible alcohol,
vestidas con las redes de tu sol,
cruzan como botellas alambradas.
Suave Patria: te amo no cual mito,
sino por tu verdad de pan bendito;
como a niña que asoma por la reja
con la blusa corrida hasta la oreja
y la falda bajada hasta el huesito.
Inaccesible al deshonor, floreces;
creeré en ti, mientras una mejicana
en su tápalo lleve los dobleces
de la tienda, a las seis de la mañana,
y al estrenar su lujo, quede lleno
el país, del aroma del estreno.
Como la sota moza, Patria mía,
en piso de metal, vives al día,
de milagros, como la lotería.
Tu imagen, el Palacio Nacional,
con tu misma grandeza y con tu igual
estatura de niño y de dedal.
Te dará, frente al hambre y al obús,
un higo San Felipe de Jesús.
Suave Patria, vendedora de chía:
quiero raptarte en la cuaresma opaca,
sobre un garañón, y con matraca,
y entre los tiros de la policía.
Tus entrañas no niegan un asilo
para el ave que el párvulo sepulta
en una caja de carretes de hilo,
y nuestra juventud, llorando, oculta
dentro de ti el cadáver hecho poma
de aves que hablan nuestro mismo idioma.
Si me ahogo en tus julios, a mí baja
desde el vergel de tu peinado denso
frescura de rebozo y de tinaja,
y si tirito, dejas que me arrope
en tu respiración azul de incienso
y en tus carnosos labios de rompope.
Por tu balcón de palmas bendecidas
el Domingo de Ramos, yo desfilo
lleno de sombra, porque tú trepidas.
Quieren morir tu ánima y tu estilo,
cual muriéndose van las cantadoras
que en las ferias, con el bravío pecho
empitonando la camisa, han hecho
la lujuria y el ritmo de las horas.
Patria, te doy de tu dicha la clave:
sé siempre igual, fiel a tu espejo diario;
cincuenta veces es igual el AVE
taladrada en el hilo del rosario,
y es más feliz que tú, Patria suave.
Sé igual y fiel; pupilas de abandono;
sedienta voz, la trigarante faja
en tus pechugas al vapor; y un trono
a la intemperie, cual una sonaja:
la carretera alegórica de paja.
Con letras ya borradas por los años,
En un papel que el tiempo ha carcomido,
Símbolo de pasados desengaños,
Guardo una carta que selló el olvido.

La escribió una mujer joven y bella.
¿Descubriré su nombre? ¡no!, ¡no quiero!
Pues siempre he sido, por mi buena estrella,
Para todas las damas, caballero.

¿Qué ser alguna vez no esperó en vano
Algo que si se frustra, mortifica?
Misterios que al papel lleva la mano,
El tiempo los descubre y los publica.

Aquellos que juzgáronme felice,
En amores, que halagan mi amor propio,
Aprendan de memoria lo que dice
La triste historia que a la letra copio:

«Dicen que las mujeres sólo lloran
Cuando quieren fingir hondos pesares;
Los que tan falsa máxima atesoran,
Muy torpes deben ser, o muy vulgares.

»Si cayera mi llanto hasta las hojas
Donde temblando está la mano mía,
Para poder decirte mis congojas
Con lágrimas mi carta escribiría.

»Mas si el llanto es tan claro que no pinta,
Y hay que usar de otra tinta más obscura,
La negra escogeré, porque es la tinta
Donde más se refleja mi amargura.

»Aunque no soy para sonar esquiva,
Sé que para soñar nací despierta.
Me he sentido morir y aún estoy viva;
Tengo ansias de vivir y ya estoy muerta.

»Me acosan de dolor fieros vestigios,
¡Qué amargas son las lágrimas primeras!
Pesan sobre mi vida veinte siglos,
Y apenas cumplo veinte primaveras.

»En esta horrible lucha en que batallo,
Aun cuando débil, tu consuelo imploro,
Quiero decir que lloro y me lo callo,
Y más risueña estoy cuanto más lloro.

»¿Por qué te conocí? Cuando temblando
De pasión, sólo entonces no mentida,
Me llegaste a decir: te estoy amando
Con un amor que es vida de mi vida.

»¿Qué te respondí yo? Bajé la frente,
Triste y convulsa te estreché la mano,
Porque un amor que nace tan vehemente
Es natural que muera muy temprano.

»Tus versos para mí conmovedores,
Los juzgué flores puras y divinas,
Olvidando, insensata, que las flores
Todo lo pierden menos las espinas.

»Yo, que como mujer, soy vanidosa,
Me vi feliz creyéndome adorada,
Sin ver que la ilusión es una rosa,
Que vive solamente una alborada.

»¡Cuántos de los crepúsculos que admiras
Pasamos entre dulces vaguedades;
Las verdades juzgándolas mentiras
Las mentiras creyéndolas verdades!

»Me hablabas de tu amor, y absorta y loca,
Me imaginaba estar dentro de un cielo,
Y al contemplar mis ojos y mi boca,
Tu misma sombra me causaba celo.

»Al verme embelesada, al escucharte,
Clamaste, aprovechando mi embeleso:
Déjame arrodillar para adorarte;
Y al verte de rodillas te di un beso.

»Te besé con arrojo, no se asombre
Un alma escrupulosa y timorata;
La insensatez no es culpa. Besé a un hombre
Porque toda pasión es insensata.

»Debo aquí confesar que un beso ardiente,
Aunque robe la dicha y el sosiego,
Es el placer más grande que se siente
Cuando se tiene un corazón de fuego.

»Cuando toqué tus labios fue preciso
Soñar que aquél placer se hiciera eterno.
Mujeres: es el beso un paraíso
Por donde entramos muchas al infierno.

»Después de aquella vez, en otras muchas,
Apasionado tú, yo enternecida,
Quedaste vencedor en esas luchas
Tan dulces en la aurora de la vida.

»¡Cuántas promesas, cuántos devaneos!
el grande amor con el desdén se paga:
Toda llama que avivan los deseos
pronto encuentra la nieve que la apaga.

»Te quisiera culpar y no me atrevo,
Es, después de gozar, justo el hastío;
Yo que soy un cadáver que me muevo,
Del amor de mi madre desconfío.

»Me engañaste y no te hago ni un reproche,
Era tu voluntad y fue mi anhelo;
Reza, dice mi madre, en cada noche;
Y tengo miedo de invocar al cielo.

»Pronto voy a morir; esa es mi suerte;
¿Quién se opone a las leyes del destino?
Aunque es camino oscuro el de la muerte,
¿Quién no llega a cruzar ese camino?

»En él te encontraré; todo derrumba
El tiempo, y tú caerás bajo su peso;
Tengo que devolverte en ultratumba
Todo el mal que me diste con un beso.

»Mostrar a Dios podremos nuestra historia
En aquella región quizá sombría.
¿Mañana he de vivir en tu memoria...?
Adiós... adiós... hasta el terrible día».

Leí estas líneas y en eterna ausencia
Esa cita fatal vivo esperando...
Y sintiendo la noche en mi conciencia,
Guardé la carta y me quedé llorando.
Rizka hafizoh Sep 2018
Biarkan aku bercerita,
tentang anggun nya malam kala kita bersama.
Dua insan yang terlihat saling suka.
Tertawa lepas tentang angan yang berkelana.
Menyanyikan lagu kesukaan yang ternyata sama.
Berbaring dan saling tatap.

Biarkan aku bercerita,
Tentang isak tangis sang wanita kala rindu menyergap.
Penantian panjang pesan yang tak dibalas.
Lagu yang tak lagi terdengar menyenangkan.
Berbaring dengan harapan sang pujangga kembali datang.
Juan y Margot, dos ángeles hermanos
Que embellecen mi hogar con sus cariños
Se entretienen con juegos tan humanos
Que parecen personas desde niños.

Mientras Juan, de tres años, es soldado
Y monta en una caña endeble y hueca,
Besa Margot con labios de granado
Los labios de cartón de su muñeca.

Lucen los dos sus inocentes galas,
Y alegres sueñan en tan dulces lazos;
Él, que cruza sereno entre las balas;
Ella, que arrulla un niño entre sus brazos.

Puesto al hombro el fusil de hoja de lata,
El kepis de papel sobre la frente,
Alienta el niño en su inocencia grata
El orgullo viril de ser valiente.

Quizá piensa, en sus juegos infantiles,
Que en este mundo que su afán recrea,
Son como el suyo todos los fusiles
Con que la torpe humanidad pelea.

Que pesan poco, que sin odios lucen,
Que es igual el más débil el más fuerte,
Y que, si se disparan, no producen
Humo, fragor, consternación y muerte.

¡Oh, misteriosa condición humana!
Siempre lo opuesto buscas en la tierra;
Ya delira Margot por ser anciana,
Y Juan, que vive en paz, ama la guerra.

Mirándoles jugar me aflijo y callo:
¿Cuál será sobre el mundo su fortuna?
Sueña el niño con armas y caballo,
La niña con velar junto a la cuna.

El uno corre de entusiasmo ciego,
La niña arrulla a su muñeca inerme,
Y mientas grita el uno: Fuego! fuego,
La otra murmura triste: Duerme, duerme.

A mi lado ante juegos tan extraños
Concha, la primogénita, me mira:
¡Es toda una persona de ses años
Que charla, que comenta y que suspira!

¿Por qué inclina su lánguida cabeza
Mientras deshoja inquieta algunas flores?
¿Será la que ha heredado mi tristeza?
¿Será la que comprende mis dolores?

Cuando me rindo del dolor al peso,
Cuando la negra duda me avasalla,
Se me cuelga del cuello, me da un beso,
Se le saltan las lágrimas y calla.

Sueltas sus trenzas claras y sedosas,
Y oprimiendo mi mano entre sus manos,
Parece que medita en muchas cosas
Al mirar cómo juegan sus hermanos.

Margot, que canta en madre transformada,
Y arrulla a un hijo que jamás se queja,
Ni tiene que llorar desengañada,
Ni el hijo crece, ni se vuelve vieja.

Y este guerrero audaz de tres abriles
Que ya se finge apuesto caballero,
No logra en sus campañas infantiles
Manchar con sangre y lágrimas su acero.

¡Inocencia! ¡Niñez! ¡Dichosos nombres!
Amo tus goces, busco tus cariños;
Cómo han de ser los sueños de los hombres,
Más dulces que los sueños de los niños!

¡Oh, mis hijos! No quiera la fortuna
Turbar jamás vuestra inocente calma,
No dejéis esa espada ni esa cuna:
¡Cuando son de verdad, matan el alma!
Nos han abandonado en medio del camino.
Entre la luz íbamos ciegos.
Somos aves de paso, nubes altas de estío,
vagabundos eternos.
Mala gente que pasa cantando por los campos.
Aunque el camino es áspero y son duros los tiempos,
cantamos con el alma. Y no hay un hombre solo
que comprenda la viva razón del canto nuestro.

Vivimos y morimos muertes y vidas de otros.
Sobre nuestras espaldas pesan mucho los muertos.
Su hondo grito nos pide que muramos un poco,
como murieron todos ellos,
que vivamos deprisa, quemando locamente
la vida que ellos no vivieron.

Ríos furiosos, ríos turbios, ríos veloces.
(Pero nadie nos mide lo hondo, sino lo estrecho.)
Mordemos las orillas, derribamos los puentes.
Dicen que vamos ciegos.

Pero vivimos. Llevan nuestras aguas la esencia
de las muertes y vidas de vivos y de muertos.
Ya veis si es bien alegre saber a ciencia cierta
que hemos nacido para esto.
Sampaikan salamku untuk sayangmu yang ringkih.
Dari aku, dan semua kenyataan yang menurut mereka
adalah baik-baik saja.
Andaluces de Jaén,
aceituneros altivos,
decidme en el alma: ¿quién,
quién levantó los olivos?No los levantó la nada,
ni el dinero, ni el señor,
sino la tierra callada,
el trabajo y el sudor.Unidos al agua pura
y a los planetas unidos,
los tres dieron la hermosura
de los troncos retorcidos.Levántate, olivo cano,
dijeron al pie del viento.
Y el olivo alzó una mano
poderosa de cimiento.Andaluces de Jaén,
aceituneros altivos,
decidme en el alma: ¿quién
amamantó los olivos?Vuestra sangre, vuestra vida,
no la del explotador
que se enriqueció en la herida
generosa del sudor.No la del terrateniente
que os sepultó en la pobreza,
que os pisoteó la frente,
que os redujo la cabeza.Árboles que vuestro afán
consagró al centro del día
eran principio de un pan
que sólo el otro comía.¡Cuántos siglos de aceituna,
los pies y las manos presos,
sol a sol y luna a luna,
pesan sobre vuestros huesos!Andaluces de Jaén,
aceituneros altivos,
pregunta mi alma: ¿de quién,
de quién son estos olivos?Jaén, levántate brava
sobre tus piedras lunares,
no vayas a ser esclava
con todos tus olivares.Dentro de la claridad
del aceite y sus aromas,
indican tu libertad
la libertad de tus lomas.
Sito Fossy Biosa May 2022
aku mengantuk sekali hingga kutahu ada venus di atas kepalaku yang kaku.
Kaki dibanjiri hujan, pesan cukupkan bulan di bawah bantalku-maksimal.
×Tidak ada tuhan lagi kali ini.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
Ahora me pregunto si es que toda la vida
hemos estado aquí. Pongo, ahora mismo,
la mano ante los ojos -qué latido
de la sangre en los párpados- y el vello
inmenso se confunde, silencioso,
a la mirada. Pesan las pestañas.
No sé bien de qué hablo. ¿Quiénes son,
rostros vagos nadando como en un agua pálida,
éstos aquí sentados, con ojos vivientes?
La tarde nos empuja a ciertos bares
o entre cansados hombres en pijama.
Ven. Salgamos fuera. La noche. Queda espacio
arriba, más arriba, mucho más que las luces
que iluminan a ráfagas tus ojos agrandados.
Queda también silencio entre nosotros,
silencio
             
y este beso igual que un largo túnel.
Nis Jul 2018
"Libremente los besos desde los labios caen
en el mar indomable como perlas inútiles"
-de "Un río, un amor" por Luis Cernuda.

Libremente desde mis labios caigo
en el mar indómito cual ****** piedra.
Ahogo mi amor en penas
que pesan mi cuerpo y me hunden.
Mi amor se pierde en la inmensidad del océano.
Besos caídos, abrazos solitarios, caricias al viento.
Tanto amor tenía por darte, a ti, a todos
mas ahora se pierde
en el abismo
donde mi cuerpo perece.

//

"Freely from my lips the kisses fall
in the unteamable sea like useless pearls"
-from "One river, one love" by Luis Cernuda.

Freely from my lips I fall
into the untamed sea like ****** stones.
I drown my love in pitties
which weight my body and sink me.
My love is lost in the inmensity of the ocean.
Fallen kisses, lonely hugs, caresses to the wind.
So much love I had to give,to you, to everyone
but now it is lost
in the abyss
where my body perishes.
Based on the poem "Sombras blancas" (White shadows) from the book "Un río, un amor" (A river, a love) by Luis Cernuda. I got my hands of an Antology of him so expect more like this.
B'Artanto Aug 2022
Jika Tuhan tidak pernah sampai
Lalu aku ada dimana?
Ditumpukan sisa rautan pensil, katamu
Habis, kandas menyisakan kehitaman diujung-ujung tajamnya

Jika Tuhan tidak pernah mengirim pesan
Lalu aku bercerita dimana?
Pada kerumunan isi kota yang melenakan
Padat, riuh semua ingin berbicara

Tuhanku mendengar, Tuhanmu juga
Kemudian bagaimana dengan kebebasan?
Ia ada, tanpa diminta.

B_A
24 Agustus 2022
Hexaedros de madera y de vidrio
apenas más grandes que una caja de zapatos.
En ellos caben la noche y sus lámparas.

Monumentos a cada momento
hechos con los desechos de cada momento:
jaulas de infinito.

Canicas, botones, dedales, dados,
alfileres, timbres, cuentas de vidrio:
cuentos del tiempo.

Memoria teje y destejo los ecos:
en las cuatro esquinas de la caja
juegan al aleleví damas sin sombra.

El fuego enterrado en el espejo,
el agua dormida en el ágata:
solos de Jenny Lind y Jenny Colon.

"Hay que hacer un cuadro", dijo Degas,
"como se comete un crimen". Pero tú construiste
cajas donde las cosas se aligeran de sus nombres.

Slot machine de visiones,
vaso de encuentro de las reminiscencias,
hotel de grillos y de constelaciones.

Fragmentos mínimos, incoherentes:
al revés de la Historia, creadora de ruinas,
tú hiciste con tus ruinas creaciones.

Teatro de los espíritus:
los objetos juegan al aro
con las leyes de la identidad.

Grand Hotel Couronne: en una redoma
el tres de tréboles y, toda ojos,
Almendrita en los jardines de un reflejo.

Un peine es un harpa
pulsada por la mirada de una niña
muda de nacimiento.

El reflector del ojo mental
disipa et espectáculo:
dios solitario sobre un mundo extinto.

Las apariciones son patentes.
Sus cuerpos pesan menos que la luz.
Duran lo que dura esta frase.

Joseph Cornell: en et interior de tus cajas
mis palabras se volvieron visibles un instante.
El arado, el rastrillo y la luciente
Reja, y el aguijón que al buey hostiga,
Y la hoz que segó copiosa espiga
Y cortó yerba en campo floreciente,

Ya le pesan, y el sol, en el poniente,
Los consagra a Cibeles, Diosa amiga,
Porque vencido en terrenal fatiga,
El brazo, al fin, desfallecido siente.

Casi un siglo su arado, en paz el alma,
Cruzó la era con tajante filo.
Vivió sin goces y envejece en calma;

Y piensa que cansado de su siega,
Entre los muertos segará, tranquilo,
Campos de sombra que el Erebo riega.
M Suárez May 2018
Hace año y medio que pienso en lo mismo.
La mirada y los pasos los siento cansados, los hombros me pesan, y no sé si es la mochila o mi pasado. Estoy sobrepuesta, soy una pintura que colgaron para tapar un hoyo en la pared.
Hay días buenos, no tan buenos y los malos, pero aunque me sienta alegre siempre en el trasfondo hay un pequeño duende apagando el interruptor, que le gusta estar a oscuras, y que el silencio lo aturde. Por eso mantiene mi voz activa desde atrás de mi cabeza. Y le gusta oír el latido de mi corazón agitado.
Cómo quisiera estar de nuevo en el techo de Camilo, y mirar las luces de la ciudad en lugar de las estrellas. Vaciarme. Estoy como una casa abandonada, llena de cosas inservibles.
De sueños que no son míos, de cansancio por cargar penas ajenas, y mis ojos lo único que quieren es cerrarse.

— The End —