Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
FIR AAYI HOLI

Fir aayi Holi ek baar, fir le gayi mere  dil ka karaar;

Puchhna chahti hu, kyu rulateho tum mujhe yuhi, baar baar.

Itne rango ke beech bhi hei tan man feeka; aankhoki pichkaarise behte hei aansu zaar zaar

Saalo beet chuke firbhi nazar dekhti hei teri raah, lagaataar.

Radha ka pyaar hi hei kuch aisa, maanta nahi yeh kabhi haar

Jaise kanha ke beena Radha adhuri aise hi, piya- milan beena, Holi hei  adhuri.

Kanha tere beena rang feeke, Chand feeka; soona lage mohe sansaar.

Aa bhi ja Mohan, itna ne tadpa, raah niharu tori; kab aayega tu jamuna paar.

Armin Dutia Motashaw
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Bryce  Jan 2019
Valiant Halls
Bryce Jan 2019
Finally, that we may be all at once all at once, when the coil is unwound and exhausted and begins to cool
And the corneal fillaments glaze into placid glass marble lakes, reflecting the small spurn of the world they held

That our soul should be upwelled
To the lapping stones of Valhalla, to be arisen by great arms and carried to our tableplace
To jest eternally of the great disgrace...

And woe of our whales, lost long afar
And the men who hunted them incessant
Pleasently warmed and vibrating with the humming mumble of the upper yards,

Worn travellers return to tired halls.





And sing,

"Hei do Yey-- be come what may,
High winter hünde beheld at bay
And Yeh they feed in rare reprieve
On souls of such we will not say.

Hei do lum-- what will be done,
What valor hark thy martyrdom
Upon thine breaths and storied crests
Upon thy tomb, thy charter won

Hei do ill, ye sum thy will
To heed thy lands upon the hill
Down back from whence thy kingdom lent
The battle-horn, heard she so shrill"

And I confessed,

"HEI DO LAI, TO WHICH I CRY,
MY CITY SLEEPS BELOW THE SKIES
AND DOES NOT SEEK TO SEE MY FEET,
OR EVERMORE AFFIX MY EYES."
Renu Bindlish  Nov 2014
Jindagi
Renu Bindlish Nov 2014
TANHA-TANHA HEI JINDGI
TANHA-TANHA HUM HEIN
AAJ JRURAT THI JAB APNO KI
PRAYON NE TAALI BAJAI
AANKHO SE NIKLE ASHK
PAR HUM RO BHI NA PAYE
DUR EK KONE MEIN JAAKER
CHHUP KAR AANSOO BAHAY
PHIR DIL NE KHA
E NAADAN MAT BHA ASHAK
KYONKI AAJ HI TO AYEE HEI
KHUSHIYAN DAAMAN ME TERE
JYADA NHI KUCH PAL KI ****
PAR BNA LO AADAT AB INKI
CHODO UNKO JO AB NHI TUMHARE
YAAD RAKHO ES EK PAL KO
AUR GAO, MUSKURAO
KHUSH RAHO AUR
KHUSHIYAN BAANTOO.
fairlyfreaksome Jul 2015
spining spinnig spinning spinnging spinging spinining spinning spinning psinngin psinnging psinning spining psminnng psinng psing spinning itching tiching tiching itching itching ithcintign itching ithc nihting itching itching itching my chgest chest chet chest chets chest chesth ches thchc chest chest chestch sthech sethch schesth chesth seht esht eshthe sehches stghse tpanic panic panic panic itching panich painc itchingpainic pinaibng pinc ananc intching paning cnians pannigba sicthicn itcthing itching ithcing itching ithchi nhelp help help ehple help e helpe helpe helpe help help help ehlp ehlpe help ehple go waay away waway away away away aya away away away waya waya awaya waya away awaya no i don’t wnat o ts see ll you this coffee get the **** out of my ****** gface itching itchin gnaimial itching reage rage rage rrage gar eget the **** cis ssifi ficuking ishaf sisth ge tou to fmy fauck ceuang face te get out of my faucking *******  ******* **** ing ******* fuckng icing ******* fufking ******* tufkc thing face get the **** out of my face get the **** out of my face get the **** out of my face and leave me alone get the fucki out to foi my face and leave me alone spinning sinning range tulnnel vision tunnel spinning tiching cehst panic get out o fmy face i don’t want to sell you foccefe and you are n’t going to e to to to to to tip me anyway you ******* **** head yet the **** out of my afce and leave me the **** anlone i have n’t taken a break a break a brak breath in like like like twnety minutes breaht ebreathe breathe abreathe breathe breathe breathe breathe breathe don’t tell me to ******* breathe i know to ******* breathe rage rage rage rage tag r rage reag e aasdna breathe brathe breathe breathe breathe breathe breathe breathe breahte breathe breathe breabdth rbreathe breathe breathe rbaein out in out in out in out in out in out in out in out in out in rythm rhythm rhtrm why the **** is that work word do so why the **** is that word so hard to spenl wp swhy the fu ck wiuy why the **** is that word si focukning hard to spell foeaajsdg why the **** is thwa why the **** is tha twor what why the **** is that word so hard to sle why the **** is that word os why the **** is that word so hard to spell rhyhtm rhyr rhythem rhythm tryhtm in out in ou to int out in tih rhythm rhytm tr intching itching itching ittchahinsdg in out in out outu ihn out in iuth out it ou th hei is this poetry hooray i wrote something go me look at all those words on the page i put thise there **** yeah go me hooray i was creative with my panic attack good for me good for ******* me now i guess the next step is to just go insatne and get drink run right horay hooray hooray three cheers for me i wrote something and it’s gonne anga nd id it’s gonna get me a million ******* dollars because i channeled ma my rf **** ing rage and that’s what epeople whatn ranwt ranw ran ran want wri sfsa tir right i it’s jurat rage riage rajfjs rb braeat breathe breathe breathe breathe breahte btrahet breathe i can’t ty e i can’t te i can’t tpye n d i can’t type ab ica i can’t type and breahte a ti ci  i can’t type and breathe at the samet ime i can’t tyime i can’t y i can’t type and breathe at the same to i can’t tiy i can’t type and breathe at the same timy i can’t ta i can’t type and breathe at the same time but maybe when i fguyre maybe when i figure out how to t mabye maybe when i figure out how to do that i’l act maybe bw maybe when i figure out how to do wh wm maybe wheni figure out how to do that i’ll write something that doesn’t make me want to **** myself but for now i detes i but forno but for now i detest ever ev but for now i want to stab every sing le but for now i want to strange but for now i want t o but for now i want to strangle every wrod that comes out ofmy ******* ******* useless garbage handss
AALI DIWALI

Excitement already there is in the atmosphere, our very air!!!

Goodies, gifts, flowers, lights we wish to, with dear ones, now share.

As citizens good, let's also exhibit some environment friendly care.

Banish Chinese items, I will, because I care for my India n also dare !

Use let us earthen Diyas, decorated in hand; Beautiful ones, beyond compare !

Candles Beautiful can be made or bought n decorated in a bright way.

Colourful Rangoli let us make with organic compounds, indigenous n rare.

Designs, with colours innumerous, one can create if one has a flair.

Same way, why pay so much to buy  torn jeans, buy let's a decent traditional pair.

Traditional dresses so colourful are and look pretty n  (no wrong meaning) gay.

Pizza, pasta, pastries boycott; try laddu, chakri or Khaja jo mawa se hei bhare.

Instead of flowers, gift Bamboo or money plants or other saplings; what say ?

Gift let us, things made in India. From China, let's willingly sway away !

"Aali Diwali"  but create let us noise n smoke less. we must on this, an emphasis lay.

Innovative one can be, using imagination vivid to cute gifts make; n less amounts pay.

No WA, try and visit Grandparents, Mama, Kaka, Aatya, Maushi, is all I have to say !!!

HAPPY WALI DIWALI.

Armin Dutia Motashaw
Aakhir kyu

Beti puchhe babulse , " mei kyu parayi?"
Uski ye haalat dekh ke kayanath bhi sharmayi.
Na mei  pihar ki, na sasural ki.
Babul bata mohe, mei aakhir kahaki?

Vidai ke waqt; tune  kar di mohe parayi;
Kisine ne jaani mere dukh ki gehrayi.
Aaj tere jaane ke baad to, ne ghar ki , ne ghat ki.
Bas khed hei mujhe is baat ki .

Sasuralwale kahe," tera pihar;"
Yeh soonte hi  jau mei sihar.
Sochu manhi man mei; kaunsa pihar !
Jaha aaj apna koi nahi  hei; woh pihar  !

Niyati ka khel hei yah kaisa?
Pihar **, ya sasural; dekhe harkoi paisa.

Kis se kahu mei dil ki peed ?
Akeli hu; bhale ** chahu aur  bheed.
Paav mere tune baandh di janjeer.
Aakhir kyu, aisi meri  taqdeer ?

Armin Dutia Motashaw
AALI DIWALI

Excitement already there is in the atmosphere, our very air!!!

Goodies, gifts, flowers, lights we wish to, with dear ones, now share.

As citizens good, let's also exhibit some environment friendly care.

Banish Chinese items, I will, because I care for my India n also dare !

Use let us earthen Diyas, decorated in hand; Beautiful ones, beyond compare !

Candles Beautiful can be made or bought n decorated in a bright way.

Colourful Rangoli let us make with organic compounds, indigenous n rare.

Designs, with colours innumerous, one can create if one has a flair.

Same way, why pay so much to buy  torn jeans, buy let's a decent traditional pair.

Traditional dresses so colourful are and look pretty n  (no wrong meaning) gay.

Pizza, pasta, pastries boycott; try laddu, chakri or Khaja jo mawa se hei bhare.

Instead of flowers, gift Bamboo or money plants or other saplings; what say ?

Gift let us, things made in India. From China, let's willingly sway away !

"Aali Diwali"  but create let us noise n smoke less. we must on this, an emphasis lay.

Innovative one can be, using imagination vivid to cute gifts make; n less amounts pay.

No WA, try and visit Grandparents, Mama, Kaka, Aatya, Maushi, is all I have to say !!!

HAPPY WALI DIWALI.

Armin Dutia Motashaw
Hujan hari ini begitu deras
Dan selepasnya tak kulihat pelangi
Tak seperti dongeng-dongeng malam
Atau ayat-ayat motivasi penguat hati

Hujan hujan sebelumnya juga begitu
Ku lihat ikan-ikan kesakitan terkena derai siram hujan
Lelaki tua peminta kedinginan kebasahan
Listrik menyambar, tiang jatuh, seorang anak tertimpa

Buruk, buruk, buruk

"Hei ayo bermain!"
Lamunanku terjerat
Segerombolan bocah kecil menari dibawah derasnya hujan
Bernyanyi gembira nyengir tak terkira
Aku menjeling, aku mempelajari, aku mulai tersenyum
Agaknya aku yang lupa
Tak kupandang rumput kehausan bersorak menanti tibanya air minum mereka
Sisi pandangkulah salah

Aku menyalahkan pelangi
Tak kulihat bahwa petani begitu bahagia dan menanti
Ini semua bukan tentang pelangi warna warni itu
Pelangi yang sesungguhnya ada disekelilingmu

Jangan merana
Jangan sepertiku
Yang kulihat hanya aku dan segala kesepian ini
Pelajaran tentang mengeluh.
Pelangi sesungguhnya bukan tentang pelangi warna warni.
Hujan masa kini tak ada pelanginya.
Ketutupan polusi kali ya.
Vernarth says: “We will be able to find in this path of Light that is my life, what is the wood that stretches and upsets the material surfaces in the gifts of God, with the prevailing low water of the minimal plastering of rainfall, but if in the flow of astonishment that will leave us all in the breath of knowing how to be and understand, which is my hand directed by Vitruvius, and that his interval measures do not cease to outline everything that can or could generate cracks that cross the rules of Survival, where everyone who is a survivor of the Arbela Site, will be identified as an unfolded constituent of all solid material, providing the minimum percentage that will make up the majesty of a revived heart. Vitruvius remains with me ..., and his hands sustain greater fantasies that reside in the divine architecture that will be the origin of everything that existed and will exist. The long wattles will extend in the new layer that resides between the Kidron Valley to Gethsemane, and from Nazareth to Eilat, and that those who walk around will winnow footsteps that will later lead them to Bethany, and that Alexander the Great ... my General! Will be protected by the holy mantle of Mashiach, after we are both released from this mega Purgation. That the magnitude of the planks and the broad-headed nails will be hammered by the antlers of the Uilef, and that the utopias will make me see from above and it will be like being on the shoulders of Brisehal or the Colosso of Apsila so that wattles be always and permanently sprinkled by my prose of advent and passion of my Redeemer. I am prepared with the edge of my Xiphos ..., every day I cut a piece of my arm! As I heal again, I fissure the meats that closed, letting the softness of my skin be the skin that restores the nail that will slice the second rows of concession arteries, so that they are assimilated to the third that could reach the same way as those received by the Mashiach. The length of the miracle is imperishable and the nails with a small head will make the break where they will not be finally nailed, interweaving the preparation vines that will cover my arm and that of Alexander the Great, more distant from the third arteries that still bleed, so that they are prepared in the fourth row of the syntagma group in the arteries that will be those that hold posterity carrying everything with my sectioned dexterity, but always holding onto the Xiphos behind the brilliant mortar of Arena. Nothing exists, everything only existed for the first entelechy of Zerubbabel when rebuilding, and our Redeemer uttered that everything will be turned into pieces of stones with bones of long wattles that would extend to the layers of clay being his tomb, that yes passing through the mortar that will make all mankind redo the sawdust of the whole earth towards the devastated earth. In this way, the four rows of arteries will lie in the preparation rows with my right arm burning when I first touched the Empyrean taking me with it from 775 BC. C. until the time of the first century of the Era of Our Lord ”.

Cosmic thought crossed the four brains of its component of unfolded time, after being attracted by the foolishness of the thoughts that traveled without generational limits of Tikun, in such a way that the thoughts that were fixed on the orthogonal of infinity were detached from time imperceptible with the summation of the loss of the unknowable space of the abstruse of the Vav Hei Vav, creating the total dissociation of the past from the peristyle of time, leaving the future numbed in the antiquity of the Hellenic past, but reviving it in the passing of the transgression mean, between the antitragus of the head of the four assistants of the Vav Hei Vav, to transfer them through the shell of each one in their inner ears when sizing what will pass silently through their cognitions and in their Over Being, or Quantum Being that will take them along paths from the 700 years old to the first century in the constitution of Hera in Olympia, and rather towards the recalcitrant subjection of the stones that made it up to be subject to the nurse nomenclature of the understanding of the cosmic thought of Vernarth, who had slender few sponsored in all the naturalities that tried their mimicry, doing nothing else what has not been noticed far from it, from where the natural deformation of cosmic thought will bend as it is transcribed in all the textual evolution of the four united minds of Vernarth, Alexander the Great, Saint John the Apostle and King David. The luminescence would be attracted by all the rivers in the Vernarth Opera with the Bumodos, Eygues, Lethe, Euphrates and Nile, Acheron (the river of sorrow), Cocytus (laments), Phlegethon (fire), Lethe (oblivion), and Styx. The Bumodos would be the stigma of the pain of the Thymus of Vernarth that would be even more active and sensitive than his heart, and the Eygues that would be his faithful companion that would help him to promote the pains of lost loves with Wonthelimar, when the haze and storm left him alone in the sugary sand with labyrinths and the contact of the last frictions of his loved ones, leaving only messes in a Siddartha that would tend to be tempted by humanity, making us believe that nothing is more powerful than the propensity of evil to have in the constitution transgenerational family, to remain anchored in Ha-Shatán's slander, harassing immanent relics of the worship of man who settled on the banks of rivers in the expectation of quenching their thirst for wisdom or for the Vav Hei Vav, as a portal of entry of the trip around the world that unites us with our encore adventures, that are always united to the past of the upper ***** and that does not leave us any second of the present in his waves of contemplation as a Hoplite man in the fantasy of his dreams, managing to make the rivers of oblivion or Lette propitiate the future that will not make him forget what in the past was an underground part of the currents of a watery thought, what is The verb will be and should be the subjugation of those around him who harasses himself.

In this way, the words ran in the sorry speed of the harassment of the immobile Ha-Shatán but fiercely restrained by what surrounded the verb as in the meadows of Ein Kerem that was surrounded by the contours that made her not fatigue in the gaze of the heaven, when everything that was close was in fullness with the organic nature that contained it, and everything that was summarized from the rhythm of the Hexagonal Chapel of the Shepherds in its rhythm, like a swarm between winds that carried pollinations in the first words that they contained themselves from the latter to later reconnect themselves by means of the buckles carried by the offspring of the lambs and the primordial respiration of the Cosmos, which they said above all as a verb that sprouted in the seeds themselves that were escaping from their reproductive capacity. Vernarth already knew that he had little time left to be near his Hoplites and that the ocean of arrows that would fall on his destiny would be from bittersweet Theosophy that would fall on the back of the herd, like Manna that would emancipate itself in tons of languages that can define the Thought that may pre-exist. Perhaps thinking, but anchored in the turn that contains him, between words that would no longer be writing or any wisdom that reduces him, rather the gesture of the Peri Kosmous that would transmit something to us through those who do not speak or indicate ..., rather of the same abstraction of all the Pelicans that would advance by the vital energies that wear away the concepts that sway between the waves by the Aegean seas, and of the silence that of this same thing already begins to lose the horizon in the gaze of your observer. Nothing was friction that generated words that could be the sustenance of an Era that was spent for more than seven hundred years in the hands of the oppressors who would waste it in seven seconds, leaving everything in the hierarchy of a reality as the Plan of the Spare Universe. called Duoverso, which was precisely the simple river that joins both Universes lying between themselves as the appearance of the river Acheron or permanent misfortune, imagining ourselves in every bad good fit to balance our thoughts where the first will be offshoots of the Vernarth principle, until four o'clock. arteries that prosper to reach an occult knowledge, where every being that walks twice the same way is not the reality of the times in which every day the footsteps of the Mashiach are seen from Bethany to Ophel or from Ophel to Bethany, like an anthroposophic hill and foundations that will make the city of David seven hundred meters high, carrying this peristyle in the gallery of time, going through the majestic iteration of the journey of the imperceptible quantum being seven times in a row with the seven long paths of the rebound between Bethany and Ophel, on the very promontory of Saturn reviving them in the narrow promontories that make you see that thought is more than a sacred place to remember what is dear, which is precisely what is to be appreciated and observed when some steps escape and are not of the forged walk of the Mashiach from Kidron to the Tyropoeon; towards the escarpment that would put the relays of the new sheep that will also graze on Patmos, and that despite the turns of antiquity will be the strip between the ancient era and the Middle Ages, as precepts of the sacred mountains that will grow in the eschatological of the advent of Thuellai when Profitis Ilias was the source of synergy in the figure that will unite them among the evil that grows Vg The Golgotha and the sacrifice *** Bei Himnom, proceeding with Zion of the Earth and David, as a precept of the plains of forgiveness in the Moriah from where Abraham, already provided with his “Hey”, mediated and possessed the benevolence of the Maker to bring to life to his Son Isaac, to shelter him in the rubble in everything that was not of his patriarch's fruit, and then it could be reissued in the nobility of an epigram that would be the return to Ophel after having crossed the circumflex of the word used in this paragraph, to continue through the mountains that will be the emphasis of Patmos, constituting the square for its defense and blocking all the walls of history that will be carriers of all the threat of installed evil, making them the systemic forces reluctant and doomed on the southern ***** of the Temple Mount in Jerusalem between Tyropoeon to the west and the Kidron Valley to the east dominating the ill-gestated shadow of Ha-Shatan.
Enthasis
Watan ke liye dete hei hum jaan.
Watan ke liye lete bhi hei hum jaan
Watan hamaara hei humari Jaan
Watan hamaara, hei humara imaan.

Armin Dutia Motashaw
Aakhir kyu

Beti puchhe babulse , " mei kyu parayi?"
Uski ye haalat dekh ke kayanath bhi sharmayi.
Na mei  pihar ki, na sasural ki.
Babul bata mohe, mei aakhir kahaki?

Vidai ke waqt; tune  kar di mohe parayi;
Kisine ne jaani mere dukh ki gehrayi.
Aaj tere jaane ke baad to, ne ghar ki , ne ghat ki.
Bas khed hei mujhe is baat ki .

Sasuralwale kahe," tera pihar;"
Yeh soonte hi  jau mei sihar.
Sochu manhi man mei; kaunsa pihar !
Jaha aaj apna koi nahi  hei; woh pihar  !

Niyati ka khel hei yah kaisa?
Pihar **, ya sasural; dekhe harkoi paisa.

Kis se kahu mei dil ki peed ?
Akeli hu; bhale ** chahu aur  bheed.
Paav mere tune baandh di janjeer.
Aakhir kyu, aisi meri  taqdeer ?

Armin Dutia Motashaw

— The End —