Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
"dasar kamu anak biadab"
sekali,dua kali aku tersakiti
sekali,dua kali aku ingin mati
sekali,dua kali aku hanya ingin disayangi

siang ini aku mati
malam ini aku mati
bulan sebagai saksi
tetes,tetes aku pun senyap
kelam hidup ini

hampa,sunyi aku tidak ingin sepi
sekali dua kali,aku tidak hidup lagi
tuhan,maaf aku tidak kuat lagi
senyap senyap jiwaku ini
ditelan oleh bumi
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Diska Kurniawan Oct 2016
Pernah aku melihat sebuah keikhlasan
dari gugurnya daun pohon jati itu
Relakah dia meranggas untuk menghargai
waktu.

Pernah aku melihat sebuah kerahasiaan
dari kata-kata manis seorang ibu
Matikah dia menangis untuk menjadi
hantu.

Tapi seumur hidup aku baru melihat
sebuah kejujuran, dari ujung jarimu
Yang membelai untaian benang biru
kusut, tanpa keluh
Berpeluh namun tak mengenal sendu

Lalu apa artinya ikhlas tanpa rela
ditengah rahasia tanpa kata
dibasuh hujan air mata yang tak jatuh
Membasahi rona merahmu


*Doa kita sampaikan pada awan Nimbus
dan bintang Polaris
Berharap, berdua kita mendapati senyap
Bersama nyala lilin.
Mungkin kita dapat bersama ditengah senyapnya kematian.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Moonity Sep 2018
Aku tak mampu mencintaimu serupa sosok yang kau kasihi lalu
Tak mampu pula mencintaimu ibarat kau menyayangi belah jiwamu
Cintaku sebesar surya
Lamun cintanya seolah semesta

Maka izinkan aku menjadi langit yang membuatmu hirau akan buana
Terbanglah dengan tinggi
Rujuklah saat kau tak mungkin bernapas di bimasakti yang luas
Pulanglah ketika semua yang kau rasa gelita
Rindulah pada rumah yang tak suah kau cinta

Sebab aku mencintaimu tanpa khawatir
akan cintamu berlabuh pada siapa
—kalau tanyamu tentang bagaimana cara mencintai sedalam aku padamu. Maaf, sekalipun kuberi kiatannya, hanya aku yang mampu mencintaimu dalam makna.
Noandy Feb 2016
Yang mengutarakan salam pagi ini
Hanya sesayat keheningan
Dari reruntuhan nafas yang tiap isapnya
Riuh dirundung rindu

Perhatikan,
Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung
Yang biasanya, tanpa kita sadari
Teralun lemas tiap pagi
Lembut tanpa gemericik

Kidung itu bisa jadi sudah keterlaluan
Bisa jadi ia terlalu sadis pada sepi tiap subuh.
Senandung itu, memang benar,
Sebatas bisikan-bisikan lantang
Yang gemar memuja sepi dengan memporak-porandakannya,
Yang gemar menghantui sunyi agar  terlelap sebelum terbit.

Mungkin,
kidung itu terlalu masokis
Bernyanyi sendiri tanpa ada yang
Peduli pada dendangnya yang kelewat mengusik
Dan kelewat menggoda, sehingga semua lebih memilih
Terlelap saja. Bukan berdansa.

Ini salah satu pertanda
Soal dekadensi kidung perih
Yang biasanya teralun malas tiap pagi
Menggerakkan setan-setan kecil
Untuk membutakan mata dan membuat tuli dalam sekejap.
Jangan berdansa.

Tak ada yang peduli, semua masih tertidur.
Dan itu bisa jadi salahmu sendiri.
Tapi tak apa, iblis masih menyayangimu
Dengan sangat manusiawi.

Lagipula, seperti pagi ini,
Kesunyian kembali bersila pada permadaninya
Ditemani kicauan mencibir burung rohani.

Selamat pagi,
Senyap.

Anda yakin tidak ingin bangun
Dan menanggapi kidung yang terus memanggil
Untuk berdansa setengah jiwa?
Subuh hanya datang seterbit sekali.
Tuhan hanya merindu lima kali sehari.
Safira Azizah Nov 2018
pengecut itu
hidup di sela huruf-huruf
yang diukir oleh jari mahirnya
sambil bersahut bunyi dengan si gadis
di medio sunyinya malam.

pengecut itu
dalam senyap ia merayap ke pucuk harapan
seorang gadis dengan
senyuman kecut.

sibuk sembari mabuk
si gadis membingkai peti mati
berbaring harapan si gadis
dorman tak tersemai
karena buaian sang pengecut perlahan menjadi
kata tanpa arti, janji tanpa bukti.

teruntuk:
sang pengecut yang pucat pelasi kala bertemu
namun terlampau berani di balik ruang semu
Noandy Jun 2016
Mereka hanya terduduk di lantai berlumut
Halaman belakang rumah tuanya yang berupa puing belaka
Bekas-bekas kekalahan
Tidak berucap akan siapa yang mati
Dan siapa yang berhak hidup
Mereka terlambat, tak ada satupun orang hidup di sini

Mereka jadi ingin ikut-ikutan mati
Yang disayangi sudah tiada
Mereka jadi menyesal
Pergi jauh tak kunjung balik

Mendadak ditatapnya sebuah sumur
Tempatnya menimba air dahulu
Katanya sudah mengering berpuluh tahun lalu
Dan bibirnya bergerak perlahan, teringat; "Riak air yang tinggal di dasar sumur
Tidak pernah membenci roh yang berkeliar singup
Di atasnya.

Hantu-hantu wanita sejak dahulu
Kekal bersolek di atas sumur
Meskipun telah mengering airnya
Dan pantulan mereka fana adanya.

Mereka hanya terduduk di lantai berlumut
Halaman belakang rumah tuanya yang berupa puing belaka
Bekas-bekas kekalahan
Tidak berucap akan siapa yang mati
Dan siapa yang berhak hidup
Mereka terlambat, tak ada satupun orang hidup di sini

Mereka jadi ingin ikut-ikutan mati
Yang disayangi sudah tiada
Mereka jadi menyesal
Pergi jauh tak kunjung balik

Mendadak ditatapnya sebuah sumur
Tempatnya menimba air dahulu
Katanya sudah mengering berpuluh tahun lalu
Dan bibirnya bergerak perlahan, teringat; "Riak air yang tinggal di dasar sumur
Tidak pernah membenci roh yang berkeliar singup
Di atasnya.

Hantu-hantu wanita sejak dahulu
Kekal bercermin di atas sumur
Meskipun telah mengering airnya.

Konon karena mereka menyukai
Kehangatan yang dirasakan
Dari dalam rumah senyap kala ada kehidupan
Sesederhana bagaimana mereka tak lagi
Dapat hidup
Lantas mengapa lepas mereka pergi
Tak dijaga kekekalannya dari serentetan ledakan pilu dan kepulan asa?

Hantu-hantu cuma pembohong
Pelindung tak berdaya
Mereka menghargai bising dan jerit tangis
Itulah alasan mereka
Terus tinggal dan bersolek
Menunggu sakit dalam sakit
Karena air matalah yang sebenarnya menjaga agar dasar sumur tetap terisi
Agar mereka dapat bercermin
Agar kekal bayang mereka

Air mata, menggenang bersama darah
Bukan mata air yang merasuk dari qalbunya."
Jadi dipanggillah
Segenap jiwa gugup gelisah itu
Dalam kesunyian dan sesal mereka

Hantu-hantu wanita
Kembali besolek di atas sumur

Mereka melompat,
Untuk lebur
Dalam ketiadaan.

Menyusulmu
Mencarimu.
Noandy Feb 2016
Matahari mungkin bosan
Bintang mungkin terlalu ramai
Bulan mungkin kurang hingar-bingar
Aku mungkin tidak tahu

Mereka bukan Tuhan, dan aku
Adalah hantu dalam tanah;
Tak tahu apa-apa akan yang lampau
Dan yang akan datang kemudian

Seandainya lebih dahulu aku memahami
Kalau kita saling mencintai senja,
Alangkah baiknya bila di awal
Kita mengurungkan niat suci yang menggelora
Untuk dapat menjadi bulan

(Yang ternyata terus mengejar dalam senyap,
Namun,
Tak sekalipun dapat ia gapai kasih dari petang.)

Alangkah baiknya bila dahulu
Kita terbenam bersama-sama
Dalam genangan nila dan lembayung
Itu jauh lebih indah.
(Terbenam, bukan gugur.)

Tapi, sudahlah,

Matahari mungkin bosan
Bintang mungkin terlalu ramai
Bulan mungkin berserah pada gemerlap
Dan aku tak tahu apapun
Tentang kuasa Tuhan.
Aridea P Oct 2014
Inderalaya, 30 September 2014

Hati ini tlah tua
Tlah bertahan lama meski diterpa topan
Tetap kokoh walau diterjang karang
Masih bernyawa setelah diterkam cakar

Hati ini rapuh di dalam
Tak berwujud, tak berasa, tak berupa
Tak bernyanyi, tak bersuara, diam
Kosong, hampa, berbaur senyap


Hati ini lelah
Berjalan berjuta-juta kilometer langkah
Menyimpan berbagai rasa dunia
AKhirnya terluka dalam asa

Hati ini menangis
Tak mampu menahan lagi
Tak sanggup bertahan untuk sedetik
Mengisakkan sunyi
Diska Kurniawan Nov 2016
Lalu lintas jalan padat merayap pengap namun tetap senyap
Karena dia menulikan setiap kata-kata di perempatan jalan
Pula desah resah mata-mata yang memandang
Kunang-kunang kuning itu tiba-tiba melintas tenang
Mengambang lembut bagai daun dihanyutkan arus
Membius lampu-lampu sein agar berhenti mengedip

Malam itu, di perempatan jalan itu cahaya meredup

Orang-orang tak tahu menahu, beberapa berandai
Indah juga jika dipelihara di pekarangan rumah
Satu bangkit lalu berjingkat mendekat
Kunang-kunang kuning itu melesat
Tiba-tiba semua orang mengejar berlari
Ingin agar Kunang-kunang itu dipelihara di rumah

Tukang becak, penjaja koran, bos besar perusahaan, mahasiswa,
semuanya tak mau mengalah
Berlari, menyerobot, menggapai, meraih, mendorong,
menginjak, menjambak, mendepak,
merusak, menolak.
Lelah. Kunang-kunang Kuning menang
Tak ada yang berhasil merebutnya

Orang-orang pun lesu, menyumpah,
dan kembali ke apa yang mereka kerjakan sesaat lalu
sambil bergumam

"Tak ada Kunang-kunang Kuning di pekarangan rumah"

Kemudian semua berubah normal
Seperti lalu lintas biasanya
Hanya ada aku, yang masih memandang,
kemana Kunang-kunang Kuning itu terbang.

Aku tahu, bahwa di kota ini,

*tidak ada rumah yang memiliki pekarangan
fatin Oct 2017
menangis dan berontak jiwa muda
melawan prejudis dan komunis
minda anak kecil pula dijajah
katanya ini untuk masa depan
namun mereka lupa dan sentiasa lupa
dunia ini sifatnya selamanya sementara

diktator terus tersenyum
korupsi negeri negeri menjadi bukti mereka kuasa besar
kapal empayar tidak lagi membawa selamat
malah
--membawa mangsa untuk segala seterusnya

rakyat pula umpama anak kecil
terumbang ambing dan terus merengek
gaduh rebutkan yang tak pasti
cuma ada beberapa yang berani, kan kedengaran suaranya
lalu mereka itu dibunuh
agar senyap
agar tiada masalah ditelinga

kelihatan belia itu duduk
menongkat dagu
keluh resah dan bimbangnya kedengaran
berat nafasnya
--lalu berapa lama lagi?
tanda soal yang tidak berjawab di minda nya
umpama terdampar di laut dengan pelampung
menanti untuk diselamat
tapi masih tak pasti.

seru untuk semua yang ada;
yang masih berkudrat
yang masih waras akalnya
--lalu berapa lama lagi?

-f 1029pm oct 2nd
Elle Sang Feb 2016
Lantunan lagu sendu mengiringi malam
Ketika mereka lelap dalam senyap
Mata yang tak tertutup itu menangis
Memandang bintang-bintang di angkasa
Berharap bisa tenggelam di dalam gelapnya
Namun semesta sedang bercanda
Seakan-akan mereka mengutuknya untuk selalu ingat
Tanpa henti sehingga mata itu tak bisa lagi tertutup
Bagaimana bisa tertutup
Ketika malam tiba ia selalu ada
Alia Ruray Nov 2015
Lalu ia sadar.*

Ia menggenggam erat juwita pujaannya,
menyediakan tempat bersandar
serta kebutuhan pokok.

Semua indah, semua nyenyak.
Ia dan juwita melampaui batas,
menghasilkan surga di atas bumi.

Namun suatu titik membangunkannya.
Alam sadarnya kini berfungsi,
seraya berbisik
'surga di atas bumi itu tidak pernah ada'.

Ia bangun dari tidurnya yang nyenyak.



- - Lalu ia sadar.
Ia beranjak meninggalkan
dalam senyap tak berencana
Ia sadar; ia pergi.
Tanpa ada kata kembali.
ga Nov 2018
Venus pukul 5 pagi
Berpendar sendu di ujung timur
Hatinya meraung bergema
Lengannya memeluk kenangan yang mulai buyar
Matanya menerawang kisah-kisah lampau
Pasrah dirinya hanyut, bermuara ke alam sadar

Jiwanya hampir roboh
Beruntai-untai tali penopang mulai usang
Seutas tetap bertahan
Yang terbuat dari cintanya,
Yang dirajut oleh sang terkasih
Mengikat rohnya tetap dalam raganya

Berderai senyap air mata yang tak pernah kering
Mengecup pelan bibir yang tak mampu berkata
Membalas tatap mata yang tak pernah terlelap
Memeluk hangat tubuh yang tak lagi merasakan hangat
Menyambut lembut mimpi yang tak pernah selesai,
Mimpi yang tak ingin disudahi
01/11/2018
Atta Aug 2017
Hening, pikirku
Aku sendiri di kerinduan malam
Bunyi kota malang melintang di pikiranku
Suara penyanyi jalanan memecah sunyi

Hening, pikirku
Aku sendiri di gelapnya ibu kota
Bunyi senyap pedagang memekik di telingaku
Suara hentakan kaki berirama melawan arus

Hening, kataku
Aku sendiri tanpa arah
Bunyi dentuman keras degup jantungku
dan
Suara muramnya hatiku memenuhi pikiran

Hening, ku terdiam
Bisingnya ibu kota malam ini
Itu semua untuk mengitung harapan
Seberapa besar kesempatanku untuk bersamamu
Sampai aku mengabaikan gemilangnya malam ini
Sampai aku melupakan kesempatan lainya

Bising, aku tersadar
you kno, when you're in love everything becomes blurry.
kekasih, sebelum takdir melenyapkan tubuhku
dan takbirku menjadi sesuatu yang senyap

ajari aku mencintaimu:

ajari lidahku menyebut namamu
ajari mataku melihat parasmu
ajari telingaku mendengar suaramu
ajari tanganku memegang tanganmu
ajari kakiku melangkah padamu

sekali lagi

agar aku, kekasih, yang cuma
hamba sahaya ini bisa merdeka

merdeka adalah berada di haribaan cintamu
sepanjang waktu
2017
Ismail Nasution Jun 2018
Ketika hujan menangis
Merindukan kemarau panjang
Di manakah kita?
Di antara tetesan air mata yang terpejam

Sore itu kita membeku sedingin sunyi
Yang kau hanyutkan dari dekap
Menuju resah
Meninggalkan harap
Terombang-ambing sendiri
Lenyap dalam senyap
ga Dec 2017
Tenang namun menghanyutkan
Nyaman dengan gelap namun menerangi
Dia yang senyap menyaksikan badai
Seperti malam-malam yang dicintainya

Mengumbar senyum namun terluka
Gersang tandus namun menjamu tamu
Dia yang kering namun melepaskan dahaga
Seperti khianat yang ditanggungnya

Lelah raga namun selalu terjaga
Menahan perih namun membalut luka
Dia yang tersengat namun menawar racun
Seperti kecewa yang ditintakannya
Surya Kurniawan Oct 2017
Komedi yang kamu sukai
Haha hihi hangat ironi
Satir paling getir diantara syair-syair
Yang gamang dan anyir
Ayat paling menyayat diantara nubuat-nubuat
Kala nanti kamu dibaiat

Di halaman, mengepul gelembung
Berisi suara, jerit menderit
Masygul berlarat-larat
Sunyi senyap, tak berharap tertangkap
Seloroh yang kerap kau kudap

Tragis, tentu saja
Pantas, hatimu melecur
Panas cerita yang kau ulur
Mampukah dikebiri?
Jangan-jangan kamu puas melacur
Mengangkangi memori yang hancur
Kesana kemari
Menjilat rupa tak terhingga
Menggigil dalam persona mempesona

Tak seperti banyak cerita
Kamu hanya memamah hampa
Tiada terkira
Hingga kamu
Lupa cara bahagia
Semua jalan setapak akan bercabang, lama atau singkat, gema maupun lekat.
fatin Oct 2021
tanda tanyaku masih tak kau jawab
.
tak sempatku tanyakan apa kau tak lelah saat bergadang?

apa kau suka menangis dibahuku?

apa kau suka saat kita berbaring senyap dilantai melihat dinding kosong?
.
.
dan segala apa yg ada di bumi
aku ingin berbahas denganmu tentang warna langit itu refleksi air laut

aku ingin berbahas dgn mu tentang korupsi dunia

aku ingin kau bernyanyi sambil aku bersyukur
.
.
Tapi
semesta tak setuju

kita tak cukup waktu..
aku harus ingat
kau memang ada
tapi kita tak pernah bertemu lagi
nn Sep 2022
Kala paling senyap
ketika kepalaku diwalak atas belikatmu
sementara lenganmu merengkuh aku

teduh, rasanya

— The End —