Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
Bintun Nahl 1453 Feb 2015
Senja masih terasa sama , ia hadir menyapa seakan menghadirkan sejuta tanya ?
kemudian tak lama 'anganku mulai bermain , berhalusinasi akan sebuah daun yang jatuh kemudian terbang bersama angin .
hidup tanpa senja seakan berjalan tiada tulang , tak berdaya , rentan dan rapuh .

appapun yang ingin aku sampaikan melalui goresan ini , adalah bukti bahwa aku tidak pernah mengingkari janji Allah ,
bahwa senja akan terus menemuiku setiap ia akan pulang .
meskipun terkadang ia hadir bersama rintikan hujan yg terus menerus membasahi tanah jakarta

Dan aku tak tau lagi , kapan aku bisa menyaksikan senja tenggelam di pinggir pantai lengkap dengan deburan ombak .
Senja engkau berhasil membuat rekaman itu selalu berputar memplay memori ku bersama bapak . memori dan kenangan di masa kecil itu .
aku tidak pernah memikirkan apakah yg harus ku cari esok hari
el Oct 2014
ketika kaki sudah tidak mampu menapak
rembulan sudah tidak dapat menyapa sang surya
tidak ada yang bisa bertahan selamanya seperti ini
semuanya berubah, tidak seperti sedia kala
dimana hanya ada aku dan kamu--dan juga kenangan

ini secarik puisi untukmu
sebuah kisah yang sebentar lagi akan menemukan jati dirinya
seutas tali yang sekarang tidak lagi menyambung
dan ini adalah perpisahan

selamat tinggal, kamu
selamat tinggal, aku
selamat tinggal, kita.
tidak ada yang bertahan abadi. sekeras apapun kau mempertahankannya. setiap pertemuan selalu berujung pada perpisahan. siapkan dirimu. karena perpisahan datang tanpa aba-aba.
Aridea P Nov 2011
Palembang, Selasa 29 November 2011

Maaf,,,
Maaf hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan

Sungguh,,,
Kalian tahu sendiri aku terlalu bodoh tuk berbuat
Dan aku terlalu bodoh tuk bicara

Yakinlah,,,
Aku selalu berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi
Jadi orang yang mudah senyum dan menyapa

Tapi kalian tahukah?
Tuk melakukannya itu terlampau sulit bagiku
Bila hidup ini ku kurung sendiri
Ku kunci sendiri
Tanpa interaksi

Aku tahu kalian pun bertanya
Mengapa aku terpilih bila aku tak bisa apa-apa?
Jawabannya adalah beruntung
Ya, terkadang Keberuntungan mau berteman dengan ku
Tapi lebih banyak ia meninggalkan ku

Kalian pasti tahulah mengapa ia meninggalkan ku
Karena aku tak pandai berteman
Karena bakat ku melukai perasaan orang
Meski aku tak bermaksud
Terkesan begitulah di hati kalian

Sekali lagi
Maaf aku tak bisa menjadi yang kalian mau
Inilah aku apa adanya
Yang ku mau kalian bisa sabar
Sehingga terbiasa menghadapi aku yang sekarang
NURUL AMALIA Sep 2016
Aku terlalu kecil
Sekecil titik di atas kertas kusut
Aku hanyalah satu dari ribuan
bahkan tak terlihat
Terlindung dalam cangkang sempit dan tipis
Bersembunyi di balik daun yang mulai berubah warna
Rumah pertamaku
akhirnya aku terlahir
sebagai sesuatu yang aneh
Aku si buruk rupa
Tubuhku dipenuhi bulu
Merangkak lemah menyusuri ranting
Menggerogoti daun disekitar
membuatnya berlubang
melarikan diri dari burung
Bergulat dengan semut rangrang
Membuat saya jatuh ke tanah
Hingga buluku rontok berserakan
Hanya cacing yang menyapa
Mereka membenci saya sangat
Aku bisa terbunuh, tidak semuanya menerimaku
sampai aku terjebak dalam dimensi lain
Aku si  ulatbulu kesepian yang bersembunyi
Bertapa di dalam kantung usang yang kecil
Mencoba untuk membunuh waktu
Berjuang dalam kegelapan untuk mencapai keindahan
Sudah cukup persinggahanku
Mengarungi kerasnya penantian panjang yang membelenggu
Aku terlahir kembali
menjadi berbeda dan mereka menyukaiku
kebahagiaan berlimpah tiba
terbang tanpa batas dengan kedua sayap yang cantik
pergi ketempat yang indah yang kumau
Saraswati Apr 2018
Pelipur datang menyapa Lara
"lihat aku" bisiknya,
ia datang tepat ketika Lara ingin mengalihkan mata
muak melihat Bara
"sini, ikut aku" bisiknya,
ia datang membawa nada
Lara ingin berdansa!

boleh kah?

"boleh!" teriaknya,
"dansa!" dansa hingga Pelipur menyatu dengan Lara,

menjadi sebuah asa,

bahagia
Aridea P Nov 2011
Palembang, Jumat 4 November 2011

Mengukur panjangnya sungai Musi
Sepanjang renungan diri di suatu sore
Melambai menyapa penduduk pesisir
Melupakan segenap perkara dalam kehidupan

Memancing suatu yang tak pasti
Sangatlah beruntung jika umpan diambil
Secercah harapan akan hal langka
Bertepuk tangan tanda penuh kebanggaan
Coco Nov 2018
Ya
Langit ini terlalu indah untuk dilihat saja
Tanah ini terlalu luas sebagai sebuah pijakan

Bisakah aku melihat sisi langit lainnya?
Bisakah aku mengenal sudut pijakan lainnya?

Aku juga ingin bertemu dengan senja di langit utara
Apalagi saat fajar mengintip di langit selatan

Aku tidak dari timur
Ataupun barat
Aku ditengah.
Ditengah tengah kebingungan

Aku hanya ingin mengenal tanah di sudut barat daya
Di sisi tenggara
Menyapa tanaman dan makhluk hidup lainnya

Salahkah aku?
Aku hanya makhluk yang serba ingin tahu
Tolong, jelaskan padaku mengapa ini salah
Mengapa ini dilarang?!

Aku juga ingin menikmati sinar sang surya dari sisi yang berbeda

Apakah aku terhukum?

Aku bukan peminta
Apalagi pengemis
Tapi kali ini, bisakah kau jelaskan padaku?
Apa? Mengapa?
Hiiiiii. Have a nice day and thank you!!
fatin Oct 2017
melihat kamu meluru laju dan melambai
biarpun jauh, hatimu aku baca
lantas aku bilang maaf
pantas dan cepat aku meluah
jelas setiap rasa aku khabarkan

sayangku,
hakikat dunia tiada siapa mahu sunyi
namun aku harus gagahi jua rasa ini
andai ada hari kita tidak bersua seperti ini lagi
dalam tidur aku sentiasa ku rasa dakapmu
dan dalam setiap hariku, sentiasa indah dengan wujud imaginasi aku tentang kamu

sayang,
bukan kah amaran dunia pada kita sudah jelas?
tentang rindu yang tak bersahutan
cerita perasan yang sentiasa dan selamanya tak pasti
dan sentiasa aku pinta kamu
untuk terus percaya aku

lalu lembut tanganmu menyapa aku
meminta aku berhenti

entah kenapa
dalam diam dan biacaraku berhenti
aku rasa nyaman dalam dakapmu

mungkin ada pekara yang patutnya aku diamkan

--mungkin ragu aku adalah sama resah hatinya

mungkin.
?

-f 1030pm oct 2nd
fatin Feb 2017
indah nyaman yang menyapa buat kamu tenang
lantas kau tersenyum

indah
terukir anugerah Tuhan yang satu ini

syukur aku punyai kamu
yang menyenangkan sentiasa
genggam lah hati ini
sematlah cinta dan kasih
Surya Kurniawan Oct 2017
1/
Biasanya aku melihatmu di pojokan ruang itu. Melamun betapa sedih dan merananya jika jadi dirimu. Senyummu usang, sudah selayaknya kau buang. Atau paling tidak, kau gadaikan ke pasar loak. Pertimbangkan, aku bahkan menawarkan diri untuk jadi gerobak rombengnya.

2/
Mengamatimu bagai meneliti susunan arsitektur sarang semut, bercabang rumit walau sekelumit rahasiamu tak terungkit, atau paling tidak cerita masa lalu mu tak pernah terkuak.
Omong-omong, sudah tiga hari aku datang dan duduk di bangku yang sama, bahkan meja dan kursinya tak segan menyapaku dari kejauhan "kawan, mari duduk sini dan amati keindahan". Aku tak begitu paham bahasa furnitur, jadi ku jawab seadanya.

3/
Duduk diam mengawasi kerumunan, siapa tahu kau kembali terlihat, tanpa terhalangi punggung, atau ransel. Pintu maupun kerudung. Jangan bilang aku penguntit, karena aku tak bermaksud buruk. Aku hanya tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk sekedar bertukar sapa, atau paling tidak tatapan mata. Menurut ku matamu cukup layu jika tak ada kawanmu yang menemani. Air mukamu tak pernah kulihat benar-benar menikmati hidup merdeka, mereka tetap saja terjajah. Entah karena sedih atau kecewa.

4/
Hari ini kau tak ada di antara kerumunan, tak ada dalam ruang, tak ada diantara rekan, tak pula hadir dalam lamunan. Aku takut telah menculikmu tanpa sengaja dengan tatapan. Aku terus memandang kedepan, mendengar percakapan.

5/
Tak ada. Aku tahu. Tak berharap pula aku akan tibamu di dalam ruang.

6/
Aku mendengar gosip dan rumor, bahwa kau yang di ujung ruang telah berpindah ke lain ruang. Ujung koridor. Aku bergegas kesana.

7/
Hari ini aku berhasil mengejarmu, berbicara padamu. Tapi kau tampak tak senang, dan hanya mengulang kata-kataku. Aku juga tak sengaja menemuimu di toilet. Masih mengulang kata-kataku. Sore ini aku berjanji akan menemuimu di ruang ujung koridor.

Kala itu, dia menghadap cermin. Menyapa citranya sendiri. Di ruang ujung koridor.
Teka-teki yang selalu membuat aku keki
Merinda Jan 2019
Hey buddy
Engkau yang tak pernah mungkin kembali
Kau yang membuatku terjebak dalam sebuah ironi
Kita dihadapkan dengan sebuah hukum pasti
Semua yang terlahir pasti akan mati
Pada masanya
10 tahun penuh makna
Bersamamu ku dapat melihat indahnya dunia
Ya, indahnya dunia
Walaupun sekarang engkau sudah di alam baka
Dan sosokmu hanya tergambar dalam sebuah berkas kamera
Kehadiranmu kala itu bak seberkas cahaya
Yang membuatku tetap ingin bertahan di tengah ketidakadilan dan penindasan yg bermakna
Di saat aku tidak bisa lagi melihat sisi baik 'manusia'
Ketika aku pulang dari kandang ilmu dengan penuh tangisan
Seakan engkau menanyakan 'apa yg sedang terjadi?'
Ketika aku hanya ingin berhenti
Berhenti dari segalanya
Bahkan untuk sekedar bersinggungan dengan udara
Engkau seakan tak rela
Aku tak pernah ingin mengulang waktu
Walaupun itu bersamamu
Waktu yang begitu berat bagi hidupku
Waktu yang membuat semua yg kucita-citakan seakan tabu
Waktu yang telah membentukku sebagai sosok pemalu
Malu dalam segala hal
Bahkan terlalu malu hanya untuk sekedar mengatakan 'aku'
Aku hanya ingin menambah waktuku bersamamu
Agar aku bisa membagi kisahku denganmu
Aku yang sudah bisa pergi jauh
Yang sudah banyak mengenal Medan baru
Yang sedikit banyak telah mendapat penerimaan waktu
Dulu, saat aku jatuh
Engkau selalu ada didekatku
Dengan untaian kata motivasi dan semangat alamu
Tapi, di usia rentamu
Aku terlalu peduli dengan sibukku
Hingga ku lupa hanya sekedar menyapa keadaanmu
Entah apa yg ada dipikirku
Sungguh egois memang
Tapi, apa mau dikata
Semua telah tertulis rapi dicatatan-Nya
Aku hanya bisa menjalankan
Dengan tetap menjagamu dalam lamunan
tenfeetdrowning Oct 2020
Pagi ini kugantung kemeja favoritmu depan pintu
Sambil menarik satu senyuman
Menahan apa yang tertahan di kerongkongan
Yang seakan jika kuhembuskan saja
Bisa sampai merobek paru-paru

Lalu aku memakai serba hitam
Merayakan kepergian ini sendirian
Atas dirimu yang tak lagi ada untuk menyapa.
Amira I Apr 2018
Waktu masih menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit siang itu.
Aku sedang berada dalam perjalanan singkat yang ku tak tahu mengapa terasa lama.
Entah dari mana kabut-kabut itu muncul, menyapa dedaunan, ranting, serta bunga-bunga mungil yang baru saja mekar.
Hujan tidak lebat kala itu, bahkan tidak tumpah barang setetes pun.
Kabut yang teduh namun diam-diam membutakan.
Yang tanpa ku sadari telah menculikku ke entah berantah, jauh dari realita yang ada, aku berlarian menembusnya tanpa takut tergelincir pun terjatuh.
Meski dinginnya udara sudah meresap ke dalam tubuhku, mengalir bersama aliran darahku, juga perlahan menusuk tulang belulangku, aku merasa aman.
Sebab ternyata, kabut adalah teman baikku, yang telah lama hilang; namun kini ku menemukannya kembali.
Coco Jul 2020
Menuju malam sabtu, lagi lagi aku menghela napas

Melihat caramu menatapku, itu membuatku sakit
Mendengar suara mu saja aku muak
Bagaimana kau melangkah
Bersenandung kala di motor
Menyapa mereka yang kau bilang teman
Memuakkan

Kau tau? Bahkan saat menggenggam tanganku, rasanya seperi kau mencekik hatiku
Sesak

Kau; Tertawa hingga berurai air mata
Aku; Menangis tanpa melepas air mata

Kau lihat kan perbedaannya?

Apa memang aku yang harus bersakit?
Apa aku layak menerima ini?
Apa yang sudah ku lakukan di kehidupan sebelumnya hingga aku mendapatkan rasa seperti ini?
Tolong jawab aku
EVewritesss Apr 2018
Jemari mulai gemulai
Dikala ia mulai melambai
Bahasa tubuhku tidak diragukan lagi
Lika likunya sudah tertebak dari haluan pertama bapak satpam
Dia mulai menyapa
Aku teriak keras
hatiku yang teriak
Hawa panas tubuh beriringan membara bersama
Peluh terbawa jatuh dipipi
bisa bayangkan, bagaimana wujudku waktu itu....
Kini, segala fana itu harus di nikmati, entah menarik, suram, dan basi
Aku pikir, kapan lagi akan bertemu dan beradu argument sedekat itu
Kapan lagi berdialog serius dengan elokan tubuh cukup dekat
Kapan lagi aku bisa pandangi wajahnya 4 cm lebih dekat dengannya....
Jadi kupikir, aku harus syukuri, jika nanti tak bisa lagi. Yasudah ku kenang saja....
Nanti senja jadi pelengkap saat mulai mengenang moment itu, sudah ku jadwalkan
Jangan sia-siakan waktu dan selebrasi saat berasama dia atau mereka. Coba nikmati, arungi bersama, cairkan bersama. Pasti indah rupanyaaa
Ky Dec 2017
Hembusan angin sayu, menyapa rumput sendu
Rintik hujan turun segan, basah ranting kerontang
Seolah bersatu padu, gambarkan kecewaku

Mereka kata "lihat mata si bodoh keluar tangis"
Kubilang "pergi jauh dasar iblis"

Sendiri kini kau disana
Gantung diri hilang kecewa

Jatinangor, 21 Desember 2017
Vickiazaira Jul 2019
Malam ini aku teringat akan dirimu
Sosok yg selalu aku rindukan
Semasa dulu hingga saat itu
Sebelum diriku berubah.

Kini kita menjauh
Aku tak tahu apa yg membuat kita jauh
Aku pun tak mengerti
Mengapa engkau begitu dingin

Tak bisakah engkau sedikit menengok ku? Atau kembali menyapa diriku seperti sebelumnya?
Catatan lama yang kemudian aku memberanikan diri untuk meng-upload nya.
Sito Fossy Biosa Jun 2020
[2/6 22.08] SITO FOSSY BIOSA: Perempuanku yang Sendu, sebuah puisi.
[2/6 22.12] VINDA MAYA: Lantas Senja menenggelamkannya
[2/6 22.12] VINDA MAYA: Malam....dan hilang
[2/6 22.15] SITO FOSSY BIOSA: Kukan hilang pun bersamamu.
[2/6 22.19] VINDA MAYA: Bunga bunga layu itu jatuh ditaman berduri
[2/6 22.19] VINDA MAYA: Lalu ditelan angin berbisik
[2/6 22.21] SITO FOSSY BIOSA: Hujam Jantung, Hujan Rindu
[2/6 22.24] VINDA MAYA: Pilu....Berantakan....Tak terselamatkan
[2/6 22.27] SITO FOSSY BIOSA: Aku sengaja tak mau tahu tentang tuhan, sebaliknya, kau sepenuhnya kutelusuri sedalam hati.
[2/6 22.32] VINDA MAYA: Wajahmu ada di kening....rinduku sepanjang jalan
[2/6 22.32] SITO FOSSY BIOSA: Padaku?
[2/6 22.34] VINDA MAYA: Lalu pada siapa
[2/6 22.34] VINDA MAYA: Adakah selain bayangmu menyapa
[2/6 22.35] SITO FOSSY BIOSA: Lebur.
[2/6 22.36] VINDA MAYA: Berkeping-keping
[2/6 22.41] SITO FOSSY BIOSA: Tuntas.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
fatin Aug 2022
ah bagaimanalah aku bisa menulis tentangmu?
kerna tak ada bait kata bisa melukis senyummu
tak ada puisi indah dapat menceritakan bagaimana matamu bersinar cemerlang saat kau jatuh cinta,
dan tak ada tulisan yang bisa membuat tafsiran fikiranmu yang sesak.
kamu sempurna, aku sahaja yang biasa buat kamu.
.
.
malam itu kita sibuk berbahas soalan,
tapi...
tak kau habiskan cerita tentang kisah cintamu yang berakhir kejam,
tentang amarahmu terhadap ditaktor dan bencimu pada korupsi,
dan tentang bagaimana angin rindu entah dari siapa yang tak lagi menyapa pipimu...
"kamu cantik"
cara kau memutus obrolan kita,
"kamu pintar!" bilangku sebagai jawapan pada pujian itu
.
.
seperti kecewa dengan semesta yang tak pernah ramah denganmu
"dunia ini sibuk, ya? porak perandanya tak habis"
kau soalkan dunia kepada ku
seperti sengaja...
.
aku yang mentah soal dunia
dan kamu seolah tahu selok beloknya
fikiranmu kacau
banyak soalan tak berjawab
ada cerita yang tak kau bilang pada dunia
ada luka yang tak tersembuh dengan cinta
ada rindu yang tak disentuh
dan ada nama yang tak ingin kau sebut
riak muka mu aku tahu, kamu sedang tak aman
tapi kau temukan nyaman denganku
aku
yang sifatnya sementara
.
ah.. bagaimanalah aku bisa menulis tentangmu?
kamu terlalu bijaksana buat ku
kau bukan lawanku...
dan aku cuma ingin menyentuhmu
mengubat jiwamu..
ah.. bukan,
aku ingin merinduimu!
meski kita tak lagi pernah bertatap mata
.
.
.
semoga kita ketemu ya?
Sito Fossy Biosa Apr 2020
KAMU MENGAKU CINTA AKU-Oklasasadu, yang seisi ruh berdiri melamun.
Oklasasadu, yang biasanya menaruh tangan kananmu di telinga kiriku.
Oklasasadu, pendek pun kali luas menguap berbisa tubuh bukan lagi ruh.
Oklasasadu, mana guna jika mungkin tersisa iri, ruh ini sebagai bukti, HANYA tuhan YANG MEMBENCIKU.

Tadi adalah mimpi, saat Oklasasadu terdapat sapa.
Keluar masuk tanpa rasa, Oklasasadu di saat masa yang hening lagi menyapa dia.
Melihat Oklasasadu sepertinya berubah mentega diantara saya.
Setahuku Oklasasadu hanya benci padanya.
Dia pikir Oklasasadu tidak pernah sadar, adanya dia berulah saja.

Bangun siang di tengah malam, ada Oklasasadu berbunyi (a ku la mu nan mu) diulang hingga benar-benar tenang dalam dirinya. Him. Membunuh dengan halusnya empati.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙

— The End —