Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Sa pagdating **** napabalita
Unang sulyap palang namangha na

Gayak na sinauna
Sa paningin mahalina
Musikang kaytanda na
Sa pandinig mahiwaga

Mahalaga ang gabi
Simula ng pagsaksi
Kwento kong inabangan
Hatid niyang kasaysayan

Sa aking talambuhay
Gabing iyon may saysay
Nasa pagtitipon
Mga kaklase noon

Kapitbahay inuman
Masaya ang kwentuhan
Subalit ako’y saglit
Umuwi sa malapit

Iyon ay dahil batid ko
Simula na ng kwento
Ng kanyang unang yugto
Gabing Trenta ng Mayo

Mula nang araw na ‘yon
Pagsubaybay tradisyon
Naging makabuluhan
Likhang pampanitikan

Subalit ‘di naglaon
Nawalan telebisyon
‘Di hadlang gayunpaman
Sa radyo’y pinakinggan

Mula pagkabinukot
Hanggang aliping tulot
Babaylang naging ****
Mandirigmang pinuno

Nilupig at nanlupig
Inusig at nang-usig
Natulig at nanulig
Inibig at umibig

Nagtago at naglakbay
Namatay at nabuhay
Tinanggap at nagpanggap
Naghirap at nilingap

Sakay ng karakoa
Tinungo ibang banwa
Naghanda sa pagbalik
Upang ganti’y ihalik

Sa mabagsik na raha
Na pumatay sa ama
Sa pinunong baluktot
At sa harang nanalot

Mangubat at Angaway
Mga rahang kaaway
Lamitan na ninanay
Nais siyang maging bangkay

Sa kahuli-hulihan
Lahat sila’y talunan
Sa babae ng tagna
Walang iba – Amaya

Salamat, umalagad
Maging hanggang sa sulad
Salamat, kapanalig
Laban sa manlulupig

Salamat, Uray Hilway
Mga tinuran gabay
Salamat kay Bagani
Pag-ibig nanatili

Salamat sa Banal na Laon
Diyos ng mga ninuno noon
Kina Amaya’y panginoon
Tagapagpala ng kanilang nayon

Ang dulo ng epikong kapapanaw
Akala’y ‘di na matatanaw
Salamat sa unang Christmas bonus
May TV na bago taon ay matapos

Mahalaga rin ang gabi
Katapusan ng pagsaksi
Huling yugtong tinunghayan
Ang kamatayan ni Lamitan

Sa aking talambuhay
Gabing iyon rin ay may saysay
Nasa huling burol at lamayan
Bago at matapos subaybayan

Iyon ay kakaibang alaala ko
Sa katapusan ng kwento
Ng kanyang huling yugto
Biyernes – Trese ng Enero

Nagbrown-out pa nga
Habang oras ng balita
Buti nalang at umilaw
Sa tuwa ako’y napahiyaw

Sa pagtunog ng huling musika
At paggalaw ng katapusang eksena
Bukas TV at radyo
Sa makasaysayang mga tagpo

Ngayong gabi ng paglikha
Ng tulang handog sa programa
Unang gabing kapani-panibago
Dahil wala na sa ere ang paborito ko

Subalit ang Alaala ni Amaya
Mga gayak, musika, tauhan at kultura
Mga aral, tinuran, inspirasyon at ideya
Mananatiling buhay sa aking diwa!

-01/16-17/2012
(Dumarao)
*missing my favorite program
My Poem No. 93
solEmn oaSis Dec 2015
Anak ng poocha naman o oh
Sa lahat naman ng ayaw ko...
Anigma pasubali...fliptopan ba'to
Pooja' una pa lang pinagsabihan na kita,
Pero ngayon... malamang magtanda ka na!!!

Unang banat.. wala akong ganang mag ingles
Nakakawalang galang ka! Hinde naman sa naiines
Hinde na lang talaga kasi ako makatiis
Sa pigura **** pagkakinis-kinis
Kahit tuwalya wala ka man lang tapis
Daig mo pa nakatihayang ipis
Pasalamat ka walang pambura dala kong lapis
Kundi aabutin ka sa 'kin ng walang humpay na daplis
Sa patuwad **** nakalilis
Landas ko'y nalilihis.

Pangalawa..hinde pa ito ang huli...
ayoko sanang maging arogante
Sa lubot **** mala elepante...
Ambot sa imo wag kang makampante
Sa postura **** naka bra lang at panti
Naturalmente 'pupusta pa ako ng mil bente
Magsusumbong ka...magagalit ang mga higante
mapapagbigkas ka sa iyong linguwahe
'lintek lang ang walang ganti
Hinde ako intelehente...
dati lang akong ahenteng galante.
anong gusto mo diamante o brilyante
hahaha!! nganga!,, parehas lang yun impertenente!!!

Pangatlong banat,
.... ito ang tutuo
Pinoy Ako!!!
Purong tagalog den ako...
Pero kung iinglisen mo ako..
Then go ahead..english-san na 'to...ehheemmh,,,
=Do you understand the word that coming out of my mouth
You're some kindda liberated there in the south
Don't sample me (huwag mo akong subukan)
...perhalps change me'''' (ibahin mo ako)
YOU CAN NOT EYES ME ANYMORE!!! (hindi mo na ako kayang mata-matahin)
i will "the rich zoo" you! ("diretso"-hin na kita)=
Hey What's up Pooja Sweety?
Nose bleed??? I don't care if i look scary
To you i'm not being pity'
Real talk''' ...i'm not heavy
But you won't be able to carry
This trash talk of my tongue full of messy
Even your closest bessy
In your ***..shall be freaky
Mabuti pang nag selfie ka ng wacky !!!!!
I'm sure .....you gonna be pretty!!!!
Garantisado.....Madlang b-side...tuwa pa nila so plenty
......TIME ;)
rebut

balagtasan noon
fliptop-pan doon

sa lawak ng mundo ng hiphop lahat ay kasya!
Mayroong yakap na mahigpit;
mayroong yakap na magaan.
May mabigat, may parang nasa ere't
may parang walang laman.

May luhang dugo't pawis,
may luhang sampal sa nakaraan
at luhang mitsa ng pagbangon.

May ngiting tinuwid,
may ngiting dyamante sa langit
pero tinampo't itinapon ng pagkakataon.
Oo, kayhirap amuhin;
parang berdeng buhangin.

May mga katauhang iniibig,
kahit di ka perpekto't kulang din sa pag-ibig.
Piniling umibig, hindi pinihit --
Hindi pinilit na umibig.

Bagkus, Siyang katapatan ng Langit,
Siyang patas, Siya nga namang tapat.
Kaya naman katapata'y naging patas;
ni walang ganti, ni walang pag-imbot.

Dalisay ang pag-ibig,
luha'y salok sa gabi't
Siyang Perlas na pabaon sa umaga.
Pag nasaktan ka, normal yan.
Pag hindi ka nasasaktan, doon ka na magduda.
Ysa Pa May 2015
Mali pala ang nasa isip
Ito pala'y isang panaginip
Buhat mula sa maling akala
Na sakin ika'y tinadhana

My thoughts were not what they seemed
Turns out all this was just a dream
Brought upon by false convictions
That for us a red string was drawn

Ginising mo ako sa katotohanan
Na lahat ng bagay ay may hangganan
Pero kailanman ay hindi ako nagsisisi
Dahil totoo ang ating pagmamahal kahit sandali

You opened my eyes to reality
That things can't last for eternity
I have no regrets what so ever
Because we had a short but real happy ever after

Hindi ko lubos na pinahahalagahan
Ang walang hanggan
Dahil ang importante ay
Ang pagmamahal na buo at tunay

For me, the existence of forever
Doesn't really matter
What's important is
The realness of love amidst the adversities

Wala akong galit na ipadarama
O ganti na sana ikaw ay magdusa
Walang hinanakit na dinadaing
Kundi salamat sa pagmamahal habang ika'y nasa aking piling

For you, I have no rage to release
No vengeance to accomplish
No sorrow to let go
*But  for the love while you were mine, I only have gratitude to bestow
*~So I made this poem using my native language (Tagalog) and the italicized text is the english translation. I just realized that it has been a while since I last wrote a poem in tagalog.
Aridea P Oct 2011
Aku menangis, padahal tak ada yang harus ditangisi
Aku tertawa, padahal tak ada yang harus ditertawai

Aku berjanji...
Tanpa tahu akankah ku tepati
Aku bersumpah
Tanpa tahu azab apa yang akan ku dapati

Keinginan hati hanya mimpi
Hati munafik padahal baik
Mangapa jiwa ku terbagi?
Selalu hadir bergant-ganti

Jiwa keras hadir, terluluhkan oleh dia
Sesal pun menghampiri
Air mata curahan hati

Jiwa lembut hadir, tertegur perkataan "MUNAFIK"
Mengucap kata meyakini
Inilah aku yang asli

Mengapa jadi serba salah?
Hati ku keras, hati ku lembut
Selalu berakhir air mata
Bertanya, dosakah aku pada Tuhan?

Created by Aridea Purple
Jack Jun 2022
Jauh aku datang,
Singgahan sementara,
Ribut pasir di padang gersang,
Menari di sanubari hati,

Cahaya matahari menemani sunyi,
Bulan menghiasi langit yang gelap,
Harapan seperti menanti hujan,
Keras hatiku timbul rekahan,
Badan aku membara keseorangan,

Jarum detik sudah behenti,
Tetapi aku masih berjalan lagi,
Peluh bersilang ganti,
Nafas ku semakin pendek,
Persoalan berhimpun di minda,
Sampai bila, sampai bila.
Namun, getaran tenaga menjadi kudrat terakhir.
Hingga badan aku rebah dan tenaga aku gersang..
Alia Ruray Jun 2015
Aku mengingatmu
di sela waktuku bertualang
di setiap spasi dalam kalimat 'kita'
aku mengingatmu.

Kau buatku menetap tanpa alasan.
Lantas pergilah aku bertualang;
pergi terbang
ingin kau tau kau tidak mengekang
ingin kau tau aku bisa, kapan saja,
terbang.

Tapi di setiap kepakan sayap,
aku merindu.
Di labuhanku yang berganti-ganti,
aku menemukanmu.



Duduklah kau rapih,
sambut ku yang selalu pulang.
(24 June 2015)
John AD Apr 2020
Ano ba tong nagaganap ?
Isa ka ba sa nagkakalat
Kamalayan mo ay pahintulutan
Isiwalat ang nagaganap

Takpan ang iyong tenga
Nakakasulasok na tunog
Sobrang pagkabulag mo
Nakakatapak na ng bubog

Subyang sa iyong bagwis
Hindi pa ba naaalis?
Tumatagaktak na iyong pawis
Daan-daang buhay na ang nagbuwis

Ginapas,Bunga ng kasakiman
Ganti ng kalikasan hindi mapigilan
Nakadungaw sa bintana
Humahalakhak ang mga sinaktan
Lason ang isip sa taong sakin at makamundo
Pada suatu hari yang kejam.
Budi mau ke sekolah.
Ganti baju, minum susu, tidak lupa gosok gigi.
“Buk, Budi berangkat dulu ya.”

Ibu pertiwi tidak menjawab.
Budi melongok ke dapur lalu melihat ibu pertiwi.
Tampangnya kusut, pakaiannya berantakan dan matanya sembab.
Budi marah.
Sosok bangsat macam mana yang telah membuat ibu pertiwi sedih !
Di mana bapak pertiwi? Ibu pertiwi sudah jadi janda dan masih dicabuli. Memang anjing !

Jadi siapa yang telah membuat ibu pertiwi sedih?
Apakah si bangsat itu adalah mereka?
Yang menanam beton raksasa dan mengambil semua dengan paksa?

Atau apakah si bangsat itu adalah kalian?
Yang menumpang dan mengotori air udara tanah, menggusur alam atas nama pembangunan?

Atau apakah si bangsat itu adalah dia ?
Yang berjalan angkuh dan tamak. Sesekali mencari peluang, sumber daya mana lagi yang bisa di sikat ?
Babat terus tambang, sekalian laut, hutan, juga hewan!

Atau apakah si bangsat itu adalah saya ?
Bersembunyi di balik hati nurani yang katanya peduli, katanya cinta bumi, saya adalah omong kosong!
Saya tidak benar-benar cinta. Jijik betul merasa ibu pertiwi sungguh berarti, ikut menjerit ketika ia ternodai, mana yang lebih munafik apakah diri saya atau aksi ?

Pada suatu hari yang kejam,
Budi tidak berangkat ke sekolah.
Akal sehat budi meronta ingin lari selamatkan diri bersama ibu pertiwi.
Anak cicit Adam dan Hawa terlalu goblok dan jahat.
Manusia terlalu serakah dan merasa berkuasa.
Lihat itu,
Asap hitam pekat bergerak mendekat.
Mampus kau! Ibu pertiwi sudah sekarat!

Pada suatu hari yang kejam,
malam datang dan manusia mulai buta.
Ibu pertiwi gelap gulita, budi merangkak tanpa arah.
Apa perlu listrik untuk buka mata?
Atau cukup hanya sepercik bara?
Budi bingung. Ibu pertiwi sedih. Bapak pertiwi bodo amat.
untuk pertama kali saya bacakan tanggal 22 Juni 2019 dalam acara “Diskusi Panel: Dimulai dari Kita kepada Lingkungan” oleh Light Up Indonesia, Weston Energy.
patricia Apr 2020
ipinikit mo ang iyong mga mata.

sa ikatlong gabing katutulugan mo nang basa ang iyong unan,
nagsamo ka ng mumunting hiling,

sa lihim **** paghikbi,
dinama mo muli, kung paano ang maging kulang
at mawala sa sarili **** mga pagkakamali.

ang mayakap ang sarili sa gabi,
ay ganti sa katawang hapo mula sa buong araw na pagpapanggap,
na mas ibig mo ang umaga dahil sa ligaya nitong dala.

ang isayaw ang anino sa himig ng pag-iisa,
ay paglaya ng isipan mula sa buhay **** mga bangungot

sa ikatlong gabing kinatulugan mo nang basa ang iyong unan,
nagsamo ka ng mumunting hiling,

mahanap mo nawa ang galak sa paggising.
O Obleng ibig, ba’t ka inusig?
Binusalang higpit iyong bibig
Mata’y hinigop na parang tubig
Tenga’y sinuntok hanggang matulig
Dinakma’t dinurog mga bisig
Ng mga buwetreng manlulupig!
Dugo’y ‘lang habas na umiilig!

O Obleng pantas, ba’t ka ginago?
Itinuring kang peste’t bilanggo
Dura’t ihi sayo’y pinaligo
Sa hanap **** mga pagbabago
Ika’y lagi nalang binibigo
Ng sayo’y namugad na mga kwago!
Tinutuka habang dumudugo!

O Obleng bituin, ba’t ka piniga?
Laman mo’y ngitim sa pamamaga
Pinipilipit ka’t inuuga
Pangalan mo’y ipinansisiga
Kaylinaw na hangad kang ihiga
Ng mga ahas **** inaruga!
Duguang Oble! Ganti’y ibuga!

-04/03/2007
(Dumarao)
*just feel
My Poem No. 27
Aku ingin menulis puisi untuk pacarku.
Tapi penaku mati.
Tintaku tidak cukup untuk kata-kata rasa.

Jadi aku mulai mengisi penaku dengan air mata.
Kutulis rasa dengan huruf tanpa warna.

Tapi kau tidak bisa membaca.
Kau tidak pernah bisa membaca, sayang.
Antara warnaku redup,
atau matamu yang memilih buta.
Namun, aku terus menulis kata.
Belum cukup juga.

Sebelum patah,
Kuputuskan ganti tinta.

Mungkin dengan darah.
Atta Jan 2018
Jadi kemaren gue rencananya kaya bikin puisi atau apalah gitu kan sebelum ganti tahun. tapi gue ketiduran. terus gue kaya pas bangun tuh gak nyesel amat sih tapi kaya ada satu beban aja gitu kalau belom post apa-apa disini. Jadi gue post aja deh first impression gue buat orang-orang yang aku sayang hehehe.
tapi karena maleaes, kapan-kapan aja deh bye.

— The End —