Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
I.
Please wait for me
for I shall return
My love for you will forever burn
Though we must part
There's no reason to cry
Just say so long
Because lovers never
say goodbye
I love you
My darling
more than life itself
I wouldn't try to hurt you
For I'd only be hurting my self
Just kiss me dear
And hold me tight
For you know this is not our last night
Though we must part
There's no reason to cry
Just say so long
Because lovers never say goodbye
KALI

II.
KALI
KALI
KALI
KALI
KALI
KALI
Well, my KALI
Do *** de wadda
I love you so
Do *** de wadda
My KALI
Do *** de wadda
I want you to know
Do *** de wadda
oh my dear
Do *** de wadda
That I love you so
Do *** de wadda
Please come back to me
Do *** de wadda
I want you, my love
Do *** de wadda, oh
Wish you were here
Do *** de wadda
I need you so much
Do *** de wadda
My dear
Do *** de wadda
My KALI
Do *** de wadda, oh
KALI
KALI
KALI
Oh, my KALI
KALI
KALI
KALI
Oh-oh-oh-oh-oh-oh-oh
Do *** de wadda
Do *** de wadda
Do *** de wadda
Do *** de wadda, oh
Do *** de wadda
Do *** de wadda
KALI
KALI
KALI
Oh my KALI
KALI
KALI
KALI

Do *** de wadda
Do *** de wadda, oh
Oh my KALI
KALI
KALI
Please come back to me
I want you so much
AH
Wish you were here
AH
I need you so much
AH
My dear
AH
Oh darling
I wish you were near me
do wah dee wah dee wah
Oh, please come back to me
do wah dee wah dee wah
I want you so much
do wah dee wah dee wah
Wish you were here
do wah dee wah dee wah
I need you so much
do wah dee wah dee wah
KALI
KALI

III.
I’ve been searching all this wide world
Now I’ve found my candy girl
Candy girl
KALI

I’ve found me a girl.
KALI
She sets my heart a whirl.
KALI
With huggin, huggin
And kissin, kissin
And lovin
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl.
Whoa oh oh oh oh KALI
KALI KALI KALI KALI KALI

We get along so well
KALI
I know just why I fell
KALI
She’s thrillin thrillin
We’re chillin chillin
Oh she’s so Divine
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl
Whoa oh oh oh oh KALI
When we’re out together KALI
Everyone knows the way we feel KALI
We glow with the glow of love KALI
And it’s plain to see that our love is real KALI
Oh my candy girl
Whoa oh oh oh oh KALI

I’m as happy as can be KALI
She’s gonna love me for eternity KALI
To hold me hold me
To love me love me
Until the end of time
She’s mine mine mine mine
Oh my candy girl
OH KALI

IV.
Mmm dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby oo
Doo ooby doo
KALI

Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
Come softly to me my darling
KALI KALI KALI KALI KALI

Come to me to stay
KALI
You’re my obsession
For ever and a day
MY SWEET SWEET
KALI

I want I want you to know
That I love love you so so so so
Please hold hold me so tight
All through through the night
MY KALI

Please speak to my softly softly
And hear what I what I say
I will love you
always always always
Love you
KALI

I’ve waited waited so long
For your kisses and your love
I need need you so much
Want to feel your warm touch
KALI

Mmm dooby do
Dahm dahm dahm do **** ooby do
Dahm dahm dahm do **** ooby do
Dahm dahm dahm
oh dahm Uhm dooby do

Mmm dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Dahm dahm dahm dahm oo dooby do
Dahm dahm dahm **** oo dooby do
Damg dahm dahm dahm oo
KALI
KALI
KALI
YOUR MY END OF TIME
END OF TIME
KALI
Megan Sherman Feb 2018
Could such a meditation capture and embrace,
Fine wrought beauty of thy grand, immortal face?
Time's architect of sublime grace,
In whom luscious light of love apace,
The liquor of the moment churn,
With magic, through whence the cosmos rage and burn,
Knowledge of which the sages earn,
For which the scholars learn, fierce yearn,
On my journey through aeons to you,
Through creation with a God I flew,
Saw blessed fires run through you.

Raw power of the sun in you,
Never seen bright soul so true,
Beatitude rare for which I grew,
Shed regrets, no shame, no rue,
Deva Kali I do not spurn
Our spirit, may fire of the deva burn,
A beacon to alight all space,
Glow benevolent on the cosmic race,
Meditation guides to thee,
On an endless cosmic, seismic sea.

A solar system is thy mind,
Whirls majestic and refined,
With mysteries and life embroiled,
For a glimpse of which the sages toiled,
A beauty which hath never paled,
Which the saints and bards regaled,
Her form is truth; not up for sale,
Suffice to adorn lore and fairytale,
Reflecting on her I duly find,
My form and hers coiled, intertwined.

O Kali of celestial power,
Bless my heart in immortal hour,
Impart gold virtues known to thee,
So I can rejoice in revelry,
Enamoured of the cosmic majesty,
Beknown to Gods and ones who see,
Ever frolic in enchantment free,
No you, no I, only one heart, we,
No lords who seize time, history,
Just blissful divinity in a cosmic sea.

Thou art avatar of all creation,
In incessant and perpetual motion,
Inspires mind to soar in elation,
And commit itself in deep devotion,
Deepest, sweet celestial commotion,
Assuages my heart's trepidation,
Here my fear is not a notion,
Soul free in immortal recreation,
Kali, Kali, spirit true,
Blessed fires run through you.

Your legs the roots on life's wizened tree,
Roots bubbling with time's energy,
Your arms the blossoming canopies,
Which scatter wisdom's flowers free,
That drink up lightning from the sun,
Inside your heart, as time begun,
See her conquer, see her run,
A goddess for all; let us be one,
In awe of you, I just a smote,
As I stand with you at end of time remote.

Beget thy purpose to create,
Plant seeds in which all time gestate,
She lives for life insatiate,
For which I am in joy, elate,
My atman, Kali, how lucky I,
Can dwell on Earth, yet soar in sky,
Beloved of the Buddha's cry,
As he sing soft under bough of the Bodhi:
Children, we are all light and love,
Reflect from Kali, our mother dove.

A truth on which the spirit rove,
Souls frolic in her Heart's treasure trove,
Walk softly to that golden grove,
A path for which the mind behove,
Kali, as I for life prepare,
Imbue me with your knowledge rare,
If you permit, and if I dare,
Could I see worlds dance through thine stare?
She dance with cosmic passion there,
A shimmering siren, beckons me to lair.
So Dreamy  May 2017
Ulang tahun
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Karijinbba Jun 2019
Just like Goddess Kali
I am feared when not
understood
my enemies know my loving passion are my kids
those demons slander me
fearing the mother
goddess in me
I gave life and inadvertedly heartbroken waived it
I give life
birthed my children
against all adds
motherhood apeaces me
injustice enrages my dance
I am Goddess Kali Karijin
~~
Precious daughters
Elena Rose Jeanette fear not
I save I protect I write
it's my frenzied dance
surounded by demons ferocious
you and me won many a
gruesome wars
to protect you three your
children alike my light
I have deamed
Remember Mother Kali
I love you miss you
more and more
and for you my life I lay
~~~.
The goddess mother
(excerpt)
~estranged from kids ~
~~~~~~
"The stars are blotted out,
    The clouds are covering clouds,
It is darkness vibrant, sonant.
    In the roaring, whirling wind
Are the souls of a million lunatics
    Just loose from the prison-house,
Wrenching trees by the roots,
    Sweeping all from the path...
The sea has joined the fray,
    And swirls up mountain-waves,
To reach the pitchy sky.
    The flash of lurid light
Reveals on every side
    A thousand,
thousand shades
Of Death begrimed and black."

love & motherhood apeace me.
~~~~~~~
By: Karijinbba
inspired
by Hindi ink Durga-Kali
Shiva Lord's Wife
revised 06-5-19
~~~~
the poem shows how the whole universe is a stage for the goddess's terrible and frenzied protector dance.
only motherhood
apeaces the mother in me
estranged motherhood ends me.
thats why childless foe slander me
~~
my grown children imagine
their enemy's darkness in me.
~~
Durga is Kali Lord Shivas wife
represent good & bad apeaced
by being Loved cherished
and motherhood instict
RH O negative Mothers like me
may abort on medical evil advice
if no Rhogam vaccine is
affordable by Mother to be.
not that we ****** child to be.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
jose large  Jun 2012
sweet Kali
jose large Jun 2012
sweet Kali stands before us
an offering she holds
while all the skulls around her neck
sleep in a child's repose

there are many souls in limbo
they wander through our sight
seekers for salvation
seeking for the light

a universe lies waiting
a red planet full of stars
just beneath the lingham
that rests in Kali's arms

the dogs lie waiting patiently
while Ganesh begins to writhe
turning to a serpent
that writhes before our eyes

here's the minotaur from Jambu Dweep
wrapped in a golden fleece
telling stories in my head
the tales of ancient Greece

then Kali holds a severed head
cradled gently in her hand
while beneath the Shiva Lingham
someone lies upon the sand.....
this poem was inspired by the tryptich of my artist friend Druvinka
Loewen S Graves Jun 2012
nights take passion forth
into an abyss
of hundreds of arms
swirling under the weight of
bodies yearning
to connect

your destruction came
in moments, you fell beneath them
and growled, you were
the rabid beast
hiding in my closet
or behind my bathroom door
waiting to spring,

and you and i,
we fell for each other
like children, we fumble in the dark
like teenagers, we talk through every movement
like we've known this dance for years, years, years;

my hands, they're too small
to spread over your heart
like i want them to.
your hands, far too big
to cradle my face between them
like you meant them to.

we make it work
in the darkest of ways,
the black hole in the floor
of our bedroom
opening up
to swallow us
whole.
paper cuts and trails aside
make a wish and hold it tight,
this time we'll try our hardest
not to try --

(sleeping at last)
Megan Sherman Oct 2020
Could such a meditation capture and embrace,
Fine wrought beauty of thy grand, immortal face?
Time's architect of sublime grace,
In whom luscious light of love apace,
The liquor of the moment churn, With magic, through whence the cosmos rage and burn,
Knowledge of which the sages earn,
For which the scholars learn, fierce yearn,
On my journey through aeons to you,
Through creation with a God I flew,
Saw blessed fires run through you.

Raw power of the sun in you,
Never seen bright soul so true,
Beatitude rare for which I grew,
Shed regrets, no shame, no rue,
Deva Kali I do not spurn
Our spirit, may fire of the deva burn,
A beacon to alight all space,
Glow benevolent on the cosmic race,
Meditation guides to thee,
On an endless cosmic, seismic sea.

A solar system is thy mind,
Whirls majestic and refined,
With mysteries and life embroiled,
For a glimpse of which the sages toiled,
A beauty which hath never paled,
Which the saints and bards regaled,
Her form is truth; not up for sale,
Suffice to adorn lore and fairytale,
Reflecting on her I duly find,
My form and hers coiled, intertwined.

O Kali of celestial power,
Bless my heart in immortal hour,
Impart gold virtues known to thee,
So I can rejoice in revelry,
Enamoured of the cosmic majesty,
Beknown to Gods and ones who see,
Ever frolic in enchantment free,
No you, no I, only one heart, we,
No lords who seize time, history,
Just blissful divinity in a cosmic sea.

Thou art avatar of all creation,
In incessant and perpetual motion,
Inspires mind to soar in elation,
And commit itself in deep devotion,
Deepest, sweet celestial commotion,
Assuages my heart's trepidation,
Here my fear is not a notion,
Soul free in immortal recreation,
Kali, Kali, spirit true,
Blessed fires run through you.

Your legs the roots on life's wizened tree,
Roots bubbling with time's energy,
Your arms the blossoming canopies,
Which scatter wisdom's flowers free,
That drink up lightning from the sun,
Inside your heart, as time begun,
See her conquer, see her run,
A goddess for all; let us be one,
In awe of you, I just a smote,
As I stand with you at end of time remote.

Beget thy purpose to create,
Plant seeds in which all time gestate,
She lives for life insatiate,
For which I am in joy, elate,
My atman, Kali, how lucky I,
Can dwell on Earth, yet soar in sky,
Beloved of the Buddha's cry,
As he sing soft under bough of the Bodhi:
Children, we are all light and love,
Reflect from Kali, our mother dove.

A truth on which the spirit rove,
Souls frolic in her Heart's treasure trove,
Walk softly to that golden grove,
A path for which the mind behove,
Kali, as I for life prepare,
Imbue me with your knowledge rare,
If you permit, and if I dare,
Could I see worlds dance through thine stare?
She dance with cosmic passion there,
A shimmering siren, beckons me to lair.
BB Tyler  May 2013
Shiva and Kali
BB Tyler May 2013
How many deaths  in the life
of a plant?
This is Lord Shiva;
This is His dance.

How much space
in the life of a form?
This is Kali,
She the unborn.

Together they sway,
forward in back;
Shiva the Fire,
Kali the Black.

As Lovers they ****,
put to Sleep, and Destroy,
With Grace and Love,
Compassion and Joy.
Brianna  Aug 2017
Kali Ma
Brianna Aug 2017
With her three eyes and many arms Kali Ma leaned in to tell me the secret of this year.
She told me with regret and hate filling my life- I wouldn't be getting anywhere.
She said with trust and loyalty- one day I'll find my back again.
To a live that's full of love and hope instead of sadness and sin.

The Dark Mother- the Goddess of destruction and creation told me she, herself, was the bearer of contradictions.
She said we all fall apart and there are ways to get back up if we just open our eyes.
Instead of filling our self with doubt and questioning the truth instead of the lies.

So within the Ocean  of Blood I have been created by Kali Ma- and I will sooner than later be destroyed by her power.
But before the year is up she has given me the truth to rise up and fight her.
I will change for myself and I become one with the truth's that lie within me.
I will remember the good instead of the bad so it doesn't destroy all of me.

I will wear red as gypsies must do when their funeral is near.
I will let Kali Ma devour me and send me home without fear.
I will wear pride knowing I have found the truth and let the lies go.
I will be at peace when I have figured out everything I needed to know.

— The End —