Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Ceyhun Mahi Jan 2017
Hak'tan başka yok baki -
Bu gün ki zaman yeni,
Ve dün ki zaman eski.
Göremem yavaş etki,
Öyle geçer zaman ki.

Çok yavaş büyür fidan,
Geçersin karşısından,
Kalır öyle her zaman -
Baktın oldu gülistan!
Öyle geçer zaman ki.
Inspired by Erkin Koray's 'Oyle Geçer Zaman ki'.
Michael R Burch Feb 2020
Ben Sana Mecburum (“You Are Indispensable”)
by Attila Ilhan
translation/interpretation by Nurgül Yayman and Michael R. Burch

You are indispensable; how can you not know
that you’re like nails riveting my brain?
I see your eyes as ever-expanding dimensions.
You are indispensable; how can you not know
that I burn within, at the thought of you?

Trees prepare themselves for autumn;
can this city be our lost Istanbul?
Now clouds disintegrate in the darkness
as the street lights flicker
and the streets reek with rain.
You are indispensable, and yet you are absent ...

Love sometimes seems akin to terror:
a man tires suddenly at nightfall,
of living enslaved to the razor at his neck.
Sometimes he wrings his hands,
expunging other lives from his existence.
Sometimes whichever door he knocks
echoes back only heartache.

A screechy phonograph is playing in Fatih ...
a song about some Friday long ago.
I stop to listen from a vacant corner,
longing to bring you an untouched sky,
but time disintegrates in my hands.
Whatever I do, wherever I go,
you are indispensable, and yet you are absent ...

Are you the blue child of June?
Ah, no one knows you—no one knows!
Your deserted eyes are like distant freighters ...
perhaps you are boarding in Yesilköy?
Are you drenched there, shivering with the rain
that leaves you blind, beset, broken,
with wind-disheveled hair?

Whenever I think of life
seated at the wolves’ table,
shameless, yet without soiling our hands ...
Yes, whenever I think of life,
I begin with your name, defying the silence,
and your secret tides surge within me
making this voyage inevitable.
You are indispensable; how can you not know?

***

Original text:

Ben sana mecburum bilemezsin
Adini mih gibi aklimda tutuyorum
Büyüdükçe büyüyor gözlerin
Ben sana mecburum bilemezsin
Içimi seninle isitiyorum.
Agaçlar sonbahara hazirlaniyor
Bu sehir o eski Istanbul mudur
Karanlikta bulutlar parçalaniyor
Sokak lambalari birden yaniyor
Kaldirimlarda yagmur kokusu
Ben sana mecburum sen yoksun.

Sevmek kimi zaman rezilce korkuludur
Insan bir aksam üstü ansizin yorulur
Tutsak ustura agzinda yasamaktan
Kimi zaman ellerini kirar tutkusu
Bir kaç hayat çikarir yasamasindan
Hangi kapiyi çalsa kimi zaman
Arkasinda yalnizligin hinzir ugultusu

Fatih'te yoksul bir gramofon çaliyor
Eski zamanlardan bir cuma çaliyor
Durup köse basinda deliksiz dinlesem
Sana kullanilmamis bir gök getirsem
Haftalar ellerimde ufalaniyor
Ne yapsam  ne tutsam nereye gitsem
Ben sana mecburum sen yoksun.

Belki haziran  da mavi benekli çocuksun
Ah seni bilmiyor kimseler bilmiyor
Bir silep siziyor issiz gözlerinden
Belki Yesilköy'de uçaga biniyorsun
Bütün islanmissin tüylerin ürperiyor
Belki körsün kirilmissin telas içindesin
Kötü rüzgar saçlarini götürüyor

Ne vakit bir yasamak düsünsem
Bu kurtlar sofrasinda belki zor
Ayipsiz   fakat ellerimizi kirletmeden
Ne vakit bir yasamak düsünsem
Sus deyip adinla basliyorum
Içim sira kimildiyor gizli denizlerin
Hayir baska türlü olmayacak
Ben sana mecburum bilemezsin.

Keywords/Tags: Turkey, Turkish, Attila Ilhan, modern English translation
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Ceyhun Mahi Jan 2017
Hayal rüya diyarı hep saçar,
Ateş olur ki buz ve buz ateş.
Hayal Alemde her ne yok ne var,
Güneş olur ki ay ve ay güneş!
Lakin bu dünya hep hayır değil,
Zira ki var orada harıstan,
Zalim diken dolu gıcır değil,
Sorar gönül: o nerde gülistan?
Nazik zaman ve sert zaman döker,
Ve aynı an hayal eder devam,
Katar güzel görüş katar zalim keder,
Ve de olur onun için selam!
  Yalan söyler o pembe tozlu gül,
  Şaşırtılır zavallı her gönül.
Meter: Me fâ i lün / Me fâ i lün / Fe ul
Ceyhun Mahi Sep 2017
Merhaba ey parlak şehir!
Bu vakitte yalnız meydan,
Görünmüyor ki bir insan,
Sokaklar kurumuş nehir.

Yalnız deniz yeli gelir,
Kuşlar geçer zaman zaman,
Millet kafede mi bu an?
Bu şehir ve Mevlam bilir.

Ne o aşıkları gördüm,
Nede ışıkları gördüm,
Bir serin boşluk sadece.

Lakin bu ortam rahattı,
Erkendi şehrin saati,
Bu da bazen kardır gece.
Greetings o gleaming city!
At this time the square's lonely,
Because I see no person,
The streets are dried rivers.

Only a sea breeze does come,
Birds pass by from time to time,
Are the crowds at the cafes?
Only the city and God knows that.

I haven't seen the lovers,
Neither have I seen the lights,
Only a serene emptiness.

But this atmosphere was calm,
It was an early time of the city,
This is sometimes too a benefit at night.
Yulia Surya Dewi Mar 2018
Bangsa pribumi di era modern
Memaksa batin untuk jadi keren
Sudah lewat aku di zaman batu
Ku langkahkan kaki di zaman baru
Aku tidak tahu cara naik bus
Yang aku tahu adalah kursi bertikus

Oh jarak..
Jarak yang membuatku berpisah
Aku rindu suasana desa yang indah

Oh jarak..
Sampai kapankah aku gelisah
Aku gundah tidak tahu arah

Oh jarak..
Selamatkanlah aku
Selamatkan aku dari rasa putus asa

Aku takut..
Aku takut pada gedung besi berasap
Aku takut pada mesin yang berjalan
Aku takut pada benda panjang beruap

Siapakah aku disini?
Siapapun tolong bantu aku
Siapapun keluarkan aku dari sini
Siapapun tuntunlah aku

Oh Tuhanku..
Berikanlah Petunjuk-Mu
Tidak ada yang lain selain Diri-Mu
Aku disini hanya pencari Ridho-Mu


-Kediri, 19 Maret 2018-
Ruslan Oct 31
**** boy it's back you can sleep to a go,
You made picture you underdog.
Came wake cool it's o you all bi back,
You conse sleep it's the boys and the girls.

Oldandayul turgan zaman,
It's long to you are it's skull.
Tatar bulgan it's a solon,
Altotogether come back it's you.

Go mather ***** it's this a boy,
You understand in Tatarlar.
Language Tatar Altyn Urda,
It's Tamerlan it's this the me.

I'm old of skull go to tge rate,
I'm go to me my of you skin.
Going to boy old to all me,
Maiden in Russia olof you dead.

Kisses me ****** olgan zaman,
It's this Zaman in english the time.
Time it's zaman akhyr bulgan,
Akhyr it's letter go zamanda.

Hundred a letter nineteen sixteen,
Old you Tatar turgan zaman.
It's this a time colong to me,
Mi to the break you go to rate.

Ol tuyalgan it's this tatar,
Thank you my bebe olof to me.
You go the sleep old you can see,
Go to the boy wake up to go.

It's of you dead it's me a long,
You go me fix and washin go.
Oldan it's rate in tomorrow biggin,
That of you spring go to the boy.

You understand it's you go to the boy.
judy smith Feb 2016
Perhatian pria tentang mode pakaian semakin hari kian tinggi. Pria tidak lagi malu menggunakan beragam aksesoris di pakaiannya. Tidak ingin ketinggalan zaman, dan tidak ingin dibilang sebagai korban mode, jadilah mode itu sendiri.

Memperbanyak referensi mode menjadi salah satu acuan untuk bisa menentukan mode yang cocok untuk diri sendiri. Lewat gelaranfashion week salah satunya.

New York Fashion Weeks: Mens, akan kembali digelar pada 1 Februari 2016. Beberapa desainer dan pasar mode akan menampilkan koleksi musim gugur 2016, mulai 1 Februari 2016, seperti dilansir dariNew York Times.

Lebih dari 10 tahun, pertunjukan New York Men telah diselenggarakan bersama dengan pertunjukan wanita setiap Februari dan September.

Diakui oleh Presiden Council of Fashion Designers of America(CFDA), Steven Kolb, semakin maraknya New York Men Fashion Week merupakan hasil bahwa pria sekarang memiliki ketertarikan baru dalam menunjukkan dirinya sendiri kepada dunia.

"Anda bisa melihat itu, hari demi hari, di jalanan. Kami lebih menyadari bagaimana pria berbusana. Kami melihat ketertarikan luar biasa dari masyarakat umum dan industri. Kami memiliki 800 media terdaftar, termasuk media baru dan tradisional, yang ingin bergabung dengan pertunjukan ini," ujarnya.

Dalam acara mode tahunan ini, banyak desainer turut serta, tidak hanya lokal, bahkan internasional seperti desainer Korea, Jepang.

Tidak ketinggalan merek-merek favorit pria, seperti Nautica, Tommy Hilfiger, Calvin Klein, Greg Lauren yang merupakan keponakan dari Ralph Lauren, John Elliott yang membawa busana streetwear. Selain itu, beberapa peragaan tertutup, hanya untuk undangan, seperti Coach, Michael Kors, Theory.Read more at:www.marieaustralia.com/short-formal-dresses | www.marieaustralia.com/formal-dresses-2015
Selman Akıl Apr 2018
Tavus kuşu çok uzakta şimdi
postmodern bir ışık bile
            \\ değil ////

- halbuki hiç bir zaman hiç bir ^şeytan
bu kadar güzel olmamıştı -

/Sosyoloji acımasız:
          //uzak//
mitlerin yankı düzlemi
kinestesikle dudaklara uzak bir duruma kilitlendi./

(ve hem)

/Siyaset bilimi net:
Çokkültürlülük <Sıra ona gelmeden tüketildi.>
Kimlik politikaları <Ciddi mevzularda asılı kaldı.>/

- vucuduma
bir zaman
tavus kuşu dövmesi
yapmak isterdim // yapmadım.
Yine de zamanla ama
güneşin ne büyük
bir {düşünce} olduğunu kavradım. -
belki bitmedi ama şimdilik bu kadar.
Muzaffer Jul 2019
kuranın ne zaman
ve nerede çekileceğini
bilmemekle
ödüllendirildi insanoğlu..

bir kitapçıda
sayfaları çevirirken
henüz yazılmamış
bir şiirin ilk dizesi
sizi gözlerinizden kavrayıp
mısradan mısraya vurduğunda

küçük bir kıvılcımın
büyük bir yangıya
dönüşeceği olgusunu
kim bilebilir?

bu karşılıklı
elektriksel akımın
sürrealist boyutlarındaki
göz eşleşmesi
yerini dudaklara bıraktığında

kalp çarpıntınız
ve tatlı titremeler
genital üyeleri
sık sık
oturuma davet eder

bu
zaman ve mekan
mefhumundan uzak
ilahi açlığın
ilahi tasarımındaki varoluş

yaratım yasası
değiştirilmesi teklif dahi edilemez
amir hükmü olma hasebiyle,

göz
dudak
ve kalp
eşleşmesinin ardından

ay'a oranla çekim gücü
milyon ışık yılı olan
yeni bir gezegenin
ilk yapı taşlarını oluşturur

genitallerin
karşılıklı uyumu..

aşk
güven
samimiyet
ve sadakatle
parsellendiğinde,

eşleşmelerin
dünya balayı

taraflardan birinin
merkeze alınmasına
dek sürer

işte ben buna
gerçeküstü eşleşmeler diyorum
sonu -suz-olmayan
sonsuz eşleşmeler..

..
KA Poetry Oct 2017
Semalam
Lagu - lagu kuno itu aku mainkan
Seakan aku hidup di zaman victoria
Berperan rapih, layaknya seorang bangsawan.

Menunggu
Menyambut dirimu yang kupanggil “Lady”
Nona berparas cantik
Pula berdarah biru

Seorang putri di umum
Seorang ratu di hati
Berdansa ditengah Ballroom
Membuat malam ini milik kita berdua

Mimpi yang indah !
12/10/2017 | 13.02 | Indonesia
Muzaffer Aug 2019
parfümlü
tanıtımın büyüsüne ilişik
birkaç fotoğraf kafi
fiyat konuşmak için
aşikare
kaça veriyorsun? demek
büyük küstahlık
o nedenle
yol, yordam biliyor
istismara gebe aşk..

şartname
kibar ve
yüzüne bakılır olmalı
hele de
kültür mutfağı..
döktürmeli gözler
söz söze gelince..

aperatif
ve sıcaklar neyse de
bak, bu tatlı
fecii derece önem arzediyor
diz dize gerilince

cüzdan
kalınlığında olmalı
kıkırdak yapı
ki
incir,
çuvalında
fresh’liği muhafaza edebilsin
bünyeye göre birkaç zaman

porsche’*** tabakta
kadın budu köfte kimi
kimi bir simit, çaya tav
kimi,
bütün STK’ları tarar
umurundaymış gibi aşk
kıçını poh pohla dur
7/21 durmadan..

ego’ya bağlanıyor
şüphesiz yollar
hırs ve ihtiras
boklu bir kalemde aranıyor
endorfin çoğu zaman
işbu raddeye gelince
gol değeri kazanmıyor
bacak arası atılan aşk

bir heykeltraş niçin aldatılır
ya da
bir ressam
ya, bir operetse kurban
veya şiir adı altında
mektup yazan

foseptikten farkı yok
sanal kerhanelerin mirim
kaç delikanlı çıkarmış
bir kadını çukurdan..

..
Badee Uz Zaman Dec 2016
He stretched his alienated existence
Under the embellished blanket of a calm night
But sleep rejected to embrace his weariness,
Instead handed him over
To the Imperial clutches of insomnia
And his frustrated gazes wandered
To chat with the desolations of night.
Nothing in the night was appealing
Apart from the elegance of bright moon
Shining, miles away like a new hope
On the horizon of his melancholy.
He secretly whispered to her
The reasons of his despondency
And like every other beautiful creature
The callous moon denied him sanctuary
And responded by hiding herself
Beneath the the layer of ominous clouds.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Jan 2017
The nations of the world,
Delinquented by;
The cheapest wine
Of modern democracy,
Chant the slogans of
Equality, liberty and fraternity
But, when this structure
Is looked through
With pragmatic prisms,
This world appears to be
An imbalanced chariot
Driven by
The forces of anarchy.
In the west you see;
The economic liberty
While the east is caught in
Hunger and poverty.
One side is packed with
Neuclear factories,
While others are fractured by
Communal armies.
The structural imbalances
Will never cease to exist
Tis constantly fueled by
The injected worms of
Racism, regionalism
And above all
Demented liberalism.

02/01/2017

© Badee Uz Zaman.
Muzaffer Feb 2019
doğuştan şanslıdır bazıları
şaplağı yer yemez
zıbından kundağa
yeşil bir ormanla tanışır
ama orada yırtıcı kediler yaşamaz
rengarenk sürüngenler de
ayaktan çeneye paradır hayat
çikolata tadında dadılar vardır
ve dil bilen rüküş mürebbiyeler
tanrı izin verse emeklemezler
yürümeden binerler porsche’ye
bazıları doğuştan şanslıdır
çünkü onlar aristokrattır
havalı kolejlere girip çıkarlar
en güzel kızlar peşindedir
"follow me"
bebeğim marka bakışların

günün birinde evlenir bazısı
hiltonda basar nikahı
açık büfe ve şampanya
şık kavalye avuçları
terler belinde kadınların
üstelik kalburüstü şarkıcı da ordadır
uzanmak için marula
çıkıp şarkısını söyler
kabzımallar kuruluna
geçmişte kalmıştır gerdek
biraz beyaz, biraz ayık
bir zaman sonra
su sesi der hayatım
acile uzanır damacana
kutsaldır sezaryenli bekleyiş
ve bir şaplak daha doğar

tam da
bazısının birikmiş kira günü
sevinç ve üzüntünün
dayanılmaz düğünü
varoluşun kelek düğümü be!
denk olmayış sorun işte
boşuna kızıyorum tanrıya
evet evet
şanslı doğar bazısı
ama öteye birşey taşıyamaz
alışkanlık işte...


Vaha
Badee Uz Zaman Jan 2017
Dear diary, today is the day-
The day of communion,
The day of impregnation,
After a series of cursed sterile nights.
So, dare not to hoist any **** excuse
To stay behind the draperies of modesty
And hide your immaculate flesh
From the ferocious tip of
My hungry dying pen.
Let your voluptuous pages
Woo the ink out of my pen
So that, its strangulated wish
To scrawl a masterpiece,
May finally get materialized
On the contours of your *****.


©Badee Uz Zaman
Muzaffer Mar 2019
hergün yazıyorsun
diyordu
*** bir iş bul kendine

seni kimse okumaz
bu saçma hikayen de
karnımızı doyurmaz

ütü işinde becerikliydi
koca götlü daphne

sürekli geriye atardı saçımı
zekamla birlikte
üzüm misali karardım
3-5 yıl

sonra kırmızı bir araba geldi
günün birinde long island’dan

kocaman gözlükleri vardı
beyaz önlüklü gergedanların

karga tulumba severmiş gibi
bileklerim bağlı
sedye
tarlasında buldum kendimi

güney
cepheden yağmur yağıyordu
ve
saat 3 yönüne dönüyorduk
her köşe başından

ve hep aynı resim
aynı dişti ağızdan fırlayan

macun reklamı olduğunu
anlamamıştım
ama sonra hatırladım tabii

süt şişesi kalınlığında hemşire
kepinden tanımıştım
kaba etime
zerk ettiğinde iğne olduğunu

sonra bana abuk sabuk
şekiller gösterdiler
gri bir odada

sürekli
soruyordu dolma burun
bu ne
bu ne
peki bu ne
ya bu ne

hep aynı
cevabı veriyordum
çaydanlık
çaydanlık!

yemekler oldukça kötüydü
beyazlar da öyle

ama dostlar
onlar prima
mc.allison vardı b blokta

acayip severdim
güvercin beslermiş o zaman
büyükçe bir parti vermiş birgün
ve kuşları zehirlemiş

down town
sheriff’i bile gelmiş düşünsene

hayli keyifli geçmiş gece
sabaha karşı herkes hastanede

40 ölü var diyordu gülerek
20 güvercinle 40 domuz vurdum

deli herhalde diyordum içimden
sahi ben neden buradayım

altıma kaçırıyordum mütemadiyen
hergün temiz çarşaf
hergün ters yüz yatak
1yıl sonra
kurul toplandı

her yerde çaydanlık resmi vardı
tuhafıma gitmiş
sormuştum bunlar ne diye

hepsi ayrı ayrı dizayn edilmiş
ve hepsi farklı keyif

köşede olana takıldı gözüm
soruları sularken

ama sürekli
o çaydanlığa bakıyordum
sonra anladım

görüyordum
çaydanlıktan
akıyordu beynime daphne

ve maalesef
yanık tütüyordu çenesi
*** iş bul
iş bul der gibi
kuzineden sarkan dili...
Badee Uz Zaman Dec 2016
Oh my callous beloved!
Fabricate an excuse
To visit;
The wretched hovel of
Your secluded lover.
Come once and watch me;
Parched are my thoughts
And bleeding are my senses.
These ominous silences
Have placed me under
The sharp blades of
Taunting apprehensions.
The Draught hit streams
Of our blazed rendezvous
Appeal the clouds of thy mercy.
Amid the dreadful darkness
Of this lamenting night
Your jubilant return is
The only ray of hope.

Will not you come ...??

© Badee Uz Zaman.
zrskii Jul 2021
Hidup dalam "zaman" baru yang terasa di dalam sangkar,
Terperangkap seperti binatang buas,
Hampir dua tahun umur dibazir untuk menatap nasib,
Imaginasi permulaan tahun baru kian terpudar,
Halus di udara menjejas kehidupan,
Manusia masih mengharap agar "kamu" terhapus.
Badee Uz Zaman Dec 2016
A commotion caused
By hideous huddle
Of feigning friends
In the bleeding Bossom
Of a limping lover
Has silently smeared
His frenzied faith
With the plagued paints
Of acute apathy.
Deceived dejected
Defamed and defeated,
He bluntly barged
Into the restricted realm
Of appealing atheism
To test the taste of
Resurrection.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Dec 2016
I've seen you,
Oh! The desolated desk of mine
Screaming in pain
Over the one sided love of
The ****** pages of that
Ill- fated diary,
Which years for one last kiss
From it's beloved pen.
The stone-hearted pen,
As you call it, has divorced them
For no reasons, you think ?
You know naught of the torment,
The pen is enduring in separation
Of it's only confidant.
You know naught of the cabal,
The merciless world conjured
To ensure it's  secret riddance
From the gloomy rendezvous.
I'm witness to the crazy howling
Which it made
In the lonesome nights
I've seen it's tip
drenched in grief, searching for
The soothing Bossom of it's love
The tale of it's agony
Is the only medal,
The guardians of love have gifted him.
The pen is innocent and so is it's love,
But the pitiless world will understand naught
The desire of the pages and
The helplessness of the pen
So let them suffer, it's their fate.

© Badee Uz Zaman.
Badee Uz Zaman Dec 2016
Let me make this promise fickle
To entomb my complaints morbid
In the impregnable dustbins of
Some anonymous corridors.
Let you invent thousand excuses
To conceal thy wishes ruptured.
Let you deny those eyes scorched
Even the clues of beads priced.
Let's suffer silently in this night
The exultant rays will shine again
Let the swing of time be the Messiah
It will cause our emotions to rise again.

©  Badee Uz Zaman
Muzaffer Mar 2019
rem yeri
mağduruyum uzun zamandır
imarlı ifrazlı
hatta
ifrazatlı uykularım var
geçer diyor mütehassıs
saatleri geçirme
bir poşet leblebi yazıyor rengarenk
otanı için depresif günlere
koridor...
dar ve loş
ne güzel de bakmış o yıllar
susçu cazibe
kreşondo çakıp durdu
yüzdü denizlerimde

su dalgası
perma
küt

hepsi içimde
kalıcı yaralar gibi
devşiriyor her defasında
yeni bir kesiğe
son geyşa da gitti
şeyla bakıyorum maziye
dün de
kalsa da dikiş izi
sırıtıp
tepemi attırıyor
makas unutuyor kimi
ölmezsem bir ümit sözde

ama geçti bor’un festivali
woodstock gündem’de
eski kayıtlara bakıyorum
jimmy esrarla sahnede
ama tırmalamıyor kulağı
üflüyor sadece
kim anıyor beni bilmem
belki hapın etkisinde
yürüyorum

yollar buz
başım kel
gözüm perde

ne zaman kliniğe gelsem
kayıp oluyorum bu evrende
akşam soğuk bir odam var
bir mum, biraz meze
bir de şarap olur mutlaka
gülümser plaktan zeki
göçerim hayallere

yakışıklı ölümdür tek arzum
şişmeden kafa, gövde

uzatırlar bir şarkıya kefeni
usulca girerim içine...
Muzaffer Apr 2019
özenti mi
dünyanın dört bir yanından kuş uçurmak
ya da
yakan top oynamak şükran günü
hindi çığlığında

clark çeksem uzaktan
öpsem vaftizli dudağını mona’nın

ne çıkar tango
yahut çiftetelli oynasam

kime ne
odun beline sarılsam şefika’nın

ben benimdir, ben’imdir şiir
ama ben değil, sanat evrenseldir

victor’un
hüzzam şarkısı sefiller

tolstoy’un
geçimsiz oğulları
savaş ve barış

hatta
da vinci’den
çekici vince kadar
yazılabilir

yazabilirim
paco de lucia’yı
yılmaz güney
leyla gencer’i

ve
phuket caddelerinde
karahindiba olduğumu
zeytin yağlı sarmaya
bar hesabı yüzünden
ayıp mı

suç mu
yazsam yırt kazım’ı
ki
yazmışlığım vardır,
mala vurmaya geldim’i
buharlı mevsimin
puslu geçitlerinde

lâkin biraz büyüdüm galiba
büyüydüm bi zaman yani
harcandım sonra
fakat, istikrar göklerde
göklerse mısraların
tarçınlı tavuk göğsü..

ve otobanda uçuşan
mavi, beyaz,
turuncu arabalar
eskitirken günü örsümde
baraquda gibi
göz kırpmayı özlüyorum
wise’ın gülen gözlerinde...
Badee Uz Zaman Dec 2016
REPOST:::

Oh the imperious whiffs
of this nefarious breeze

dare not to enter
the somber chambers
of my wretched heart

for this decorous sufferer
is drenched in sobs
packed with
limping complaints
inscribed
on its strewn crimson walls
lend them no passage out

let obscurity grasp them
in merciless clutches
until my soul
divorces my body
forever

© Badee Uz Zaman
ne zaman yunanca bir ezgi dolansa kulaklarımda
aklım utanmadan sana gider
çok üzgünüm sevgilim
seni tanımadan geçirdiğim yıllara
ama daha çok üzgünüm
seni bulacağımı sanarak boşa harcadığım zamanlara
dudaktan dudağa
kucaktan kucağa
dolanarak
senin izini aradığıma
çok pişmanım sevgilim
seni tanımadan geçirdiğim yıllara
ama daha çok pişmanım
aşktan gözümün kör olup
beni böyle sokaklarda
seni aramaya muhtaç bırakacağına
farkında olmadığıma
Badee Uz Zaman Dec 2016
If a nation suppressed
For centuries together
Will discover the potential
Disguised in their resilience,
The surrendered hopes of
This nation tormented
Will be resuscitated
In their darkest hour.
Break not the silences
And let them escape not
The ominous dungeons
Of enforced anarchy.
It's better to watch them
From a distance safer
And ensure their slavery
Lives for ever.
So let not me speak
The despondency of my heart
And abide by this principle
Some words are bound
To remain unsaid.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Dec 2016
Blessed is he;
To have around
A magical circle
Of selfless friends
Or should I call his well-wishers!
They rightly have scolded him
For being a cliché
And boring the audience
With the pangs of his unrequited love.
He then tried to explore
Opportunities afresh
And liberated his imaginations
From the shackles of morbidly.
He appealed to the nature
To offer his wandering eyes
Those springs of beauty
Where the bluntness of his wits
Could get some sharpening
But the nature was busy
And turned him down with a cold heart.
Then he tried to focus on
The bruises of aggression
Printed on the landscape
of his unfortunate motherland.
The attack on her chastity
Had left on on her soul
The marks of deep scars
To be discerned by his decayed mind.
He gave up the idea and returned with
Defeated looks and broken zeal.

#I_quit

© Badee Uz Zaman
Muzaffer Oct 2019
arz-ı podyum
etmeyi özledim dudak kıvrımında Emma

volta atmayı
aşağı yukarı
sağdan sola, soldan gerdana

gergedan burcuna aitmiş gibi
dolaşmayı zodyak kıyısında

sallanmayı mesela terazide bi süre
düşsem de kovaya yüksünmem
düşünselliğin asil dükalığında

Yorkshire sembolik olsa da
boyunbağı sıkınca nefes alamıyor
rengarenk ölüyor insan
iki yaka arasında

Westside değil şüphesiz
Bestside şüpheliyim tren garında

oysa
eşleşmiyor mor yüzler
yanımdan gelip geçerken

mütemadiyen ümitliyim yine de
elevermek istemiyorum kendimi

o yüzden elimde eski bir mecmua
karanfil klasik olur düşüncesi işte
afili bir mendil yakamda

ama neden gelmez bu trend
zaman bozduruyor müstakbel raylara

yeni değil
kendimi kandırmak farkındayım

fakat olağan şüpheli olduğum kesin

işte bu veçhile
tüm kompartıman rehine ağzımda

ya da
bir meczubum aşktan muzdarip
delilik trend garında..
Badee Uz Zaman Dec 2016
The sunset today was clear and nostalgic
Accompanied by,
The fragrances of exultant days;
When I used to savour it's beauty
In the salubrious environs of "Dal lake".
When my lassitude was incised by;
The sharp blades of tender grass
Surrounding the soothing fountains
In the lush green parks of  "Nishat garden".
When the unruffled splashes of  breeze
Coming from the dense deodars,
Nailed on the chest of "Zabarwan",
Purged my soul of its exertion.
Then arrived that ugly moment,
When the shine of a beautiful face
Crushed my reason to guided my steps
Into the kingdom of tyrannical love.
The sanative breezes were replaced by
The howling of unruly storm
Which ferried with it the messages of
Butchering days and desolate nights.
Oh the last shades of sulked sun!
Will you rise again on my horizon?
I am now holding my last breath
To meet my life one more time.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Dec 2016
The castle of his dreams,
Erected on an illusive plinth,
Designed by the deceptions of love
Was struck by a bolt inauspicious.
The calamity reduced his castle to a debris
And squeezed every drop of jubilation
Out of his audacious heart.
His life is now brimmed with
The shades of unspeakable grief;
With his every faculty choked,
He resolved to vent his horrors
On a sheet of untainted paper.
He fueled his pen with the blood of his veins
And scribble some aching elegies
In memory of his mortified love
And in anticipation of lasting respite.
But to his plight, Aah!
The malevolent world of lovers,
Drenched in their own pangs,
Haunt solace in the beauty of his verses.
The maimed lover displays to the world,
The brusies of his punctured heart,
The world hurls back praises galore
For his unique styles and screeching verses.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Dec 2016
Oh! the pride of my destitution;
With folded hands I implore,
the dead mercy in thee;
Stay a bit longer, don't go.

Don't go before my impudence
Narrates you the torture,
Your devotee has suffered
In absence of thy compassion.

The nostalgic reverberations
Painted the silhouette of
My empty silent nights,
With the brushes of insomnia.

The growling of first breeze
With the breaking of dawn,
Reminded me of those looks
The tantalising world was about to hurl.

Will you silently survive,
The excruciation of my day?
Maybe you're too anxious
But my vocals are tired.

© Badee Uz Zaman
Badee Uz Zaman Dec 2016
Bewitching was the night,
And resplendent its favour
It brought me your sculpture,
In my midnight's dream.

My  Aphrodite! you looked,
Brighter than the moon
As you brushed the tresses ,
Away from your face.

Witching were the effects,
Of your aberrant  presence
My soul offered an ablution,
With the wafts of tranquility.

The serenity soon vanished,
When I asked for your hand
But you offered me a look,
Of an infuriated goddess.

My dreamland got stained,
With the colours of gloom
Divine was your clemency
And insolent my infidelity.

I should never have dared,
To beseech your hand
Into the cursed realm of
My unending ignominy.

©Badee Uz Zaman
zaman hassan Oct 2014
I was lost
but now im here
hiding in the shadows full of fear
running in the dark can not breath
i maybe home
but i can not see
but then a light came
oh so beautiful
those eyes that smile
lighten the room
they show me my future
is it death
no it is love

- zaman hassan
Muzaffer Feb 2019
I

uzakta
çocukluğumun çitlenbik sesleri
bir zıvananın ucunda
kaçıyoruz
bekçinin ayak sesinden tıknefes
ilmek ilmek sökülüyor korku
Pierre’den Eyüp’e vardığımda
büyük bir yumağa dönüşüyor
patlangıç günlerim

II

uzak
lise çağımın devrimci türküleri
derdest edildi
coplandı integral
bıyıklı polis tarafından
kokusundan mı bilmem
almazdık kaçan topu Haliçten


III

uzak artık
Kapalıçarşı’da hanutçu sesleri
kebaplara sinmiş cızır cızır
Astarcı han öğle vakti
samanlar içinde yorgun düşmüşüm
karşımda kız arkadaşım Jennifer
kahvem orta endişeli
gazozda asit olmak istiyorum
her yudumladığında
uçak saati yaklaşıyor
tuhaf bir ağrı göğsümde
gidecek zaman dönmemek üzere
biliyorum
sancı dinsin istemiyorum

uzak şimdi uzak
çok daha uzak
umutlarım...


Vaha
Badee Uz Zaman Dec 2016
The reminisces of golden days
Will never cease to reverberate;
They will strangulate his silences,
And exasperate his afflictions.
In the hollow tunnel of his imaginations,
They will sprinkle scents of mortifications.
The parched cracks on his lips,
Will receive the rains of insinuations.
His crimson eyes will be shaded with
The opaque pigment of humiliations.
His recluse world will be linked with,
Pangs, pains and penitence.

© Badee Uz Zaman.
Badee Uz Zaman Dec 2016
I meet my shadow in the deepening shade,
To live the moment of surprising glory;
When my gloom was incised eternally
I will be telling you my love story.
The jubilant lyrics of affection
Were played by the evening breeze,
In the backyard of my dark house
Shadowed the tones of melancholy.
The mellifluous chores of "cuckoo"
Intensified the decorations
And there entered my seraphic beloved,
To resuscitate my dying buoyancy.
My consternations divorced my hem
When the amiable gazes kissed my cheeks
Those serpentine tresses prepared a shade
Where my cauterised heart found solace.

© Badee Uz Zaman

— The End —