Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Dec 2011
Palembang, 18 Desember 2011

Ku tak ingat pertama kali aku membuka mata tuk melihat dunia
Yang ku ingat aku hidup bersama keluarga kecil yang bahagia

Semasa hidup dunia tak pernah berubah
7 samudera, 7 benua
Tetap
Bukti kecintaan Sang Pencipta kepada manusia

Cinta itu penipu
Bisa berperan menjadi apa saja dan siapapun

Ombak di laut lepas, itulah cinta
Sinar mentari pagi, itulah cinta
Tetes embun pagi, itulah cinta
Dingin angin malam, itulah cinta


Cinta itu tirta
Sama seperti air, tak dapat disentuh, hanya bisa dirasakan

Cinta itu air sungai yang mengalir
Cinta itu jalanan berkelok di pegunungan
Cinta itu pepohonan di kaki gunung
Cinta itu butiran pasir di Sahara

Cinta mampu hidup di mana saja
Bak parasit yang mengikuti kemana manusia

Cinta itu suci di Mekkah
Cinta itu tinggi di Everest
Cinta itu luas di Pasifik
Cinta itu dingin di Antartika

Namun terkadang cinta bisa menjadi liar
Tak mau disentuh, pantang diucap

Cinta bagaikan Viranha di Amazon
Bagaikan Voldemort, The Dark Lord
Bagaikan Troll di pedalaman
Bagaikan kota hilang di Peru
Cinta bagaikan mumi di Mesir
Bagaikan terowongan di Jalur Gaza
Bagaikan Titanic yang tenggelam
Bagaikan laut mati di Yugoslavia

Aku merenung,, diam
Memandang jam,, terus berdetak
Ku akan tinggal di Laguna indah
Jauh dari semua,, jauh dari cinta
Aridea P Nov 2011
Palembang, 3 November

Masih ingat ku di usia muda
Saat ku dikelilingi ruang hampa
Jari tetap menggoreskan tinta
Hati tetap menerawang asa

Di hati terdalam terselip doa indah
Permohonan gadis kecil yang kesepian
Aku berdoa tapi terus bekerja
Sendirian.. Tak ada seorangpun di sekitar

Merasa orang biasa tak kan mengerti
Susah pun tuk diungkap
Tak mampi lagi berucap
Malu pun yang ada di setiap kata

Berjanji kepada Tuhan
Akan berbuat baik jika diberi teman
Tipe yang langsung mengerti akan keadaan
Dan tak harus ku ucap lagi tuk Dia dengarkan

Bisa ku dengar semua sunyi
Ada kejutan dibalik kesunyian-Nya
Akan selalu ku nanti Soulmate Aridea
Hingga Tuhan percaya aku akan membutuhkannya


Created by. Aridea Purple a.k.a Erika Maya W Handoko
Joshua Soesanto Jun 2014
sajak yang terulang
semua terlihat sama
balkon di pagi hari dengan kopi kita
bercengkerama lepas kata

rasa manis tanpa gula terasa
kita masih tetap bertukar kisah
dari hulu ke hilir tanpa derasnya alur
kita masih tetap saling menghibur

akan ada waktu
waktu di antara batas cemburu dan kerelaan
menerima kenyataan
sebagai buah resonansi pengakuan

kamu selalu bisa menerjemahkan
rasa yang tak sempat singgah
sederet sajak demi sajak, aku begah
kapan terhenti?
terhenti saat di culik damai
pertanda bahwa jiwa kita pergi
kata itu diam
sediam damai itu sendiri

langit biru mendayu
tapi mata ini semu
hanya bayangan perlahan melayu
haru..
karena tak sempat menyentuhmu

hanya memaksa sumpah
menanak lelah
meminum darah
sedikit sengatan lebah, aku pun rebah
terbangun, lalu ingat
ternyata ada..ya..ada
seikat warna yang tak pernah kita miliki

ternyata kau pun tahu, aku menunggu
dari balik pohon tua di seberang sungai
"tunggu sajalah, sampai lumut memakan dinding waktu"
abu-abu, karena takut jatuh hati

kamu di bawa pergi seorang tuan
dengan kapal bernama masa lalu
sedangkan aku disini
diam-diam menyulam awan menjadi kamu

jika kamu
di antara damai dan terang
aku rela menyembunyikan bintang
aku rela menyembunyikan mentari
aku rela menyandera damai semesta
karena kamu keajaiban
yang aku panggil dalam percakapan bisu
tanpa suara

sejauh perjalanan mata dan hati
aku pun pergi
tak sempat menoleh kebelakang
hanya menitipkan pesan tak harap balasan

semoga harimu bermuara pada kesederhanaan
sesederhana tuhan menaruh cinta baru tiap pagi
sesederhana embun pada dedadunan
sesederhana matahari..
indah dan jatuh begitu eloknya
sesederhana..
sesederhana..

kamu apa adanya.
Dustin Tebbutt - The Breach #Nowplaying #Tracklist
coffee jelly Apr 2021
Kebebasan.
Semua orang mencarinya.
Tapi, apa kebebasan yang kita inginkan benar-benar ada?
Sesuatu yang ingin kita lakukan tentu memiliki batasnya, kan?
Tidak semua hal yang ingin kita lakukan bisa terjadi.
Jadi, apa definisi kebebasan itu?
Kenapa semua orang mencarinya?

Ini mengingatkanku kepada seorang kenalan, yang sangat bebas. Aku sangat kagum padanya. Dia selalu melakukan apapun yang dia inginkan, dia orang yang sangat ceria dan tidak takut dengan apapun dan siapapun. Saat ini, dia sedang mencari kebebasannya. Dia juga orang yang mengajariku agar hidup tanpa penyelesaian.

Untuk melihat "dia" mencapai kebebasan tersebut, tentu aku harus tetap hidup dan mencari kebebasanku sendiri, kan?
Dia alasanku tersenyum setiap hari
Atta Apr 2020
lanjutan dari cerita itu, tidak mungkin bahagia

-----

          setelah desember itu, aku tidak pernah berharap lagi
obrolan putih hari itu membuka matamu
obsesi di matamu meredup, sudah tidak ada binar
perlahan memetakan adnan dalam redup
,
           mungkin salahku untuk itu
andai saat itu semua tambo aku tampung
kebas hati saat itu untuk temurun
ujaranku delusi, kamu mengakui

tergusur semua perasaanku
enggan berpindah, memaksakan dengan angan yang indah
rasa sekujur tubuh seperti sudah lepas dari nyawa
gagu untuk mengatakan sebenarnya
andai semua perasaan tetap terkunci pada tempatnya
nafsu dan akal pun mungkin berelegi
gempar, terbanjiri air mata yang tidak ada gunanya
gusar, tidak mau menangkap realita
uzur sudah jantungku

-----

dan untuk semua awalan, aku sungguh minta maaf sudah menganggumu
dari semua kata, tidak ada yang mampu menggambarkan kehancuran total yang kubuat


ditempatmu padang rumput berubah menjadi padi hijau
ditempatku menjadi gurun tandus
dua itu tidak akan menyatukan yang beda
hehe gpp sih
Aridea P Oct 2011
Biar ku sendiri
Ku rela semua hilang
Dari pada ku sakiti
Biar aku yang menderita

Lirik indah idolaku
Cukup sejuk melindungi aku
Dari panas ocehan semua
Atas salah ku kepada mereka

Ku tutupkah mulut ini
Agar sepatah kata menyakiti
Tertahan bahkan mati

Haruskah ku sendiri
Memang tiada teman untuk ku
YAng baik dan mengerti
Kekurangan pada diri ini

Jika memang tidak ada
Ku siap hidup sendiri
Dengan merantau ke pulau seberang
Ku jalani hidup yang tenang

Created by Aridea Purple
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Fahali Machi Mar 2012
sekali kau berbicara jujur mereka akan mematahkan hati mu.

jangan pernah melihat mata mereka,

karena akan membuat perasaanmu tercabikcabik

ku rekomendasikan kau tuk jaga jarak,

karena sekali kau dapat, kau hilang kontrol. jangan pernah jatuh cinta,

simpan di lubang kesepianmu

yang dalam

ambillah pengalaman bahwa bertindak depresi adalah konyol.

jangan pernah berbicara jujur.

jangan pernah.

karena seseorang yang kau cintai akan berbuat yang sama kepadamu.

kalau mereka melepas tanganmu,

dan menjatuhkan mu,

dan kau jatuh…

kau hanya berakhir untuk berpura-pura kepada semua orang

bahwa semua tidak pernah terjadi apa-apa..

kau tahu….kadang..

tawa tersedih adalah yang terkeras.
Zien Kartika Jul 2014
Dear Nakama...
      Kau tenang saja, mulai sekarang aku tak kan marah, kesal, sedih, cemburu, iri, ataupun jengkel saat kau berhubungan dengan Dia. Aku tak apa-apa. J

Dear Nakama...
      Sekarang, kau bisa melakukan apa saja sesuka hatimu padanya. Toh, Aku sudah melupakan semua perasaan itu, Aku sudah bisa bangkit dari keterpurukan ini. Jadi, tak ada lagi alasan untuk mu menjauhkan?

Dear Nakama...
      Aku merindukanmu, Tak ingin melihat kau seperti ini, mengapa kau seperti ini? L

Dear Nakama...
      Bukankah, kita sudah saling berjanji takkan pernah saling menyakiti,  akan terus menghubungi dan jangan sampai hilang hubungan? Dan sekarang, Aku ingin menagih janji itu...

Dear Nakama...
      Aku di sini sedang sedih. Tapi semoga, Kau baik-baik saja...

Dear Nakama...
      Apakah aku tidak boleh mengetahui keadaanmu? Tapi, bukankah itu suatu hal yang wajar di antara hubungan persahabatan? Aku tak mau kehilangan “TEMANKU”, aku tak mau kehilangan “SAHABATKU”, dan Aku tak mau kehilangan “KAKAKKU”...  :’(

Dear Nakama...
      Selama ini hanya Kau orang yang bisa mengerti Aku, mempercayaiku, dan menyayangiku dengan setulus hati. Akupun Selalu berusaha agar bisa menjadi seperti itu...

Dear Nakama...
      Setiap hari aku menimbun sedih, menyembunyikan sakit, menampung rindu, menabung kekecewaan, mengumpulkan kegelisahan, dan terus menelan air mata hanya untukmu...

Dear Nakama...
      Pandanganku kabur, pergerakanku kaku, kakiku lesu, tanganku beku, lidahku kelu, air mata terus jatuh, dan sesaat aku merasa duniaku runtuh ketika mengetahui kau sedang berusaha menjauh...

Dear Nakama...
      Apa yang harus ku lakukan agar kau mau kembali seperti dulu? Saat-saat di mana Aku belum mengenalnya, saat-saat di mana aku masih menjadi gadis kecil yang polos dan tidak mengenal cinta, saat-saat di mana kita sering berbincang tentang kartun kesukaan kita!

Dear Nakama...
      Aku minta maaf, jelas-jelas ini salahku. Dan bodohnya lagi, Aku baru menyadarinya sekarang. Maafkan Aku jika Aku melakukan kesalahan yang membuatmu tersakiti. Kesalahan yang di sengaja maupun tidak di sengaja...
Semoga kau berkenan untuk memaafkanku...
Sahabatmu : Haruna J
Gue gak tau nakama itu siapa (/////_////)
Alvian Eleven Dec 2024
Setiap hari kubuka Tiktok.
Selalu kulihat banyak video.
Terus diposting orang orang Gaza.
Bercampur antara duka lara dan suka cita.

Anas sang jurnalis di Jabalia.
Menyiarkan berita bombardir pesawat jet.
Menghancurkan rumah dan sekolah.
Mayat anak anak tergeletak dimana mana.

Hamada sang juru masak di Khan Yunis.
Bersemangat memasak shawarma ayam.
Lalu dia membagikan untuk anak anak.
Mereka tertawa gembira bisa makan enak.

Motasem sang jurnalis di Beit Lahia.
Mendatangi beberapa tenda pengungsi.
Anak anak di dalam tenda tenda itu.
Semuanya kurus kering kelaparan.

Mona sang relawan di Al Mawasi.
Sibuk membagikan bahan bahan kebutuhan.
Beras , tepung , minyak , gula , mie.
Para pengungsi senang menerimanya.

Bisan sang jurnalis di Al Maghazi.
Bertemu banyak rombongan pengungsi.
Mereka kelelahan berjalan jauh.
Sandal dan sepatu mereka sobek semua.

Tito sang badut di Gaza Utara.
Selalu enerjik menghibur anak anak.
Bermain , bernyanyi , berjoget.
Tertawa gembira bersama sama.

Dr Mohammed di rumah sakit Kamal Adwan.
Merasa kelelahan dan ketakutan.
Sendirian mengurusi orang orang terluka.
Sementara rekan rekannya ditangkap semua.

Said sang relawan di Al Nuseirat.
Tanpa lelah memasang tenda tenda.
Memasak makanan dan membagikan barang.
Untuk pengungsi yang terlantar.

Saleh sang jurnalis di Khan Yunis.
Menemukan anak lelaki saat tengah malam.
Menangis sendirian di kuburan ibunya.
Tidak mau kembali ke tenda hingga pagi tiba.

Dahlan sang relawan di Deir El Balah.
Mengadakan acara nonton kartun bersama.
Anak anak berkumpul dan merasa gembira.
Nonton kartun sambil makan popcorn.

Ahmed sang jurnalis di Al Nuseirat.
Merasa kasihan melihat anak anak di dalam tenda.
Mereka kepanasan saat siang terik.
Dan kebanjiran saat hujan deras.

Samaa sang gadis pemain biola di Tel El Hawa.
Duduk di bawah pohon sambil memainkan biola.
Anak anak yang melihatnya tampak tenang.
Terlarut melupakan semua penderitaan.

Youmna sang jurnalis di Shujaiya.
Bertemu anak anak yang terlantar.
Mereka memungut makanan dari sampah.
Dan meminum air dari comberan.

Alaa sang tukang cukur di Al Nuseirat.
Mencukur rambut orang orang tanpa bayaran.
Dia cukup senang mendapat sedikit imbalan.
Rokok , roti , kopi atau ucapan terima kasih.

Hossam sang jurnalis di stadion Yarmouk.
Meliput banyak pengungsi yang berdatangan.
Mereka kelelahan , kelaparan , kehausan.
Terlantar tak punya tenda.

Renad sang gadis cilik di Deir El Balah.
Selalu ceria memasak berbagai makanan.
Dia memasak maqluba tanpa ayam.
Harga ayam naik tinggi tak terbeli.

Doaa sang jurnalis di rumah sakit Al Nasser.
Mengunjungi anak anak yang terluka.
Ada yang tangan dan kakinya buntung.
Ada yang kulitnya mengelupas terkena fosfor.

Israa sang guru di Al Bureij.
Mengajak rekan rekannya membuka tenda sekolah.
Mereka memberi alat menulis dan menggambar.
Anak anak senang bisa sekolah lagi.

Hind sang jurnalis di rumah sakit Al Aqsa.
Menyiarkan berita yang mengerikan.
Tenda tenda di sekitarnya hancur berantakan.
Terbakar terkena bombardir pesawat jet.

Samih sang pemuda pemain oud di Deir El Balah.
Penuh semangat bernyanyi sambil memainkan oud.
Sementara teman temannya lincah menari dabke.
Menghibur orang orang yang mengungsi.

Samara sang jurnalis di Al Zaitun.
Mendatangi tenda tenda para pengungsi.
Banyak anak anak yang kulitnya gatal.
Penuh borok dirubungi lalat.

Abdullah sang petani di Khan Yunis.
Nekat menyelinap kembali ke kebunnya.
Agar dia bisa memanen sekarung buah olive.
Cukup untuk dibagi para pengungsi.

Faiz sang jurnalis di Rafah.
Meliput jalanan yang sepi.
Tak ada apapun selain mayat mayat berlumuran darah.
Tewas bergelimpangan diserang quadcopter.

Hassan sang dosen di Al Rimal.
Tanpa lelah melakukan kuliah online.
Para mahasiswa bersemangat melanjutkan kuliah.
Tak peduli dengan kekacauan , kesulitan dan keterbatasan.

Mahmoud sang jurnalis di Shujaiya.
Menutup hidungnya sambil melakukan liputan.
Mayat mayat membusuk menjadi tulang belulang.
Dimakan anjing anjing liar yang kelaparan.

Abdallah sang relawan di Deir El Balah.
Sibuk mengurusi banyak kucing liar.
Dia mengobati dan memberi makan.
Lalu membelai belai dan bermain main.

  Mousa sang penyelamat sipil di Beit Hanoun.
Merasa putus asa tidak bisa menolong.
Orang orang yang terluka tertimpa bangunan.
Merintih rintih kesakitan menunggu kematian.

Fadi sang relawan di Al Maghazi.
Terus bergerak bersama rekan rekannya.
Mereka memasang solar panel , mengebor sumur dan membuat.
Para pengungsi memuji kerja keras mereka.

Yousef sang petugas medis di rumah sakit Al Quds.
Merasa ketakutan naik ambulance.
Drone pengebom terus mengejar.
Meledakkan jalanan yang dilewati.

Menna sang pelukis di Al Shati.
Menyuruh anak anak untuk mengantri.
Sementara dia melukis wajah mereka satu persatu.
Lukisan semangka , Handala dan bendera Palestina.

Nofal sang jurnalis di Shujaiya.
Mewawancarai seorang pria kurus penuh luka.
Pria itu baru saja dibebaskan dari penjara.
Terus disiksa hingga mengalami trauma.

Maha sang jurnalis di Deir El Balah.
Bersantai di pantai sambil memandangi senja.
Sementara anak anak muda di sekitarnya.
Penuh semangat bermain sepakbola.

Naji sang sopir taxi di kota Gaza.
Menyetir mobilnya pelan pelan sambil menangis.
Dia sedih melihat seluruh kotanya hancur lebur.
Tak ada yang tersisa selain puing puing reruntuhan.

Fatema sang relawan di Al Shati.
Berkumpul bersama anak anak perempuan di tenda besar.
Mereka duduk di tikar sambil membaca ayat ayat Al Quran.
Terdengar merdu hingga meneguhkan keimanan.

Ouda sang jurnalis di Jabalia.
Bertemu seorang pria yang naik kereta keledai pelan pelan.
kereta keledai itu mengangkut mayat anak anak yang berlumuran darah.
Ada yang kepalanya pecah , ada yang perutnya hancur.

Nour sang jurnalis di kota Gaza.
Tertawa senang melihat anak anak muda di sekitarnya.
Mereka bermain parkour melompati puing puing reruntuhan.
Lalu mengibarkan bendera Palestina di atas atap yang hampir roboh.

Khaled sang jurnalis di Beit Hanoun.
Tergesa gesa meliput pengeboman drone di jalanan.
Ledakan bom menghancurkan mobil hingga ringsek.
Orang orang di dalam mobil tewas mengenaskan berlumuran darah.

Ashraf sang insinyur elektronik di Al Nuseirat.
Tampak senang memamerkan barang barang buatannya.
Kipas angin , lampu meja , charger ponsel hingga kulkas.
Semuanya dibuat dengan rongsokan yang dia temukan.

Lubna sang jurnalis di rumah sakit Al Shifa.
Meliput kengerian setelah pembantaian massal.
Ratusan mayat membusuk bergelimpangan dimana mana.
Semuanya hancur tak berbentuk setelah dilindas tank dan buldoser.

Firas sang relawan di Al Bureij.
Naik truk bersama rekan rekannya ke tempat pengungsian.
Begitu tiba mereka langsung membagikan sepatu , mantel dan jaket tebal.
Anak anak senang tak lagi kedinginan.

Jumana sang janda di Al Mawasi.
Menangis teringat suaminya yang tewas tertembak quadcopter.
Dia juga lelah berusaha bertahan hidup tanpa suaminya.
Sementara anak anaknya masih kecil semua.

Rami sang pemuda kreatif di Al Nuseirat.
Mengumpulkan banyak kardus bekas dari tempat sampah.
Setelah itu dia membuat beraneka mainan kardus untuk anak anak.
Mobil mobilan , motor motoran , kapal kapalan dan lainnya.

Wedad sang gadis remaja di Al Mawasi.
Termenung sedih sambil memegang kunci tua dan kunci baru.
Kunci tua itu milik neneknya yang terusir dari rumah sejak 1948.
Kunci baru itu miliknya sendiri yang terus dibawa setelah rumahnya dihancurkan.

Mosab sang pelukis mural di Rafah.
Membawa banyak peralatan lukis dan cat beraneka warna.
Dengan penuh semangat dia melukis mural di reruntuhan tembok yang lebar.
Yang dia lukis adalah sosok Handala sedang makan semangka.

Dokter Ayaz di rumah sakit Al Awda.
Menangis melihat bayi bayi prematur yang tidur dalam inkubator.
Tak ada kiriman bahan bakar untuk terus menyalakan listrik yang hampir padam.
Bayi bayi prematur itu akan segera mati satu persatu.

Aboud sang pemuda kreatif di Al Maghazi.
Mengajak anak anak membuat layangan besar bendera Palestina.
Lalu mereka menerbangkan layangan besar itu di tepi pantai.
Siapapun yang melihatnya merasa masih punya harapan.

Duka lara yang dialami orang orang Gaza masih terus berlanjut.
Tapi orang orang Gaza masih terus melanjutkan suka cita.
Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan.
Menikmati apapun yang masih bisa dinikmati.


November 2024

By Alvian Eleven
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Alia Ruray Nov 2014
Hidup dengan segala problematikanya
sejenak senang sejenak tenang
sejenak buram sejenak suram

Matahari bawaku cahaya
Tapi aku kepanasan
Hijab bawaku perlindungan
Tapi aku tertutup
Pohon bawaku udara
Tapi aku tumbangkan untuk wi-fi
Ini baik tapi ini buruk.

Lalu hadir kerutan ditengah keningku
Melengkapi lipatan hitam mata ini
Hasil semua akar-akar pikiran
Bola matapun sekarang berfilter

Kuingat mawar pemberiannya
Gambar persembahan mereka
Seluruh tumpahan merah muda itu
Tapi tetap saja kabut dari belakang datang
Ia bersembunyi hanya tuk muncul kembali
-
-
-
Mengapa begini?
Terlalu banyak tapi
Mengindahkan kebingungan
Terbawa kelelahan
Hana Jul 2016
kiranya semua cintaku yang tak terbantahkan ini tak luber, keluar dari hatiku ke lidahku yang busuk ini

kiranya telingamu tak mendengar dan hatimu tak merasakan cinta ini

kiranya aku bisa menyimpan ini sendirian, dalam tangisan nelangsa sebelum tidur yang mengoyak kepalaku

kiranya lautan menelanku jika ada saat dimana kau mengerti semua yang kupendam dalam ini
ya, semoga ya.
Aridea P Jan 2012
Dari manakah cinta itu?
Tak ada yang bisa menjawab
Untuk apa ada cinta?
Semua telah terjawab

Bagaimana kalu tak ada cinta?
Akankah aku lahir?
Akankah kamu lahir?

Jadi, telah jelas
Semua hal,mengandung cinta
EVewritesss Aug 2018
Kala malam sudah semakin gelap
Sinar bintang mulai berbinar
Kepala terangkat membelalak langit yang kian lungai berkedip kedip

Ada malam yang aku rasa masih terang karena lampu taman
Gelap masih sembunyi berselisih paham dengan cahaya listrik

Ada senja juga yang kadang sulit kutemukan
Jujur saja, sangat langka akhir akhir ini
Sungguh jarang aku melihat jingganya yang begitu matang bergelora bersama langit
Begitu indah

Ada juga pagi yang aku bayangkan udara bersih dan putih
Namun, kau tahu bukan.
Sudah ada asap yang bermunculan berselih juga dengan kabut
Aku juga berfikir itu kabut
Nyatanya asap sampah pinggir jalan
Sunggu pilu..

Jadi, apa yang bisa kamu bayangkan dari pengandaian itu?
Tidak semua hal yang katanya begitu akan jadi begitu
Tidak semua tanya akan dijawab benar
Tidak semua hal yang kau bayangkan sesuai ekspetasi dan bayanganmu
Setinggi galaksi bima saktipun kau bermimpi jika memangtuhan tidak mengiyakan
Ya.. sudah
Apa boleh buat
Cari
Cari pertanyaan yang lain yang mampu dijawab
Yang tak akan membuatmu kecewa
Yang bisa kau perlihatkan
Yang bisa kau puja
(Santunan malam selasa)
Joshua Soesanto Dec 2014
Kopi sore ini dengan langit senja mendung
Tidak melengkung
Tidak elok dengan warna merona
Seakan tidak berwarna

Kopi sore ini juga bercerita
Bahwa mungkin diatas awan kelabu
Masih ada sedikit warna rasa
Kenangan di balik embunnya hujan fantasi, terlihat abu-abu.

Rasanya ingin menghapus langit ini
Mencoba tahu, apakah masih ada warna dibaliknya?
Apakah matahari masih setia menemani?
Disaat semua kembali pada posisinya

Kamu pencuri mimpi
Mimpi yang sama-sama kita selami
Lalu dijualnya mimpi pada semesta yang kini tak menemani
Kamu..seperti awan sore ini
Entah kembali
Entah pergi
Lekaslah kembali, energi
Agar yang pergi..kembali pulang.
https://soundcloud.com/gardikagigih/di-beranda-banda-neira-cover
Aridea P Oct 2011
Tangan ku kaku ketika menulis
Kaki ku lumpuh ketika melangkah
Mata ku buta ketika memandang
Raga ku pun mati karena merindukan

Langit amat luas
Hidup bahagia bersama awan
Tapi, langit tak berikan aku
Aku pun menangis

Air laut menampung kesedihan ku
Meluap menjadi awan
Dan menenggelamkan jagat raya
Termasuk hati ku yang sudah rentan

Rentan, karena terik mentari yang menyengat
Raga ku roboh terhempas angin menjadi puing
Jiwa ku lari saat takut desiran pasir
Darah ku habis saat berlari mengejar semua

Sumpah mati takkan tergapai
Cinta sejati dalam hati yang tulus
Dengan ocehan yang melukai
Dan kata cinta yang omong kosong

Created by Aridea Purple
Aridea P Oct 2011
Kini belum dipertemukan
Aku dengan soulmate yang dinanti
Teman ku menjauh
Aku sendiri di sini

Tapi biar
Aku jalani sendiri hidup ini
Toh di pulau seberang
Ku cari lagi teman sejati

Memang tak jodoh
Aku berteman dengan semua
Di Jakarta ini aku berbuat kesalahan
Hingga tersakiti oleh mereka

Mereka membuat ku cemburu
Tapi aku rela asal mereka bahagia
Biar aku diam di sini
Agar mereka tak tersakiti
Oleh sikap ku yang tak sengaja
Melukai hati mereka
Maaf aku teman, ku tak ingin menyakiti
Asal kalian bahagia, siksa saja aku ini

Created by Aridea Purple
Diska Kurniawan Nov 2016
Lalu lintas jalan padat merayap pengap namun tetap senyap
Karena dia menulikan setiap kata-kata di perempatan jalan
Pula desah resah mata-mata yang memandang
Kunang-kunang kuning itu tiba-tiba melintas tenang
Mengambang lembut bagai daun dihanyutkan arus
Membius lampu-lampu sein agar berhenti mengedip

Malam itu, di perempatan jalan itu cahaya meredup

Orang-orang tak tahu menahu, beberapa berandai
Indah juga jika dipelihara di pekarangan rumah
Satu bangkit lalu berjingkat mendekat
Kunang-kunang kuning itu melesat
Tiba-tiba semua orang mengejar berlari
Ingin agar Kunang-kunang itu dipelihara di rumah

Tukang becak, penjaja koran, bos besar perusahaan, mahasiswa,
semuanya tak mau mengalah
Berlari, menyerobot, menggapai, meraih, mendorong,
menginjak, menjambak, mendepak,
merusak, menolak.
Lelah. Kunang-kunang Kuning menang
Tak ada yang berhasil merebutnya

Orang-orang pun lesu, menyumpah,
dan kembali ke apa yang mereka kerjakan sesaat lalu
sambil bergumam

"Tak ada Kunang-kunang Kuning di pekarangan rumah"

Kemudian semua berubah normal
Seperti lalu lintas biasanya
Hanya ada aku, yang masih memandang,
kemana Kunang-kunang Kuning itu terbang.

Aku tahu, bahwa di kota ini,

*tidak ada rumah yang memiliki pekarangan
Ara Oct 2013
Kau... membenciku kah?
tidak menyukaiku? atau mungkin kau iri padaku?

Kau begitu munafik!
dulu aku selalu bercerita tentangnya padamu, meskipun aku dan dia sudah tak lagi bersama kau pun tahu aku masih sangat sangat menyukainya. Kau tahu aku mengaguminya berbulan bulan, kau juga tahu untuk mendapatkan hatinya seperti berlari mendapatkan satu bintang kecil. Walau pada akhir nya aku hanya jadi pelampiasan perasaannya, tapi aku masih sangat menyukainya pada waktu itu meski kenyataannya harus seperti itu.

Aku teman mu, dan aku juga tahu kau juga temannya lebih dekat dari sekedar pertemananku denganmu.
tapi apa kau tak bisa mengahargai perasaanku sebagai temanmu?
kau tahu semua isi hatiku tentangnya, tapi mengapa kau sekarang?
memadu kasih dengan dirinya yang sampai detik ini kau tahu aku masih sangat mengaguminya!

kau jahat! kau benar-benar penghianat bertopeng pertemanan!
kau bukan lagi temanku sekarang. Itu terlalu sakit, sangat sakit untuk ku percaya.
kau bahkan hanya mengatakan maaf hanya untuk sekali seumur hidupmu?! itukah dirimu yang sebenarnya? menikamku tanpa ampun.

kalian berdua sama saja, tak ada gunanya aku mempertahankan seorang teman penghianat, dan sorang pengagum yang gila perempuan.

'seorang pencuri kekasih sesungguhnya mencuri seorang penghianat!'
Aridea P Oct 2011
Jumat, 1 Oktober 2010

Aku punya banyak teman dekat
Mereka semua baik pada ku
Tapi ada saat aku bingung
Bingung akan saran yang mereka beri

Yang ini bilang ACD
Yang satu kembali ke ABC
Yang itu bilang jangan
Ada lagi yang bilang coba dulu

Semua membuat ku bingung
Aku berkata, dibilang salah
Aku diam saja, dibilang tambah salah
Ku ambil keputusan sendiri
Tapi aku tak yakin
Oh... Hidup memang sulit
Penuh pilihan dan tantangan

Created by. Aridea .P
Aridea P Oct 2011
Jumat, 13 Agustus 2010

Tlah beribu-ribu menit lalu
Aku tak jumpa lagi catatanku
Tak ku tumpahkan lagi pikiranku
Tak ku kotori lagi kertas-kertas ku
Dan aku rindu...
Ingin menulis lagi
Supaya aku bisa baca lagi
Sambil tersenyum memuji
Alangkah indahnya tulisanku

Apa arti semua itu??
Entahlah, 2 tanda tanya untuk itu
Ku tak akan pernah lelah menulis
Aku janji, bila aku sempat-
kan ku tulis beribu-ribu kata
Agar terlukis kisah hidupku
Yang penuh warna-warni kehidupan


Created by. Aridea .P
Loveeyta Jul 2018
Ketika kamu tak bisa melihatku, itu bukanlah kuasa ku.
Aku serahkan itu kepada mu.
Ketika kamu tak bisa menghargaiku, itu pun juga bukan kuasa ku.
Sepenuhnya pilihanmu.

Namun, tahukah kamu?
Kamu pun tidak memiliki kuasa ketika kaki ini sudah beranjak pergi meninggalkan.

Kamu punya pilihan untuk melihatku atau tidak, menganggapku atau tidak.
Namun tidak ketika aku sudah beranjak pergi.

Kamu tak punya kuasa apapun.
Jika kau tanya siapa aku
Bagaimana harus kujawab?*

*Tiada hari tanpa kukenakan kedok tebal ini
Menebar senyum, canda, berpesta
Aku meraung sambil tertawa

Riasan mata dan bibir dengan berbagai opsi warna
Jangan! Jangan terlalu pucat juga jangan terlalu mencolok
Nanti orang tidak senang
Kau kan harus memuaskan setiap mata
Jangan lupa pasang tameng itu tanggal demi tanggal
Jika tak lalai kalungkan secercah pamor dan aga

Bagaimana jika terlalu pucat?
Ah ya orang  tidak suka
Cakap nista kan menghardik
Memekik
Menghamun
Siapa monyet abu kucam menjijikkan didepanku?

Namun jika terlalu mencolok
Jua hinaan berkunjung ada
Biar ku beritahu
Mereka tak suka kau lebih darinya

Aku benci dunia
Aku berantakan
Kecurian
Namaku hilang dimakan cacian
Bagaikan karang tertutup berjebah rumput lautan
Aku mahkota yang hilang

Ah! Omong kosong semua!
Enyah kau kepala cemar
Umbi harus kembali didekat akar
Aku berkenan rujuk atas jasadku
Biar aku melalak tinggal abu
Aku enggan gemang
Aku punya Sembilan nyawa

Jika kau tanya siapa aku
Aku namaku
Jangan berani-berani hina nama itu!
Marcapada boleh berlimpah belang dan muka dua
Aku  jijik serupa dengan dunia
Oleh Novita Olivera
Puisi ini untuk dilombakan dalam Deklamasi Puisi Pekan Seni Tiga 2016 yang bertemakan "Inilah Aku".
Mengisahkan kekecewaan dan bentuk penentangan aku akan tuntutan dunia yang selalu berkomentar akan dirinya. Diakhir puisi, aku kembali percaya diri akan sosok asli dirinya dan tidak peduli akan apa yang dunia katakan.
Andika Putra Jul 2019
Yang jalang meloncat telah tiba & kita merangkak menjauh sutera & kau melihat pada selangkang merebak dedaunan riba.

Kini menjalin kepada alang-alang, merayu kepada segala buangan.

Yang terbuang kemudian terjerembab ke-Esa-an/ pertolongan/ makian/ gelak ketidak sudian.

Semua bajing meloncat-loncat kala malam tiba & aku tidak menemui dirimu menjalin asmara, pada bantal dan kerangka bunga & batok-batok kelapa bersumpah pernah bersimfoni di gedung tua bangka.

Katakan semua yang terlihat menemukan artinya, berbalik dan melenggok tiada suka. Aku merusak gelanggang samudera, dan menemukan orang-orang bercumbu di dalamnya.

O Gayung merambah kepada sujud-sujud La beruja. Melirik kepada hampa & tau kah, dirimu mencintai duka.

Semua manusia kemudian melambat

Gedung-gedung berselimut jas pekat
/kini duka melihat rembulan siang

Merajut benang & diam-diam melempar bebatuan.

3/7/19
Aridea P Oct 2011
Sifat jahat kembali lagi
Hancur hidup ku saat ini
Karena ucapan kali ini
Dan aku pun menangis

Gerah rasanya hidup ini
Aku di sini hanya lirih
Apa yang bisa aku akhiri
Bila semua takkan terakhiri

Akankah ku pergi lagi?
Diam tanpa harus bicara lagi?
Menangis di malam  lagi?
Dan mendengar lagunya kembali?

Aku kangen Arlonsy lagi
Aku ingat Arlonsy lagi
Aku menangisi Arlonsy lagi
Dan aku mimpi Arlonsy lagi

Aku dengar suara dia
Aku dengar melodi dia
Aku dengar detak jantung dia
Dan aku dengar segala tentang dia

Aku menangisi dia lagi
Aku rindu dia lagi
Aku kenang dia lagi
Dan aku ingin dia kembali
wonderwall Aug 2019
Pukul 02.30
Aku terdiam tanpa berbahasa
Memikirkan sejuta hal yang seharusnya kulakukan
Aku terbiasa bermimpi
Namun kini aku tak mampu

Pukul 02.30
Andai waktu adalah lomba
Maka aku selalu kalah
Lagi-lagi aku tidak dapat terpejam

Pukul 02.30
Aku dan semua lamunanku
Terhenti sejenak oleh suara dengkuran disebelahku
atau mungkin suara angin sejuk dari mesin diatasku

Pukul 02.30
Aku ingin berlari ke dalam lautan
Menantang ombak berderu kencang
Lalu terhempas oleh bayang-bayang

Pukul 02.30
Aku berurai air mata
Berusaha mengartikan rasa
Pencarian yang tak berujung

Pukul 02.30
Katanya Tuhan itu Mahakuasa
Maka aku percaya jawaban itu ada
Dan kupejamkan mataku
Harap semua ini sirna

-wonderwall-
Atta Dec 2018
teruntuk kamu yang harumnya sudah hilang dari sisiku
yang jalannya sudah bukan aku yang mendampingi
yang tidurnya sudah bukan aku yang dimimpikan

tuan, apakah kamu pernah sesekali memikirkanku setelah sejenak pergi?
aku letih mencari sendiri jawaban dari semua pertanyaan
aku letih mencari kesalahanku dari semua amarahmu

untuk satu senja di bulan desember
selamat menikmati purnaku dalam bayanganmu
jadi puisinya berima aa aa dan ab ab heu sadar ga :(
Sundari Mahendra May 2017
Sejak kecil mereka aku kasihi dengan sangat
Tak boleh ada  masalah dan persoalan yang didapat
Aku memberi yang dibutuhkan
Walau kadang agak dipaksakan

Melalui hari-hari sekolah kalian ku bimbing
Melalui waktu-waktu susah kau ku bina
Mengarungi saat-saat penting kau kutemani
Tak ada saat dimana kau kutinggalkan

Masuk masa perkuliahan kau dapatkan
dimana kau ingin melanjutkan pendidikanmu
Walau seakan mustahil tapi Tuhan memberi
itulah yang aku ingatkan

Masa perkuliahan kau jalani juga gadisku
Pergaulan yang susah kau lewati
Kau dapati teman-teman sendiri
Yang memenuhi hari-hari yang dilewati

Kau dapati juga seorang jaka
Yang kau suka karena berbeda
Pandai dan dapat dipercaya
Kau kenalkan dia sebagai pacar
ga Apr 2018
Bukannya ingin melupakan
Tapi langitmu biru
Milikku selalu hijau abu-abu
Diwarnakan kecewa yang tak kusesali

Lama sudah roda waktu kuputar
Namun kudapati kau hanya sebentar
Kau dan waktu adalah ilusiku
Namun kertas dan tintaku takkan menipu

Matamu sepekat langit malam
Berkilat menantang walau tanpa bintang
Menggali semua amarah dan kecewa
Saat kau bertukar tatap denganku

Ambil semua bintang-bintangku
Rebahkan diriku ke jalan yang gersang
Retak merana, kering oleh sang waktu
Mata itu tak lagi sama di hadapanku

Bintang tidak jatuh setiap hari
Namun kali ini ia jatuh di antara kita
Maaf telah kusembunyikan darimu
Cepat atau lambat kau akan mulai berlari
Tanpa bisa kukejar kembali

Luapkan semua amarah dan kecewamu
Padaku, pada dunia, pada yang tak kau pahami
Karena kau yang paling tahu
Batas waktuku untuk bersama dirimu
28/03/2018
The burn marks on my epiano won't go away 10 hours loop
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
Alia Ruray Nov 2015
Lalu ia sadar.*

Ia menggenggam erat juwita pujaannya,
menyediakan tempat bersandar
serta kebutuhan pokok.

Semua indah, semua nyenyak.
Ia dan juwita melampaui batas,
menghasilkan surga di atas bumi.

Namun suatu titik membangunkannya.
Alam sadarnya kini berfungsi,
seraya berbisik
'surga di atas bumi itu tidak pernah ada'.

Ia bangun dari tidurnya yang nyenyak.



- - Lalu ia sadar.
Ia beranjak meninggalkan
dalam senyap tak berencana
Ia sadar; ia pergi.
Tanpa ada kata kembali.
Sundari Mahendra May 2017
Sejak kecil mereka aku kasihi dengan sangat
Tak boleh ada  masalah dan persoalan yang didapat
Aku memberi yang dibutuhkan
Walau kadang agak dipaksakan

Melalui hari-hari sekolah kalian ku bimbing
Melalui waktu-waktu susah kau ku bina
Mengarungi saat-saat penting kau kutemani
Tak ada saat dimana kau kutinggalkan

Masuk masa perkuliahan kau dapatkan
dimana kau ingin melanjutkan pendidikanmu
Walau seakan mustahil tapi Tuhan memberi
itulah yang aku ingatkan

Masa-masa kuliah kau jalani
Walau banyak protes sana sini
Karena inginkan sesuatu yang lebih lagi
Kau salahkan kami

Lulus sudah kuliahmu nak...
Kau sandang gelas sarjanamu
Pakailah itu sebagai modah untuk hidupmu
Memasuki dunia kerja yang baru
Joshua Soesanto Jun 2014
terlewatkan beberapa batang rokok pagi
untuk mencicipi sebuah kopi hitam lembab
di lidah basah seorang perempuan
indra pengecap bersama semesta lain

seorang pemberontak pada sebuah mata
mata dingin yang berkuasa atas semua puisi
rasa skeptis pun berkarat
lalu, bersembunyi pada tanaman yang sekarat

dia masih meredup di sebuah ranjang
bintik-bintik tumpah pada dada yang telanjang
dengan selimut dingin bintang kemarin malam
bakar sebatang melihat keluar jendela, dunia tenggelam

minggu pagi ini
terhiruplah kopi dingin dan anggur
lalu,
kapan kalian mabuk lalu lelah?
Illinois - Are You Coming With Me? #NowPlaying #Tracklist
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
Gektya Pasis Dec 2016
tidak semua yang tak bersajak
tidak layak dipanggil sempurna
karena disetiap penggalan kata nya
ada makna yang selalu disiratkannya

tidak semua yang tak berima
tidak layak dipanggil karya
karena disetiap spasi yang digunakannya
ada hati yang berusaha bicara
katamu, aku hanya butuh percaya.
katamu, aku tak perlu menyita waktuku dengan adanya kamu di tiap detikku.
katamu, aku pun sudah fasih memahami isi kepalamu.
dan, ya, aku memilih untuk percaya.

nyatanya, tidak semudah bak sang matahari yang rela menyembunyikan teriknya sepanjang malam untuk memikat sang bulan.
kamu hanya tidak tahu seberapa dalam lukaku, kemarin.
kamu hanya tidak tahu seberapa besar rasa sakitku, hingga saat ini.

entah bagaimana,
entah karena apa,
terbesit oleh pikirmu untuk melakukan itu.

apa ini karenaku?
atau memang suratan takdir untukku?
bagaimana dengan semua katamu?
bagaimana dengan semua percayaku?
semukah?
Aridea P Oct 2011
Senin, 28 April 2008

Aku sendiri di sini
Teman ku menjauh
Lagu kakak ku tak tergetar
Lirik indahnya menghilang

Lidah ku sakit
Tak bisa berkata
Angin pun menjauh
Peluh dingin terasa

Duduk sendiri ku di sini
Menulis kata bahwa ku sepi
Ingin ku ucap di hadapan dunia
Tapi tak sampai ku ke sana

Kenang lagu kakak ku tersayang
Hatiku sejuk tangis datang
Melihat semua menjauh
Tpi lagu kakak selalu menghibur
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.

— The End —