Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
marriegegirl Jul 2014
Ça a été une semaine de l'absurde jolis traits .mais puis-je vous laisser sur un petit secret ?Nous aurions enregistré un des meilleurs pour la fin.Judy Pak .Loli événements et Matthew Ree sont que quelques-uns des grands noms derrière ce printemps swoonfest .et vous pouvez visiter la galerie complète pour beaucoup.beaucoup plus .Vendredi heureux .mes enfants !xoxo\u003cp\u003ePartager cette superbe galerie ColorsSeasonsSpringSettingsGardenStylesRomantic de Lauren de Loli événements .Bien que brève .printemps à New York est toujours rajeunissant et passionnant .Tout semble plus lumineux .plus heureux et tout plein de vie .Ce tournage a capturé exactement cela avec une parfaite dose de glamour et de fantaisie .Les beaux motifs des jardins d'Old Westbury était une évidence comme toile de fond .Tout y est luxuriante .réfléchi et tout simplement magnifique .Notre objectif en tant que fournisseurs de mariage de luxe était de capturer une certaine beauté grave tout en s'amusant et profiter du moment .Il est si facile de se laisser prendre et d'oublier de faire une pause et de prendre dans votre environnement .Cette séance est consacrée à créer un peu d' esprit d'aventure et un besoin de juste prendre une profonde respiration lente .

Photographie : Judy Pak | Photographie : Matthew Ree | Floral Design : Tashi et Bobo | Robe : Jenny Packham | gâteau : Ana Parzych | Coiffeur : Seonghee Park | Bridal Boutique : Gabriella New York | Location de robe : petite robe empruntée |postiches : Emily Riggs | Maquillage : Seunghyn robes demoiselles d honneur Seo de KAKABOKA | Props / table : Caverne de coquelicots et Posies | Styling / Set de table design: Loli Evénements | mariage Lieu: Old Westbury Gardens

cadeaux COURS

Dernière chance pour entrer mariage Styles Modcloth Fonds ContestHoneymoon de Registre annuel rêve SweepstakesA collier pavé de diamants disque JoyWilliams - Sonoma de voyageurs " Les jeux de Clay PotTWO de détente à DEUX SMPers chanceux de Duffield Lanea ensemble de flashcards de Apprendre à parler de mariage

Ne manquez pas les remises de cette semaine .

PostableSquarespaceAbbey Malcolm typographique + DesignZola

Pour nos épouses Australie .Ne pas oublier de s'inscrire pour gagner une séance d'engagement à la plage sud de Curl Curl de Poli Mariages

Pour nos épouses Californie .Réductions de Jonathan jeunes Mariages et Dr Diaz .

Pour nos Brides.Discounts Canada de Blush \u0026Gray.Renata De Thomasis et Christine Arnold Photographie

Pour nos épouses Midwest .Réduction du restylage Locations de cru et La Belle Fleur événements

Pour nos Nouvelle-Angleterre Brides .Un rabais de Aster B. Fleurs

Pour notre Sud-Ouest Brides.Make sûr de confirmer Royal Occasion Chateau Cocomar nuptiale Open House ( Ce week-end ! )

Pour notre Tri-State brides.Don 't oublier de s'inscrire pour gagner Photographie + vidéographie Collection de NST Photos et réductions du New Museum .Femina photo + design.NY Sourire spécialistes et HowAboutWe pour les couples PLUS ne manquez pas Gabriella Newhiver échantillon Vente York !

Et bien sûr .heureux gagnant

http://modedomicile.com

de cette semaine .
Félicitations Alexis qui a gagné 100 Day Challenge paquet d'or de mariée corpsEmily Riggs est un membre de notre Look Book .Pour plus d'informations sur la façon dont robe de mariée 2014 les membres sont choisis .cliquez ici .Gabriella New York Bridal Salon .Loli événements et Judy Pak Photographie sont membres de notre Little Black Book .Découvrez comment les membres sont choisis en visitant notre page de FAQ .Gabriella New York Salo nuptiale ... Afficher les événements PORTEFEUILLE loli voir le portfolio Judy Pak Photographie voir le
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
Surya Kurniawan Nov 2017
Tak tahu mengapa tiba-tiba Fatima terjatuh. Orang-orang pikir dia tertidur. Mereka mencoba membangunkan, namun sia-sia. Disentuh dengan hati-hati, tak juga berhasil.

Fatima dengan sepasang burka berkeliling di dunia ide. Mimpi-mimpi yang awalnya ilusi, kini nyata. Dia menari-nari diatas kesedihannya. Fatima mondar mandir mencari-cari sepasang burkanya. Burkanya yang satu dipasangkan di kepala pak Kucing.

Pak Kucing adalah teman yang baik. Artinya dia menemani Fatima dalam ide dan materi. Pak Kucing berkata bahwa Fatima adalah gadis yang cantik. Fatima terharu mendengarnya, tetes-tetes air matanya jatuh membasahi burkanya.
Pak Kucing menghibur, dengan membacakan teka-tekinya;

"Tiba-tiba, orang-orang merasa sia-sia berhati-hati. Mimpi-mimpi kini menari-nari, mondar-mandir mencari-cari tetes-tetes teka-tekinya"
Cry Sebastian Jan 2010
Trek my siel uit met swart onlogiese krapmerke op my pick n pay strokie.

Breek my fingers af op n hout skryf blad
en hou die honde naby vir die bene wat spat.

Vermergel dan my vellies
en gooi dit op n graf
en se dis vir al die girlys
-dis van papers wat smag.

Edel en opreg is die regter se kaf.
Heilig is die helde van die bars van die nag.
Ons onthou die spoke van Oranje stad,
Ons kleef aan hulle woorde soos n tros vol kak.
Ons hou van die serries en die doef van Jak,
En moenie met my stry nie ek sal jou in pak.

Melodie jou wysie met ewige tone,
mengel mooi jou woordtjies met jou oulike drome.
Hou die fort van veiligheid en nasionalisme,
Wees n patriot en vermoor Anglisisme.

Beskerm jou mother language teen n kombuis taal.
Daar is niks in hierdie wereld wat die taal mag vaal.
RAJ NANDY Jun 2015
AN EXOTIC JOURNEY TO THE
               KHYBER PASS!
              By Raj Nandy

“When spring-time flushes the desert grass,
Our caravan wind through the Khyber Pass.
Lean are the camels but fat the frails,
Lighter the purses but heavy the bales!
As the snowbound trade of the North comes down,
To the market square of Peshawar town.”
- Rudyard Kipling (Dec1865- Jan 1936).

Those immortal lines of Kipling had enticed me,
To delve into famous Khyber’s exotic History ;
And today I narrate its wondrous story!

THE KHYBER PASS:
Steeped in adventure, bloodshed and mystery,
The Khyber remains the doorway of History!
Winston Churchill, then a young newspaper
correspondent in 18 97 had said, -
‘Each rock and hill along the pass had a story
to tell! ’
Cutting across the limestone cliffs more than
thousand feet high,
This narrow winding path of 45 km’s stretch,
Cuts through the Hindu Kush mountain range!
Forming a part of the ancient Silk Route between
Central and South Asia;
Linking Kabul with Peshawar town during those
early days of Pre-Independent India!
The area is inhabited by fierce Pashtun tribesmen,
who live by their ancient Honor Code;
They value their land and liberty, and their winding
mountain roads !
They can be the greatest of friends and deadliest
of foes;
And as the saying goes, for a friend a Pashtun
can even give up his life;
But he never forgets a wrong or when rubbed on
the wrong side !
He always avenges a wrong deed done, -
Even after decades, through his sons!
The indigenous tribes living along the pass,
Regard this area as their sole preserve!
They have levied a toll on all travelers from
the earliest days,
For their safe conduct and passage through the
Khyber, - as Historians say!

HISTORIC INVASIONS THROUGH KHYBER:
At its highest point the Khyber is 3500 ft in height,
But its strategic importance can never be denied!
Around 2000 BC came the Indo-Aryan tribes
from Central Asia,
Migrating to the rich fertile plains of Ancient India!
In 326 BC, the great Alexander came through,
By bribing the local tribes to gain their favour,
To defeat King Porus on the banks of Jhelum River;
And set up his short-lived Bactrian Empire!
In 1192 AD Afghan warlord Mohammad Ghori, -
Invaded India to set up The Sultanate at Delhi!
In 1220 Genghis Khan with his Mongol hordes
came through the Khyber;
With the help of local tribesmen to plunder the
ruling Arab Empire!
In 1380 through this pass came Timur Lane,
To wreck and destroy the Delhi Sultanate!
And finally from Kabul through the Khyber path,
Came Babur to establish the Mogul Empire with
his victory at Panipath!
From 1839 till 1919, here the British had fought,
- three ****** Anglo-Afghan Wars!
And before retreating, drew the famous Durand
Line to ally fears;
But this Line is now the cause of bickering and
tribal tears!

THE BRITISH KHYBER RAILWAY:
At Jamrud Cantonment town 17 km west of
Peshawar,
Lies the doorway to the historic Khyber!
The track passes through a breath-taking rugged
mountainous terrain, -
Through 34 tunnels, over 92 bridges, a 42 kilometer’s
of winding stretch!
A five hour’s journey at Laudi Kotal gets complete;
The line stands as a tribute to British Engineering
feat!
The legendary Khyber Rifles had guarded the
western flanks of the British Empire,
With garrisoned troops guarding this route entire! @
Since 1990 this train is run by a private enterprise, #
With local tribesmen always taking a free joy ride!
Recent Taliban attacks made Pakistan to close
the Khyber Pass,
An uneasy truce prevails, only God knows how
long it will last ?!
But with that Durand Line of 1893 demarcated,
Forty million Pashtuns today stand divided, -
Between Pakistan and Afghanistan!
With hopes, aspirations and dreams of becoming
United!
- Raj Nandy
New Delhi .

NOTES:-
Battle Of Panipath, April 1526, where Babur defeated numerically
superior forces of Ibrahim Lodhi; thereby establishing the Moghul
Empire in India!
On 04Nov1925, the British inaugurated the Khyber Railway to carry
troops up to Laudi Kotal on the other end, short of the Afghan border
to guard the western flanks of the British Empire!
@KHYBER RIFLES: - Raised in early1880s with HQs at Laudi Kotal,
& garrison troops manning the Forts at Ali Masjid near the
mid-way point of the Pass, and also at Fort Maud to the east of the
Khyber Pass.
KHYBER RAILWAYS: With 75 seats, a kitchenette, and two toilets;
pulled by two old Lancashire engines of 1920 vintage! It cuts across
Peshwar Airport under Air Traffic Control! It was stopped in 1982, as
economically not viable! Started again by a Private Enterprise
in 1990, in collaboration with the Pak Railway! After the Partition of
India in 1947, the Khyber is under the Federal Administered Tribal
Area of Pakistan! A difficult and a volatile region to govern! The
Khyber now remains closed due political reasons! Thanks for
reading.
* ALL COPYRIGHTS ARE WITH RAJ NANDY
Tahimik na kalangitan
Buo ang mga ulap
Maaliwas, o kay sarap pagmasdan
Maliwanag, walang dilim na maaninag

Mga ibong humuhuni malaya't maligaya
Linilibot ang kalangitan punong puno ng kalayaan, sinasariwa ang preskong hangin'g bigay ng kalikasan.

Sanay inyo ring marinig ang mga huni ng mga ibong nawalan ng tirahan,
Sa pagputol nyo sa kanilang pinapangalagaang tahanan.
Na sa bawat pagbuka ng bibig ay ramdam ang bigat na kanilang dinadala't, dinaranas
Sana'y pagbigyan kahit minsan lamang
Ang hiling ng bawat nilalang.

Ang buhay ng tao ay tulad din ng mga ibon sa kapaligiran, malayang pumili,malayang maglakbay, malayang piliin ang gustong tahakin sa kani-kanilang buhay. ngunit may ibang ipinagkaitan labag man sa kanilang kalooban tuloy padin ang laban tungo sa magandang kinabusan.

Sana'y imulat nyo ang inyong mga mata
Pakingan ang mga hinaing ng mga taong pi'lit makamtan ang magandang umaga. Ngunit may narinig ka ba? Hindi ba't wala?! Hirap man, pagod, at walang makain. Pero ito ba ang basihan? upang sila'y pagkaitan ng pag-asa.

Tulad din ng mga ibon sa malawak ng karagatan, gaano man ito kalawak, gaano man sila katagal maghanap,
Magtyaga't, maghintay, magtiwala ka lang dahil ang bukas ay hindi natatapos ngayon, kundi magsisimula pa lang ulit bukas.

Humayo ka't ipagaspas ang iyong pak-pak, lumipad ka't abotin ang iyong mga pangarap. Lipad munting ibon huwag kang huminto't ibangon muli, ang minsan mo ng nasirang tahanan

Tulad din ng isang ibon, maging malaya ka't maging masaya.
Sundari Mahendra Nov 2017
Selamat pagi bu....
Selamat pagi jawabku
Perjalananku segera dimulai
menembus fajar yang masih galau

Lewat mana bu....
Biasa saja pak jawabku
Jalan raya yang masih sepi
Tetapi aku sudah duduk sendiri

Macet bu....
Biasa pak jawabku
Tiada ada jalan yang lancar
Tiada hari yang tak sukar

Lampu merah bu....
Iya pak panjang pula jawabku
Berhentilah walau hanya sebentar
Melemaskan kaki dan mata yang nanar

Sudah sampai bu....
Terimakasih pak jawabku
Ku mulai pekerjaan hari ini
Dengan harapan dan asa yang baru
Alfred Vassallo Apr 2013
Concerned,
my wellbeing doesn’t come into it
neither does my wife’s;
but worried I am,
for my children’s future,
my children children’s future
and for my great, great grandchildren too.

I listen with horror,
I watch and shudder,
I read and feel misery;
when the wind blows,
because time enough at last,( or is it?),
I gaze at the old man in the cave,
with a little peace and quiet,
will it be shelter skelter?
Are we in quarantine?
Chosen?
For a new place, alas, Babylon
with perhaps Dr Strange Love?

Maybe there is no soul
within the man,
unless the balanced man became unbalanced,
what reason has a man got,
(even if he’s people are suffering from punishment),
To justify such actions?
Perhaps Pak Pong-ju is not a man,
Could he be God’s apprentice
God’s messenger
God’s terminator,
to emulate ***** and Gomorrah or Pompeii?

Why should we shoot the messenger?

If this is the case
then truly I should be concerned,
my wellbeing doesn’t come into it
neither does my wife’s;
but worried I am,
for my children’s future,
my children children’s future
and for my great, great grandchildren too.
In relation of dispute between North Korea, South Korea and the USA
Harmony Sapphire Jan 2015
I like chocolate malt.
My life is at a halt.
I know who is at fault.
It's always the same who I blame.
She is lame.
Her sanity untame.
Her self shame.
You know her name.
You know her face.
It's an image you can't erase.
She put me & my child's life to waste.
She has selfish taste.
I wish her gone without a trace.
She slows down the pace.
She is always on my case.
Her feet are always bare.
She never brushes her hair.
She always judges & stares.
She never cares.
Turmoil daily she dares.
She's the world's biggest slob.
She does'nt have a thing to rob.
The only clothes she wears has holes, stains, & tears.
She never has any food.
In my business she always intrudes.
She is jealous, miserable, & rude.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1875057155842738&id=100000154161650
Kupaparkan rayuanku untukmu.
Kupertontonkan asmaraku untukmu.
Dunia harus tahu !
Hatiku selalu menggebu - gebu !

Kukirimkan surat cintaku melalui dunia maya.
Pak Pos sedang sibuk kasmaran juga rupanya.
Oh pak Pos !
Kencan jangan terlalu lama !
Siapa yang bisa mengantarkan cintaku padanya ?!
Kusiapkan surat kuselipkan kata manis dan rindu dengan tinta merah dan banyak kecupan mesra.
Maya harus tahu !
Hatiku memang menggebu - gebu !

Tapi kau buang puisiku.
Melirik saja tak mau.
Ya sudah kalau begitu.

Biar saja dipakai followers saya,
lumayan untuk caption mereka.
Padahal untuk merangkai kata dan rima,
hati harus jatuh dan kau buat patah.



Puisiku sebatas dunia maya.
Tidak sampai hati yang empunya.
Malang.
Malang.
Yang penting ada yang baca. Terima kasih ! Jabat erat !
- @grabrielle
Adasyev Sep 2016
Chyť se mých křídel
na zrncích písku
slova jsou moře
a já jsem vzduch

Cesta vede tmavozeleným tunelem stromů
a září zatím neškrtlo sirkami hodin
o hřebínky vln.

V eternitu střech a vybledlých korunách domů
jsou kalná podkroví
a u zahalených břehů nahá samota mladých leseb a přehřátých starců
zkalená do němoty modrého dne.

Než plíce jehličnaté noci naposledy vydechnou
do jílovitého ramene
oxidující pískovec fasády léta
a září škrtne o hřebínky v trávě
nad závity stébel a sedmikrásnými stvoly se ponesou otáčky kol
a šelestění kloubů od stolů a slunečníků u silnic.

Děti pak pošlou matky na březové ostrovy hledat věčná napajedla
a hejna dronů rozhodí svoje sítě mezi souhvězdími
aby na sítnici zachytily bronz milenců
a v nekonečně krátkém čase sestrojily triangulaci neopakovatelného
z kterého není návratu.
Pískovna Cep, Suchdol n. Lužnicí/Majdalena, září 2016
Ceyhun Mahi Dec 2016
Beden sükun içinde yatar yeşil türbede,
Amma güzel diliniz konuşur mesnevide.

Ey hazreti Mevlana Celaleddin-i Rumi,
Hazreti Şems güneştir size, siz aydır Şemse.

O pak mesnevi içinde neler buldum, neler,
Süzünüz bir deryadır, her şey vardır içinde.

Her kese açıktır bu derya, fakir ya zengin,
Ders, güzellik ile hikmet katarsınız şiire.

Allah'u Teala çok razı olsun sizinle,
Mahvî'nin süsü bu, helal olsun bu kaside.
A short ode written to Jelaladin Mevlana Rumi.
Pak Sapardi, tolong ajari aku cara mencintai dengan sederhana.

Ketika segala hal adalah rumit dan kesedihan berada di ujungnya.
Kabar duka pada tanggal 19 Juli 2020, pagi hari.
Selamat jalan, Pak Sapardi.
Karyamu abadi.
Robert Salát Jan 2015
Šest tisíc mil asfaltu a prachu.
Kolik tisíc chlapů vydalo se na tu cestu?
Už dobře poznáš tu hranici strachu,
když blížíš se k proklatýmu městu.

Tam lidi neznaj slitování
a ženský neznaj lásku,
a ty proto nad svítáním
nosíš ocel na opasku.

A tak jedeš dál,
možná najdeš svoje sny.
Seš silnice král,
ale štvou tě pouštní psi.

Snad až si jednou spočineš
na lůžku z kapradin a mechů,
doufám, že pak nalezneš
klid hvězd, co ti poskytujou střechu.
Nat Lipstadt Jul 2019
hapax legomenon “Texas Women”

(hapax legomenon: a term of which only one instance of use is ever recorded)
(Texas Women: a term of which only one instance of use is ever recorded)


for
ꏳJ LꂦVꏂ  & Cne’

once again, they sweet sweep me off my feet,
carry me to the Court of Finger Wagging,
to be accused of hating and/or loving Texas Women
simultaneously, diffidently, consequentially, unclearly differentially

this is no flower picking exercise, shaking of the head,
“he loves me, he loves me not,” rinse and repeat,
a northern trick to confuse the plano truth,
warns the Judicial Triumvirate

your Honors, I swears,
never wrote those conjunctive words,
Texas, Women,
never ever, until just now,
a genuine hapax legomenon

akin to taking god’s name in vain,
if one dare ever utter these words, and
blows the opportunity,
well, shotgun, if you know what I mean,
one gets only
one chance

so cut me quick to the chase’s conclusion
let’s go to my defense single & singularly:
true, of women I have written, and
“too much,”
is a mere theortical constriction

I love to love women,
and a 57 variety pak is a-ok by me

an inordinate number of poems may have referenced
females hailing from a certain great state,
but never together, side by side, have I ever employed
that phrase, for my imaginations
are more than sufficient

have loved women from many places, too many faces,
some beyond measure, now a forever,
a hoarded memoir unpublishable treasure,
some, it’s true, possessed jeans and a cowboy hat,
and dangerous boots, which one admired from a
goodly distance

they brook no con, tilting their heads quizzically,
there is no maybe with women from this place,
maybe you love us, maybe not, but either way,
there ain’t no maybe in our emotional lexicology!

ok.

the only woman I ever hated is dead and buried,
and yes, I shot her dead for being ornery cactus mean,
so by this roundabout roundup summation,
you may put your head on pillow tonight,
smiling confident thinking that your hapax legomenon,
is deep in the heart of a grown boy hailing from nyc,
still a crazy straight shooter
Paul Hansford Feb 2016
I  went into the kitchen and made sure to wash my hands,
then looked inside the cupboards and took out the pots and pans.
I sorted out my sharpest knives and laid them carefully
beside the wooden chopping-board I'd brought home from Capri,
a wine-glass, and a bottle of a cheeky Spanish red  
(another happy souvenir of my travels to the Med).
I thought I'd  better have some herbs to flavour up my lunch,  
so I went into the garden and picked myself a bunch
of parsley, sage and rosemary, then poured myself a drink
– a drop of wine should help me in my labours round the sink.
Then I peeled and chopped an onion, which I sautéed golden brown
in extra-****** olive oil.  There was no time to sit down
while I scrubbed some new potatoes and put them on to boil,
so I had another glass of wine to help me through my toil.
Some Italian vine tomatoes and some peppers, red and green,
I sliced up on my chopping-board – no need for a machine,  
and I always think that slicing veg is somehow that bit kinder –
then I sprinkled them with sea-salt and some pepper from the grinder.  
By now my glass was empty, so I poured another drop in
to replenish all that energy I'd used up in the chopping,
and started on the vegetables, some pak-choi and mangetout,
from the local Farmers' Market, though they cost a bob or two.
I got the steak out ready, a lovely bit of fillet,
and lit the gas to heat the pan, my well loved cast-iron skillet.
It wouldn't need that long to cook; I didn't need to think
too hard about it, so I poured another little drink.
“That's really rather good,” I thought, but noted, broken-hearted,
that I'd finished off the bottle – and I thought I'd hardly started.
Still, I laid the steak into the pan.  I left it there to fry
and uncorked a second bottle. “Here's to me. Mud in my eye.”
I don't know why at this stage I was feeling less than fine,
but the cure was very obvious – another glass of wine.
My attention must have wandered then, if only for a minute,
for I saw the pan was smoking, and the steak that I'd left in it
was going up in flames, and so, although I knew I'd rue it,
I emptied out the bottle – it grieved me sore to do it.
The potatoes were so overcooked they'd  boiled completely dry,
and were rather badly scorched; I wish I knew the reason why.
Still, I rescued what I could, and laid it sadly on my plate,
and I know you won't believe it, but I thought it tasted great.
So when relations come to dine, perhaps on Christmas day,
I'll serve my speciality – I call it …. Steak Brulé.

(Alternative last line, for American readers :
  I'll serve them up my specialty – I call it …. Steak Brulé.)
Antony Glaser Feb 2014
a steamed bowl of pak choi with organic rice
and then a multi vitamin
with an acute accent on folic acids
washed down by the strenuous street lights
if life is commotion
a whispered assumption
oils the cogs in our flatshare
unless we typical girls
have failed  to make the grade.
MARIE J Oct 2019
Last sunday, we go videoke.
Kaming unom, grabe'g panganta.
Naay nice ug tingog, naay okay ra,
naay wala gyud sa tono, naay nag sabay-sabay ra,
ug naay feeler gyud kaayo nga singer siya.

Niabot ang time, naka feel na mig uhaw.
Ni offer ang isa, isa ka bucket ambot ug unsa.
TOK TOK TOK ayay naa na ang gihulat,
tambal sa uhaw gipatong sa lamesa.
PAK! SMIRNOFF ANG GIDALA!

Kami nagpadayon ug kanta,
kachada sa pamati, sa ilimnong ma'lami.
Niabot ang last nga kanta,
Obladi, Oblada, tala na mamauli na ta.
Nihapit's balutan, mao na po'y gitirada.

Nanglingkod kadjot sa seawall,
nagpahangin gamay usa musakay.
Nipara mig cab kay hapit na alas dose,
sa rural basin mabiyaan mi.
Wa na gibyaan gyud, maygani naay super 5, pero tag 50 gyud.

Kami naabot sa tagsa-tagsang panimalay,
wow kalami sa akuang katulog bai.
Pagmata nako, nganong init kaayo ko?
Wa ko kasabot sa akuang gibati, gitugnaw ko pag ayo.
Yati, ngano man ni? Nag inom man unta kog vitamin C.

Pagka uran2 naa koy gi share sa fb,
nag react akuang miga kay sgalain pud daw iya ginhawa.
Taod-taod nag my day ang isa, gi dextrose kay gihilantan sab siya.
Nag text kos isa pa, kung ga daot pud siya.
"OO" mao na iyang reply,
***! why kami gyud upat dai?

Ang isa silingan ra namo, wala may gibati.
So, isa nalang kulang, akua gitawagan.
Wala mitubag, akuang manghod iyang gi chatan.
"Yes dai gihilantan pud siya", mao nay reply.
Wala nay lain, ang SMIRNOFF mao jud akuang pasanginlan!

Kaming lima baling yarok, sa smirnoff nga mabugnaw.
Ang isa wala nag mind kay nagsaad di gyud siya mo inom.
Mao toy amuang gidangatan, gipang ubo, sip'on ug gihilantan.
Grabe, unsay naa adtong smirnoff nila?
Ngano kaming lima ang naapektohan?
PS. Songhits KTV bar, hahaha mangayo mig refund ug mangayo mig health assistance kay daot inyua smirnoff!! HAHAHAHA! Kami dili palahubog biya nganong inyua ming gi igun adto? dili lalim maka absent.
Loveeyta Feb 2020
Aku selalu suka caramu menceritakan dunia, dengan barisan kata yang asing, membuatku harus memutar otakku yang rendah kapasitasnya ini.

Aku selalu suka caramu bahagia, bahkan kamu tidak tersenyum ketika bahagia.
Hebatnya kamu, bahagiamu bisa sampai ku rasa tanpa senyumanmu yang hadir.

Aku selalu suka caramu bersedih, kamu selalu kehabisan kata. Melampiaskannya dengan hal yang bisa mematikanmu, namun pada akhirnya kamu juga butuh pelukanku.

Aku selalu suka caramu marah, kamu selalu terdiam. Sampai pada akhirnya kata maaf terucap, karena kamu takut aku akan terganggu dengan marahmu.

Aku selalu suka caramu optimis, membanggakan dirimu sendiri sampai lupa kalau di dunia ini ada orang sehebat Pak Habibie.

Aku selalu suka caramu pesimis, tidak henti menyalahkan diri sendiri, tapi tidak memakan waktu lama. Setelah itu kamu bangkit lagi.


Tapi satu yang tidak aku suka,
caramu yang selalu mematikan rasa.
Kamu tidak pernah membiarkan rasa-rasa dalam dirimu menyala. Kamu benci rasa. Sama seperti aku membenci diriku sendiri.

Tapi tidak apa,
Nanti kita sama-sama belajar untuk merasa lagi, ya?

Namun, akan lebih baik jika pada akhirnya kita yang bisa saling menumbuhkan rasa.
Roslyn Jan 2018
I'm sorry for the distance between my heart and mind.
All my experiences are first ones and I'm not sure who all I want involved.
Treelines show me there's hidden microcosms all over small worlds and places to run and hide.
Tagged with wires and chips, I'm on a life support.
Communication and Social Interaction.
I'm a stereotype. Try hard.
Caring - I'm weak.
Trusting, I'm loving.
Advantage of me is not something you achieve - it's freely given.
What you do says more about you.
Than me.
Dana Skorvankova Aug 2016
Padněme k zemi před tím velkým světem
Protože nikdo z nás ať řekne cokoliv
Nebude silnější

My všichni tady jsme mrtví
I ty jsi mrtev
Pohřben ve vlastních verších
Které tě přerůstají
A smrtí se pak navrátíme životu -

Padněme k zemi před tím velkým světem
Protože nikdo z nás ať se stane čímkoliv
Nebude větší
Harmony Sapphire Mar 2015
Your words fall on deaf ears.
Your voice I choose not to hear.
Your breathe wreaks of stale beer.
Get away from me no one wants you here.

Away from here years ago & today.
I wish there had been a way.
To teleport or astroproject so I didn't have to stay.
Towards someone good to connect.
Of me people continue to neglect.
Evil is who I deflect.
Beauty is what I reflect.
Loneliness is what I get.

My eyes saw.
What you did broke the law.
Because of you ma kicked out Pa.
Every fiber of your being has a flaw.
Your morals are baked & your evil is raw.
Your hands are like a devil's claw.

Unfiled & unreported.
My thoughts real & undistorted.
The "mom" I disowned is disheveled
Her house pak rat hoarded.
Piles of filth & stench.

To know your face.
Ruined my past I can not replace.
Here at home of crimes there was no trace.
Police said low priority case.
Heaven has been a disgrace.
You've been banned from that place.
© Harmony Sapphire . All rights reserved
Dana Skorvankova Nov 2016
Víra se opět kříží
s poznáním
A ještě párkrát
To unesu,
A pak už ne.

Kolikrát větších rozměrů,
Než jsme my,
To může
Dosáhnout?

*Ve skutečném světě,
V tom jediném a opravdovém,
Nechceme slyšet odpovědi,
Chceme jen aby naše otázky
Byly slyšeny a zváženy.
Amira I Jun 2020
Bulan kembali memutari bumi
untuk ke-enam kalinya di tahun ini.
Bersyukur, hanya itu yang dapat kulakukan
untuk segala nikmat yang masih kurasakan.
Kalau kata Pak Sapardi, dalam sajaknya
« Hujan Bulan Juni ».
Ia itu tabah, bijak, dan arif.
Namun, akankah ia turun kali ini?
untuk merahasiakan, menghapus, dan membiarkan––
––segala sesuatu perbuatan manusia, pun baik dan buruk.
ditulis pada tengah malam pergantian hari pertama ke hari kedua bulan Juni.
Mateuš Conrad Apr 2021
i wouldn't call it vitriol... although:
if push came to shove... i probably should;
looks like i won't be rhyming: again...
free-falling once more...
no, i wouldn't call it vitriol...
god... what a powerfully sounding word:
i'm guessing its etymological
beginnings are intact and
the word has been elevated
without being... "revised" over time
to some cubist monstrosity...
yet it's a word that almost begs
to attract: tautology...
a simple tautology would be...
a crimson red... x...
   vitriol aspires to tautology:
with this demand...
after all... what's a culinary "adventure":
if it isn't subjective?
objectively the sensible round-up
of "troops" of raw goods...
but the subjective reality of
the cauldron...
the spices und: rain-bow...
                    ah... ha...
             best in deutsche...
  rain: regen: no... half reign...
regen-
            -bogen...
   literally two nouns together...
or a noun-verb complex
regen-neigen
              regen-beugen    (sich's a summary
and some, elsewhere)
regen-verbeugen...
unlike a bowtie...
                  a butterfly-try...
what's the actual rainbow
in ol' deutche?
   regenbogen... bog's the standard: no
praise...
while bowtie is: krawatte...
among the Wends & Veleti: mucha / muxa...

a history beside the ape: genesis...
a word in the context of use
that's similar to a hammer...
but what has to be be accomplished:
with a hammer is...
a hammering...
so there's a plot for nail
and two pieces of wood
for... at least a scaffold fixture...

now: i'm not a terrible cook:
i do own a specification that allows
me to gravitate toward: pasta al dente...
and rice like: "uncle tom's cabin"?!
whatever the hell that means...
but when i spectacularly good ****...
i can also cook...

and hey... i can almost figure out
a way into excess 'indu heat
of a vindaloo...
i can understand this excess...
although: point me in the direction
where i misunderstood:
fenugreek seeds...      

fair enough...
   i rhyme i freefall more and more
it' not like i'm a journalist worried
about: what to do with when
it's all column and i'm having ambitions
for paragraphs (etc.)

   when i cook good i cook:
towering infernos of oyster slobber
tongues...
when i cook:  bad (not the least of a lisp
o' shy tongue of a Lee)
i cook like a demon's worth of
revenge...

not understanding certain spices...
you can misunderstand fenugreek...
that's a certain...
chilly too...
you can misunderstand
chimichurri and say:
it's almost a salsa...
but then there's no coriander...
it's mostly parsley...
but there's the acidity of the red wine
vinegar....
somehow the British soldiers
asked for a curry: "give me curry"...
"chimichurri"
in Latin America i guess that's
the prop-up translation...

misunderstanding spices...
Achilles had at least four legs...
toes that towed hoofs...
and hair that smelled of...
plum blossom and sunshine...
maybe a tease of tomatoes...

but i have... vitriol...
i have... "concern"... i have...
   almost 340 grams of leftover
beef roast and peppers
and noodles...
and hoisin sauce etc. that was...
wasted, ******: wasted...

said recipe...
and see if you can spot something, awry...
i didn't use mince beef
i cut up a roast rack...
but... to be honest: no hail mary
of a ******* difference,
nonetheless: the rubric:

1tbsp olive oil
340g of beef
2 garlic cloves
1 red chilli
1 tbsp chinese five spice
2 tsp sichuan peppercorns
1 tbsp brown sugar
2 tbsp hoisin sauce
2 tbsp soy sauce
2 tbsp crunchy peanut butter

pak choi: sorry... peppers instead...
spring onions, yes yes...
noodles... yes yes...
coriander yes yes...

website? deliciousmagazine.co.uk...
the "cook"?
hence my concern for vitriol
since i will name him...
a... DONAL SKEHAN...
a sing-along pride dancing leprechaun
of a ******* paddy...
has as much knowledge of
foreign spices as i have
giggles having discovered
gunpowder... yeah...
"discovered".... did my China "thing"...
forgot the trap of fancy lights...
brought back the extension
of the crossbow... increased the speed
of projectile...
Spain allowed itself a Reconquista and
3/4 of the h'american continent...
but i am not: of the lineage...
to itch with "pride"...

- a bit glam this culinary adventure...
cooking as if it's homeopathy...
misnomer...
this is not a taste of homeopathy...
i would not ask for diluting a drizzle of
honey in a glass of *****...
although: that doesn't sound all too bad
to begin with...
but it's like... misunderstanding
the use of fenugreek seeds
is like misunderstanding
the use of sichuan pepper...
2... hello?
is that tow too?
yes... two teaspoons of sichuan pepper...
grinded down...

off your rockers... aren't you?
no... but 2TSP of SICHUAN PEPPER?!
you have to be "joking"... no?
ask any European what happens
when you use too much
dry thyme or oregano...

get drunk and ride a bicycle in the middle
of the night:
what the ****?!
my lips, mouth and throat
were trembling: murmuring...
vibrating with something that wasn't exactly hot:
it wasn't camel jockey proud either...

Donal Skehan: former boyband member....
has as much knowledge about food
as i have knowledge turning cow **** into
gnocchi...
honest criticism...
you can abuse a spice, once...
there's a reason the british cricket team
are dubbed the tourists....
you come back with a *******
chimichurri, excesses of fenugreek...
sichuan peppercorns...

             we know salt: as nearest to
the fabric of the Baltic Sea
as musts must be met...
we know salt and salt
is implicit: for / of anything that's ever
to be cooked... no? tenderised? no?

if i were gagging for a stake tartar...
i'd also be drinking horse blood...
mind you: there were a people and
they were denoted by history as Huns...
and they invented the stirrup...
so: hey presto...

detailing the itch of a knife...
by the edge of the least: fathomable scrutiny...
i don't like cooking something
that's... inedible... Donal Skehan's
use of 2tsp of sichuan peppercorns is...
probably enough for comparison
to stage a ******* ****...

honest to god i'll sooner whip up a
whiff... no best kept project beside
"that one" of...
the refreshing "allure" of horseshit...
in a hazy morning hour...

this Iroshman can cook for horde:
and wise-*******...
null!
         2tsp of sichuan peppercorns...
for 340g of beef volume...
no...
            nein nie niet no ne: nem!
it was a terrible idea:
towing brick in rubble, a brick...
now this...  revival sequence of
events and least narratives...

       mea culpa? all the self-help gurus
seem to mind this dimension...
i abhor it... like i abhor the infectious demands
of the "hard work" of psychiatry...
the usual chemo-brain-fizzle...
cocktail of non-events: are "we"?
i thought you concerned yourself
with... politically correct lingo usage...
you... ******* worth of use of a cushion; no?

i was lied to...
stupendously adrift on a raft of bogus...
this bleeding sea of last, frothing...
2tsp of sichuan peppercorns...
you want your lips trembling...
vibrating with an overload
of how to best, overdose...
you...Irish.. squat-****!

              *******... Paddy...
come ****** Sunday:
let's extend it toward keeping it blue
and plum Monday...
******* "cosmopolitan"
of a lost Berliner esque Rilke...
this ******* of a ******* of a Dublin...

even some U2 won't save
your ******* northern itch...
i have vitriol...
i am vitriol...
    i have wasted 340grams of beef
that i might as well have...
butchered: thrice...
than having attempted to cook it
once.
A Henslo Feb 2019
DE SNEEUW VINDT HAAR EINDE OP EEN WARM GAZON
EN WAT OVERBLIJFT

De diepste indruk maakt een dik pak sneeuw.
Rustig residu die middag,
opziend naar een wonderblauwe hemel.

Sneeuw biedt je weer een lijf, zet je een hoed op,
begraaft je in haar tweede natuur, met een schijnsel
van sepia, lekkend schemerblauw.

De sneeuw friemelt aan je voegen,
wil naar binnen.

In de sneeuw ben je engelachtig
en zij is niet beangstigend, zij lijkt ons veeleer
te omarmen en te beschermen
op onze weg door de stad

Zelfs middelbaar ben je weer even kind.
De sneeuw vangt ons met haar gepeperde adem
en geeft frisse lucht.

Zij komt en gaat en komt weer terug
Zij hoopt zich op zonder
hoop op duurzaamheid
& wenst niet te blijven.

De sneeuw, ik benijd haar,
dat zij zal verdwijnen
laat haar koud

Zij is haar eigen landschap,
met haar coole witkalk
creëert ze
een albasten pracht

trekt zich dan terug zonder klacht.
English Dutch transposition by A.Henslo
Original poem by Deborah Landau, 2018

The Snow Goes to the Gallows of a Warm Grass  and What Survives

The deepest redress is a thick and fulsome snow.
Peaceful prevail of afternoon,
looking out at this bluish marvel the air.

The snow realizes you a body, puts on you a hat,
tombs you in its second nature, with consequence
of sepia, a leaking dusky blue.

The snow fumbles at your borders,
wants a way in.

In the snow we are angelic
and it’s not discouraging in fact it is marvellous
when the snow has its arms around us
and we walk the streets as if safe.

You’re a child, even in midlife.
The snow clouds us in its peppery breath
and the air comes fresh.

It comes and goes and comes again
it doesn’t aim for durability
it accumulates for the sake of it
& doesn’t want to last.

The snow, I envy it,
it will vanish
but it doesn’t care,

it’s its own garden,
its own cool chalky paint―
kicks up
an alabaster splendor

then retreats without complaint.
Ronald Jones Nov 2015
Light a Gauloise Bleu
Anytime anywhere and
Dream Paris so fair!

The famous French cigarette in the blue pak.
Shahjahan Feb 2021
Here love blossoms
Here people come running frankly
Here the head bows in reverence
Here Bengali is the book of poetry.
Here is a fistful of hands in vows to remember the martyrs
Here the Bengali's roared
Such as Ekushey of Bahanna one day
Woke up.
The world has seen a lot of shots
Didn't see the language soaked in blood February!
Hyena's team is so brazen and so barbaric
Kari wants to take her mother's language
Salam-Barkat Rafiq-Shafiq Jabbar
The vigilant guard of the mother tongue poured out the ****** of the chest.
Then a Mujib at the front of the procession
Sheikh Mujib is at the forefront of history
Bengal and Bengali took the lead
Fifty-two sixty-two - we got the demand to survive
The days of seventy-nine fires have come
Bangabandhu got Bengali
Day of release ahead.
In nineteen years, Bengalis took the form of the liberation army
Twenty-one to seventy-one
Mujib gave the call - at the March racecourse
When he heard the shackle-breaking poem
"This time the struggle is for freedom" ...
The fort was built from house to house
The defeated Pak army looked at him with a smirk
The red-green flag flew over the open land of Bengal
The people of Bangladesh chanted the slogan in unison - Joybangla!
The world has never seen such a February, such a March, such a December of victory
Proud Shaheed Minar with red-green flag!
The poem Written by  Professor Nani Gopal Sarker
stephanie Jul 2020
(Disclaimer: gue udh lama ga nulis jadi maaf ya kalo aneh he he he)

6 tahun. Itulah lama kita berteman.


Umurmu 14 tahun ketika kamu menyapaku dan mengajak berkenalan di ruang kelas 8B. Namamu bagus, Thevin. Tapi entah mengapa orang disekitarmu memanggilmu Ncek. Akupun mulai mengenalmu sebagai Ncek, teman pertamaku di kelas itu. Entah apa yang membuat kita menjadi akrab; aku yang sering memintamu untuk menemaniku berjalan ke Citraland sampai kamu jatuh sakit, atau kamu yang sukarela mengambil novelku yang dibuang ke tempat sampah oleh Pak Eko.

Umurmu 16 tahun ketika kita kembali berteman. Diujung masa SMP (dengan bodohnya) kita bertaruh untuk tidak berbicara lagi setelah lulus. Namun lewat Aji, kita memutuskan untuk berteman lagi, bahkan jauh lebih dekat dari sebelumnya. Kamu melindungiku dari patah hati dan aku mendengar kisahmu mengenai hatimu yang patah.

Umurmu 19 tahun ketika persahabatan kita terasa retak. Aku yang terlalu rapuh dan kamu yang menjaga aku dan dia secara bersamaan membuat semuanya semakin mustahil. Sahabatku menjadi sahabatnya; hal itu terngiang-ngiang didalam kepala. Aku memutuskan untuk menjadikanmu musuhku, orang yang sepihak dengannya. Padahal kamu hanya ingin menjadi sahabat yang baik bagi kami berdua.

Sekarang, umurmu 20 tahun. Kamu bukanlah orang yang sama seperti Thevin yang mengajakku berkenalan 6 tahun yang lalu, namun rasanya kamu masih familiar. Kamu terasa seperti kota Jakarta yang terus berubah namun aku tau aku akan selalu pulang ke rumah.

Dirgahayu Thevin. Selamat datang di masa dewasa.

Dimana kamu akan tertawa lebih keras bersama teman-temanmu. Bercerita lebih banyak kepada ibumu. Berusaha lebih sabar menjaga kedua adikmu. Berbicara lebih dalam bersama ayahmu. Menangis lebih banyak karena masalah yang menimpa. Memaafkan diri lebih dari menyalahkan diri.

Semoga tahun ini seorang Thevin dapat lebih mengenal dirinya sendiri!

— The End —