Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Bella Ayu Apr 2019
Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa yang menjadi ketakutan terbesar kamu?
Saya sadar, kamu terlalu idealis.
Saya tidak berpikir kita akan menjadi hebat bersama karena kita sempurna tetapi karena kita cacat.
Anehnya kita masih saling mengerti satu sama lain.

Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa itu cinta?
Dan kata-katanya akan membuat tubuhku kaku, mengapa kamu begitu takut mencintaiku?

Suatu hari kita akan bertemu lalu saya akan bertanya kepada kamu, apakah kamu ingin tahu apa yang selama ini saya pikirkan?
Kamu ketakutan lalu mengacaukannya.

Suatu haru saya akan menemui kamu lalu saya akan bertanya, mengapa kamu meninggalkan saya?
Kamu tidak bisa menjawab lalu kembali bersembunyi.
Elle Sang Jun 2016
Tak ada yang bergerak di luar jendela
Rahasia tersimpan rapi diantara bantal-bantal yang tersusun
Izinkan aku untuk masuk
Aku tak akan menyakitimu

Kita terjebak diantara Surga dan Neraka
Mencari tempat berlindung
Ketika rasa sakit mengalir turun seperti hujan
Mereka membagikan rasa itu secara cuma-cuma

Saat bagian tersulit berakhir
Kita akan terus berada disini
Kita bisa memberitahu Iblis untuk kembali ke tempat ia berasal
Karena kau dan aku telah melawati batas-batas ketakutan berdua.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai memberi nasihat, kau tak melakukan apa yang kuminta.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai bilang aku tak perlu merasa begitu, kau menginjak-injak perasaanku.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau merasa harus berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalahku, kau telah mengecewakanku, memang aneh kelihatannya.

Dengar!

Yang kuminta hanya kau mendengarkan bukan bicara atau berbuat—hanya dengarkan aku.

Nasehat itu murah; 60 sen akan memberimu rubrik nasehat yang ada di koran. Dan itu bisa kulakukan sendiri. Aku bukan tak berdaya, mungkin kecil hati dan bimbang, tapi bukan tak berdaya.

Ketika kau lakukan sesuatu untukku yang bisa dan perlu kulakukan sendiri, kau menambah ketakutan dan kelemahanku.

Tapi saat kau terima kenyataan bahwa aku merasa apa yang kurasa betapapun tak masuk akal, aku bisa berhenti mencoba meyakinkanmu dan memahami apa di balik perasaan yang tak masuk akal.

Dan ketika semuanya jernih jawaban menjadi jelas dan aku tak butuh nasehat.

Perasaan-perasaan yang tak masuk akal menjadi sebaliknya saat kau memahami ada apa di balik semuanya.

Mungkin karena doa itu manjur, terkadang, untuk sebagian orang karena Tuhan tak bersuara, dan tak memberi nasehat atau mencoba memperbaiki sesuatu. Tuhan hanya mendengarkan dan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri.

Jadi, tolong dengar dan hanya mendengarkanku. Dan bila kau mau bicara, tunggulah giliranmu, dan aku akan mendengarkanmu.
lullabies Mar 2017
Pagi ini aku menangis
Bukan karena ketakutan
Namun ini masalah mimpi yang mengecewakan
Bulanlah yang menjadi saksinya
Ketika kamu mengatakan yang selama ini ingin aku dengar
Kalimat yang cukup membanggakan
"Aku mencintaimu"
Aku lupa jika ini hanya mimpi
Mimpi jika aku mendengar kalimat itu dengan mulut kecilmu
Meski kuucap semua kata pinta
Kita punya hubungan tanpa pernah kamu mengucap kalimat membanggakan
B'Artanto Mar 2020
Terang bulan,
padahal ini tertulis di pukul enam yang masih berembun setelah fajar

Ntah bagaimana yang muncul adalah terang bulan.

Bukan mengenai kisah anak-anak yang dipaksa meminta-minta, menjual kerupuk tiga ribuan.

Hari ini terang bulan muncul lebih awal, dua belas jam lebih awal.

Siapa yang tau isi kepala yang ditutupi rambut hitam orang-orang?

Seperti apa terang bulan yang ada di dalam pikirannya?

Terang bulan diisi dengan ketakutan-ketakutan bertambahnya angka pada umur.

Merasa ada yang salah dengan putaran waktu,
Ia belum siap ternyata.

Sementara hari tidak menunggu apapun, bahkan detiknya.

Terang bulan tidak benar-benar ada, ia hanya muncul saat orang-orang sedang bahagia yang serupa.

Selebihnya adalah sabit di ujung bulan yang kadang muncul sekadarnya.

B_A
11 Maret 2020
Megitta Ignacia Jul 2019
membingkai itu ada tujuannya
dilapisi kaca biar tidak terkotori
aku mengamplas ingatan yang sempat luntur
terbawa pada lamunan utuh & seruan sendu
silam, bertumpu berapi-api enggan berkeputusan asal
sampai kini, aku masih patuh pada prinsipku

kamu memintaku,
namun hatiku berprasangka itu rancangan induk
bukan asli pemintaanmu
kupilih menepikan diri
diam-diam berharap kamu bercerita lebih dalam
tapi nihil, malah indukmu maju
aku mau, tapi apa keputusan ini benar
pepetan restu, tekanan waktu
dihimpit ketakutan indukmu atas cemooh
orang, siapa? tetangga? saudara?

keengganan bersepaham
kuuji kamu dari belakang
menantang setara, seimbang, sejajar
lontaran kata pengundang debat
berlindung atas wejangan duda muda yang baik
"dua jenis prinsip tujuan pernikahan"
satu, untuk memulai keluarga baru
dua, untuk menyatukan keluarga
dengan kesadaran kupilih yang bertolak denganmu
karena saat itu aku belumuran ragu
sejauh mana kedewasaanmu?

kamu gagal pada tesmu,
tapi aku tetap bertahan kala itu,
setelah semua berjarak, mungkin kamu sadar ikatan pernikahan bukanlah hal main-main
kubedah diriku, ada setitik kekecewaan
seumpama semesta menghajarku dengan keras
tapi Ia tidak melepaskanku pada maut
disadarkanNya pula, inilah jawaban doa
"jauhkanlah aku dari yang jahat & dekatkanlah dengan yang baik"
jari manisku takkan tersemat cincin duri sebab ranting emas berbunga daisy telah memekarkan diri
230719 | 19:35 PM udah di kost Bali lagi, minum kopi sambil makan roti canai, ini luapan emosi, tentang transformasi ke arah yang baik. Tuhan menjaga kita semua.
Gadis kecil berpipi bulat senang menari di taman.
Kadang sendiri, kadang bersama kawan.
Suatu hari gadis kecil berpipi bulat bertemu seekor singa.
"Jangan dekati dia! Dia sedang terluka!" Teriak seorang teman.

Gadis kecil berpipi bulat memperhatikan Raja Hutan.
Luka bekas sayatan menganga lebar di dada.
Ia bermandikan darah dan air mata.
Gadis kecil berpipi bulat terkesima.

"Tuan Singa, Tuan Singa! Siapa yang melukai anda?" Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran.
Seekor singa dengan bulu kecokelatan lebat sekilas mendongak, lalu kembali tergolek lemas.
Sekilas bola cokelat mengintip dibalik mata sipitnya.

"Tuan Singa, Tuan Singa ! Apa anda kesepian atau ingin mencari mangsa ?"
Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran. Ia terpesona dan ingin mengobati Raja Hutan.
Tapi bisa saja ia disantap sekali lahap.
Gadis kecil berpipi bulat tetap tidak beranjak.

                  Semoga gadis kecil berpipi bulat tidak dalam bahaya.

[Jakarta, 17 Juni 2019.]

__


Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Seekor betina pernah singgah dan mempermainkan luka.
Tuan Singa pandai bersandiwara!
Sesekali tertawa di selipan duka.
Gadis kecil berpipi bulat melihat.

Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Tuan Singa pernah kesepian dan ketakutan.
Takut menengok ke belakang dan diterkam dosa.
Seekor raja hutan meninggalkan banyak korban, pun selamatkan diri sendiri ia lupa.
Gadis kecil berpipi bulat terdiam.

"Semudah itu manusia mati dan semudah itu manusia hidup." Dongeng Tuan Singa.

Si Raja Hutan lelah, dan mulai menyanyikan lagu "Bangunkan Aku ketika September Usai" dari Hari Hijau.
Gadis kecil berpipi bulat menikmati senandung minor luka pengantar tidur.

"Tuan Singa, aku mengantuk. Tapi izinkan aku menemani tuan sampai tuan tidak butuh aku lagi, ya.
Selamat tidur dan bermimpi.
Semoga mimpi malam ini indah."
Ucap Gadis kecil berpipi bulat sebelum pulas.

[ Jakarta, 22 Juni 2019 ]

——

Gadis kecil berpipi bulat sudah terjebak.
Gawat.
Raja hutan mempermainkan teka-tekinya.
Gadis kecil berpipi bulat sibuk mengobati hingga lupa ia pun melukai diri sendiri.

“Tuan singa. Tuan singa.
Apa yang tuan inginkan?
Sebuah hati lagi, atau aku beranjak pergi?”

[5 Agustus 2019]

——

Raja Singa sedang terluka.
Ia gelisah.
Tapi gadis kecil berpipi bulat tidak bisa mengobati.
Atau,
bukan dia, yang sang raja cari ?

[19 September 2019]

_

Cukup.
Waktunya telah tiba.
Gadis kecil berpipi bulat harus pergi.
Semoga kamu bisa tidur.

[04 Oktober 2019]
Saya tulis untuk seorang Singa yang pernah saya kenal.
Bella Ayu Apr 2019
Dapatkah kamu merasakannya?
Bisakah kamu melihatnya?
Kamu memiliki monster di dalam diri kamu.
Setiap hari, dan setiap malam kamu tidak bisa lengah dari monster itu.
Bisakah kamu mendengarnya mengetuk di depan pintu ketakutan kamu?
Memberitahu kamu untuk membiarkannya masuk, dan kamu tidak perlu takut.
Menunggu dengan sabar dalam bayang-bayang kebahagiaan kamu,
Yang akan menyerang setelah kamu dikuasai oleh kesedihan kamu sendiri.
Penunggang badai Feb 2021
Ahh, judul...
Kuliat ia akhir-akhir ini begitu menyebalkan
Begitu merangah, berusaha mencolok
Aku tidak yakin dia melakukannya dengan tidak sadar
Aku tahu dia menginginkan sesuatu

Kuasa!
Aha, itu sudah pasti kuasa
Kuliat ia begitu sombong hanya karena posisinya yang sedikit diatas
Memandang rendah kata-kata serumpun yang ada di bawahnya
Acuh melihat titik dan koma yang baginya tak ada apa-apanya

Hanya karena font yang sedikit tebal dan size yang agak besar
Membuat masyarakat kata memilihnya untuk mewakili suara mereka
Pun merasa tak sebanding dengan apa yang dimiliki ‘Si Congkak’ itu
Kata merasa rendah, titik koma tak berdaya
Dan mereka... Kalah atas kedaulatannya sendiri

Padahal judul hanya tak sadar
Bahwa kuasa yang dimilikinya itu bukan karena dirinya sendiri
Ia lahir karena keresahan kata
Yang terombang-ambing bagai kapal di ganasnya lautan
Menggantung bagai kepompong, terpenjara dalam ketidaksempurnaan
Melayang-layang bak daun jatuh ditiup angin, tak tentu arah
Mendambakan hidup yang bahagia dan tenteram untuk merdeka

Karena ketakutan kata-lah
Judul hadir sebagai jawaban
Agar kata dilirik pembaca
Agar kata digunakan dalam ruang diskusi
Agar kata hidup dalam kepala
Mengakar kokoh dan menjadi abadi

Judul adalah cerminan pemimpin di negeri ini
Seperti kacang yang acuh pada kulit, lupa diri
Bahwa dirinya ada untuk mendengar keresahan
Bukannya malah menjadi dalang kerusuhan
Bahwa dirinya ada untuk mengerti suara yang dimarjinalkan
Bukannya malah membuang muka, lalu lantas pergi meninggalkan

Lihatlah ibu yang telah melahirkan
Yang terpinggirkan mengandung harapan
Yang menanti dengan merapal doa disetiap malam
Anak baik jadilah baik
Wahai kalian yang duduk manis di kursi tahta

Bangkitlah!
Kata-kata dan rakyat jelata yang dipandang sebelah mata
Mendengarlah!
Wahai judul "Si Congkak" juga para pemimpin negeri yang berlagak sok kuasa
Yulia Surya Dewi Mar 2018
✫  ·    + . ✵
   .
·    .•°•Trepidation•°•.
.      ˚  *     
     .  . ⋆ *   ˚
    .  ⊹

Bunga-bunga menjauh dari jalanku
Membiarkanku seakan kehilangan ragaku
Duri menghiasi setiap jalan
Sinar matahari memudar di sela-sela dedaunan
Burung-burung merintih dalam pedih

Biarlah ketakutan mengambil kesempatanku
Kesempatan untuk kembali ke jalanku
Jalan yang tak mungkin kutemui lagi
Di kegelapan aku mencoba menyisir cahaya
Menyisir cahaya dan kudapati rontokan bintang

Aku takut..
Aku takut pada malam
Malam yang semakin pekat
Kemana aku akan berlari?
Lututku berdarah menapaki jalan tanpa arah

Semua ini tampak seperti ilusi bagiku
Menemukan jalan yang benar adalah delusi
Tak ada rasa sakit, tak ada kesenangan
Namun kesenangan itu hanyalah angan-angan

Aku tak ingin menyerah
Walau kurasa hatiku berdarah
Bila dunia ini berhenti
Siapapun takkan bisa mengunciku lagi

Selamatkan aku...
Keluarkan aku dari sini
Seperti apa akhir dari jalan ini?
Aku takut...

Keluarkan aku dari sini
Ku mohon peganglah tanganku
Di dalam hatimu, di dalam mimpimu
Bangunkanlah kembali bintang-bintang

-Kediri, 17 Maret 2018
xGalih Aug 2020
Pada gersangnya bibir, kerongkongan merengek tersedu-sedu seperti laki-laki kecil sepulang sekolah.
Seiring dengan semakin mencekamnya kantung mata yang menghitam, dan kemarau yang tak kunjung usai bersemayam pada kelopak yang lelah, gadis kecil menyandarkan jiwanya pada ayunan yang rapuh di halaman belakang rumah tua.

Di seberang persimpangan jalan, laki-laki kecil menggerutu tentang udara yang mencekik seluruh tubuhnya.
Ia menyusuri jalanan tempat orang-orang kehilangan rasa.
Terus berjalan di belakang waktu.
Waktu yang menggerogoti jiwa orang-orang di sekitarnya.

Di atas rumah pohon, di awal musim penghujan, gadis kecil bersedih.
Ia menangisi bekas luka yang tak jua sembuh.
Luka yang menghidupkan kembali ketakutannya.
Dan ketakutan yang pada akhirnya akan memenggal kakinya di akhir musim.

Musim berlalu-lalang, orang-orang datang dan pergi dengan pasti.
Tapi apakah pergi selamanya tentang menghilang?
Musim baru selalu tiba, sesekali tepat waktu, seringkali sulit terprediksi.
Seperti kedatangan dan kepergian, kapanpun ia akan mengetuk pintu kewarasan.

— The End —