Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
afteryourimbaud Sep 2018
Kenapa harus kita
berlari dari
kenyataan
Kenyataan itu
melegakan
Kenyataan itu
mendewasakan
Kenyataan itu
memaknakan

Ayuh ke sini
kenyataan,
kuhidangkanmu
persoalan.
Joshua Soesanto Jun 2014
sajak yang terulang
semua terlihat sama
balkon di pagi hari dengan kopi kita
bercengkerama lepas kata

rasa manis tanpa gula terasa
kita masih tetap bertukar kisah
dari hulu ke hilir tanpa derasnya alur
kita masih tetap saling menghibur

akan ada waktu
waktu di antara batas cemburu dan kerelaan
menerima kenyataan
sebagai buah resonansi pengakuan

kamu selalu bisa menerjemahkan
rasa yang tak sempat singgah
sederet sajak demi sajak, aku begah
kapan terhenti?
terhenti saat di culik damai
pertanda bahwa jiwa kita pergi
kata itu diam
sediam damai itu sendiri

langit biru mendayu
tapi mata ini semu
hanya bayangan perlahan melayu
haru..
karena tak sempat menyentuhmu

hanya memaksa sumpah
menanak lelah
meminum darah
sedikit sengatan lebah, aku pun rebah
terbangun, lalu ingat
ternyata ada..ya..ada
seikat warna yang tak pernah kita miliki

ternyata kau pun tahu, aku menunggu
dari balik pohon tua di seberang sungai
"tunggu sajalah, sampai lumut memakan dinding waktu"
abu-abu, karena takut jatuh hati

kamu di bawa pergi seorang tuan
dengan kapal bernama masa lalu
sedangkan aku disini
diam-diam menyulam awan menjadi kamu

jika kamu
di antara damai dan terang
aku rela menyembunyikan bintang
aku rela menyembunyikan mentari
aku rela menyandera damai semesta
karena kamu keajaiban
yang aku panggil dalam percakapan bisu
tanpa suara

sejauh perjalanan mata dan hati
aku pun pergi
tak sempat menoleh kebelakang
hanya menitipkan pesan tak harap balasan

semoga harimu bermuara pada kesederhanaan
sesederhana tuhan menaruh cinta baru tiap pagi
sesederhana embun pada dedadunan
sesederhana matahari..
indah dan jatuh begitu eloknya
sesederhana..
sesederhana..

kamu apa adanya.
Dustin Tebbutt - The Breach #Nowplaying #Tracklist
Aridea P  Dec 2011
Apa Mau Mu
Aridea P Dec 2011
Palembang. 24 Desember 2011

Ku panggil namamu
Kamu ucapkan Selamat Tinggal!
Aku raih tanganmu
Kamu terus berjalan melepaskan genggamanku

Aku menghampirimu di bangku taman
Kamu beranjak pergi tanpa sepatah kata
Ku bawakan buku favorit mu di perpustakaan
Kamu malah membeli buku yang sama

Kamu bagaikan kenyataan di masa depan
Sungguh tak sanggup aku tuk menebakmu
Tak mampu aku memenuhi semua kebutuhanmu
Kamu pun tak pernah angkat bicara

Apa mau mu?
Aku terjatuh, kamu diam saja
Apa yang ada di pikiranmu?
Aku bicara, kamu memalingkan wajah

Aku sakit, kamu tak tahu
Aku menjauh, kamu mengejarku
Aku menghilang, kamu mencariku
Oh sayang, aku tak tahu apa mau mu
Bintun Nahl 1453  Mar 2015
Dengar
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai memberi nasihat, kau tak melakukan apa yang kuminta.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai bilang aku tak perlu merasa begitu, kau menginjak-injak perasaanku.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau merasa harus berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalahku, kau telah mengecewakanku, memang aneh kelihatannya.

Dengar!

Yang kuminta hanya kau mendengarkan bukan bicara atau berbuat—hanya dengarkan aku.

Nasehat itu murah; 60 sen akan memberimu rubrik nasehat yang ada di koran. Dan itu bisa kulakukan sendiri. Aku bukan tak berdaya, mungkin kecil hati dan bimbang, tapi bukan tak berdaya.

Ketika kau lakukan sesuatu untukku yang bisa dan perlu kulakukan sendiri, kau menambah ketakutan dan kelemahanku.

Tapi saat kau terima kenyataan bahwa aku merasa apa yang kurasa betapapun tak masuk akal, aku bisa berhenti mencoba meyakinkanmu dan memahami apa di balik perasaan yang tak masuk akal.

Dan ketika semuanya jernih jawaban menjadi jelas dan aku tak butuh nasehat.

Perasaan-perasaan yang tak masuk akal menjadi sebaliknya saat kau memahami ada apa di balik semuanya.

Mungkin karena doa itu manjur, terkadang, untuk sebagian orang karena Tuhan tak bersuara, dan tak memberi nasehat atau mencoba memperbaiki sesuatu. Tuhan hanya mendengarkan dan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri.

Jadi, tolong dengar dan hanya mendengarkanku. Dan bila kau mau bicara, tunggulah giliranmu, dan aku akan mendengarkanmu.
Aridea P Mar 2017
Palembang 27 Maret 2017

Untuk diriku sang penikmat kopi

Aku telah bangun saat fajar masih terlelap
Kemudian aku membuka jendela agar embun menatapku
Ku biarkan tamu pagi nan sejuk menyapu rambutku yang pirang
Seketika itu aku teringat tuk menyeruput kopi di gelas favoritku
Segelas Capuccinno hangat di tanganku sekarang
Mulai ku teguk sambil ku pejamkan mata
Ku rasakan manisnya krimer di lidahku
Mengingatkanku pada kamu
Pemanis di dalam hidupku

Aku hendak bekerja seperti biasanya
Kini mentari menantangku untuk menakhlukkannya
Ku pasang perisaiku dengan lengkap
Kemudian ku berpikir tuk mendapatkan segelas Caramel Frappe tuk menyejukkan hari ini

Tak terasa mentari kini telah lelah tuk bersinar
Sehingga membuat dunia kian gelap
Aku seduh Black Coffee tanpa gula
Tak ku hiraukan rasa pahitnya ketika menyentuh lidahku
Lebih pahit mana dengan kenyataan aku hidup tanpa cintamu?
Sipaa Adriani Jun 2019
Kemana kau tuan,hilang tanpa pesan
Meninggalkan hamba dengan sejuta kerinduan
Boleh hamba mengatakan? Bahwasanya kehilangan tuan,tidak pernah hamba inginkan
Bahkan,sejak kepergian tuan
Hamba masih berdiri disini,mempertahankan,berharap tuan akan merubah arah pijakan
Dan kembali ke sisi di pangkuan

Semenjak tuan pergi,
Desau angin mulai menyepi,
Kicau burung tak terdengar lagi
Berganti dengan sesak nafas hamba,dan suara tangis yang kian menusuk telinga
Hamba masih belum bisa menerima kenyataan,
Bahkan,merelakan tuan pergi saja masih terasa menyakitkan
KA Poetry  Oct 2017
Denganmu.
KA Poetry Oct 2017
Denganmu
Seakan kenyataan berlari - lari
Imajinasi menghanyutkan diri
Membuat mimpi sempurna

Menjadi diriku yang sebenarnya
Membuat dirimu tempat ku berpulang
Seakan dunia berhenti sejenak
Memberiku kesempatan untuk melihatmu

Suatu keindahan yang mampu merajut rindu
Lukisan yang berharga akan dirimu
Lagu romantis yang merdu
Menjadikan arti dari dirimu.
21/10/2017 | 22.04 | Indonesia
zahra ly  Aug 2019
Kepada: Tuan
zahra ly Aug 2019
"Apa benar, khayalan bisa menjadi kenangan sekuat kenangan dari kenyataan?"
Aku berandai-andai menanyakan itu pada Tuan
Lalu sekiranya Tuan bertanya, "Puan, perihal apakah gerangan?"
Akan kujawab, "Tuan, tak sadarkah kita terjebak?"
Tuan bergeming.
"Tuan, jika saja kau tahu; perihal kita tiada sederhana”
Aridea P Mar 2017
Palembang, 27 Maret 2017

aku menyendiri,
bukan karena ku tak memiliki teman
tetapi aku mundur perlahan dari pertemanan

aku mengunci diri di kamar,
bukan karena aku tak memiliki tempat tuk dituju
tetapi aku berharap kelak ada yang menemukanku

aku menenggelamkan jiwa ke relung alam sadar paling dalam,
bukan untuk berlari dari kenyataan
tetapi untuk menemukan jawaban
jalan terbaik untuk menempuh sebuah kenyataan,
smoga anugrah illahi yang menentukan
dunia pasti berputar hnya menanti sebuah keajaiban
Jovanka Marsha S Jun 2018
Ingin rasanya melayang jauh ke masa lampau
Takkan ku biarkan sosoknya hadir
Jauh ke masa lampau...
Takkan ku biarkan kebahagiaan tersingkir

Saat awan lahir ke peraduan
Kenangannya memanggil manja
Dengan menerobos dinding kenyataan
Nyatanya ia telah hilang tak membekas apa-apa

Perasaan semakin tinggi menjulang
Kamu - Senja - Aku akan selamanya satu

Kau benar telah memilih pergi
Aku benar telah memutuskan menunggumu kembali.
- Jovanka Marsha S
Awan | 11 Des 17 | 13.22
ada yang lain di bibirmu
yang mekar ketika melihat
sesuatu yang indah
bukan— bukan kita.

ada yang lain di matamu
yang memanja nyawa-nyawa lainnya
seperti melihat kenyataan yang cantik sekali
bukan— bukan kita.

ada yang lain dari langkahmu
yang luar biasa kuatnya
seperti anak umur 5 tahun yang mengejar lenglayangan di ujung lapang—gembira.

ada yang lain dariku
kosong sekali
linu nya masih ada
namun ada yang tak kunjung kembali


kita

yang katamu sungguh berantakan.
R  Jun 2020
Gedung
R Jun 2020
Sahabatku selalu bilang, hidup adalah sebuah gedung yang ditempa oleh mimpi. Mimpi adalah pilar terkuat untuk hidup. Struktur gedung sahabatku sangat apik bagai dirancang oleh arsitek terkemuka, setiap sudutnya dikalkulasi dengan baik, interior gedung tertata dalam estetika yang berkelas. Setiap lantai gedung itu, memiliki cerita mimpi yang berbeda. Namun, gedung milik sahabatku tak pernah lepas dari sebuah warna cat yang ia sebut sebagai motivasi.

Nama gedung sahabatku adalah Kebahagiaan.

Sehari-hari gedung itu dipenuhi tawa dan senyum tiap orang yang berlalu-lalang di dalamnya. Tak jarang gedung itu mendapati kunjungan oleh Mimpi Yang Terkabul yang membikin gedung itu makin meriah dibuatnya.

Sahabatku selalu memberiku petuah bagaimana cara merawat gedungku, hidupku, dengan memiliki mimpi yang harus kuraih, meskipun jauhnya di ujung lautan sana, dan tetap harus ku kejar walaupun kemampuanku hanya sebatas merangkak.

Ketika ia bicara tentang pilar, ia tak tahu aku tak ingin punya gedung.

Kematian berbicara bagai gedung yang direnggut dari eksistensi. Dirubuhkan fisiknya. Dihancurkan. Namun, aku tak ingin punya gedung. Aku tak ingin ada di dalam lanskap kehidupan yang rumit ini. Skenario merawat, menjaga, dan mengasihi sebuah gedung membuatku bingung dan pusing.

Gedungku bahkan tak bisa dibilang gedung, hanya empat tembok kumuh yang lebih cocok disebut kandang. Aku tak punya pilar, hanya ada empat onggok tiang bambu yang perlahan dimakan rayap. Lantainya bukan dari marmer, tapi tanah becek yang bau ketika dicium hujan, tidak ada orang tertawa atau tersenyum di dalam gedungku, hanya ada aku dan rasa lapar yang berteriak sampai telingaku lelah.

Lantas, ketika aku terbangun dari tidurku yang tak pernah nyenyak dan disambut kegelapan, tanpa gedungku, tanpa ocehan sahabatku yang berkata sembari menutup mata dari kenyataan yang ku alami, aku bernapas lega.

Dalam incognito yang ku peroleh, aku merasa tenang. Terombang-ambing di tengah ada dan tiada. Menyatu dengan hitam, bersaru dengan putih. Aku tersenyum dan perlahan berterima kasih kepada Tuhan yang akhirnya memahami bahwa aku tak punya mimpi, selain menjadi tidak ada.

Namun, hatiku mencelos ketika Tuhan berbisik dengan lirih, bahwa aku hanya punya batas waktu hingga empat puluh delapan jam sebelum kembali pada kehidupan yang rumit.

“Tuhan,” kataku, “untuk apa aku ada, ketika orang-orang sibuk dengan gedung, sementara yang ku punya hanya seonggok bilik?”

— The End —