Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Fake Name Nov 2016
Blue Bacon and Mexican Swiss Cheese with Krusty Jam




My name is Bam Da Pam
Bam da Pam my name is


Dat Bam-da-Pam-I-am
Dat Bam-da Pam!
I like Dat
Bam-da-Pam-I-am


Do you like blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam


I like them,
Bam da Pam
I like
Blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam


Would you still like them
In or out
Would you not like them
In a spout


I would like them
In or out
I would like them
In a spout.
I do like
Blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam
I do like them,
Bam-da-Pam


Would you hate them
Up or down?
Would you hate them
All around?


I like them
Up or down.
I like them
All around.
I like them
In or out.
I would still like them
In a spout.
I like blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam
I like them, Bam-da-Pam-I-am.




Would you hate them
On a platter?
Would you hate them
with a splatter?


On  a platter.
With a splatter.
In or out.
With a spout.
I would eat them up or down.
I would eat them all around.
I would eat blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam.
I do like them, Bam-da-Pam-I-am.


Would you? Could you?
in a bar?
Hate them! Hate them!
Here they are.


I would,
I could,
in a bar


You may hate them.
You will see.
You may not like them
in a bee?


I would, I could in a bee.
In a bar! You let me be.
I do like them on a platter.
I do like them with a splatter.
I do like them in or out.
I do like them in a spout.
I do like them up or down.
I do like them all around.
I do like blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam
I do like them, Bam-da-pam


A train! A train!
Could you, would you
on a train?


“On a train! In a bee!
In a bar! Bam da Pam! Let me be!”
I would, I could, on a platter.
I could, I would, with a splatter.
I will eat them with a spout
I will eat them in or out.
I will eat them up or down.
I will eat them all around.
I do like them, Bam-da-Pam-I-am.




Bae!
Would you, could you, in the dark?


I would, I could,
in the dark.


Would you, could you,
in the rain?


I would, I could in the rain.
In the dark. On a train,
In a bar, in a bee.
I do like them, Bam da Pam, you see.
On a platter. With a splatter.
In a spout. In or out.
I will eat them up or down.
I do like them all around!


You do like
Blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam?


I do
like them,
bam-da-pam-I-am.


Could you, would you,
on a hippo


Would you cook it with a zippo


I could and would on a hippo
I will, I will cook it with a zippo
I will eat them in the rain.
I will eat them on a train.
In the dark! In a tree!
In a bar! Please let me be!
I do like them on a platter.
I do like them with a splatter.
I will eat them in a spout.
I do like them in or out.
I do like them up or down.
I do like them ALL AROUND!


I do like blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam


I really like them,
Bam-da-Pam


You do like them.
SO you say.
Try them! Try them!
And I will walk away
Try them and you may I say.


Bam-Da-Pam!
If you will let me be,
I will try them.
You will see.


Bae!
I hate blue bacon and mexican swiss cheese with krusty jam!
I do! I hate them, Bam da Pam
And I would not eat them on a hippo!
And I would not cook them with a zippo...
And I will not eat them in the rain.
And not in the dark. And not on a train.
And not in a bar. And not in a bee.
They are so bad, so bad you see!


So I will hate them on a platter.
And I will not eat them with a splatter.
And I will not eat them in a spout.
And I will not eat them in or out.
And I will not eat them up or down.
Say! I will not eat them ALL AROUND!


I do, I do, I hate
Blue bacon with mexican swiss cheese and krusty jam!
I HATE you!
I HATE you,
BAM DA PAM!
Feedback please, i am turning this in and would like some other peoples thoughts
JJ Hutton  Aug 2010
Density
JJ Hutton Aug 2010
I am a miserable ****.

Traffic jam thoughts.
Aimless speech.
Fever dreams,
coffee with no cream,
love with no pulse,
alone at restaurants,
            at grocery stores,
            at parties.

I have no identity.

Shifting shape, black to blue,
trading girls, red hair for Persian skin,
parents and gods,
politicians and lost purpose mobs,
all asking me to be sacred,
                            to be loving,
                            to be trusting,
                            to be active,
                            to have no spine.

All I want is a bit of my own time.

A grenade of change,
to end the coagulation of my brain,
to leave me hungry for anything
other than me,
didn't somebody say I was promised something?
                                            I was going somewhere?
                                            I was unique?

I am the same miserable ****,

As every other miserable ****.

The ******* that cut you off on Highway 62,

The person that complained about too many pickles,
on his precious fast food,

The boy yelling at his baby sister for getting too much attention,

The girl sexting your boyfriend,

The boy sexing your girlfriend,

The generation divorcing everyone it knows so it can fall in love with

itself.

All different,
in exactly the same way.

Traffic jam thoughts. Traffic jam thoughts.
                   Traffic jam thoughts. Traffic jam thoughts.
            trafficjamthoughts. traffic. Traffic Jam Thoughts. Thoughts.
Traffic. Traffic. Traffic. Traffic. Traffic. Traffic. Jam.
thoughts. traffic. trafficjam. trafficjam. traffic jam thoughts.traffic.
traffic jam. traffic, traffic, traffic. I am a miserable ****. Traffic jam.
Copyright 2010 by Joshua J. Hutton
Tea Talk (or Taking Tea)


Jam comes first
And then the cream
Said the scone from Cornwall
To one ‘n’ all
Taking tea

Milk jug blinked.
The teaspoon gasped,
Who would have linked
The layers of bliss that sweetly kiss
With their order between the halves of a scone
From Cornwall
Where one ‘n’ all
Know that the milk is churned
Until it’s solid
Then we say the cream is clotted.

The teapot looked at the scone from Devon
Who knows that cream and jam is heaven
But only if the cream comes first
And then the jam . . . . .
My thoughts exactly said the ham
From between its sandwich fingers
Where it lingers
Until it’s time for tea.

‘Are you sure?’ the teacup said
To ham within its breaden bed.
Saucer asked the cucumber salad,
‘Should jam come first?’
‘But does it matter?’ said cucumber salad.
‘It’s a ballad
So red and white,
A symphony of taste
Into which to bite.
It is so right
For those who are taking tea,’

‘Jam then cream, is what you do,’
Insisted Cornwall’s scone who
As we know likes cream to be clotted.
But tomato blushed and quickly said,
‘With cream from Devon I am besotted
Because we know it’s clotted. . . . .
Too.

Onion, hearing Cornwall and Devon
Knows that cream and jam are heaven . . . . .
But jam and cream are bliss
Sealed with a kiss that is heaven . . . . .too.
The dilemma of order fuels onion’s frustration
And onion’s tears lead to prostration
For those who are taking tea.

What is to be done
To solve the question of order
Jam first . . . . . or cream?
The issue borders
On the ridiculous
As the layers sweetly intermingle
Like the lovers’ kiss
As those who are taking tea
Bite . . . . .
Ouch! said onion
The scone from Cornwall
And the scone from Devon
‘Either way is heaven.

David Applin

Copyright …David Applin (2015)
.....after visiting Reid's Hotel, Funchal Madeira
Donall Dempsey Jan 2020
"MARBLES...PYJAMAS AND JAM!"

wake up at 3 of the clock
eat jam in my pyjamas from the jar
play marbles with an imaginary friend

he wins...again
this the grown up world
of a four year old

acting like a grown up
time mine to play with

*

And then there was the childhood declension of sandwiches.

1. "Raw bread" Just as it was bread on bread....squashed flat and not...even air in between. I love bread me.

2. Bread and butter...your basic staple sandwich.

3. Bread and butter and sugar...now yer talking.

4. Bread and butter and banana...sprinkled with sugar.

5. And yer king of all sandwiches . the "Blood Sandwich!"
Bread, butter and Tomato Ketchup.

These were the sandwiches of my life. The kind even a child could make in the middle of the night when he wasn't supposed to be up and eating sandwiches.

"Marbles...pyjamas and jam!" I chanted to myself to announce the new me I have become.

I remember getting out of bed in my striped pyjamas and  going downstairs and eating the jam out with a spoon( forget the bread) and then having a game of marbles by myself...first taking one shot and then moving over and becoming my invisible opponent and taking his shot. My imaginary friend winning all the time.

This was at 3 in the morning and felt very scary and daring and so grown up because I was deciding what time and what to do for myself even if it was 3 O' ****** clock in the morning.

I had envied grown ups and their not having to go to bed by nine and be able to stay up and be themselves. I could hear them laughing downstairs...having I supposed....the time of their lives.

So now I sang myself into my four year old adulthood with "Marbles...pyjamas...and jam!"

Because that's the kind of kid I am.

Now the wind wails through the ruins of the house howling that "Home is...an absence." My new mantra.  And outside the house (that isn't there no more)( invisible to everyone but me) I would have ghost girls jump to a skipping rope chanting my "Marbles...pyjamas and jam!" as a rhyme. Skipping in time.

"And this one's OUT!" they all shout and scatter away like little marbles being hit by a sacred scared twa.
cheryl love Jun 2016
Red gingham on jam pots
Wax lids preserving the berry
Tattered lace and old spots
Labels for black cherry.

Strawberries with leaves left on
Cups of tea with cream in
All the nice jam has gone
But there are biscuits in the tin.

Crumbs left on top when cakes took
pride of place after they were made
There is jam around his face look
Do you think the evidence will fade?

No because he has jam all over his top
and there is a smile on his jammy face
He keeps eating them, no signs he will stop
when there are jam tarts all over the place.

Red gingham on the table cloth freshly laid
jam pots with strawberries now preserved.
All the sugar used up, jam for the year made
get your hands off, that *** is reserved!
nish Aug 2018
when i was young
ammi packed me lunch
one strawberry jam sandwich
cut neatly into squares

as i grew older
and my tummy much bigger
(along with my appetite)
one turned into two
two to three
and finally
for some unknown reason
there were no strawberry jam sandwiches
but ammi still packed me lunch

it was tuna or chicken
maybe tomato and cheese
sometimes a pastry
i wasn't hard to please

and it never occurred to me
that my strawberry sandwiches
were gone

till one completely random day
i'm sitting with my friends
taking the first bite of my sandwich
a burst of strawberry fills my mouth
sweet, rich with sugar
it tastes red, good bright red
my strawberry jam sandwich came back
and i was bombarded by my childhood
playing on the swings sandwich in hand
red coated crumbs dotting my shirt
running out of class as soon as the bell rings
to munch munch munch
on my strawberry sandwiches

strawberry jam was never my favourite filling
but it filled me with memories
so occasionlly
when i'm feeling nostalgic
i'll pick up a slice, butter it up
spread my gooey, red friend
and share a sandwich with ammi.
I think that culture plays a huge part in any sort of creative work, in this case I decided not to use 'mom/mum' but 'ammi' which means mother in my language.
Something I remembered and wanted to share because I was eating strawberry jam with crackers just now.
Hope you enjoyed :)

'ammi' pronounced 'uhmmi'
Its 8:30 in the AM
The Corn Moon
is being routed by a
Manassas cloud bank

NPR be barking
Irma this, Irma that
my tremblin Rav4
stuck in the rush
is idling behind
a pair of gray hairs
spewing
leaded premium
out the back
of a big old black Buick
sportin Florida tags

inching north up I95
I’m relieved to be
a thousand miles
ahead of the
monstrous *****
denuding Barbuda
deflowering the
****** Islands
and threatening to topple
the last vestiges of
Castro’s Dynasty
by disrupting upscale
bourgeois markets
for cafe Cubanos,
cool Cohibas and
bold Bolivars

she’s a CAT 5
counterclockwise
spinning catastrophe
churning through
the Florida straits
bending steel framed
Golden Arches
shaking the tiki shacks
gobbling lives
defiling tropical dreams

the best
meteorological minds
on the Weather Channel
plug the Euro model
to plot a choreography
of Irma’s cyclonic sashay

they predict she’ll
strut her stuff
up a runway  
that perfectly
dissects the  
Sunshine State
ransacking
the topography
venting carnage
like battalions of
badly behaved frat boys,
schools of guys gone wild
sophomores, wreaking havoc
during a Daytona Beach
spring break
droolin over *******
popping woodies at
wet tee shirt contests
urinating on doorstoops
puking into Igloo Coolers
and breaking their necks
from ill advised
second floor leaps
into the shallow end
of Motel 6 pools

but I’m rolling north
into the secure
arms of a benign
Mid Atlantic Summer
like other refugees,
my trunk is
filled with baggage
of fear and worry
wondering
if there’re be anything
left to return to
once Irma
has spent herself
with one last
furious ****
against the
Chattanooga Bluffs of
Lookout Mountain

Morning Edition
Is yodeling a common
seasonal refrain
the gubmint is
just about outta cash
congress needs to
increase the debt limit

My oh my,
has the worm turned
during the Obama years
the GOP put us through a
Teabag inspired nightmare
gubmint shutdowns
and sequestration
shaved 15 points
off every war profiteers vig
it gave a well earned
long overdue
take the rest of the week off
unpaid vacation
to non essential
gubmint workers
while a cadre of
wheelchair bound
Greatest Generation
military vets get
locked out of the
WWII Memorial on the
National Mall

this time around
its different
we have an Orange Hair
in the office and there's
some hyper sensitivity
to raise the debt ceiling
given that Harvey
has yet to fully
drain from the
Houston bayous

the colossal cleanup
from that thrice in a
Millennial lifetime storm
has garnered bipartisan support
to  clean up the wreckage
left behind by a
badly behaved
one star BnB lodger
who took a week
long leak into the
delicate bayous of
Southeast Texas

yet we are infused
with optimism that our
Caucasian president
and his GOP grovelers
now mustered
to the Oval Office
will slow tango
with the flummoxed
no answer Dems
to get the job done

pigs do fly in DC
Ryan and McConnell
double date with
Pelosi and Schumer
get to heavy pettin
from front row seats
beholding droll  
Celebrity Apprentice
reruns

The Donald, Nancy and Chuck
slip the room for a little
menage au trois side action
transforming Mitch and Paul
into vacillating voyeurs
who start jerking their dongs
while POTUS, and his
new found friends
get busy workin
the art of a deal

rush hour peaks
static traffic grows
in concert with
a swelling  
frenetic angst
driving drivers
to madness
terrified
they won't
get paid if
the debt ceiling
don't rise
they honk horns
rev engines
thumb iPhones
and sing out
primal screams

unmindful drivers
piloting Little Hondas
bump cheap Beamers
start a game of
bumper cars
dartin in and out
of temporary gaps
uncovered by the
spastic fits and starts
of temporary
decongested
ebbs and flows

A $12 EZ Pass
gambit is offered
the fast lane
on ramp
has few takers
just another
pick your pocket
gubmint scheme
two express lanes
lie vacant
while three lanes of
non premium roadway
boast bumper to bumper
inertness
wasted fuel
declining productivity
skyrockets
the  wisdom of
the invisible hand doesn't
seem to be working

DOJ bureaucrats
In Camrys and Focuses
dial the office
to let somebody
know they’ll
be tardy

gubmint contractors in
silver Mercedes begin
jubilantly honking horns
NPR has just announced that
Pelosi and Schumer
joined the Orange team
the rise in the debt ceiling
will nullify their 15%
sequestration pay cut

NPR reports the
National Cathedral will
deconsecrate two hallowed
stained glass windows of
rebel generals R E Lee
and Stonewall Jackson
it's a terrible shame that
the Episcopal Church
will turn its back on the
rich Dixie WASPS
who commissioned these
installations to commemorate
the church's complicity
in sanctifying the
institution of slavery,
WWJD?

as I ponder
this Anglican
conundrum another
object arrests my
streaming consciousness
upsetting an attention span
shorter and less deep
than the patch of oil  
disappearing under the front
of the RAV as I thunder by
at 5 MPH

to the left I eye a
funny looking building
standing at attention
next to a Bob Evans

I’m convinced
Its gotta be CIA
a 15 story
gubmint minaret
a listening post
wired to intercept
mobile digital
confabulations
from crawling traffic
inching along
beneath its feet

this thinking node
pulsing with
intelligence
reeking with
counterintelligence
the tautological
contradiction
guarantees the
stasis of our
confused
national consciousness

strategically positioned to
tune into the
intractable Zeitgeist
culling meta code
planting data points
In Big Data
data farms
running algos
to discern bits
of intelligence
endeavoring to reveal
future shock trends
knows nothing
reveals less

the buildings cover
is its acute
conspicuousness
gray steel frame
silver tinted glass
multiple wireless antennas
black rimmed windows
boldly proclaim
any data entering
this cheerless edifice
must abandon all hope
of ever being framed
in a non duplicitous
non self serving sentence

the gray obelisk a
national security citidel
refracts the
fear and loathing
the sprawling
global anxiety
our civilization's
discontent
playing out
in the captive
soft parade
ambling along
the freeway jam
imobilized
at its stoop

Moning Edition jingle
follows urgent report of
FEMA scamblin assets
arbitraging Harvey and Irma
triaging two
tropical storm tragedies
and a third girl
just named Maria
pushed off the Canaries
and is on its way to a
Puerto Rico
homecoming

while
gubmint  bureaucrats
anxiously push on
to their soulless offices
the rush hour jam
has peaked
my WAZE
is having a
nervous breakdown

next lane over
a guy in a gold PT Cruiser
is banging on his steering wheel
don’t think this unessential worker
will win September's
civil servant of the month award

Ex Military
K Street defectors
slamming big civie
Hummers
getting six mpg
lobby for a larger
apportionment
of mercenary dollars
for Blackwater's
global war on terror

Prius Hybrids
silently roll on
politely driven by
EPA Hangers On
hoping to save
a bit of the planet
from an Agency Director
intent on the agency's
deconstruction
the third 500 year hurricane
of the season
is of no consequence

obsolete
GMC Jimmy’s
are manned by
Steve Mnunchin
wannabes
the frugal
treasury dept
ledger keepers
pour good money after bad
to keep the national debt
and there clanking
jalopies working

driving Malibus
DOL stalwarts
stickin with the Union
give biz to GMC

nice lookin chicks
young coed interns
with big daddy doners
fix their faces and
come to work
whenever they want

my *** is killing me
I squirm in my seat
to relieve my aching sacroiliac
and begin to wonder if my name
will appear on some
computer printout today?
can’t afford an IRS audit
maybe my house will
be claimed by some
eminent domaine landgrab?
Perhaps NSA
may come calling,
why did I sign that
Save The Whales
Facebook Petition?

The EZ Pass lane
is movin real easy
mocking the gridlock
that goes all the way
to Baltimore
a bifurcated Amerika
is an exhaust spewing
standing condemnation
to small “R”
republicanism  

glint from windshields
is blinding
my **** is hurtin and
gettin back to Jersey
gunna take a while
GPS recalcs arrival time

an intrepid Lyft driver
feints and dodges
into the traffic gaps
drivin the shoulder
urging his way to the
Ronnie Reagan International
I'm sure
gettin heat from
a backseat fare
that shoulda pinged
an hour earlier

Irma creeps
toward the Florida Keys
faster then the
glacial jam
befuddling congress

I think I just spotted
Teabag Patriot
Grover Norquist
manning a rampart
bestriding a highway overpass
he’s got a clipboard in hand
checking the boxes
counting cars
taking names
who’s late?
who’s unessential?

man
whatta jam we're in

Music Selection:
Jeff Beck: Freeway Jam

Orlando
9/21/17
jbm
written as im stuck in jam headin back to jersey
Mateuš Conrad Oct 2018
.nie dotykaj ich kobiet... mowie ci... nie dotykaj ich kobiet... to nie twoje, to wprost obcze, i tym bardziej owcze...jak sam, zobaczysz... nie tykaj ich kobiet!

ja nie jestem tu, w ramach potrzeb
ich kobiet, mowić słowo: nie!
ale... ich kobiet "potrzeby"
mnie naj mniej... interesują...
kiedyś... może... nie teraz...
ja, tu jestem...
  po tą kurwe swe znaczą
tytułem: językiem...
ja, jestem tu, po ich             zór!
pizdy w ramach gnoju jedno,
ale jedno nad wszysto..
ich. jęzór?

                          jeniec?
taki jeniec? jaki może być
sam język sam w sobie?
no to jaki, jeniec?!

    to...            to!
a tu...

        tu? tu... teraz hymn.
i to słynne... sto lat!
no, panowie?
co? co kurwa jest?
sto lat sto lat niech
Dąbrowski żyje nam!

            to jest moje: salve regina!
ślepy bładzi, ale ten co pyta?
tym ja, jam tym ślepym...

jam ślepy i tym samym,
jam co błądze...

         kiedy kusić trza...
  to nie tym zorem...
             ale tym, o ile sto lat
zapuźno... jam sobą...
przy twym tronie
tym ten sam.

jam mówie swą krew!
   i tą krew! swą jam: przemówie!
nawet do tych bez
kraju, i fałszywego Pana;

oczy jak iskry,
i mowa jak lustro...

   nawet do bzdet kraju,
i fałszywego Pana:

rój! i cholera nad resztą!

nawet... owszem, Panu,
ale kraju,
ale kraju...
co Panu nic wart.

— The End —