Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Mine is Gopal, the Mountain-Holder; there is no one else.
On his head he wears the peacock-crown: He alone is my husband.
Father, mother, brother, relative: I have none to call my own.
I've forsaken both God, and the family's honor: what should I do?
I've sat near the holy ones, and I've lost shame before the people.
I've torn my scarf into shreds; I'm all wrapped up in a blanket.
I took off my finery of pearls and coral, and strung a garland of wildwood flowers.
With my tears, I watered the creeper of love that I planted;
Now the creeper has grown spread all over, and borne the fruit of bliss.
The churner of the milk churned with great love.
When I took out the butter, no need to drink any buttermilk.
I came for the sake of love-devotion; seeing the world, I wept.
Mira is the maidservant of the Mountain-Holder: now with love He takes me across to the further shore.

~~~~~~~
mere to giridhara gupaala, duusaraa na koii |
jaa ke sira mora mukuTa, mero pati soii ||
taata, maata, bhraata, baMdhu, apanaa nahiM koii |
ghaaM.Da daii, kula kii kaana, kyaa karegaa koii?
saMtana Dhiga baiThi baiThi, loka laaja khoii ||
chunarii ke kiye Tuuka Tuuka, o.Dha liinha loii |
motii muu.Nge utaara bana maalaa poii ||
a.Nsuvana jala siiMchi siiMchi prema beli boii |
aba to beli phaila gaii, aanaMda phala hoii ||
duudha kii mathaniyaa, ba.De prema se biloii |
maakhana jaba kaa.Dhi liyo, ghaagha piye koii ||
aaii maiM bhakti kaaja, jagata dekha roii |
daasii miiraa.N giradhara prabhu taare aba moii ||
__
Notes

I am the translator of this poem, "Torn in Shreds" by Mirabai. I did not copyright it; it's in the public domain and everyone is free to help themselves to it. I simply request that it appear with my name as the translator.

Johanna-Hypatia Cybeleia
Bolat chameli beli
Are sakhi rajanigandha
Bolo
Kyon ithlati **?
Rajani bolat are sakhiman!
Meri maiya bolati thi
Are bitiya sun lo na!
Kabhi mala mein goonthi
Jaakar premi ko ithlaogi
Ya kisi raja ke mukut
Prem shaiyya ki
Sartaj kehlaogi
Lekin aas ek hi rakhna
Are banmali
Us path par mujhe tum
Dena phenk
Jis path matribhumi
Par sheesh chadhane
Jaayein veer anek!
Kya asha hai rajani
Boli chameli beli
Ithlana tumhara sarthak hai
Tumhi to veeron ki mala
Ki saakhi!
Re rajani,tum **
Punyavati manjari!
'Pushp ki abhilasha ' se prerit!
LETITFXRING May 2014
Make m e  beli ev e
I'm b e a u t i f u l beca use I b elie ve I' m n o t
Regretting you g et in side my h e a d wit h eve rythi ng you e v er sa id
Regretting the th ings I di d to cha nge m yself
Ove rt hin kin g; A nd
Reme m ber ing eve ryt hing I we nt th rou gh
He made into a monster
And there are cracks
Because the many times
I've looked at myself
Darin Marie Oct 2012
PLEASE NOTE: DIALOGUE MUST BE READ IN A BRITISH ACCENT.

and she, in dismay, said to him

                    "Benjamin, just who do you think you are sitting there with your **** out like that?!"

Annabella knew right away that what said wasn't valid.


                  "aww come on Beli, you know what a cheater smells like now dont you?"


"thats enough! go straight to your bedroom!"

                 "Im sorry bub, but we are still in this chariot, got a few more streets and alleys to be wobblin on."


"why dont you just **** my **** you french kissin mugger. I never want to see the northern lights with you."


                 "go on then ya ****. off with your head"
gadisunja May 2022
Pernah, satu hari dari banyak hari lebaran, aku pergi ke Indomaret sendirian. Jarak rumah dengan tempat itu tidak jauh, tapi perjalanan ke sana terasa lamban. Tahu kenapa? Sebab aku pergi dengan sembunyi-sembunyi hihii. Tujuannya hanya satu, untuk berburu es krim corong Wall's Moo.

Kalau dingat-ingat, rasa es krimnya memang tidak sepremium Magnum. Wall's Moo hanya menyuguhkan rasa susu dan itu sudah lebih dari cukup bagi kami kaum anak lugu tahun 2009-2010.

Sesampainya di rumah, aku sama sekali tidak disambut marah oleh orang-orang rumah. Mbak Chandrani menghampiri.
"Habis jajan yaa? Beli apa?"
"Iya, beli Wall's Moo satu."
"Cuma satu ya? Yasudah nda apa-apa, lain kali harus ingat kalau ada angka 3 setelah angka 2 dan angka 1 sebelumnya, ya?"
"Hah? Maksudnya apa, Mbak?"
"Lain kali, kalau kamu merasa ada cukup uang untuk jajan apa aja, cobalah ambil tiga atau nda sama sekali.
Supaya apa? Supaya selalu ada cukup ruang di hati untuk biasa berbagi."
Belakangan aku mengerti, kalau es krim yang kubeli hanya satu, kebahagiaannya hanya aku sendiri yang  bisa rasa. Kalau es krim yang kubeli ada tiga, kebahagiannya bisa dirasakan semua.
O friend Radhika!
Now do look intently!
In a sweet gait does
Shyam come!
Singing the sweet melodies!
O on his neck
Shines the flower necklace!
O the beautiful blue hued
Neck!
O beautiful!
Apply the vermilion
On your forehead!
O friends all dance,dance!
Sing the strains of
Coming together!
O the flowing beats
Of the cymbals
Encapture the skies of
The garden!
O friend now decorate
The temple
Light the golden lamps!
O fill the garden abode
With fragrance
Spilling fragrant
Water all over!
O mallika,chameli,beli
Pluck the flowers,
O child!
Make a string
Of juthi,jati
And the bakula!
O with thirsty
Eyes
Bhanusingha
Sees the path of
The garden!
O in a sweet gait
Does Shyam come
Singing sweet melodies!
The special side of a great man!
Ken Pepiton Jul 2019
For the general good of life, and that more abundantly, you must pay attention to little things.
Unseen things.
Time compression is essential for even the briefest of glimpses, mere blinks,

A wink,
and what threatened Nihilation of the finest realities imagined so far, is nothing.

****. Again.
"there are universes
where eons go by in the blink of an eye". Somebody said.

Bubbling universes each able to open itself to the first level bubble, your bubble with everything you know in there with you. And, today, me.

"indisputable fact, there was / is a first bubble, light fills it to the brim
and what happens there touches
all, and I am,
in a word, part of that
First bubble kingdom"

Every desire of your heart he delights in.
There is such a universe, before you think or ask,
and you are sort of quantum bonded to your heart's desires, y'know,
hearts and minds, body and soul, 2 different systems.
Entangled.
Breathe.
You know.
Soulish desires disciplined in disciples
found blood washed hearts,
unlimited.
Extrapolate this. How much blood is in the ocean now?

More than you can think or ask.
You believe the first thinker thought you would
appreciate a path to each and all of your heart's desires, one path,
or you never find the way, no matter how you look. ?

Ya gotta beli've it to see it
Be li've
Ya gotta wan'it


Jah praise first bubble knocking
you b just one wall away
step into alpha thought and proceed to the omega thought,
Copy?
Respond.
This is the narrow way.
The old way, where good is. You found it, walk it.

It's in beta, so you can fail. Life ain't fair, its jest
okeh, ever how we lie and say this jest
cain't real-ish-tic
be,  don't make me no nevahmind.

life and light, those two team up and kick ***,
evil gets all turned around, ****** if it don't. then

The peacemakers rest, the meek inherit the earth
and everything goes back to normal.

Moral: believe no lie is of, in, by or for actual truth,
you know. Take it as a test.

Like changing your own air filter, in the realm of ideas,
you change your error filter when ever it

seems you jest cain't breathe. You can change that
****** error filter and hit any dusty trail

that seems right, as far as I can tell.
Three years and one month ago, the What lies do I believe? Ask God challenge that --- bio not, not important now.
Imran Islam Oct 2020
In this autumn, to reach your hands
Don't mind me please,
Look at the old catkin fields
They became white flowers,
Then why aren't you with me?

On this dewy morning
I'll take the night-blooming jasmines
just for you my darling,
Ah, don't feel shy to come alone
in my courtyard with your scarf.

The Togor, Beli and Jaba flowers
are like your beautiful ornaments,
and you're the smelled hiptage.
Oh, the lotus dies in shyness
for your happy smile!

Darling, I will give you
the white clouds of autumn
and the blue of the skies.
At the river on this beautiful night
Let the moon smile on your face!

On this autumn evening
I dream of your soft hands
and some lovely moments.
Or let's walk together on the dewy grass
in the early morning.
BE
Togor/Crape jasmine, Beli/Arabian jasmine, Jaba/China-rose
Ken Pepiton Feb 2019
For the general good of life, and that more abundantly, you must pay attention to little things.
Unseen things.
Time compression is essential for even the briefest of glimpses, mere blinks,

A wink,
and what threatened Nihilation of the finest realities imagined so far, is nothing.

****. Again.
"there are universes
where eons go by in the blink of an eye". Somebody said.

Bubbling universes each able to open itself to the first level bubble, your bubble with everything you know in there with you. And, today, me.

"indisputable fact, there was / is a first bubble, light fills it to the brim
and what happens there touches
all, and I am,
in a word, part of that
First bubble kingdom"

Every desire of your heart he delights in.
There is such a universe, before you think or ask,
and you are sort of quantum bonded to your heart's desires, y'know,
hearts and minds, body and soul, 2 different systems.
Entangled.
Breathe.
You know.
Soulish desires disciplined in disciples
found blood washed hearts,
unlimited.
Extrapolate this. How much blood is in the ocean now?

More than you can think or ask.
You believe the first thinker thought you would
appreciate a path to each and all of your heart's desires, one path,
or you never find the way, no matter how you look.

Ya gotta beli've it to see it
Be li've
Ya gotta wan'it


Jah praise first bubble knocking
you b just one wall away
step into alpha thought and proceed to the omega thought,
Copy?
Respond.
This is the narrow way.
The old way, where good is. You found it, walk it.

It's in beta, so you can fail. Life ain't fair, its jest
okeh, ever how we lie and say this jest
cain't real-ish-tic
be,  don't make me no nevahmind.

life and light, those two team up and kick ***,
evil gets all turned around, ****** if it don't. then

The peacemakers rest, the meek inherit the earth
and everything goes back to normal.

Moral: believe no lie is of, in, by or for actual truth,
you know. Take it as a test.

Like changing your own air fillter, in the realm of ideas,
you change your error filter when ever it

seems you jest cain't breathe. You can change that
****** error filter and hit any dusty trail

that seems right, as far as I can tell.
Thursday, June 23, 2016
10:34 PM oldest piece I've exposed
Imran Islam Oct 2020
I won't hear anything
I won't hear what people say about me,
I am with this village and this soil
If ever I will go abroad
Then I will come back here again,
I will walk through the village pathways
With the lost memories of my childhood
I will play again in the dust of the field
And I'll take a bath in the river.

As far as I run in the flow of modern time
The sounds of your waves will be in my heart.
The moonbeams on the river banks and the stars' light
The winds of the morning and the blooming nature
I can't lie, I would never forget them!
I will come back here in the spring or rains!

I will be impressed to see the green forest,
I will be friends with the villagers
And I'll hug who are my close relatives
The sight of the dusk and the sunset
That cloudy evening and the lightning
I feel them inside me like the soul
I'm still missing the wild Beli jasmine!
BE
Beli jasmine/Arabian jasmine

— The End —