Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
?
D Jun 2019
?
Jam tujuh pagi tadi Ibu mengetuk pintu
Bunyi ketukan itu sampai empat kali terulang
Di ketukan empat setengah,
Pintu terbuka setengah juga
“Ya?”
“Mandi, Mbak.”
“Pingin tidur lagi.”
“Tapi hari ini hari kemenangan.”
Raut wajahnya yang telah menjadi warisanku tak sedikitpun menunjukkan bahwa dia telah memenangkan apapun.
Tidak seperti kebanyakan orang,
Untuknya hari ini bukanlah tentang seberapa kental kolam santan yang menyimbahi santapan-santapan
Bukan juga tentang berpeluk-rindu dengan orang-orang sambil sesekali bertukar kabar
Lelah mengutuk dirinya karena seumur hidup merasa kalah,
Aku tahu bahwa sehari saja ia ingin merasa menang.
Ia sendiri tahu betul saat hari ini berakhir dan tamu berpamit untuk pulang setelah semua habis terkunyah; ia akan kembali merasa kalah.
Menang atas dan untuk apa?
Seribu kata maaf pun ia telan begitu saja tanpa mencerna kata tersebut keluar dari mulut siapa
Tanpa adanya hari kemenangan yang dibanjiri oleh teks bersampul maaf,
Hidupnya memang sudah tentang meminta maaf dan memaafkan
Tak ada pilihan lain.
Hanya saja hari ini sinar sendu wajahnya menunjukkan bahwa akhirnya,
Setidaknya untuk dia,
Harapan pahitnya terhadap ‘maaf dan memaafkan’ akan diselebrasikan;
Dan seperti dirinya, lebih dari sejuta orang akan melakukannya walaupun untuk sehari saja.
Kepada siapa lagi ia harus meminta maaf dan meminta dimaafkan?
D Mar 2019
Dear Mother,
Where should I start?
Should it be those sleepless nights
Where you sit on our porch and cried?
Or should it be the rage I shouted,
that once grew us apart?

I now have the moon on my body,
and every time it casts back from the mirror
It reminds me of the early nights
You read me stories to bed,
Or the nights you cried of Father
Or the nights you were being so humanely,
beautifully,
difficult

I have yet to hand you anything in return
And none of the things I have passed on to you
Will even up half of what you have sacrificed
And though you deserve those beyond what I can give,
Please know that every piece of my writings,
Have a projection of you in it



Thank you for the love and pain.
D May 2019
Badan ranjang tidurku rapih sedikit berdebu
Ujung selimut terlipat dan banyak abu
Jendela kamar terbuka seperapat untuk semburan angin masuk
Pintu dibiarkan ternganga sekiranya ada yang mau bertamu
Tamu terakhir hadir seminggu lalu
Berbeda dengan si angin yang rajin keluar masuk
Tamu terakhir pamit untuk tak lagi membesuk
Memang bukan kepergian namanya kalau tak menusuk;
Seruangan bergemuruh menyaksikan kaki jenjangnya melangkah kian jauh
Bukan hanya ruang secara dimensi,
Tapi ruang tubuh ini yang lima menit lalu baru ia isi
Tak sampai esok hari jantung dari ruang tubuh ini seakan memohon untuk berhenti
Telingaku seakan mendengar hati meretih;
Cukup jangan terjadi lagi
Namun si akal bajingan menimpali;
Ya memang ada kalanya manusia harus sendiri
Hari hampir pagi
Biarkan kubakar rokok satu batang lagi.
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
D Apr 2019
"Dalam segala manis dan tragisnya perkawinan,
Kami sebagai perempuan, mati berkali-kali
Dan lahir pula kembali—
Tentu juga berkali-kali

Disaat kau menyaksikan puluhan katup bibir yang mengatakan “Sah.”
Disaat itu pula,
Kau seakan disadarkan
Bahwa kau tak lebih dari pisau yang harus terus diasah

Bukan supaya tajam untuk dapat menikam,
Namun supaya siap mencacah manis-pahitnya peristiwa kehidupan menjadi dadu-dadu kecil
Lalu menanyakan untuk menyerapnya kembali
Untuk diri sendiri

Kau,
Mati dan lahir lagi,
Bukan sebagai isteri,
Namun seutuhnya sebagai wanita yang mengayomi
Sampai akhirnya kematian itu berdiri di depan pintu
Untuk menjemputmu lagi

Disaat kau duduk dan melihat pandangan puluhan manusia
Yang seakan-akan mengatakan,
“Berpandailah dengan urusan dapur.”
Mereka dengan bodohnya menutup mata kepada fakta

Bahwa sekarang, kau adalah busur
Yang dengan senantiasa akan mengarahkan kemana anak-anak panahmu melaju
Kau, bertulang rusuk dan adalah tulang rusuk
Bukan tulang rusuk dari lanangmu,
Namun dari rumah segala rumah

Disaat insan keci itu menangis lahir,
Disitulah Tuhan dengan segala kuasa-Nya menyemukakanmu
Dengan kelahiran yang absolut.
Mutlak. Nyata. Tanpa majas atau embel-embel.

Kau, bukan hanya wanita bersusu yang menyusui;
Walau serapanmu terhadap puji-kejinya kehidupan
Akan juga diserap oleh ‘anak panah’ mu
Melalui air susu dan tutur katamu

Disaat kau melahirkan anak manusia,
Tentunya tanpa tanda tanya,
Kau betul-betul
Lahir kembali."
D Jun 2018
Moon Woman has always been aware of certain things.
Every night she sat by the porch, waited for the sun, and wept.
She often fantasize about a different life.
The mind of a moon woman:

“I have made a mistake in a human form. I shouldn’t let this happen. I would do anything to erase any trace about what I have done, and let it begone.”
Said the woman with a lovechild.

“I would do anything to know what it feels to have become pregnant. I would make love again, and again, and again.”
Said the woman with miscarriage.

“My mother does not want me. She hated me for everything I have not done. I would love to be anybody else”.
Said the lovechild.

“I shouldn’t let her go.”
Said the child with a dead Mother.

“Love does not exist, I can live alone and without anyone.”
Said a grown up man, who have witnessed tons of failed marriages.

“Soon, we will be accepted.”
Said the same *** couple, fighting for their rights in the world.

~

The sun has arrived,

“I have always wanted to watch the world glow in its darkness.”

The moon answered,

“I would love to see Light.”
D Mar 2019
You have walked down the path of soul-searching for far too long my dear woman
You have thereupon tasted sin in that of poisonous water
And in that of the flesh of men
And in that of the flesh of women
And in that of tears of whom gave birth to you
And in that of disappointment you have caused to the only man you have so much loved

Now my dear,
Tell me
What is it that you found?

~

I have not find
But I have only learned
That it is about time I get to know You

~

I have known you since you were sleeping
Silently and unagitated to what there is to life
And that was when you were in the womb of your mother
Its warmth enveloped your paper-thin skin
And her heart was beating synchronously to yours
And both of your soul and body coexisted

When you left the comfort of the greatest
And the warmest thing of motherhood
You came into the world crying
Your skin red
Your lips the contrasting colour
White as the cleanest sheet
You now existed at and on your own body
Small—but bold and vulnerable
Like that of the most expensive glass

You cried
Because you are on your own

When you grow
I have known you even better
Closer but farther
So dear and so true
I am not watching you
I am rooting for you

~

I have sinned but I have learned
I have cried and I have hurt
I have taught and be taught
I have lost only to be found

The second I kneeled
Upon the heat of the thick but delicate sheet
I have remembered
That none of the things in this existing life
Belongs to me
But are rather
given to me

I have been missing You for far too long.
D Jun 2018
The night is young but painful,

And the day is short but futile.

On a particular morning I asked somebody,

“Excuse me, have you ever loved someone like a child?”

“I’m sorry?”

“I said, have you ever loved someone like a child?”

“How is that so?”



How is that so, I did not know.

A child could only ask for so much,

Cry for so much,

And understand so little.
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
D Jun 2018
Despair often embark in a lovers joy

When the love gone missing for only a speed second

All triumph and exhilaration turns to dust and disappears into thin air

The sense of love that one feels suddenly alter into immeasurable grief

An hour of disturbed, sorrowful contemplation pass by like thousand nights of longing for a reaching hand or devoted kiss

Do not mistake fire for water

Humans in love would have cried out,

“I want to catch fire and be all burnt just to taste water again.”

Do not mistake poison for wine, for insane lovers say

“Let this bitterness reverse against any other taste upon my tongue, and let this body sick. All I want is my soul to be drunk and content with a lover’s sanity.”

Be patient when you want to be in love

And let go when you think that love is not meant to be

For love always come again

Spreading hands

Feeding souls

Overcoming ego

And finally kiss the unreached parts of solely your body.
D Mar 2019
The night comes,
One is to sit on the other side of the bed she calls home
But what she did not know
Was that when the phone rings,
She was one second away to hearing
The rooted and raspy voice
That unmistakably sounds like home.

Exhaustive conversation exchanged,
The night changes
Words of wisdom penetrates
Did she see it coming?
God has once again made His magic
For all of that was true when the sky is blue,
What do I have to lose?

A man and a woman is to uphold three arches in life
These were made for them to grow
And only to grow
He says,
Love, (inner) peace, faith
These echo in swift motion to the back of her head
For the man whose voice sounds in harmony to what she calls home continues,

Faith my friend,
Most often than not,
Comes last
Do believe
And believe
And believe!
For it is the only thing we can do to unlock

She sat still,
What else is there to unlock?
Is it not enough of pain which has already been unfolded?
Is it not enough of sin?
Is it not enough of misjudgment?
Of seeing the light not in the morning
But in the darkest of tunnel?

It is the freedom, my love
It is your freedom
She could hear the sound of his fingers
Teasing atop his piano—
That has already become his friend
But what she saw was his fingers atop of her body,
For how his enlightened language sounded like making love

Who are you?
They asked of each other
A man
A woman
An artist
A musician
A writer

They did not know,
That when the line hang up,
Another line is to come
And so is the jolting,
Electrifying exchange of words of wisdom
of the two smallest people who felt the biggest
Giving birth to music that once again sounds like making love
D May 2019
Yang bermula dengan suara,
Berakhir juga dengan suara.
Disaat kita harus sepakat bahwa semuanya mesti disudahkan
Sedunia tak henti-hentinya mencekokkanku dengan bayangnya
Karena belum genap 24 jam sejak kesepakatan bahwa semuanya sudah,
Ku dengar suaranya dimana-mana,
Kali ini, lagi-lagi, tanpa rupa

Disaat dunia mendengarnya bercerita tentang gadis manis berduduk seorang diri,
Atau tentang bagaimana akal serta tubuhnya dikupas habis oleh hidup sehingga dia tak punya pilihan selain menerima bahwa ia dan mutlaknya semua manusia adalah tunggal; adalah sendiri; adalah harus menelan, memahami, lalu (jika beruntung) mencintai kesendirian itu sendiri
Atau sekiranya tentang bagaimana ia mengibaratkan air mata bagai tanda suatu yang kuat, yang tak malu, yang berteriak, yang patut diwadahkan jika bisa;
Lalu disimpan, bukan dilihat untuk sekedar menyenangkan diri bahwa kita ditangisi
Namun sebagai tanda bahwa pada dasarnya semua manusia akan berserah diri

Tak ada habisnya menganalisa karya—ataupun jiwa—yang memang dari lahir sudah pamungkas
Karena disaat bongkahan karyasuara itu berisi wejangannya untuk mereka yang mencari
Suara itu bercerita kepadaku tentang hal-hal yang agaknya butuh dua kali hidup dan dua kali mati untuk menemukan inti;
Seperti perempuan
Seperti keyakinan
Seperti kesendirian dalam kehidupan dan kematian
Seperti jarak dan waktu yang superfisial disaat kita sadar akan Tuhan

Dimalam itu,
Dimalam saat aku menyadari bahwa ada hal-hal yang jawabannya tak bisa kucari dalam prosa Sang Nabi atau puisi Jalalludin Rumi,
Ia berkata,
“Tak akan—sampai mati—ku mencampuri urusan akal perasaan dengan keyakinan yang sebetulnya sudah ada sebelum apapun.”
Disaat itu juga aku memutuskan untuk mundur sepuluh langkah,
Karena disaat kalimat itu kelar terlontar,
Adalah bukan suaranya yang kudengar,
Namun Ibunya.
Ibu, sama halnya dengan keyakinan, sudah ada sebelum apapun.

Malam ini aku pamit.
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
D Jul 2018
There are fragments of my faulty presence that I wish could be forgiven for
As much as there are obsolete memories,
altering theirselves into agonising keepsakes

The trails I have been trying to erase
The past that I thought I've left on the rearview
The hurting
The fear
The abuse

I have been waking up in the morning
Pretending to forget that these throbbing occurrences are all that I am made of
This is not discontent
This is wound

I remember voices
The voices I've known all too well
I was so little
Accustomed to the sound of TV outside my room

A year or so
The TV was never on anymore
And so dinner was no longer served
And Mother was no longer sleeping
And Father was no longer home

Growing up
I've come to realised that things
Just like persons,
They were also able to grow apart

There was the night which remained the longest
The bed have never felt any bigger
And Lord,
Have I ever felt any lesser

It was three a.m.
I called out
Reaching for Mother
Even I remembered how I sounded

"Where are you?"
There was a split second of the most exhausting silence
Until I heard her distraught voice on the other line
"I am looking for my husband."

That night have changed any other nights
And I have been living with the constant pain
Of having felt that you lost something great
When you never actually had it

I had my years of continual dejections
Until now,
I am still learning on how I should stop feeling like I am in pieces
I don't need anyone
Trying to remind me why I am this way
D Jun 2019
And they will say,
"Who will restore us?"
Say,
"He who brought you forth the first time."
Then they will nod their heads toward you and say,
"When is that?"
Say,
"Perhaps it will be soon —
On the Day He will call you and you will respond with praise of Him and think that you had not remained [in the world] except only for a little."
















Al-Isra 17:52
D Jun 2018
Each and every person who was born and descended into this world,
was raised by presumably different kinds of sentimental treatments and served by disparate acknowledgement of love.

A baby comes out of the womb not knowing anything at all.
How a human was treated in the times of past, what he has witnessed, and what he felt deeply -  matters in times of present.
It was almost too difficult for some people to be considered worthy and quite deserving of love
Perhaps the insecurities were total agony
But if it were agony
Why do they feel it all the time?

I suppose there are people in the world who were taught the importance of affection
And what to do about loving another
and how to construct love to be real
And there are people in the world who weren’t
There are people who are doubtless convinced about what to make of loving a person
And there are people who do not know what to do with it

Many times I lost sleep to thinking,
What do I have to give, to make a person believe the love that I have?
What quality do I have as an individual to be seen beautiful and content, therefore I can fullfil another?
Do I have the tenderness that I never witness from the way my parents loved each other?
Do I have the patience that my mother was less likely to possess?
Do I have the humane, gentle, practices of love that I never had to see?
If I don’t, would it be easy for me to present my love completely?
Do I really need to demonstrate the way I feel about a person, so that I can be trusted?

The answer is, I believe I have what it takes to love and be loved, whether I have or have not witness the act of great love in my past.

I have ears to listen to whatever uttered by another;
To listen to raspy voice in the morning,
and to weary voice at night
To the sound of whirring spoon in the thick of milk and coffee,
and to the sound of, sometimes, slashes and beatings against the door
To hear what sort of sound do kisses make
and what sort of pain does shouting bring
To recognize the noise of a cheerful laughter
and the tone of mourning weeps
And I have eyes not for looking,
but for paying attention
to every details of such vulnerability that perhaps I cannot fix

Though I do not have the divine nature or impeccable qualities of being a decent partner,
My difficulty and persistence in loving
is why I consider myself as genuine within reason

When I love,
I love with my soul
and give with my soul by all means
I hope my tendencies of being humanely difficult
and my willingness to offer mildly inconsiderable pieces of myself
will be enough to make love lasts for once
D Jun 2018
I’m in the process of continuously damaging and re-creating myself.

To destroy is to re-create.

I have walked across many paths and heard someone said,
“You are not solely a body.”

To which I replied
“A body is just a body after all.”

The fact that I have tolerated myself to let things happened to my body keeps me up for three nights.

What went upon this body is my control.

I want to let people know that my body does not hurt them.

My body does not hurt me.

It is the only thing that makes me feel alive.

By avoiding my own body is damaging my own body.

By accepting my body and all sublime occurrences which have happened to it, I am faithful to my own body.

And after a long time of bewilderment,

I was wrong.

A body is not just a body after all.

I have a body which bears madness, insanity, affection, hurricane within.

A body is not just a body after all.
D Jun 2018
The Sun whispered to the Moon, “My love, have you lost again?” The Moon cried, but from his pain he has become wise. “I’m fighting a losing war.”

The Sun stays silent and motionless, staring at the Moon who is in tears, “It does not matter who wins or lose. For in this moment there is no winning nor losing, there is no wrong nor right, no fool and no clever, no black nor white. There are only two things: the truth and the lie. Tell me, Love, would you rather weep in the truth or laugh in the lie?”

The Moon is resentful, mad but beautiful. He outcry. “You are the Sun. You are luminous, always manifested among solemnity, you are loved and unmistakable. The universe praise you for your light. How come you talk to me in such modesty? I am the Moon. I am wonted to live in the night and I know the darkness as if it was my own blood.”

The Sun speak, “In all conscience, it is the entity that has been through the darkness, that can truly know of light.”

— The End —