Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
So Dreamy May 2016
sore itu dingin.

kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela
secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu.
kutunggu kabar
namun tak juga kunjung datang

duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat.
teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat.
terlalu sibuk atau apa?
biar kunanti lagi bersama rintik hujan.

semenit
lima menit
  sepuluh menit
   dua puluh menit
    lima puluh menit

kutunggu telepon balasanmu
namun belum juga kau
izinkan aku mendengar suaramu

aku diam
bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun
biarkan!
aku letih
berpura-pura merasa tidak sakit hati

bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.

kemudian aku sadar;
seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.
Aryan Sam Jun 2018
Ik gal kaha.

Menu 2016 to hi yakeen ja ** gea c
Ki thuhade lai menu bhulna bada easy c
Bcz us time jado thuhade viah di gal chali c
Tuci menu ik war bi nai c dasea
Nd us bhenchod nu pyar kar bethe c tuci

Yaar me kade kisi hor nu pyar nai kita, na hi kade kar paya. Beshak me hor bada kuj kita.
Bhawe oh kudi baji c ya nasha.
Par kisi hor nu kade pyar nai kr sakea.

Menu sala ehi samj nai a reha
Ki me thuhanu yaad karna band kr dawa
Ya ewe hi yaad krda raha

Me badi try kr reha ki yaad na kara.
Par is baar gal kuj hor he
2016 wich me bhul gea c u nu
But etki, gaand fati hoi a meri
Bus ik mar nai sakda
Baki bahro kush rehna penda

Kini war dekh chukea me thuhanu lal rang de choore wich
Sali iko dua nikdi ki maut a jawe menu
Bcz me khud mar nai sakda
*** bi ro reha

Yaad a ik wari, jado apa park wicho di ja rahe c
Te ik munda park wich ro reha c
Te me us time
Keha c ki sala
Kinna pagal he
Munda ewe kiwe ro sakda
Aj oh munde di yaad andi menu
Te meri kahi gal
Aj samj anda ki sala rona ki hunda

Bhen di lun hoi bi meri life di
Sala kite bi dil nI lagda mera

I know u nu mazak hi lag reha hona
Ha me kita bi mazak hi c thuhade naal
Te aj usdi saza bhugat reha ha
Ena jyada tadap reha ha

Pata ik ta banda ro ke mann halka kr lenda
Ik banda andro ronda
Jeda sala andro rona, te usda mann bi halka nai hunda
Bada ikha hunda

Fat jandi he
Rooh kamb jandi he
Sala jad bi kade wife nu patiala chad ke anda
Ta sad song laganda. Badi myshkil naal sad song sunan nu milde
Te bus sara rasta ronda anda me
Sach kaha ohi ik time hunda jad me ro sakda ha te apna mann halka karda ha
Cheeka marda ha, chest te mukke marda ha
Thapad tak marda ha apne aap nu
Sala sochda ki isi bahane kuch dil halka ** jawe
Par kithe.
Nai hunda.

Heena jj, menu pata ki mera *** koi hak nai reha.
Par metho ik haq na khona
Oh thuhanu dekhan da.
Me kade life wich interfair nai krda
Bus menu dekhan to na rokna kade.

Me tadfna chanda ha
Rona chanda ha
Apni galtia krke

Ameen
Tuhade bin sannu sohneya koi hor ni labhna,

Tuhade naal hi saddi rooh nu sukoon milna.

Tussi saddi jaan ** mahiya,

Pyaar kardi haa tuhanu inna saara.

Aawe tuhanu jado hichki,

Tuhadi jaan tuhanu yaad kardi.

Har vele har dua ch tuhanu yaad karde,

Har janam tussi hi milo ohi mangde.

Saat janam ki assi hazaar janam lave,

Bs sadde utte sirf tujhada haq hove.

Warna koi Zindagi na mile sannu jide ch tussi na **,

Tuhado baajo hor nahiyo chahida koi,

Ye mahiya har janam sirf tuhadi layi hoyi.

Saddi har peedh da ilaaj tussi hi ne,

Rooh muskandi saddi jado tussi muskande.

Sadde har nakhde tussi hi jhel sakde,

Har duavan ch sirf tuhanu assi mangde.

Jeho tussi khayal rakhde ** sadda,

Tuhadi rooh da karun mai sajda.

Ankhiyan ch ankhaa paake jado dekhde,

Chand di Chandni hi hi feeki dasde.

Inni khubsurat hai rooh tuhadi,

Dil jeda saaf tey saccha utey mardi.

Sab tou sohna sohneya mileya mainu,

Jachde ** tussi hi jaan Meri sannu.
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Klo Sifa Sep 2015
dan kamu selalu berhasil menemukan cara paling tepat untuk membuatku tersenyum, terdiam, terluka. kadang ada jeda waktunya, kadang dalam saat yang sama.

mungkin itu tanda signifikansimu di hidupku.
mungkin itu tanda aku yang semakin tak mampu.
mungkin itu tanda aku semakin mencintaimu.

just a mere sight of you brigthen my day.
just a mere sight of you darken my day.

sebut saja aku serakah.
aku memang tidak bisa berbagi.
sebut saja aku egois.
rasa sakit ini begitu nyata.
membuatku tak sanggup tak buang muka.
dan pergi meninggalkanmu sebelum semuanya terbuka.
sleepy, dazed, but still in love with you.

the first day that I admited that I lava you
Coco May 2019
Hari ini aku ingin bercerita
Bagaimana sebuah rasa berubah menjadi sebuah asa

Saat itu..

Aku melihatmu
Berjalan, tapi tetap pada bayangan yang sama
Bagaimana bisa?
Kau sudah melewati beberapa cahaya
Yang bahkan berbeda beda

Aku penasaran
Rasa untuk membawamu dari bayangan itu muncul
Aku berharap usahaku berhasil
Sebuah rasa yang berubah menjadi asa

Lagi. Aku bermimpi
Agar kau tak berhubungan lagi dengan bayangan lalu mu
Aku bertindak. Membantumu
Lagi, asa itu berasal dari rasa yang sama.
Rasa untuk membantumu bangkit dari bayangan itu.

Namun, lambat laun rasa itu berubah
Berubah menjadi asa untuk kita memiliki bayangan yang sama

Ketika waktunya tiba, ku kira aku berhasil
Ternyata... sangat jauh dari kata itu

Kau lebih memilih menghentikan usahaku, tindakanku
Dengan alasan “aku butuh jeda”

Baik. Ku turuti maumu
aku bahkan masih berpikur positif.
Tapi semakin larut, kau tak juga kembali

Oh. Dan kusadari,
Kau pergi, bersama bayangan itu lagi
Kau menjauhi ku dan mendekati bayangan itu, lagi

Sungguh aku tak sanggup mencernanya
Rasa itu. Asa itu. Bahkan kau tak pernah menganggapnya, kan?
Sungguh, apakah kau mengerti maksud dari segala cerita tentang rasaku?
Tentang asaku?

Kau pergi tanpa mengucapkab selamat tinggal.
Bukan. Setidaknya kau bisa memujiku
Memuji atas rasa dan asa ku.

Sekali lagi, karena rasa ini, asa ku muncul kembali
Ya, sebuah asa.
Asa untuk melenyapkan segala rasaku padamu
Baik itu rasa penasaran, ingin menolong, atau rasa ingin memiliki bayangan bersama mu
Shayad mai koi changey karm kitte hone,
Jado mahiya mera mere sang hove.

Har pal sohna jeya lagda,
Mainu maitho oo mangda.

Har janam mai sirf haa tuhadi,
Zindagi chahe kinna vi khelle kabaddi.

Har kadam tere naal chalangi,
Bdi masoom hai tuhadi saadgi.

Tuhanu assi takde rahiye,
Saddi dadhkan te naam tera likhiye.

Har saah ch vasdeya mera sajna,
Teri baahan ch samet kayenaat haa.

Sohne taan loki duniya ch bathere ne,
Sab tou sohna mereya mahiya ve.

Ohdi har awaaz ch inna sukoon haiga,
Har rooh nu pavitra paak kar janda.

Rabb ne vi taar ohna naal jode ne,
Tu soch vi sakda mai kinna tenu chauhndi ve.

Shohrat rutba daulat shaan ameeri te,
Eh kam malak de hor wazir vi kar dende.

Jeda kammal mera sohneya karda,
Oh taan koi vi ni kar sakda.

Ohde warga dost tey humsafar khuda vi ni,
Ohnu daaman ch paaya mai saubhagyawati.

Ohdi dewa ki misaal,
Oh haiga bemisaal.

Vekha tenu nitt subah-o-sham ve,
Tenu vekh har khildi har sawere.

Harry muradda poori hoiya,
Jado mileya mainu mahiya.
"Senja dan jingga kembali bertemu,
aksara tentang rindu terlantun hingga senja kembali ke peraduannya.
Ada jeda diantaranya yang tak bisa dieja, gelap meleyapkan, bulan menggantikan.."

Surabaya, 31 Juli 2019
regina Jun 2019
Rindu ini terlalu besar.
Terkadang memberontak tak tertahan.

Aku berusaha,
aku yakin aku sungguh berusaha.

Tapi, sampai sekarang
Suara tawa itu masih mengalun merdu di telingaku.

Bayangmu mengikuti hariku,
Selalu, tanpa jeda.

Melupakanmu merupakan hal yang rumit.
Memori indah terselubung dibalik kata benci.
Vickiazaira Jun 29
Kita memang bagai dua pendatang,  
Belum pernah bertemu, hanya dalam bayang,  
Aku mencoba mengurai segala rasa yang tertinggal,  
Walau mungkin pesan ini tak pernah sampai ke ruang hatimu yang menghilang.

Kisah ini bermula dari obrolan sederhana,  
Bergulir pelan, hingga jadi cerita yang tak terduga,
Beralih ke percakapan yang tak pernah ada reda,
Obrolan panjang, enam jam tiada jeda.

Seiring waktu, rasa itu bertumbuh,  
Aku melihat dirimu sebagai sosok yang merengkuh,  
Membuatku merasa aman dalam peluk cerita,  
Tapi, ah, salahku menaruh harapan pada sosok yang fana.

Kamu seorang asing, namun memberi sinyal ganda,  
Terkadang dingin, namun datang lagi membawa asa,  
Menghilang, datang lagi, hatiku tak karuan,  
Seperti naik turun dalam perjalanan yang tak terarah.

Mencoba tenang, tak berharap banyak,  
Tapi perhatianmu muncul lagi, buatku lemah,  
Aku tak bisa menebak, apa maumu sebenarnya,  
Aku melihatmu sebagai pria, bisa lihat aku sebagai wanita?

Bukan aku yang kamu tuju,
Bukan aku yang jadi rindumu,  
Namun terukir sudah warna dalam singkat waktu,
Dalam kesendirian, aku tetap kokoh dalam ruang waktu.

Kamu yang penuh dewasa, tawa yang menawan,  
Batasanmu, pendapatmu, semuanya berkesan,  
Aku tetap merindu meski sering sendirian,  
Mungkin kamu, si asing, adalah pelajaran dalam setiap perjalanan.
Sudah 1 tahun lebih lamanya tidak menulis. So, enjoy! hanya sebuah tulisan yang sedang terpikirkan✌🏻
6 a.m di Surabaya - 1 a.m di Gaza

Saat bangun tidur badanku terasa lemas.
Masih terlalu pagi aku masih ingin berbaring di kasur.
Sambil kubuka akun X orang orang Gaza yang kukenal.
Tapi hanya akun Omar yang tampak aktif.
Memposting apapun yang sedang dia alami.

Omar mengeluh susah tidur.
Kedinginan berselimut kain tipis usang.
Banyak nyamuk masuk ke tendanya.
Sementara di luar suara zanana mengganggu.
Diselingi ledakan bombardir pesawat jet.

10 a.m di Surabaya - 05 a.m di Gaza

Aku bosan menunggu antrian bank yang ramai.
Sambil menunggu sepi kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh melihat banyak belatung.
Merubung sisa tepungnya yang hampir kadaluwarsa.
  Dia tak bisa lagi membuat roti.

11 a.m di Surabaya - 06 a.m di Gaza

Aku menunggu ojek online di tepi jalan.
Sambil merokok kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh kehabisan sabun dan shampo.
Sementara air untuk mandi dan mencuci.
Hanya tersisa setengah ember.

01 p.m di Surabaya - 08 a.m di Gaza

Aku sedang makan siang di Peneleh.
Makan pecel sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh saat mengantri di toko.
Menghabiskan waktu dan tenaga.
Berdesak desakan hanya untuk sekantung roti.

04 p.m di Surabaya - 11 a.m di Gaza

Saat sore aku nongkrong di Wonokromo.
Minum kopi sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah belanja di pasar.
Bawang , tomat , terong , kentang dan cabai.
Harganya semakin naik tak terjangkau.

06 p.m di Surabaya - 01 p.m di Gaza

Aku sedang duduk di beranda masjid.
Menunggu isya sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah berjalan jauh.
Merasakan kepanasan dan kelelahan.
Hanya untuk mengecas ponselnya di solar panel dekat pantai.

08 p.m di Surabaya - 03 p.m di Gaza

Aku masih makan malam di Tunjungan.
Makan rawon sambil kubuka lagi akun Omar.
Ternyata di Gaza sedang hujan deras.
Omar mengeluh setelah tendanya kebanjiran.
Barang barangnya basah terkena air hujan.

09. p.m di Surabaya - 04 p.m di Gaza

Temanku mengajak minum kopi di kafe.
Minum cappucino sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh sudah lama tidak makan ayam.
Yang bisa dia lakukan hanyalah menggambar ayam.
Lalu menaruhnya di atas piring kosong.

10 p.m di Surabaya - 5 p.m di Gaza

Aku sedang menonton sepakbola.
Saat jeda kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah memeriksa Gofundme.
Hampir seminggu tak mendapat donasi.
Sementara uangnya hanya tersisa puluhan shekel.

01 a.m di Surabaya - 08 p.m di Gaza

Tengah malam aku bersiap tidur.
Sambil berbaring di kasur kubuka lagi akun Omar.
Ternyata pemukiman dekat tendanya baru saja dibombardir.
Omar mengeluh setelah kelelahan membantu evakuasi.
Dia hampir muntah melihat serpihan tubuh berlumuran darah.

03. a.m di Surabaya - 10 p.m di Gaza

Aku merasa kesulitan tidur.
Sambil mendengarkan musik kubuka lagi akun Omar.
Ternyata dia masih tetap mengeluh.
Merasa lelah terus menerus mengeluh.
Terlalu banyak keluhan hingga kelelahan mengeluh.

Aku juga lelah melihat Omar terus mengeluh.
Tapi orang yang menderita memang harus mengeluh.
Hanya mayat yang tak bisa lagi mengeluh.
Mayat tak merasakan penderitaan untuk dikeluhkan.
Daripada menjadi mayat lebih baik Omar tetap hidup walaupun terus mengeluh.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —