Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Alan McClure Feb 2013
Hakim sat
on the banks of the Euphrates,
his discarded newspaper
lifting, page by page,
on the warm wind.

He had been reading of the countless dead.

Of course, his mind played first
over those he had known.
An uncle, two brothers,
his mother
and a grandfather of ninety six.

All of them,
definitely gone.

But according to the paper,
atop the official body count
some twenty thousand souls
may or may not
have survived the conflict,
and his head swam
with this crowded limbo
and the knowledge
that no-one knew.

Enough people
to populate a small town,
possibly dead.
Not important enough
for anyone to be sure.
And Hakim, eyes
glazed in the dusty sunshine,
began to wonder
whether he was one of them,
the uncounted,
the unacknowledged,
wandering vacantly
through his outstayed welcome,

simpy waiting
for someone
to write down
his name.
trestrece May 2014
Hoy me di cuenta de que todos somos un horrible cliché. Que más que interactuar y aplicar papeles y máscaras con el mundo que nos rodea, sobreactuamos, somos farsantes. Ya nadie nos cree. Ni nosotros mismos ni nuestros mejores amigos. Estamos solos y exageramos. Nos convertimos en bufones de los otros y ellos de nosotros. Que lento, que estúpido, que patéticos.

Hoy me di cuenta de que aquellos que parecían gentiles, amables y chamanes se han perdido, se han ido. Se han convertido en malabarismo de onomatopeyas, en cacofonías de libertad artificial. Hoy me di cuenta de que perdí el respeto por lo que creía superior a mí y que tal vez en mi ego, en mi megalomanía, he superado al maestro.

Me han aburrido los grandes sabios del mundo. Todo aquel jurando que la verdad está en sus palabras y en un video bonito. En la prepotencia de la única razón, ortodoxa falsificación de poder. ¿Cuánto tiempo no preví esta charlatanería? Y los idiotas, al final han tenido la razón, la que no quisimos ver. Años pasaron desde mi encuentro con los falsos trogloditas borgianos; ahora me arrepiento de no haber prestado más atención.

Siempre uno cerca de la muerte aprende y recuerda algo. Epifanías de cincuenta centavos y hierbas toqueteadas por el kitsch y el sinsabor viejo de un hierbero, de una calabaza de mate sin un cebador profesional. ¿Cuántos años, siglos, nos hemos tardado en psicologizar a los perros? El epítome del ser humano: sanar el ánima animal.

Pretendemos que lo que hacemos es original y pretendemos crear rupturas en la conciencia pública. Nosotros no somos Hakim Bey y mucho menos agentes del caos. Somos pretensiones de unicidad que cansan al hablar. Somos odio e indiferencia entre protagonistas de cada película hedonista. Nadie será trastornado por una belleza brutal más que tu falsa autoestima.

He prometido a la virgen, exvoto tras milagros que creo sentir. Mater dolorosa, he visto tanto mal… He hecho tanto mal. ¡Que ignorancia la tolerancia! Sentirse humilde ante falsos profetas ha sido el peor de mis pecados, jamás miré de donde aparecía la paloma blanca. Caí muy bajo y al parecer es tarde para rectificar. ¿Será este el punto donde vi o veré la luz? ¿Habrá más allá después del inicio de semana? ¿Habrá amor? ¿Habrá algo más que esta triste apuesta con convicción de orador?

Pretensiones de Gingsberg y actores sobrevalorados por bellas sonrisas. Interpretaciones de aquello que se cree pretender, ni siquiera ser. Pero siempre, el bueno de la película. Yo prefiero a las locas y las putas que la doble moral del cínico con cara de ángel cocainómano. Yo prefiero aquella de la infección vaginal y la tristeza embarrada en el cuello. Yo prefiero al homosexual de closet que ama con pasión, y las lesbianas cristianas que se rasuran las axilas para encajar socialmente en la bella estética de portería, de revista “Teen Sport”, Sport Spice, Pepsi y futbol. Latinismos a la Salma Hayek y relojería armamentista.

Prefiero movimientos involuntarios y errores. Perder la conciencia para saber que se ha perdido todo, que solo quedan las buenas noticias debajo de la bata de un hospital, con el culo al aire y los tubos controlando tu cuerpo. Viajar no me sirve de nada si no huyo de los fantasmas, si revivo miradas de comadrejas y camaradas que piensan que el arte, la poesía y el comunismo salvarán de alguna manera y desde su liderazgo al mundo; y sobre todo, que todo debe ser como ellos crean que sea.

****: se dice “natzi” no “nasi”. Los alemanes y franceses son sensuales al hablar español. Pronunciando la “r” como un bello gargajo. Escupitajo en retretes de ideología escatológica. Jedis con obesidad exógena frenan el movimiento cerebral. Cefaleas de obscuridad y lipotimias que me recuerdan rasguños antiguos. Cicatrices de épocas salvajes.

Marchas de vaginas violentadas, liberadas y repletas de castigos divinos. Y tú, tú apenas eres un recuerdo forzoso. Una brisa con leve olor a meados. A triste esperanza de poeta maldito, que los reblogs de una página le recuerdan el pesar. Diálogos žižekianos preparados para impresionar hipsters. Lo posmoderno de un Manchester tercermundista y la bicicleta como justificación, como disfraz del ñoño, de aquel que sabe pero que igual es un loco con miedo y visiones conspiranoicas; con tanta incapacidad, con tanta tristeza y miedo a morir como cualquier otro animal.

Goffman se quedó corto, jamás miró Marimar; jamás tuvo perfil en Facebook, blog, ni presentó a Lady Gaga en los MTV. Vestidos de carne, así se describe el género humano: todos somos un artista pop. Preguntas perfectas para congresos de embaucadores, de gitanos sociales. De adivinos de tres pesos con beca del FONCA.

¿Enserio a los 30 años y dándote cuenta de la doble moral mexicana, renegando con cicatrices en las muñecas? ¿Cómo no me di cuenta antes de que lo que buscaba no estaba en este teatro? Cuanta pérdida de tiempo, cuánto desperdicié con sofistas y feministas que reúnen redes pro-ana en la clandestinidad de la diarrea polifacética y políticamente correcta.

Una de esas florecitas que creía solo crecían en mi pueblo, me cansas pequeña. Prefiero las sonrisas tachadas y los ojos cansados del escritor que juega billar. Poco tiene sentido y poco hay que hacer. He perdido el deseo de convivir con esta sociedad más no las ganas de estar vivo.
(bad) trip | 2012 | guadalajara | 313
AO Baghi Mar 2018
Ankhian tu digan hanju, dil di sada ae
Rab kadi kise nu pere din na wikhaye
Ankhian tu digan hanju, dil di sada ae
Rab kadi kise nu v phuka na sulaye
Digan hanju ankhian tu // gham dunia ch sadian tu
darr dil ch basean kyun par // nafrat sab tu wada masla kyun
Zaalim dunia, jaali zamana // nava dor par hakim purana
jetan da laban bahana // haran da na karan samna!
Ankhian tu digan hanju, dil di sada ae
maran tu pehla jeena, zindagi dua ay
Ankhian tu digan hanju, dil di sada ae
Rab kadi kise nu pere din na wikhaye
here's I write some of my thoughts in Punjabi. I hope you like it.
Apachi Ram Fatal Jun 2017
***** Diddy Dean\
principles clean flirting\
***** on the street tuning\
girls squat ******* off roast\
principal toast jetset mason\
braces racial faces erases fascist\

aCes amoosha\

frisky leniently\
nick unchain wrist\
reel chastity handcuff\
trust the best way to eat\
with your hands and knees\
near the ground on your feet\
head up high top of the more\
under the great blue sky define\

Convenience Cross buddy divine interference\

Culture shock the biggest radial in the room\
Centrally round about ways\
Cave the elephant at the mouses house daintily\

faintly fading narcotic wince\
swine like a good nightmare\
Dare not get locked into close\
without Darkin Diddy in it\
Hit unstuck with good fun gang\
bangers conundrum the dyme drop\

flip the quarter youngin do the tyme Shyne one more\
chance at a lucky snakes dessert dry spell farewell\
take the KAbala Ruby KAaba keen in a seam Weezer\
Diddy peel back pay out after the mailman waned\

inn deserts righteous weasel sheath creature nurture\

feature posted up at the penitentiary motel\
*** as clean as the club they spiked\
to party in the hotel room\

bash and dash with rash baseball bats disintegrating rats\
in baseball caps stash in a ****** astounded Jay Lo\
pulled the Trigger\ Sang\

rapper song rewind hiphop psalm lip i dip you rip we cryp hark of a Hawk warlike\
bullet sound dock store shiruba nest warm shepard impression out of the cold\
     famish at the government mansion retain sharpened noreaga apex angle fang\
dine forward booking round ticket found trinkets of chicken fry Kern El Sanders\
hid ashtray banked future matters in Hakim fortune empowered Peaceful impart\
Eye for Eye
    Evil constrict Haikus conduct leg work contradicting the Porphyrogenita bylaw\
ratify gear Goddesses strike stamping thee passt charging Neo vitasphere Rage\
                   electrician the Machinist\
          hause Morpheus envogue yoke hymns romping a vampire respect pinion droves\
pronunciation moody grove converge throng over durst drac stirs Period crop Verbatim\
drunken master play
Hakim Kassim Nov 2023
It waves hard, like
  An ordeal of times
       past;
Irresistible, it wears
      down
 Wilfully mortal
    endurance;
It worries, like
     summer sky,
  Setting the soul
      breathless;
In woeful tone the
     moth
  Haplessly weeps to
       stars;
Longing, infinite and
       vain,
   Furnishes the mood
       inside;
Outside, nighingale
       still
  Sings through
     the vacant autumn
          sky.
                       -by
             Hakim Kassim.
Raj Arumugam Feb 2012
a charming lady
with the most romantic exotic name
sends me a letter
December 2011
online at poemhuntdown.com
once, twice
a note of love

how magical!
she’s enslaved my heart
asking for my reply
via email
and she’ll send me her photo

I quickly resolve
to pen a reply
to put loveless 2011 to rest
and start 2012 with romance
and so I search her page online
and she has comments
on other poets too

But Oh, woe is me!
my love
has approached these others too
with the same message of love:
Osip Mandelstam (1891-1938)
Katharine Mansfield (1888-1923)
Hakim Abu al-Qasim Mansur Firdowsi
(932 A. D. and 941 A. D)


Oh, my love! my love!
do not go unto them
I will email you
and we will love each other
till we both rest in one grave
but you must promise
never to visit the other men;
and as for Katharine Mansfield -
I think
you picked the wrong man
Hakim Kassim Sep 2016
dust.
crowds.
rain.
'asc?' voice of a young
        girl--
belated recognition.
summer at end.
smile.
love-laden look.
silence of--
promises scribbled
       inside.
hope.
heart.
thought.
walking home!
'a world without end.'

      -by Hakim Kassim.
       (Sept.04.2016)
Elle Sang May 2018
Sambil mengendarai mobil, aku melirik calar yang menghiasi tangan kananku. Merah seakan salah satu kucingku baru saja mengamuk. Tapi hanya aku dan sebilah pisau di kamar yang tahu itu bukan hasil karya seekor kucing melainkan binatang yang jauh lebih biadab, depresi.
Lampu dijalanan berubah merah, sambil melihat sekeliling aku tersenyum mengamati hiruk pikuk yang sedang terjadi.
Aku jadi rindu perasaan utuh yang lambat laun terkikis waktu dan kalimat-kalimat bernoda.
"Kurang kuat iman sih"
Tak ada kaitannya dengan imanku, sayang.
"Mungkin cuma ada di kepalamu saja."
Dan kepalaku adalah satu-satunya tempat dimana aku tak bisa lari.
"Memang penyebab depresimu apa?"
Karena 1095 hariku tercemar darah, puntung rokok, pecahan gelas, dan caci makian tiada henti. Tak semudah itu untuk keluar hidup-hidup dari kandang singa, harus ada luka yang aku tanggung seumur hidup.
"Apakah kau gila?"
Aku bukan gila, aku baik-baik saja. Hanya ada bagian di dalam sana yang mati dan tak bisa diperbaiki lagi.
Lampu hijau dan klakson dari mobil membangunkanku dari suara-suara itu.
Tapi ketika sudah melaju dengan kecepatan yang nyaman ada satu suara yang muncul lagi, menoreh hatiku.
"Aku tak habis pikir bagaimana seseorang bisa nekat melukai dirinya sendiri sedangkan masih banyak yang bisa dilakukan"
Kalau kau tak paham, tak mengapa.
Tapi aku melakukan itu bukan untuk mati, aku lelah tak merasa apapun karena ada bagian di dalamku yang memang sudah mati.
"Kau mirip banteng ketaton"
Ya, aku marah kalau kau seenaknya menyebut aku gila.
Aku terluka kalau kau seenaknya main hakim sendiri.
Calar itu adalah sebuah pengingat bahwa aku masih hidup.
Untuk mereka, korban kebiadaban depresi.
Kalian tidak sendiri.
Hakim Kassim Sep 2016
Lovers that apart
   might
Reclaim their
   mastery over

Their wry hearts
   again,
And with
   pretentious smile

Might mask their
    wounds.
But you, lovel who
     departed

To sleep under the
   quiet grass,
That you may in
    solitude find

The peace with earth
         divorced,
Left me alone, a
    
broken  heart:

Our promise of yore
   is now no more!
Nor can my
   weakened spirit
      peace attain,

Nor can
   remembered love
      bring me relief;
Nor can gloom offer
    me release,

Nor to any distraction give
         myself;
By divine chance we
    happily met,

And by divine plan
   we're now apart,
As this year's grief
   teaches me in
      truth:

Consider the death
    of one so loved,
Merely such love's
    polite recusal!
   -by Hakim Kassim.
  NOTE: This poem, "Requiem," was made in honor of my father, Dr. Hussein S. A. S. Kassim, written soon after his death in March of 1994.
Hakim Kassim Sep 2016
"Je pense donc je
        suis."
         -Descartes, 1637

You'll never know,
Though forever
         wonder

Of the day of your
         feast!
It's an unknown
         moment

In the long annals
Of the Universe's
         clock;

And you blame
          things--
People, places,
         principles,

For not giving you
        enough,
Or not giving you at
        all.

In fact, you're to
       blame:
The sheep with the
    scar,

Cleaning out with
   naive acts
What might have
   been of use to you;

Your mind and body
   fight,
Fight, because that's
   all they do,

That's all they CAN
   know!
Ah, such Cartesian
   discovery:

One set against the
   other,
Without end or
   result;

For evermore, like
   ebb and flow;
Day and night, up
   and down.

Was Jesus the
   solving synthesis--
Sprite or Spirit? He
  came and left--sole
        individual!

Dualism yet persists,
   as before:
Keep reigning as
  King in your 'mind,'

Though to 'matter'
   you're
One among six
  billion hapless faces!
 
  -by Hakim Kassim.
  (d. November, 1988)
Muzaffer Sep 2019
Mc Carthy
sokağında kıstırılmış
siren sesleri yok artık
slogan ve afişlerde

fundamentalist fırça hakim
karnı gebeş vampir azısında
kan grubu fark etmez
umursamaz da
taze kana ihtiyaç var yazar
emniyeti açık namlu ucunda
tek slogan taşır
tır,
tır
çanta, çanta
kazanan kazandık sanır
şeytan gibi göz
piramidin alnında

sevda da
böyle biraz
nerde çiçek çocukları
z'ye dayandı bile hayta

mekanik ve sanal yürüyor
ceplerde ölüyor sevda
sonra bir başkası
ve biri
daha sonra

Gauss cikleti gibi uzayıp gidiyor
oysa
Zambo çiğnerdi bizim kızlar
hula hoplu, seksekli oyunlarda
halbuki şimdi
s'expartner adım atacak mı?
kaygısı
dişil açılımlarda

bense
yurtsuz john gibiyim
hayat lokantasında
menüye bakmadan garsona
çek bir
Magna Carta
diyorum
nohut oda olsun
Emma nerdeyse gelir..



..
Hakim Kassim Sep 2016
(for Sulekha Amin
     Omar)
"Omnia vincit amor."
                    -Virgil.

I see vast seas asleep
     in your eyes;
And mere smiles
    that pour joy into
       my heart,
I see in you a blessed
    beauty unknown up
      till now!    

I see you as the sun
     treads westward,
And arrows spread as
     blind sky reflects
I see you alone among
     all who under the
       sky live!

I see the delight you
      bring to a troubled
        spirit
And see the dawn of
    New Spring as you
      in my thoughts
       come ,
I see you all the time,
   Darling, lest I Love
      You forevermore!
                
       -by Hakim Kassim.
        (d. Dec.12.1989)
Hakim Kassim Sep 2016
snow-windy.
ice in raindrops.
hefty ventures.
brookner, anita:
latecomers '89.
thomasses,
just too many.
mind-plays.
churning hopes.
wrestle.
some way out.
'i did love her then!'
mind-quake.
regroup.
by-gones.
grave-yard stuff.
'oh, now: you & i.'
     -by Hakim Kassim.
Coco Jul 2020
Look Hakim
Dust is being spilt into dust
The dirt that laughed and cried
Once a river flowing with life
Dust is what remains
Tears mud the dust
As dust is swallowed by dust
Look Hakim
Dust becomes dust.
Hakim Kassim Sep 2016
hot.
humid.
dream in the dark.
wet thoughts.
drowsy nightingales.
hemingway's tight-tongued
     heroes.
summer shower.
july miracle:
do we mistake love for lust?    
     -by Hakim H. Kassim.
Hakim Kassim Sep 2016
(for K. Briggs, Portsmouth)

     All that ever was
        joyous, and clear
         and fresh,
     [your] music doth
        surpass "
             -Percy Shelley.

I do not know the
   reason why
The world turns with
   me when you walk
         by,

With a thousand
     words scarred
        across your face,
Breaking down my
    defense with a
      casual gaze.

Morning or evening
   when you walk by,
My heart skips a beat,
   lost in the 'you-and-
        I;'

With your light step a
  vivid link to a higher
     grace--
At a different time, at
     a different place!

Your eyes turn away
   as you pass, as if we
      were kidding one
         another,
As if no two were
   meant to be
     together!

You go your way,
   leaving me lost and
     amazed:
So much said in so
   little expressed!

      -by Hakim Kassim.
      (d.January, 2000)
flitz Nov 2020
Mana mungkin pendosa seperti aku berjalan ke syurga itu,
Mana mungkin manusia sesuci kamu tidak berjalan terus ke syurga itu.

Aku mampu bermimpi,
Aku mampu berdoa,
Akan tetapi hakim dunia tetap akan memandang sucinya engkau yang bertutup litup sebagai bidadari syurga.
Sedangkan aku, hanyalah si cela.
Hakim Kassim Oct 2018
(for Ifrah Osman Dahir)

The purposeful look,
    a passing smile--
My eyes fixed at a
    whole world all the
       while--

A world of joy
    through figure
       lean and smooth,
And what a world
    you're for my cares
      to soothe;

By a sudden turn you
    look at me with an
      amused frown,
Caught me off-guard,
    my eyes hurry to be
       withdrawn:

Yet deep in me
    somewhere you
      caress and touch,
Speechless, I'm lost in
   your lean figure  
     maybe to match--

For you're to me of
   that indelible Dew
      from Heaven:
No words need be
   said, you're beloved!

For I see scattered
   across your face,
For which with fiery
   desire I yearn to
       gaze;

Ss if you sought to
    clasp a stretched
          caring hand,
I need love, a heart
    willing to
       understand;

Your cheeks are rosy,
   though you seem
      not to care,
I have nothing to give
   but all my heart--all
      and bare!

You seem somewhat
    tired with this
      indifferent this
        uncaring world:
Yet I hear and see you
    up and happy, not
       as cold;

No one grows sick
    and tired of love,
And the unrest in
    your face sighs for
      a move

To come--the saving
   Knight on a
     Horseback:
Can I be the lucky guy
   no less the worse?
              
                   -by
            Hakim Kassim.
           (-d.Oct. 31, 2018)

— The End —