Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
In response to a sardonic essay written in the recent Saturday Nation by Proffessor Ekara Kabaji, wryly  disregarding the position of Kwani in the global literary movement within and without Kenya , I beg to be permitted a leeway  to observe that any literature, orature, music,drama,cyborature,prisnorature,wallorature,streetorature , sculptor  or painting can effortlessly thrive and off course it has been thriving without professors of  literature, but the reverse is not possible as a proffessor of literature cannot be when literature is not there. Facts in support of this position are bare and readily available in the history of world literature, why they may not be seen is perhaps the blurring effects from tor like protuberant irrelevance of professors of literature in a given literary civilization.
A starting point is that literature exists as a people’s subculture, it can be written or not written like the case of orature which survive as an educative and aesthetic value stored in the collective memory of the given people. The people to be pillars of this collectivity of the memory are not differentiated by academic ranking for superlativity of any reason, but they are simply a people of that place, that community, that time, that heritage, that era and that collective experience. Writing it down is an option, but novels and other written matter is not a sine qua non for existence of literature in such situations. This is not a bolekaja of literature as Proffessor Ekara Kabaji would readily put, but it is a stretch towards realism that it is only people’s condition that creates literature. Poverty, slavery, colonialism, ***, marriage, circumcision, migration, or any other conditions experienced as collective experience of the people is stored or even stowed away in the collective memory of the people as their literature. Literature does not come from idealistic imagination of an educated person.
Historical experience of written literature informs us that the good novels, prose, drama and poetry were written before human society had people known as professors of literature. I want you my dear reader and You-Tube audience to reflect on the Cantos of Dante Alighieri in Italy, novels of Geoffrey Chaucer in England, Herman Melville and his Moby **** in Americas, poetry of Omar khwarisim in Persia, Homeric epics of Odyssey in Greece and the Makonde sculptures of Africa and finally link your reflections to Romesh Tulsi who grafted the Indian epic poetry of Ramayana and Mahabharata. At least you must realize that in those days literature was good, full of charm, very aesthetic and superbly entertaining. This leads to a re-justification that, weapon of theory is not useful in literature. University taught theories of literature have helped not in the growth of literature as compared to the role played by folk culture.
Keen observation will lead you dear reader, down to revelations that; professors of literature squarely depend on the thespic work of the people who are not substantially educated to make a living. Let me share with you the story about Dr. Tom Odhiambo who went to University of Witwasterand in South Africa for post graduate studies in literature only to do his Doctoral research on books of David G Maillu. Maillu is a Kenyan writer, he did not finish his second year of secondary school education but he has been successfully writing poetry and prose for the past three decades. His successful romantic work is After 4.30, probably sarcasm against Kenyan office capitalism, while his eclectic, philosophical and scholarly work is the Broken Drum. Maillu has many other works on his name. But the point is that Dr. Odhiambo now teaches at University of Nairobi in the capacity of senior lecturer in Literature. What makes him to put food on the table is the effort of un-educated person in the name of David Maillu. Dr.Odhiambo himself has not written any book we can mention him for, apart from regular literary journalism he is often involved in on the platforms of the Literary discourse in the Kenyan Saturday Nation which are in turn regular Harangues and ripostes among literature teachers at the University of Nairobi, the likes of Dr Siundu, Proffessor wanjala Chris and Evans Mwangi just but to mention by not being oblivious to professors; Indangasi and Shitanda.
No study has yet been done to establish the role of university professors on growth of African literature. One is overdue. Results may be positive role on negative role, myself I contemplate negative role. Especially when I reflect on how the African literati reacted on the publication of Amos Tutuola’s book The Palm Wine Drinkard. The reactions were more disparaging than appreciative. Taban Lo Liyong reacted to this book by calling Amos Tutuola the son of Zinjathropus as well as taking a self styled intellectual responsibility in form of writing a more  schooled version of this book; Taking Wisdom up the Palm Tree. Nigerians of Igbo (Tutuola being a Yoruba) nation cowed from being associated with the book as it had shamefully broken English, broken grammar etc. Wole Soyinka had a blemished stand, but it is only Achebe who came out forthrightly to appreciate the book in its efforts to Africanize English for the purpose of African literature. Courtesy of Igbo wisdom. But in a nutshell, what had happened is that Amos Tutuola had taken a plunge to contribute towards written literature in Africa.
One more contemplated result from the research about professors and African literature can be that apart from their role of criticism, professors write very boring books. A ready point of reference is deliberate and reasonless obscurantism taken Wole Soyinka in all of his books, Soyinka’s books are difficult to understand, sombre, without humour and not capable to entertain an average reader. In fact Wole Soyinka has been writing for himself but not for the people. No common man can quote Soyinka the way Achebe’s Things Fall Apart is quoted. Achebe wrote Things Fall Apart when he had not began his graduate studies. However, he did not escape the obvious mistake of professors to become obscure in the Anthills of the Savanna, the book he wrote when he had become a proffessor. This is on a sharp contrast to entertaining effectiveness, simplicity and thematic diversity of Captain Elechi Amadi, Amadi who studied chemistry but not literature. He does not have a second degree, but his books from the Concubine, The great Ponds, and Sunset in the Biafra and Isibiru are as spellbinding as their counterparts in Russia.
Kenyan scenario has Ngugi wa Thiongio, he displayed eminence in his first two books; Weep not Child and The River Between. These ones he wrote when he was not yet educated, as he was still an undergraduate student at Makerere University. But later on Ngugi became a victim of prosaic socialism, an ideology that warped his literary imagination only to put him in a paradoxical situation as an African communist who works in America as an English teacher at Irvine University. His other outcrops are misuse of Mau Mau as a literary springboard and campaigning for use of Kikuyu dialect of the Gema languages to become literary Lingua Franca in Kenya. Such efforts of Ngugi are only a disservice to Kenyan literature in particular and African literature collectively. Ngugi having been a student of Caribbean literature has failed to borrow from global literary behaviour of Vitian S. Naipaul.  Ngugi’s position also contrasts sharply with Meja Mwangi whose urban folksy literature swollen with diversity in themes has remained spellbinding entertainers.
The world’s literary thirsty has never failed to get palatable quenching from the works of Harriet Bechetor Stowe, Robert Louis Stevenson, Shakespeare, Alice Munro, Octavio Paz, Pablo Neruda, John Steinbeck, Garcia Guarbriel Marguez,Salman Rushdie, Lenrie Peters, Cyprian Ekwenzi, Nikolai Gogol,I mean the list is as long as the road from Kaduna to Cape town. Contribution of these writers to global literature has been and is still critical. Literature could not be without them. Surprisingly, most of them are not trained in literature; they don’t have a diploma or a degree in literature, but some have won literature Nobel Prize and other prizes. Alfred Nobel himself the author of a classical novella, The Nemesis, does not have University education in literature. What else can we say apart from acceding to the truth that literature can blossom without professors, the Vis-à-vis an obvious and stark impossibility.
KA Poetry Jan 2018
Ruang-ruang kosong di jiwa
Sangat merindukanmu
Langit berbintang memelukku erat
Hingga sendiri menjadi nyaman

Terbanglah bersamaku bila kau mau
Kau tahu hanya butuh memanggil namaku
Genggamlah tanganku
Kau tahu kau tidak sendiri melawan dunia ini

Hati akan berbicara
Bila kegundahan menerpa
Meski tak sempurna
Cintaku akan mengisi gema ruang-ruang hatimu

Disisimu, akan kubawa kau berlayar
Menuju dunia tanpa kesedihan
Disisiku, akan kubuat kau bahagia
Membuat dirimu merangkum rasa.
02/01/2018 | 22.00 | Indonesia| K.***
Esta sal
del salero
yo la vi en los salares.
Sé que
no
van a creerme,
pero
canta,
canta la sal, la piel
de los salares,
canta
con una boca ahogada
por la tierra.
Me estremecí en aquellas
soledades
cuando escuché
la voz
de
la sal
en el desierto.
Cerca de Antofagasta
toda
la pampa salitrosa
suena:
es una voz
quebrada,
un lastimero
canto.

Luego en sus cavidades
la sal gema, montaña
de una luz enterrada,
catedral transparente,
cristal del mar, olvido
de las olas.

Y luego en cada mesa
de ese mundo,
sal,
tu substancia
ágil
espolvoreando
la luz vital
sobre
los alimentos.
Preservadora
de las antiguas
bodegas del navío,
descubridora
fuiste
en el océano,
materia
adelantada
en los desconocidos, entreabiertos
senderos de la espuma.

Polvo del mar, la lengua
de ti recibe un beso
de la noche marina:
el gusto funde en cada
sazonado manjar tu oceanía
y así la mínima,
la minúscula
ola del salero
nos enseña
no sólo su doméstica blancura,
sino el sabor central del infinito.
Sí. Don Juan está triste, porque empieza a ser viejo.
Sus sienes ya blanquean y se arruga su frente…
Deliberadamente rompió su último espejo,
pero aún frunce con gracia el entrecejo,
y sabe, como nadie, decir lo que no siente.

Más aún que su espada de acero toledano,
tiene un filo temible su mirada insolente;
y una clara amatista resplandece en su mano,
con un episcopal fulgor mundano,
pero, como su dueño, ya se sabe que miente.

Sí. Don Juan está solo definitivamente:
Ningún beso lo espera; ningún labio lo nombra…
Pero sobre la alfombra su sombra está presente;
y entonces, con un gesto displicente,
Don Juan cruza los brazos… y le miente a su sombra:

«Realmente, yo fui un poco
aventurero: Me atraía el mar;
no fui insensible al juego, ni al buen vino tampoco,
y el amor fue un camino por el que supe andar.
Y, siendo un poco audaz y un poco loco,
un día, alegremente, me abandoné al azar.

»Y fui marino. Supe de las rachas sonoras
que en los tensos cordajes enredan una ronca sonata;
y en los ponientes de escarlata,
y en la azul placidez de las auroras,
vi palpitar los amplios velámenes de plata,
y me enjoyó de espuma la tajante inquietud de las proas.

»Y en las noches serenas, cuando el viento es un cálido encaje
que difunde fragancias de luceros,
comprendí por qué dicen que la muerte es un viaje,
y por qué se prolongan los adioses postreros
en los sordos hervores del oleaje
y en las canciones de los marineros.

»Pero en el mar airado o apacible,
y en la canción como en la imprecación,
con las manos crispadas en la jarcia flexible
o en la circunferencia del timón,
mi corazón, mi absurdo corazón,
permaneció impasible.

»Y fui guerrero. Y supe reír en la batalla,
con ímpetu invencible y entrecortado aliento,
cuando de súbito restalla
su látigo violento
la metralla,
sembrando de amapolas el elástico surco del viento.

»Y supe de la red que sabe a tierra,
del sol que raja el cráneo, de la lluvia tenaz,
de la fiebre en la jungla, de la asfixia en la sierra,
de la emboscada y del ataque audaz.
Y entonces comprendí por qué la guerra
tiene amargas raíces que alimentan la paz.

»Pero en el empujón irresistible
del asalto, al flamear el pabellón,
o al morder las palabras de una orden terrible
entre el hálito acre del cañón,
mi corazón, mi inútil corazón,
permaneció impasible.

»Y fui poeta. Hambriento de hermosura,
filtré vagos acordes en la alquimia sutil del poema;
cincelé cada estrofa como una miniatura,
y pulí cada verso cual si fuese una gema,
una gema inmortal de la diadema
de la belleza pura.

»En mis recreaciones de orífice sonoro,
dibujé en los misales, como un monje demente,
mayúsculas esbeltas con pájaros de oro;
y, al esculpir la Venus de una fuente,
con el sabio retoque de mi buril paciente
alisé cada grieta y cada poro
hasta dejar el mármol transparente.

»Pero al lograr un ritmo imperceptible,
o al apresar el tema de una alegre canción;
o cuando en una frase fue visible
un perfil impreciso de mi imaginación,
mi corazón, mi estéril corazón,
permaneció impasible.

»Después… ya no recuerdo. Fui pintor
y fui juglar, y músico, y fraile, y mercader;
espadachín, tahúr y trovador…
Y todo por amor a la mujer,
sin que nunca encontrara la mujer de mi amor.
Y después, todavía, como algo muy lejano,
recuerdo un brusco cambio de mi suerte:
Ya próximo al patíbulo villano,
la clemencia de un príncipe me salvó de la muerte,
y mis impertinencias me hicieron cortesano.

»Las mujeres pasaron, y, una a una,
dejaron solitarios mis festines,
pues fui dueño de todas y esclavo de ninguna;
y besé a una princesa bajo un claro de luna
que esparcía su polvo de plata en los jardines.

»Yo amé la boca sabia que extenúa el exceso
y fui de beso en beso tras la boca inexperta.
Pero no amé jamás. Amar no es eso.
El beso es una llave para abrir una puerta,
y yo cerré las puertas con la llave del beso;
y ahora no me ha quedado ninguna puerta abierta.

»Pero, tal vez aquella… La tapada
que vi en… ya no recuerdo. La dama iba deprisa,
y un rufián la insultó. Saqué mi espada…
Ella quedó indecisa…
Yo atravesé el rufián de una estocada,
y ella me sonrió, sin decir nada,
y huyó… Sólo vi de ella su sonrisa;
y después su sonrisa huyó en la brisa,
pero dejó la brisa perfumada!

»Aunque, de haber besado y poseído
la boca aquella que me sonreía,
hoy fuera en mis recuerdos una calle vacía,
o un contorno de niebla que flotara en mi olvido.

»Y ahora, ya se me va la juventud,
mi juventud, que fue por tierra y mar,
ebria de ensueño y loca de inquietud;
y ahora sólo recuerdo lo que quiero olvidar,
y, esclavo de mi propia esclavitud,
me siento solo y necesito amar.

»Amar por vez primera, para olvidar mi hastío;
soñar mi último sueño, y volver a empezar…
Pero en vano se exalta mi deseo tardío:
El leño que arde pronto, pronto se queda frío,
y yo ardí en cuerpo y alma, al vivir y al soñar.

»Y, sin embargo, a veces, el corazón insiste
en su antigua locura del beso y la mujer,
pero después del beso la boca queda triste,
triste como un camino en el atardecer.

»Sólo ansío la gloria de los días serenos.
Si pasan las mujeres, yo las miro pasar
como miran los niños los juguetes ajenos,
pero los niños sonríen con ganas de llorar.

»Sí. Yo vencí la vida, sin pensar de qué modo.
Me alcé soberbiamente, con gesto vencedor…
Y hoy me vence la vida, pues, teniéndolo todo,
sé que todo me falta si me falta el amor!»

Don Juan calla, y contempla, sobre la roja alfombra,
su sombra, que, sin duda, también cree que él miente.
-Ningún beso lo espera; ningun labio lo nombra... 1
Y, repentinamente, da la espalda a su sombra,
y una lágrima empaña su mirada insolente.
El son del viento en la arcada
tiene la clave de mí mismo:
soy una fuerza exacerbada
y soy un clamor de abismo.
Entre los coros estelares
oigo algo mío disonar.
Mis acciones y mis cantares
tenían ritmo particular.
Vine al torrente de la vida
en Santa Rosa de Osos,
una medianoche encendida
en astros de signos borrosos.
Tomé posesión de la tierra,
mía en el sueño y el lino y el pan;
y, moviendo a las normas guerra,
fui Eva... y fui Adán.
Yo ceñía el campo maduro
como si fuera una mujer,
y me enturbiaba un vino oscuro
de placer.
Yo gustaba la voz del viento
como una piñuela en sazón,
y me la comía... con lamento
de avidez en el corazón.
Y, alígero esquife al día,
y a la noche y al tumbo del mar,
bogaba mi fantasía
en un rayo de luz solar.
Iba tras la forma suprema,
tras la nube y el ruiseñor
y el cristal y el doncel y la gema
del dolor.
Iba al Oriente, al Oriente,
hacia las islas de la luz,
a donde alzara un pueblo ardiente
sublimes himnos a lo azul.
Ya, cruzando la Palestina,
veía el rostro de Benjamín,
su ojo límpido, su boca fina
y su arrebato de carmín.
O de Grecia en el día de oro,
do el cañuto le daba Pan,
amaba a Sófocles en el Coro
sonoro que canta el Peán.
O con celo y ardor de paloma
en celo, en la Arabia de Alá
seguía el curso de Mahoma
por la hermosura de Abdalá:
Abdalá era cosa más bella
que lauro y lira y flauta y miel;
cuando le llevó una doncella
¡cien doncellas murieron por él!
... Mis manos se alzaron al ámbito
para medir la inmensidad;
pero mi corazón buscaba ex-ámbito
la luz, el amor, la verdad.
Mis pies se hincaban en el suelo
cual pezuña de Lucifer,
y algo en mí tendía el vuelo
por la niebla, hacia el rosicler...
Pero la Dama misteriosa
de los cabellos de fulgor
viene y en mí su mano posa
y me infunde un fatal amor.
Y lo demás de mi vida
no es sino aquel amor fatal,
con una que otra lámpara encendida
ante el ara del ideal.
Y errar, errar, errar a solas,
la luz de Saturno en mi sien,
roto mástil sobre las olas
en vaivén.
Y una prez en mi alma colérica
que al torvo sino desafía:
el orgullo de ser, ¡oh América!
el Ashaverus de tu poesía...
Y en la flor fugaz del momento
querer el aroma perdido,
y en un deleite sin pensamiento
hallar la clave del olvido;
después un viento... un viento... un viento...
¡y en ese viento, mi alarido!
Awake Manimeth ... wake up !!
fire goes out on the horizon
the horizon line curve your hands as if your two
absorbed will press tu face burning fire,
burning your nose in your clasping his temples into the void ...

this, you utter your conscience gema rance decorating your
mind since the beginning of their training,
then manimeth sat with his face to the sun;
this stroked his hands and fell on his altar,

saying...:

" i meditate on my heart that wants slow its beat,
you want to beat my mind as heart deserter.
hold my senses whose hands beating,
without it is felt by my conscience.


they slip jewels of the universe for my thoughts
looking sit shore maze of ideas ...
ideas for those of the shores of the sit of edge
invisible planet to me now situate them
away from an image as the desert rushing the
cosmos ... "

that over Sun ...., look wheel by tiger eye iris
as a party lights,
transparent wheel and bouncing off the moon brains out. those are crushed envious by evil,
believed to enjoy bliss of pardon for their sins ven slips on themselves not falling the storms of flower seeds on themselves.

my locked tongue  snaked
my fingers clubbed ...
but the surge of infinity breath of faith  
embrace a creed,
illogical swings embrace the path that is pursued by the logical paths.

Look at that hunt ... !!
accecivity is rotating in your arms portals
it is your illogical outfit uncover your personality,
sheltering beautiful but your radio influence
**** about feeling kingdom kindness of you and your evil,
in a dialogue on allowing a ***** sheet for you
you are feeling for your pleasure human luck
it levitating or for response to where can
losing my world comfort foliage of my true
world...

but me accecivity headlines
enrich my delicate sides harmless.
the accecivity during a month ago pain
in my sides of my increasing progression winds,
without passive dominate chastise my sorrow.

but my altar in his platform
admit my dreams of eternity making my
fire, sun and moon as a whole,
and these three elements astrophysics  be myself wish
light ends but not born.


Manimeth wake, the offense !! here she comes
flinch you comes your depth impure
it comes from the **** that is cut your belly,
is torn of your life as a minute  
pressed to become the second of your life
by leaving your altar for the occupy another.


Wake araise up manimeth,
he opened his eyes and saw all the brown,
vio his hands embodied in flowers,
vegetative as psychic strength dermis and growing herbs.

your eyes dwarfed compassed
basin as lost their eyes suns
galactic orbits looking to occupy.

Manimeth but is illuminated,
and then quantifies wind gusts
they occupy your space that as wind dies
your roam in between ,
as rivers of light with new species of light protecting
messages for detainees interfered.

winds here are understood,
go there for you receive them
willfully why he decided
traveling my words mounted on the wind
to arrive to you.


In the oven,
where the hosts of devolution swept
violent with feeling my beloved ...
it is hence the examination of my self-awareness  
mammalian waves as you want all breastfeeding order by continuing creation of new exams
of worlds in creation
in lines and creating stable appearance worlds ...
floating stable wishes ...

i crossed as parchment
bowling for that wind fragile,
carrying my heart fire sealing
for the whole universe my doubts,
heartrending voice screaming like
inertial manimeth running away from me,
only leaving me sitting in my altar jeweled
only with my hands in flower converted
and my mind as ethereal form compressing
worlds now meditate in my heart ...


Jose Luis  Carreño Troncoso
August 8, 2002
TANTRIC MANIMETH MEDITATION KUNDALINI
Porque me diste la palabra y pudo
ser ella en mí, oficio de invierno
en la menuda gema de mi verso
que adivino luego en reluciente escudo,

me siento tu deudora y a ti acudo
en noche y día de esplendor diverso,
hora feliz, oscuro lustro adverso,
fiel azucena o álamo desnudo.

Así me inclino como Job, paciente,
en la sumisa espera penitente
ante tu sombra que aniquila el rayo.

Fui tu diamante de inocente fuego,
y ya alma oscura, a tu piedad me entrego
en esta aurora pálida de mayo.
En Lima... En Lima está lloviendo
el agua sucia de un dolor
qué mortífero! Está lloviendo
de la gotera de tu amor.
No te hagas la que está durmiendo,
recuerda de tu trovador;
que yo ya comprendo.. . comprendo
la humana ecuación de tu amor.
Truena en la mística dulzaina
la gema tempestuosa y zaina,
la brujería de tu "sí".
Mas, cae, cae el aguacero
al ataúd, de mi sendero,
donde me ahueso para ti...
VM Sep 2024
Aku melangkah di jalanmu, terukir dalam batu. Di mana sungai-sungai retak dan keheningan berdengung. Lagu pengantar tidur terus menghantui, membungkusku seperti kain kafan. Bisikan-bisikan membusuk dalam kesunyian, tersisa di udara seperti rahasia yang terlupakan, sementara keputusan menggantung di kehampaan—mayat-mayat cahaya.

Panas menggigil menyiksa melalui tulang punggung gurun ini, tebal dan menindas, saat bayangan terus menggeliat, tertawa dengan kebencian yang membekukan. Kau telah lama menghilang—bertahun-tahun, mungkin selamanya—ketidakhadiranmu adalah luka yang tak kunjung sembuh. Tak ada tangan yang mengulurkan jari untuk menenangkan langkahku yang goyah, tak ada kehangatan untuk mengikat pikiranku yang berputar-putar, dan beban ketidakpedulianmu menekan, mencekik seperti aku sedang berada di kuburan.

Jika aku menutup mataku dan membiarkan diriku larut dalam kegelapan, apakah itu akan membangkitkan sesuatu di dalam dirimu, atau kau akan tetap tak tersentuh, seperti selama ini? Langit ini terasa seperti kaca, rapuh mudah pecah, dan siap hancur akibat kekosongannya sendiri. Sementara bumi di bawahku setipis bisikan, siap menyerah. Pernahkah kau benar-benar ada di sini, atau kau selalu gagal untuk ada, sosok yang menghantui sebagian mimpiku yang hancur?

Pemenggal kepala menjulang di depan, janji yang tak terpenuhi,  
takdir yang terasa hampir manis, ujungnya yang tajam seperti panggilan sirene. Aku berdiri di bawah nya, pucat dan kaku. Besi dingin itu memanggilku, dan aku bertanya-tanya— jika aku menerima kejatuhan ini, apakah kau akan menyaksikan akhir, atau kau hanya akan berpaling, acuh tak acuh terhadap kegelapan yang menelanku bulat-bulat?

Kau tidak hadir di tanah yang tandus ini, tak mengucapkan sepatah kata pun untuk menghancurkan kesunyian yang membentang tanpa henti. Hanya gema tanpa suara dari ketidakhadiranmu yang ada melalui kehampaan, pengingat tanpa henti tentang cinta yang tak pernah ada. Jika aku semakin terperosok ke jurang ini, mencari pelipur lara di kedalaman keputusasaan, akankah aku mendapati dirimu menunggu, atau akankah ketidakhadiranmu bergema lebih keras, mencekik napas terakhirku?

Aku telah menelusuri debu tempat jejak kakimu terkikis,  
tapi bumi di bawahku berputar ke dalam ketiadaan, rusak oleh beban yang kau tinggalkan. Jadi di sinilah aku berbaring, di reruntuhan yang kau buat, di bawah tatapan dingin langit, terjerat dalam kesunyian yang kau jalin, di mana waktu berhenti, dan sisa-sisa harapanku memudar ke dalam jurang.
arby Feb 23
Burung mengepakkan sayapnya di langit,
padi tumbuh subur bersama,
kelapa melambai sarat buah,
orang berlalu dalam tujuan.

Di awal tahun ini,
kita menanam keindahan,
berharap gema kebaikan tersebar;
Bukan sekadar kebebasan,
tapi menjadikan setiap jiwa
lebih bijak, damai, dan sadar.

Kumimpikan kualitas diri,
antara harap dan asa,
ku evaluasi langkah-langkah,
sebab setiap hari adalah perjuangan.

Para insan berotasi,
sendiri, berdua, atau bersama,
melebarkan sayap, meniti arus,
meneguk manisnya perjalanan.

Hidupkan harap, suburkan asa,
resonansi yang menyejukkan jiwa,
menuntun langkah, meraih mimpi.
ID, Januari 2025

— The End —