Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
princessninann Jun 2015
Maraming taon ang nasayang, mga pangarap na biglang nabasag,
'di na maibabalik sa dati, para itong tinapay na sinira ng amag.
Matagal na kong nagtitiis, matagal na kong naghihintay
na muli **** ibalik ang apoy ng iyong pagmamahal.

Akala mo ba 'di ako nanghinayang sa mga binuong pangarap?
Sayang ang dala kong mantikilya,  ang tinapay sana'y  'di inamag.
Ang apoy na sinasabi **** sa akin ay nawaglit
hindi mo lang alam ikaw din mismo ang umihip.

Nagsawa ka na bang ihatid-sundo ako sa bahay?
Nagsawa ka na bang pakinggan ang mga drama ko sa buhay?
Hindi ko naman gusto na ikaw ay mapagod,
Nais ko lang na mapansin mo ko at sa ibang bagay 'wag kang masubsob.

Matapos ang isang nakakapagod na araw, ihahatid pa kita sa 'yong bahay,
Dahil pag hindi, paniguradong tayo'y mag-aaway.
'yon ang nakakapagod - ang away, lalo na't may problema din
ako sa aking buhay
na kahit kailan 'di mo napansin, dahil subsob ka sa ibang bagay

Sabi ko "ayoko na", sabi mo pagod ka na.
Tumakbo ako, mga luha'y naghahabulan sa paglabas,
mga tanong na walang sagot, "hahabulin ba nya ako? Hindi na ba nya ko mahal?"
'Di ako lumingon, gumulo aking isipan. Nais ko lang ay pigilan mo ko aking mahal.

Sabi mo, ayaw mo na, sabi ko, "pagod na ako",
Pagod na akong magpigil ng luha at maghabol sa iyong bawat
pagtakas at pagtakbo
Mga tanong na walang sagot, " Ayaw nya bang manatili?
Hindi na ba nya ako mahal?"
'Di ka lumingon, gumulo ang aking isipan. Nais ko lang ay huminto ka aking mahal.

Kung maibabalik ko lang ang takbo ng panahon,
Kung maibabalik ko lang ang takbo ng panahon,
'di na 'ko tatakbo, ako'y mananatili, sasabihin kong minamahal kita*
Hahabulin kita at pipigilan, sasabihin kong minamahal kita
"You never know what you have until you lose it, and once you lost it, you can never get it back"

Title taken from Gloc 9's song.

English translation:

ouy evol i

Many years were wasted, dreams that were broken
We cannot go back like molded bread
I've been enduring, I've been waiting
For your fire to rekindle again

Do you think you're the only one who regretted it?
I've brought butter for our bread, but its too late
The fire you said I had lost
You're oblivious, its the fire you had blown

Are you tired of bringing me home?
Are you tired of hearing me mourn?
I didn't mean to exhaust you
I just want you to notice me too

After a tiring day, I have to fetch and bring you home
If not, we'll end up fighting very soon
That's what's exhausting, 'cause I too, have things to mourn for
Which you never noticed, 'cause your hands are already full

I said, "This is enough.", you said, "I'm tired."
I ran away, tears fell even without a try
Unanswed questions, "Aren't you going to run after me? Don't you love my anymore?"
I never looked back, but how I wanted you to not let me go

You said you've had enough, I said "I'm tired"
To hold my tears and run after you, oh I'm very tired
Unanswered questions, "Don't you want to stay? Don't you love me anymore?"
You never looked back, but how I wanted you to stop so I can hold you close

If I can bring back the time
If I can bring back the time
I won't run away anymore, I'll stay and tell you I love you
I'll run after you and stop you to tell you I love you.
Jo Organiza Feb 2022
Kini ang bulak nga hilig gayod mamakak
gakson ka sa tunok sa kainit niyang mga hagakhak

Kini ang dila nga tam-is mulabtik ug mga atik
duyog sa dagat na mga awit kong gipangtagik

Gidulaan ug gikutaw ang mga pulong ug silaba
duyog sa hangin ug uling sa kalayong gabaga

Bisayang pinulungan ang ugat sa katingalahan
mahimuyo sa dughan bisag mapalong man ang adlaw ug bulan.
Bisayang pinulungan ang ugat sa katingalahan.

Balak- A Bisaya Poem.
Twitter: @drunk_rakista
Instagram: joraika5
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Jo Organiza Jan 2020
Ang kainit sa kape nga mugakos sa imong tiyan,
nahibalik sa panundumang siya pa ang imong gikaibgan
pero sa mga niaging mga adlaw ug bulan
sa paghunahuna ka pirme maglutaw ug mawad-an
mawad-an ug saktong paghunahuna, kay ikaw nga busog,
busog sa iyang mga atik nga kusog mulanog.
Bisayang mga Balak nga mihitungod sa gugma :((
Balak - A Bisaya Poem.
Lance Rosas Jul 2018
Gatuo siguro ka na akoy alkansi kay akoy naibog, akoy nihigugma, akoy nafall,
Og makaingon ang katawhan na “he is a fool after all.”
“Drop drop drop” ana si karencitta,
Ni suyaw kog drop pero akoy nafall, boshet ka.


Akoy alkansi kay ako ray nihgugma?
Or basin kay kanako walay nihigugma?
Basin wala mo nasayud na mutuo kog karma.
Na kung gugma mahikaplag, ako kay daghag drama.

Sus paita, paitas gugma na di mabalik,
Pero may nlng kaysas gugma na puro atik.
Kapoya naba aning kahimtang na langsi,
Pero sa tinudanay akoy nihigugma, akoy nihatag, akoy nalipay asa ko na alkansi?
Anton Jul 2018
Magpaabot paba ko sa imong pag balik?
mubalik paba kaha ka?
Kung ang imong Dughan lain na ang Gipitik?

Ayaw na ug padala sa iyahang mga Atik.
Magpaabot ko
Basta ikaw nganhi kanako Mubalik,


Puhon,
Dili man ingon nga kapoy ang magpaabot
Basta lang jud naa pud tay mapaabot
solEmn oaSis Nov 2023
.......Nang
umamen
Marunong ,
Hindi lang ikaw
Tumalima
kasi nga....
Ikaw lamang
ang dehado,
sa madumi
obligado,
Pihadong
kakapit ka
muli at tiyak
nga babalik ka.
ayy puta tang-ina
Ang bawat pahina
Kahit pa maibenta
Ikaw Ang Kwento na
Wala ka mang Kwenta
Para ka na lang sa akin
kahit pa sa loob ko ay
labag pahalagahan
walang iba na
yaman,
kundi
Binabagtas
nag-iisang lawa
sa Sagwan at Bangka
Yaring Ako ay Panimpla
Ganyan ka ba talaga
Waring mala-mapa
rumehistro na
sa wankata
na di mo pa
mahahalata
Batid ang maha-
hatid pa Lalo
kapag ito
ay hina-
yaan
maging
kuwintas
na bi🌟uin
OO !
Hindi nga Siya.

Pero mali naman na sabihing

Tama ka !

Bagay na bagay na talaga kami sa isa't isa.

Gaya baga ng mga kaibigan ko sa kanilang salita...

" kahit Wala Naman Siya

Mabubuhay pa din Ako Nang Wala na Ngang Patumangga ! "

Sabi sa mapag-imbot na tibok ng puso kong hugis-mangga !

Siya na nga daw
Ang naturang

Pag-ibig Ng aking Buhay
at Giliw na hinirang

Subalit sa aking magiting na Diwa

na tanging saad ay hayag na hidwa

Hula sa Amin ay Laho

kahit na humadlang pa ang Tadhana...

Halo sa aking nangingilid at napupuwing kong

pananaw sa pigil na pigil Kong

Luha na may umaapaw na paniniwalang

Siya pa mismo ang nagpahayag ,

na di kami patuloy na MagLalayag !

Alam ko naman

Kahit di na kami tatagal sa 'ming pagsasama ,,,

Sinasabi ko lagi sa aking loob

Ang pabulong na ...

mahaL kitA !

" o o t o t o o "

Wala na ngang PatLang
na diringgin mo ,,,
lamang na ika'y hibang
Sa Binabasa mo ...

" atiK lahaM "

Mga sambit Kataga Bali-baliktarin man,

sa larangan ng Agos Ng Kabalintunaan,

Itong aking pinaglalaban

tunay at mananatili

alaala na Lamang ,,,

sa radar ang pawang

sukat sabihin ko hanggang

sa aking Pagsigaw.... !!!!
Siya ay Ikaw !

Pagtatapat kong muli

Mahal Ko Siya !

Minsan pa...

ay huwag mo na lang muna

Tangkain pa ang Pagbabasa

Buhat pa dun sa pinakababa na kinakatok sa Tinanikala
Patungo sa nakakalula na pagtutok Don sa tinitingala

Try to start reading verses from the bottom of a Loving heart ,
All the way into up above until you reaches in top of a hurty part !

magmula pa sa salin-wika

Binabaybay at binibigKas
Tila Binalatang sinKamas

Pagkat nawala sa itaas,
ang hinahanap ko po na Titulo...
Panustos ko pinapatas,
taimtim ang inaalyas sa Liriko...

Wala na ngang PatLang
na diringgin mo ,,,

habang Ikaw ay Libang
Sa Binabasa mo ...

" o o t o t o o "
Di bale na di
maging top
Ang bottom...
Balang-
Araw
naman
alaala
na...
nasa bayabasan
way back in
02 02 2020
ay uusbong muli
gaya Ng...
kung saan at
Paano ko
tinanim
Ang puno
sa di ko
naman bakuran !
At Ang Ngayon
na tinengga
Ng kahapon
sa mahabang
pana-panahon
Hayaan ****
Bantayan ko
ang iyong Palayan
kahit na gaano pa
matuyot ang sanga
o maging mga
hulog na bunga,
bibig ko at panga
laging handa nga
sa pag-nganga !

motto: bot ***
bottom to top
Reven Denim
is what i have
for my next
poem not
so reverse I
Exclamation Point
I mean...

Outcome
Acknowledgement
to you Madam
Arianna Bagley

— The End —