Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
ln Aug 2014
Maybe it's the way the national flag flies so high
Despite the country's imperfections
Maybe it's the way we're united
Not separated, despite the difference in cultures,
Believes, traditions, languages

Maybe it's the way you see an Indian eating with chopsticks,
The way you see a Malay in a saree,
The way you see a Chinese making ketupat's for Hari Raya.

Maybe it's the unity you see,
Maybe it's the goosebumps you feel when you say Merdeka,
Maybe despite the hate you have towards history,
Deep down, you know how grateful you are to be Malaysian.

Maybe it's the way you walk into a mamak,
And say
" tauke tapau roti canai 1 milo ais 99 "
And maybe,
It lies in diversity,
Beyond everything else.

*Malaysia, tanah tumpahnya darahku.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Kate Burton Dec 2016
Sabi nila, lahat ay nangyayari sa tamang panahon,
Ngunit hindi ko na maalala ang huling beses na sumang ayon ang tadhana sa akin
Minsan nag dududa na ako kung may tamang panahon pa nga ba
Ilang sakit pa ba ang kailangan tiisin bago matamasan iyon?

Nung nakilala kita, akala ko tama na, akala ko ayun na
Akala ko ang tamang panahon ay naririto na
Ngunit hindi parin pala
Sa puso mo'y may nagmamay-ari na pala

Wala akong ibang magawa kundi ang palayain ka
Hanggang ngayon hindi ko parin maintindihan
Kung bakit pinag tatagpo ang dalawang pusong pipigilan din naman
Ito na ata ang pinaka masakit sa lahat, ang pigilan ang nararamdaman

Ilang paalam pa ba?
Ilang pag papa-raya pa?
Ilang pag titiis pa upang magawa lamang ang tama?
Ilang luha pa ang kailangan pumatak sa aking mata?

Kailan kaya maranasan at maramdaman ang saya
Yung saya na nananatili hanggang sa pag gising mo kinabukasan
Hindi ko alam kung kelan ang huli
Huling beses na masasaktan ako bago ko maranasan maging masaya
kingjay Dec 2018
Ang panggagaway ay sinukat na plano
Nadinig ang umanas na demonyo
Marahil di itinadhana
Patawarin sana ang kaluluwa na binahiran ng tintang itim

Nanawagan sa iba't-ibang uri ng engkanto
Sila'y maging alipin
Lumagablab ang raya
Naupod parang sigaro ang katinuan
Walang sumansala sa hangad

Lumapit na  ang liyag
Tulala habang bumalisbis ang luha
Dinukot ang puso niya't nilunok
Mamamatay kung hindi maaangkin

Ang nag-udyok ay ang nilalaman ng diwa
para tumahi ng isang hiraya
Sapagkat di maipahayag nang harap harapan
kaya ang hinanakit ang naghari sa gitna ng pagsinta

Pinalipad gaya ng saranggola
Ang guryon ay mahigpit na tinalian
Sa kalaunan, napugto ang sinulid
Nakalaya sa pagkabigkis
Aridea P Oct 2011
Tangan ku kaku ketika menulis
Kaki ku lumpuh ketika melangkah
Mata ku buta ketika memandang
Raga ku pun mati karena merindukan

Langit amat luas
Hidup bahagia bersama awan
Tapi, langit tak berikan aku
Aku pun menangis

Air laut menampung kesedihan ku
Meluap menjadi awan
Dan menenggelamkan jagat raya
Termasuk hati ku yang sudah rentan

Rentan, karena terik mentari yang menyengat
Raga ku roboh terhempas angin menjadi puing
Jiwa ku lari saat takut desiran pasir
Darah ku habis saat berlari mengejar semua

Sumpah mati takkan tergapai
Cinta sejati dalam hati yang tulus
Dengan ocehan yang melukai
Dan kata cinta yang omong kosong

Created by Aridea Purple
¿Por qué volvéis a la memoria mía,
Tristes recuerdos del placer perdido,
A aumentar la ansiedad y la agonía
De este desierto corazón herido?
¡Ay! que de aquellas horas de alegría
Le quedó al corazón sólo un gemido,
Y el llanto que al dolor los ojos niegan
Lágrimas son de hiel que el alma anegan.

¿Dónde volaron ¡ay! aquellas horas
De juventud, de amor y de ventura,
Regaladas de músicas sonoras,
Adornadas de luz y de hermosura?
Imágenes de oro bullidoras.
Sus alas de carmín y nieve pura,
Al sol de mi esperanza desplegando,
Pasaban ¡ay! a mi alredor cantando.

Gorjeaban los dulces ruiseñores,
El sol iluminaba mi alegría,
El aura susurraba entre las flores,
El bosque mansamente respondía,
Las fuentes murmuraban sus amores...
ilusiones que llora el alma mía!
¡Oh, cuán suave resonó en mi oído
El bullicio del mundo y su ruido!

Mi vida entonces, cual guerrera nave
Que el puerto deja por la vez primera,
Y al soplo de los céfiros suave
Orgullosa desplega su bandera,
Y al mar dejando que sus pies alabe
Su triunfo en roncos cantos, va velera,
Una ola tras otra bramadora
Hollando y dividiendo vencedora.

¡Ay! en el mar del mundo, en ansia ardiente
De amor velaba; el sol de la mañana
Llevaba yo sobre mi tersa frente,
Y el alma pura de su dicha ufana:
Dentro de ella el amor, cual rica fuente
Que entre frescuras y arboledas mana,
Brotaba entonces abundante río
De ilusiones y dulce desvarío.

Yo amaba todo: un noble sentimiento
Exaltaba mi ánimo, Y sentía
En mi pecho un secreto movimiento,
De grandes hechos generoso guía:
La libertad, con su inmortal aliento,
Santa diosa, mi espíritu encendía,
Contino imaginando en mi fe pura
Sueños de gloria al mundo y de ventura.

El puñal de Catón, la adusta frente
Del noble Bruto, la constancia fiera
Y el arrojo de Scévola valiente,
La doctrina de Sócrates severa,
La voz atronadora y elocuente
Del orador de Atenas, la bandera
Contra el tirano Macedonio alzando,
Y al espantado pueblo arrebatando:

El valor y la fe del caballero,
Del trovador el arpa y los cantares,
Del gótico castillo el altanero
Antiguo torreón, do sus pesares
Cantó tal vez con eco lastimero,
¡Ay!, arrancada de sus patrios lares,
Joven cautiva, al rayo de la luna,
Lamentando su ausencia y su fortuna:

El dulce anhelo del amor que guarda,
Tal vez inquieto y con mortal recelo;
La forma bella que cruzó gallarda,
Allá en la noche, entre medroso velo;
La ansiada cita que en llegar se tarda
Al impaciente y amoroso anhelo,
La mujer y la voz de su dulzura,
Que inspira al alma celestial ternura:

A un tiempo mismo en rápida tormenta
Mi alma alborotaban de contino,
Cual las olas que azota con violenta
Cólera impetuoso torbellino:
Soñaba al héroe ya, la plebe atenta
En mi voz escuchaba su destino:
Ya al caballero, al trovador soñaba,
Y de gloria y de amores suspiraba.

Hay una voz secreta, un dulce canto,
Que el alma sólo recogida entiende,
Un sentimiento misterioso y santo,
Que del barro al espíritu desprende;
Agreste, vago y solitario encanto
Que en inefable amor el alma enciende,
Volando tras la imagen peregrina
El corazón de su ilusión divina.

Yo, desterrado en extranjera playa,
Con los ojos extático seguía
La nave audaz que en argentado raya
Volaba al puerto de la patria mía:
Yo, cuando en Occidente el sol desmaya,
Solo y perdido en la arboleda umbría,
Oír pensaba el armonioso acento
De una mujer, al suspirar del viento.

¡Una mujer!  En el templado rayo
De la mágica luna se colora,
Del sol poniente al lánguido desmayo
Lejos entre las nubes se evapora;
Sobre las cumbres que florece Mayo
Brilla fugaz al despuntar la aurora,
Cruza tal vez por entre el bosque umbrío,
Juega en las aguas del sereno río.

¡Una mujer!  Deslizase en el cielo
Allá en la noche desprendida estrella,
Si aroma el aire recogió en el suelo,
Es el aroma que le presta ella.
Blanca es la nube que en callado vuelo
Cruza la esfera, y que su planta huella,
Y en la tarde la mar olas le ofrece
De plata y de zafir, donde se mece.

Mujer que amor en su ilusión figura,
Mujer que nada dice a los sentidos,
Ensueño de suavísima ternura,
Eco que regaló nuestros oídos;
De amor la llama generosa y pura,
Los goces dulces del amor cumplidos,
Que engalana la rica fantasía,
Goces que avaro el corazón ansía:

¡Ay! aquella mujer, tan sólo aquélla,
Tanto delirio a realizar alcanza,
Y esa mujer tan cándida y tan bella
Es mentida ilusión de la esperanza:
Es el alma que vívida destella
Su luz al mundo cuando en él se lanza,
Y el mundo, con su magia y galanura
Es espejo no más de su hermosura:

Es el amor que al mismo amor adora,
El que creó las Sílfides y Ondinas,
La sacra ninfa que bordando mora
Debajo de las aguas cristalinas:
Es el amor que recordando llora
Las arboledas del Edén divinas:
Amor de allí arrancado, allí nacido,
Que busca en vano aquí su bien perdido.

¡Oh llama santa! ¡celestial anhelo!
¡Sentimiento purísimo! ¡memoria
Acaso triste de un perdido cielo,
Quizá esperanza de futura gloria!
¡Huyes y dejas llanto y desconsuelo!
¡Oh qué mujer! ¡qué imagen ilusoria
Tan pura, tan feliz, tan placentera,
Brindó el amor a mi ilusión primera!...

¡Oh Teresa! ¡Oh dolor! Lágrimas mías,
¡Ah! ¿dónde estáis que no corréis a mares?
¿Por qué, por qué como en mejores días,
No consoláis vosotras mis pesares?
¡Oh! los que no sabéis las agonías
De un corazón que penas a millares
¡Ay! desgarraron y que ya no llora,
¡Piedad tened de mi tormento ahora!

¡Oh dichosos mil veces, sí, dichosos
Los que podéis llorar! y ¡ay! sin ventura
De mí, que entre suspiros angustiosos
Ahogar me siento en infernal tortura.
¡Retuércese entre nudos dolorosos
Mi corazón, gimiendo de amargura!
También tu corazón, hecho pavesa,
¡Ay! llegó a no llorar, ¡pobre Teresa!

¿Quién pensara jamás, Teresa mía,
Que fuera eterno manantial de llanto,
Tanto inocente amor, tanta alegría,
Tantas delicias y delirio tanto?
¿Quién pensara jamás llegase un día
En que perdido el celestial encanto
Y caída la venda de los ojos,
Cuanto diera placer causara enojos?

Aun parece, Teresa, que te veo
Aérea como dorada mariposa,
Ensueño delicioso del deseo,
Sobre tallo gentil temprana rosa,
Del amor venturoso devaneo,
Angélica, purísima y dichosa,
Y oigo tu voz dulcísima y respiro
Tu aliento perfumado en tu suspiro.

Y aún miro aquellos ojos que robaron
A los cielos su azul, y las rosadas
Tintas sobre la nieve, que envidiaron
Las de Mayo serenas alboradas:
Y aquellas horas dulces que pasaron
Tan breves, ¡ay! como después lloradas,
Horas de confianza y de delicias,
De abandono y de amor y de caricias.

Que así las horas rápidas pasaban,
Y pasaba a la par nuestra ventura;
Y nunca nuestras ansias la contaban,
Tú embriagada en mi amor, yo en tu hermosura.
Las horas ¡ay! huyendo nos miraban
Llanto tal vez vertiendo de ternura;
Que nuestro amor y juventud veían,
Y temblaban las horas que vendrían.

Y llegaron en fin: ¡oh! ¿quién impío
¡Ay! agostó la flor de tu pureza?
Tú fuiste un tiempo cristalino río,
Manantial de purísima limpieza;
Después torrente de color sombrío
Rompiendo entre peñascos y maleza,
Y estanque, en fin, de aguas corrompidas,
Entre fétido fango detenidas.

¿Cómo caiste despeñado al suelo,
Astro de la mañana luminoso?
Ángel de luz, ¿quién te arrojó del cielo
A este valle de lágrimas odioso?
Aún cercaba tu frente el blanco velo
Del serafín, y en ondas fulguroso
Rayos al mando tu esplendor vertía,
Y otro cielo el amor te prometía.

Mas ¡ay! que es la mujer ángel caído,
O mujer nada más y lodo inmundo,
Hermoso ser para llorar nacido,
O vivir como autómata en el mundo.
Sí, que el demonio en el Edén perdido,
Abrasara con fuego del profundo
La primera mujer, y ¡ay! aquel fuego
La herencia ha sido de sus hijos luego.

Brota en el cielo del amor la fuente,
Que a fecundar el universo mana,
Y en la tierra su límpida corriente
Sus márgenes con flores engalana.
Mas ¡ay! huid: el corazón ardiente
Que el agua clara por beber se afana,
Lágrimas verterá de duelo eterno,
Que su raudal lo envenenó el infierno.

Huid, si no queréis que llegue un día
En que enredado en retorcidos lazos
El corazón con bárbara porfía
Luchéis por arrancároslo a pedazos:
En que al cielo en histérica agonía
Frenéticos alcéis entrambos brazos,
Para en vuestra impotencia maldecirle,
Y escupiros, tal vez, al escupirle.

Los años ¡ay! de la ilusión pasaron,
Las dulces esperanzas que trajeron
Con sus blancos ensueños se llevaron,
Y el porvenir de oscuridad vistieron:
Las rosas del amor se marchitaron,
Las flores en abrojos convirtieron,
Y de afán tanto y tan soñada gloria
Sólo quedó una tumba, una memoria.

¡Pobre Teresa! ¡Al recordarte siento
Un pesar tan intenso!  Embarga impío
Mi quebrantada voz mi sentimiento,
Y suspira tu nombre el labio mío.
Para allí su carrera el pensamiento,
Hiela mi corazón punzante frío,
Ante mis ojos la funesta losa,
Donde vil polvo tu bondad reposa.

Y tú, feliz, que hallastes en la muerte
Sombra a que descansar en tu camino,
Cuando llegabas, mísera, a perderte
Y era llorar tu único destino:
¡Cuando en tu frente la implacable suerte
Grababa de los réprobos el sino!
Feliz, la muerte te arrancó del suelo,
Y otra vez ángel, te volviste al cielo.

Roída de recuerdos de amargura,
Árido el corazón, sin ilusiones,
La delicada flor de tu hermosura
Ajaron del dolor los aquilones:
Sola, y envilecida, y sin ventura,
Tu corazón secaron las pasiones:
Tus hijos ¡ay! de ti se avergonzaran
Y hasta el nombre de madre te negaran.

Los ojos escaldados de tu llanto,
Tu rostro cadavérico y hundido;
único desahogo en tu quebranto,
El histérico ¡ay! de tu gemido:
¿Quién, quién pudiera en infortunio tanto
Envolver tu desdicha en el olvido,
Disipar tu dolor y recogerte
En su seno de paz? ¡Sólo la muerte!

¡Y tan joven, y ya tan desgraciada!
Espíritu indomable, alma violenta,
En ti, mezquina sociedad, lanzada
A romper tus barreras turbulenta.
Nave contra las rocas quebrantada,
Allá vaga, a merced de la tormenta,
En las olas tal vez náufraga tabla,
Que sólo ya de sus grandezas habla.

Un recuerdo de amor que nunca muere
Y está en mi corazón: un lastimero
Tierno quejido que en el alma hiere,
Eco suave de su amor primero:
¡Ay de tu luz, en tanto yo viviere,
Quedará un rayo en mí, blanco lucero,
Que iluminaste con tu luz querida
La dorada mañana de mi vida!

Que yo, como una flor que en la mañana
Abre su cáliz al naciente día,
¡Ay, al amor abrí tu alma temprana,
Y exalté tu inocente fantasía,
Yo inocente también ¡oh!, cuán ufana
Al porvenir mi mente sonreía,
Y en alas de mi amor, ¡con cuánto anhelo
Pensé contigo remontarme al cielo!

Y alegre, audaz, ansioso, enamorado,
En tus brazos en lánguido abandono,
De glorias y deleites rodeado
Levantar para ti soñé yo un trono:
Y allí, tú venturosa y yo a tu lado.
Vencer del mundo el implacable encono,
Y en un tiempo, sin horas ni medida,
Ver como un sueño resbalar la vida.

¡Pobre Teresa!  Cuando ya tus ojos
Áridos ni una lágrima brotaban;
Cuando ya su color tus labios rojos
En cárdenos matices se cambiaban;
Cuando de tu dolor tristes despojos
La vida y su ilusión te abandonaban,
Y consumía lenta calentura,
Tu corazón al par de tu amargura;

Si en tu penosa y última agonía
Volviste a lo pasado el pensamiento;
Si comparaste a tu existencia un día
Tu triste soledad y tu aislamiento;
Si arrojó a tu dolor tu fantasía
Tus hijos ¡ay! en tu postrer momento
A otra mujer tal vez acariciando,
Madre tal vez a otra mujer llamando;

Si el cuadro de tus breves glorias viste
Pasar como fantástica quimera,
Y si la voz de tu conciencia oíste
Dentro de ti gritándole severa;
Si, en fin, entonces tú llorar quisiste
Y no brotó una lágrima siquiera
Tu seco corazón, y a Dios llamaste,
Y no te escuchó Dios, y blasfemaste;

¡Oh! ¡cruel! ¡muy cruel! ¡martirio horrendo!
¡Espantosa expiación de tu pecado,
Sobre un lecho de espinas, maldiciendo,
Morir, el corazón desesperado!
Tus mismas manos de dolor mordiendo,
Presente a tu conciencia lo pasado,
Buscando en vano, con los ojos fijos,
Y extendiendo tus brazos a tus hijos.

¡Oh! ¡cruel! ¡muy cruel!... ¡Ay! yo entretanto
Dentro del pecho mi dolor oculto,
Enjugo de mis párpados el llanto
Y doy al mundo el exigido culto;
Yo escondo con vergüenza mi quebranto,
Mi propia pena con mi risa insulto,
Y me divierto en arrancar del pecho
Mi mismo corazón pedazos hecho.

Gocemos, sí; la cristalina esfera
Gira bañada en luz: ¡bella es la vida!
¿Quién a parar alcanza la carrera
Del mundo hermoso que al placer convida?
Brilla radiante el sol, la primavera
Los campos pinta en la estación florida;
Truéquese en risa mi dolor profundo...
Que haya un cadáver más, ¿qué importa al mundo?
El azul estaba inmovilizado entre el rojo y el *****.
El viento iba y venía por la página del llano,
encendía pequeñas fogatas, se revolcaba en la ceniza,
salía con la cara tiznada gritando por las esquinas,
el viento iba y venía abriendo y cerrando puertas y ventanas,
iba y venía por los crepusculares corredores del cráneo,
el viento con mala letra y las manos manchadas de tinta
escribía y borraba lo que había escrito sobre la pared del día.
El sol no era sino el presentimiento del color amarillo,
una insinuación de plumas, el grito futuro del gallo.
La nieve se había extraviado, el mar había perdido el habla,
era un rumor errante, unas vocales en busca de una palabra.

El azul estaba inmovilizado, nadie lo miraba, nadie lo oía:
el rojo era un ciego, el ***** un sordomudo.
El viento iba y venía preguntando ¿por dónde anda Joan Miró?
Estaba ahí desde el principio pero el viento no lo veía:
inmovilizado entre el azul y el rojo, el ***** y el amarillo,
Miró era una mirada transparente, una mirada de siete manos.
Siete manos en forma de orjeas para oír a los siete colores,
siete manos en forma de pies para subir los siete escalones del arco iris,
siete manos en forma de raíces para estar en todas partes y a la vez en Barcelona.

Miró era una mirada de siete manos.
Con la primera mano golpeaba el tambor de la luna,
con la segunda sembraba pájaros en el jardín del viento,
con la tercera agitaba el cubilete de las constelaciones,
con la cuarta escribía la leyenda de los siglos de los caracoles,
con la quinta plantaba islas en el pecho del verde,
con la sexta hacía una mujer mezclando noche y agua, música y electricidad,
con la séptima borraba todo lo que había hecho y comenzaba de nuevo.

El rojo abrió los ojos, el ***** dijo algo incomprensible y el azul se levantó.
Ninguno de los tres podía creer lo que veía:
¿eran ocho gavilanes o eran ocho paraguas?
Los ocho abrieron las alas, se echaron a volar y desaparecieron por un vidrio roto.

Miró empezó a quemar sus telas.
Ardían los leones y las arañas, las mujeres y las estrellas,
el cielo se pobló de triángulos, esferas, discos, hexaedros en llamas,
el fuego consumió enteramente a la granjera planetaria plantada en el centro del espacio,
del montón de cenizas brotaron mariposas, peces voladores, roncos fonógrafos,
pero entre los agujeros de los cuadros chamuscados
volvían el espacio azul y la raya de la golondrina, el follaje de nubes y el bastón florido:
era la primavera que insistía, insistía con ademanes verdes.
Ante tanta obstinación luminosa Miró se rascó la cabeza con su quinta mano,
murmurando para sí mismo: Trabajo como un jardinero.

¿Jardín de piedras o de barcas? ¿Jardín de poleas o de bailarinas?
El azul, el ***** y el rojo corrían por los prados,
las estrellas andaban desnudas pero las friolentas colinas se habían metido debajo de las sábanas,
había volcanes portátiles y fuegos de artificio a domicilio.
Las dos señoritas que guardan la entrada a la puerta de las percepciones, Geometría y Perspectiva,
se habían ido a tomar el fresco del brazo de Miró, cantando Une étoile caresse le sein d'une négresse.

El viento dio la vuelta a la página del llano, alzó la cara y dijo, ¿Pero dónde anda Joan Miró?
Estaba ahí desde el principio y el viento no lo veía:
Miró era una mirada transparente por donde entraban y salían atareados abecedarios.

No eran letras las que entraban y salían por los túneles del ojo:
eran cosas vivas que se juntaban y se dividían, se abrazaban y se mordían y se dispersaban,
corrían por toda la página en hileras animadas y multicolores, tenían cuernos y rabos,
unas estaban cubiertas de escamas, otras de plumas, otras andaban en cueros,
y las palabras que formaban eran palpables, audibles y comestibles  pero impronunciables:
no eran letras sino sensaciones, no eran sensaciones sino Transfiguraciones.

¿Y todo esto para qué? Para trazar una línea en la celda de un solitario,
para iluminar con un girasol la cabeza de luna del campesino,
para recibir a la noche que viene con personajes azules y pájaros de fiesta,
para saludar a la muerte con una salva de geranios,
para decirle buenos días al día que llega sin jamás preguntarle de dónde viene y adónde va,
para recordar que la cascada es una muchacha que baja las escaleras muerta de risa,
para ver al sol y a sus planetas meciéndose en el trapecio del horizontes,
para aprender a mirar y para que las cosas nos miren y entren y salgan por nuestras miradas,
abecedarios vivientes que echan raíces, suben, florecen, estallan, vuelan, se disipan, caen.

Las miradas son semillas, mirar es sembrar, Miró trabaja como un jardinero
y con sus siete manos traza incansable -círculo y rabo, ¡oh! y ¡ah!-
la gran exclamación con que todos los días comienza el mundo.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
APA KAU TAK DENGAR ??

Sebuah nyanyian gerakan melingking lurus tajam
ke arah penguasa yang menusuk hati rakyat.

Para pemuda dan mahasiswa yang berada
dalam pusaran arus kerusakan
Maka tiada lagi, kita harus melawan !

Disaat buku hanya berada dikantong saku berdebu
Disaat pena tak lagi mengeluarkan goresan tajamnya
Disaat megaphonemu tak lagi bersuara karena usang
Disaat tongsismu membunuh sikap kritis !

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Sungguh ibumu tak kan rela melihat dapur rumahnya
yang tak lagi mengepul

Apa kau tak dengar ??

Sungguh bapakmu tak kan rela melihat kau
menderita karena miskin tenaga

Apa kau tak dengar ??

Sungguh jalan raya merindukan berbagai aksi aksimu
disetiap hentakan langkah kakimu

Apa kau tak dengar ??

Sungguh engkau adalah Generasi yang diharapkan
ummat Muhammad !

Wahai Mahasiswa.. Kau pembebas dunia
Wahai Mahasiswa.. Kau penerus negeri

Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !

‪#‎RinduPergolakan‬
Alev May 2014
Siento tu ternura allegarse a mi tierra,
acechar la mirada de mis ojos, huir,
la veo interrumpirse, para seguirme hasta la hora
de mi silencio absorto y de mi afán de ti.
Hela aquí tu ternura de ojos dulces que esperan.
Hela aquí, boca tuya, palabra nunca dicha.
Siento que se me suben los musgos de tu pena
y me crecen a tientas en el alma infinita.

Era esto el abandono, y lo sabías,
era la guerra oscura del corazón y todos,
era la queja rota de angustias conmovidas,
y la ebriedad, y el deseo, y el dejarse ir,
y era eso mi vida,
era eso que el agua de tus ojos llevaba,
era eso que en el hueco de tus manos cabía.

Ah, mariposa mía y arrullo de paloma,
ah vaso, ah estero, ah compañera mía!
Te llegó mi reclamo, dímelo, te llegaba,
en las abiertas noches de estrellas frías
ahora, en el otoño, en el baile amarillo
de los vientos hambrientos y las hojas caídas?

Dímelo, te llegaba,
aullando o cómo, o sollozando,
en la hora de la sangre fermentada
cuando la tierra crece y se cimbra latiendo
bajo el sol que la raya con sus colas de ámbar?

Dímelo, me sentiste
trepar hasta tu forma por todos los silencios,
y todas las palabras?
Yo me sentí crecer. Nunca supe hacia dónde.
Es más allá de ti. Lo comprendes, hermana?
Es que se aleja el fruto cuando llegan mis manos
y ruedan las estrellas antes de mi mirada.

Siento que soy la aguja de una infinita flecha,
y va a clavarse lejos, no va a clavarse nunca,
tren de dolores húmedos en fuga hacia lo eterno,
goteando en cada tierra sollozos y preguntas.

Pero hela aquí, tu forma familiar, lo que es mío,
lo tuyo, lo que es mío, lo que es tuyo y me inunda,
hela aquí que me llena los miembros de abandono,
hela aquí, tu ternura,
amarrándose a las mismas raíces,
madurando en la misma caravana de frutas,
y saliendo de tu alma rota bajo mis dedos
como el licor del vino del centro de la uva.*

― Pablo Neruda
Kgolagano Tshela Sep 2017
[Praying] Ka leina la Ntate,la Morwa le la moya o o galalelang
Amen!

She cried while praying

For she never ever in her history felt this way
One could say it was tears of joy and love:
[Praying] Modimo ntate ke rata go go leboga fa okile wa ntshegofatsa ka neo ya motho yo o gapile pelo yame,ke raya sona serunkgi sa pelo yame.Ke lebogela lerato,boikobo le tlotlo yo o mo neileng yona.Ke lebogela fa o mo tlisiitse mo botshelong bame.
Amen!

At the other hand one could say it was tears of fear:
[Praying]Modimo wame yo ke mo rapelang bosigo le motshegare ke wena o itseng maikaelelo a gagwe mo gonna ka jalo kopa o mpontshe tsela gore ka nnete ke ena yo a tshwanetseng pelo yame.
Amen!

Since day one she made sure that she never skipped a day without looking for the answers from the one Above.

She prayed and prayed and prayed and she is still praying not only for her or him but for them:
[Praying]Modimo yo ke mo rapelang bosigo le motshegare,Modimo yo ntirelang ntho tsotlhe ke ipaya pele gago keleng ngwana wa gago mo se sebaka go go kopa gore o babalele kamano ya rona, fa ele ena motho yo ke moratang gape ke batla go tshela le ena.
Amen!

She is really praying, hoping and trusting that this relationship will last.

You should see her when she talks to him
You should see her when his name lights up on her phone
You should see her when she talks about him
You should see her when she hears his name
You should see her when she sees him
You should see her smile when she thinks of him
You should see her
She becomes….
She becomes happy
She is in love
She loves him
She doesn't want to lose him

Her love for him begins at forever and ends at never.

         _____________
Prayer 1: In the name of the Father, the Son and the Holy spirit. Amen!

Prayer 2: Father God, I would like to thank you for the rich blessing of a sincere heartwarming soul, I am talking about the one who captured my heart. Thank you for the love, humility, and respect you’ve given him. Thank you for bringing in my life. Amen!

Prayer 3: The God I worship night and day, you the one who knows his intentions for me therefore I ask you to show me the way, if this is really the one for me. Amen!

Prayer 4: The God I worship night and day, the God who provides for me, I put myself before you as a child of God asking you to protect our relationship for he is the one I love and want to spend my life with. Amen!
¿Quién canta en las orillas del papel?
Inclinado, de pechos sobre el río
de imágenes, me veo, lento y solo,
de mí mismo alejarme: letras puras,
constelación de signos, incisiones
en la carne del tiempo, ¡oh escritura,
raya en el agua!

                            Voy entre verdores
enlazados, voy entre transparencias,
río que se desliza y no transcurre;
me alejo de mí mismo, me detengo
sin detenerme en una orilla y sigo,
río abajo, entre arcos de enlazadas
imágenes, el río pensativo.
Sigo, me espero allá, voy a mi encuentro,
río feliz que enlaza y desenlaza
un momento de sol entre dos álamos,
en la pulida piedra se demora,
y se desprende de sí mismo y sigue,
río abajo, al encuentro de sí mismo.
Mientras camino la acera va golpeándome los pies,
el fulgor de las estrellas me va rompiendo los ojos.
Se me cae un pensamiento como se cae una mies
del carro que tambaleando raya los pardos rastrojos.

Oh pensamientos perdidos que nunca nadie recoge,
si la palabra se dice, la sensación queda adentro;
espiga sin madurar, Satanás le encuentre troje,
¡que yo con los ojos rotos no le busco ni le encuentro!

Que yo con los ojos rotos sigo una ruta sin fin...
¿Por qué de los pensamientos, por qué de la vida en vano?
Como se muere la música si se deshace el violín,
no moveré mi canción cuando no mueva mis manos.

Alto de mi corazón en la explanada desierta
donde estoy crucificado como el dolor en un verso...
Mi vida es un gran castillo sin ventanas y sin puertas
y para que tú no llegues por esta senda,
                                                              la tuerzo.
María José May 2017
Ah, extrañarte es un dolor sordo
no me doy cuenta hasta que alguien dice tu nombre
y entonces siento tu ausencia tomar de rehén a mi garganta,
entonces tengo la necesidad imperiosa de parpadear
para mantener a raya mi dolor visible.

No me doy cuenta de cuanto te extraño de día
pero todas las noches sueño con tu cara,
mi almohada no me deja olvidar tu voz
ni mis cobijas tus calor.

No me doy cuenta de cuanto te extraño
porque me he acostumbrado a este dolor
como a un sonido constante.
Lo noto sólo cuando le suben el volumen a los recuerdos.
This is a poem I decided to write in Spanish, as it it my native tongue. I just realized I seldom write in Spanish and I´ve noticed I feel more confident writing in English so this was both a challenge and a more personal outlet to some feelings I prefer not to share but needed to.
Te quiero porque tienes las partes de la mujer
en el lugar preciso
y estás completa. No te falta ni un pétalo,
ni un olor, ni una sombra.
Colocada en tu alma,
dispuesta a ser rocío en la yerba del mundo,
leche de luna en las oscuras hojas.
Quizás me ves,
tal vez, acaso un día,
en una lámpara apagada,
en un rincón del cuarto donde duermes,
soy una mancha, un punto en la pared, alguna raya
que tus ojos, sin ti, se quedan viendo.
Quizás me reconoces
como una hora antigua
cuando a solas preguntas, te interrogas
con el cuerpo cerrado y sin respuesta.
Soy una cicatriz que ya no existe,
un beso ya lavado por el tiempo,
un amor y otro amor que ya enterraste.
Pero estás en mis manos y me tienes
y en tus manos estoy, brasa, ceniza,
para secar tus lágrimas que lloro.
¿En qué lugar, en dónde, a qué deshoras
me dirás que te amo? Esto es urgente
porque la eternidad se nos acaba.
Recoge mi cabeza. Guarda el brazo
con que amé tu cintura. No me dejes
en medio de tu sangre en esa toalla.
WNDL Sep 2019
She is the river and seas
but you are the ocean

She is the hills and valley
but you are the mountain

She is the galaxy and universe
but you are the void

She may have everything
but you are beauty in perfection
Pensando, enredando sombras en la profunda soledad.
Tú también estás lejos, ah más lejos que nadie.
Pensando, soltando pájaros, desvaneciendo imágenes,
enterrando lámparas.
Campanario de brumas, qué lejos, allá arriba!
Ahogando lamentos, moliendo esperanzas sombrías,
molinero taciturno,
se te viene de bruces la noche, lejos de la ciudad.

Tu presencia es ajena, extraña a mí como una cosa.
Pienso, camino largamente, mi vida antes de ti.
Mi vida antes de nadie, mi áspera vida.
El grito frente al mar, entre las piedras,
corriendo libre, loco, en el vaho del mar.
La furia triste, el grito, la soledad del mar.
Desbocado, violento, estirado hacia el cielo.

Tú, mujer, qué eras allí, qué raya, qué varilla
de ese abanico inmenso? Estabas lejos como ahora.
Incendio en el bosque! Arde en cruces azules.
Arde, arde, llamea, chispea en árboles de luz.
Se derrumba, crepita. Incendio. Incendio.
Y mi alma baila herida de virutas de fuego.
Quien llama? Qué silencio poblado de ecos?
Hora de la nostalgia, hora de la alegría, hora de la soledad,
hora mía entre todas!

Bocina en que el viento pasa cantando.
Tanta pasión de llanto anudada a mi cuerpo.
Sacudida de todas las raíces,
asalto de todas las olas!
Rodaba, alegre, triste, interminable, mi alma.

Pensando, enterrando lámparas en la profunda soledad.
Quién eres tú, quién eres?
Todavía la vieja tentación
de los cuerpos felices y de la juventud
tiene atractivo para mí,
no me deja dormir
y esta noche me excita.Porque alguien contó historias
de pescadores en la playa,
cuando vuelven: la raya del amanecer
marcando, lívida, el límite del mar,
y asan sardinas frescas
en espetones, sobre la arena.
Lo imagino enseguida.
Y me coge un deseo de vivir
y ver amanecer, acostándote tarde,
que no está en proporción con la edad que ya tengo.Aunque quizás alivie despertarse
a otro ritmo, mañana.
                                Liberado
de las exaltaciones de esta noche,
de sus fantasmas en blue jeans.Como libros leídos han pasado los años
que van quedando lejos, ya sin razón de ser
-obras de otro momento.
                                    Y el ansia de llorar
y el roce de la sábana, que me tenía inquieto
en las odiosas noches de verano,
el lujo de impaciencia y el don de la elegía
y el don de disciplina aplicada al ensueño,
mi fe en la gran historia...
Soldado de la guerra perdida de la vida,
mataron mi caballo, casi no lo recuerdo.
Hasta que me estremece
un ramalazo de sensualidad.Envejecer tiene su gracias.
Es igual que de joven
aprender a bailar, plegarse a un ritmo
más insistente que nuestra experiencia.
Y procura también cierto instintivo
placer curioso,
una segunda naturaleza.
¡Encinares castellanos
en laderas y altozanos,
serrijones y colinas
llenos de oscura maleza,
encinas, pardas encinas;
humildad y fortaleza!
      Mientras que llenándoos va
el hacha de calvijares,
¿nadie cantaros sabrá,
encinares?
      El roble es la guerra, el roble
dice el valor y el coraje,
rabia inmoble
en su torcido ramaje;
y es más rudo
que la encina, más nervudo,
más altivo y más señor.
      El alto roble parece
que recalca y ennudece
su robustez como atleta
que, erguido, afinca en el suelo.
      El pino es el mar y el cielo
y la montaña: el planeta.
La palmera es el desierto,
el sol y la lejanía:
la sed; una fuente fría
soñada en el campo yerto.
      Las hayas son la leyenda.
Alguien, en las viejas hayas,
leía una historia horrenda
de crímenes y batallas.
      ¿Quién ha visto sin temblar
un hayedo en un pinar?
Los chopos son la ribera,
liras de la primavera,
cerca del agua que fluye,
pasa y huye,
viva o lenta,
que se emboca turbulenta
o en remanso se dilata.
En su eterno escalofrío
copian del agua del río
las vivas ondas de plata.
      De los parques las olmedas
son las buenas arboledas
que nos han visto jugar,
cuando eran nuestros cabellos
rubios y, con nieve en ellos,
nos han de ver meditar.
      Tiene el manzano el olor
de su poma,
el eucalipto el aroma
de sus hojas, de su flor
el naranjo la fragancia;
y es del huerto
la elegancia
el ciprés oscuro y yerto.
      ¿Qué tienes tú, negra encina
campesina,
con tus ramas sin color
en el campo sin verdor;
con tu tronco ceniciento
sin esbeltez ni altiveza,
con tu vigor sin tormento,
y tu humildad que es firmeza?
      En tu copa ancha y redonda
nada brilla,
ni tu verdioscura fronda
ni tu flor verdiamarilla.
      Nada es lindo ni arrogante
en tu porte, ni guerrero,
nada fiero
que aderece su talante.
Brotas derecha o torcida
con esa humildad que cede
sólo a la ley de la vida,
que es vivir como se puede.
      El campo mismo se hizo
árbol en ti, parda encina.
Ya bajo el sol que calcina,
ya contra el hielo invernizo,
el bochorno y la borrasca,
el agosto y el enero,
los copos de la nevasca,
los hilos del aguacero,
siempre firme, siempre igual,
impasible, casta y buena,
¡oh tú, robusta y serena,
eterna encina rural
de los negros encinares
de la raya aragonesa
y las crestas militares
de la tierra pamplonesa;
encinas de Extremadura,
de Castilla, que hizo a España,
encinas de la llanura,
del cerro y de la montaña;
encinas del alto llano
que el joven Duero rodea,
y del Tajo que serpea
por el suelo toledano;
encinas de junto al mar
-en Santander-, encinar
que pones tu nota arisca,
como un castellano ceño,
en Córdoba la morisca,
y tú, encinar madrileño,
bajo Guadarrama frío,
tan hermoso, tan sombrío,
con tu adustez castellana
corrigiendo,
la vanidad y el atuendo
y la hetiquez cortesana!...
Ya sé, encinas
campesinas,
que os pintaron, con lebreles
elegantes y corceles,
los más egregios pinceles,
y os cantaron los poetas
augustales,
que os asordan escopetas
de cazadores reales;
mas sois el campo y el lar
y la sombra tutelar
de los buenos aldeanos
que visten parda estameña,
y que cortan vuestra leña
con sus manos.
Ausente! La mañana en que me vaya
más lejos de lo lejos al Misterio,
como siguiendo inevitable raya,
tus pies resbalarán al cementerio.
Ausente! La mañana en que a la playa
del mar de sombra y del callado imperio,
como un pájaro lúgubre me vaya,
será el blanco panteón tu cautiverio.
Se, habrá hecho de noche en tus miradas;
y sufrirás, y tomarás entonces
penitentes blancuras laceradas.
Ausente! Y en tus propios sufrimientos
ha de cruzar entre un llorar de bronces
una jauría de remordimientos!
Denise Writes Jul 2018
If you have to deceive and weave at KLCC a lie,
CCB it seems quite clearly queer?
For I a wombless woman shed no monthly blood,
A graceless mother mary, devoid of long enough hair,
"click clack" sounds draw eyes of jagas and makciks to stare,
Looks like the loudest color is blue

For murmurs and whispers make it seem queer,
That id let vampiric brastraps brand me as they drink my blood,
A silent gap beneath my beneaths;here be nothing but hair,
a masquerade designed to stop or lessen the gradient of stares,
This is to stop me from turning blue,
choked/drowned/beaten : price of the lie

the penalty of a razor blade slices skin shedding tears of blood,
Streaking down legs and pits,for the sake of the lie,
Maybe i **** at shaving AHAHAH or maybe im not queer (after all),
For i am a mask;in heels blue,
a formless being; marked by long hair
yet formed enough to elicit stares

As mascara and eyeliner streak across face,yonder disheveled hair,
Calls "kopi O s
panas anneh" in baritone voice amidst stares,
The heels click,ocean blue,
Color of the body in these fears derived from commonality:drained of blood,
Tis no pontianak nor hantu raya,but tis is I, an antromorphised lie,
The mask that bends and folds to the will of anachronistic archaic norms that i shouldn't be queer

I live in fear, bounded by a 1000 eyed wall that stares,
A whispering congregation, "Ah gua? Bapok, Gay, ******" as these words stream around me, a river blue,
This blows as I don't like to fib, ( im Catholic u see) so i won't lie,
I AM NOT A BOY BUT IM A GIRL WHO'S QUEER
the length of hair gender markers none as it's just ******* hair

A woman I am; hear me roar; in my heels blue,
Locks; flowing lusciously; binding one norm: gender =/= length of hair,
Empowerment is built upon this premise: 'what me worry,what me care, go to hell with your stares",
I'm no Marsha I'm no Slyvia i wont lie,
But one things for certain : " im here and im queer"
Bruises and burns bear no marks for there is no spilt blood
CW: self harm, queer , transphobia
Sundari Mahendra Nov 2017
Selamat pagi bu....
Selamat pagi jawabku
Perjalananku segera dimulai
menembus fajar yang masih galau

Lewat mana bu....
Biasa saja pak jawabku
Jalan raya yang masih sepi
Tetapi aku sudah duduk sendiri

Macet bu....
Biasa pak jawabku
Tiada ada jalan yang lancar
Tiada hari yang tak sukar

Lampu merah bu....
Iya pak panjang pula jawabku
Berhentilah walau hanya sebentar
Melemaskan kaki dan mata yang nanar

Sudah sampai bu....
Terimakasih pak jawabku
Ku mulai pekerjaan hari ini
Dengan harapan dan asa yang baru
La dentellada del mar muerde
la abierta pulpa de la costa
donde se estrella el agua verde
contra la tierra silenciosa.

Parado cielo y lejanía.
El horizonte, como un brazo,

rodea la fruta encendida
del sol cayendo en el ocaso.

Frente a la furia del mar son
inútiles todos los sueños.
¿Para qué decir la canción
de un corazón que es tan pequeño?


Sin embargo es tan vasto el cielo
y rueda el tiempo, sin embargo.
¡Tenderse y dejarse llevar
por este viento azul y amargo!...

Desgranado viento del mar,
sigue besándome la cara.
¡Arrástrame, viento del mar,
adonde nadie me esperara!

A la tierra más pobre y dura
llévame, viento, entre tus alas,
así como llevas a veces
las semillas de las hierbas malas.

Ellas quieren rincones húmedos,
surcos abiertos, ellas quieren
crecer como todas las hierbas:
¡yo sólo quiero que me lleves!

Allá estaré como aquí estoy:
adonde vaya estaré siempre
con el deseo de partir
y con las manos en la frente...


Ésa es la pequeña canción
arrullada en un vasto sueño.
¿Para qué decir la canción
si el corazón es tan pequeño?

Pequeño frente al horizonte
y frente al mar enloquecido.
¡Si Dios gimiera en esta playa,
nadie oiría sus gemidos!

A mordiscos de sal y espuma
borra el mar mis últimos pasos...

La marea desata ahora
su cinturón, en el ocaso.

Y una bandada raya el cielo
como una nube de flechazos...
Primero es un albor trémulo y vago,
raya de inquieta luz que corta el mar;
luego chispea y crece y se dilata
en ardiente explosión de claridad.
La brilladora lumbre es la alegría,
la temerosa sombra es el pesar.
¡Ay! En la oscura noche de mi alma,
        ¿cuándo amanecerá?
Cuando yo era el niñodiós, era Moguer, este pueblo,
una blanca maravilla; la luz con el tiempo dentro.
Cada casa era palacio y catedral cada templo;
estaba todo en su sitio, lo de la tierra y el cielo;
y por esas viñas verdes saltaba yo con mi perro,
alegres como las nubes, como los vientos, lijeros,
creyendo que el horizonte era la raya del término.

Recuerdo luego que un día en que volví yo a mi pueblo
después del primer faltar, me pareció un cementerio.
Las casas no eran palacios ni catedrales los templos,
y en todas partes reinaban la soledad y el silencio.
Yo me sentía muy chico, hormiguito de desierto,
con Concha la Mandadera, toda de ***** con *****,
que, bajo el tórrido sol y por la calle de Enmedio,
iba tirando doblada del niñodiós y su perro:
el niño todo metido en hondo ensimismamiento,
el perro considerándolo con aprobación y esmero.

¡Qué tiempo el tiempo! ¿Se fue con el
niñodiós huyendo?
¡Y quién pudiera ser siempre lo que fue con lo primero!
¡Quién pudiera no caer, no, no, no caer de viejo;
ser de nuevo el alba pura, vivir con el tiempo entero,
morir siendo el niñodiós en mi Moguer, este pueblo!
Jeremia Malvin Oct 2018
RODA BERPUTAR KESANA KEMARI
MENGIKUTI ALUNAN HATI
DAN ENGKAU TETAP DIAM MENATAP
KECERMELANGAN YANG MENGHAMPIRIMU
SEKETIKA MENYEJUKKAN ENGKAU KEMBALI
ALANGKAH BESAR LUAS SAMUDERA RAYA
MENCOBA MENGUTARAKAN INDAHNYA DIRIMU
SAYAP-SAYAP MENAUNGI DIRIMU
DENGAN ENGKAU TERJAGA
BAGAIKAN MAHKOTA YANG TERINDAH
About Love
-Mi gota busca entrañas de roca y las perfora.
-En mi flota el aceite que en los santuarios vela.
-Por mi raya el milagro de la locomotora
la pauta de los rieles. -Yo pinto la acuarela.
-Mi bruma y tus recuerdos son por extraño modo
gemelos; ¿no ves como lo divinizan todo?
-Yo presto vibraciones de flautas prodigiosas
al cristal de los vasos. -Soy triaca y enfermera
en las modernas clínicas. -Y yo, sobre las rosas
turiferario santo del alba en primavera.
-Soy pródiga de fuerza motriz en mi caída.
-Yo escarcho los ramajes. -Yo en tiempos muy remotos
dí un canto a las sirenas. -Yo, cuando estoy dormida,
sueño sueños azules, y esos sueños son lotos.
-Poeta, que por gracia del cielo nos conoces,
¿no cantas con nosotras?
                                                -¡Sí canto, hermanas voces!
Nêijî May 2019
Abah,
This raya will be nothing without you
I wish we could turn back time
And start all over again.
You comfort me when I'm sad
And tell me to apologize for my faults
Is it worth to leave us like this?
Oh and I don't need your money,
I just need you to be a part of this family again and forever.
Yenson Apr 2022
David Walliams is a famous star
worth over forty millions
he is on Raya looking for love
and you think I've got
problems

— The End —