Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Natalia Rivera Jan 2015
Una luz tenue me levanto, ¿qué hora será? Miro el rejo y son las 4:50 de la madrugada de algún martes. Me volteo para verlo plasmado, la obra de arte más bella del mundo; el. Esta dormido profundamente, debido a su insomnio es cosa de celebrar así que lo dejo dormir y tomo el abrigo que hay en el suelo. El bonito abrigo color azul de rayas que tanto me encanta, el mismo abrigo que horas antes me quito con la ternura y pasión de dos amantes. Una pequeña sonrisa brota de mis labios y continúo para la sala, atravieso el pasillo forrado de fotos. Fotos de él, fotos mías, fotos familiares, sus pinturas, llego a la cocina y miro por la ventana, ya casi amanece. Me sirvo un poco de agua en mi taza con forma de gato, en la mesa de la sala están las copas y el vino de anoche.
El estaba sentado en el sofá, con su camisa color negra y sus mahonés grises. Con la mitad de la copa vacía me miraba indescifrablemente. Yo estaba sentada en el suelo cerca de la chimenea, usaba mi lindo vestido de flores junto a su abrigo color azul de rayas y el pelo alborotado (como siempre).
-¿Qué te trae bailando en el cinturón de Orión? dice dándole el último sorbo a su copa.
- En lo bien que se te ven esos mahonés le contesto; seguido de unas miradas disfrazadas y unas cuantas risas  me anime a contarle lo que me pasaba realmente.
-Hay días que el miedo me invade, mi vida era bastante simple antes de tu aparición. Nada me quitaba el sueño, vivía viajando en mis libros y mis prioridades era mantener con vida a mi pez y conseguir dinero al final de día para poder sustentarme. Pero apareciste, de la nada, porque si y mi mundo fue un caos. Cartas, besos, caricias, charlas, malos hábitos, terrible humor, un artista, un genio, un sádico, un romántico, egocéntrico y niño. De eso se componían mis pensamientos, pase de depender de cómo terminaba el final de un libro a como terminaba cada una de sus palabras. Estaba enamorada como nunca antes y eso me asustaba. Estoy enamorada de ti y todas tus mañas, pero quiero que te quedes para siempre.

Podía verlo, la luz del fuego enfocaba su rostro a la perfección, el silencio era agobiante. Permanecía sentada de alguna forma extraña hasta que al fin lo vi caminar hacia mí; se sentó junto y me miraba con ojos perdidos, tomo mi rostro en sus deliciosas manos y me besó. Me besó despacio, permitiéndome respirar su aroma y saborear su alma. Entre caricias, besos y suspiros terminamos en la cama, aún vestidos, aún con ganas. Lentamente baja la cremallera del abrigo y me lo quita con esa sonrisa de picardía, como un niño comenzando una travesura. Una vez que el abrigo cae al suelo me mira y me dice “Te amo, mi pequeña niña y mi inmensa mujer”
El resplandor del sol hizo que retornara a la realidad, eran las 5:20 de la mañana y el seguía durmiendo. Abrí la puerta del balcón para saludar a mi madre, danzaba en las olas y en los rayos del sol, radiante como siempre. La playa estaba desierta, estaba desnuda así como me gusta; decidí entrarme en ella así camine hasta la orilla del agua y me senté.  Me sentía viva pero me di cuenta que algo me cubría de pies a cabeza; la melancolía. Lo quería, si lo miraba sabia que ese era el hombre al que amaría por el resto de mis días y tenía miedo. Miedo a que el no sintiera lo mismo, que no me viera como yo lo veo. Mi desfile de pensamientos fue interrumpido por un cálido beso en la cabeza, mi artista de había levantado. Traía una manta y un bulto,  la extendió y cubriéndome me pregunto ¿Qué haces medio desnuda con este frió sentada ahí? Necesitaba brisa con sabor a playa, le dije. Se quedo junto a mi callado durante un rato. Vimos como del océano brotaban las nubes y danzaban hasta llegar a lo más alto del cielo, también, a lo lejos en el muelle vimos a una pareja sacar su pequeño bote para pasar lo que parecía ser un excelente día.
Inesperadamente el toma mi mano y la besa, me acerca a él y al oído casi susurrando me dice
- Jamás encuentro las palabras correctas para expresarte cuán importante eres, y cuando las encuentro se me pierde el coraje para decirlas. La otra noche vi tu alma desnuda, te vi a ti con todos tus miedos y con todo el amor que tienes, entonces supe nuevamente porque te escogí para pasar el resto de mis días contigo. Has estado en cada paso que doy, aun sabiendo que alguno de esos pasos me alejaba de ti. Fuiste mi brújula cuando me encontraba extraviado, mi amiga cuando deseo hablar de cosas que no te interesan y has sido toda una diosa para mí en aspectos que ambos sabemos.  No soy muy bueno en esto, y sé que estas no son las palabras que deseas oír solo sé que te amo y lo haré hasta que mis ganas de plasmar tu sonrisa en un canva se vayan, hasta que me haya cansado de hacerte el amor, hasta el día en que me muera. Te amo, y no dejare que te marches de mi vida nunca.
El sonido de las olas cubría mis sollozos, las lagrimas bajaban por mis mejillas y las palabras no me salían. Lo mire y el tenia una inmensa sonrisa y sus ojos me miraban con ternura. Me quito ambas mantas y del bulto saco su abrigo azul de rayas, me lo puso y me dijo:
-Quédate conmigo para siempre.
Y le dije:
-Me quedare contigo hasta en las ocasiones que quieras estar solo.
Lo beso y le digo:
-Te amo, renacuajo
Me besa y me dice:
-Te amo, mi niña.
Segunda historia.
Leydis Jun 2017
Un beso no es solo un beso
Un beso no es solo un roce
de dos labios, de dos caras.

Un beso es un pórtico a un mundo de duendes.
Es transitar entre saliva aguas celestes.
Es atascar la puerta al existencialismo al cerrar los ojos.
Por eso cerramos los ojos al besar,
porque, es una entrega amena.
Un beso es poder entregarte completamente.
Desafiando la duda impertinente.
Retando el tiempo entre suspiros.
Es hablarle al corazón atreves de fluidos.
Es exponer la tibieza  de tu esencia a quien tiene el privilegio de peregrinar en tus ríos.
Espacios donde habita la esencia más pura de tu ser, tu espíritu.
Lo que has protegido,
Lo que has venerado,
Lo que has soportado.
Es palpar el paraíso, entender la creación,
lo que Dios vislumbro cuando nos creó.
Por eso, se avisa sobre el que besa y sus ojos no cierras,
Y si tú lo percibiste estabas ausente en esa entrega.

No, un beso no es algo ****** y pedestre.
No es relegarlo por doquier sin discreción alguna.
No es rasparte una borrachera en la lengua de cualquiera.
No. Un beso es un compromiso,
Algunos besan para traicionar como Judas lo hizo con Jesucristo.
Otros besos sellan el amor que una madre tiene por sus hijos.
Otros besos enlazan por siempre a desconocidos destinados desde el principio.

Un beso es un lazo bendito,
Es una estrofa, una prosa, es rimar en la poesía de una boca.

Y aunque sedienta este mi boca,
por el roce de unos labios,
Yo sigo esperando el beso……………………………… de mi eterno amado.
Pues, desde hace mucho tiempo, mis labios entendieron
……………………………………………………..que al él están destinados.


LeydisProse
6/29/2017
https://www.facebook.com/LeydisProse/
))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))­)))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))­)))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))

A kiss is not just a kiss
Kiss is not only a friction of two orifices or two faces.  

A kiss is a portal to a world of gnomes.
It’s to travel with saliva through celestial waters.
It is to jam the door to Existentialism as you close your eyes.
That is the only reason why we close our eyes as we kiss,
it’s because kissing is a sweet surrender.  
It’s defying the insolence of uncertainties.
It’s challenging time between sighs of delight.
It’s to speak to the heart through fluids of passion.
It is to expose the warmth of your essence to those
who have the privilege to pilgrimage through your rivers.

Spaces inhabited by the purest essence of your being, of your spirit,  
that which you have protected,
that which you have revered,
that which you have endured.
It is feel paradise,
It’s to finally understand Creation,
what God intended and envisioned for us.  
It’s the reason why we advise against people
who kiss without closing their eyes,
and if you’re aware, that means you were absent during that surrender.

No, a kiss is not something ****** or ordinary.  
You don't have to give it away it without discretion.  
Do not sober up your binge drinking in the tongue of a stranger.

No, a kiss is a commitment!
Some kiss to betray, the way Judas did to Jesus.
Other kisses are a seal of love,
like the one a mother gives to her children.  
Other kisses forever bind strangers who have been destined to be together.

A kiss is blessed connection,
is a verse, a prose, is to rhyme in the poetry of someone’s oral cavity.

Although my mouth is thirsty and yearning for touch and a kiss,
I am waiting for a particular kiss... the kiss of my eternal beloved.  

Some time ago, my lips understood.. .
that they were destined to be kissed by him.

LeydisProse
Spanish

Si la vida es amor, bendita sea!
Quiero más vida para amar! Hoy siento
Que no valen mil años de la idea
Lo que un minuto azul del sentimiento.

Mi corazon moria triste y lento…
Hoy abre en luz como una flor febea;
La vida brota como un mar violento
Donde la mano del amor golpea!

Hoy partio hacia la noche, triste, fría
Rotas las alas mi melancolía;
Como una vieja mancha de dolor
En la sombra lejana se deslíe…
Mi vida toda canta, besa, ríe!
Mi vida toda es una boca en flor!

              English

If life were love, how blessed it would be!
I want more life so to love! Now I feel
A thousand years of ideas are not worth
One blue minute of sentiment.

My heart was dying slowly, sadly…
Now it opens like a Phoebean flower:
Life rushes forth like a turbulent sea
Whipped by the hand of love.

My sorrow flies into the night, sad, cold
With its broken wings;
Like an old scar that continues to ache–
In the distant shade it dissolves…
All my life sings, kisses, laughs!
All my life is a flowering mouth!
Fulgura el sol en el zenit; su lumbre
Las plantas y los árboles desmaya,
Contra las negras rocas de la playa
Sus ondas quiebra perezoso el mar.

Reina del aire, la gaviota errante
Va por la azul inmensidad cruzando,
Mientras yo, triste, vago suspirando
Muy lejos de la patria y del hogar.

Busca en vano la mente fatigada
Los bosques de sabinos seculares,
Las ceibas, los naranjos, los palmares
Que ayer alegre y satisfecho vi.

Y humedecen las lágrimas mis ojos;
Se llena el alma juvenil de duelo,
Porque este cielo azul no es aquel cielo,
Porque nada de América hay aquí.

Recuerdo alborozado aquellas tardes,
De la Natura y del Amor tesoro,
Cuando el sol que se oculta en mar de oro
Baña del cielo el nacarado tul.

Y los volcanes cuya eterna nieve
Mares esconde de candente lava,
Y el pico de cristal del Orizaba
Que altivo rasga el infinito azul.

Los mangles, atalayas de la costa,
Con sus penachos altos y severos,
Los erguidos, sonantes cocoteros
Que fruto y sombra al caminante dan.

Aquellas flores de perpetuo aroma,
Aquellos tan alegres horizontes,
La frente audaz de los soberbios montes,
Donde estrella su furia el huracán.

¿Dónde está la caléndula de nieve,
Rojos jacintos y purpúreas rosas,
Que buscan las doradas mariposas,
Y besa revolando el pica-flor?

¿Dó está la blanca garza voladora,
Que los juncales en el lago agita?
¿Dó está el zenzontle, que dormido imita
De las vírgenes selvas el rumor?

La brisa de mi patria, cual la brisa
Que los cedros del Líbano atraviesa,
Caliente y perfumada, mueve y besa
Las hojas del florido cafetal.

Sobre eternas campiñas de esmeralda
Brilla en el cielo azul la blanca luna,
Que refleja el cristal de la laguna
En la serena noche tropical.

Allá bajo los toldos del follaje
Que Otoño esmalta con doradas pomas,
Bulliciosa bandada de palomas
Se arrullan tristes al morir el sol.

La alondra habita los risueños valles,
Y cual flores con alma, en los jardines
Agitan los parleros colorines
Sus alas, que envidiara el arrebol.

¡Oh vergel de mis sueños! tierra hermosa
Que guardas mis recuerdos y mis lares,
Queda con Dios tras los revueltos mares:
Yo lejos vengo a suspirar por ti.

Buscando tus estrellas y tus flores,
Suspira el alma con profundo duelo,
Porque este cielo azul no es aquel cielo,
Porque nada de América hay aquí.

Dos aves, hijas de la misma selva,
Que abandonan la rama en que han nacido,
Si llegan a encontrarse, hablan del nido
Que fue su casto y primitivo hogar.

A ti, de los jardines de mi patria
Flor que tesoros sin igual encierra,
Consagro los recuerdos de la tierra
Que allá quedó tras la extensión del mar.

Llevas la luz del trópico en los ojos,
Y la voz de sus brisas en tu acento,
Su clima en tu ardoroso pensamiento,
Su grandeza en tu propio corazón.

¡Feliz si el nombre de la patria hermosa
Tus más bellas palabras acompaña!
El nombre de la patria en tierra extraña
Es un poema, un himno, una oración.
Porque contemplo aún albas radiosas
y hay rosas, muchas rosas, muchas rosas
en que tiembla el lucero de Belén,
y hay rosas, muchas rosas, muchas rosas
gracias, ¡está bien!

Porque en las tardes, con sutil desmayo,
piadosamente besa el sol mi sien,
y aun la transfigura con su rayo:
gracias, ¡está bien!

Porque en las noches una voz me nombra
(¡voz de quien yo me sél), y hay un edén
escondido en los pliegues de mi sombra:
gracias, ¡está bien!

Porque hasta el mal en mí don es del cielo,
pues que, al minarme va, con rudo celo,
desmoronando mi prisión también;
porque se acerca ya mi primer vuelo:
gracias, ¡está bien!
eileen Feb 2019
no es tarde
lleno de amor
gracias por tu amor
nunca es demasiado tarde
gracias por tus palabras
lleno de amor
la noche te espera
la luna te besa para dormir
tus corazones
tu amor
se queda dentro del sol
nos vemos en la mañana
Ya es tarde
la luna te besa para dormir
un sueño sano
esperamos la mañana
rip marie
Mas vueno pa enterrar
Contra perde
Mas vueno mira mi cuerpo abajo
Contra mira mi cuerpo perdido
Si, iyo ya cavar con el tierra,
Iyo ya entera complaciente
Iyo ya entera na mi cuerpo
Pero tu ya dale patada pa adrento
Ya basha tierra mas manada na suficiente
Ellos ya poner cinco grande piedra ariba
Seguro ya yo subir
Seguro hinde ya yo vivir
Hinde pa campante, ya pone pa colebra
Ya entra, yan camang, ya porsa
Yan junto comigo, ya besa
Ya bira na cabeza y pescuezo
No hay iyo luchar y defenderse
Hasta cuando kamo mata con el muerto?
Hasta cuando kam derramar sangre con el tierra mojado?
Hasta cuando yo muri?


**Svelte Rogue, ACS
This is my first Chavacano poem. It is a dialect in the Philippines which has similarity to Spanish. The poem speaks about my torments and tormentors on a recent event in my life. I did a mistake that caused them to do their acts. I was sorry and still am. I accepted defeat and didn't fight back, never did. I helplessly accept the pain every time. I fake a smile, keep my head up, and carry on. I die every day. I die a little inside every time they push me below.  The question is, until when?

PS. I will be adding the English and Tagalog (Language in the Philippines) version of this poem.
Hoy amanecí con los puños cerrados
pero no lo tomen al pie de la letra
es apenas un signo de pervivencia
declaración de guerra o de nostalgia
a lo sumo contraseña o imprecación
al ciclo sordomudo y nubladísimo

sucede que ya es el tercer año
que voy ele gente en pueblo
ele aeropuerto en frontera
ele solidaridad en solidaridad
de cerca en lejos
de apartado en casilla
de hotelito en pensión
de apartamentito casi camarote
a otro con teléfono y water-comedor

además
de tanto mirar hacia el país
se me fue desprendiendo la retina
ahora ya la prendieron de nuevo,
así que miro otra vez hacia el país

llena pletórica de vacíos
mártir de su destino provisorio
patria arrollada en su congoja
puesta provisoriamente a morir
guardada por sabuesos no menos provisorios

pero los hombres de mala voluntad
no serán provisoriamente condenados
para ellos no habrá paz en la tierrita
ni de ellos será el reino de los cielos
ya que como es público y notorio
no son pobres de espíritu

los hombres de mala voluntad
no sueñan con muchachas y justicia
sino con locomotoras y elefantes
que acaban desprendiéndose de un guinche ecuánime
que casualmente pende sobre sus testas
no sueñan como nosotros con primaveras y alfabetizaciones
sino con robustas estatuas al gendarme desconocido
que a veces se quiebran como mazapán

los hombres de mala voluntad
no todos sino los verdaderamente temerarios
cuando van al analista y se confiesan
somatizan el odio y acaban vomitando

a propósito
son ellos que gobiernan
gobiernan con garrotes expedientes cenizas
con genuflexiones concertadas
y genuflexiones espontáneas
minidevaluaciones que en realidad son mezzo
mezzodevaluaciones que en realidad son macro

gobiernan con maldiciones y sin malabarismos
con malogros y malos pasos
con maltusianismo y malevaje
con malhumor y malversaciones
con maltrato y malvones
ya que aman las flores como si fueran prójimos
pero no viceversa

los hombres de pésima voluntad
todo lo postergan y pretergan
tal vez por eso no hacen casi nada
y ese poco no sirve

si por ellos fuera le pondrían
un durísimo freno a la historia
tienen pánico (le que ésta se desboque
y les galopo por encima pobres
tienen otras inquinas verbigracia
no les gustan los jóvenes tú el himno
los jóvenes bah no es una sorpresa
el himno porque dice tiranos temblad
y eso les repercute en el duodeno
pero sobre todo les desagrada
porque cuando lo oyen
obedecen y tiemblan
sus enemigos son cuantiosos y tercos
marxistas economistas niños sacerdotes
pueblos y más pueblos
qué lata es imposible acabar con los pueblos
y casi cien catervas internacionales
due tienen insolentes exigencias
como pan nuestro y amnistía
no se sabe por qué
los obreros y estudiantes no los aman

sus amigos entrañables tienen
algunas veces mala entraña
digamos Pinochet y el apartheid
dime con quién andas y te diré go home

también existen leves contradicciones
algo así como una dialéctica de oprobio
por ejemplo un presidio se llama libertad
de modo que si dicen con orgullo
aquí el ciudadano vive en libertad
significa que tiene diez años de condena

es claro en apariencia nos hemos ampliado
ya que invadimos los cuatro cardinales
en venezuela hay como treinta mil
incluidos cuarenta futbolistas
en sidney oceanía
hay una librería de autores orientales
que para sorpresa de los australianos
no son confucio ni lin yu tang
sino onetti vilariño arregui espínola
en barcelona un café petit montevideo
y otro localcito llamado el quilombo
nombre que dice algo a los rioplatenses
pero muy poca cosa a los catalanes
en buenos aires setecientos mil o sea no caben más
y así en méxico nueva york porto alegre la habana
panamá quito argel estocolmo parís
lisboa maracaibo lima amsterdam madrid
roma xalapa pau caracas san francisco montreal
bogotá londres mérida goteburgo moscú
efe todas partes llegan sobres de la nostalgia
narrando cómo hay que empezar desde cero
navegar por idiomas que apenas son afluentes
construirse algún sitio en cualquier sitio
a veces           lindas
veces             con manos solidarias
y otras           amargas
veces               recibiendo en la nunca
la mirada xenófoba

de todas partes llegan serenidades
de todas partes llegan desesperaciones
oscuros silencios de voz quebrada
uño de cada mil se resigna a ser otro

y sin embargo somos privilegiados

con esta rabia melancólica
este arraigo tan nómada
este coraje hervido en la tristeza
este desorden este no saber
esta ausencia a pedazos
estos huesos que reclaman su lecho
con todo este derrumbe misterioso
con todo este fichero de dolor
somos privilegiados

después de todo amamos discutimos leemos
aprendemos sueco catalán portugués
vemos documentales sobre el triunfo
en vietnam la libertad de angola
fidel a quien la historia siempre absuelve
y en una esquina de carne y hueso
miramos cómo transcurre el mundo
escuchamos coros salvacionistas y afónicos
contemplamos viajeros y laureles
aviones que escriben en el cielo
y tienen mala letra
soportamos un ciclón de trópico
o un diciembre de nieve

podemos ver la noche sin barrotes
poseer un talismán         o en su defecto un perro
hostezar escupir lagrimear
soñar suspirar confundir
quedar hambrientos o saciados
trabajar permitir maldecir
jugar descubrir acariciar
sin que el ojo cancerbero vigile

pero
         y los otros
qué pensarán los otros
si es que tienen ánimo y espacio
para pensar en algo

qué pensarán los que se encaminan
a la máquina buitre         a la tortura hiena
qué quedará a los que jadean de impotencia
qué a los que salieron semimuertos
e ignoran cuándo volverán al cepo
qué rendija de orgullo
qué gramo de vida
ciegos en su capucha
mudos de soledad
inermes en la espera

ni el recurso les queda de amanecer puteando
no sólo oyen las paredes
también escuchan los colchones si hay
las baldosas si hay
el inodoro si hay
y los barrotes que ésos siempre hay

cómo recuperarlos del suplicio y el tedio
cómo salvarlos de la muerte sucedánea
cómo rescatarlos del rencor que carcome

el exilio también tiene barrotes

sabemos dónde está cada ventana
cada plaza cada madre cada loma
dónde está el mejor ángulo ele cíelo
cómo se mueven las dunas y gaviotas
dónde está la escuelita con el hijo
del laburante que murió sellado
dónde quedaron enterrados los sueños
de los muertos y también de los vivos
dónde quedó el resto del naufragio
y dónde están los sobrevivientes

sabemos dónde rompen las olas más agudas
y dónde y cuándo empalaga la luna
y también cuándo sirve como única linterna

sabemos todo eso y sin embargo
el exilio también tiene barrotes

allí donde el pueblo a durísimas penas
sobrevive entre la espada tan fría que da asco
y la pared que dice libertad o muer
porque el adolesente ya no pudo

allí pervierte el aire una culpa innombrable
tarde horrenda de esquinas sin muchachos
hajo un sol que se desploma como buscando
el presidente ganadero y católico
es ganadero basta en sus pupilas bueyunas
y preconciliar pero de trento
el presidente es partidario del rigor
y la exigencia en interrogatorios
hay que aclarar que cultiva el pleonasmo
ya que el rigor siempre es exigente
y la exigencia siempre es rigurosa
tal vez quiso decir algo más simple
por ejemplo que alienta la tortura

seguro el presidente no opinaría lo mismo
si una noche pasara de ganadero a perdidoso
y algún otro partidario kyric eleison
del rigor y la exigencia kyrie eleison
le metiera las bueyunas en un balde de mierda
pleonasmo sobre el que hay jurisprudencia

parece que las calles ahora no tienen baches
y después del ángelus ni baches ni transeúntes
los jardines públicos están preciosos
las estatuas sin **** de palomas

después de todo no es tan novedoso
los gobiernos musculosos siempre se jactan
de sus virtudes municipales

es cierto que esos méritos no salvan un país
tal vez haya algún coronel que lo sepa

al pobre que quedó a solas con su hambre
no le importa que esté cortado el césped
los padres que pagaron con un hijo al contado
ignoran esos hoyos que tapó el intendente

a juana le amputaron el marido
no le atañe la poda de los plátanos

los trozos de familia no valoran
la sólida unidad de las estatuas

de modo que no vale la gloria ni la pena
que gasten tanto erario en ese brillo

aclaro que no siempre
amanezco con los puños cerrados

hay mañanas en que me desperezo
y cuando el pecho se me ensancha
y abro la boca como pez en el aire
siento que aspiro una tristeza húmeda
una tristeza que me invade entero
y que me deja absorto suspendido
y mientras ella lentamente se mezcla
con mi sangre y hasta con mi suerte
pasa por viejas y nuevas cicatrices
algo así como costuras mal cosidas
que tengo en la memoria en el estómago
en el cerebro en las coronarias
en un recodo del entusiasmo
en el fervor convaleciente
en las pistas que perdí para siempre
en las huellas que no reconozco
en el rumbo que oscila como un péndulo

y esa tristeza madrugadora y gris
pasa por los rostros de mis iguales
Unos lejanos perdidos en la escarcha
otros no sé dónde       deshechos o rehechos

el viejo que aguantó y volvió a aguantar
la llaca con la boca destruida
el gordo al que castraron
y los otros los otros y los otros
otros innumerables y fraternos
mi tristeza los toca con abrupto respeto
y las otras las otras y las otras
otras esplendorosas y valientes
mi tristeza las besa una por una

no sé qué les debemos
pero eso que no sé
sé que es muchísimo

esto es una derrota
hay cine decirlo
vamos a no mentirnos nunca más
a no inventar triunfos de cartón

si quiero rescatarme
si quiero iluminar esta tristeza
si quiero no doblarme de rencor
ni pudrirme de resentimiento
tengo que excavar hondo
hasta mis huesos
tengo que excavar hondo en el pasado
y hallar por fin la verdad maltrecha
con mis manos que ya no son las mismas

pero no sólo eso
tendré que excavar hondo en el futuro
y buscar otra vez la verdad
con mis manos que tendrán otras manos

que tampoco serán ya las mismas
pues tendrán otras manos

habrá que rescatar el vellocino
que tal vez era sólo de lana
rescatar la verdad más sencilla
y una vez que la hayamos aprendido
y sea tan nuestra como
las articulaciones o los tímpanos
entonces basta basta basta
de autoflagelaciones y de culpas
todos tenemos nuestra rastra
claro
pero la autocrítica
                               no es una noria
no voy a anquilosarme en el reproche
y no voy a infamar a mis hermanos
el baldón y la ira los reservo
para los hombres de mala voluntad
para los que nos matan nos expulsan
nos cubren de amenazas nos humillan
nos cortan la familia en pedacitos
nos quitan el país verde y herido
nos quieren condenar al desamor
nos queman el futuro
nos hacen escuchar cómo crepita

el baldón y la ira
que esto quede bien claro
yo los reservo para el enemigo

con mis hermanos porfiaré
es natural
sobre planes y voces
trochas atajos y veredas
pasos atrás y pasos adelante
silencios oportunos       omisiones que no
coyunturas mejores o peores
pero tendré a la vista que son eso
hermanos

si esta vez no aprendemos
será que merecemos la derrota
y sé que merecemos la victoria

el paisito está allá
                              y es una certidumbre
a lo mejor ahora está lloviendo
allá sobre la tierra

y aquí
bajo este transparente sol de libres
aquella lluvia cala hasta mis bronquios
me empapa la vislumbre
me refresca los signos
lava mi soledad

la victoria es tan sólo
un tallito que asoma
pero esta lluvia patria
le va a hacer mucho bien
creo que la victoria estará como yo
ahí nomás germinando
digamos aprendiendo a germinar
la buena tierra artigas revive con la lluvia
habrá uvas y duraznos y vino
barro para amasar
muchachas con el rostro hacia las nubes
para que el chaparrón borre por fin las lágrimas

ojalá que perdure
hace bien este riego
a vos a mí al futuro
a la patria sin más

hace bien si llovemos mi pueblo torrencial
donde estemos
                            allá
                                   o en cualquier parte

sobre todo si somos la lluvia y el solar
la lluvia y las pupilas y los muros
la bóveda la lluvia y el ranchito
el río y los tejados y la lluvia

furia paciente
                        lluvia
                                  iracundo silencio
allá y en todas partes

ah tierra lluvia pobre
modesto pueblo torrencial

con tan buen aguacero
la férrea dictadura
acabará oxidándose

y la victoria crecerá despacio
como siempre han crecido las victorias.
Ottis Blades Feb 2010
Esta boca es mía
nací con ella, me crié con ella
aprendí a hablar y a conjugar adjetivos
palabras, sujetos y predicados
escupiendo cosas que nunca debí decir
masticando en ella la vida como menta
saboreando cada momento, cada prosa
con mi boca la que no procesa
lo que de la mente llega
mas aun sale al desnudo
como un bebe al recién nacer.
De mi boca
la que muerde siente y se arrepiente
la que delira a cada rato
la que conoce un vocabulario sin sentido
rima frases sin diccionario
porque si no existen se las inventa
hasta que lleguen a existir
casi así como el Latín
un idioma al extinguir
una lengua sin domesticar
diciendo cosas sin sugerir
sin ninguna delicadeza
que interrumpe sin excusar
sea mentira o sea ******
es una boca sin conciencia
que deja de ser boca
en el momento que empieza hablar.

[Mi boca tiene sed, un receso.]

[Ahem]

[Como decía...]

Talvez tengo una fijación oral
sea por angustia o ansiedad
mi boca no conoce nicotina
ni mariscos ni invertebrados
que se sacuden en el piso
pero si una buena botella de vino
y un trago de whisky,
mejor ni hablar...

Sabes que mi boca se fue de gira
y de paso conoció a otras
enternecidas, endurecidas por los años
secuestradas por amores baratos
sin ningún tipo de amnistía
mas para mi boca fue un contrabando
ladrona de besos prestados
que suben de precio en el mercado
en los burdeles de los gitanos
y de mis fantasías cuando ya no estas.

Y es así que me quede sin boca
cuando paso hacer tuya
porque no hay boca con mas levadura
no hay boca con mas fortuna
tan pesimista y tan conformista
y al final de cuenta tan habladora
que se resbala en mi camisa
bajando de botón a botón
subiendo denuevo
se esconde y la encuentro
visitando a la mía,
la mía misma
que después de tantos años
dejo de ser boca
porque ya no se conforma
ni se entiende ni se toca
si no te besa a ti.
Noche de cuatro lunas
y un solo árbol,
con una sola sombra
y un solo párajo.

Busco en mi carne las
huellas de tus labios.
El manantial besa al viento
sin tocarlo.

Llevo el No que me diste,
en la palma de la mano,
como un limón de cera
casi blanco.

Noche de cuatro lunas
y un solo árbol,
En la ***** de una aguja,
está mi amor ¡girando!
Besa el aura que gime blandamente
las leves ondas que jugando riza;
el sol besa a la nube en occidente
y de púrpura y oro la matiza;
la llama en derredor del tronco ardiente
por besar a otra llama se desliza;
y hasta el sauce, inclinándose a su peso,
al río que le besa, vuelve un beso.
trestrece May 2014
Celos de saberte lejos, de no tenerte, de no poder pedirte nada.
Celos de todo aquello que se queda en mi lengua,
de todo lo que no puedo decirte.
Celos de la geografía, de la altura, de la tes de tu piel.
Celos de esos ojos que todo lo viven y todo lo ven.
¿Dónde quedo cuando no admito que te miro?
Cuando escucho tu voz y sé que no me pertenece.
¿Dónde quedo si me escondo para sonreírte?
Si en camas y cubos bailamos en secreto
y los cigarros se agotan en el calor de la función.
¿Dónde queda el corazón si lo entrego a la cercanía
a lo fácil, a la melancolía?
Celos de la bocina que besa tu boca
mientras escucho la lejanía de tu voz
en el eco de una mañana distante.
Envidia de los lentes que abrazan tu rostro,
de la ropa que cubre tu torso.
¿Por qué no puedo ser esos brazos?
¿Por qué no puedo ser esa tela?
Celos por perderte, porque no te tengo.
El miedo a tu fluir porque eres libre
porque eres hombre, porque eres viento.
Más gallarda que el nenúfar
Que sobre las verdes ondas,
Al soplo del manso viento
Se mece al rayar la aurora,
Es una linda doncella
Que tiene por nombre Rosa,
Y a fe que no hay en los campos
Igual a sus gracias otra.
Vive en Pátzcuaro, en la Villa
De hermoso lago señora,
Lago que retrata un cielo
Limpio y azul, donde flotan
Blancas nubes que semejan
Grupos de errantes gaviotas.

Está en la flor de la vida,
No empaña ninguna sombra
Las primeras ilusiones
Con que el amor ia corona
Ama Rosa y es amada
Con un amor que no estorban
Sus padres, porque comprenden
Que ei joven que para esposa
La pretende, nobies prendas
Y honrado nombre atesora.
Cuentan ios que io conocen
Que tal mérito le abona,
Que no hay otro que le iguale
Cien leguas a la redonda.

Y aunque alabanza de amigo
Pueda tacnarse de impropia,
Nadie niega que remando
Tiene ei alma generosa;
Que sus riquezas divide
Con ios que sufren y lloran,
Que es tan bravo, que el peligro
Desdeña y jamas provoca,
Pero io humilla y io vence
Cuando en su camino asoma.

No hay jinete más garboso
Ni más diestro, porque asombra
Cuando de potro rebelde
Los fieros ímpetus doma,
Y es tan amable en su trato,
Tan cumplido en su persona,
Tan generoso en sus hechos
Y tan resuelto en sus obras,
Que la envidia no se atreve
Con su lengua ponzoñosa
A manchar su justa fama
Cuando cualquiera lo nombra.

Ya se prepara la fiesta,
Cercanas están las bodas.
Los padres cuentan los días,
Los prometidos las horas;
Los amigos se disponen
Para obsequiar a la novia
Dando brillo con sus galas
A la nupcial ceremonia.
Y aunque es tiesta de familia
Por suya el pueblo la toma.
Y en llevarla bien al cabo
Se empeña la Villa toda.
¡Con qué profunda tristeza
Vive Rosa en su retiro!
Está pálida su frente
Y están sus ojos sin brillo;
De la noche a la mañana
Corre de su llanto el hilo,
Sus padres sufren con ella
Y están tristes y abatidos.

No le da el sueño descanso
Ni el sol le procura alivio,
Que son la luz y las sombras
Para el que sufre lo mismo.
Está muy lejos Fernando,
Muy lejos y en gran peligro
Por que al llegar de la boda
El instante apetecido,
Invadió como un torrente
La ciudad el enemigo.

El pabellón del imperio
Halla en Patzcuaro un asilo,
Los franceses se apoderan
Del sosegado recinto,
Su ley imponen a todos,
Subyugan al pueblo altivo,
Y Fernando en su caballo,
De pocos hombres seguido,
Sale a buscar la bandera
Que veneró desde niño,
Y que agita en las montañas
El viento del patriotismo.

Ni el amor ni la esperanza
Le cerraron el camino,
Que ciego a todo embeleso
Y sordo a todo atractivo,
La Patria, sólo la Patria
En tales horas ha visto,
Y por ella deja todo
A salvarla decidido.

Rosa se queda llorando
Y como agostado lirio,
No hay fuerza que la levante
Ni sol que le infunda brío;
De su amoroso Fernando
Sólo sabe lo que han dicho;
Fue a la guerra y lo conoce,
Firme, noble y decidido;
Lo sueña entre los primeros
Que acometen los peligros;
Sabe que en todos los casos,
Entre muerte y servilismo
Ha de preferir la muerte
Que es vida para los dignos
Y con profunda tristeza
Vive Rosa en su retiro
Sin consuelo ni descanso,
Sin esperanza ni alivio,
Que son la luz y las sombras
Para el que sufre lo mismo.
A la habitación de Rosa,
Al rayar de la mañana
Llega un indígena humilde
Que viene de la montaña,
Y sin despertar sospechas
Cruzó por las avanzadas
Trayendo un papel oculto
En su sombrero de palma.
En hablar con Rosa insiste
Cuando de oponerse tratan
Sus padres que en todo miran
Espionajes y asechanzas.
Oye la joven las voces
Y con interés indaga,
Porque el corazón le dice
Que la nueva será grata,
Y lo confirma mirando
Que al borde de su ventana
Un «salta-pared» ligero
Tres veces alegre canta,
Nuncio de buena fortuna
Del pueblo entre las muchachas.

Llama al indio presurosa,
Este con faz animada
La saluda, y del sombrero
Descose la tosca falda,
Y de allí con mano firme
Saca y le entrega una carta
Que vino tan escondida,
Que a ser otro no la hallara.

Rosa trémula no acierta
En su gozo a desplegarla
Y ya febril e impaciente
Tanta torpeza le enfada;
Abre al fin y reconoce
Que Fernando se la manda
Y en cortas frases le dice,
Esto que en su pecho guarda:

«Mi único amor, vida mía,
Mi pasión, alma del alma,
No puedo vivir sin verte,
Que sin ti todo me falta;
Y aunque tu amor me da aliento
Y tu recuerdo me salva,
Tengo sed de tu presencia,
Tengo sed de tus palabras.

»Hoy por fortuna muy cerca
Me encuentro de tu morada,
Y he de verte aunque se oponga
Todo el poder de la Francia.

»Esta noche, a media noche
Antes de rayar el alba,
Para verme y para hablarme
Asómate a la ventana.

»Adiós vida de mi vida
No tengas miedo, y aguarda
Al que adora tu recuerdo
Luchando entre las montañas».
Es pasada media noche,
Reina profundo silencio
Que sólo interrumpe a veces
El ladrido de los perros,
O el grito del centinela
Que lleva perdido el viento.

En su ventana está Rosa,
Entre las sombras queriendo
Penetrar con la mirada
De sus grandes ojos negros,
Las tinieblas que sepultan
Los callejones estrechos.

Para no inspirar sospechas
Oscuro está su aposento,
Y ni a suspirar se atreve
Por no vender su secreto.

De súbito, escucha pasos
Cautelosos a lo lejos,
Y al oírlos no le cabe
El corazón en el pecho.

Entre las sombras divisa
Algo que tomando cuerpo
A la ventana se llega
Y casi con el aliento,
Le dice: -Prenda del alma.
Aquí estoy-.
                    ¡Bendito el cielo!-
Contesta Rosa y las manos
En la oscuridad tendiendo
Halla el rostro de su amante
Que las cubre con sus besos.
-¿Dudabas de que viniera?
-¿Como dudar, si yo creo
Cuanto me dices lo mismo
Que si fuera el Evangelio?
-¡Tantas semanas sin verte!
-¡Tanto tiempo!
                        -¡Tanto tiempo!

-Pero temo por tu vida...
-No temas, Dios es muy bueno.
Ahora dime que me amas,
A que me lo digas vengo
Y a decirte que te adoro...
-¿Más que yo a ti, cuando siento
Hasta de la misma patria
El aguijón de los celos?
No te culpo, mi Fernando,
No te culpo, bien has hecho
Pero dudo y me atormenta
Pensar que esconde tu seno
Amor más grande que el mío
Y otro vínculo más tierno.

Escúchame: si algún día
Merced a tu noble esfuerzo,
Victoriosa tu bandera,
Por héroe te aclama el pueblo,
Yo disputaré a tu frente
Ese laurel, porque tengo
Ante la patria que gime,
Para adquirirlo derecho;
Tú, sacrificas tu vida,
Yo, débil mujer, le ofrezco,
Alentando tu constancia,
Todo el amor que te tengo.
¡Ay Fernando! ¿tú no mides
Este sacrificio inmenso?
Y al decir así, la mano
Atrajo del guerrillero
Y con su llanto al bañarla
La oprimió contra su pecho.
Limpia despunta la aurora
Y en la ventana Fernando
No se atreve a despedirse
Sin hacer del tiempo caso.

Mas de pronto, por la esquina,
Sobre fogoso caballo,
De la brida conduciendo
Un potro alazán tostado,
Un guerrillero aparece
Con el mosquete en la mano.

Acércase a la pareja,
Aquel coloquio turbando,
Y dirigiéndose al joven
Le dice: «Mi Jefe, vamos,
Monte, que nos han sentido
Y somos dos contra tantos».

-iVete, por Dios!-grita Rosa.
Salta a su corcel Fernando,
Toma su pistola, besa
A la doncella en los labios,
Y a tiempo que se despide,
Por un callejón cercano
Desembocan en desorden
Argelinos y zuavos.
-iAlto!-gritan los que vienen.
-¡Primero muerto que dado!-
Contesta el otro y se lanza
Para abrir en ellos paso...
Suenan discordantes gritos,
Y se escuchan los disparos
Y álzanse nubes de polvo
De los pies de los soldados;
Y al punto que Rosa enjuga
Sus ojos que anubla el llanto,
Ya mira como se alejan
A galope por el campo,
Libres de sus enemigos,
Ei asistente y Fernando.
Algunos años más tarde,
Y cuando pagó a su patria
La deuda de sus servicios
Y la vió libre y sin mancha,
Volvió Fernando a sus lares;
Colgó en el hogar su espada,
Y no quiso ser soldado
Después de triunfar su causa;
Que fue guerrero del pueblo,
Luchador en la montaña,
De los que sólo combaten
Si está en peligro la Patria.

Entonces cumplióle a Rosa
Sus ofertas más sagradas,
Y fue la boda una fiesta
Popular, risueña y franca.

Al verlos salir del templo,
Según refiere la fama,
Recordando aquellas frases
De la inolvidable carta,
Formando vistoso grupo
A las puertas de su casa,
Las más bonitas del pueblo,
Las más festivas muchachas,
Con melancólicas notas
(Que a nuestros tiempos alcanzan
En canción que «Los Capiros»
En Michoacán se la llama),
Al compás de las vihuelas,
De esta manera cantaban:

«Esta noche a media noche,
Y antes que llegue mañana
Si oyes que al pasar te silbo
Asómate a tu ventana».
El gobierno francés, ¿o fue el gobierno inglés?, puso una lápida
En esa casa de 8 Great College Street, Camden Town, Londres,
Adonde en una habitación Rimbaud y Verlaine, rara pareja,
Vivieron, bebieron, trabajaron, fornicaron,
Durante algunas breves semanas tormentosas.
Al acto inaugural asistieron sin duda embajador y alcalde,
Todos aquellos que fueran enemigos de Verlaine y Rimbaud cuando vivían.

Con la tristeza sórdida que va con lo que es pobre,
No la tristeza funeral de lo que es rico sin espíritu.
Cuando la tarde cae, como en el tiempo de ellos,
Sobre su acera, húmedo y gris el aire, un organillo
Suena, y los vecinos, de vuelta del trabajo,
Bailan unos, los jóvenes, los otros van a la taberna.

Corta fue la amistad singular de Verlaine el borracho
Y de Rimbaud el golfo, querellándose largamente.
Mas podemos pensar que acaso un buen instante
Hubo para los dos, al menos si recordaba cada uno
Que dejaron atrás la madre inaguantable y la aburrida esposa.
Pero la libertad no es de este mundo, y los libertos,
En ruptura con todo, tuvieron que pagarla a precio alto.

Sí, estuvieron ahí, la lápida lo dice, tras el muro,
Presos de su destino: la amistad imposible, la amargura
De la separación, el escándalo luego; y para éste
El proceso, la cárcel por dos años, gracias a sus costumbres
Que sociedad y ley condenan, hoy al menos; para aquél a solas
Errar desde un rincón a otro de la tierra,
Huyendo a nuestro mundo y su progreso renombrado.

El silencio del uno y la locuacidad banal del otro
Se compensaron. Rimbaud rechazó la mano que oprimía
Su vida; Verlaine la besa, aceptando su castigo.
Uno arrastra en el cinto el oro que ha ganado; el otro
Lo malgasta en ajenjo y mujerzuelas. Pero ambos
En entredicho siempre de las autoridades, de la gente
Que con trabajo ajeno se enriquece y triunfa.

Entonces hasta la negra prostituta tenía derecho de insultarlos;
Hoy, como el tiempo ha pasado, como pasa en el mundo,
Vida al margen de todo, sodomía, borrachera, versos escarnecidos,
Ya no importan en ellos, y Francia usa de ambos nombres y ambas obras
Para mayor gloria de Francia y su arte lógico.
Sus actos y sus pasos se investigan, dando al público
Detalles íntimos de sus vidas. Nadie se asusta ahora, ni protesta.

"¿Verlaine? Vaya, amigo mío, un sátiro, un verdadero sátiro.
Cuando de la mujer se trata; bien normal era el hombre,
Igual que usted y que yo. ¿Rimbaud? Católico sincero,
como está demostrado".
Y se recitan trozos del "Barco Ebrio" y del soneto a las "Vocales".
Mas de Verlaine no se recita nada, porque no está de moda
Como el otro, del que se lanzan textos falsos en edición de lujo;
Poetas mozos de todos los países hablan mucho de él en sus provincias.

¿Oyen los muertos lo que los vivos dicen luego de ellos?
Ojalá nada oigan: ha de ser un alivio ese silencio interminable
Para aquellos que vivieron por la palabra y murieron por ella,
Como Rimbaud y Verlaine. Pero el silencio allá no evita
Acá la farsa elogiosa repugnante. Alguna vez deseó uno
Que la humanidad tuviese una sola cabeza, para así cortársela.
Tal vez exageraba: si fuera sólo una cucaracha, y aplastarla.
Frente al mar, y en la puerta de su pobre morada,
La viuda del marino con su hijo está sentada.
Se ve tristeza en ambos. Los rudos temporales
De esos días de otoño causaron tantos males,
Tanto destrozo hicieron, fue tal del mar la saña,
Cual nunca visto había la costa de Bretaña.
Por eso ante el crepúsculo se encuentran abstraídos
Y silenciosos, y ambos de luto están vestidos.

En ese lago quieto, de aguas murmuradoras,
En donde se deslizan las barcas pescadoras,
Cuyas velas se extienden bajo el oro del día,
¡Quién, al ver esa calma, reconocer podría
Aquel mar tempestuoso, que sólo en un momento,
En el pasado otoño, con ímpetu violento
Destrozó veinte barcas, y que a esa pobre madre
Dejó  trocada en viuda y a ese niño sin padre!

El agua azul sonríe; sin nubes brilla el cielo;
Y ella sigue sombría, con hondo desconsuelo
Recordando la tarde trágica de su vida,
Cuando hundió en sus abismos la mar embravecida
A su esposo. «Mas suya fue la culpa», a su hijo,
Que seguía en silencio, sollozando le dijo.
«A desgraciados náufragos que el temporal hundía,
¿Cómo sin un socorro dejárseles podría?

¡Qué tarde horrible! ¡Nadie recordaba en la aldea
Haber visto en su vida semejante marea!
¡Era tentar al cielo y era jugar la suerte
Socorrer a los náufragos... era afrontar la muerte!
Tu padre con nosotros estaba. En la bahía,
Recién entrada al puerto su barca se veía».
-«Sin duda están malditos, decíame comiendo,
Los que en el mar aguantan ese chubasco horrendo».

Como era su costumbre, después de la comida
Saliose de la casa con su pipa encendida,
Y a pesar de la lluvia, varios iban al puerto,
A ver saltar las olas sobre el muelle desierto;
Cuando de pronto observa tu padre en lontananza
Que contra los peñascos un bergantín se lanza.
Aquello fue un instante. Lo empuja el mar, y choca,
Y roto allí en pedazos quedó contra la roca.

-«Un bote», grita al punto. Yo lo miré aterrada.
Y en tanto que los otros le muestran la oleada
Que viene sobre el puerto rugiendo amenazante,
Grita otra vez: - ¡Salvémoslos! !Un bote... ¡En el instante!
Un bote al mar! ¡Un bote!... ¡Cobardes no seamos!»
Y seguían sus gritos: -«A socorrerlos vamos!
¡Mi barca! ¡Arriba! ¡Es tiempo! Mi barca no ha temido
Jamás las tempestades ni el mar embravecido,
Y por eso Adelante la bauticé»...

                                             
Salieron
Todos al mar entonces... y ¡nunca más volvieron!...

De tarde, en este invierno, y al bajar la marea,
Hasta allá, donde ves la espuma que blanquea,
Ir me has visto abatida. Mas todo ha sido en vano...
Nada de entre sus olas devuelve el océano...
¡Y ese mar que a mis plantas expira en la ribera,
De la barca no arroja ni una tabla siquiera!

Hijo: me prometiste no ser, jamás marino:
Cumplirás tu promesa. Será otro tu destino.
El cura, que te quiere, te seguirá enseñando;
Aprenderás las letras, luego a escribir. Y cuando
Grande estés, serás cura. ¡Pasará el tiempo aprisa...
Veré el día dichoso de tu primera misa!...
Yo misma pondré flores en el altar... ¡Oh, cuánta
Será mi dicha, lejos de este mar que me espanta!

Calla el niño pensando sin duda en los chicuelos
Que ve sobre chalupas y ágiles barquichuelos,
En las azules aguas, desde que el día brilla,
Caminar en la borda, bajar a la escotilla,
Mientras que él no se atreve, ni nunca se ha atrevido,
Un cable a atar siquiera. Cumple lo prometido.
Y cuando terminada la lección de lectura,
El viejo silabario cierra de tarde el cura,
Y le dice que es hora de que a jugar se vaya,
Descalzo, arremangado, se aleja por la playa,
Y así engaña sus sueños el hijo del marino;
Pero entre los cabellos el áspero y salino
Viento sentir que sopla; sentir el agua fría
Que a la rodilla sube; ver en la lejanía
Las olas que se rompen bajo azulada bruma
Y que el peñasco cubre de iridiscente espuma;
Ir conchas o mariscos buscando por la costa,
O saltar, sobre piedras, detrás de una langosta,
Eso no le bastaba; quería más; quería
La barca que se aleja bajo el fulgor del día,
Con sus palos erectos y sus velas redondas;
Quería el horizonte, los tumbos de las ondas,
Y la embriaguez del alma sobre la mar rugiente,
Cuyos acres aromas hablaban a su mente
De países lejanos... ¡Tal era su delirio!
¡Y hacía muchos meses que ese era su martirio!

Y va pasando el tiempo. Llega otro otoño horrible;
Y un día los marinos, a la luz apacible
De un cielo gris, entre ellos hablando, hacia el poniente
Sobre el mar tempestuoso, señalan de repente
Un velero que avanza contra las rocas. Brava
Marejada envolvíalo... Más y más se encrespaba...

¡En las revueltas olas aquello parecía
El estertor postrero del barco en la agonía!

-«¡Un bote al mar! ¡Un bote!», dice alguien con voz ruda,
 ¡Al mar! ¡A socorrerlos! ¡A prestarles ayuda!»

Y todos recordaban a los que al mar salieron
A salvar a unos náufragos, y nunca más volvieron;
Mas de pronto a una barca se abalanzan, y en tanto,
Todo lo ve la madre con indecible espanto;
Y a su hijo abrazando le murmura al oído:
-«¿Sabes? Me lo ofreciste... lo tienes prometido,
¡No irás!...» Con las pupilas dilatadas, la frente
Pensativa,   y el labio mordiéndose impaciente,
Nada responde, y mira con absorta mirada
Que ya los hombres tienen la barca aparejada.
De repente, una ola gigantesca y sombría,
 Que avanza rugidora por la turbia bahía.
Se estrella con fracaso, toda la playa moja, fe...
Y a las plantas del niño, tabla podrida arroja.

En la tabla estas letras leíanse: Adelante.

De su abismo esa tabla sacaba el mar de Atlante.
¡Mandato de su padre sobre las olas era!
Listos los remadores sacan de la ribera
La barca. De los brazos maternos se desprende;
Detrás de los marinos veloz carrera emprende;
Salta al bote con ellos, y al punto un remo ensaya...
 ¡Y allá van con la ola que vuelve de la playa!

¡Cómo con la mirada todos los van siguiendo!
¡Virgen Santa! ¡Las olas cuan altas y qué estruendo!
¡Parece que se hunden! ¡Jesús! ¡Naufraga el bote!
¡Mas no!... ¡Las olas pasan y ellos están a flote!
¡Y siguen!... Van llegando... ¡Ya se les ve acercarse!
¡Ya era tiempo !... ¡ Ya el barco comenzaba a inclinarse

¡Ya vuelven! ¡Los pañuelos agitan! ¡Qué arrojados!
¡El bote viene lleno!...
-«¿Cuántos?»
-« ¡Todos salvados!»
-«¡Hurra! ¡Pronto una amarra!»
Y en tanto que gozosos,
Náufragos y marinos, saltando presurosos
De piedra en piedra vienen, hacia la madre el niño
Se lanza. Ella lo abraza; lo besa; y con cariño
Él le dice al oído: «No me regañes, madre...
¡Tan contento estaría mirándome mi padre!»
Noche. Este viento vagabundo lleva
las alas entumidas
y heladas. El gran Andes
yergue al inmenso azul su blanca cima.
La nieve cae en copos,
sus rosas transparentes cristaliza;
en la ciudad, los delicados hombros
y gargantas se abrigan;
ruedan y van los coches,
suenan alegres pianos, el gas brilla;
y si no hay un fogón que le caliente,
el que es pobre tirita.
Yo estoy con mis radiantes ilusiones
y mis nostalgias íntimas,
junto a la chimenea
bien harta de tizones que crepitan.
Y me pongo a pensar: ¡Oh! ¡Si estuviese
ella, la de mis ansias infinitas,
la de mis sueños locos
y mis azules noches pensativas!
¿Cómo? Mirad:
                                  De la apacible estancia
en la extensión tranquila
vertería la lámpara reflejos
de luces opalinas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría;
el golpe de la lluvia en los cristales,
y el vendedor que grita
su monótona y triste melopea
a las glaciales brisas.
Dentro, la ronda de mis mil delirios,
las canciones de notas cristalinas,
unas manos que toquen mis cabellos,
un aliento que roce mis mejillas,
un perfume de amor, mil conmociones,
mil ardientes caricias;
ella y yo: los dos juntos, los dos solos;
la amada y el amado, ¡oh Poesía!
los besos de sus labios,
la música triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
¡Oh! ¡Bien haya el brasero
lleno de pedrería!
Topacios y carbunclos ,
rubíes y amatistas
en la ancha copa etrusca
repleta de ceniza.
Los lechos abrigados,
las almohadas mullidas,
las pieles de Astrakán, los besos cálidos
que dan las bocas húmedas y tibias.
¡Oh, viejo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Sí, estaría a mi lado,
dándome sus sonrisas,
ella, la que hace falta a mis estrofas,
esa que mi cerebro se imagina;
la que, si estoy en sueños,
se acerca y me visita;
ella que, hermosa, tiene
una carne ideal, grandes pupilas,
algo del mármol, blanca luz de estrella;
nerviosa, sensitiva,
muestra el cuello gentil y delicado
de las Hebes antiguas;
bellos gestos de diosa,
tersos brazos de ninfa,
lustrosa cabellera
en la nuca encrespada y recogida
y ojeras que denuncian
ansias profundas y pasiones vivas.
¡Ah, por verla encarnada,
por gozar sus caricias,
por sentir en mis labios
los besos de su amor, diera la vida!
Entre tanto hace frío.
Yo contemplo las llamas que se agitan,
cantando alegres con sus lenguas de oro,
móviles, caprichosas e intranquilas,
en la negra y cercana chimenea
do el tuero brillador estalla en chispas.
Luego pienso en el coro
de las alegres liras.
En la copa labrada, el vino *****,
la copa hirviente en cuyos bordes brillan
con iris temblorosos y cambiantes
como un collar de prismas;
el vino ***** que la sangre enciende,
y pone el corazón con alegría,
y hace escribir a los poetas locos
sonetos áureos y flamantes silvas.
El Invierno es beodo.
Cuando soplan sus brisas,
brotan las viejas cubas
la sangre de las viñas.
Sí, yo pintara su cabeza cana
con corona de pámpanos guarnida.
El Invierno es galeoto,
porque en las noches frías
Paolo besa a Francesca
en la boca encendida,
mientras su sangre como fuego corre
y el corazón ardiendo le palpita.
-¡Oh crudo Invierno, salve!
puesto que traes con las nieves frígidas
el amor embriagante
y el vino del placer en tu mochila.
Ardor adolescente,
miradas y caricias;
cómo estaría trémula en mis brazos
la dulce amada mía,
dándome con sus ojos luz sagrada,
con su aroma de flor, savia divina.
En la alcoba la lámpara
derramando sus luces opalinas;
oyéndose tan sólo
suspiros, ecos, risas;
el ruido de los besos;
la música  triunfante de mis rimas,
y en la negra y cercana chimenea
el tuero brillador que estalla en chispas.
Dentro, el amor que abrasa;
fuera, la noche fría.
Sumida en la ironía
esboza un apático gesto
y en el nicho indulgente de la discordia
se encuentran sus ojos ingratos.

La Dama clorótica seca sus lágrimas,
ejecuta con elegancia la centímana
que acoge ramales de negros liros
a sus cianóticos pabellones

¡Cuan grata la dicha pérfida del desencuentro!

Profesa la peste con umbría renitencia,
en la lúgubre sobre-voz que estremece
el canoro fúnebre en Pico de Roma
que delata en cada suspiro
la cólera rancia del abandono

Que perfuma con néctar de Belladona
el fino sosiego de un paño de seda.
Fruto pródigo que espeta
la terca laconia de sus nefastas palabras

Porque solo un ósculo
que terse el crúor de sus labios
bastará para convenir su silencio.
Sauzal que atraviesa su boca
añeja y estéril como la yerma

Y quien fuera una bella rubescente
hoy besa el miasma maldito
que proclama a la urdimbre.
su maligno efluvio letal

Mañana serás el fantasma,
el fantasma de ojos velados.
Mañana serás la nada
y negros serán tus huesos.
Carolina Flores Jul 2013
Es difícil estar lejos de ti y quererte como lo hago, me cuesta pensar en un tiempo en el que estaremos juntos y todo estará bien, no parece lejano, simplemente parece imposible.
Me gusta pensar que tu también pierdes el sueño pensando en mis ojos y en la manera en la que mis labios pronuncian tu nombre, al menos eso es lo que yo hago.
Paso mis noches pensando en la manera en la que tu lengua acaricia cada letra de mi nombre.
Me gustaría creer que nuestro tiempo llegará, pero tu estas tan lejos y cuando no estás, todo es obscuro e incierto.
No puedo pedirte que te quedes a mi lado, se que lo harías, pero yo no puedo detener al destino, el tiempo sigue su rumbo y tu y yo estamos parados en medio de un mundo en movimiento, así que solo pronuncia mi nombre una vez y márchate, besa mis labios con la promesa de que el tiempo marcará nuestro camino y tal vez, la vida se apiade de nosotros y cruce nuestros caminos una vez, sólo una más.
Natalia Rivera Apr 2015
Vestida de azul, revolcándose en la arena.
Su ánimo depende del día
Puede estar caliente, puede estar fría.
Todos entran en ella, en sus muchas formas.
Madre, amante y compañera.
Los escucha, los mira y los besa;
Pero sigue conservando su esencia
Pura y cristalina, provocadora y lujuriosa.
Mujer de blanco, mujer de *****
Pavoneándose a la rima
De los calvarios en el viento.
Estruendosa e inmensa,
Alma libre de ramera.
Madre de todo, Madre de todos.
Igual, la flor retorna
a limitarnos el instante azul,
a dar una hermandad gustosa a nuestro cuerpo,
a decirnos, oliendo inmensamente,
que lo breve nos basta.

Lo breve al sol de oro, al aire de oro,
a la tierra de oro, al áureo mar;
lo breve contra el cielo de los dioses,
lo breve enmedio del oscuro no,
lo breve en suficiente dinamismo,
conforme entre armonía y entre luz.

Y se mece la flor, con el olor
más rico de la carne,
olor que se entra por el ser y llega al fin
de su sinfín, y allí se pierde,
haciéndonos jardín.

La flor se mece viva fuera, dentro,
con peso exacto a su placer.
Y el pájaro la ama y la estasía,
y la ama, redonda, la mujer,
y la ama y la besa enmedio el hombre.

¡Florecer y vivir, instante
de central chispa detenida,
abierta en una forma tentadora;
instante sin pasado,
en que los cuatro puntos cardinales
son de igual atracción dulce y profunda:
instante del amor abierto
como la flor!
Amor y flor en perfección de forma,
en mutuo sí frenético de olvido,
en compensación loca,
olor, sabor y olor,
color, olor y tacto, olor, amor, olor.

El viento rojo la convence
y se la lleva, rapto delicioso,
con un vivo caer que es un morir
de dulzor, de ternura, de frescor;
caer de flor en su total belleza,
volar, pasar, morir de flor y amor
en el día mayor de la hermosura,
sin dar pena en su irse ardiente al mundo,
ablandando la tierra sol y sombra,
perdiéndose en los ojos azules de la luz!
Juan y Margot, dos ángeles hermanos
Que embellecen mi hogar con sus cariños
Se entretienen con juegos tan humanos
Que parecen personas desde niños.

Mientras Juan, de tres años, es soldado
Y monta en una caña endeble y hueca,
Besa Margot con labios de granado
Los labios de cartón de su muñeca.

Lucen los dos sus inocentes galas,
Y alegres sueñan en tan dulces lazos;
Él, que cruza sereno entre las balas;
Ella, que arrulla un niño entre sus brazos.

Puesto al hombro el fusil de hoja de lata,
El kepis de papel sobre la frente,
Alienta el niño en su inocencia grata
El orgullo viril de ser valiente.

Quizá piensa, en sus juegos infantiles,
Que en este mundo que su afán recrea,
Son como el suyo todos los fusiles
Con que la torpe humanidad pelea.

Que pesan poco, que sin odios lucen,
Que es igual el más débil el más fuerte,
Y que, si se disparan, no producen
Humo, fragor, consternación y muerte.

¡Oh, misteriosa condición humana!
Siempre lo opuesto buscas en la tierra;
Ya delira Margot por ser anciana,
Y Juan, que vive en paz, ama la guerra.

Mirándoles jugar me aflijo y callo:
¿Cuál será sobre el mundo su fortuna?
Sueña el niño con armas y caballo,
La niña con velar junto a la cuna.

El uno corre de entusiasmo ciego,
La niña arrulla a su muñeca inerme,
Y mientas grita el uno: Fuego! fuego,
La otra murmura triste: Duerme, duerme.

A mi lado ante juegos tan extraños
Concha, la primogénita, me mira:
¡Es toda una persona de ses años
Que charla, que comenta y que suspira!

¿Por qué inclina su lánguida cabeza
Mientras deshoja inquieta algunas flores?
¿Será la que ha heredado mi tristeza?
¿Será la que comprende mis dolores?

Cuando me rindo del dolor al peso,
Cuando la negra duda me avasalla,
Se me cuelga del cuello, me da un beso,
Se le saltan las lágrimas y calla.

Sueltas sus trenzas claras y sedosas,
Y oprimiendo mi mano entre sus manos,
Parece que medita en muchas cosas
Al mirar cómo juegan sus hermanos.

Margot, que canta en madre transformada,
Y arrulla a un hijo que jamás se queja,
Ni tiene que llorar desengañada,
Ni el hijo crece, ni se vuelve vieja.

Y este guerrero audaz de tres abriles
Que ya se finge apuesto caballero,
No logra en sus campañas infantiles
Manchar con sangre y lágrimas su acero.

¡Inocencia! ¡Niñez! ¡Dichosos nombres!
Amo tus goces, busco tus cariños;
Cómo han de ser los sueños de los hombres,
Más dulces que los sueños de los niños!

¡Oh, mis hijos! No quiera la fortuna
Turbar jamás vuestra inocente calma,
No dejéis esa espada ni esa cuna:
¡Cuando son de verdad, matan el alma!
El bosque centenario
En sus antros encierra
Ese silencio eterno que acompaña
A las salvajes pompas de la América.

En el espeso toldo
Que al sol el paso niega,
Los cenzontles que cantan en las noches,
De rama en rama sin zozobras vuelan.

Y el cardenal errante,
Y el colibrí de seda,
Al beso de las tibias alboradas,
Dando celos al iris, juguetean.

De las copas más altas,
Como argentadas hebras,
Las canas de los viejos ahuehuetes
Dan a los vientos sus robustas crenchas.

Y revistiendo el tronco
De secular corteza,
Matizando sus tronos de esmeralda,
Se abre a la luz la trepadora hiedra.

Tapiza el suelo un musgo
Que ni el verano seca,
Donde recoge el aire en las mañanas
Un sempiterno olor a flores nuevas.

El bosque centenario
En su extensión inmensa
Repercute en las tardes los acentos
Más dulces de los cánticos aztecas.

Las voces de una raza
Peregrina y guerrera
Que va dejando con su sangre hirviente
De su incesante caminar las huellas.

Y vagan esas notas
Dulcísimas y tiernas,
Enseñando a los pájaros salvajes
Tristes y melancólicas cadencias.

Las repite el cenzontle
En la noche serena,
Cuando la luna en el azul espacio
El heno de los árboles platea.

Las dice la calandria,
El clarín las remeda,
Y en las tardes de mayo los jilgueros
Trovan los himnos de su amor con ellas.

Y cuando en tristes horas
De lluvia y de tinieblas
La tempestad su carro de relámpagos
Sobre los viejos árboles pasea,

Y con ojos de llamas
La lechuza agorera
Predice la catástrofe y la muerte
Como alada Sibila de la selva,

Cuando los vientos rugen,
Cuando los troncos tiemblan
Y cual cinta de lumbre en ***** abismo
El rayo retumbando culebrea,

En el fondo del bosque,
Rasgando las tinieblas,
Se oye dulcísima y doliente
Que canta melancólicas endechas.

Son las notas de un arpa
De misteriosas cuerdas
En que surgen estrofas no aprendidas
Cuando calla el placer y hablan las penas.

Las extrañas canciones
Entre la sombra vuelan,
Mezclándose del viento a los rugidos
Y al sordo rebramar de la tormenta.

Vagan en el ramaje,
Cruzan por la maleza,
Y el paso no les corta la falange
De sabinos cual mudos centinelas.

Se extienden en los lagos
De superficie tersa
Donde crecen los juncos cimbradores
Y sus corolas abren las ninfeas.

Cruzan por los maizales
Cuyas cañas esbeltas
Sus hinchadas espigas, a las lluvias
Levantan a los cielos en ofrenda.

¿Quién canta esas canciones?
¿Quién dice esas endechas,
Que ya traspuesto el sol y quieto el mundo
Repiten los cenzontles en la selva?

¿De qué garganta brotan?
¿Quién delira con ellas
Y en la imponente majestad del bosque
En tristísimas horas las eleva?

Mirad, hay en el fondo,
Tras la enramada espesa,
Dominando los altos ahuehuetes
Una montaña de verdor cubierta.

La mano de un gigante
Amontonó sus piedras,
Sobre las cuales fabricó un palacio,
Para propio solaz, un rey azteca.

Son espesos sus muros,
Angostas son sus puertas,
Y parece, mirado desde lejos,
Vetusta cripta en la extensión desierta.

Pega el nopal al muro
Sus espinosas pencas,
Y como cenicientos obeliscos
Los órganos tristísimos lo cercan.

No tiene escudo noble
Tan rara fortaleza,
Ni levadizo puente, ni ancho foso,
Ni rastrillo, ni glacis, ni poterna.

No guarda férreos cascos,
Ni lanzas, ni rodelas,
Ni resonó jamás en sus salones
La armadura brutal de la Edad Media.

Los señores que ha visto
Esgrimen arco y flecha,
Llevan al combatir desnudo el ****
Y adornada con plumas la cabeza.

Obscuros son sus ojos,
Sus cabelleras negras,
Su cutis, siempre al sol, color de trigo,
Sencillas sus costumbres y su lengua.

En tan triste palacio
Con sus damas se hospeda
Siempre sola, llorosa y resignada,
Como un lirio con alma, una princesa.

Y vive sin que nadie
A visitarla venga,
Que por rencor y celos y venganza
Víctima del amor allí la encierran.

Amó, cual amar saben
En su raza, en su tierra,
Las mujeres que encienden sus pupilas
Con la del alma inextinguible hoguera,

Un hermano celoso
De su pasión intensa,
Mató al indio bizarro que formaba
El culto terrenal de la doncella.

Y entonces con la rabia
Que electriza a las fieras,
Cuando el artero cazador destroza
Al cachorro que esconden en la cueva,

Ella tomó en sus manos
La macana de piedra
Y castigó a su hermano con un golpe
Que bien pudo arrancarle la existencia.

El padre, como ejemplo,
Como justa sentencia,
La alejó de su lado y encerróla,
Del viejo bosque en la mansión severa.

Y allí con la alborada,
Cuando la luz despierta,
Cuando en todas las ramas hay cantares
Y alza un himno de amor toda la selva,

Cuando se abren las fibras
Y en sus corolas tiemblan
Los pintados y errantes chupamirtos
Que de sabrosas mieles se alimentan,

Se oye como desciende,
Por las abruptas peñas,
Envuelta en un mantón de blancas plumas,
Seguida de sus damas, la Princesa.

Siempre al pisar el bosque
Toma la misma senda,
Para buscar el sitio apetecido
En que el placer y la delicia encuentra.

Allá, bajo las ramas
Más verdes, más espesas,
Y donde en haces de colores vivos
El sol naciente sus fulgores quiebra,

Engastada en el musgo
Cual líquida turquesa,
Convidando a la vida y al deleite,
Espejo del follaje, está la alberca.

El manantial fecundo
Al fondo borbotea,
Sin que nadie perciba sus rumores
Ni la quietud perturbe de la selva.

Dicen que cuando alguno
Se posa en sus arenas,
Queda encantado y con extraña forma,
Y el que a buscarlo va, jamás lo encuentra.

Por eso todos temen,
Y aún los hombres recelan,
Sumergirse en las ondas cristalinas
De una agua tan azul y tan serena.

Sólo la hermosa joven,
Cuando a los bordes llega,
Fija en el manantial una mirada
Que es la viva expresión de una promesa.

Deja el manto de pluma,
Sus cabellos destrenza,
Y a las caricias púdicas del agua,
Dando tregua al dolor, feliz se entrega.

Y míranse en las ondas
Las formas hechiceras,
Deslizarse flotantes y tranquilas
Como la flor que la corriente lleva.

Si el bello busto asoma,
Sobre los senos ruedan
Las gotas trasparentes y brillantes
Como si fuesen lágrimas o perlas.

Y cuando el cuerpo airoso
Quieto flotando queda,
Parece que el cristal azul y terso,
Enamorado sus contornos besa.

Semeja blanca ondina,
Ruborosa sirena,
Que, con un beso, el sol americano
Quemó su piel y la tornó trigueña.

¿Oís? cantan muy dulce
Las aves de la selva,
Las brisas no estremecen el ramaje,
Ni el heno gris en los sabinos tiembla.

El aire está suspenso,
Ningún rumor se eleva,
Porque en el viejo bosque centenario
Juega desnuda la gentil doncella.


Salta un instante al borde
De la azulosa terma,
Y los encantos que la dio natura
Sin velo encubridor al aire muestra.

Y escúchase de pronto
Un grito de sorpresa,
Cual lo lanzara el que soñó en un cielo
Y al fin, sin esperarlo, lo contempla.

Por el vetusto bosque,
El grito aquel resuena,
Y levanta los ojos espantados
La ninfa que en las aguas se refleja.

Y sin tino, temblando,
Pálida, como muerta,
Descubre entre las ramas de un sabino
De un ser desconocido la cabeza.

Es un amante osado,
Es un guerrero azteca,
Que adora a la doncella y la persigue,
Y hoy en su virgen desnudez la acecha.

Sin conceder más tiempo
De que sus formas vea,
Herida en su pudor la altiva joven
Se sumerge en el agua con violencia.

Y al manantial desciende
Y toca sus arenas,
Y se pierde a los ojos de sus damas
Y el guerrero la busca y no la encuentra.

Cruzaron varios soles
Por la azulada esfera,
Y nadie supo el postrimer destino
De aquella humana y púdica azucena.
Que allí quedó encantada,
Refieren las leyendas,
Y que al mediar los soles y las lunas
Flota sobre la líquida turquesa.

Su nombre ignoran todos,
Nadie ignora sus penas,
Y quedan de sus gracias como espejo
Los movibles cristales de la alberca.
La luna segó tres veces
su alba cosecha de nardos.
Tres veces sobre la mar
bailaron fantasmas blancos.

La novia espera alisando
su largo cabello *****.
A veces, peine de plata;
a veces, peine de hierro.

Le dice al viento: -Ya viene.
La flor de la salvia reza:
-Yo formé almohada morada
para su triste cabeza.

La novia espera bordando,
en oro, banda de seda.
Por el camino una nube
espesa, de polvo denso.
Por el camino se acerca,
enlutado, un mensajero.

Pone la rodilla en tierra,
besa la mano de reina.
La novia mira a lo lejos
y grita ansiosa: -¡Ya llega!

Por el camino se acerca,
sangriento y mudo, un espectro.

Hinca la rodilla en tierra,
helado la boca besa
y lágrimas color sangre
caen en las vacías cuencas.

La novia cierra los ojos
y siente un frío de huesa.
Caminante apura el paso
y en esa puerta no llames
después que tras de los montes
se haya dormido la tarde.

En ese porche sombrío
todas las noches se aman
un espectro, que en el pecho
tiene sumida una daga,

y la novia que en el día
peinando el ***** cabello
aguarda pálida y triste
que regrese el caballero.

La noche se lo trae muerto
a recostarlo en su pecho.
Las ventanas se han estremecido, elaborando una metafísica del universo. Vidrios han caído. Un enfermo lanza su queja: la mitad por su boca lenguada y sobrante, y toda entera, por el ano de su espalda.
Es el huracán. Un castaño del jardín de las Tullerías habráse abatido, al soplo del viento, que mide ochenta metros por segundo. Capiteles de los barrios antiguos, habrán caído, hendiendo, matando.
¿De qué punto interrogo, oyendo a ambas riberas de los océanos, de qué punto viene este huracán, tan digno de crédito, tan honrado de deuda derecho a las ventanas del hospital? Ay las direcciones inmutables, que oscilan entre el huracán y esta pena directa de toser o defecar! Ay! las direcciones inmutables, que así prenden muerte en las entrañas del hospital y despiertan células clandestinas a deshora, en los cadáveres.
¿Qué pensaría de si el enfermo de enfrente, ése que está durmiendo, si hubiera percibido el huracán? El pobre duerme, boca arriba, a la cabeza de su morfina, a los pies de toda su cordura. Un adarme más o menos en la dosis y le llevarán a enterrar, el vientre roto, la boca arriba, sordo el huracán, sordo a su vientre roto, ante el cual suelen los médicos dialogar y cavilar largamente, para, al fin, pronunciar sus llanas palabras de hombres.
La familia rodea al enfermo agrupándose ante sus sienes regresivas, indefensas, sudorosas. Ya no existe hogar sino en torno al velador del pariente enfermo, donde montan guardia impaciente, sus zapatos vacantes, sus cruces de repuesto, sus píldoras de opio. La familia rodea la mesita por espacio de un alto dividendo. Una mujer acomoda en el borde de la mesa, la taza, que casi se ha caído.
Ignoro lo que será del enfermo esta mujer, que le besa y no puede sanarle con el beso, le mira y no puede sanarle con los ojos, le habla y no puede sanarle con el verbo. ¿Es su madre? ¿Y cómo, pues, no puede sanarle? ¿Es su amada? ¿Y cómo, pues, no puede sanarle? ¿Es su hermana? Y ¿cómo, pues, no puede sanarle? ¿Es, simplemente, una mujer? ¿Y cómo pues, no puede sanarle? Porque esta mujer le ha besado, le ha mirado, le ha hablado y hasta le ha cubierto mejor el cuello al enfermo y ¡cosa verdaderamente asombrosa! no le ha sanado.
El paciente contempla su calzado vacante. Traen queso. Llevan sierra. La muerte se acuesta al pie del lecho, a dormir en sus tranquilas aguas y se duerme. Entonces, los libres pies del hombre enfermo, sin menudencias ni pormenores innecesarios, se estiran en acento circunflejo, y se alejan, en una extensión de dos cuerpos de novios, del corazón.
El cirujano ausculta a los enfermos horas enteras. Hasta donde sus manos cesan de trabajar y empiezan a jugar, las lleva a tientas, rozando la piel de los pacientes, en tanto sus párpados científicos vibran, tocados por la indocta, por la humana flaqueza del amor. Y he visto a esos enfermos morir precisamente del amor desdoblado del cirujano, de los largos diagnósticos, de las dosis exactas, del riguroso análisis de orinas y excrementos. Se rodeaba de improviso un lecho con un biombo. Médicos y enfermeros cruzaban delante del ausente, pizarra triste y próxima, que un niño llenara de números, en un gran monismo de pálidos miles. Cruzaban así, mirando a los otros, como si más irreparable fuese morir de apendicitis o neumonía, y no morir al sesgo del paso de los hombres.
Sirviendo a la causa de la religión, vuela con éxito esta mosca, a lo largo de la sala. A la hora de la visita de los cirujanos, sus zumbidos nos perdonan el pecho, ciertamente, pero desarrollándose luego, se adueñan del aire, para saludar con genio de mudanza, a los que van a morir. Unos enfermos oyen a esa mosca hasta durante el dolor y de ellos depende, por eso, el linaje del disparo, en las noches tremebundas.
¿Cuánto tiempo ha durado la anestesia, que llaman los hombres? ¡Ciencia de Dios, Teodicea! si se me echa a vivir en tales condiciones, anestesiado totalmente, volteada mi sensibilidad para adentro! ¡Ah doctores de las sales, hombres de las esencias, prójimos de las bases! Pido se me deje con mi tumor de conciencia, con mi irritada lepra sensitiva, ocurra lo que ocurra aunque me muera! Dejadme dolerme, si lo queréis, mas dejadme
despierto de sueño, con todo el universo metido, aunque fuese a las malas, en mi temperatura polvorosa.
En el mundo de la salud perfecta, se reirá por esta perspectiva en que padezco; pero, en el mismo plano y cortando la baraja del juego, percute aquí otra risa de contrapunto.
En la casa del dolor, la queja asalta síncopes de gran compositor, golletes de carácter, que nos hacen cosquillas de verdad, atroces, arduas, y, cumpliendo lo prometido, nos hielan de espantosa incertidumbre.
En la casa del dolor, la queja arranca frontera excesiva. No se reconoce en esta queja de dolor, a la propia queja de la dicha en éxtasis, cuando el amor y la carne se eximen de azor y cuando, al regresar, hay discordia bastante para el diálogo.
¿Dónde está, pues, el otro flanco de esta queja de dolor, si, a estimarla en conjunto, parte ahora del lecho de un hombre? De la casa del dolor parten quejas tan sordas e inefables y tan colmadas de tanta plenitud que llorar por ellas sería poco, y sería ya mucho sonreír.
Se atumulta la sangre en el termómetro.
¡No es grato morir, señor, si en la vida nada se deja y si en la muerte nada es posible, sino sobre lo que se deja en la vida! ¡No es grato morir, señor, si en la vida nada se deja y si en la muerte nada es posible, sino sobre lo que se deja en la vida! ¡No es grato morir, señor, si en la vida nada se deja y si en la muerte nada es posible, sino sobre lo que pudo dejarse en la vida!
Mataron a mis hermanos, a mis hijos, a mis tíos. A la orilla del
lago Texcoco me eché a llorar. Del Peñon subían
remolinos de salitre. Me cogieron suavemente y me depositaron en el
atrio de la Catedral. Me hice tan pequeña y tan gris que muchos
me confundieron con un montoncito de polvo. Sí, yo misma, la
madre del pedernal y de la estrella, yo, encinta del rayo, soy ahora la
pluma azul que abandona el pájaro en la zarza. Bailaba, los
pechos en alto y girando, girando, girando hasta quedarme quieta;
entonces empezaba a echar hojas, flores, frutos. En mi vientre
latía el águila. Yo era la montaña que engendra
cuando sueña, la casa del fuego, la olla primordial donde el
hombre se cuece y se hace hombre. En la noche de las palabras
degolladas mis hermanas y yo, cogidas de la mano, saltamos y cantamos
alrededor de la I, única torre en pie del alfabeto arrasado.
Aún recuerdo mis canciones:


                                        Canta en la verde espesura
                                        la luz de garganta dorada,
                                        la luz, la luz decapitada.

Nos dijeron: la vereda derecha nunca conduce al invierno. Y ahora las
manos me tiemblan, las palabras me cuelgan de la boca. Dame una sillita
y un poco de sol.

En otros tiempos cada hora nacía de vaho de mi aliento, bailaba
un instante sobre la ***** de mi puñal y desaparecía por
la puerta resplandeciente de mi espejito. Y yo era el mediodía
tatuado y la noche desnuda, el pequeño insecto de jade que canta
entre las yerbas del amanecer y el zenzontle de barro que convoca a los
muertos. Me bañaba en la cascada solar, me bañaba en
mí misma, anegada en mi propio resplandor. Yo era el pedernal
que rasga la cerrazón nocturna y abre las puertas del chubasco.
En el cielo del Sur planté jardines de fuego, jardines de
sangre. Sus ramas de coral todavía rozan la frente de los
enamorados. Allá el amor es el encuentro en mitad del espacio de
dos aerolitos y no esa obstinación de piedras frotándose
para arrancarse un beso que chisporrea.

Cada noche es un párpado que no acaban de atravesar las espinas.
Y el día no acaba nunca, no acaba nunca de contarse a si mismo,
roto de monedas de cobre. Estoy cansada de tantas cuentas de piedra
desparramadas en el polvo. Estoy cansada de este solitario tronco.
Dichoso el alacrán madre, que devora a sus hijos. Dichosa la
araña. Dichosa la serpiente, que muda de camisa. Dichosa el agua
que se bebe a sí misma. ¿Cuándo acabarán de
devorarme estas imágenes? ¿Cuándo acabaré
de caer en esos ojos desiertos?

Estoy sola y caída, grano de maíz desprendido de la
mazorca del tiempo. Siémbrame entre los fusilados. Naceré
del ojo del capitán. Lluéveme, asoléame. Mi cuerpo
arado por el tuyo ha de volverse un campo donde se siembra uno y se
cosechan ciento. Espérame al otro lado del año: me
encontrarás como un relámpago tendido a la orilla del
otoño. Toca mis pechos de yerba. Besa mi vientre, piedra de
sacrificios. En mi ombligo el remolino se aquieta: yo soy el centro
fijo que mueve la danza. Arde, cae en mí: soy la fosa de cal
viva que cura los huesos de su pesadumbre. Muere en mis labios. Nace en
mis ojos. De mi cuerpo brotan imágenes: bebe en esas aguas y
recuerda lo que olvidaste al nacer. Soy la herida que no cicatriza, la
pequeña piedra solar: si me rozas, el mundo se incendia.
Toma mi collar de lágrimas. Te espero en ese lado del tiempo en
donde la luz inaugura un reinado dichoso: el pacto de los gemelos
enemigos, del agua que escapa entre los dedos de hielo, petrificado
como un rey en su orgullo. Allí abrirás mi cuerpo en dos,
para leer las letras de tu destino.
Sacude el mar su melena
Y son las olas montañas
Que coronan refulgentes
Ricas diademas de plata.

Niega el sol su viva lumbre
Al titán que tiembla y brama,
Y el huracán, monstruo *****,
Abre sus fúnebres alas.

Todo es en el cielo sombras;
Todo es en el aire ráfagas,
La lluvia cae a torrentes,
El rayo doquier estalla;

Cada relámpago alumbra
Un cuadro que impone y pasma
De terror al que lo mira,
A Dios elevando el alma.

Sobre el abismo sin fondo
De las turbulentas aguas,
Entre las olas gigantes
Que los espacios escalan;

Bajo el manto de tinieblas
Que en las regiones más altas
Corren en alas del viento
Como legión de fantasmas;

Al rumor de las centellas
Que difunde la borrasca
Y que al reventar convierten
Las nubes en rojas ascuas;

Cual hoja que se sacude
Para abandonar la rama,
A impulsos de estos ciclones
Que a los sabinos descuajan,

En la líquida llanura
Zozobra sin esperanzas
Ligera nave que en vano
Quiso arribar a la playa.

Sus velas poco le sirven
Y el maderamen no basta
A resistir los embates
De las ondas encrespadas;

Sus mástiles se doblegan,
Como en el campo las cañas,
Y al hundirse en el abismo
Ninguna mano la salva.

Es la soledad desierta
Su aterradora amenaza;
La mar su inmenso sepulcro,
Y el mudo espacio su lápida.

Los que en la nave caminan
Sus oraciones levantan
Al Ser que todo lo puede
Y le encomiendan sus almas.

Entre tantos tripulantes,
Que sobre el abismo viajan,
Van dos jóvenes que ruegan
Al cielo con unción santa.

Pareja noble y dichosa,
Que con ternura se aman
Y que tienen por tesoro
La juventud y la gracia.

Él cumplió los veinte abriles
Ella por dos no le iguala;
Él es arrogante de porte,
Ella una beldad sin tacha.

Van a buscar a sus padres
Que residen en España,
Y antes de que la tormenta
Su embarcación agitara,

Llevaron más ilusiones
Risueñas, dulces y castas,
Que tiene estrellas el cielo
Y tiene arenas la playa.

Él, mirando los horrores
Siniestros de la borrasca,
Entre la lluvia de rayos
Que roncos tronando espantan,

Besa a su esposa la frente
Al verla derramar lágrimas,
Y señalándole el cielo
Le dice: -¡Ten esperanza!

Dios que, al extender su mano
Refrena al punto las aguas,
Y a quien sumiso obedece
Cuanto formó su palabra,

Dios que es todo y puede todo
Es el único que salva
Al que en los grandes peligros
Su misericordia aclama.

-Pídele tú que nos salve
De una muerte tan amarga,
Tan lejos de tantos seres
Que nos buscan y nos aman;

Yo me dirijo a quien logra
De Dios lo que nadie alcanza,
A la «Estrella de los Mares&lrquo;,
A la Virgen sacrosanta.

Yo, cuando fui a despedirme
De mi Virgen mejicana,
«No me abandones, mi madre&lrquo;,
Dije llorando a sus plantas.

Y ella no ha de abandonarnos,
Nos sigue con su mirada,
Arrodíllate conmigo
Y háblale con toda el alma.

Mira en el triste horizonte
Aquella nube de alza,
Figurándome en su forma
Un paisaje que me encanta,

El cerro agreste y pequeño
Entre cuyas rocas áridas
La Virgen de Guadalupe
Se apareció en forma humana.

Y la nube se ilumina,
La circunda roja franja
Y algo se mueve en el fondo
Que parece que me llama.

-Deliras, mujer, deliras.
-Pero mira, se destaca
Entre rayos refulgentes
Una visión que me encanta.

¡Es la Virgen de mi tierra!
¡Mira el ángel a sus plantas
El manto azul y estrellado
Como las noches de Anáhuac!

-Santo delirio, hija mía;
Si la Virgen nos salvara
Las velas que tiene el barco,
Y vamos que son bien anchas,

Como ofrenda de su templo
Por nosotros regalada
Para ejemplo de otros fieles
Yo las hiciera de plata.

Y cuando acabó aquel joven
De decir estas palabras,
Aplacáronse las olas
Quedando la mar en calma.

Las que fueron negras nubes
Pronto se tornaron blancas
Y asomó la luna en llena
Por las estrellas cercada.

Los marineros absortos
De maravilla tan alta
Volvieron cantos y risas,
Bendiciones y plegarias,

Lo que en los tristes momentos
De la deshecha borrasca
Fueron horribles blasfemias
Y escandalosas palabras.

La nave al fin llegó al puerto,
La gente feliz y sana
Refirió el raro portento
Confirmándolo con lágrimas.

Y los jóvenes viajeros
Avivaron más el ansia
De cumplir una promesa
Más que solemne, sagrada.

El mástil de aquella nave
Que se doblegó cual caña
Al soplo de la tormenta
Fiera y desencadenada,

Lleváronselo consigo,
Y en otras horas más gratas
Trajéronlo hasta la iglesia
De la Virgen mejicana.

Dieron al templo en limosna
Lo mismo que les costara
Fabricar cual lo ofrecieron
Rico velamen de plata.

Y aprovechando aquel mástil
Fueron con piedra labradas
Las velas que hoy nos recuerdan
El fervor de aquellas almas.

¡Cuántos ascendiendo al templo
Que el cerro en su altura guarda,
Frente al monumento humilde
De que mi romance trata,

No saben que es el emblema
De una devoción sin mancha,
De una fe que fue el tesoro
De las edades pasadas,

Y que hoy es raro encontrarse
Prestando alivio a las almas
A quienes la duda enferma
Y el escepticismo amarga!

¡Oh, tradición, tú recoges
Sobre tus ligeras alas
Lo que la historia no dice
Ni el sabio adusto relata!

¡Toca al narrador agreste
Despojarte de tus galas
Para entretejer con ellas
Sus más vistosas guirnaldas!

Al pueblo lo que es del pueblo,
Sus venturas, sus desgracias
Y todo cuanto le atañe
En su historia y en su patria.
En el estado de Nevada
los caminos de hierro tienen nombres de pájaro
son de nieve los campos
y de nieve las horas.

Las noches transparentes
abren luces soñadas
sobre las aguas o tejados puros
constelados de fiesta.

Las lágrimas sonríen
la tristeza es de alas
y las alas sabemos
dan amor inconstante.

Los árboles abrazan árboles
una canción besa otra canción
por los caminos de hierro
pasa el dolor y la alegría.

Siempre hay nieve dormida
sobre la nieve allá en Nevada.
Se me va de los dedos la caricia sin causa,
se me va de los dedos... En el viento, al pasar,
la caricia que vaga sin destino ni objeto,
la caricia perdida ¿quién la recogerá?
Pude amar esta noche con piedad infinita,
pude amar al primero que acertara a llegar.
Nadie llega. Están solos los floridos senderos.
La caricia perdida, rodará... rodará...
Si en los ojos te besan esta noche, viajero,
si estremece las ramas un dulce suspirar,
si te oprime los dedos una mano pequeña
que te toma y te deja, que te logra y se va.
Si no ves esa mano, ni esa boca que besa,
si es el aire quien teje la ilusión de besar,
oh, viajero, que tienes como el cielo los ojos,
en el viento fundida, ¿me reconocerás?
Nienke Oct 2014
aquí la lluvia de la noche viene, otra vez
los bebes golpeando contra la ventana
caen en una piscina de agua negra

ni la luna aparece, ni un poco de luz
pero los bebes reflejan en la oscuridad
los días de otoño han llegado

el frío me abraza con poder
y el viento besa mi cara
Es blanca, rubia, de contornos puros,
Cual si fueran labrados por Cellini.
La vi, me enamoré, di veinte duros,
Y la mandó a mi casa Pellandini.

Está con traje azul, el solo traje
Que me causa inquietudes y desvelos,
Porque con él el rostro es un celaje
Prendido en las riberas de los cielos.

Suelto tiene el riquísimo tesoro
De sus cabellos blondos y rizados,
Que brillan y relucen como el oro
De octubre en las espigas de los prados.

Buscan la inmensidad sus claros ojos,
Que irradian luz en su mirar sereno:
Tiene boca pequeña, labios rojos,
Cuello de nácar y marmóreo seno.

Siempre que llego a verla, me palpita
Acelerado el corazón ardiente;
Me parece que sueña, que medita,
Y que espera mis besos en su frente.

Es púdica, romántica, graciosa,
Y en contra de su **** y su hermosura,
No puede ser infiel ni ser curiosa,
Ni mentir, ni gastar, ni ser impura.

Después de que a Occidente el sol resbala,
Y su luz melancólica pardea,
Y esconde la cabeza bajo el ala
El ave que en los árboles gorjea;

Cuando aparecen nítidas y bellas,
Derramando sus vividos fulgores,
Esas, que siempre están, blancas estrellas,
En eterno coloquio con las flores;

Cuando al loco rumor con que ensordece
A la incansable muchedumbre el día,
Sigue el hondo silencio en que parece
Que están el sol y el mundo en agonía:

Entonces, en mi alcázar de amargura,
Que jamás el amor viste de gala,
Contemplo a la deidad cuya hermosura
Decora el muro de la humilde sala.

¡Cómo anima la sombra suavemente
Sus pupilas tan dulces y serenas!
¡Cuál tiñe de carmín su casta frente
La sangre que no corre por sus venas!

Parece que me ve, que se retratan
Mis ojos en los suyos siempre bellos,
¡En sus ojos de rayos que no matan.
Porque no está la tempestad en ellos!

Ojos que irradian fe, paz y bonanza,
Con la celeste luz en ellos presa;
Al que los mira infunden esperanza,
Y casta devoción al que los besa.

Cuántas veces, mirando cara a cara
A esta mujer, capricho del artista,
He llegado a pensar: «Si abandonara
El lienzo en que aparece ante mi vista,

»Y viera convertirse en un momento
En verdad la ficción sobrando altiva,
Fuerza, calor, lenguaje y movimiento,
Tornándose mujer y estando viva,

»¿Causará entonces a mi pecho herido
Este entusiasmo que a sus pies me trae?»
¡Ah! ¡yo sé que al amor sigue el olvido!
¡La flor más bella se marchita y cae!

Yo sé que el fuego que la carne abrasa,
Se torna en humo y en ceniza fría.
¡Todo se rompe, y atosiga, y pasa
Como el resabio del placer de un día!

Y sé que aquel amor dulce y callado
Que vierte en la niñez sus embelesos,
Es la estrella inmortal del bien pasado,
Encendida entre lágrimas y besos.

Mas del extraño amor que al pecho inspira,
Esta muda beldad, ¿cuál es el nombre?
¿Es sólo verso cuando está en la lira?
¿Sólo palabra cuando está en el hombre?

¿Es brillante ilusión que se derrumba
A un abismo sin fondo ni medida?...
¡Es como el fuego fatuo de la tumba,
Que sólo puede arder donde no hay vida!

Pigmalión, adorando a Galatea,
A este secreto amor le imprime norma;
Para llegar al culto de la idea,
Hay que entrar por el culto de la forma.

¿Es dulce, es melancólica, es hermosa?
Pues no exijamos más, basta con eso;
El amor, cual la abeja, va a la rosa:
Sólo busca la boca para el beso.

Mejor que nada exista en esa frente,
Ni en esos labios de encendida grana;
Huyo del sol en el zenit ardiente,
Y lo busco al rayar de la mañana.

Nada que incendie, nada que destruya
Nada que canse, nada que carcoma;
Si queréis un amor que no concluya,
Todo fe, todo ensueño, todo aroma,

Pensad, al resolver cuestión tan seria.
Que la beldad encubre un esqueleto
Que polvo será al fin, porque es materia:
Pedidlo al arte y lo hallaréis completo.

Al arte, sí, que en medio del abismo,
Que todo lo amortigua y lo devora,
Ni engaña, ni atosiga, siendo el mismo
En la sombra y la luz, a cualquiera hora.

Es la existencia en dichas tan escasa,
Que cuanto abarca en su mejor destello,
Todo se rompe, languidece y pasa:
¡Todo, menos el culto por lo bello!
Decir adiós... La vida es eso.
Y yo te digo adiós, y sigo...
Volver a amar es el castigo
de los que amaron con exceso.
Amar y amar toda la vida,
y arder en esa llama.
Y no saber por qué se ama...
Y no saber por qué se olvida...
Coger las rosas una a una,
beber un vino y otro vino,
y andar y andar por un camino
que no conduce a parte alguna.
Buscar la luz que se eterniza,
la clara lumbre durarera,
y al fin saber que en una hoguera
lo que más dura es la ceniza.
Sentir más sed en cada fuente
y ver más sombra en cada abismo,
en este amor que es siempre el mismo,
pero que siempre es diferente.
Porque en sordo desacuerdo
de lo soñado y lo vivido,
siempre, del fondo del olvido,
nace la muerte de un recuerdo.
Y en esa angustia que no cesa,
que toca el alma y no la toca,
besar la sombra de otra boca
en cada boca que se besa...
Leydis Jul 2017
¿Por qué me lo preguntas?
¿Acaso, no sentiste, como te entregue una nueva vida al besarte?
No sé qué significo el beso para ti.
Pero para mí ese beso insospechado;
ese arrebato de tu hombría que me incita,
esa valentía de robarme ese beso…..¡me regreso a la vida!
Te bese, como beso Adán a Eva, cuando la encontró a su lado.
Te bese con asombro,
Te bese con gratitud,
Te bese con toda la magia de mi universo,
Te bese sin medidas,
Te bese como si fuera a escondidas,
Te bese con la misma ternura que beso Martes a Venus ,
Te bese como besa Dios las nubes antes de volverla lluvia.
¿Qué significo ese beso?
Fue darte el permiso de escribir poesía en mis labios,
Maravillarme de tu dulce y sutil verso,
que fue destacando las prosas que creabas con mi boca sedienta,
al guiarlas con la pluma de tu lengua, con cual eficaz corolario,
sentir la calidez de la miel y leche que llevas en los labios.
Fue permitirme perderme de amor en tus brazos,
perdida en tu regazo que me ataban a calor de tu cuerpo,
con tus manos derrumbando cada parte de mi ego, de mis miedos.
El olor de tu saliva,
de tu cuerpo palpitando,
de tu piel húmeda con olor a lluvia de mayo,
fue rimando sin interferencia, hasta que me otorgaste, la transcendencia que siempre he anhelado.
Que significo ese beso?
Fue darte ciegamente la semilla de mi siembra para la cosecha cual tanto he cuidado.
Fue darte permiso a pulir las astillas de un pasado cual con recelo había guardado.
Fue encresparme en tu esencia dejando detrás toda mis dolencias.
Fue beber de tu influencia, que fue llenando mis espacios con divina esperanza;
de volver amar con potencia,
de volverme a entregar con reverencia,
de amar sin prudencia,
de atarme a la idea de besar así mientras exista vida en mí.
Fue darme cuenta que todavía existía una mujer vibrante en mí,
Fue darme cuenta, que tu hombría, era lo que necesitaba mi vida, ávida de un amor sincero,
de un beso con apegos, con respeto, con ternura, con locura, con desatada e incoherente pasión,
Eso es lo que significa el beso para mí.
Gracias por ese beso y en el.... devolverme la vida.
LeydisProse
7/7/2017
https://www.facebook.com/LeydisProse/
Leydis Jan 2018
Ni niña, ni inexperta,
ni ilusa, ni deslumbrada
pero cuando él me besa;
me da hipertensión,
se aceleran los latidos de mi corazón,
se me entra una convulsión,
se eleva mi cuerpo hacia él,
se me nubla la vista de su ser,
se abrasa mi cuerpo en sus brazos,
pierdo noción del tiempo y del espacio,
casi siempre se me sale un zapato,
mis sostenes no se sostienen,
mis bragas sola se deslizan,
mis brazos se debilitan,
y si,
me vuelvo un poco niña
un poco inexperta
un poco ilusa
completamente embelesada,
enamorada y excitada
cuando me besa
mi hombre sabor a fresa.

LeydisProse
1/12/2018
https://m.facebook.com/LeydisProse/
Shauna Bendel Jul 2017
Flores crecen en nuestro cielo, donde el amor baila a la luz de la luna de los sueños. Mi querida, besa la noche nuestra despedida para despertar la llama del mañana y sanar a los vivos cuando nos quedemos dormidos.
Felix Andlar Mar 2019
Deja que mis ojos te beban,
mientras la luz besa tu piel.
Es mi corazón el que asilas
En el verde de tus pupilas,
Y tus labios de miel.
Deja que mis ojos te beban.
DAVID May 2018
El placer inherente
Y adictivo de mirarte

cierro los ojos y apareces
Y mi mente te besa entre
silencios

Y en tus ojos de miel
Hay un brillo adorado

Y el sabado llega rapido
Pues tus ojos hablan

de ese brillo de saberte
Entenderte y reconocerte

y tus labios rojos y fecundos
Me roban las miradas

besarlos y volverlos mios
Lentamente, Y a mi pecho
conectaste esa Fecunda mirada

Tus ojos y los mios
En una frecuencia que
te vuelve amada

Y los lunares de tu espalda
Marcan un rastro
Un sendero, el camino
En un viaje compartido

Y los de tu estomago y
Tu pecho, mi sendero al
Paraíso

Mi cuerpo brilla al notar
Que fuiste violentamente
Amada

Tierna y violentamente
Nos unimos en silencio

Tu alma brilla en la
oscuridad d tu cama

Y de tus labios salen besos
Silentes, de mujer enamorada

Y de tu cuerpo sale el
mar Mientras te abres

Y mis besos beben de tus
Labios, d lis y miel

Mientras tus ojos sienten
la verdad, y ves el todo

Y tus rios y tu selva, calman
La sensual llamarada

Una llama que tu enciendes
Con tus ojos y tu cuerpo

luego apagas, con tus labios
De mujer enamorada

Mi cuerpo huele al tuyo
Y te recuerda en silencios

en sielncios que tu rompes
Al pensarme desde lejos

Y el placer de mirarte
Sin cadenas ni lazos,
Solo el que usas al amarme

Eres libre y adorada
Y como una gran leona,
eres violentamente amada

Y te muerdo suavemente
Mientras te amo en silencios


Silencios que se rompen, con
Tu labios rojos

Y de ellos mana tu tonada,
El rugido de una leona,
fuerte Completa y adorada.
Beats on the placer of a look.
Translation on hold
Las ondas tienen vaga armonía,
las violetas suave olor,
brumas de plata la noche fría,
luz y oro el día;
yo algo mejor;
¡yo tengo Amor!Aura de aplausos, nube radiosa,
ola de envidia que besa el pie,
isla de sueños donde reposa
el alma ansiosa,
dulce embriaguez:
¡la Gloria es!Ascua encendida es el tesoro,
sombra que huye la vanidad.
Todo es mentira: la gloria, el oro;
lo que yo adoro
sólo es verdad:
¡la Libertad!
Así los barqueros pasaban cantando
la eterna canción
y, al golpe del remo, saltaba la espuma
y heríala el sol.
-¿Te embarcas?, gritaban; y yo sonriendo
les dije al pasar:
-Yo ya me he embarcado; por señas que aún tengo
la ropa en la playa tendida a secar.
Asiento de musgo florido
sobre el viejo brocal derruido.
Sitio que elegimos para hablar de amor,
bajo el enorme paraíso en flor.

¡Ay, pobre del agua que del fondo mira,
tal vez envidiosa, quizás dolorida!
¡Tan triste la pobre, tan muda, tan quieta
bajo esta nerviosa ramazón violeta!

-Vámonos. No quiero que el agua nos vea
cuando me acaricies. Tal vez eso sea
darle una tortura. ¿Quién la ama a ella?
-¡Tonta! ¡Si de noche la besa una estrella!

— The End —