Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Jan 2015
Senja djakarta enam belas januari dua ribu lima belas . di hadapan leptop , aku merangkai kata demi kata untuk menghasilkan sebuah karya yang indah . ku tatapi sekelilingku ... benda mati , sepi, lengang ... andai printer yang disampingku itu berbicara... gunting itu berkata, dan pulpen ini berteriak , akan aku ceritakan sebuah kisah klasik ini di hadapan benda-benda itu . entah apa yang aku rasakan saat ini . abstark sepertinya . aku pernah berangan-angan menikmati teh rosela bersama bapakku didalam dekapan senja hangat mengantarkan mentari itu pulang  , dalam dekapan . bapak yang aku rindukan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini . Maafkan aku mama, aku tidak pernah serindu ini kepada bapakku . tapi percayalah , kedudukanmu dihatiku selalu ku prioritaskan bak malaikat yang selalu menjagaku setiap hari . Mama... bisakah engkau wakilkan rasa ini kepada bapakku , bahwa aku ingin mencium tangannya . kemudian ia tersenyum merasakan hangat cinta anakknya .

rasa apa yg lebih berarti daripada menahan rindu ini , menahan rindu akan sosok bapakku yang genap 8 tahun sudah tidak pernah menyapaku lagi . aku tidak ingin mengingatnya dengan kenangan buruk , tetapi aku akan mencoba menguburnya ,dan ini lah saatnya aku menjadi pribadi yang berubah .

bapak, tahukah engkau pak , aku sudah beranjak dewasa, dr dewasa itu aku menemukan siapa diriku sebenarnya . sadar bahwa aku bukanllah apa-apa tanpamu pak . sadara bahwa aku di dunia ini karena mu dan ibu . maafkan aku yang tidak pernah mendegarkanmu .

Senja ... saksikanlah bahwa aku ingin sekali bapak duduk di pelaminan bersama ibu , dan aku berada tepat di bawah kakiknya . sembah sungkem merestui pernikahanku bersama pria yang dikirimkan ALLAH untukku .
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Waktu aku kecil
Dunia adalah kubus empat belas inci
Yang menayangkan gambar warna-warni
Penuh imajinasi
Waktu aku kecil
Dunia adalah permen loli warna pelangi
Merah jingga kuning hijau biru nila ungu menari
Rasanya manis seperti senyum mentari
Waktu aku kecil
Dunia adalah bulir-bulir air hujan
Yang jatuh mengaliri selokan
Disambut riang tawa kawan-kawan
Waktu aku kecil
Dunia adalah daun-daun kering
Tertiup angin ketika fajar menyingsing
Lalu berputar seperti gasing
Waktu aku kecil
Apalah arti politik dan ekonomi
Tak mengerti sengketa dan perang sana-sini
Yang aku mau boneka Barbie!
Sekarang..
Waktu dan Aku sudah tidak kecil lagi
Waktu tambah berisi
Aku bertambah tinggi
Harus lalui gejolak emosi
Tak bisa bicara seenak hati
Harus menyadari
Banyak tanggung jawab masih menanti
Waktu..
maukah berputar bersamaku?
Biarkan angin bertiup
Kembali ke masa itu
Aridea P Nov 2011
Palembang, Kamis 6 Januari 2011

Hari ini aku seneng banget
Aku sedang dekat dengan seseorang
Dan aku tak yakin menyebutnya cinta
Karena aku tuk saat ini tak percaya dengan cinta

Cinta memang indah sih
Tapi aku sedang tidak beruntung saat aku dengan mantan
Aku sekarang bisa merasakan dua belas rasa cinta
Sayang, kangen, senang, kecewa, cemas, marah, perih,
sedih, menyesal, bimbang, benci, dan lain-lain
Oleh karena iti aku tak sanggup bertemu cinta
Lebih baik tunggu saja hingga aku siap

Tapi bila aku mendapatkan satu kesempatan lagi
Aku berjanji tuk mengambilnya
Tak akan ku sia-siakan kesempatan itu
Sungguh aku berjanji

Aku tak sanggup untuk bercerita tentang nya
Karena ku takut rasa itu akan berubah
Dan yang ku rasa akan berbeda
Pasti itu akan menyakiti hatiku
Sangat

Dan yang manusia tahu
Mereka tidak mau tersakiti
Apalagi oleh cinta :)
Noandy Jun 2016
Antara aku dan Beethoven
Tidak ada kamu

Aku tidak mendengarmu dalam
Sonata Terang Bulan
Kamu tidak meredam dan menelan
Kesedihan, pun kepedihan

Kamu tidak memantulkan
Wajah remang bulan
Kala gugurnya di
Hilir redup sungai

Kamu berteriak
Terlalu lantang
Di malam hari

Sedang antara aku dan Beethoven
Tidak ada kamu
Kami menjalin kesedihan
Berdua saja

Aku dalam kata
Beethoven,
Dalam denting

Kamu berteriak
Terlalu lantang.

Sayangnya
Kami tidak mendengar
Jeritanmu
Kami tidak mau mendengar
Amukmu

Piano Sonata nomor empat belas,
Kuhanyutkan surat tak berbalas.

Di C kres minor,
Aku takut ia terdampar,

Opus dua puluh tujuh nomor dua,
Karena kau jeritkan amuk tanpa duka.
Wörziech May 2014
e com a falta dos ventos vindos do sul,
deixa conscientemente de sentir a liberdade de rodar estradas a fora.

Somente paira nele o interesse por presenciar ares históricos
e as tonalidades azuis entardecidas de trilhas já traçadas pelas correntes em Istambul.

Há de se dizer que peculiarmente nesse instante,
percebe, nele próprio, pontuações apanhadas
que sua adorável gaita não tardaria a memorar:

Não é como o desconhecimento prévio
de uma viagem antiquada;

Tampouco uma imitação da intermitente angústia
pela eclosão de sentimentos vendidos em cápsulas;
Menos ainda assemelha-se com as incertezas graduais
que ocasionalmente acercam uma mente amada;

Incomparável é àquela perda do título real
concedido pelos grifos dos selos já borrados,
jogados sobre a mesa e observados em companhia
de aspirações psíquicas,
sentida em uma insana tarde corroída pelo vício.

É, em verdade,
o ruído, abafado e sintetizado,
dos restos talhados em um porão sempre a oeste,
através dos trompetes, de fumaça e metal,
regidos em orquestra pelo grupo
Camaradas do Estado Mundial.

Uma sequência sonora que perdura a narrar uma bela ficção.
A trajetória dum velho chamado Cristóvão a desbravar,
com pensamentos amenos,
terras sem dono e de corpos sem coração.
A bela construção ideológica de utilizar a dor de seus pés
para tornar esquecida aquela no peito,
provocada pelos seus negros palpitantes pulmões.

Enredo a cantarolar sua bravura por abandonar o grande cavalo
não mais selvagem autônomo e colocar-se frente ao sol túrgido no
horizonte;
desdobrando uma desregrada peregrinação atormentada pela poeira em sua narina e uma ocasional perca de controle promovida
por uma tosse ora doce, ora amarga.

Sempre em sintonia com as batidas de uma nota perdida,
adentrando o território de brasões a cores e a gesticular com gentis ramos de um mato esquecido,
vira caminharem ao seu lado alguns dos seus mais queridos juízos.

Precisamente com seu conjunto de novos e velhos amigos, o calor do espaço ele agora prioriza sentir;

De pés descalços, somente se concentra em seu ininterrupto primeiro passo,
deixando de lado o frenético, deliberado e contínuo deslocar de aço
através das regulares e vagas pontes asfálticas pelas quais todos os dias ele fatalmente necessitava deixar suas despersonalizadas pegadas;
pontes que continuam a apontar o caminho plástico e pomposo
para o estável mundo das mais belas famílias a venderem, amontoadas,
suas próprias almas à beira da estrada rígida e sem graça.

*"Viajará fora das estradas!"
Victor Marques Jul 2012
Os Homens e a natureza!

Quando me levanto sem o toque do galo, com o despertador de forma assustadora. Vejo um novo dia de eterna graça e bênção para todos aqueles que por um motivo se entrelaçaram em minha vida. Os comboios, aviões, carros seus ruídos e rapidez nos fazem cavalgar por imensos lugares que outrora eram esquecidos no tempo.
A natureza diferente de nós homens acorda com sinfonias de pássaros, grilos e rãs!
A ganância consome corações rotineiros e injustiçados de homens sem valor que são falsos profetas de um tempo sem ser tempo, de um mundo maltratado por esses mesmos homens,
Que se vestem de fato e gravata e exploram seus semelhantes.
Enquanto o homem se esquecer de que todo o seu irmão nasce, vive e morre por uma vontade sublime da criação de um Deus infinito. Por de lado o amor pelo luxo, dinheiro, poder e plena satisfação pessoal.
A natureza sim é plena, gratuita, nobre, singela. A harmonia de vales e montes sonolentos motivos de meditação, sustento e um amor infindável com seu criador me bafeja hinos cantados com belas harpas do tempo de David.

Um mundo de homens que deixam de ser homens, que o tempo deixa de ser tempo e que a natureza é mal-amada geram uma desconfiança e um sofrimento em todos os seres humanos que labutam por dias melhores na rotina do nosso tempo.

Ensinamentos de cada pedra que se pisa, de cada ave livre que esvoaça no céu, dos golfinhos que comunicam sem o homem os entenderem…

Victor Marques
Victor Marques Apr 2012
Comboio do Destino

Não sei que fogo me aquece,
Não sei que chama me alumia,
Sinto que algo me fortalece,
Esperança de algo que perdia.

Num comboio bastante maltratado,
Sinto um sentimento forte,
Viajo um presente já passado,
Destino ou minha sorte.

O comboio começa a andar,
Nem vai depressa, nem devagar,
Colinas verdejantes, belas paisagens,
Para trás ternas imagens.

Palavas com cisnes eu te vi,
A sonhar eu adormeci.
No comboio do destino estou sem demora,
Vou acordar com a brancura da aurora.

Victor Marques
Victor Marques Oct 2010
Nasceste para mim


Nos altares sagrados pousam brancas pombas,
Nasceste entre as mais belas flores.
A tua frescura enlace das minhas loucuras,
Rouxinóis com penas de várias cores.

Beijo os teus lábios toda a vida,
Bendito Outono que te trouxe.
Olhos castanhos tão doces,
Nasceste para mim minha querida.

A lua dorme sem minha companhia,
Os anjos cantam vestidos de branco,
Nasceste para mim com alegria,
Tão suave é teu canto.

Vejo-te neste espelho aberto,
Os pecados eu sinto,
Amor terno, distinto,
Nasceste para mim no deserto.


Victor Marques
Victor Marques Oct 2013
ADORMECIDO NOS SONHOS VIVIDOS

Entre margens dos rios conhecidos,
Sonho com sonhos vividos.
Anseios nobres e sonolentos,
Adormecido em quentes mantos.

Serei sepultado com folhas mortas,
Com videiras, oliveiras, belas hortas.
No ermo ressuscitarei feito luz,
Com a bandeira do amor a Jesus…!

Tenho um carinho excelso pelas gentes singulares,
Feitas de um amor e seus sentidos olhares.
Paraíso de saudades já vividas,
Memórias nunca esquecidas.

Recordações de tudo que me apaixonou,
Da terra que sempre me amou.
Horas paradas nos salgueiros do ribeiro,
Sou do Castanheiro…

Um abraço com carinho e amizade
Victor Marques
terra, nascimento,douro,Castanheiro
adorating Jun 2019
Yogyakarta, 16 Juni 2019.


Temanku tersayang,

Mudahnya begini, aku tidak akan pernah berhenti mengucap syukur atas hadirnya kamu di hidupku. Dari perhatian kecil yang kamu berikan hingga tetes air matamu yang jatuh ketika aku terpuruk, ikut merasa sedih atas apa yang aku rasakan. Mungkin aku dan kamu tidak selalu menghabiskan waktu bersama, kemudian merasa tertinggal setelahnya ketika salah satu tengah sibuk dengan hal lain. Aku percaya kamu peduli denganku tanpa dibuat-buat juga tanpa paksaan. Ada banyak yang ingin aku sampaikan, namun guratan hitam di atas putih ini bukan tentang aku. Ini untuk kamu.

Kita memang tidak baru bertemu dan kenal kemarin sore, tetapi fakta tersebut juga tidak dapat memungkiri bahwa aku masih merasa belum mengenal kamu dengan baik. Entah aku yang selalu merasa kurang atau memang kamu kurang pandai dalam berbagi sedih. Aku paham sebaik-baiknya kamu sebagai seorang teman, sahabat, anak, kekasih, atau manusia secara umum. Ada banyak khawatir yang kamu pikirkan, sebab kamu tidak ingin orang lain menjadi khawatir akan kamu, maka disimpanlah semua sedih yang kamu rasa. Bukan menjadi masalah besar, sebab aku juga paham bahwa kamu berhak untuk menyimpan apa yang ingin kamu simpan dan membagi apa yang ingin kamu bagi. Aku juga tahu bahwa mungkin aku tidak akan selalu menjadi pilihan pertama kamu dalam berkeluh kesah. Juga tidak menjadikan ini masalah besar untukku, sebab seperti yang aku katakan, aku mengerti. Ingin aku tekankan pada bagian ini bahwa aku ingin kamu baik-baik saja.

Sepanjang kamu hidup ini, temanku, akan ada banyak asam dan garam yang harus kamu cicipi. Semoga kegemaran kamu dalam menyantap mie instan jadikan kamu tahan dalam hal ini, ya. Sejujurnya, yang barusan tidak lucu, tapi tetap aku tulis. Juga, yang barusan dirasa tidak penting, namun aku terlalu malas memperbaiki. Nantinya mungkin akan ada banyak lelah yang harus kamu rasakan, termasuk menitikkan air mata sebab tidak ada kalimat yang mampu menjelaskan semua. Tidak apa-apa, ya? Aku percaya, kamu lebih dari kuat dan mampu menjalani hidup kamu. Semakin kamu bertambah usia, semakin kamu dewasa, semakin kamu akan paham bahwa memang ada saatnya hidup menyuguhkan banyak pertanyaan. Tidak semuanya punya jawaban dan tidak semua jawaban dapat diterima oleh akal. Sebab hidup adalah berproses dan kamu akan terus tumbuh.

Terkadang kamu sudah melakukan semua yang kamu bisa, mengusahakan semua yang kamu mampu, atau memberi semua yang kamu punya, tetapi itu juga belum cukup. Bukan berarti kamu tidak cukup, kamu selalu cukup, kamu selalu lebih dari cukup. Sebagian tidak akan pernah merasa cukup meskipun ketika mereka memiliki segalanya. Hidup bisa jadi lucu seperti itu. Semoga dengan begitu, kamu akan tetap bisa tertawa meski sedang ada sulit yang harus kamu lalui. Terlepas dari sulit tersebut, aku harap kamu akan selalu diiringi dengan bahagia, kemanapun kamu pergi.

Aku tidak tahu kapan kamu akan membaca kata merangkai kalimat yang aku tulis ini. Aku bahkan tidak dapat memastikan apakah aku akan mengirimkannya pada kamu secara langsung. Tapi tepat saat aku memulai paragraf ini, waktu sudah menunjukan tepat pukul dua belas malam. Hari sudah berganti. Bersamaannya dengan ini, bertambah juga satu tahun usia kamu sekarang. Mungkin kamu sedang tertidur, atau tengah dalam panggilan dibanjiri dengan banyak ucapan selamat ulang tahun. Bertambahnya satu angka pada usiamu juga diharapkan kamu menjadi lebih kuat, sebab akan ada lebih banyak tanggung jawab yang harus kamu bawa. Ini tidak melulu soal bertambah tua, melainkan bertambah dewasanya kamu dalam hidup.

Selalu, temanku, doa terbaik aku panjatkan untuk kamu. Sekecil apapun hal yang kamu lakukan di dalam hidupku ini, kamu berarti besar. Selalu, aku ingin bahagia berada di pihakmu. Terima kasih sudah bertahan dan ada. Terima kasih untuk tahun-tahun kita berteman. Terima kasih untuk waktu dan kesediaanmu dalam mendengarkan. Terima kasih untuk kamu.

Selamat ulang tahun.


Salam sayang,
temanmu.
Victor Marques Oct 2013
Vivemos num sono profundo

Os rios correm sem parar,
As estrelas enlaçadas no luar.
Ser comum de viver vagabundo,
Embriagado num sono profundo.

As montanhas inertes, transformadas,
Arvores mal tratadas.
Borboletas que poisam sobre as flores,
Riachos sem rouxinóis reprodutores.

Joio e as belas searas aloiradas,
Uvas e suas lagaradas.
Alegria e tristeza neste mundo controverso,
Caminhar num caminho incerto.

Estalar de dedos sobre sobreirais do destino,
Vaguear nos sonhos de menino…
As ervas daninhas e as grandes constelações,
Me adormecem com um sono de ilusões.

Victor Marques
sono, acordar,realidade
Victor Marques Jan 2016
Recorda  o que de bom viveste....


Comecei por fazer um pequena viagem ao reino do meu ser...tentei neste grande trajecto descobrir as afinidades e singularidades do meu ser. Nesta viagem ímpar e impiedosamente sincera terá um relevo especial tudo o que me toca e apaixona de uma forma continua e desmesuradamente bela.

    Como não poderia deixar de ser, esta minha viagem completa um percurso começado há muitos anos. Num pequena aldeia de Carrazeda de Ansiães, Castanheiro do Norte nasci para gáudio de meus progenitores.
Durante anos fui um menino feliz jogando pião, bola de trapos, usei socos de pau duro, livros, estudei,escrevi muita poesia e sempre olhei para aquele horizonte tão belo que desde o primeiro dia me apaixonou.

     Aprendi a gostar dos nossos, vinhedos, olivais,montes de sobreiros, torgas , giestas, zimbros.
Fazia caminhadas com meus amigos do **** masculino e íamos todos felizes tomar banho ao rio Tua, passando pelo Gavião e descobrindo sempre e sempre uma beleza intimamente rejuvenescedora .
As  coisas simplesmente belas estavam ali sem querer contrapartidas, para serem simplesmente observadas por quem as queria sempre ver...

      Nesta viagem existe sempre a vontade de regressar, de olhar para tudo que aqui temos com mestria, carinho  e porque não com amor eterno.
As pessoas que se encontram nesta viagem nos ensinam a viajar com cuidado, com sabedoria, com uma leveza de seres excepcionais que procuram nesta vida uma felicidade ligada ao meio envolvente de suas terras, de seus lugares preferidos que perduram nas suas mentes.

Um abraço amigo.
Victor Marques
JUVENTUDE , TERRA
Victor Marques Apr 2013
O AMOR DE JESUS


Nos corredores do paraíso,
Nas ondas e no vento,
No meu pensamento,
No amor sereno e sem abrigo,
No colar desprotegido,
Nas ilhas de outrora,
No amor de Jesus que sempre ora…

No azul do céu transparente,
No futuro e no presente,
Nos pássaros, nos rios e mar,
Nas formas belas do luar,
No lusco-fusco, na madrugada,
Na veleidade, nos canaviais,
No amor de nossos pais.

Nos lagos adormecidos,
Nos sonhos vividos,
No amor, na compaixão,
No pobre, no bom ladrão.
Existe um amor eterno que me conduz,
O amor do BOM JESUS…
Victor Marques
Dayanne Mendes May 2014
Eu não sei o que sentir,
É tudo tão vago.
Por aqui, ele me disse.
Olhe as rosas, tão belas quanto você,
Teu perfume é melhor com certeza,
A doçura delas se perdeu ao ver
Que o meu amor era teu.
Rimas e rimas depois,
Vinhos mais tarde,
Era você e uma moça
No parque
Não eu!
Victor Marques Jan 2015
DESTINO QUE É DESTINO

Antigos sonhos que se sonharam,
Amores que passaram.
Gotas de orvalho cristalino,
Destino que é destino.

Paixões turbulentas e calmas,
Cavernas que já foram cavernas,
Doenças que são grandes traumas,
Destino e paz às almas.

Sentimentos sem ter prazo,
Comboios no cais do acaso,
Saudades do tempo que passou,
Destino daquilo que fui e sou.

Avezinhas cantam belas melodias,
Suaves com suas crias,
Embalado na corrente do rio Tua que ainda corre,
Destino meu que não morre…


Alijó, 22 de Outubro de 1991
Victor Marques
Destino, eu, sou
Victor Marques Feb 2012
Cataratas

Elas são vaidosas,
Nas montanhas rochosas,
O seu legado é eterno,
Fáceis de descer puro engano.


A sua beleza não é minha,
Pedras jazem desfeitas,
A água que salpica,
Estranha farsa,
A água de cair não se farta,
Ritmo que incita.

A natureza posa por amor,
Que belas e exuberantes,
Assustam o mais temível conquistador,
E deliciam as nossas mentes.

Victor Marques
Victor Marques Sep 2018
Olhava para as mais belas rosas,
Todas pareciam formosas...
Vi alguns cravos brancos e avermelhados,
Em campos vadios sem ser semeados...

Parece que o amor nasce no horizonte,
Gazelas bebem numa pequena fonte,
Ao acaso e sem pedir nada a alguém,
Olhar uma água de ninguém.


O amor parece o universo do bem,
Vai embora sem dizer a sua mãe,
Eu já tive amor sem o perceber,
Olhei para o livro sem letras para ler...

Ai enamorados seres que se perdem com o amor,
Confissões feitas a nosso Deus e Senhor,
Nas mais belas estrelas do universo,
Vi lençóis brancos em verso …
  
Victor Marques
amor, nasce, morre, também
Como é escasso o sorriso
sem brilho e frio
Há alguma coisa ebulindo
uma bomba
Mas não, eles não sairão de lá
nunca explodirão
pois não existem sorrisos
bocas se movem em formatos semelhantes
sem dentes e podres
toxinas exalam-se,
o veneno é o licor divino
o paraíso é logo abaixo da ponte
não se dorme no paraíso
se ao menos conseguissem dormir...
mas os putrefatos corpos que andam parasitando
consumindo restos e ruínas
patifes e loucos bailam a vida
vida que não é vida
O perfume está no ar
as flores são tão belas
as abelhas não tem ferrões
e se tivessem não ferroariam
a jovem virgem caminha exuberante
fotografias da bela matriz
onde a arquitetura supera a fé
mas ao lado, no canto escuro
onde ninguém vê
canta o homem escuro
que a todos observa
observa e observa....
Olhei o exterior, a descoberto, no costume dos dias,
Olhar de lince, penetrou perante os espetros ocultos,
Tudo aquilo que se via, imaginava real, o que fazias,
E porque o era, nada mudava afinal nesses vultos!

Sem medos, nem costumes delirantes, tudo era normal,
As sombras não se escondiam nas penumbras do dia,
Nem o sol deixou de brilhar no pleno dia que eu vivia,
Acordar de criança, desejoso de o ser, como água termal!

Perdeu-se o tempo, constrangido com riscos e desafios,
Falava-se de tudo e para todos, sem nosso silêncio crismal,
Aquelas vestes de antigamente, tribunal, hoje é ponto final!

E a realização dos sonhos são isso, desafios lógicos e sentimentos,
Delira o corpo, com o satisfazer da mente, coisas duradouras e belas,
Se cresce desejo, se sonho quando te vejo e aprecio teus encantos,
Solto-me no ar, voando e planando, pelas nossas vestes, paralelas!


E longe te aperto aqui, mundo que conheci, seguro no bolso,
Seu fecho de saco impermeável e por demais, mais durável,
Aquece-me o presente, com sonhos para futuro, sustentável,
E, teus sonhos, meus, minha, vida tua é sem troca ou reembolso!

Autor: António Benigno
Código de Autor: 2013.10.02.02.26
A Jun 2019
Malam itu,
Ia memperlakukanku bak seorang putri
Kami berjalan-jalan berkeliling kota
dengan sepeda motor
Yang pernah ia ceritakan,
motor itu dibelikan ayahnya ketika ia berusia delapan belas
Tidak hanya berkeliling kota,
kami juga makan sepuluh tusuk sate padang di gerobak pinggir jalan
Bertukar cerita, bertukar senda gurau, atau bahkan bertukar lelucon yang sebenarnya tidak lucu satu sama lain
Aku suka dengan cara ia menggenggam tanganku,
mengusap lembut pucuk kepalaku,
dan memberikanku senyum terbaiknya

Tentu, tak hanya malam itu
Hari hariku selalu diwarnai olehnya
Sampai akhirnya malam ini,
ia meperlakukan perempuan lain; sama sepertiku dulu
Bedanya, itu bukan aku
Mariana Seabra Jul 2023
Chegaste a mim em forma de argila, num balde de plástico furado.  
Apanhei-te, de surpresa, embrulhada nas ondas do meu mar salgado.  
Estavas escondida, por entre os rochedos, rodeada pelas habituais muralhas que te aconchegam,  
                                                   ­     as mesmas que me atormentam,  
quando levantas uma barreira que me impede de chegar a ti.  

Segurei-te nos braços, como quem se prepara para te embalar. Sacudi-te as algas, e encostei o meu ouvido à casca que te acolhia no seu ventre.  
Não conseguia decifrar o som que escutava, muito menos controlar a vontade de o querer escutar mais. Algo ecoava num tom quase inaudível. Sentia uma vida...uma vida fraca, sim...mas, havia vida a pulsar. Podia jurar que conseguia sentir-te, para lá da barreira, como se me tivesses atravessado corpo adentro.
Ainda não conhecia o som da tua voz, e ela já me fazia sonhar.  

Pulsavas numa frequência tão semelhante à minha!... não resisti,  
fui impelida a chegar mais perto. Precisava de te tocar, precisava de te ver,
     só para ter a certeza se eras real,
                           ou se, finalmente, tinha terminado de enlouquecer.

Se tinha perdido os meus resquícios de sanidade,  
                                                     ­                                   consciência,
                                                                ­                        lucidez,                              
ou se era verdade que estávamos ambas a vibrar,
no mesmo espaço, ao mesmo tempo, no mesmo ritmo de frequência, uma e outra e outra...e outra vez.  

Vieste dar à costa na minha pequena ilha encantada. Na ilha onde, de livre vontade, me isolava.  
Na ilha onde me permitia correr desafogadamente,  

                                             ­                            ser besta e/ou humana,  
                                                       ­                  ser eu,  
                                                           ­              ser tudo,
                                                                ­         ser todos,  
                                                        ­                 ou ser nada.  

Na mesma ilha onde só eu decidia, quem ou o que é que entrava. Não sabia se estava feliz ou assustada! Mais tarde, interiorizei que ambos podem coexistir. Por agora, sigo em elipses temporais. Longos anos que tentei suprimir num poema, na esperança que ele coubesse dentro de ti.

(…)

“Como é que não dei pela tua entrada? Ou fui eu que te escondi aqui? Será que te escondi tão bem, que até te consegui esconder de mim? És uma estranha oferenda que o mar me trouxe? Ou és só uma refugiada que ficou encalhada? Devo ficar contigo? Ou devolver-te às correntes? Como é que não dei pela tua entrada...? Que brecha é que descobriste em mim? Como é que conseguiste chegar onde ninguém chegou? Como é que te vou tirar daqui?”.  

Não precisei de te abrir para ver o que tinha encontrado, mas queria tanto descobrir uma brecha para te invadir! Não sabia de onde vinha esse louco chamamento. Sei que o sentia invadir-me a mim. Como se, de repente, chegar ao núcleo que te continha fosse cada vez menos uma vontade e, cada vez mais uma necessidade.

Cheiravas-me a terra molhada,  
                                                      ­   depois de uma chuva desgraçada. Queria entrar em ti! Mesmo depois de me terem dito que a curiosidade matava. Queria tanto entrar em ti! Ser enterrada em ti!  

A arquiteta que desenhou aquele balde estava mesmo empenhada                                                        ­                                                             
                                 em manter-te lá dentro,  
e manter tudo o resto cá fora. A tampa parecia bem selada.  

Admirei-a pela inteligência. Pelo simples que tornou complexo.  
Pela correta noção de que, nem toda a gente merece ter o teu acesso.

(...)

Vinhas em forma de argila...e, retiradas as algas da frente, vi um labirinto para onde implorei ser sugada. Estava no epicentro de uma tempestade que ainda se estava a formar e, já se faziam previsões que ia ser violenta. O caos de uma relação! de uma conexão, onde o eu, o tu e o nós, onde o passado, o futuro e o presente, entram em conflito, até cada um descobrir onde se encaixa, até se sentirem confortáveis no seu devido lugar.  

Estava tão habituada a estar sozinha e isolada, apenas acompanhada pelo som da água, dos animais ou do vento, que não sabia identificar se estava triste ou contente. Não sabia como me sentir com a tua inesperada chegada. Não sabia o que era ouvir outro batimento cardíaco dentro da minha própria mente,  

e sentir uma pulsação ligada à minha, mesmo quando o teu coração está distante ou ausente.  

No começo, espreitava-te pelos buracos do balde, por onde pequenos feixes de luz entravam e, incandesciam a tua câmera obscura,  

                 e tu corrias para te esconder!
                 e eu corria para te apanhar!
                 e foi um esconde-esconde que durou-durou...
                 e nenhuma de nós chegou a ganhar.  

Quanto mais te estudava, menos de mim percebia. Mais admiração sentia por aquela pedra de argila tão fria. "Que presente é este que naufragou no meu mar? Como é que te vou abrir sem te partir?"

Retirei-te a tampa a medo,  
                                                a medo que o teu interior explodisse.  

E tu mal te mexeste.  
                                  E eu mexia-te,
                                                           remex­ia-te,
                                                           virava-te do direito e do avesso.  

És única! Fazias-me lembrar de tudo,
                                                          e não me fazias lembrar de nada.

És única! E o que eu adorava  
é que não me fazias lembrar de ninguém,  
                             ninguém que eu tivesse conhecido ou imaginado.

És única! A musa que me inspirou com a sua existência.  

“Como é que uma pedra tão fria pode causar-me esta sensação tão grande de ardência?”

(…)

Mesmo que fechasse os olhos, a inutilidade de os manter assim era evidente.  
Entravas-me pelos sentidos que menos esperava. Foi contigo que aprendi que há mais que cinco! E, que todos podem ser estimulados. E, que podem ser criados mais! Existem milhares de canais por onde consegues entrar em mim.  

A curiosidade que aquele teu cheiro me despertava era imensa,                                                          ­                                                

               ­                                                                 ­                  intensa,
                                                                ­                                                       
         ­                                                                 ­                         então,  
                                          
             ­                                                                 ­                    abri-te.

Abri-me ao meio,  
só para ver em quantas peças é que um ser humano pode ser desmontado.

Despi-te a alma com olhares curiosos. E, de cada vez que te olhava, tinha de controlar o tempo! Tinha de me desviar! Tinha medo que me apanhasses a despir-te com o olhar. Ou pior!  
Tinha medo que fosses tu a despir-me. Nunca tinha estado assim tão nua com alguém.  
Tinha medo do que os teus olhos poderiam ver. Não sabia se ficarias, mesmo depois de me conhecer. Depois de me tirares as algas da frente, e veres que não sou só luz, que luz é apenas a essência em que me prefiro converter. Que vim da escuridão, embrulhada nas ondas de um mar escuro e tenebroso, e é contra os monstros que habitam essas correntes que me debato todos os dias, porque sei que não os posso deixar tomar as rédeas do meu frágil navio.  

(...)

Vinhas em inúmeros pedaços rochosos,
                                                                ­             uns afiados,  
  
                                                   ­                          uns macios,

                                                               ­           todos partidos...

Sentia a tua dureza contra a moleza da minha pele ardente,  
E eu ardia.  
                    E tu não ardias,  
                                                 parecias morta de tão fria.  

Estavas tão endurecida pela vida, que nem tremias.  
Não importava o quanto te amasse,  
                                                       ­          que te atirasse à parede, 
                                                        ­         que te gritasse                                                         ­                                                                 ­                    
                                                                ­                            ou abanasse...

Não importava. Não tremias.  

Haviam demasiadas questões que me assombravam. Diria que, sou uma pessoa com tendência natural para se questionar. Não é motivo de alarme, é o formato normal do meu cérebro funcionar. Ele pega numa coisa e começa a rodá-la em várias direções, para que eu a possa ver de vários ângulos, seja em duas, três, quatro ou cinco dimensões.  

"Porque é que não reagias?"  
"Devia ter pousado o balde?"  
"Devia ter recuado?"
"Devia ter desviado o olhar,
                                                      em vez de te ter encarado?"  

Mas, não. Não conseguia. Existia algo! Algo maior que me puxava para os teus pedaços.  
Algo que me fervia por dentro, uma tal de "forte energia", que não se permitia ser domada ou contrariada. Algo neles que me atraía, na exata medida em que me repelia.

Olhava-te, observava-te,  
                                                absorvia-te...
e via além do que os outros viam.
Declarava a mim mesma, com toda a certeza, que te reconhecia.
Quem sabe, de uma outra vida.
Eras-me mais familiar à alma do que a minha própria família.  
Apesar de que me entristeça escrever isto.  

Eram tantas as mazelas que trazias...Reconhecia algumas delas nas minhas. Nem sabia por onde te pegar.
Nem sabia como manter os teus pedaços juntos. Nem sabia a forma certa de te amar.
Estava disposta a aprender,  
                                                   se estivesses disposta a ensinar.  

(…)

Descobri com a nossa convivência, que violência era o que bem conhecias,                                                       ­                                                         
                    então, claro que já não tremias!  
Um ser humano quebrado, eventualmente, habitua-se a esse estado. Até o amor lhe começa a saber a amargo.  

Só precisei de te observar de perto.  
Só precisei de te quebrar com afeto.

Culpei-me por ser tão bruta e desastrada, esqueci-me que o amor também vem com espinhos disfarçados. Devia ter percebido pelo teu olhar cheio e vazio, pelo reflexo meu que nele espelhava, que a semelhança é demasiada para ser ignorada.

Somos semelhantes.  

Tão diferentes! que somos semelhantes.  

Duas almas velhas e cansadas. Duas crianças ingénuas e magoadas. Duas pessoas demasiado habituadas à solidão.  

Só precisei de escavar através do teu lado racional.
Cegamente, mergulhei bem fundo, onde já nem a luz batia,

                                                               ­    e naveguei sem rumo certo  

nas marés turbulentas do teu emocional. E, algures dentro de ti,  
encontrei um portal que me levou a um outro mundo...

Um mundo onde eu nem sabia que uma outra versão de mim existia,                                                         ­                                                         
       ­       onde me escondias e cobrias com a lua.

Um mundo onde eu estava em casa, e nem casa existia,  
                                                      ­            
                       onde me deitava ao teu lado,                                          
                          onde te deitavas ao meu lado,                                                            ­                                            
                    ­            totalmente nua,
      debaixo da armadura que, finalmente, parecia ter caído.  

Creio que mergulhei fundo demais...  
Ultrapassei os limites terrestres,
                                 e fui embater contigo em terrenos espirituais.  

Cheguei a ti com muita paciência e ternura.
Tornei-me energia pura! Um ser omnipresente. Tinha uma vida no mundo físico e, uma dupla, que vivia contigo através da música, da escrita, da literatura…Tornei-me minha e tua!  
Eu sabia...
Há muito amor escondido atrás dessa falsa amargura.  
Então, parei de usar a força e, mudei de abordagem,  
para uma mais sossegada,
                                               uma que te deixasse mais vulnerável,                                                                    ­                                            
         em vez de assustada.  

(…)

“Minha pedra de argila, acho que estou a projetar. Estou mais assustada que tu! Estar perto de ti faz-me tremer, não me consigo controlar. Quero estar perto! Só quero estar perto! Mesmo que não me segure de pé. Mesmo que tenhas de me relembrar de respirar. Mesmo que me custem a sair as palavras, quando são atropeladas pela carrada de sentimentos que vieste despertar…”

És um livro aberto, com páginas escritas a tinta mágica.
A cada página que o fogo revelava, havia uma página seguinte que vinha arrancada. Mais um capítulo que ficava por ler. Outra incógnita sobre ti que me deixavas a matutar.

Soubeste como me despertar a curiosidade,
como a manter,
como me atiçar,
como me deixar viciada em ti,
como me estabilizar ou desestabilizar.  

E nem precisas de fazer nada! a tua mera existência abana a corda alta onde me tento equilibrar.

Segurei-te com todo o carinho! E, foi sempre assim que quis segurar-te.

Como quem procura
                                       amar-te.

Talvez transformar-te,  
                                        em algo meu,
                                        em algo teu,
                                                                ­ em algo mais,
                                                                ­                          em algo nosso.  

Oferecias resistência, e eu não entendia.  
A ausência de entendimento entorpecia-me o pensamento, e eu insistia...Não conseguia respeitar-te. Só queria amar-te!

Cada obstáculo que aparecia era só mais uma prova para superar,  
                    ou, pelo menos, era disso que me convencia.
Menos metros que tinha de fazer nesta maratona exaustiva!
onde a única meta consistia  
                                                   em chegar a ti.
Desse por onde desse, tivesse de suar lágrimas ou chorar sangue!

(...)

Olhava-te a transbordar de sentimentos! mal me conseguia conter! mal conseguia formar uma frase! mal conseguia esconder que o que tremia por fora, nem se comparava ao que tremia por dentro!
Afinal, era o meu interior que estava prestes a explodir.

"Como é que não te conseguiste aperceber?”

A tua boca dizia uma coisa que, rapidamente, os teus olhos vinham contrariar. "Voa, sê livre”. Era o que a tua boca pregava em mim, parecia uma cruz que eu estava destinada a carregar. Mas, quando eu voava, ficava o meu mar salgado marcado no teu olhar.  
Não quero estar onde não estás! Não quero voar! quero deitar-me ao teu lado! quero não ter de sair de lá! e só quero voar ao teu lado quando nos cansarmos de viajar no mundo de cá.  

“Porque é que fazemos o oposto daquilo que queremos? Porque é que é mais difícil pedir a alguém para ficar? Quando é que a necessidade do outro começou a parecer uma humilhação? Quando é que o mundo mudou tanto, que o mais normal é demonstrar desapego, em vez daquela saudável obsessão? Tanta questão! Também gostava que o meu cérebro se conseguisse calar. Também me esgoto a mim mesma de tanto pensar.”

(...)

O amor bateu em ti e fez ricochete,  
                                                    ­                acertou em mim,  
quase nos conseguiu despedaçar.  

Até hoje, és uma bala de argila, perdida no fluxo das minhas veias incandescentes. O impacto não me matou, e o buraco já quase sarou com a minha própria carne à tua volta. Enquanto for viva, vou carregar-te para onde quer que vá. Enquanto for viva, és carne da minha própria carne, és uma ferida aberta que me recuso a fechar.
Quero costurar-me a ti! para que não haja possibilidade de nos voltarmos a separar.

Não sei se te cheguei a ensinar alguma coisa, mas ansiava que, talvez, o amor te pudesse ensinar.  

Oferecias resistência, e eu não entendia.  
Então, eu insistia...
                                   Dobrava-te e desdobrava-me.
Fazia origami da minha própria cabeça  
                                                e das folhas soltas que me presenteavas,
escritas com os teus pensamentos mais confusos. Pequenos pedaços de ti!  
Estava em busca de soluções para problemas que nem existiam.  

"Como é que vou tornar esta pedra áspera, numa pedra mais macia? Como é que chego ao núcleo desta pedra de argila? Ao sítio onde palpita o seu pequeno grande coração?
Querias que explorasse os teus limites,  
                                                      ­      ou que fingisse que não os via?”

Querias ser pedra de gelo,  
                                                  e eu, em chamas,  
queria mostrar-te que podias ser pedra vulcânica.

(...)

Estudei as tuas ligações químicas, cada partícula que te constituía.
Como se misturavam umas com as outras para criar  

                 a mais bela sinestesia

que os meus olhos tiveram o prazer de vivenciar.


Tornaste-te o meu desafio mais complicado.  
“O que raio é suposto eu fazer com tantos bocados afiados?”.  
Sinto-os espalhados no meu peito, no sítio onde a tua cabeça deveria encaixar, e não há cirurgia que me possa salvar. Não sei a que médico ir.  Não sei a quem me posso queixar.
São balas fantasma, iguais às dores que sinto quando não estás.  
A dor aguda e congruente que me atormenta quando estás ausente.
Como se me faltasse um pedaço essencial, que torna a minha vida dormente.

Perdoa-me, por nunca ter chegado a entender que uso lhes deveria dar.  

(...)

Reparei, por belo acaso! no teu comportamento delicado  
quando te misturavas com a água salgada, que escorria do meu olhar esverdeado,
                                  quando te abraçava,  
                                  quando te escrevia,  
                          em dias de alegria e/ou agonia.
Como ficavas mais macia, maleável e reagias eletricamente.  
Expandias-te,  
                          tornav­as-te numa outra coisa,  
                                                        ­              um novo eu que emergia,  

ainda que pouco coerente.  


Peguei-te com cuidado. Senti-te gélida, mas tranquila...
"Minha bela pedra de argila..."
Soube logo que te pertencia,  
                                                    ­   soube logo que me pertencias.  
Que o destino, finalmente, tinha chegado.
E soube-o, mesmo quando nem tu o sabias.

A estrada até ti é longa, prefiro não aceitar desvios.  
É íngreme o caminho, e raramente é iluminado...
muito pelo contrário, escolheste construir um caminho escuro,  
cheio de perigos e obstáculos,  
                                                   ­      um caminho duro,  
feito propositadamente para que ninguém chegue a ti...
Então, claro que, às vezes, me perco. Às vezes, também não tenho forças para caminhar. E se demoro, perdoa-me! Tenho de encontrar a mim mesma, antes de te ir procurar.  

No fim da longa estrada, que mais parece um labirinto perfeitamente desenhado,
                                      sem qualquer porta de saída ou de entrada,
estás tu, lá sentada, atrás da tua muralha impenetrável, a desejar ser entendida e amada, e simultaneamente, a desejar nunca ser encontrada.  

“Como é que aquilo que eu mais procuro é, simultaneamente, aquilo com que tenho mais medo de me deparar?”

Que ninguém venha quebrar a tua solidão!  
Estás destinada a estar sozinha! É isso que dizes a ti mesma?
Ora, pois, sei bem o que é carregar a solidão às costas,  
a beleza e a tranquilidade de estar sozinha.

Não vim para a quebrar,  
                                   vim para misturar a tua solidão com a minha.

Moldei-te,  
                     e moldei-me a ti.

Passei os dedos pelas fissuras. Senti todas as cicatrizes e, beijei-te as ranhuras por onde escapavam alguns dos teus bocados. Tentei uni-los num abraço.
Eu sabia...
Como se isto fosse um conto de fadas…
Como se um beijo pudesse acordar…
Como se uma chávena partida pudesse voltar atrás no tempo,  
                                                        ­      
                                                         segundo­s antes de se estilhaçar.  

O tempo recusa-se a andar para trás.
Então, tive de pensar numa outra solução.
Não te podia deixar ali, abandonada, partida no chão.

Todo o cuidado! E mesmo assim foi pouco.  
Desmoronaste.  
Foi mesmo à frente dos meus olhos que desmoronaste.  

Tive tanto cuidado! E mesmo assim, foi pouco.
Não sei se te peguei da forma errada,  
                            
                              ou se já chegaste a mim demasiado fragilizada…

Não queria acreditar que, ainda agora te segurava...
Ainda agora estavas viva…
Ainda agora adormecia com o som do teu respirar…

Agora, chamo o teu nome e ninguém responde do lado de lá…
Agora, já ninguém chama o meu nome do lado de cá.

Sou casmurra. Não me dei por vencida.
Primeiro, levantei-me a mim do chão, depois, quis regressar a ti
                            e regressei à corrida.  
Recuperei-me, e estava decidida a erguer-te de novo.
Desta vez tive a tua ajuda,
                                                   estavas mais comprometida.
Tinhas esperança de ser curada.
Talvez, desta vez, não oferecesses tanta resistência!
Talvez, desta vez, aceitasses o meu amor!
Talvez, desta vez, seja um trabalho a dois!
Talvez, desta vez, possa estar mais descansada.
Talvez, desta vez, também eu possa ser cuidada.

Arrumei os pedaços, tentei dar-lhes uma outra figura.
Adequada à tua beleza, ao teu jeito e feitio. Inteligente, criativa, misteriosa, divertida, carismática, observadora, com um toque sombrio.

Despertaste em mim um amor doentio!  
Ou, pelo menos, era assim que alguns lhe chamavam.
Admito, a opinião alheia deixa-me mais aborrecida do que interessada. A pessoas incompreensivas, não tenho vontade de lhes responder. Quem entende, irá entender. Quem sente o amor como uma brisa, não sabe o que é senti-lo como um furacão. Só quem ama ou já amou assim, tem a total capacidade de compreender, que nem tudo o que parece mau, o chega realmente a ser.

Às vezes, é preciso destruir o antigo, para que algo novo tenha espaço para aparecer. Um amor assim não é uma doença, não mata, pelo contrário, deu-me vontade de viver. Fez-me querer ser melhor, fez-me lutar para que pudesse sentir-me merecedora de o ter.

Sim, pode levar-nos à loucura. Sei que, a mim, me leva ao desespero. O desespero de te querer apertar nos meus braços todos os dias. O desespero de te ter! hoje! amanhã! sempre! O desespero de viver contigo já! agora! sempre! O desespero de não poder esperar! O desespero de não conseguir seguir indiferente depois de te conhecer! O desespero de não me conseguir conter! Nem a morte me poderia conter!  
E , saber que te irei amar, muito depois de morrer.  

Quem nunca passou de brasa a incêndio, não entende a total capacidade de um fogo. Prefiro renascer das cinzas a cada lua nova, do que passar pela vida sem ter ardido.  

Já devia ter entendido, as pessoas só podem mergulhar fundo em mim se já tiverem mergulhado fundo em si. Quem vive à superfície, não sabe do que falo quando o assunto é o inconsciente.  
Se os outros não se conhecem sequer a si mesmos, então, a opinião deles deveria mesmo importar? Há muito já fui aclamada de vilã, por não ser mais do que mera gente. E, como qualquer gente, sou simples e complexa. A realidade é que, poucos são os que se permitem sentir todo o espectro de emoções humanas, genuinamente, e eu, felizmente e infelizmente, sou gente dessa.

(…)

Descobriste um oceano escondido e inexplorado.  
Um Mar que se abriu só para ti, como se fosse Moisés que se estivesse a aproximar. Um Mar que só existia para ti. Um Mar que mais ninguém via, onde mais ninguém podia nadar. Um Mar reservado para ti. Parecia que existia com o único propósito de fazer o teu corpo flutuar.  

Deste-lhe um nome, brincaste com ele, usaste-o, amassaste-o, engoliste-o
                      e, cuspiste-o de volta na minha cara.

Uma outra definição. Um Mar de água doce, com a tua saliva misturada.
Uma outra versão de mim, desconhecida, até então.  
Um outro nome que eu preferia.
Um nome que só tu me chamavas, e mais ninguém ouvia,  
Um booboo que nasceu na tua boca e veio parar às minhas mãos, e delas escorria para um sorriso tímido que emergia.

(...)

E, de onde origina a argila?
Descobri que, pode gerar-se através de um ataque químico. Por exemplo, com a água. "A água sabe."  Era o que tu me dizias.  

Era com ela que nos moldavas.
Talvez com a água doce e salgada que escorria do teu rosto
                                                   e no meu rosto caía,
                                                   e no meu pescoço secava,

enquanto choravas em cima de mim,
                                                                ­abraçada a mim, na tua cama.

Enquanto tremias de receio, de que me desejasses mais a mim, do que aquilo que eu te desejava.

“Como não podias estar mais enganada!  
Como é que não vias todo o tempo e amor que te dedicava?  
Tinhas os olhos tapados pelo medo? Como é que me observavas e não me absorvias?”

O amor tem muito de belo e muito de triste.  A dualidade do mundo é tramada, mas não me adianta de nada fechar os olhos a tudo o que existe.  

Ah! Tantas coisas que nascem de um ataque químico! Ou ataque físico, como por exemplo, através do vulcanismo ou da erosão.
Quando moveste as placas que solidificavam as minhas raízes à Terra,  
           e chegaste a mim em forma de sismo silencioso,  
mandaste-me as ilusões e as outras estruturas todas abaixo, e sobrou uma cratera com a forma do meu coração, de onde foi cuspida a lava que me transmutou. A mesma lava que, mais tarde, usei para nos metamorfosear. Diria que, ser destruída e reconstruída por ti, foi a minha salvação.
Sobrei eu, debaixo dos destroços. Só não sei se te sobrevivi. Nunca mais fui a mesma desde que nos vi a desabar.  

E, são esses dois ataques que geram a argila. Produzem a fragmentação das rochas em pequenas partículas,  
                                                   ­                                                             
                                                                ­                         umas afiadas,  
                                                      ­                                                        
                                                                ­                         umas macias,
                                                                ­                                                       
         ­                                                                 ­               todas partidas.  

Gosto de pegar em factos e, aproximá-los da ficção na minha poesia.
Brinco com metáforas, brinco contigo, brinco com a vida...mas, sou séria em tudo o que faço. Só porque brinco com as palavras, não significa que te mentiria. A lealdade que me une a ti não o iria permitir.  

É belo, tão belo! Consegues ver? Fazes vibrar o meu mundo. Contigo dá-se a verdadeira magia! Também consegues senti-la?  
Tudo dá para ser transformado em algo mais. Nem melhor nem pior, apenas algo diferente.  

Das rochas vem a areia, da areia vem a argila, da argila vem o meu vaso imaginário, a quem dei um nome e uma nova sina.  

Viva a alquimia! Sinto a fluir em mim a alquimia!  
Tenho uma capacidade inata de romantizar tudo,  

                                                   de ver o copo meio cheio,  

                                                       ­                          e nem copo existia.  

Revelaste-me um amor que não sabia estar perdido.
Entendeste-me com qualidades e defeitos.
Graças a ti, fiquei esclarecida! Que melhor do que ser amada,
é ser aceite e compreendida.

Feita de barro nunca antes fundido.
Assim seguia a minha alma, antes de te ter conhecido.
Dá-me da tua água! Quero afogar-me em ti, todas as vidas!
E ter o prazer de conhecer-te, e ter o desprazer de esquecer-te, só para poder voltar a conhecer-te,
sentir-te, e por ti, só por ti, ser sentida.  

Toquei-te na alma nua! Ainda tenho as mãos manchadas com o sangue da tua carne crua. E a minha alma nua, foi tocada por ti. Provaste-me que não estava doida varrida. Soube logo que era tua!  

Nunca tinha trabalhado com o teu tipo de barro.
Ainda para mais, tão fraturado.
Peguei em ti, com todo o cuidado...

"Tive um pensamento bizarro,
Dos teus pedaços vou construir um vaso! Tem de caber água, búzios, algumas flores! Talvez o meu corpo inteiro, se o conseguir encolher o suficiente.

Recolho todos os teus bocados, mantenho-os presos, juntos por um fio vermelho e dourado. Ofereço-me a ti de presente."

(…)

Amei-te de forma sincera.  Às vezes errada, outras vezes certa, quem sabe incoerente. Mas o amor, esse que mais importa, ao contrário de nós, é consistente.  

Sobreviveu às chamas do inferno, às chuvas que as apagaram, a dezenas de enterros e renascimentos.  

Nem os anos que por ele passaram, o conseguiram romper. Nem o tempo que tudo desbota, o conseguiu reescrever.

Foi assim que me deparei com o presente agridoce que me aguardava. Descobriste um dos vazios que carrego cá dentro e, depositaste um pedaço de ti para o preencher.
Invadiste o meu espaço, sem que te tivesse notado, nem ouvi os teus passos a atravessar a porta.  
Confundiste-te com a minha solidão, sem nunca a ter mudado. Eras metade do que faltava em mim, e nem dei conta que me faltavas.

“Como poderia não te ter amado? …"

(…)

Minha bela pedra de argila,  
Ninguém me disse que eras preciosa.
Ninguém o sabia, até então.
Não te davam o devido valor,
e, para mim, sempre foste o meu maior tesouro.
Até a alma me iluminavas,
como se fosses uma pedra esculpida em ouro.

  
Meu vaso de barro banhado a fio dourado,  
Ninguém me avisou que serias tão cobiçado,  
                                                     ­             invejado,
                                                               desdenhado,
ou, até, a melhor obra de arte que eu nunca teria acabado.
Ninguém o poderia saber.  
Queria guardar-te só para mim!
Não por ciúmes, além de os ter.
Mas sim, para te proteger.
Livrar-te de olhares gananciosos e, pessoas mal-intencionadas.  
Livrar-te das minhas próprias mãos que, aparentemente, estão condenadas
                       a destruir tudo o que tanto desejam poder agarrar.  

Perdoa-me, ter achado que era uma benção.

Talvez fosse mais como a maldição  
de um Rei Midas virado do avesso.
Tudo o que toco, transforma-se em fumo dourado.
Vejo o futuro que nos poderia ter sido dado!
Vejo-te no fumo espesso,
                                               a dissipares-te à minha frente,
antes mesmo de te ter tocado.

Tudo o que os deuses me ofereceram de presente, vinha envenenado.

  
A eterna questão que paira no ar.  
É melhor amar e perder? Ou nunca chegar a descobrir a sensação de ter amado?

É melhor amar e ficar!

Há sempre mais opções, para quem gosta de se focar menos nos problemas
                     e mais nas soluções.

O amor é como o meu vaso de argila em processo de criação.  
Cuidado! Qualquer movimento brusco vai deixar uma marca profunda. Enquanto não solidificar, tens de ter cuidado! Muito cuidado para não o estragar. Deixa-o girar, não o tentes domar, toca-lhe com suavidade, dá-lhe forma gentilmente, decora os seus movimentos e, deixa-te ser levado, para onde quer que te leve a sua incerta corrente.

Enquanto não solidificar, é frágil! Muito frágil e, a qualquer momento, pode desabar.

Era isso que me estavas a tentar ensinar?  

Duas mãos que moldam a argila num ritmo exaltante!
E une-se a argila com o criador!
                                            E gira! E gira! num rodopio esmagador,  
                                                    ­  E gira! E gira! mas não o largues!
Segura bem os seus pedaços! Abraça-os com firmeza!

Porque erguê-lo é um trabalho árduo
                                                           ­      e se o largas, vai logo abaixo!

São horas, dias, meses, anos, atirados para o esgoto. Sobra a dor, para que nenhuma de nós se esqueça.

                                        E dança! E dança! E dança!...
                             Tento seguir os seus passos pela cintura...  
                                       Se não soubesse que era argila,  
                          diria que era a minha mão entrelaçada na tua.

Bato o pé no soalho.
                                    E acelero!
                                                      e acalmo o compasso...
A água escorre por ele abaixo.
Ressalta as tuas belas linhas à medida da sua descida,
como se fosse a tua pele suada na minha.  

No final, que me resta fazer? Apenas admirá-lo.

Reconstrui-lo. Delimitá-lo. Esculpi-lo. Colori-lo. Parti-lo, quem sabe. É tão simples! a minha humana de ossos e carne, transformada em pedra de argila, transformada em tesouro, transformada em pó de cinza que ingeri do meu próprio vulcão...

A destruição também é uma forma de arte, descobri isso à força, quando me deixaste.  

Acho que, no meu vaso de argila, onde duas mãos se entrecruzaram para o moldar, vou enchê-lo de areia, búzios, pedras e água dourada,
         talvez nasça lá um outro pedaço de ti, a meio da madrugada.
Vou metê-lo ao lado da minha cama, e chamar-lhe vaso de ouro. Porque quem pega num pedaço rochoso e consegue dar-lhe uma outra utilidade, já descobriu o que é alquimia,  

o poder de ser forjado pelo fogo e sair ileso,
renascido como algo novo.
Neste lugar azul, coberto de céu e rodeado de mar, onde surgiu a vida de tantos seres e de tantas outras coisas que a nossa mente tanta dificuldade têm em perceber.
Neste lugar que Deus nos deu, cedo percebemos que aquilo que nos foi dano e que é nosso, se partilha, nos é dado vendido e cobiçado.  
Neste lugar, existem tantas coisas, mas tantas coisas, umas que se vêm, outras que se sentem, outras que se ouvem e outras tantas que se cheiram e saboreiam, que quanto mais vamos vivendo com elas, melhor as identificamos e melhor as deveríamos perceber.
No entanto, existe o Homem, que se julga um Deus, que pouco ou nada sabe, nem sempre sente e se comove com o que este lugar maravilhoso que agora é fusco nos dá e nós tão bem desperdiçamos.
Aquilo que o homem não entende, não é de fácil aceitação, e em vez de percepcionar o que os ensinamentos dos tempos nos deixaram, idiotamente questiona tudo, todos e qualquer coisa que sua mente pequena não enxerga.
O caminho da perdição normalmente apresenta-se como o mais fácil, em qualquer coisa que o mundo tenha mas nem sempre é o destino certo que a história poderia deixar.
As coisas não têm de ser obrigatoriamente belas, e este lugar não é conto de Cinderellas, é qualquer coisa que temos de ver, que temos de passar, sentir a vitória e a dificuldade, o ser filho e depois ser pai e quando mais vamos sabendo, ao invés de sermos mais fortes e capazes a fragilidade da idade chega e nos mostra a realidade em cada dia e a cada hora. Ai o sonho se torna real, perceptível e a esperança se agarra ao nosso olhar.

Autor: António Benigno
Código de autor: 2017081421450108
Expo 86' Nov 2015
Confia no acaso
Só queria mais um pouco dos seus abraços
Se liga nos passos
E se alerte no espaço
Distancia é bom
Mas destrói tudo com seus espasmos
Lagrimas são feitas d'água
Porque são águas de um sentimento do passado
E as memorias tão belas
Porque são encharcadas com saudade
Mas viver de saudade já não é bem uma opção
Victor Marques Jul 2017
Nasce todos os dias. ...

Olha para o ciclo das plantas,
Reabre e fecha as feridas mal curadas,
Ama o sol, a lua, o encanto de belas fadas!
Na ousadia, no amor eterno desligado,
No amargo doce do pecado.
Nasce por querer,  por  simpatia,
Nasce para o  mundo,  para o dia...

Mas nasce por amor e vezes sem conta,
Abre o coração ao mundo que sussurra,
Nasce  na tristeza, na alegria ou loucura,
Esconde e que te mata, o que te tortura,
Nasce para o mundo, para a vida,
Pois morres com saudade sentida.

Mas nasce e torna a nascer, beija por amor, por querer,
Nasce para o que te atormenta e consome,
Gesticula, apreende , honra teu nome...
Mas nasce por amor  e  sem esquecer,
Nasce onde te aprouver e apetecer....

Victor Marques
B'Artanto Mar 2020
Terang bulan,
padahal ini tertulis di pukul enam yang masih berembun setelah fajar

Ntah bagaimana yang muncul adalah terang bulan.

Bukan mengenai kisah anak-anak yang dipaksa meminta-minta, menjual kerupuk tiga ribuan.

Hari ini terang bulan muncul lebih awal, dua belas jam lebih awal.

Siapa yang tau isi kepala yang ditutupi rambut hitam orang-orang?

Seperti apa terang bulan yang ada di dalam pikirannya?

Terang bulan diisi dengan ketakutan-ketakutan bertambahnya angka pada umur.

Merasa ada yang salah dengan putaran waktu,
Ia belum siap ternyata.

Sementara hari tidak menunggu apapun, bahkan detiknya.

Terang bulan tidak benar-benar ada, ia hanya muncul saat orang-orang sedang bahagia yang serupa.

Selebihnya adalah sabit di ujung bulan yang kadang muncul sekadarnya.

B_A
11 Maret 2020
Mariana Seabra Sep 2022
Não são os outros! Nunca foram os outros.

Não é o lugar! Nunca foi o lugar.

Sou eu!



Já quis partir em retiros para o Tibete. Ou em viagens espirituais para a Tailândia. Já quis correr o mundo à procura de algo que só podia encontrar em mim. Parece-me interessante, aliás, ainda o quero fazer pela pura necessidade que tenho de experienciar. No entanto, é inútil. É mirar ao fracasso, e é condenação interior a uma busca incessante que não traz paz, só traz correria desenfreada, sem meta final onde possa descansar, uma armadilha que me obriga a jogar por algo que nem vale a pena ganhar.
Prefiro a tranquilidade que me consigo proporcionar. Em vez de correr, prefiro caminhar. Prefiro aceitar a incompletude, para não ter de me andar a perseguir por lugares onde nem sequer passei. Prefiro pensar no que tenho. Prefiro aceitar o que tenho. Prefiro limar o que tenho. Prefiro amar o que tenho. Não me falta peça nenhuma! Só me falta descobrir uma maneira de lhes dar sentido... de me ordenar.

É inútil acharmos que temos de sair do sítio para viver e, consequentemente, evoluir ou mudar, ou correr de lugar para lugar, à procura da essência mais profunda que nos constrói. Quando as raízes são profundas, não há razão para temer o vento! O nosso cérebro não sabe distinguir entre a experiência vivida e a experiência imaginada, para ele é tudo igual. Somos biliões de informações! a que este magnífico pedaço de ***** cinzenta atribui significado. Experiências reais ou imaginárias, que se convertem em memórias, memórias que ganham uma nova vida de cada vez que as recordamos, histórias que repetimos a nós e aos outros, até sermos só pedaços daquilo que lhes contamos.

Prefiro esquecer!
Escrevo as histórias que nunca contei, para depois as tentar esquecer...

Só me oriento pelas minhas próprias pegadas e, quando escrevo é apenas através de experiência pessoal. Não recorro à generalização de vivências tão únicas, mas, como admito ser-humana, sei que por muitos outros são partilhadas, e sem o meu consentimento, generalizadas. Nasci para escrever poesia, mas não sei se nasci para ser poeta. A escrita é um dissecar do próprio íntimo. Escrever é sangrar para o papel. E se o que eu escrevo fizer sentido para um outro alguém, então ótimo, é como se partilhássemos o mesmo abraço enquanto o meu poema durar. E se o que eu escrevo não fizer sentido para ninguém, não importa. Escrevo para mim. Qualquer outra pessoa que me tente ler, irá observar-me através de um vidro duplamente espelhado. O que pensa observar de mim é, nada mais nada menos, do que o seu reflexo a acenar de volta para si. Porque a poesia é assim! dizem-me que não pertence a quem a escreve
mas sim
a quem a lê.
Sou do contra, não vivo à vossa mercê! A poesia é minha! O amor é meu! A dor é minha! E se a estou a partilhar, não é por motivos altruístas, não quero ser vista nem entendida. E se a estou a partilhar, é só porque estava sufocada, porque o poema já me estava a arder nas veias, muito antes do próprio poema começar. E se o estou a partilhar, é porque não tive escolha, era escrever ou morrer! e depois de estar cá fora, depois do fogo apagar, depois das cinzas pousarem e da ferida parar de jorrar... só depois, muito depois, é que uso o meu discernimento, volto atrás no tempo e decido se o vou partilhar, ou se é só meu, e de quem me veio inspirar.

Sou líder de mim mesma!

Sento-me na mesa-redonda do Eu e converso com todos os meus familiares, amigos, parceiros, desconhecidos, inimigos, anjos e demónios, todos com a minha cara, todos com a minha maneira de pensar, todos a olhar de volta para mim à espera que comece a falar...Quem diria, que de uma mesa tão cheia e diversificada, poderia comprimi-la, agrupa-la numa só pessoa, com uma única fachada virada para o exterior! Adoro a complexidade que de mim emana! Adoro ser várias, e ao mesmo tempo ser coesa. Ser o sol que mantém todas de mim em órbita, a força universal que me mantém presa,
Fiel a quem sou,
Com alma pura e coração digno de entrar na corte real da nobreza.
Entro em longos debates com todas as versões de mim, sobre qual de nós seguir. Creio que, desde tenra idade, tornei-me boa ouvinte para dentro. O dito mundo real não me bastava, muito menos me alegrava ou inspirava, então, recuei. Retraí-me para o vasto mundo interior da minha mente e, inventei mundos novos. Foi assim que descobri a melhor companhia que podia ter. Nunca me sentia sozinha, desde que me tivesse presente. Depois de aprender a escutar o que vem de dentro, aprendi a escutar o que vem de fora. No final do debate, decido seguir a mim mesma. Nenhuma de mim ficará para trás! Nem as que já morreram e tive de enterrar! mesmo que não saiba para onde seguir. Talvez em frente. Diria que, por esta altura, seguir em frente é uma especialização minha.  

Como qualquer líder, às vezes também me falho.

Como qualquer líder, debruço-me obsessivamente sobre as falhas até descobrir como as preencher. Puno-me por elas e, finalmente, permito-me aprender.  

Como qualquer líder, sou consumidora assídua de pequenas e grandes lições.

Como qualquer líder, cometo erros. E, como qualquer líder, tento não repetir os mesmos.  

Só não sou como qualquer líder. Não nasci para guiar outros, porque também eu estou perdida. Não quero que me sigam! Aliás, se for possível, sigam o caminho oposto ao meu. E não me peçam para vos seguir! Só me sei seguir a mim, e mal.  

Nasci para desbravar o mato à machadada, na exata medida em que for avançando nele. Não me ofereçam florestas já desbravadas! Fiquem lá com elas. Não me ofereçam sonhos que não me pertencem! Prefiro deitar-me mais cedo para ter os meus. Não me vendam a vossa verdade! É um negócio sujo, onde eu ficaria sempre a perder. A verdade do outro, que fique o outro com ela. Prefiro explorar a minha.  

Deixem-me ir!

Quero ver por mim. Ouvir por mim. Tocar por mim. Cheirar por mim. Saborear por mim. Cair por mim. Levantar pela minha própria mão. Vivam as vossas experiências e deixem-me viver as minhas!  

Deixem-me tirar as minhas próprias conclusões! Tomá-las como certas, só para mais tarde descobrir que estão erradas. E está tudo bem, crescer é mesmo isso.  

Deixem-me ser mutável! Não me queiram vendada, de ideias fixas ou radicalizadas. Sou adepta do equilíbrio, apesar de nem sempre o conseguir manter. No meu mundo tudo tem permissão para existir, simultaneamente. Todos têm permissão para ser. Há um espaço invisível sem paredes para o delimitar, um lugar inspirado no Lavoisier, onde nada se perde, nada se cria, tudo se pode transformar.

Deixem-me ser! Só peço que me deixem ser! E serei feliz, mesmo na minha profunda infelicidade.  

Nasci para ser uma selvagem autodomada. Uma líder seletivamente dedicada. Uma humana fortemente frágil, com uma beleza feia, como me dizia uma bela cigana, e obcecada com a sua própria caminhada.  

Posso viajar para o sítio mais lindo do universo! Posso deslocar os olhos pelas mais belas paisagens! Posso conhecer os seres mais fascinantes! Posso ler as palavras mais requintadas! Poderia até beber da fonte da juventude eterna!  

Mas se eu não estiver em mim, se não estiver comigo, não há nada. Não há nada! Não há coisa alguma que chegue até mim se eu não estiver dentro de casa para a receber, para lhe abrir a porta, cumprimenta-la com um sorriso, um olhar cativo de quem está lá para a acolher. Não há beleza que me toque, porque não há ninguém cá dentro para ser tocado. Às vezes, viro uma casa assombrada. Abandonada, com vida morta. Há o receptáculo! Esse fica, até que a Terra decida vir recuperá-lo e, com todo o direito, levá-lo de volta para si.  Há o corpo em piloto automático, só não há a alma que o irradia, ou que o faça completo.  

Sei quando estou comigo. Tal como sei quando me abandono. "Só não sei para onde vou de cada vez que me decido abandonar", isto foi outra coisa que aquela bela cigana que me disse, ou estarei a sonhar? A realidade e o imaginário tornam-se mais difíceis de separar.
Onde me escondo de mim mesma?
Sou mestre a desaparecer, sem aviso prévio de quando irei voltar...se irei voltar. Que péssimo hábito! Que mecanismo de defesa ridículo! Foi uma maldição que me deitaram e, agora, tenho de a conseguir quebrar.
Tenho de me quebrar!...
Abrir-me até ao meu interior, olhar para dentro do poço, mesmo que me dê vontade de vomitar, principalmente, quando me dá vontade de vomitar...por mais que me custe olhar. Não posso desviar o olhar! Tenho de remexer nas minhas entranhas, sentir nas minhas mãos o que está avariado, e descobrir como o remendar.
E quebro-me! vezes sem conta. E pego nas peças que estilhacei contra o chão, e corto-me com elas, e brinco com elas, e algures, a meio desta sádica brincadeira, há uma ou outra que decide encaixar, e dão-me sentido, uma nova forma, um eu mais polido, mais perto de nunca ser perfeito e completo.

Percebo quando me vou. Fica tudo mais *****. O vazio absorve-me. O mundo desaponta-me. A poesia desaparece. O barulho do silêncio torna-se ensurdecedor. O corpo mexe-se, mas não age. O olhar fica turvo e as lentes que uso não me permitem ver com clareza. A empatia vira apatia. A falta de emoções torna-me robotizada. Não há amor! É ensurdecedor! Não há amor...

A magia que me move decide esconder-se de mim. Não sei se para brincar comigo, não sei se para me provocar, não sei se para despertar a besta que dorme sossegada. Só sei que, de tempo a tempo, a minha alma decide jogar à apanhada e é a primeira a escapar. Alma rebelde e insurreta! Nunca te ensinei a ficar! Perdoa-me, por favor, também não me ensinaram a mim. Mas, ao menos, ensinei-te a voltar. Depois, como que por infantilidade, ou talvez por vontade de regressar a casa, começa a sussurrar-me...Ouço-a chamar baixinho por mim e, lá vou eu toda contente atrás dela, deixo o seu jogo continuar, só por curiosidade de desvendar até onde é que ela vai, onde é que ela pretende levar-me.

Quanto mais me aproximo de mim, mais cores se erguem à minha volta. A paz invade-me e reconquista o seu devido território no meu peito. A poesia ressurge e faz-me ressurgir.  O silêncio volta a ser música para esta alma sensível. O corpo age com intenção. O olhar fica cristalino e escolho ver o mundo através de lentes que o retratam mais bondoso, pelo menos para mim. As emoções retomam o seu percurso natural no meu sistema, com a intensidade de vulcões ativos. A empatia é reflexo do amor que sinto e que transborda. A magia mastiga-me e cospe-me para o mundo em forma de luz.  



De tempo a tempo, perco-me de mim.

De tempo a tempo, reencontro-me.  

E, deste tempo que se aproxima, só quero uma coisa: quero voltar a mim!

Quero abraçar-me! como se estivesse a despedir-me do amor da minha vida, às portas do aeroporto. Quero acarinhar-me e amar-me. Quero voltar a mim!

Quero ver o que vou encontrar quando a mim regressar.  

Perco-me de mim. Demasiadas vezes, perco-me de mim.  

Quando me reencontro, já não estou no ponto onde me perdi. Já sou uma mistura entre aquela que se perdeu e a que está prestes a renascer. Diria que passo muito tempo no limbo da existência e da não existência. 

Quando me reencontro, sou algo diferente. Quem sabe melhor, quem sabe pior...essas reflexões deixo para os que me oferecem opiniões não solicitadas. Sei que sou algo diferente, o resto é ruído.  

Nasci para criar. Nasci para me reinventar.  

Dito isto, acolho a destruição e o caos que vem de dentro como parte do meu processo de criação pessoal.  

Disto isto, quando me reencontrar, é só uma questão de tempo a tempo para me voltar a perder.
Victor Marques Apr 2023
Lugar de bem_aventurancas e felicidade,
Fora do mundo, da realidade.
Jardim com as mais belas rosas
Sejam ou não formosas.
Morada eterna de todos os redimidos,
Dos bons, dos maus,dos oprimidos.
Sem punição, nem hediondos castigos

Eterna será também a nossa glória,
Com Cristo ao romper da autora,
Padecendo no mundo pedimos a absolvição,
Paraíso com vida e ressurreição,
Jesus e o bom ladrão...

Aguardamos um juízo final,
Sem pecado original.
Uma nova vinda de Deus Senhor,
Pregando a justiça e  o  amor.
Paraíso de Abraão,  da arca de Noé perdida,
Haja Deus nesta Vida.

Victor Marques
Deus,paraíso, ressuscita, Jesus
Victor Marques May 2022
Passarinhos fazem ninhos com devoção,
Peregrinos em oração.  
Natureza serena e sem mágoa,
Bom vento que trás água,
Arco iris multicolor,
Viver sem se amar por amor...

Flores belas  do teu sentir,
Viver por amor sem o pedir.
Abraços trocados que até dão prazer,
Amar o dia e o anoitecer.
Razões para viver por amor sem se amar,
Tenho as guardadas  no meu olhar.

O céu é lindo e imaculado,
É  divino e sagrado.
Parece que vagueio num Ribeiro que parece rio,
Que sou barco sem ser navio.
Viver por amor sem se amar não é pecado,
Pois ficará nas entranhas do meu legado.

Victor Marques
Amor ,viver,legado
Victor Marques May 2022
Troca de olhares sem doces beijos ,
Raiando o dia com cheiro primaveril ,
Manhãs de lindos dias em Abril,
O inexplicável formato das rosas,
Tao belas e formosas,
O amor,  os teus desejos.

O inevitável sentir sem mágoa  
O inexplicável vento que trás água,
Todas as sensações envolvidas,
Feitas da matéria de tua vida,


Como a alma junto ao corpo quer estar,
O inexplicável segredo de os dois separar  
Sentimento que nobreza sempre tem,
Sorriso e amor de pai e mãe.
O inevitável  ser feito só de amor ,
Todo nu em seu esplendor.

Victor Marques
Inexplicável, inevitável
Victor Marques May 2023
Apareceste aos pastorinhos na cova da Iria,
Dia 13 de Maio ao meio dia.
Pediste penitência e oração ,
Pela Rússia sua conversão.

As apirações confirmadas no lugar de Valinhos,
Lúcia,  Francisco e Jacinta , os três pastorinhos.
Depois de rezar o terço não muito distante,
Parecendo relâmpago,  era uma luz brilhante,
As ovelhas pastavam num prado verdejante.
Senhora tão iluminada que tudo clareia,
Te mostras te em cima de uma azinheira.

O mlagre do sol foi um fenómeno extraordinário,
Pediste que todos te chamassem Senhora do Rosário.
Os que tinham fé,  tudo conseguiram contemplar,
Não foi preciso Jesus vir à terra novamente suas feridas mostrar.

Pediste a consagração da Rússia ao seu coração Imaculado,
Rezando o terço para nos livrar do pecado.
Os anjos  da paz vieram dar luz à escuridão,
Adorando e amando Deus na Sagrada Comunhão.
Devemos viver em fé,  amor e esperança,
Ser criança cândida e com inocência.
Nossa Senhora és bendita e os Peregrinos te oferecem as mais belas flores,
Em agradecimento pela vida,  todos nós pobres e humildes pecadores.


Victor Marques
Nossa, Senhora, Fátima, Portugal
Mariana Seabra Mar 2022
Sou uma criança apaixonada!...

E tu bem sabes que sou uma criança apaixonada!...

Mas isolo-me, confortavelmente, na esfera do casulo.

Pronta a renascer,

Mas ainda enganada…



Sinto um amor!...

Que de tanto ser infantil,  

Chega a ser puro!



(E talvez o deixemos assim, meu amor.)



Talvez nos encontremos apenas no ar.

Como dois passarinhos feridos,

Ainda ingenuamente atrapalhados,

Pelas asas que os guiam.



Apenas cruzando estas simples energias,

Em cada nuvem batente daquele tal céu ardente.

E onde nelas escalarei…

Até ao cimo do teu próprio inferno.

Onde nele, ainda te manténs refém.



Amarte-ei pela literatura,

Como tu tão bem me sabes amar…



                                 (E quanto do nosso amor,  

                                 Será também feito poesia?)



Sou uma criança apaixonada!...

E tu bem sabes que sou uma criança apaixonada!...

E agora, pronta a renascer,

Bato, suavemente, as minhas asas…





Sinto um vento!...

Alegremente, espreito fora do casulo!...




E a brisa que corre e me leva,  

Carrega em cada batida,  

Só para mim,

A sustentável leveza do amor.



(E talvez o deixemos assim, meu amor.)



Talvez nos encontremos apenas no fogo.

Como duas belas fénixes,

Usando as suas próprias cinzas,

Para pintar a mais bela das telas.




Apenas cruzando os nossos caminhos,

Em cada folha queimada que paira

Sobre os nossos tristes olhares.

E onde nelas escalarei…

Até ao cimo do nosso paraíso distante,

Onde nele ainda me mantenho refém.



Amarte-ei pelo silêncio,

Como tu tão bem me sabes amar…



                                  (E quanto do nosso amor,

                                  Será também feito poesia?)



Sou uma criança apaixonada!...

E tu bem sabes que sou uma criança apaixonada!...

E aquelas frágeis asas que me bateram,

Criaram em mim uma bela metamorfose.

Onde na beleza do simples ser,

Encontramo-nos e fomos voando.  



                                 (E quanto do nosso amor,

                                 Será também feito poesia?)



                       (Cada bater de asas da borboleta o dirá…)

— The End —