Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Aug 2017
Pagi memamah bangkai di halaman. Bangkai yang kami mangsa bersama semalam sembari duduk melingkar dan mengumpat atas ketidakmujuran yang menghantui kami. Ah, tapi ketidakmujuran dan kesendirian itu toh akhirnya diobati oleh makan malam bersama yang getir dan sangit. Kami sendirian bersama. Kami tidak mujur dan sendirian bersama agar dapat menyantap makan malam ini. Makan malam dengan menu bangkai bersaus pedas ditambah rempah, baunya yang pedih menusuk sengaja kami umbar sebagai pertanda bahwa kami telah hadir di kaki gunung yang belum menampakkan kehangatannya. Kaki gunung yang masih menjegal kaki kami. Kaki gunung yang tajam. Tapi malam mewujud dari lingsir menjadi lengser dan mentari dengan cepatnya kembali mencemooh melalui pagi. Lebih cepat dari kami yang sedang memangsa bangkai. Lebih cepat dari kunyahan kami pada tiap otot dan lemak. Sisa-sisa bangkai yang kami mangsa bersama semalam pun tercecer di halaman bersama bulir beras serta bebijian yang terjatuh dari kelopak mata kami, gantikan air mata. Kami harus membuang bangkai itu segera dan tak boleh sampai terlihat memangsa bangkai. Memangsa bangkai bukanlah hal yang patut dibanggakan terlebih lagi di kaki gunung yang beradab. Halaman kami berbau bangkai. Tak masalah jika aroma itu menujam hidung kala malam, karena manusia yang lalai akan menganggapnya sebagai mimpi belaka. Namun jika sampai bau itu tercium kala pagi maka kami lah yang akan kena kutuk. Kami akan menjadi anak-anak terkasih setan kaki gunung. Meski kami memangsa bangkai, kami tak menginginkannya. Kami hanya ingin bahagia dan dapat saling mencintai. Bangkai-bangkai itu tercecer dan kami tak memiliki tanah untuk mengubur bongkahan yang kini dimamah oleh pagi yang acuh. Pagi yang dingin. Pagi yang memanas. Pagi yang bising. Pagi yang dangdut. Pagi yang berdebu. Pagi yang memamah bangkai di halaman. Kami tak memiliki tanah untuk mengubur bangkai yang kami mangsa. Segala tanah telah beralih pada bak lapuk di kamar mandi agar kami dapat mensucikan diri siang nanti. Dan yang tersisa di halaman hanyalah bangkai, bulir beras, serta darah yang mengalir deras dari sungai di belakang kami. Pagi baru di ujung kepala. Belum banyak mata yang dapat menyaksikan nestapa kami. Bangkai-bangkai yang belum selesai kami kunyah, kami harus segera menyingkirkannya.

Pagi memamah bangkai di halaman. Kami memamah bangkai di halaman.

Serreh, 2017
So Dreamy  May 2017
Ulang tahun
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Aridea P  Dec 2011
Mama I
Aridea P Dec 2011
Palembang, 25 Desember 2011

For my beautiful Mom:

Mama, kamu cantik
Tanganmu melentik indah saat mencuci baju kami
Mama, kamu sungguh cantik
Badanmu bagus melenggok saat memasak untuk kami
Mama, kamu benar-banar cantik
Sekalipun kamu sedang terlelap di tidurmu

Mama, kamulah harta tak ternilai bagi kami
Harta wajib yang harus kami bawa kemanapun kami melangkah
Kamulah semangat pagi kami tuk menghadapi dunia
Kamulah alasan kami bertahan hidup sampai sekarang
Harapan kami adalah tuk membahagiakanmu selamanya
Pikir kami kata Terima Kasih takkan pernah cukup tuk membalas kasih mu

Mama, kamu cantik setiap hari
Di mata kami kamulah hal yang terindah yang kami punya
Di dunia ini tak ada pahlawan seikhlas dirimu
Kamu terus bertahan meskipun kadang air mata menyertaimu
Kamu terus menebarkan senyummu di waktu kami resah

Mama, kamu tegar setegar batu karang
Mama, kamu bersinar mengalahkan sinar Matahari
Mama, kamu sejuk sesejuk embun di pagi hari
Mama, kamu sehangat dekapanmu pada kami
Mama, kami mencintaimu

Mama, terima kasih atas cintamu selama ini
Terima kasih atas pengorbanan mu kepada kami
Maafkan kami yang pernah membuatmu menangis
Maaf atas tingkah kami yang menjengkelkan hatimu
Kami percaya dan tahu bahwa kamu tahu betapa kami mencintaimu,
Mama
Aridea P Oct 2011
Teriakan demi teriakan
Kami... menangis...
Sakit... sakit...
Kenapa? Mengapa?

Setiap detik hati kami
Selalu resah dan gelisah
Terbelenggu, kami terbelenggu
Apa salah kami? Apa yang jadi dendam?

Anak cucu kami
Tak bersalah? Tak tahu menahu?
Tapi mengapa?
Kau binasakan mereka?
Kau hancurkan kami?

Mengapa kami, tempat tinggal kami?
Kenapa? Mengapa?
Tolong... tolong... Tuhan
Apa rencana-Mu?
Apa yang Kau inginkan?

Kami sabar, kami diam!
Seakan menunggu ajal datang
Kami diam, kami takut
Suara ledakan hancurkan hati kami

Kenapa? Tak ada pembelaan?
Mengapa? Harus ada perang?
Kami lemah kami tak  berdaya!
Kami hanya bisa menunggu!
Entah apa yang ditunggu.

Ajalkah...
Damaikah...
Ataupun derita...
Ya Tuhan kami...
Mengapa ini terjadi??
Aking inaninag
Itong bughaw na kalangitan
Hindi nga ba
Parang kailan lamang
Nang ako’y kanyang tinalikuran?

Napako ang pangako
Na ako’y pangangalagaan
Luha niya’y umabot
Di lamang sa’king talampakan
Nalasap ko ito
Mapait at ngayo’y nag-ibang anyo
Ngayong timplang kape
Mula sa mga mata nitong
Tila ba kaytayog.

Tinangay kami ng malakas na alon
Kami’y nagpatangay na lamang
Wala akong alam
Kundi and makipaglaro
Ng tagu-taguan
Nakadilat at mulat na mulat sa katotohanan

Sakay kami ng pridyeder,
Ako at aking ulirang mga kapatid
Puno ng pighati’t pangamba
Sa uulitin,
Ito na lamang ang magagawa ko.

Sabi nila, tutulungan nila kami
Sabi ng ilan, wala na raw pag-asa
Kanino nga ba kami magtitiwala?
Kung mismong kalam nga ng sikmura’y
Di na mainda?

Wala na akong mailuluha pa
Pagod na ako sa pagsagwan sa kawalan
Wala na ngang pag-asa
Wala man lang naiwan sa amin
Sana kasama nalang kami
Sa mga buhay na nalantang
Parang bula
Tulad nila Itay at Inay
Di sana’y masaya kami
Sa kalangitan.

Pumikit ako,
Habang mahimbing ang paghikbi
Ng aking mga kapatid
Sana nga may buhay pa.

Sinagip nyo kami,
Noong una, nagalit pa ako
Ayoko sana
Kaso wala na rin kaming magawa
Sasama na kami
Kasama kami sa pagbangon
Oo, ngayon ako na’y magtitiwala
At ipapasa-Diyos na ang lahat
Siya na ang bahala.

(11/17/13 @xirlleelang)
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Karapatang Ari 2016
WMSU MABUHAY ESU
DONWARD CAÑETE GOMEZ BUGHAW


Kung isa-isahin ang nangakaraan
Simula no'ng ika'y aking niligawan
Hanggang sa dumating ating hiwalayan,
Maikuk'wento ko ng walang alangan.

Unang kita palang, napaibig ako
Sa isang babae at Nimfang tulad mo;
Puso ko'y nahulog ng di napagtanto,
Siguro'y pakana ito ni Kupido.

Iyong itinanong, "Ikaw ba si Donward?"
Ako'y napatigil nang dahil sa gulat
Ako ay lumingo't ikaw ay hinarap,
Aking itinugon isang tango't kindat.

Nang ako'y lumabas na sa isang silid
Hindi ko mawari't ikaw ay nawaglit;
Ako ay nalumbay sa nasahing pilit
Ano't ang tadhana ay nagmamalupit.

Gusto ko pa namang ika'y makilala
Paanong nangyari't agad kang nawala,
Hindi tuloy kita natanong o sinta
Sa iyong pangalan na pang-engkantada.

Aking inusisa ang aking sarili:
"May pag-asa pa bang makita kang muli?
May tadhana kayang magtatagpo uli
Sa ating dalawa kahit na sandali?"

Hanggang isang araw, nang aking makita
Iyong kaibigang naglakad mag-isa
Agad kong tinanong kung ika'y nagsimba
Marahan n'yang sagot nasa tuluyan ka.

Pagkatapos niyon tinanong ko na s'ya
Sa iyong pangalan na may pagkad'yosa
Agaran niyang sagot, "Devina Mindaña,
Ang buong pangalan ng aking kasama.

Nagpatuloy kami sa pagkuk'wentuhan
Habang naglalakad sa tabi ng daan
Hanggang sa dumating ang aming usapan
Sa punto na ako ay kanyang mabuk'han.

Diretsahang tanong ay 'may gusto ka ba,
Sa kaibigan kong nanuot sa ganda?'
Sagot ko'y mistula isang tugong parsa,
Naging dahilan ko'y, 'Naku, wala! Wala!'

Imbis na makuha, siya ay natawa
At nang tanungin ko'y naging sagot niya:
"Subukan mo nalang ang ligawan siya
At baka maantig, batong puso niya.

Ni minsan ay hindi siya nagkaroon
ng isang siyota, pagkat umaambon
ang pangarap niyang gustong maisulong
ang makapagtapos at ang makaahon."

Pagkasabi niyon, ako ay nangusap:
"Diyata't parehas kami ng pangarap,
Kapwa puso namin ay nangangagliyab
Sa iisang nais na para sa bukas."

Nagpatuloy kami sa aming usapan
Hanggang sa tuluyang siya'y namaalam.
"Ako'y ikumusta sa 'yong kaibigan,"
Wika ko nang siya'y tumawid sa daan.

Nagpatuloy ako sa aking paglakad
Hanggang sa marating ang nagliliwanag
nating pamantasang nagtatahang huwad
ng dunong at puring nanahanang likas.

Nagdaan ang gabi't umaga na naman
Pagsulat ng tula'y aking sinimulan,
Yaong tulang handog sayo kamahalan
Nitong si Balagtas, Donward ang pangalan.

Ang iyong pangalan ang naiititik
Niyong aking plumang espadang matulis;
Ang tinta ay dugong may hinalong pawis
Nitong aking huli't wagas na pag-ibig.

Ngunit sa kabila, niyong aking katha
Aking nalimutan ang lahat ng bigla
Maging pangalan mo, sintang minumutya
Kung kaya't nagtanong uli ang makata.

"Siya ang babaeng aking naibigan,"
Pagkukuwento ko kay Jesang huwaran
Nang ika'y nakitang naglakad sa daan
Kasama ang dal'wa mo pang kaibigan.

At nang naguluha'y aking itinuro,
Pagkatapos niyo'y siyang aking sugo;
Si Jesang huwaran ay parang kabayo,
Ika'y sinalubong ng lakarang-takbo.

Agad kang tinanong sa iyong pangalan
Katulad ng aking naging kautusan.
Nang ika'y tawagin -- o kay saklap naman
Di mo man lang ako nagawang balingan.

Nang aking tanungin si Jesang huwaran,
Nang siya'y nagbalik sa pinanggalingan,
Kung ano ang iyong tunay na pangalan:
"Devina Mindaña," kanyang kasagutan.

Hindi lumalao't hindi nakayanan
Ng puso kong ito, ang manahimik lang;
Kaya't nagsimulang ikaw ay sabayan,
Kahit hindi pa man kilalang lubusan.

Ewan ko kung bakit ako'y tinarayan,
Gusto kong magtanong, pero di na lamang;
Sa sungit mo kasi'y baka lang talikdan
At bago aalis ay iyong duraan.

Subalit, lumipas ilang linggo't buwan
Tayo'y nagkasundo't nagkausap minsan;
Insidenteng iyo'y di ko malimutan,
Malamyos **** tinig, aking napakinggan.

Nang ako'y tanungin sa aking pangalan,
Sa telepono ko'y sagot ay Superman;
At nang mukhang galit, agad sinabihang,
"Huwag kang magalit, ika'y biniro lang."

Agad kong sinabi ang aking pangalan
Baka tuloy ako'y iyong mabulyawan:
"Si Donward po ito," sabi kong marahan,
Pagpapakilala sa 'king katauhan.

Patuloy ang takbo ng ating kuwento,
Ang lahat ng iyo'y aking naging sulo,
Sa papasukin kong isang labirinto;
Sa isang kastilyong nasa iyong puso.

Hanggang isang gabi, mayroong sayawan,
Napuno ng tao ang gitnang bulwagan;
Ang aking sarili'y hindi napigilan
Na ika'y hanapi't maisayaw man lang.

Ngunit ng matunto'y hindi nakaasta,
Ang aking nasahin ay naglahong bigla;
Imbis na lapita't dalhin ka sa gitna,
Ay hindi na lama't ako'y nababakla.

Aking aaminin ang kadahilanan,
Takot na talaga ang pusong iniwan
Na baka lang uli't ito ay masaktan
Tulad ng sa aking naging kasaysayan.

Kaya't hindi ako nagpadalos-dalos
At baka pa tuloy yaon ay mapaltos;
Ang mabulilyaso'y mahirap na unos
Nitong aking pusong may panimding lubos.

Akin pang naitanong sa isang pinsan mo
K'wento ng pag-ibig na tungkol sa iyo
At kung maaaring ikaw ay masuyo,
Naging tugon niya'y: 'Ewan ko! Ewan ko!'

"Huwag ikagalit kung ika'y tanungin,"
Sabi ng pinsan **** maalam tumingin
Di sa kanyang mata na nakakatingin,
(Kung hindi'y sa kanyang talas na loobin).

Aking naging tugon doon sa kausap,
Yaong binibining aking nakaharap:
"Hindi magagalit itong nakatapat
Hangga't ang puso ko'y hindi nagkasugat.

Pagkatapos niyo'y kanya ng sinabi
Ang ibig itanong na nangagsumagi
Sa kanyang isipang lubhang mapanuri,
Ang kanyang hinala ay ibinahagi.

"Ikaw ba'y may gusto sa kanya na lihim?
Huwag **** itago't ng hindi lusawin
Ang laman ng puso at iyong pagtingin
Ng iyong ugaling, pagkasinungaling!"

Pagkatapos niyo'y agad kong sinagot
Tanong niyang sadyang nakakapanubok
At ipinagtapat yaong aking loob
Ng walang alanga't maski pagkatakot.

"Ako nga'y may gusto sa kanya na lihim,
Subalit paanong siya'y maging akin
Gayung tingin pala'y akin ng sapitin,
Ang lumbay, ang hapdi't kabiguan man din?"

"Di ko masasagot ang 'yong katanungan,"
Naging tugon niyong butihin **** pinsan,
"Tanging payo ko lang ay pahalagahan,
Huwag pabayaa't siya ay igalang."

Aking isinunod nang kami'y matapos
Ay ang iyong ateng wari d'yosang Venus;
Agad kong sinabi habang napalunok
Yaong aking pakay at nang s'ya'y masubok.

Imbis na tugunin yaong aking pakay,
Ako'y di pinansin kung kaya't nangalay
Dalawa kong mata sa kanilaynilay
Ako'y nanghihina't puso'y nanlupaypay.

Aking iniisip sa tuwi-tuwina
Ay ang pangalan mo, mahal kong Devina;
At ang hinihiling sa bantay kong tala,
Hihinting pag-asang makapiling kita.

Kaya't hindi ako nakapagpipigil,
Iyong aking loob na nanghihilahil
Aking inihayag sayo aking giliw
Ng walang palaman at maski kasaliw.

Tandang tanda ko pa no'ng makasabay ka
Papuntang simbaha'y sinusuyo kita
Hanggang sa pagpasok ako'y sumasama
Kahit hindi alam ang gagawin sinta.

Bago nagsimula ang misa mahal ko,
Ang aking larawa'y iniabot sayo;
May sulat sa likod, sana'y nabasa mo,
Yaong pangungusap ay mula sa puso.

Di kita nakitang ako ay nilingon,
Sapagkat atens'yo'y naroong natuon
Sa isang lalaking pumasok na roon,
At sayo'y tumabi hanggang sa humapon.

At nang nagsimula'y umalis na ako,
Pagkat ako itong walang sinasanto;
Baka tuloy ako magsasang-demonyo
Sa aking nakitang katuwaan ninyo.

Hindi ko malaman kung bakit sumakit,
Nanibugho ako, ano't iyo'y salik?;
Ano nga ba ito't tila naninikip?
Lintik na pag-ibig, puso ko'y napunit!

Napaisip ako habang naglalakad
Hanggang sa isip ko'y nagkakaliwanag;
'Manibugho sayo'y hindi nararapat,'
Napatungo ako sa sariling habag.

Ilang saglit pa at akin ng pinahid
Luhang sumalimbay sa pisnging makinis
At saka nangusap ng pagkamasakit:
"Wag kang mag-alala't di ko ipipilit."

"Itong pag-ibig kong nagniningas apoy,
Nasisiguro kong hindi magluluoy;
Ngunit, kung hindi mo bayaang tumuloy,
Mas mabuti pa ang puso ko'y itaboy!"

Nang ako'y magbalik doon sa simbahan,
Sa dami ng tao'y di kita nasilayan;
Ngunit, nang tanawin sa kinauup'an,
Naroong Devina't kinaiinisan.

Nanatili ako't hindi na umalis,
Di tulad kaninang lumabas sa inis;
Ako'y umupo na at nakikisiksik,
Kahit patapos na ang misang di ibig.

Hindi ko nga ibig, pagmimisang iyon
At maging pagsamba't gano'ng pagtitipon;
Pagtayo't pagluhod di ko tinutugon,
Pagkat ako itong walang panginoon.

Araw ay lumipas mula ng masuyo,
Ika'y sinubuka't nang hindi malugo
Itong aking pusong namalaging bigo
Sa loob ng dibdib, namugang tibo.

Iyong naging tugon ay nakakapaso,
Masakit isipi't maging ipupuso;
Yaong tumatama'y animoy palaso,
Narok sa dibdib, sugat aking tamo!

Sa kabila niyo'y di pa rin sumuko,
Tanging ikaw pa rin ang pinipintuho;
Kaya't wag isiping ito'y isang laro,
Pag-ibig kong ito'y hindi isang biro.

Hanggang sa dumating gabing aking asam,
Sa lilim ng mangga, bago ang sayawan
Ay iyong inamin ang nararamdaman,
Ating tagpong iyo'y di malilimutan.

Ipinagtapat mo na ika'y may gusto,
Ngunit di matugon itong aking puso,
Sapagkat ikaw ay mayroon ng nobyo
Di mo kayang iwa't ayaw **** manloko.

Aking naging tugon sa iyong sinabi,
Ay handang maghintay at mamamalagi
Hanggang sa panahong ikaw ay mahuli,
Makita't malamang di na nakatali.

Sa mukha'y nakita, matamis na ngiti
Niyong Mona Lisang, pinta ni Da Vinci;
Ako'y natigilan ilan pang sandali,
Nang aking matanaw, gandang natatangi.

Bago pa nag-umpisa'y pumasok na tayo,
Sa hinaraya kong dakilang palasyo,
At sa lilingkuran tayo ay naupo,
Niyong maliwanag, loob ng himnasyo.

At nang magsimulang musika'y tumugtog,
Ika'y namaalam at para dumulog
doon sa bulwaga't makikitatsulok,
ng sayaw sa indak dulot ng indayog.

Bago pa marating ang gitnang bulwagan,
Ako'y sumunod na't di ka nilubayan
Hangga't di pumayag sa 'king kagustuhan
Na maisayaw ka at makasaliwan.

Lumipas ang gabi't umaga'y sumapit,
Ang araw at linggo'y tila naging saglit;
Ako'y nagtataka't biglang napaisip,
Ano at ang oras ay mukhang bumilis.

Hanggang isang gabi nang aking tanungin,
Sa iyo, o, mahal kung bibigyang pansin;
Hanggang kailan mo pagdudurusahin;
May pag-asa pa bang nadama'y diringgin?

Iyong naging sagot sa katanungan ko:
"Di na magdurusa't ngayo'y maging tayo."
Ang rurok ng saya ay aking natamo,
Lalo pa't sinabing mahal mo rin ako.

Sa kadahilanang gustong masiguro,
Aking naitanong kung iyo'y totoo;
Baka mo lang kasi ako'y binibiro,
At kung maniwala'y sugatan ang puso.

Iyong ibinalik, ating gunitain,
Doon sa manggahan 'sang gabing madilim;
Ipinagtapat mo ang iyong damdamin,
Ngunit, di nagawang puso ko'y tugunin.

Pagkat mayroon kang sintang iniibig,
Iisang lalaking namugad sa dibdib;
Di mo maloloko't iyong inihasik
Sa paso ng puso't bukirin ng isip.

Pagkatapos niyo'y sinabi sa akin,
Na ating pag-ibig, manatiling lihim;
Aking naging tugo'y 'sang tangong lampahin
Pagkat aking isip, gulong-gulo man din.

"Sigurado ka ba sa'yong naging pasya?"
Ang muli kong tanong, bago naniwala
Sayo aking mahal na isang diwata,
Yaong aking ibig at pinapantasya.

Iyong naging tugon sa aking sinabi:
"Kung ayaw mo'y huwag, di ko masisisi;
Ano pa't puso mo'y sadyang madiskarte,
Baka may iba ng pinipintakasi."

Agad kong sinabi sa iyo mahal ko:
"Ano at kay daling ikaw ay magtampo,
Nagtanong lang nama't ako'y naniguro
Baka mo lang kasi, ako'y nilalaro.

Lumipas ang gabi't umaga'y sumapit,
Unang araw natin ay lubhang mapait,
Pagkat di nakayang ako ay lumapit,
Sayo aking sinta't ewan ko kung bakit.

Ilang sandali pa't hindi nakatiis,
Sa pagkakaupo'y tumayo't lumihis
ng landas patungo kay Musa kong ibig,
pagkat aking puso'y lubhang naligalig.

Muli kang tinanong kung pasya'y totoo,
Di na mababawi't di na mababago;
Iyong naging tugon sa katanungan ko,
Pisngi ko'y hinaplos, sabay sabing 'oo.'

Kay sarap marinig, salita **** iyon,
Iisa ang punto at maging ang layon;
Para bang lagaslas ng tubig sa balon,
Ibig kong pakinggan sa buong maghapon.

Matapos ang pasko'y siyang araw natin,
Na kung gunitai'y araw na inamin,
tinugon ang puso at binigyang pansin,
at saka sinabing, ako'y mahal mo rin.

Aking gabing iyo'y narurok ang saya,
Ngiti niyong buwa'y nakakahalina;
Ibig kong isulat ay isang pantasya,
At ikaw Devina, yaong engkantada.

Araw'y nangaglipas, daho'y nangalaglag,
Ano at ang oras tila naging iglap;
Siyang araw natin ay muling lumapag,
Ano at ang panaho'y tila naging lundag.

Iyong regalo mo'y hindi malimutan,
At maging pagbating ibig kong pakinggan,
Sa bawat umagang araw'y sumisilang
At kung maaari'y mapawalang-hanggan.

Ngunit nang magdaan ilang araw't linggo,
Naging malungkuti't di na palakibo;
Puso ko'y mistula isang boteng tibo,
Nabiyak sa dusa nang itatuwa mo.

Sa tuwi-tuwina'y napaisip ako,
Talaga nga kayang tapat ang puso mo?;
Ulo ko'y sasabog, bulkang Pinatubo,
Bakit ba't isip ko'y nagkakaganito?

Ilang araw kitang hindi tinawagan,
Pagkat labis akong nagdusa't nagdamdam;
Malakas kong loob ay di nilubayan
Ng kapighatia't maging kalungkutan.

Tayo nga'y mayroong isang kasunduan,
Di maikaila't sinasang-ayunan
Ngunit, ang itat'wa'y di makatarungan,
Alalahanin **** ako'y nasasaktan.

Ako'y wag itulad sa makinang robot
Na di nakaramdam maski anong kirot;
Ako ay may pusong nakakatilaok,
Pumipintig baga'y putak ng 'sang manok.

Kaya't nang sadyain sa tinutuluyan,
Ika'y kinausap at pinagsabihang:
"Sakaling darating ating hiwalayan,
Huwag magpaloko sa kalalakihan.

At saka-sakaling sayo'y may  manligaw,
Isipin mo muna't wag agad pumataw;
Pasya'y siguruhin bago mo ibitaw,
Ang iyong salita, nang di ka maligaw."

Unang halik nati'y hindi malimutan,
At kahit na yao'y isang nakaw lamang,
Pangyayaring iyo'y di makaligtaan,
Naging saksi natin ay ang Taguisian.

Tila ba talulot ng isang bulaklak
Labi **** sa akin na nangangagtapat;
Animo'y pabango yaong halimuyak,
Ng iyong hiningang sa halik nangganyak.

Ika-labinlima, araw ng Pebrero,
Hindi malimutan ating naging tagpo;
Sa iyong tuluya'y nagkasama tayo,
Doon sa Kwek Kwekan, nagdiwang ang puso.

Ako'y isang taong lubhang maramdamin,
Ang hapdi at kirot siyang tinitiim;
Puso ko'y tila ba 'sang pagong patpatin,
Sa loob ng dibdib sakit ang kapiling.

Kaya't nang makitang may kasamang iba,
Marahang lumason sa puso ko sinta
Ay ang panibugho't sakit na nadama;
At para maglaho, alak ay tinungga.

Sa ika-tatlumpu, na araw ng Marso,
Akin pang naalala pagbisita sayo,
Sa inyong tahana't mapayapang baryo,
Nagmano pa ako sa ama't ina mo.

Ibig kong ang lahat ay di na magtapos,
Masasayang araw nating lumalagos
Sa isip, sa puso't maging sa malamyos,
Na kantahi't tulang aking inihandog.

Ngunit, nang lumipas ang ika-limang araw
mula nang makita't sa inyo'y madalaw
ay isang mensahe ang lubhang gumunaw
sa aking damdami't marahang tumunaw.

Animo'y balaraw yaong tumatama,
Nang ang mensahe mo ay aking nabasa;
Gusto kong umiyak, gusto kong magwala,
Ngunit, anong saysay gayung wala na nga?

Kung isaulan ko itong aking luha,
Masasayang lama't walang mapapala;
Kaya't kahit ibig, ako ay tumawa,
Wag lamang masadlak yaong pagdurusa.

Kung ang kalayaa'y siyang ibig sinta,
At ang saktan ako'y ikaliligaya
Aba'y payag ako't ikaw na bahala,
Basta lang ang akin ika'y liligaya.

Kay sakit isiping tayo ay hindi na,
Ngunit, kung ito man ang itinadhana,
Aba'y pag-ibig ko't pag-ibig mo sinta,
Di makakahadlang sa ibig sumila.

Mahal ko paalam sa ating pag-ibig,
Mahal ko paalam, kahit na masakit;
Mga alaala'y huwag ng ibalik,
Burahin ng lahat sa puso at isip.


~WAKAS~
Ang tulang ito ay handog ko para kay Devina Mindaña.
Jun Lit Sep 2017
Malakas ang bugso ng hangin
Bunsod ng pangangailangan
Bumubuhos ang ulan ng pananagutan
Daluyong, sunud-sunod ang hagupit

Mabuti pa ang kabuting mamunso
Magkakambal lamang karaniwan kung sumibol
Ngunit anong kalupitan mayroon ang kapalaran?
Di na nga makaahon sa dagat ng kahirapan
Ilulubog na naman ng alon ng kamalasan

Bibilangin bang muli ang galos ng panghihinayang
Tatapalan na lamang muli ang sugat ng puso
Ng dahon ng ikmo ng kapaitan
at binulungan ng orasyon ng sama ng loob
Bigo pa rin sa paghihintay ng kayamanang mailap

Litanya ng kabiguan:
     Pagkawala ng mga ari-arian..........
     Pagka-ilit ng lupa at tahanan..........
     Pagkaulila sa magulang..........
     Pagkasangla ng kinabukasan..........
     Sakuna..........
          Tila mga butil ng rosaryo
          Walang hanggang pagtitiis

Bukas darating ang maniningil – ng hinuhulugang 5-6
Nakasangla pa rin ang ATM sa ‘Lend Bank’ – di na matubos-tubos
Tinawag na lahat ng santo at santang maaaring utangan
Ng panustos na biyaya –
          GSIS Loan, ipanalangin mo po kami
          Provident Fund Loan, kaawaan mo po kami
          Kooperatibang Malapit, maawa ka sa amin
          Bumbay sa palengke, ipag-adya mo po kami
          Kubrador ng huweteng, patayain mo po kami
          Lotto, GrandLotto, MegaLotto, SuperLotto, UltraLotto,  
                  patamain mo po kami
          BIR, patawarin mo po kami
          Presyo ng langis, kahabagan mo po kami

Lahat ng ito’y isinasamo namin
Dahil lahat na yata ng kahirapa’y nasa AMEN.
Aridea P  Oct 2011
Kisah Ku
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu, 13 Mei 2007


Dulu sebelum aku dan kawanku merasakan dunia
Ku lewati dulu masa-masaku yang suram dan kelam
Namun... setelah Tuhan menegurku
Ku tinggalkan semua kebiasaan burukku

Aku dan kawan-kawanku
Tersentak akan suara adzan itu
Kami pun mencoba menjadi orang yang beriman
Kami pun terus melewatinya

Sampai... kami telah menemukan rasa dunia
Kami telah menjadi orang yang berkarya dan beriman
Namun... kami pun tak pernah melupakan masa dulu
Yang penuh kesengsaraan

Semua... itu kami ungkapkan dalam sebuah lagu
Yang berisi tentang suka-duka yang kami lewati dulu
Semoga... cara kami ingin berbagi cerita
Akan sukses dan dapat di terima semua orang
Eugene  Oct 2018
Step Brothers
Eugene Oct 2018
"Ilabas ninyo ang kuya namin!" sigaw ni Mon.

"KUYA! Kami to mga kapatid mo!" sigaw naman ni Jef.

Halos magambala na ang mga kapitbahay sa kalye Casa dahil sa ingay ng pagsisigaw ng magkakapatid. Mahigit sampung taon na rin nilang hinahanap ang kanilang nakatatandang kapatid. At may nakapagsabi sa kanilang nasa kalye Casa lamang ito at kasama ang tunay nitong mga kapatid.

"Anong problema ninyo ha? Nakakaistorbo na kayo sa kabilang at sa kalye rito. Sino ba hinahanap niyo ha?" lumabas ang isang matangkad na lalaki at nagsalita sa kanila.

"Alam naming nandito ang kuya Regie naman. Ilabas niyo siya!" sigaw ni Mon.

"Walang Regie dito. At sino kayo? Ni hindi ko nga kayo kilala e," sagot ni ng lalaki.

"Kilala ka namin at ikaw ang nakatatandang kapatid namin. Magkakapatid tayo sa ama. Ikaw si kuya Ryan," wika ulit ni Mon.

"Ah ganun ba? Bakit hindi ko yata alam? Sino bang tatay ang tinutukoy mo?" takang-taka ang mukha ni Ryan nang sabihin nito na magkapatid daw sila sa ama.

"Hindi ikaw ang sadya namin dito. Ilabas mo ang kuya namin!" wika ni Jef. Agad siyang nakipagpatintero upang makapasok sa loob ng bahay. Pero napigilan ito ni Ryan.

"At anong karapatan mo, ninyo na pumasok sa bahay ko? Kayo ba ang may-ari?" mataas na ang boses ni Ryan nang mga sandaling iyon pero nanatili pa rin siyang mahinahon dahil ayaw niyang gumulo pa. "Ang mabuti pa ay umuwi na lang kayo. Walang Regie dito. Nagkamali kayo ng pinuntahan."

"Hindi kami aalis dito. Alam naming nasa loob ang kuya namin. Ilabas niyo siya?" nagpupumilit pa rin si Mon at bigla na lamang niyang iwinaksi ang kamay ni Ryan na nakaharang sa pintuan ng kaniyang bahay. Hindi naman hinayaan ni Ryan na makapasok ito at doon ay ibinuhos na ang kaniyang galit.

"SUBUKAN NINYONG MAGPUMILIT PA NA MAKAPASOK! Ipapa-barangay ko na kayong lahat!" halos kita na ang mga ugat sa leeg ni Ryan sa pagsigaw nito sa kanila. Pero hindi pa rin natinag ang magkakapatid.

"Wala kaming pakialam kung iyan ang gusto mo!" bulyaw naman ni Mon.

Magsisimula na sana ang matinding kaguluhan sa pagitan ni Ryan at ng magkakapatid nang isang boses ang kanilang narinig.

"Sino ba ang hinahanap ninyo ha?" wika nito at mula sa likuran ni Ryan ay nakita nito ang kaniyang kapatid na inaalayan ng isa pa niyang kapatid. Mangiyak-ngiyak naman ang magkakapatid na Mon at Jeff nang makita ang pakay nila.

"Kuya! Kuya Regie!" magkasabay na tawag nila sa pangalan nito.

"Sinong maysabi sa inyo na lapitan ang kuya Ron ko ha?" sigaw naman ng isang binata na nakaalalay kay Ron.

"Hayaan mo muna sila Anghel," saway nito sa kapatid na patuloy pa rin sa pag-aalay kay Ron.

"Kuya, ako ito, si Mon at kasama ko si toto Jef. Kuya, miss ka na namin. Uwi na tayo, please!" nang mga oras na iyon ay nanatiling walang emosyon si Ron sa mga salitang kaniyang naririnig.

"Hindi ako si Regie at lalong hindi ako ang kuya ninyo. Wala akong kapatid na Jeff at Mon. Anghel lang at kuya Ryan ang mayroon ako. Kaya, pakiusap umalis na kayo rito!" wika ni Ron.

"Kuya, bakit? Ano ba ang nangyari? Anong ginawa niyo sa kuya namin ha?" nagtatakang tanong ni Mon nang mapansin sa iisang direksyon lang ito nakatingin.

"Bulag ang kuya Ron namin. Naaksidente siya. Kaya kung maaari ay lisanin niyo na ang bahay namin dahil hindi ito makabubuti sa kaniyang pagpapagaling. Pakiusap," sagot ni Anghel.

"Kuya. Alam naming ikaw iyan. Ikaw si kuya Regie namin. Ikaw ang tumulong sa amin nang mga oras na kailangan ka namin at nandito na kami upang kami na ang mag-alaga sa iyo. Please bumalik ka na sa amin. Nakikiusap kami kuya Regie. Kuya Ryan, payagan niyo na po kaming iuwi kuya namin," parang gripong sunod sunod sa pag-agos ang mga luha ni Mon.

"Walang isasama! Hindi niyo siya kuya. Kuya namin siya! Umalis na kayo rito!" bulyaw ni Anghel. Naitulak ni Anghel si Mon at muntik na itong matumba. Nang makabawi ay sinuntok niya si Anghel sa mukha at nakipagsuntukan na rin ito kay Mon. Pilit namang nakikinig at nakikiramdam si Ron sa mga pangyayari.

"ITIGIL NINYO 'YAN!" sigaw nang sigaw si Ron pero tila walang nakakarinig. Panay naman ang awat ni Jef at Ryan kina Mon at Anghel. Hindi na nakatiis si Ron at muli itong sumigaw.

"TITIGIL KAYO O AKO ANG AALIS!" lahat ay napalingon kay Ron at maagap na bumalik si Anghel sa tabi ng kaniyang kuya upang pigilan ito.

"Sorry, kuya," pagpaumanhin ni Anghel.

"Kayong dalawa, Jeff at Mon, pakiusap. Ayaw ko ng gulo. Umuwi na kayo dahil walang Regie sa pamamahay na ito. Hindi ko kayo kilala at lalong wala akong matandaang tinulungan ko kayo bago pa ako maaksidente. Kaya, umuwi na kayo!"

Hindi naman nakapagsalit sina Jef at Mon. Mabibigat ang mga paang nilisan nila ang bahay na iyon na patuloy pa rin sa pag-iyak dahil nabigo silang iuwi ang kanilang kuya Regie.

Habang papalayo naman ang magkapatid ay doon na bumigay si Ron at hindi na napigilan ang pag-agos ng kaniyang mga luha. Ang totoo ay kilala niya sila ngunit ayaw na niyang matali pang muli sa nakaraan. Masaya na siyang malaman na ang kaniyang mga step brothers ay nasa mabuti nang kalagayan. Kahit sa kaloob-looban ng kaniyang puso ay sabik din itong mayakap sila pero naipangako niya sa kaniyang sarili na kalimutan na niya ang kaniyang pinagmulan at ang mga taong naging bahagi ng kaniyang nakaraan. Nais niyang ituon na lamang sa kaniyang tunay na mga kapatid ang pagmamahal na hindi niya naiparamdam sa mga ito buhat nang sila ay nawalay sa isa't isa.
B'Artanto May 2019
Ditarik, kami diarahkan membaca apapun yang tidak ada penjelasannya.
Dikodratkan harus paham isi kepala makhluk yang hanya sesekali berkata iya dan tidak.

Kami terpingkal, Puan.
Bagaimana tidak?; Kain yang kau gunting sendiri dan pintal dengan rajut sedari subuh sudah cantik--tapi kau merasa kurang, dan kami adalah penyebabnya katamu.

Duduk kami melingkar bersama dengan gelas gelas berisi teh melati,
Hangat membaur aroma kebingungan kaum kami.
Sekali beberapa menit kami terpingkal lagi, berusaha terus membaca setiap halaman kosong dan beberapa titik saja di sudut kiri kanannya.

Tidak ada barang satupun buku yang mengerti keinginan puan.

Cemasnya puan ingin dilindungi,
Lembutnya puan yang ingin dikasihi,
Ah, apalagi tangisan yang tiba-tiba terisak di malam sehabis mimpi.

Tersenyum kami menahan tawa dan kantuk, sembari melihat-lihat wajah puan yang tertunduk mengharap ditanya mengenai hari ini.

Semenit dua menit kami lihat lekat-lekat wajah puan.
Kami bisa tidur malam ini,
Jawaban kebingungan lelaki bukan tertulis pada buku-buku; tapi dua bola mata yang senantiasa banyak bercerita setiap ia duduk hening tanpa berbicara.

Ah, engkau puan~
Buku pelajaran yang tak ada tamatnya.



B_A
10 Mei 2019

— The End —