Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Jan 2012
Jakarta, 9 April 2009

Cintanya tercipta untukku
Aku siap memberikan cintaku padanya
Aku sangat mencintainya
Ini hatiku berbicara
Tolong dengarkan...

Aku kehilangan akal
Aku menjadi hilang
Karena hidupku terlalu rumit
Gadis malang, hidup yang malang
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
raquezha Nov 2017
Sa irarum ku kanimong
matam-is na pagrukot
naintindihan ko
kung uno ibig sabihon
ku pagkapot mo
ku kanakong kamot,
ku mga text ****
malang siram
ulit-ulitong basahon,
ku magrani ka
mga labi mo
sa labi ko,

guru-gab-i ko
nababayad a magayon
**** mga mata,
maganting talaga a mga bituon,
pigdara ko kanimo
ku panahon na nauuda ako,
diri kabisado a lugar nag tangad
sana ako tapos tig sundan paiyan kanimo.

Kaiba ko ika sa irarum ko mga bituon,
nakatangad sana kita tapos
pigsisilngan su bulan na malakabilog,
nag ayat sa pabor
na sana...
sana...
bayaan na su nangyari ku kadto,
mig puon sa panibago,
gibohon na sanang ekpersyensya
su dating nangyari
ku kanatong mga deperensya.

Utro, puon sa uno,
nguwan diri ko na tutugotan
na mabayad ta ulit su puro.
Isi mo dawa kadakol na buwan
su naglipas diri nagbago
su tiwala ko kanimo.

Lang siram na payabaon ka,
Ika sana, uda na iba.
Kanakong Prinsesa
na diri mig uban magiging Reyna.
Favian Wiratno Dec 2018
Malang; Biarkan aku bercerita,
tentang anggun nya malam kala kita bersama.
Dua insan yang terlihat saling suka.
Tertawa lepas tentang angan yang berkelana.
Menyanyikan lagu kesukaan yang ternyata sama.
Berbaring dan saling tatap.
Menyadari cinta selalu ada.
Trilogi dari 3 Puisi (Part 2)
Berderap tegap nyaring bersuara
Saat pertama ku pajang jakun menutup pundak dan dada
"Universitasku universitas Indonesia. "
"Terangkum dalam frasa 'buku pesta dan cinta'"

Sayang hanya dalam nyanyian belaka
Isi kisahku hanya buku, tanpa pesta dan cinta

Jangan kurang jangan lebih jua
Pesta dan cinta punya takar unik pas tuk dicoba
Seperti kopi kelebihan kekurangan gula
Ada takaran pas 'tuk tiap lidah yg meminta

Kisah uiku kisah pesta
Pesta merayakan kebahagiaan,  kejayaan,  atau mungkin lepasnya keperjakaan
Kisah uiku kisah cinta
Cinta teman sebaya,  cinta maba alat pelampiasan atau cinta kakak tingkat kece mempesona
Jika kisah uimu belum ada pesta dan cinta
Maka jangan paksa diri menyeret kaki lepas dari skripsi dan tugas yang ada

**Entah malang atau baik nasib akhir kisahnya
Jangan mau lulus jika belum mencoba
Dalam lagu mars universitas indonesia,  terdapat kalimat "buku,  pesta dan cinta" yang melambangkan kehidupan mahasiswa UI selama diperkuliahan.  Namun terkadang,  tidak semua bisa merasakan ketiganya.  Ada yang hanya membaca buku,  ada yang hanya berpesta, pula ada yang hanya pergi kuliah mengemis atau menebar cinta.  Adalah baiknya,  jika sebelum lulus nanti,  kita dapat merasakan ketiganya.  Entah baik atau buruk perjalanannya,  setidaknya kamu takkan penasaran karena tidak pernah mencoba.
Dean Al Fataa Jun 2013
Di malam bulan terpotong jadi tawa, angin membelahku jadi tiga bujursangkar. Satu untuk diriku sendiri, satu untuk bibir kemaraumu, dan yang lain, mungkin, untuk dua anjing lapar yang Tuhan pelihara dalam diriku dan dirimu.

Di situ, di rimbunan gelap yang padat dan waktu yang mengering, ingatan mempertemukan kita walau sebentar. Kau berlari membawa kotak yang di dalamnya mungkin adalah namaku, dan aku berlari di belakangmu menjauhi danau.

Sayap-sayap yang tidur, kepala yang dinaungi tali-temali, dan jejak-jejak bernafas rapat. Bagimu, dunia mungkin masih adalah tabir yang kaku.

Oh.

Burung-burung dalam kepala! Itu kekakuan yang liris membunuhku.


Malang, 3 April 2013
raquezha Aug 2020
Mudtū nanaman akong nagisəng
Kwasa lawod na sige panaŋgad
Piripildit kadtong kompyuter
Tambak a  gigibohon pauno
Malang sakit pag naədâan ikang trabawo
Dāwâ unong mag-ābot tinitira
Magka-income sanā nguwan na pandemya
Masakit a pagbuɣay nguwan
Bana niloloko kita ka kanatəng gobyerno

"Urāsâ ayy!" Sabi ni inay
Kwasa kaya nakakape ika malaka mudtū
Pano ka diri iinitan ka tramuya **** iton

Nalingawan ko, paborito palan niya a kape
Ay ta dawa malang ŋisnitan na malaka-pwerte paghigop niya.

Siguro tinutuod kita sa pasakit na tinatao kanatə arog kading gibo ko, nagkakape naman ako dāwâ malaka-mudtū, diretso sa lalawgə̄n ko a sulô galin sa langit, pinipirit na indahon a kulog tas pait, ŋata ta kaipuhan kitang pasakitan kin pwede man sanang ayoson a nasasakupan, ay inda maray pa magkape na sanā.
1. Urāsâ, hot, warmth, sweltering; "Urāsâ ayy!", An experession you say when feel very very hot and sweaty.
2. https://www.instagram.com/p/CDZI4TUHKck
Kupaparkan rayuanku untukmu.
Kupertontonkan asmaraku untukmu.
Dunia harus tahu !
Hatiku selalu menggebu - gebu !

Kukirimkan surat cintaku melalui dunia maya.
Pak Pos sedang sibuk kasmaran juga rupanya.
Oh pak Pos !
Kencan jangan terlalu lama !
Siapa yang bisa mengantarkan cintaku padanya ?!
Kusiapkan surat kuselipkan kata manis dan rindu dengan tinta merah dan banyak kecupan mesra.
Maya harus tahu !
Hatiku memang menggebu - gebu !

Tapi kau buang puisiku.
Melirik saja tak mau.
Ya sudah kalau begitu.

Biar saja dipakai followers saya,
lumayan untuk caption mereka.
Padahal untuk merangkai kata dan rima,
hati harus jatuh dan kau buat patah.



Puisiku sebatas dunia maya.
Tidak sampai hati yang empunya.
Malang.
Malang.
Yang penting ada yang baca. Terima kasih ! Jabat erat !
- @grabrielle
Tuhanku pernah berbisik kepadaku
"Berbahagia orang yang sudah mati,
karena tak ada beban untuk mereka.."


"Namun ingatlah..
Lebih bahagia orang yang belum ada didunia ini,
karena tak ada yang mereka berikan
atau tinggalkan didunia ini.."


Aku terhentak dengan bisik itu
Dengung nya masih terasa dikuping hingga petang ini
Aku berfikir memang benar..
Semua yang hidup didunia begitu malang..

Mau atau tak mau
mereka harus memilih//
Jadi dermawan baik hati
atau
Penikam handal penghabis darah teman sendiri


Hai, teman..
Apakah tidak lelah menutup mata?
Berlagak bekerja..
Sengaja menyapu debu dan bangkai kedalam karpet

"Lihat sayang, kotoran itu tetap ada..
Hanya saja memang tak terlihat
Namun bekasnya terrcium jauh kesana"


*Lebih malangnya lagi
Kita masih berharap
Berharap menjadi pemenang
Padahal ikut lomba pun tidak..
Bila cinta sungguh hadir tanpa disadari
Siapa pemegang kuasa,
maha pemberi cinta,
yang seenaknya beri dan ambil?
Aneh benar bualan ini.

Yang kupercaya cinta hadir dengan ijin sang tuan
Bila ya, tinggalah ia, bertumbuh bahkan berbiak
Berpupukan gombalan manis atau sedikitnya senyuman sipit
Berbuahkan gelak tawa
atau jika sedang sial
mungkin tuaianmu sesal dan air mata
Sungguh malang memang..

Ingat teman,
Kau adalah tuan
Bukan kau mengemis mencarinya,
ia yang bertandang menumpang..
Kau cuma perlu mengenangkan,
menikmati cinta..
Humor untuk menyenangkan diri. Jika kesepian, kadang manusia mempersalahkan keadaan bukan dirinya yang tak mau cari teman hehe.
ga Nov 2017
Bermekaran bunga mengiringi senyummu
Harum mewangi semanis madu
Rendahkan sedikit sekuntum kelopakmu
Tak ayal kumbang bergemuruh

Semanis madu kau mengundang
Aku terbuai layaknya kumbang
Indah gemulai tak kunjung lekang
Kau ratuku bukan sembarang

Tak kusadar burung berkeciap
Gagah benar paruh mengkilap
Hebat benar kepakkan sayap
Kumbang limbung terbangnya kalap

Bunga indah harum mewangi
Ternyata pandai bermain api
Tak disangka membakar janji
Batang indah bertumbuh duri

Kumbang sesak terbangnya lirih
Perihnya hati dusta sang terkasih
Berharap terang hujanpun masih
Berharap lekang sayangpun masih
04/10/2017
raquezha Aug 2020
Nagdakulo akōng
tinatao kanakə
A gusto ko
A kaipuwan ko
Kin nababayad ko sana
A mga mingyari pa sana
A mga kaipuhan nirā
Dirî na kintana
Nagrayô pa
Pero agko naman akō
Sadiring pangangaipo
Malang sakit sana nguwan
Ta dakol problemang binabayaran
Pero dirî man ibig sabihon
Dirî na akō migtabang
Paluway-luway sanā
Gatingay na ōras pa
Di pa man kitā ūri
Makaka-abot man kitā
Dawa akō uru-aldəw
Pirmi man na ildəw
Matatapos man adī

Baydun mo,
Mig-ulî man akō
1. Ūri; a Rinconada word which means last, late (as an arrival), tardy.
Atta Aug 2017
Hening, pikirku
Aku sendiri di kerinduan malam
Bunyi kota malang melintang di pikiranku
Suara penyanyi jalanan memecah sunyi

Hening, pikirku
Aku sendiri di gelapnya ibu kota
Bunyi senyap pedagang memekik di telingaku
Suara hentakan kaki berirama melawan arus

Hening, kataku
Aku sendiri tanpa arah
Bunyi dentuman keras degup jantungku
dan
Suara muramnya hatiku memenuhi pikiran

Hening, ku terdiam
Bisingnya ibu kota malam ini
Itu semua untuk mengitung harapan
Seberapa besar kesempatanku untuk bersamamu
Sampai aku mengabaikan gemilangnya malam ini
Sampai aku melupakan kesempatan lainya

Bising, aku tersadar
you kno, when you're in love everything becomes blurry.
Surya Kurniawan Sep 2018
Dari dalam diri Dali dan Dada datang menghampiri ke daftar orang-orang mati.
Meyakinkan manusia manapun yang mau mendengar musik merdu melodi mimpi.
Yang lalu lalang bergentayangan malang di terang liang lawang-lawang.
Luapan oli di lobang lintasan lalu lintas layaknya di lorong-lorong lupa.
Obrol diobral, diobok-obok oleh organisasi olahraga oportunis yang jadi objek operasi.
Jalanan yang jelas-jelas jelek jangan dijadikan juga sebagai jaminan judi dan jamban di jaman sekarang.
Sebab itu saudara sekalian sudah sanggup kah simpanan saudara selamat sampai sasaran?
Mere is dil ki har dadhkan mein hai aapka basera,

Mere sajan jaldi se aajao baandh ke sehra.



Aapki dulhan ko hain zindagi bhar sirf aapka intezaar,

Is sacchi shiddat ka andaaza khuda bhi nahi laga sakta itni h beshumaar.



Itni pavitra aatma hai aapki ki dil karta niharti rahun,

Aapke bin ek pal bhi raha nahi jaata kya karun?



Ye dil sirf aapko talaashta,

Nahi hai koi khwaiysh ya abhilasha,



Nahi chahiye kuch sirf aap chahiye,

Nazar na lage kisi ki aapko jaan aye meriye.



Mehandi aapke naam ki mere haathon mein saje,

Maathe par sindoor humesha aapke haathon se lage.



Khushnaseeb hai ye bandi jisne aapko paaya,

Aap mile tou poora ** gya meri rooh ka saaya.



Mai mai na rahi hum bn gayi,

Aapki dadhkano se ye saanse chal rahi.



Le jao apni sangani ko apne sang,

Basi hai rooh aap mein mast malang.
Ky Dec 2017
Jika benar
Kehidupan sebelumku benar ada
Kuyakin perasaanku padamu tetap cinta

Jika benar
Dunia paralel adalah nyata
Kuyakin rasa menggebu itu tetap rindu

Jika benar
Dunia ini prosa
Maka, kau satu-satunya fakta

Malang, 8 Januari 2017
Terlelap, indah, bahagia
Juan! Juan! Sa diin na ang palangga ko nga Juan?
May dapat vlah ikaw mahibaluan
Ako sa imo may kinahanglan

Simple malang ang akon ginapangayo
Nga ako ang pagapilion mo
Pila ang gusto mo nga ihatag ko?

Sige don…indi timo maghinulsol kaja ah
Para man ja sa imo ikaayo kg ikasadya
Di vlah gusto mo nga mag-umwad ka?

Indi ka? Sige guys, kamo na bahala sa iya
Himua ang tanan para siya akon makuha
Ang dungog, pag-apin kg boto niya

Hahahah! Juan! Juan… Akon ang boto mo!

-sometime in 02/2016
(Dumarao)
*for Lit. Day 2016
My Poem No. 501

— The End —