Sebuah renungan untuk kesukaan yang aneh.

Prang

Ia suka mendengarkan suara kaca pecah. Kadang-kadang, suara beling atau cermin. Itulah sebabnya ia sering kehabisan gelas di rumah. Saat sedang gusar hatinya, ia sengaja mengambil satu atau dua gelas untuk dijatuhkan. Suaranya renyah dan cantik. Ia membayangkan berbagai masalah yang ia hadapi berubah menjadi sebuah gumpalan besar yang akhirnya mendobrak tempat ia dikurung bebas dan selanjutnya merasuki orang lain. Ia tak akan memikirkan kegundah-gulanaannya lagi. Apabila sudah terdengar *prang, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Ia sadar kalau itu kebiasaan yang buruk. Orang-orang disekitarnya mencercanya. Berisik, kata mereka. Ia tidak melakukannya karena ia suka memecahkan barang. Ia lakukan hal itu karena ia suka mendengar suara kaca pecah yang berhamburan kemana-mana. Ia juga tak sering-sering amat melakukannya, hanya sesekali. Terkadang malah tidak sama sekali.Tentu saja, ia tak ada maksud mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Kata-kata pedas itu membuatnya ingin mendengarkan suara kaca pecah lagi. Tapi ia tak dapat melakukannya. Ia tahu melakukan itu hanya akan membuatnya dihujat lebih parah.

Ketika terbangun di subuh yang dingin, ia mendapati suara kaca pecah berkali-kali terdengar. Prang prang benar-benar membuatnya tenang. Sepertinya otaknya sudah merekam suara menggeletar itu dan memutarnya begitu saja tiap hatinya gonjang-ganjing.

Sayangnya bebunyian itu tidak berhenti. Ia terus mendengar prang prang bahkan ketika matahari tepat berada diatas kepala dan prang prang prang lagi ketika maghrib tiba. Prang prang prang prang. Prang prang prang. Prang prang prang prang prang prang prang, prang prang, prang prang prang.

Prang prang yang ia nikmati mendadak menjadi sebuah suara yang membuat keringat nya, prang, mengucur deras.
Prang prang prang prang tetap tidak berhenti meski hari silih berganti. Ia terheran, apakah orang lain juga dapat mendengar prang prang prang atau hanya ia saja?

Sudah hampir dua hari prapraprang terus berlanjut. Ia mencoba keluar rumah, mungkin suara itu ada di dalam rumahnya saja. Dan benar, saat ia keluar rumah, tidak ada satupun pranggggggg terdengar.

Tak ada tetangga yang menunggu di depan rumahnya dan memprotesnya.

Yang ada hanya  jejeran rumah-rumah tetangganya yang hampir semua kacanya  hancur lebur karena di lempari batu, dan saat ia melongok ke dalam, para penghuninya telah telungkup dengan kepala bocor.

Ia lari tunggang langgang kembali ke rumahnya, dan prang.

Prang lalu berubah menjadi gedebuk dan suara yang dahulu menenangkannya kini menghabisinya.

Wanita bertubuh gemuk yang tinggal beberapa langkah dari rumahnya itu benjol kepalanya. Ia membawa sebuah vas porselen yang kini hanya berupa pecahan-pecahan saja setelah digunakan untuk menghantam kepala si pecinta prang.

“Dasar ngelamak, diingatkan malah menjadi-jadi. Setan kamu ya, semua orang kau lempari rumahnya prang prang prang hanya karena protes berisik.”

Ia tak tahu apa yang terjadi. Bunyi yang terakhir di dengarnya hanyalah prang. Cercaan si gemuk tak dapat lagi ia dengarkan. Darah dari kepalanya yang pecah—bocor—menggenang di teras rumahnya. Semua orang pasti senang atas kematiannya. Mereka tak akan mendengar prang prang prang prang lagi. Sedangkan ia, tak tahu apa yang terjadi dan mengapa kepalanya dihantam begitu saja.

Yang ia tahu,
Ia suka mendengarkan suara kaca pecah,
Lalu orang-orang mencibirnya, ia tak dapat lagi melipur penatnya.
Dan karena itu,
Aku jadi suka memecahkan kaca untuknya.

Prang,
Sayang.

I was born into a
Hall of wooden pews and
Sundays full of crinkling satin bows,
Confronted by a stern-faced woman with iron grey curls
Tighter than her heart.
I remember very little of those
Sunday rooms, mazes of correct answers and long half-hours
I was raised through new pews,
Carpeted halls and
Long hours with brown haired ladies
A book 1200 pages thick of
Tradition and my mother's folded hands as I peek
From under my bowed head,
Earning sharp reprimands from white  robed men.

I saw them,
Of course,
Walking in Dearborn, Detroit, Ann Arbor, far away lands of unrest, but
They weren't in little, white, homogenous Chelsea, Michigan,
Of course,
Not them.
Yet I marveled at soft amber skin
And deep chocolate eyes full of
More galaxies than I ever knew existed,
Split solar systems of hushed mosques and mosaics that I was never
Allowed to see.

But I loved it.

My room became a tiny haven,
My dusty mirror showing a soft headscarf wrapped carefully,
Gently,
Over flyaway frizz,
Green cotton matching hazel eyes.
I knew not the complexities,
So I faked them,
Simply kneeling because I could not
Remember all the beautiful
Dances of prostration to praise another name of God.
Foreign syllables try to roll from my strangely
English tongue; I never realized how
Odd and stiff my born language is,
Too full of contradictions and
Double entendres, strict lines of black and white
Inky blood spilled on snowy sheets of paper,
Ancient characters telling me how to live my life.
As far as I'm concerned,
Allah (swt) and God are just two names
For the same deity,
And I simply preferred
Fajr
Dhuhr
'Asr
Maghrib
'Isha
Over the Lord's Prayer and
Hail Mary.
My rosary beads were quiet patches of rakaahs
Though I could not pronounce any of the words.

I kept secrets too heavy to lift into the
Dark recesses of my mental hiding-holes
Instead dwelling in discrepancies and dealing in bargains.
Half of me fit perfectly to each,
A blasphemous picture of the ****** Mary
Transposed to the cover of a Qur'an
I had never opened, like the
Guilt-edged pages of Bibles growing weary
Under my desk.
Two irreconcilable pieces of religion,
Broken images of stained glass crowns
That can't be formed into the intricate patterns of an
"Exotic" heart.
So for today I pack away my rakaahs and prostrations in a wooden box,
And take up my cross again.
Someday, though,
My heart will chase itself through the five pillars,
And I will shake out the green cotton,
Wrapping it carefully over a flyaway soul.

Namaz was less prayer and more about
Standing beside Amma and mirroring her,
When as a toddler I stood on the chataai
Murmuring as she did,
Bending down as she did,
Resting my head on the floor
And then waiting to come back up
When she did,
Some days I'd be so sleepy I'd sway on the mat,
Only to be jolted up by an angry Hmph! from her side,
Some days the patterns on the mat seemed like
They were God's silhouette- something she always denied,
Times of silently bonding with the Almighty and the Amma,
Slowly faded into me deciding to pray solo,
When the hour of maghrib coincided with a
Mother-daughter tiff,
And even when we stood praying side by side,
I'd make it a point to not let our sajdas coincide,
On the mat laying bare our rifts and divides.
I wonder if Amma noticed me daydreaming during prayer,
My musings whether God understood English,
My requests to Him to make that crush like me back,
My teenage self angrily bubbling at her obtrusions to my 'freedom'
As she prayed and prayed for me.
Years have passed,
And how I'd love to synchronise again,
The pace of our prayer, the length of our sajda,
But the days, and this new house,
Are now ridden with so much more clutter,
That, though the chataai has stayed the same,
There's not enough space to accommodate
Both daughter and mother.

Fajr passed by as I slept on
Zuhr was lost in a day's work
Asr got skipped as I sipped my tea
Maghrib flew by as I photographed the sunset
Isha was added to the forgotten list
And there I lay at night tossing and turning
Wondering why peace escapes me?

Maghrib, in the western world
A sunset in the western morroco
Beautiful, like sunny sun smile