Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Snigdha Banerjee May 2016
Seventeen I Was ! Much  Stupid To Be Called Sane ! Yes like every other girl I too had a dream world where I was “Marzi Ki Mallika” the very thought of being matured haunted me & being a teenager you just can’t avoid the driving crazy adrenaline rush that you get when you fantasise stuff of being in love. My fantasies resulted in prettily adorable pieces of poems and bits of stories where A Boy fell in love with A Girl. I had dated my dreams since forever & it was amazing & what justifies this statement of mine is that they never disappoint ! talking to people knowing stories making new friends and sharing memories with old one’s that was indeed perfect to me ! I always tried to describe that perfectly adorable moment of falling in love in the best possible way I could fantasise ! Not too soon I realized that moment cannot be emphasised !

THAT MOMENT IS A CAPTURED MEMORY

Turned 23 Yay ! Loads Of Birthday Presents ! Wishes ! Hearty Felicitations ! etc etc 6 years passed since then & I remained the same still much stupid to be called sane ! Maa smiles while she still wakes me up in the morning saying Kobe Boro Hobi (when will you grow up). I giggle and hug her knowing not when !! I see the beautiful stock of my soft toys which helped me remain childish when suddenly my mirror reported about how messy my hair was ! OH GAWED maaa… my instant reaction was !

I was told love happens when matured ! I herd the same but fortunately dared not to believe ! Th0 I knowingly knew that dating a girl like me a guy will have to fall in love with my messed up stuff he needs to constantly date my love for 3a.m coffee & my craziness for maggi accompanied with coke ! My idiotic obsessions with vampire & songs of Nusrat & Kishore & perhaps tolerate the constant humming of those part of songs which I loved ! Questioned my self quiet frequently about will my love accompany me while I trek through the mighty mountains will he accompany me in my best moments of life will he even accept me the way I am !?? such questions did nothing but made me fall asleep which ended up in GOOD MORNINGS with Bournvita !

Usual mornings and unusual days thereafter ! mobile rings I ran to pick up the call it was none other than my beloved going to be husband AASHIQ

Good morning ! come lets plan out something crazy  ! Adrenaline rush  What About A Trek At Ladakh ! Readily agreeing to the proposal I said yes ! We drove together as I discovered his playlist matched mine ! with each passing moment I got the answers to much awaited stupid questions ! while I was unanswerable to his lone question why I had smiled while he drove ! We got down  amidst green surroundings   he picked up a piece of sugarcane and nervously began to chew on it as he was humming one of my favourite songs, He looked at me like I was the only **** thing that’ll ever matter to him looking constantly into my eyes he blurred out ILOVEYOU&WANTTOMARRYYOU;

I always valued crazy memories but this was the craziest one perhaps ! I started laughing unwantedly pointing at his face ! His front tooth had broken! He had been trying to be a stud only to impress me he tried to peel the sugarcane with his teeth & somehow ended up loosing the bottom part of his front incisor !

I Blushed later ! My face betrayed two expressions – Amusement & Shyness !

I Fell In Love Unknowingly Without A Parachute ! much madness was added when I couldn’t resist saying ILOVEYOU

His eyes met mine with a sparkle of mischief  AKHO AKHO ME PYAR HOGAYA

Committed !  Not Confused !

Start Of A New Journey Hands In Hands We Start Our Trek ! !
Bits Of Crazy Life
Diadema L Amadea Sep 2019
sedang ingin menulis
tapi tidak ingin disebut puitis
saya gamau, terkesan najis

tapi saya masih ingin menulis
gusti..
lantas harus apa?
hanya haha huhu cinta yang melintas
saya gamau, terkesan najis sekali lagi

hobi sekali
menulis tanpa arti
percuma kalian mengamati
penulisnya saja tidak bisa mengerti



dasar otak angin.
Tengah malam di pinggiran kota Surabaya.
Aku duduk sendiri di teras kafe tua.
Kupandangi jalanan yang lengang.
Sambil kuhisap pelan pelan rokokku.
Dan kuteguk kopiku yang tak lagi panas.

Tapi pikiranku tidak berada di sini.
Pikiranku masih berada jauh di Gaza.
Dimana kekacauan panjang tak kunjung berakhir.
Hingga aku lelah melihatnya setiap hari.
Seperti pertunjukan horor harian tanpa akhir.

Kusambungkan ponselku dengan wifi.
Lalu kulihat layar ponselku yang kusam.
Dan kubuka akun sosial media orang orang Gaza.
Ahmed , Omar , Eman , Mariam , Abdallah , Mohammed dan lainnya.
Seperti biasa mereka selalu memposting.
I'm still alive... I'm still alive... I'm still alive...

Tapi ada akun Facebook yang telah lama membisu.
Akun ini tidak lagi memposting apapun selama berbulan bulan.
Tentu saja aku sangat mengkhawatirkannya.
Dan aku menerka nerka apa yang terjadi padanya.
Apakah dia masih hidup atau sudah mati ?!?...

Akun ini milik seorang gadis bernama Nour.
Dia mengungsi dari Al Rimal kota Gaza.
Aku mengenal dia sejak akhir tahun kemarin.
Lalu kami merasa saling dekat satu sama lain.
Terhubung pikiran dan perasaan.
Antara Gaza dan Surabaya.

Aku ingat setiap hari aku selalu memberinya kata kata penyemangat.
Agar dia sanggup melalui hari demi hari yang kacau , berat , melelahkan dan berbahaya.
Nour selalu menceritakan apapun yang dia alami.
Penderitaannya... ketakutannya... kegetirannya... kecemasannya... kelelahannya... kesedihannya....
Aku juga merasakannya.

Ada kalanya situasi tenang sesaat.
Cukup tenang bagi Nour untuk mengenang kehidupannya.
Dia mengunggah foto rumahnya , lingkungannya , kampusnya dan juga sudut sudut indah kota Gaza.
Saat semuanya masih ada sebelum 07 October.

Bagi Nour nostalgia adalah penghiburan sesaat.
Pelipur lara di tengah penderitaan panjang.
Aku selalu terlarut nostalgia apapun yang dia ceritakan padaku.
Bersama teman temannya dia suka nongkrong di kafe tepi pantai.
Menyusuri keramaian jalan Al Rashid lalu makan jagung dan es krim di tepi jalan.
Atau menghabiskan uang untuk belanja baju di Watan mall dan Capital mall.

Membaca buku adalah hobi utama Nour.
Dia sering membeli buku di toko Samir Mansour.
Lalu dia membaca buku buku itu di kamarnya.
Berdinding pink , meja yang tertata rapi.
Dan sebuah teddy bear besar di atas kasur.

Memasak adalah hobi Nour yang lain.
Setiap hari dia memasak apapun di tungku tanah liat depan tendanya.
Falafel , mulukhiya , shakshuka , maqluba.
Tampak begitu lezat hingga membuatku penasaran.
Seumur hidup aku tidak pernah memakan hidangan Arab.

Nour juga suka mendengarkan musik.
Dia menyuruhku mendengarkan lagu lagu Fairuz.
Penyanyi diva legendaris dari Lebanon yang dia idolakan.
Aku terpesona mendengarkan suara lembut Fairuz.
Menyanyikan lagu lagu Arab yang liriknya tak kumengerti.

Nour punya kucing berbulu putih tebal.
Kucing gemuk dan lucu yang bernama Kimba.
Setiap hari Kimba selalu dimanjakan Nour.
Tapi terkadang Nour mengeluh karena Kimba makan terlalu banyak.
Sementara makanan kucing susah dicari dan harganya naik tinggi.

Nour kuliah di Universitas Islamic Gaza.
Kampusnya telah hancur dan kuliahnya terhenti pada semester lima.
Tapi dia selalu bangga pernah menjadi muridnya Refaat.
Mewarisi ajarannya untuk melawan dengan tulisan.
Menulis apapun tentang Palestina dan kehidupan apa adanya di Gaza.
Dimana jiwa jiwa yang punya kehidupan tidak cuma dianggap sebagai angka.

Aku takut jika pada akhirnya Nour hanya menjadi angka.
Angka statistik para martir yang terus bertambah setiap hari.
Sementara dunia tidak mampu melakukan apapun selain hanya melihat pembantaian tanpa akhir.
Merampas kehidupan secara paksa dan menyakitkan.

Tak ada yang tidak menyakitkan di Gaza.
Tapi bagiku lebih menyakitkan tidak ada kabar apapun dari Nour.
Aku merasakan kehampaan kehilangan dia.
Aku merindukan percakapan dengan dia.
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memandangi foto wajahnya yang cantik.

Don't leave me !.. please don't leave me alone !..
Nour selalu memohon seperti itu padaku.
Dia ingin aku selalu ada untuknya.
Tapi sekarang dia tidak ada untukku.
Dia telah meninggalkan aku tanpa kata.

Ketika kupandangi langit malam untuk sesaat.
Aku bertanya tanya tentang takdir Nour.
Apakah dia telah menjadi satu diantara bintang bintang di langit ?!
Ini tidak adil , aku mengenal Nour terlalu singkat pada waktu yang buruk ini.
Aku hanya ingin dia tetap berada di bumi , berada di kota Gaza yang dia cintai.
Aku sangat ingin menemuinya pada waktu yang baik seperti yang kami harapkan , waktu ketika tanah Palestina telah terbebaskan.


November 2024

By Alvian Eleven
Sebelum 07 Oktober adalah normal lama.
Orang orang Gaza masih punya kehidupan.
Kehidupan yang telah menjadi masa lalu.
Masa lalu yang hanya bisa dikenang.

Hassan selalu senang tiap jumat siang.
Setelah shalat jumat dia bisa makan enak bersama keluarganya.
Lalu bersantai di tepi pantai hingga sore.
Itulah normal lama Hassan.

Tiap hari Asmaa bersemangat mengajar.
Pelajaran bahasa Arab untuk sekolah dasar.
Murid muridnya selalu berisik di dalam kelas.
Itulah normal lama Asmaa.

Samara selalu merayakan ulang tahun anaknya.
Dia membuat kue **** dan memasang hiasan lucu.
Boneka besar menjadi hadiah untuk anaknya.
Itulah normal lama Samara.

Tiap sore Mai selalu menyetir mobilnya.
Pelan pelan melewati jalan Al Rashid yang ramai.
Sambil melihat lihat suasana tepi pantai.
Itulah normal lama Mai.

Mustafa sibuk bekerja siang malam.
Mengumpulkan uang untuk membayar dowri.
Agar dia bisa secepatnya mengawini gadis pujaannya.
Itulah normal lama Mustafa.

Fadi selalu begadang tiap malam.
Saat listrik menyala dia sibuk melakukan banyak hal.
Mengecas laptop , mengetik makalah , mencuci baju dan lainnya.
Itulah normal lama Fadi.

Tiap hari Mariam selalu sibuk.
Pagi hingga sore dia berada di kantor.
Bekerja mengurusi periklanan dan digital marketing.
Itulah normal lama Mariam.

Heba selalu senang belanja di pasar.
Dia membeli daging , sayuran , buah buahan dan bumbu masakan.
Saat tiba di rumah dia langsung bersemangat memasak.
Itulah normal lama Heba.

Saat pagi Yousef sering pergi ke dermaga.
Dia melihat laut sambil menghirup udara segar.
Lalu membeli banyak ikan yang baru ditangkap nelayan.
Itulah normal lama Yousef.

Mohammed bertubuh kekar.
Tiap sore dia rutin pergi ke gym atau latihan tinju.
Terus berolahraga menjaga kebugaran tubuh.
Itulah normal lama Mohammed.

Lulus kuliah Abdullah masih menganggur.
Dia sering berhutang apapun di toko tetangganya.
Saat ditagih seperti biasa dia selalu menghilang.
Itulah normal lama Abdullah.

Keluarga Ali punya kebun olive.
Tiap musim panen dia selalu senang memetik olive.
Sambil makan manakeesh dan zaatar bersama keluarganya.
Itulah normal lama Ali.

Tiap malam Tareq sibuk belajar.
Dia ingin mendapat nilai tinggi saat ujian tawjihi.
Agar keluarganya merasa bangga padanya.
Itulah normal lama Tareq.

Ayahnya Omar bekerja di bengkel.
Dia sering memasang tabung gas untuk mobil.
Sopir sopir taksi tidak perlu membeli bensin.
Itulah normal lama ayahnya Omar.

Tiap menerima gaji Khaled merasa senang.
Dia selalu mengajak keluarganya makan enak.
Menyantap berbagai hidangan sea food di restoran Abu Hasira.
Itulah normal lama Khaled.

Wajah Eman selalu tampak cantik.
Dia rutin pergi ke salon melakukan perawatan.
Produk produk kecantikan juga dia beli semua.
Itulah normal lama Eman.

Ketika musim dingin Aya selalu senang.
Dia menghabiskan waktu membaca koleksi novelnya.
Sambil makan burger dan mereguk hangatnya sahlab.
Itulah normal lama Aya.

Tiap hari Walid selalu keliling Elsaraya.
Dia menyopir taksi mencari cari penumpang.
Sementara anak anak jalanan menjual tissue dan biskuit.
Itulah normal lama Walid.

Saat ada orang menikah Nassar selalu diundang.
Dia menjadi fotografer untuk memotret pengantin.
Pernikahan meriah di hotel dan resort tepi pantai.
Itulah normal lama Nassar.

Saat ramadhan toko Fatema selalu ramai.
Orang orang datang membeli berbagai kue buatannya.
Kaak , qatayef , baklava , kunafa dan lainnya.
Itulah normal lama Fatema.

Ketika hujan deras malam hari.
Kakeknya Ashraf selalu mendengarkan radio.
Menunggu lagu lagu Fairuz diputar sambil menghisap hookah.
Itulah normal lama kakeknya Ashraf.

Saat pertandingan El Classico.
Khalil dan teman temannya selalu pergi ke kafe.
Nonton bersama sambil bersorak sorak.
Itulah normal lama Khalil.

Huda kuliah literatur Inggris di Universitas Al Azhar.
Dia senang menghabiskan waktu di kampus.
Nongkrong di kantin atau baca buku di perpustakaan.
Itulah normal lama Huda.

Ketika musim panas Kareem tidak betah di rumah.
Dia sering nongkrong bersama teman temannya di tepi pantai.
Sambil makan jagung , kacang dan minum barrad.
Itulah normal lama Kareem.

Generator di rumah Shayma sering mati.
Biasanya dia keluar membawa laptop nongkrong di kafe.
Mereguk hangatnya mocca sambil mengunduh film dan anime.
Itulah normal lama Shayma.

Ayahnya Lubna punya kebun buah buahan.
Stroberi , jeruk , lemon , semangka dan kurma.
Tiap hari kebun itu selalu diurus secara telaten.
Itulah normal lama ayahnya Lubna.

Malak sering ikut kegiatan.
Pemberdayaan dan kreatifitas anak muda.
Dia belajar coding dan konten multimedia.
Itulah normal lama Malak.

Setelah lulus kuliah Zaina sulit mendapat pekerjaan.
Dia membuka kios kecil yang menjual falalel.
Orang orang selalu datang membeli falafel buatannya.
Itulah normal lama Zaina.

Dima punya banyak koleksi novel.
Dia sering membeli berbagai novel di toko Samir Mansour.
Lalu dia membacanya sambil berbaring di kasur.
Itulah normal lama Dima.

Tiap pulang sekolah anak anaknya Hussein selalu senang.
Mereka dibelikan Playstation agar bisa bermain game.
Ada balapan , pertarungan dan petualangan.
Itulah normal lama anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu enerjik.
Dia menjadi instruktur fitness dan aerobik.
Tak mengherankan kalau tubuhnya tampak langsing dan kencang.
Itulah normal lama Reem.

Masa akhir kuliah Amal sibuk belajar.
Dia ingin segera lulus dengan nilai yang bagus.
Mendapat beasiswa kuliah ke Eropa adalah impiannya.
Itulah normal lama Amal.

Menjadi ahli bedah adalah pekerjaan Dr Ghassan.
Selama puluhan tahun dia menjadi dokter di rumah sakit Al Quds.
Walaupun gajinya tak seberapa tapi dia selalu semangat bekerja.
Itulah normal lama Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya baru saja pindah ke apartemen.
Apartemen berfasilitas lengkap yang dibangun di tepi pantai.
Kehidupan terasa nyaman tanpa mengalami masalah apapun.
Itulah normal lama Ahmed.

Setelah lulus kuliah medis Aboud langsung bekerja di rumah sakit Al Shifa.
Dia senang bekerja dengan rekan rekannya yang penuh semangat.
Menyembuhkan orang orang dengan berbagai keluhan penyakit.
Itulah normal lama Aboud.

Kehidupan Mahmoud benar benar bahagia.
Dia tinggal di apartemen mewah bersama keluarganya.
Berbagai bisnis yang dia punya terus menerus untung besar.
Itulah normal lama Mahmoud.

Tiap hari Sham senang menghabiskan waktu di rumah.
Berkumpul bersama keluarganya menikmati kebersamaan yang menyenangkan.
Baginya keluarga adalah segalanya.
Itulah normal lama Sham.

Sondos kuliah hukum di Universitas Al Azhar.
Dia mempelajari hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dia ingin Palestina yang terjajah mendapatkan keadilan.
Itulah normal lama Sondos.

Melukis adalah hobi Bayan dan Layan.
Mereka paling senang melukis langit seperti lukisan Van Gogh.
Bagi mereka langit menyimpan segala misteri yang tak diketahui manusia.
Itulah normal lama Bayan dan Layan.

Normal lama berakhir setelah 07 Oktober.
Orang orang Gaza tidak lagi punya kehidupan.
Hanya ada masa kini yang menyakitkan.
Dan masa depan yang terancam.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —