Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Joshua Soesanto Jun 2014
pola pikir bumi tak seiring hasrat pemimpi
saat kala jatuhnya langit dari angkasa
jutaan pasang mata melebur
kadang hidup, seperti kopi rasanya

tegukan pertama serasa tembakan petir terasa
penuh kejutan untuk setiap liur asapnya
cari sudut, panorama inspirasi
jauh hisap nikotin, seruput kepala cangkir

satu perempuan jatuh dalam cangkir
dibayangi riuh ramai cerita cinta orang lain
pelukan, cumbu pasif
biar dada tertusuk duri, nikmati sajalah sendiri

kita masih muda, dosa kecil berbalik sedikit
lentikan jemari memeluk selongsong leher
sedikit kecupan akan lahir matahari kecil dari sana
mungkin esok, lusa atau mungkin cukup hari ini

sekembalinya aku pada sepetir kopi daerah
terasa benar ada yang berlari, memeluk
lalu tersenyum, berkata "kopi ini mimpi"
berkicaulah pisau, tusuk! bunuh!

lalu
terbangunlah euphoria meditasi.
Michael Joseph Oct 2022
"Nak, kumusta ka na?" habang inihahain yung Cinnamon bread mula sa oven.

"Naku, Ma'am. Ito single pa rin, dami ko pa kasi need patunayan sa sarili ko."

"Gaganda na nga ng mga na-achieve mo eh kulang pa ba? Hanapin mo rin yung magpapasaya sayo, ako nga simpleng life lang pero masaya ako sa partner ko at sa work ko."

Bumulong sa katrabaho, "Siya yung sinasabi kong prof namin na life coach rin. Pinakilala niya sa akin yung the Ballad of the Lonely Masturbator ni Anne Sexton. Sobrang ganda niya pumili ng mga piyesa para sa class namin."

Ay, Ma'am, si Ara nga po pala. Katrabaho ko."

"Ay, hi po, Ma'am."

"Ikaw ba, pinopormahan ka ba nitong si Michael?" Pabirong udyok ni Ma'am Pola.

"Ingatan mo si Michael, mga sunod na faculty to ng CAL."

"Ay, Naku, Ma'am. Di po ako qualified, baka maligaw ng landas mga taga ABE. Hehe."

"Lahat naman tayo, may mga bagay na akala natin di pa tayo qualified, pero binibigay sa atin kasi may mga taong alam kung ano talaga kaya natin. Ngayon lang yung memo nagrerequire ng Masters kaya di na kayo makapasok. Tignan niyo nga kayo, ang gagaling kaya ng batch niyo."

"Oh, eto nak, mainit-init pa yung order mo, apat na boxes ng Cinnamon bread. Pasensya ka na ginabi ka na ang dami ko ring binebake, baka may pasok ka pa bukas."

"Ay, salamat po, Ma'am. Buti po at bumuti-buti na pakiramdam niyo. Solid po yung mga binabake niyo sana mabuksan niyo uli yung store niyo sa may great wall."

"Ay naku, hoping and praying anak. Sana maging masaya family mo sa binake ko."

"Naku, Ma'am, bentang benta to kasi minarket ko na sa kanila. Sana kahit papaano nakatulong po ako."

"Thank you, Mike ah. Balitaan mo ako at kumustahan tayo sa kape pag may time pa."

"Bye, Ma'am. Ingat po kayo lagi."
Alaala ka palagi, Ma'am Paula Arevalo-Destacamento .

Salamat sa literatura, sa maayos na pagtuturo, sa pagkain, sa inspirasyon, at sa iyong buhay.
Mateuš Conrad Mar 2017
a. sketch

gęba
                                                              py­sk
            buzia (buziaki)     usta

           głowa                          łeb (łbem)
                  
          gleba (judo submission)      na glebe
                  ziemia,     pustota pola:
  ziemia                                             ziemniak
    ßuka | matka
                                                       pani | kurwa.

ß: juicy s... no macron to be found... but it's there.

b. narrative

it's the current vogue in western cultures,
notably that in anglophone contingents of the copula
already stated: western.

i once heard the argument that it doesn't matter
whether you understand the lyric in a song,
i agree: poems need and only represent a one-dimensional
desire to write words: a bulls-eye, or a white shark's
blind spot| in those omnious eyes without
sclera or iris... |hard to find.

for some reason i have this need to state that this is
a cultural enrichment project, like all *cold war
tactics...
since we are living in the times of cold war ii,
there's an inherent need to suggest an alternative to what's
spread on the air-waves...
               dylan thomas could have influenced bob dylan
(who took the name for a surname);
                               but of course i wouldn't
  sell you anything else, but to be given the impression
of a second-rate citizen of england only gives me a militant
status... and since most of us can only grasp a stone
to start a war... better use your mother-culture...
at least i can feel a cultural collectivism of ethnicity
that has a mongrel thought and tongue...

well... that link in the title? it's not a trojan horse link,
the times of trojan viruses are over, they were around a while
back, but the trojan horse has become extinct...
lao che's jestem psem (i'm a dog)...
                     cuchne kiedy zmokne (aura of stench when
i get wet)...
                    
            well... what was the original intent?
oh oh, right:
                              i wouldn't call linguistic teachers with
any use: if they are not bilingual at least...
bilingualism entrenches you in languages and cultures...
and i wouldn't study philosophy, or dare-say "practice" it
if you haven't begun with studying either chemistry
or physics... or biology? the latter i'm not too sure about.

yet all this politico talk in the west... about trans-
        and gender...
                                    funny you should say that...
it has become a reality in the west with these transitions
in accordance with st. thomas' gospel, among other things,
but it's more about how: words do not have genders
in english...
                                     english hasn't evolved to incorporate
gender "roles" in its words, it doesn't have it...
   which translates into the fiasco we see everywhere
in the internet prone world...

              i can't distinguish the masculine or the feminine
in speaking english...
          księżyc (masculine): moon        słońce (feminine): sun.
lampa (feminine): lamp
                                             świeca / świeczka (feminine): candle...
and once again a better example: english words
   can't contain or express diminutive form, e.g. as the above
for candle... it requires the crutch of an adjective,
   and even that word is an approx. to describe a language
that allows words to accept the diminutive...
                mały (cm) that leads into malutki (mm)
that leads into maluteńki (μm) - that leads into
   maciupki (nm) / it's more endearing given the μm scaling...
                                 try to apply the diminutive aesthetic
to the original word beyond
                 the already stated ... and you're writing nonsense.
                
so why is the english language so ****** naked?
naked up to the point that it has to be so "active" in the real
world? i know that oxford dons would like to
     start spewing their grammar rules... but i can't find
the diminutive, for one... for second sexes of words...
and thirdly... trans-humanism when talking about animals...

c. examples from the sketch

gęba / buzia: the mouth, the former being utilised in
such examples as: niewyparzona gęba / a foul mouth...
    buzia? what about it? well: buziaki (kisses) - all angelic.
the distinction comes with pysk... that's derived
                              from the snout... and my my... how
my logic has failed me on this point...
but wait!
             oh looky looky! there's another better
example!                     głowa                          łeb (łbem)
                             head                                 this!
zaczynam sie łbem (i begin with the "head") -
                            kończe sie ogonem (and end with the tail):
so out pops out the distinction between a human head
and an animal's head... the word: łeb.
                    something akin to: crude, protruding
                                                      ­                    or large.
d. in conclusio

is this the guide to what the western world is experiencing?
or at least motivating... well: this is just part
of the bigger picture, it's answer as any answer might be:
befitting to a select interested in taking to this view...
during my "career" of education, i never heard
of the masculine / feminine concepts applicable to words
in the english language... but who cares these days:
it's interesting to watch lunatics taking to st. thomas'
gospel seriously, literally, not appreciating poetry,
                                     overcrowding in prisons as the lunatic
asylums folded and disappeared: with society
being just a massive azyl... a scary word like
                           it's known in my birthplace - morawica;
it's a word that strikes fear into the hearts of men
and women -         it sounded so notorious that they later
changed it... had to: the town of kielce was given
a bad reputation because of it.
Evelyn Rose Oct 2019
Yesterday when I was walking along the beachfront and the sun was painting the sky pink with candyfloss clouds as it set, I missed you and I wished you were holding my hand.
Lyn Jul 2021
I love it whenever Cookie. . .

kneaded her cute paws on cushions. . .

slept on my bed. . .

slept near the TV. . .

slept on top of the furniture cabinet. . .

slept in between my legs. . .

gave us Norman, Zoe, Vincent and ****** (but he sadly left us so soon). . .

played with her kittens. . . and. . .

defended them whenever Buddy bullies them. . .

gave me gentle gazes. . .

gave me gentle meows. . .

looked at me with her big, innocent eyes. . .

played very energetically. . .

showed her the moments where sheʼs still a kitten at heart. . .

she comes whenever we call her. . .

she responds to calling her name. . .

was very affectionate. . .

melts my heart every time. . .

she rolled around whenever she was playful. . .

she told off Claudia sometimes. . .

comforted me without any effort. . .

I love her tri-colored coat, her beautiful innocent eyes, her cute face that I will dearly miss. I may have not shown you how much I love you, Cookie, but I will always remember you through your babies. I will protect them.

I love it whenever Oli. . .

knocked over things whenever he throwed a tantrum. . .

bit or scratch me gently when I irritate him. . .

whined when I hug him. . .

ignored me whenever I call him. . .

would give me a meow of warning before biting me. . .

followed me home the first time I saw him. . .

gave me that irritated gaze. . .

can be sweet when he want to be. . .

screams whenever he fights with some other cat. . .

doesnʼt want to fight other cats. . .

lightly bumps my hand or lean whenever I touch him. . .

slept beside me. . .

slept on top of the refrigerator. . .

doesnʼt care about pleasing me. . .

knew that I love him so much.

Oli knew how much I love him. I love the black spot on his lower lip, his orange eyes, his white and orange coat, the cute pattern of his front paws, his long orange tail, his innocent face, his gayness (****). I love every single detail about you, baby.

I never thought that you impregnating Pola was a blessing in disguise, because I didnʼt know that you would leave us so soon.

You might be gone, pero lahat kayong mga dumaan sa buhay ko ay may kanya-kanyang espesyal na lugar sa puso ko. Miss na miss ko na kayo. Sobra. You guys are perfect. You didnʼt deserve any of what happened to you. Iʼm sorry I couldnʼt protect you guys from this cruel world. One day, you will get the justice you deserve. And the same goes for all of the animals they abused. Hindi natutulog ang Diyos. They will get what they deserve.

October 15, 2019 - July 22, 2021
October 14, 2019 - July 22, 2021
Oli and Cookie were my cats. They were murdered by my neighbor who are animal abusers. Please, if you donʼt like animals, just ignore them. Do not hurt them. Please.
Rani jutarnji intervjui
#1 Dok grad spava uz cvrkut ptica koje niko ne osluskuje.

M: Sta za tebe znaci cvrkut ptica?

mh: Za nekog ko zivi citav zivot pored ulice, tacnije u nivou ulice, gde me od trotoara deli nekih 25-35 cm zida, a od vozila  1.5 -2 m, priguseni zvuk vozila koji se postepeno pojacava i postepeno gubi u kracim ili duzim intervalima uz onaj huk u trenutku prolaska kao i govor prolaznika, urezao se u mene i postao deo mog zivota.

Retko uhvatim sebe kako slusam te zvukove sem kada mi se neki bas nametne i to onaj ljudski u duzini jedne recenice koja moze da se izgovori prolaskom pored par metara zida. Iz te jedne recenice koja ima svoj zvuk i tematiku profil prolaznika je vrlo lako zamisliti. Ponekad mi izmame osmeh, a ponekad uznemirenost, pa i strah.

Tematika tih recenica mogla bi se podeliti u zavisnosti od doba dana kada su prolaznici aktivni. Od onih dnevnih tema najglasnije su vaspitno-obrazovne gde se dete uci kako da ne ide ni slucajno pored ivicnjaka, a od onih nocnih, najglasnije su one ljubavne gde tacno znam da u narednih sto metara sledi raskid ili strastven ***.

Ima i onih tema gde ti se smuci i gde sam u fazonu “hajde bre vise” a to su naravno komsijske, koje kad krenu znam da ce trajati bar pola sata ili u kasnim nocnim satima taxi teme, ko koga ceka i ko gde ide.

Ponekad znam da provirim kroz roletne i zateknem vrlo kreativne scene, recimo kreativno iscrtavanje kruga sto mi zene ne bismo mogle.

Vikend je predvidjen za vristanje zena koje pokusavaju da prekinu tucu pijanih iz kafica gde kako se otvaraju vrata treste narodnjaci, a ima i onih koje vole da bacaju veliko kamenje na takve kafice i onda brzim trcecim koracima prodju pored mog prozora.

mh: uh, sto meni ne idu ove duge forme

M: pa zasto ih onda koristis?

mh: Ma ne znam, dosadno mi, a i znam nekog ko voli glupe textove.

mh: Dakle, gde sam ono bese stala. A da, zasto volim cvrkut ptica.

Pa, tokom studija najvise mi je prijalo da u nocnim satima, kad se sve primiri, kad svi polegaju i saobracaj se razredi i kad se moje telo zagreje, da krenem sa radom na studentskim zadacima. Iz dana u dan ritam bi se menjao i ja bih sve kasnije i kasnije odlazila u krevet i tako sve dok nije pocelo da svice.

U tom pomeranju pocela sam da uocavam kad se sta desava na ulici i polako prestajala da gledam na sat. Djubretari bi bucno prosli u 4am a negde izmedju 4:30 - 4:45 bi nastao muk, noc bi pocela da prelazi u dan i tada bi krenulo oglasavanje ptica.

I dan danas ne znam koja ptica je u pitanju jer sa prozora se nije dalo videti ali nije, vrabac, nije golub, nije lasta, ne kresti ko vrana, svraka, nije gugutka sa svojim”dugo spiš”, ne znam, ali znam da je pesma lepa i da dolazi od nekog ko zeli da privuce paznju na sebe. I taj osecaj da priroda opstaje medju ovim betonom mi je bila bas lepa i zanimljiva jer su ptice pronasle rupu u buci i koristile taj momenat da komuniciraju daleko od usiju mnogih.

Te ptice su u stvari bas pametne i prakticne, kad stigne jesen, a one lepo na jug, tamo gde je prijatnije, a ne da se smrzavaju, budu sumorni sve do proleca kao “mi ljudi iz gradova” - Milan Mladenovic

Ptice bi oznacavale tada i pocetak tv emisije nekog kuvara koji bi parlao na spanskom onako kako to samo oni umeju i ja bih sa zamisljenim ukusom polako uranjala u san.

mh: Vreme mi je da uronim u san, zato Laku noc do sledeceg intervjua.

M: Laku noc tebi i svim citaocima

__________
#2 Iskrenost - veoma skup poklon

M: Kako tumacis ove recenice koje smo pronasli na jednom zidu, moglo bi se reci jednu pored druge?
- "Iskrenost je veoma skup poklon, ne ocekuj ga od jeftinih ljudi"
- "Nije vazno da li je skupo, nego da li se isplati"

mh: Nek odgovor ostane za neku drugu priliku.

Prosao je sajam knjiga pa bih volela da podelim sa citaocima jednu pesmu inspirisanu knjigama, zove se "Neizreceno"

NEIZRECENO

Lagano je
prelazila
prstima
preko korica
u ritmu
sto neznost
izaziva

Pogled
mi se usmerio
na pokret
na zelju
stajala je pored
primetila je
izgovorila je

Ja tako
kada mi se
svidjaju
korice

Uzvratih joj
da volim
u muzejima
preko skulptura
da predjem
dodirom
dozivim oblik
osetim teksturu

Znas li ti da je to zabranjeno?
Rece ona
ozbiljno

Tu sam zastala
a u glavi je
odzvanjalo

E jbg
kad volim
ono sto je zabranjeno

E jbg
kad volim
ono sto je zabranjeno

E jbg
vise nije bila tu
vise nije bila pored
ali je i dalje odzvanjalo

mh, Novembar 2016

M: Danas si okrenula novi list?

mh: Today is the day :D

---------------------------------------------------
#3 Koja je tvoja maska?

M: Evo posle relativno duge pauze konacno smo uhvatili mh da nam kaze par reci o tome sta se desava i zasto je nema, da li sprema nesto novo...

mh: Dobro vece svim citaocima i tebi M posebno. Evo samo par reci o tome da se priprema program naucno -obrazovnog karaktera za sledecu 2017 godinu. Bice tu dosta toga sto ce iziskivati da citaoci udju u sebe i potraze neke odgovore.
Jedna od prvih tema bice maske, kako nastaju, njihova uloga i podela.

M: Ja se posebno radujem znajuci da vec dugo radis na tome i verujem da ce sve maske pasti :)

mh: Pa eto nadam se da sam citaocima vec zagolicala mastu i da ce biti tu da isprate program koji sledi.

M: btw. Imali smo jednog citaoca iz unutrasljosti sa komentarom na pesmu "Neizreceno" kaze, u pesmi se navode "korice kao predmet svidjanja" da li to oznacava neku povrsnost ili...?

hm: ne, ne , ne cak naprotiv, sasvim suprotno, oznacava jednu otvorenost da se zaviri i pronadje nesto dublje ispod raznoraznih korica, sem knjige, postoje tu i recimo modni casopisi, ili katalozi o uredjenje enterijera... Tako da mislim da je rec sasvim na svom mestu.

M: Hvala ti mh, ne bi te vise zadrzavali. Vidimo se uskoro :)
mh: vidimo se, pozdrav svim citaocima :)



NASTAVICE SE...

— The End —