Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
090316 #AlphabetsOfLove #SpokenWords

Nag-aral ako't rumolyo ang panahon
Nagbilang ng taon, nabihag ng pag-ibig Niyang pabaon.
Naghalungkat ako ng mga mumunti Niyang Katha
Sa tarangkahang puno
Ng higit pa sa dalubhasang mga Salita.
At heto --
Heto ang Bukas na Liham
Ng pag-ibig ng isang tunay na Mandirigma.
Para sa lahat ng nanghihina't nasawi ng tadhana,
Para sa lahat ng humuhugot
Sa sandamakmak na nagdidilimang mga eskima
Heto, heto nga pala ang ABAKADA ng Pag-ibig.

----

A-alalayan Kita't baka mahulog ka't masaktan pa ng iba. Baka magpasalo ka na naman sa mga bolerong nanunungkit ng pag-ibig -- silang susungkit ng mga bituin para sayo, silang haharana sayo ng kilig, silang magsasabing maghihintay sayo kahit pa sa magkabilang mundo -- silang magdudulot lamang ng matinding pait sa puso mo pag hindi ka pa handa, pag hindi ka pa nahilom at pag hindi pa panahon. Oo, silang muling gugusot ng pagkatao mo.

B-abalikan Kita, hindi dahil Ako ang nang-iwan. Pakiramdam mo kasi'y wala ka nang halaga; yung tipong iniwan ka na ng lahat sa ere't kaunti na lamang ay pabagsak ka na -- yung wala ka nang matakbuhan pa, yung paikut-ikot na lang, yung takbo ka na lang nang takbo -- hanggang sa mapagod ka na lang. Mapapagod at kusa kang hihinto -- yung bibitiw ka na, yung aayaw ka na, yung titigil ka na, yung wala ka nang pakialam. Kaya't --

K-akalingain Kita, di gaya ng pag-ibig na minsang nagpaluha sayo. Nang nasisilayan Kitang magdamagang umiiyak. At kasabay ng bawat teleseryeng pinapanood mo ay luluha ka't hahagulgol ka sa isang sulok. Paulit-ulit sa bawat alaala, parang lirikong sinasabayan mo sa bawat hugot na pasan-pasan mo. Na lahat na lang, tila ba'y konektado sa kanya. Na wala ka nang mapanghawakan pa. Iiyak ka na naman ba? Pero --

D-aramayan pa rin Kita, hindi lang sa mga pagkakataong sawi ka; pero pati sa mga oras na gusto mo siyang balikan. Doon ay papagitna Ako at pipigilin Kita. Gusto kong makita yung totoong ikaw, yung dapat sanang ikaw -- yung ikaw na kahit wala siya'y buo ka pa rin. Yung hindi mo malilimutang mahal -- mahalaga ka para sa Akin.

E-h nasasaktan ka na. Ganyan ba ang pag-ibig na gusto mo? Na siya na ang nagiging mundo mo? Na halos wala ka nang kibo sa roletang dapat sana'y para sayo? Ganyan ba, ganyan ba ang totoong nagmamahal? Na hahayaan **** malugmok ka't madungisan ang sarili ng paulit-ulit at miserable **** nakaraan? Na hindi ka na kikilos, na parang wala ka nang balak bumangon at salubungin ang araw. Na parang hahayaan mo na lamang manlamig ang kapeng itinimpla sayo ng mga higit pang nagmamahal sayo. Pero --

G-agamutin Kita. Lahat ng mga sugat at pasang idinulot sayo ng nakaraa'y pawang aalisin Ko. Ako mismo ang kukuha ng bulak at Siyang papahid at dadampi sa bawat kirot at hapding naiwan sayo ng minsang ipinaglaban mo. Ako mismo ang iihip sa bawat nangigitim at sariwang mga pantal at peklat na bumabalot at kumukubli sa dapat sanang ikaw. Handa Ako at kaya Ko -- kaya kong alisin ang lahat --

H-anggang sa makabangon kang muli't maranasan mo ang pagbabagong ganap. At mapagtanto **** hindi naman siya kawalan sa pagkatao at pagkatawag mo. Masakit man pakinggan pero oo, hindi siya ang buhay mo. Uulitin ko: hindi siya ang buhay mo. Tumingin ka sa mga mata Ko. Pagkat oo, buo ka pa rin at walang nagbago sa paningin Ko sayo.

I-iyak ka paminsan pero ang lahat ay mananatiling alaala na lamang; luha mo'y sasaluhi't pupunasan Ko. Bibilangin Ko ang bawat butil na walang humpay na dumarampi at darampi pa sayong mga pisngi, higit pa sa matatamis na pangako niyang napako na rin kalaunan. Oo, napako ang lahat -- napako ang lahat sa Akin.

L-umaban Ako at patuloy Kitang ipinaglalaban. Tiniis ko ang bawat matitinik na hagupit sa mga balat Ko; maging mga pangungutya ng mundo. Para sayo -- para sayo, lahat ay ginawa Ko na; lahat ay tinapos Ko na at lahat ay iginapos Ko na. Pagkat --

M-ahal Kita at hindi Ako magsasawang patunayan yan sayo. Walang anumang bagay sa mundo na makapagtitibag at makahihigit sa pag-ibig Kong laan sayo. Mahal Kita at mas mamahalin pa -- higit sa mga araw na bilang, higit sa mga oras na ninakaw ng dilim pagka maaga ang takipsilim, higit sa kaibuturan ng dagat na wala pang nakalalangoy -- higit sa mga panahong pipiliin **** mahalin na rin Ako.

N-i hindi Kita iiwan, ni hindi pababayaan. Kaya -- wag ka sanang matakot na buksang muli ang puso mo, pagkat ni minsan -- ni minsa'y hindi Ko naisip na biguin ka. At hindi Ko naisip na paasahin ka gamit lamang ang mga salita, pagkat kalauna'y darating Ako para sunduin ka. Totoo ang bawat pangako Ko at lahat ay para sa ikabubuti mo, kaya't panghawakan mo ito -- hindi gaya ng pagsalo ng tubig gamit ang mga kamay mo. Pero hindi, hindi masasayang ang pag-ibig mo.

O-o, naiintindihan Kita, na nahihirapan kang magtiwalang muli dahil sa sobrang nasaktan ka na. Hindi Kita minamadali at hindi Ko ipipilit ang pag-ibig Ko sayo. Hahayaan Kita -- hahayaan Kita kasi gusto kong kusa ang pagtitiwala't pagmamahal mo. At --

P-apasanin Kita. Gaya ng isang Inahing naglilimlim sa kanyang mga inakay, gaya ng isang Inahing hahagis sa kanila sa himpapawid gamit ang sariling mga pakpak. At Gaya ng isang Inahing sasalo at papasan sa kanila pag nahulog silang muli -- hanggang sa makalipad sila -- hanggang sa makalipad kang muli. At buhat sa ereng pinagtambayan, buhat sa ereng pinagkatakutan mo'y, ngayo'y makakaya mo na. Kahit na sabi mo'y naputulan ka na ng pakpak; kahit pa sabi mo'y hindi ka na muling makalilipad pa. Mali, mali ang paniniwala **** yan pagkat --

R-aragasa ang pagpapala't ibubuhos Kong ganap ang Sarili Ko sayo. Ayokong iniisip **** hindi mo na kaya ang buhay; ayokong mawalan ka ng pag-asa dahil lang umasa ka sa maling tao o maling mga bagay o mga sitwasyon. Sabi mo pa nga, wala nang saysay ang buhay mo. Sabi mo nga, hindi mo na kaya. Oo --

S-asabayan Kita -- sasabayan, hindi lamang sa pag-abot ng mga pangarap mo. At sa bawat lubak na madarapa ka, tandaan **** narito Ako't aagapay sayo, kahit ilang beses ka pang matisod sa pagtalikod o pagkatalisod ay handa pa rin Akong saluhin ka -- sasaluhin at payayabungin.

T-atayo Ako sa harap mo at Ako ang magsisilbing harang sa bawat balang ikaw ang puntirya. Manatili ka lang -- manatili nang may buong pananampalataya at Ako -- Ako ang gagawa ng mga bagay na imposible sa paningin mo -- mga bagay na mistulang imahinasyon mo lang; mga bagay na binaon mo na sa limot pagkat huminto ka, huminto ka dahil napagod ka. Pero tapos na, tapos na ang panahon ng kapaguran. At ngayo'y --

U-nti-unti **** mararamdamang kusa na ang pagyapak mo kasama Ako. Na kaya mo na pala, na nakahawak ka na rin sa mga kamay Ko; na hindi ka na bibitaw pa. Pagkat, kailanma'y hinding-hindi Kita binitawan. Oo, hindi Kita hinila noon pagkat ayokong napipilitan ka pero matagal na -- matagal na akong nakahawak sayo; hindi mo lang napapansin o hindi mo Ako nagagawang tingnan.

W-ag kang mag-alala't alam ko ang kapasidad mo - kung kailan mo kaya at kung kailan hindi. Alam kong minsan mahina ka, pero maging mahinahon ka.

Y-ayakapin Kita, Anak; at kung iiyak kang muli, pwede bang sa mga bisig Ko na lang? Ikaw ang tanging Yaman ko't alay Ko sayo ang lahat. Mahal Kita, at ito'y walang hanggan.

---
Ngayon, magtatapos Ako
Magtatapos ako kahit na sarado pa ang puso mo
Kahit na may iba ka pang mahal sa ngayon
Kahit tila naririndi ka na sa pagkatok Ko
Kahit pa pinagsasarudahan mo Ako
Kahit pa ayaw mo pa Akong tanggapin
Kahit pa sabi mo'y hindi ka pa handa
Kahit pa sambit mo'y sa susunod na lang
O kahit pa sigaw mo'y tumigil na Ako
Pero hindi, ayokong magtapos ng ganito.
Magtatapos Ako't maghihintay sa sagot mo
At sana, sana'y dugtungan mo ang liham ng paanyaya
Dalawang letrang magkatulad lang
Dalawang letra lang ay sapat na
At ito -- ito na marahil ang pagtatapos
Na Ikaw ang Simula.
brandon nagley Mar 2016
i.

Iniibig kita
Mahal Kita;
Minamahal Kita,
Iniirog kita.

ii.

Here do I cometh, I'm on mine way. The skies art clear tonight, just a tint of fine gray; though I spread mine plumage, fracture the tone, I knoweth one day, O' verily one day- I'll findeth mine way home.

And I thinkest, when I findeth the bungalow, I wilt rest, after long
Passage alone. As thou I wilt bestow, mine Lip's on thy own; quietly humming, Sayaw tayo?

iii.

A Tagal na ah, a Tagal na ah, now I'm here mine love, I've made it mine queen; some sayest dream's don't cometh true, Only if the other's couldst find; they discern science, just not the sign's of the times.

Though we behold, the spirit and soul, and ourn creator, the crowned head of the world's; Hallowed be his name, Yahweh, father Jehovah, known also Elohim. His son Yeshua ha'mashiach, English language "Jesus the anointed one". The son above all son's. Jane, mine queen.

iv.

Iniibig kita
Mahal Kita;
Minamahal Kita,
Iniirog kita.

Tagal na ah
Tagal na ah;
Now in thy
Grip, with
Mine kiss,
On thy Lip's
I place mine
Vow's. O'
Yadid, yadid,
Never let me go
Agapi mou-
Zoi mou,
Se latrevo
Mine queen.


©Brandon Nagley
©Lonesome poet's poetry
©Earl Jane Nagley dedicated ( àgapi mou) dedication
Iniibig kita.
Mahal Kita.
Minamahal Kita.
Iniirog kita--- these  are all ways to say I love you to Jane in Filipino tongue. Last one I used is the ( old fashioned) way to say it. (;.
Art- means are.
Plumage- collection of feathers. Feathers collectively.
Verily- means truly.
Hallowed means- to honor as holy.
Bestow- present (an honor, right, or gift).
Sayaw tayo- means would you like to dance with me? In Filipino.
Tagal na ah- means long time no see in Filipino tongue.
Couldst means - archaic for could.
Behold means- archaicliterary
see or observe (a thing or person, especially a remarkable or impressive one).
Crowned head means- king or a queen. This I mean God ( KING)
Yeshua ha'mashiach- would have been what ançient Hebrews would have called Jesus. This is his real name in Hebrew tongue and history. Fun facts about his real name
WHY "YESHUA HA MASHIACH"?
Today in English our Lord is commonly referred to as "Jesus Christ", as
if "Jesus" was His first name and "Christ" was His last name. In
actuality, His name in Hebrew and Aramaic (the languages He spoke) was
"Yeshua", which means salvation. During His life on earth, He was called
"Yeshua".

At the time Yeshua lived on earth, kings were given their authority in
ceremonies where they were anointed with olive oil. Yeshua was known as
the "Mashiach" (Messiah) or The Anointed One having been anointed with
God's authority. Thus He was known as "Yeshua Ha Mashiach", or Yeshua
the Anointed One.

THEN WHY "JESUS CHRIST"?
In Greek manuscripts of the New Testament, "Yeshua" was translated as
"Iesous" which was probably pronounced "yay-soos" in ancient Greek and
is pronounced "yee-soos" in modern Greek. The word "Jesus" then came
from an English translation of Greek manuscripts of the New Testament.

The word for "Mashiach" in Greek is "Christos" meaning anointed. This
word is usually brought into English as "Christ".

Unfortunately, through these translations we've lost the true meaning of
our Lord's name. Which btw Jesus means ( safety) for you ones who are christs own. Good knowing gods son is named safety isn't it? Because he is our peace and our safety. Also his name means ( salvation) many didint know that. Also ringing true. He IS our salvation, and the only way to salvation!!!
Yadid- means beloved one in Hebrew. Beloved- means dearly loved.
Àgapi mou- means my love in Greek tongue.
Zoi mou means- my life.
Se latrevo- means I adore you in Greek.
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Folah Liz May 2015
Pangako yan at totoo. Hindi ko alam kung magiging gaano kahaba o kung kasya ba sa isang piyesa,
ilang pahina, ilang minuto ang ihahaba, itatagal nito at posibleng hindi ko agad makabisado pero pangako yan,
ito na ang huling tula na isusulat ko para sayo.

Itaga mo to sa bato, abutin man ako ng umaga dito hindi ko ipipikit ang mga matang ito..
uubusin ko ang lahat ng salita na posibleng tugma ng pangalan mo o anumang tawag ko sayo,
mahal, sinta, irog, pangga, babe, bbq, bae, beb, asawa ko, mhine, kulet, kapal, kupal, hayop, pa, p*ng ina ka ano pa ba..wala akong pakialam kung abutin man ako ng ilang talata dito,
pero hindi ko na pwedeng patirahin lang dito sa loob ko ang mga salitang ito kaya pangako,
ito na ang huling tula na isusulat ko para sayo.

Magsisimula ako sa umpisa, sa kung paanong nginitian mo ako at tinanong kung san ako nakatira.
hindi mo nga pinansin ang mga agiw sa dingding, hindi ka nga natinag sa ipis na biglang dumating sa iyong pagbisita..
pero hindi mo rin man lang din tinignan ang mga libro na nasa tabi ng kama kong natutulog din, at tangi ko noong kapiling.

Magsisimula ako sa umpisa, sa kung paanong niyakap mo ako nung sabihin ko sayong "mahal kita.."
sa kung paanong hinalikan mo ako sa noo sabay sabi na "mahalaga ka.."
at ako naman tong si tanga, tuwang tuwa na hindi pa nalinaw nga na
ayaw ko na maging mahalaga, ayaw ko na maging halaga..

Hindi ako antigong salamin na matagal mo nang pag aari
na tinitignan mo lang para ipaalala sa sarili mo na maganda ka, ayaw ko na maging mahalaga..
hindi ako telepono **** dudukutin lang sa bulsa kapag kelangan mo ng solusyon sa kawalan mo ng koneksyon sa mundo **** masyado ng malawak para bigyang atensyon ka pa, ayaw ko na maging mahalaga..
hindi ako kuwintas na isusuot mo lang sa piling-piling mga okasyon
kapag meroong mga sitwasyon na pakiramdam mo ay kulang ka pa
Hindi ako para ibalik sa loob ng isang kahon kapag matutulog ka na sa gabi sa takot na masakal ka sa yakap ko kapag mahimbing ka na,
o ibalik sa loob ng isang kahon at itabi sa sulok ng isang aparador
sa takot na manakaw ako ng iba, ayaw ko na maging mahalaga..

Ang gusto ko ay mahalin, ang kelangan ko ay mahalin..
kelangan ko na mahalin mo ako gaya ng kape mo sa umaga
tanggap ang tamis at pait, kelangan para sa init
pero hindi isinasantabi dahil lang nanlamig na..
kelangan ko na mahalin mo ako gaya ng sarili **** opisina
kabisado kung para saan ang ano, kabisado kung saan nakatago ang alin
kabisado ang mga tinatago kong patalim, silbi, dumi, lihim..patalim, silbi, dumi lihim...
kelangan ko na mahalin mo ako gaya ng unan mo sa gabi, niyayakap sa ginaw, sinasandalan kahit na mainit, binubulungan ng mga pinakatatago **** panaginip
ayaw ko na maging mahalaga, ang gusto ko ay mahalin, ang kelangan ko ay mahalin..

at nagsulat ako noon para lang mahalin mo ako, kaya patawad pero magsusulat ako
hanggang sa maubos ko ang lahat ng salita na posibleng tugma ng pangalan mo
patawad pero magsusulat ako para patawarin mo ako..
dahil minsan may nakapagsabi saken na ang taong hindi raw marunong magpatawad ay hindi makapagsusulat
kaya mahal sa pagkakataong ito
sa huling pagkakataon na magsusulat ako ng tula para sayo
gumawa tayo ng kasunduan, patatawarin kita pero patatawarin mo rin ako.

Patawarin mo ako sa hindi ko pagtahan at patatawarin kita sa hindi mo pagluha
Patawarin mo ako sa hindi ko pananahimik at patatawarin kita sa hindi mo pagsasalita
Patawarin mo ako sa hindi ko pag alis at patatawarin kita sa hindi mo pananatili
Patawarin mo ako sa hindi ko sayo paglimot at patatawarin kita sa hindi mo saken pagpili mahal
gumawa tayo ng kasunduan patatawarin kita pero patatawarin mo rin ako.

Patawarin mo ako sa hindi ko pagbitiw at patatawarin kita sa hindi mo pagkapit
Patawarin mo ako sa hindi ko paglayo at patatawarin kita sa hindi mo paglapit
Patawarin mo ako sa hindi ko pagsuko at patatawarin kita sa hindi mo pagsugal
Patawarin mo ako sa hindi ko pagkamuhi sayo at patatawarin kita sa hindi mo saken pagmamahal, mahal
gumawa tayo ng kasunduan patatawarin kita pero patatawarin mo rin ako
para sa wakas ay matapos ko na itong tula na masyado ng matagal na nakatira dito
at patawad kung magiging masyadong mahaba at marami masyadong bulanas
pero pangako huli na to, huli na to, huli na to...

Magsisimula ako uli sa umpisa, sa kung paanong nginitian mo ako at tinanong kung san ako nakatira.
Magsisimula ako uli sa umpisa, sa kung paanong nginitian mo ako
Magsisimula ako uli sa umpisa,
Magsisimula ako uli...
Magsisimula ako....

Ito na ang huling tula na isusulat ko para sayo, mali...
Ito na ang huling tula na isinulat ko tungkol sayo

Iniibig kita, at ubos na ubos na ako...."
Thanks for the inspiration to this poem, isa kang makata Sir Juan Miguel Severo.

— The End —