Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Joshua Soesanto Jun 2014
terlewatkan beberapa batang rokok pagi
untuk mencicipi sebuah kopi hitam lembab
di lidah basah seorang perempuan
indra pengecap bersama semesta lain

seorang pemberontak pada sebuah mata
mata dingin yang berkuasa atas semua puisi
rasa skeptis pun berkarat
lalu, bersembunyi pada tanaman yang sekarat

dia masih meredup di sebuah ranjang
bintik-bintik tumpah pada dada yang telanjang
dengan selimut dingin bintang kemarin malam
bakar sebatang melihat keluar jendela, dunia tenggelam

minggu pagi ini
terhiruplah kopi dingin dan anggur
lalu,
kapan kalian mabuk lalu lelah?
Illinois - Are You Coming With Me? #NowPlaying #Tracklist
Aridea P Oct 2011
Kenapa sulit bagi ku
Menulis puisi dengan namamu?
Tersesat selalu aku di sini
Menulis namamu tertulis yang lain

Ingin ku bakar diri ini
Tak bisa dicintai oleh mu
Ku yakin kau tak di sini
Membawa cinta yang ku harapkan

Karena ku tahu ku tak indah
Dari Dewi lain yang pernah kau kenal
Tapi, semua tak punya hati
Meninggalkanmu dan tak setia

Ku berjanji kan setia
Tapi, kau tak mau juga tak apa
Namun, izinkan aku sekali saja
Ucapkan cinta pertama tuk selamanya

Created by Aridea Purple
Aridea P Jan 2012
Palembang, 31 Desember 2011

Ku tak berharap malam ini akan spesial
Mengingat kembang api tak mau memperlihatkan sinarnya
Terompet pun enggan mengumandangkan suara nyaringnya
Apalagi, arang bersumpah takkan membara malam ini

Jahat sekali mereka padaku 

Aku sudah mengira malam ini akan menjadi bosan
Ditinggal sendirian di rumah
Dilarang pergi ke rumah teman
Ditambah modem tak mau konek

Jahat sekali kalian padaku 

Baiklah
Aku hanya bisa bermimpi saja
Mendengar gemuruh kembang api
Melihat cahaya indahnya
Menghirup wangi jagung bakar
Menyantap ayam panggang
Dan ketika aku kenyang, aku tertidur

Esok pagi
Yang ku temui hanya sepi
Diska Kurniawan Aug 2016
Setoples garam, sejumput di jarinya
Dikulum masa mudanya, berani.
Bukan hanya menembak, menusuk
Melayangkan doa istri yang merindu
Menghapus sosok bapak, dari sang anak
Dikenangnya pandangan serdadu itu

Jarinya adalah maut, matanya adalah bidik
Senapannya adalah kubur, pelebur semua cinta
Juang adalah bahan bakar seruannya, Merdeka!
Bambu itu simbol perjuangan, ibu
Namaku akan seharum sukma bapak!

Saat kawannya berkawin, bunting, mati
Dia tetap bersolek layaknya gadis
Gincunya dari belanda, mengucur langsung
dari lubang pelornya tepat di jantung
Bedaknya dari tanah desa bapaknya dulu bergundu
Parfumnya alami dari pori-pori semangatnya berlari
Belum lagi perhiasannya,
Antingnya dari granat, meledak tepat di sisinya
Kalungnya adalah medali sebagai
pengingat maut, bergurau dengan nyawanya

Tiba saatnya dia berbaring,
lelah, terluka dan pusing
Menjadi guling yang dicengkramnya
Berselimut lumpur dan mayat
sebagai kasurnya, lelap.

Senja itu angin semilir bergema
Kenangan atau mimpi, dia berandai
Namun pecah ketika aku berteriak
Ibu! Sudahkah? Aku lapar!
Agustus, pahlawan, sedikit feminis mungkin?
Muzaffer Feb 2019
başım çatlıyor birkaç gündür
sirayet ediyor yaşıma
kalp ağrısı diyor doktor
ağır yükler taşıma

biteviye tırlatmış olmalı
diye düşünmüş olsa gerek ki
bin miligram davul yazmış
bir de tokmak ruhuma
deng-i kalp vücut bulsun
sabah sertliğim
sakinleşsin diye

halbuki
bungee jumping
seviyorum ben
düzüşmek yükseklerde
ve
göze almak yere çakılmayı
meretin sekiz seviyesinde

yoksa corvet teyzenin
bir yıldır kullandığı
gergedan kokan süngerinden
ne farkı kalır geçen yılların
yazdığı reçeteyi
buruşturup attım çöpe

bronx’a gitmeliydim acil
uyurken zürefa cebimde
mary jane özlemiştir
diye düşündüm
eski
bir pigme masalı zihnimde

dışarısı soğuk ve uğulgan
karsa sokakta anadan üryan
bir taksi bile yoktu etrafta
o yüzden
daldım bir bara
göz gözü görmüyordu

kapıda birkaç kafayı bulan
adam ve kadınlar
bir ton lakırdı vardı
kadehlerden taşan

****** mary dedim
varsa en sert olanından
et yığını biriydi barmen
ceza yazan trafik polisine
bakar gibi bakıyordum ki
bacardim de var dedi
arzu ederseniz

****** dedim
ağır çekim
sigaramın dumanından

manhattan’dan mısın
diye sordu
kadehi uzatırken
mardin’liyim dedim
hani şu kapısı şen olan

anlamadım dedi
ben de
avukatım gelmeden
konuşmam

sustu hergele
penceredeydi gözüm oysa
ince ince yağıyordu kar
kırım kongo şeklinde
ve
ayaklarımdan ateş
hızla
yol alıyor beynime

işte o an
ölüm provamı düşledim
bir an
mary jane
defin kortejinde

ceviz kaplama gövdem
bu yıl değilse gelecek sene
diye geçti aklımdan

ve çene’deki
muhteşem temaşa
"işte böyle"...



Vaha
ga Dec 2017
Bisakah kau lihat warna-warni hujan
Seperti kau melihat warna dalam suara
Bisikkan padaku warna langit
Karena langitku selalu hijau abu-abu

Bisakah kau melihat wajahku
Seperti aku bisa merasakan hela nafasmu
Bisikkan padaku warna dunia
Saat bibirmu menemukan tempatnya
Karena kau menyuruhku memejamkan mata

Bisakah kau melihat warna debu
Dari setiap omong kosong yang kau bakar
Bisikkan padaku warna hatimu
Karena milikku sewarna bara arang

Bisakah kau melihat warna malam
Tirai megah pentas hidupku
Kali ini biar kubisikkan padamu
Warna yang lebih gelap dari hitam
Megitta Ignacia Jul 2019
bakar saja paru-parumu.
hantam saja semua,
biar jatuh berhamburan sampai koyak.
tendang sekeliling deretan batu bata yang tersusun rapi sampai kakimu ngilu.
aku telah kebal pada tatapan tajammu.
telingaku tuli dari raungamu yang menderu.
ketukan bunyi lidah tak bermakna kian lesap mengganggu.
biar bergelut dengan bingungmu.

aku benci
caramu menyatakan perang.
110719 | 23:53PM depressive episode di indomaret, benci impulse buying, dengki dengan teh hijau.
claviculea Mar 2020
Hatimu,
Jangan kau patah-patahkan terus,
Retakannya sudah tergerus,
Jangan lagi kau bakar sampai hangus.
Air matamu,
Jangan kau tumpah-tumpahkan lagi,
Dia kan sudah pergi,
Kasihan kau yang rugi.
Kalau sudah begini,
Sekarang siapa yang tak memiliki nurani?
Dia yang menginjakmu dengan berani,
Atau aku yang masih berdiri disini?

- Untuk dia yang hanya menginginkan yang salah, jangan lagi.
will you stay still and look around for once?
Ingar bingar Nov 2021
Rasanya seperti ingin muntah,
perutku bergerumul,
dadaku bergemuruh,
hatiku penuh amarah,
tubuhku lemas tak bertenaga.
Aku lelah.

Air mata di ujung pelupuk mata,
mengalir deras sekali terpicu.
Sumbu kesabaran yang kian pendek,
terus menerus terbakar oleh amarah.
Aku lelah.

Hari-hari berlalu begitu saja seolah tak bermakna,
yang kutunggu hanya Sabtu Minggu saat tak perlu kutatap layar terang itu 12 jam sehari.
Detik-detik lewat tak memandang lara dan amarah yang terus membakar hati
Apa aku bisa bertahan, atau sebentar lagi hati ini mati?
Aku lelah.

Bakar. Bakar. Terbakar.
Bila hati ini kemudian mati dan dipenuhi kebencian dan kegusaran,
bila kemudian ia dikuasai oleh kegelapan,
bila hatiku mati...

Aku bagaimana?
Penunggang badai Feb 2021
Mungkin benar adanya, menantang ketidaktahuan telah dengan pasti menggiring kesadaran pada sebuah langkah menuju keberanian bersikap. Yang karenanya juga, telah turut menjadikan hati begitu lapang di ruang yang begitu sempit, menempatkan intuisi dalam usaha menyeimbangkan ego dan benci, menuntun arah pikiran menuju muara kebijaksanaan.

Sebuah pertanyaan akan kegelisahan, berhak untuk ditelusuri muasal kebenarannya. Semua berhak akan hal itu. Untuk sebuah dinding yang membatasi penglihatan indrawi, merobohkannya adalah kepatutan. Untuk sebuah ketidaktahuan yang memenjarakan, manusia yang berjuang atas akal pikirannya sendiri—berhak untuk terbebas dari kungkungannya.

Meminjam dari Aristoteles, terbang menuju keselarasan ide serta realitas yang tidak terbatas!

Jangan biarkan gelap menguasai malam. Usaha demi setitik cahaya harus selalu terpatri dalam diri. Melekatkan sikap keraguan-raguan pada pikiran adalah sebuah keharusan. Hanya itu bahan bakar yang paling mungkin, untuk menyalakan setitik cahaya yang dimimpikan.

Biarlah menjadi berbeda, biarlah diasingkan. Karena bagi mereka yang merindukan merdeka, beranjak dari ketidaktahuan adalah sebuah keniscayaan!
Muzaffer Apr 2019
harlemde akşamüstüyüm
rengarenk ve kalabalık

reggy kemiriyor morningside'ın,
muazzam beyaz dişleri

ve kaykaycı
birkaç genç, otogaz sistemi gibi sıralı

akşamüstüyüm harlemde

küçük kızlar, koca kızlara
oyunlar sek ****'e dönüşümüş
uğramayalı

50 doların var mı ihtiyar?
diye soruyor tekne kazıntısı

sonra ateşin var mı?
aldırıp geldim diyorum, iyiyim böyle

peki sigaran? metazori tutuşuyor filtresi köfte dudakların

joy'muş adı, tek çocuklu, anne bakar,
herif hapiste

memphis'te tanışmışlar, o zaman da torbacıymış hergele

hikaye uzun ben kısayım
sohbete deyip kalkıyorum
koca kıçlı donna'nın merdivenlerinden
filvaki
hüzün, gözaltı peşimde

ben Vaha
akşamüstüyüm harlemde
yoksul ama kalabalık
düşü, düşürenin içinde...
Setelah 07 Oktober adalah normal baru.
Orang orang Gaza tak lagi punya kehidupan.
Kehidupan telah dihancurkan kekacauan.
Kekacauan panjang yang penuh penderitaan.

Tiap hari Hassan dan keluarganya terlunta lunta.
Menyusuri jalanan tanpa tahu harus kemana.
Tenda dan barang tertinggal di pengungsian yang hancur diserang.
Itulah normal baru Hassan.

Berkali kali Asmaa mendapat kabar buruk.
Murid muridnya telah tewas satu persatu.
Dia hanya bisa menangis teringat mereka.
Itulah normal baru Asmaa.

Samara sedih ketika anaknya ulang tahun.
Dia tak bisa membuat kue **** seperti biasanya.
Yang dia buat hanyalah lumpur berbentuk kue ****.
Itulah normal baru Samara.

Berbotol botol minyak goreng dibeli Mai.
Semuanya diisi ke dalam tanki mobilnya.
Setelah itu dia melintasi jalan Al Rashid yang penuh kehancuran.
Itulah normal baru Mai.

Mustafa sering duduk di tepi pantai.
Terus terusan termenung sedih sambil menangis.
Teringat gadis pujaannya yang tewas mengenaskan.
Itulah normal baru Mustafa.

Fadi sering kelelahan berjalan kaki jauh.
Mencari cari solar panel untuk mengecas laptop.
Dan juga tempat yang menjangkau internet.
Itulah normal baru Fadi.

Tiap hari Mariam selalu kelelahan.
Dia harus mengantri air dan mencari kayu bakar.
Setelah itu mencuci , memasak dan membersihkan tenda.
Itulah normal baru Mariam.

Tiap pergi ke pasar Heba selalu merasa jengkel.
Harga telur , ayam dan sayuran semakin naik tinggi.
Sementara dia kesulitan mendapatkan donasi.
Itulah normal baru Heba.

Yousef sering ikut nelayan ke laut.
Naik perahu sambil membawa jala untuk mencari ikan.
Tapi hanya sebentar di laut kapal perang datang menggempur.
Itulah normal baru Yousef.

Tiap melihat foto dirinya Mohammed selalu sedih.
Badannya kurus kering dan pucat kulitnya.
Akibat sering kelaparan dan kekurangan gizi.
Itulah normal baru Mohammed.

Abdullah selalu kesulitan mendapatkan donasi.
Dia sudah senang jika bisa membeli mie dan kopi.
Baginya itu menjadi suatu kemewahan.
Itulah normal baru Abdullah.

Tiap teringat kebun olive miliknya Ali selalu sedih.
Kebun warisan keluarganya itu sudah terbakar habis.
Tak ada lagi yang tersisa selain hanya kenangan saat musim panen.
Itulah normal baru Ali.

Melanjutkan sekolah online memang melelahkan.
Tiap hari Tareq harus berjalan jauh untuk mengecas laptop.
Dia juga sering kesulitan mendapat koneksi internet.
Itulah normal baru Tareq.

Gas dan bensin sulit didapatkan.
Satu satunya bahan bakar hanyalah minyak goreng.
Ayahnya Omar menjualnya di pinggir jalan.
Itulah normal baru ayahnya Omar.

Khaled dan keluarganya sering kelaparan.
Uang donasi tak menentu dan tak ada bantuan makanan.
Satu satunya yang bisa dimakan hanyalah makanan ternak.
Itulah normal baru Khaled.

Tiap melihat foto dirinya Eman sering menangis.
Wajahnya tampak kusut dan kecantikannya memudar.
Bibirnya yang kering tak bisa lagi tersenyum.
Itulah normal baru Eman.

Musim dingin Aya sangat menderita.
Dia meringkuk kedinginan di dalam tenda yang kehujanan.
Tak ada selimut atau apapun yang menghangatkan.
Itulah normal baru Aya.

Tiap hari Walid pergi kemana mana.
Naik kereta keledai mengantarkan orang orang.
Sambil berhati hati menghindari drone terbang.
Itulah normal baru Walid.

Kamera Nassar tampak kusam.
Tiap hari dia selalu menyusuri jalanan berdebu.
Yang dia potret hanya rombongan pengungsi dan mayat mayat bergelimpangan.
Itulah normal baru Nassar.

Ketika ramadhan Fatema merasa sedih.
Dia tak punya bahan untuk membuat kue.
Yang dia punya hanyalah sisa tepung penuh belatung.
Itulah normal baru Fatema.

Kakeknya Ashraf terbaring lemah di dalam tenda.
Sering berteriak ketakutan saat mendengar suara.
Ledakan demi ledakan bombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru kakeknya Ashraf.

Khalil sering menggerutu.
Tiap pertandingan El Classico dia tidak bisa nonton.
Yang bisa dia lakukan hanya membaca berita sepakbola.
Itulah normal baru Khalil.

Huda merasa lelah meneruskan kuliah online.
Sementara dia sering terkenang dengan kampusnya yang telah hancur.
Dan juga teman temannya yang telah tewas.
Itulah normal baru Huda.

Ketika musim panas Kareem sangat menderita.
Dia kepanasan di dalam tenda yang sempit.
Sementara di luar matahari benar benar terik.
Itulah normal baru Kareem.

Shayma kesal laptopnya rusak.
Dia tak bisa lagi menonton film dan anime yang sering dia unduh.
Sementara tukang servis laptop baru saja tewas.
Itulah normal baru Shayma.

Tiap pergi ke pasar ayahnya Lubna merasa sedih.
Sayuran dan buah buahan harganya naik tinggi tak terbeli.
Padahal dulu bisa dipanen banyak di kebun sendiri.
Itulah normal baru ayahnya Lubna.

Malak sering sakit sakitan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya terbaring lemah.
Kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Itulah normal baru Malak.

Tiap sore Zaina selalu kelelahan.
Dia terus keliling tempat pengungsian menjual falafel buatannya.
Tapi hanya sedikit orang yang punya uang untuk membeli.
Itulah normal baru Zaina.

Saat merasa suntuk Dima sering menyesal.
Dia tidak membawa koleksi novelnya yang tertinggal di rumah.
Satu satunya penghiburan hanyalah mengingat berbagai cerita koleksi novelnya.
Itulah normal baru Dima.

Anak anaknya Hussein selalu kelelahan.
Tiap hari mereka menghabiskan waktu berjam jam.
Hanya untuk antri pembagian air dan makanan saat panas terik.
Itulah normal baru anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu kelelahan kurang tidur.
Apalagi saat menstruasi dia benar benar menderita.
Sobekan tenda yang kasar dia jadikan pembalut.
Itulah normal baru Reem.

Amal telah kehilangan semangat dan harapan.
Tak sanggup meneruskan kuliah online di tengah kekacauan.
Rencana melanjutkan kuliah ke Eropa sudah dia lupakan.
Itulah normal baru Amal.

Dr Ghassan sering kebingungan.
Pasokan obat obatan di rumah sakit Al Quds semakin habis.
Sementara tiap hari puluhan orang dan anak  yang terluka terus berdatangan.
Itulah normal baru Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya kelelahan bertahan hidup.
Berkali kali mereka pindah tempat pengungsian.
Setelah tenda tenda dibombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru Ahmed.

Saat tengah malam Aboud sering bersedih.
Dia menyesal tidak bisa menyelamatkan rekan rekannya di rumah sakit Al Shifa.
Mereka tewas dieksekusi massal hingga Aboud merasa sedih mengingatnya.
Itulah normal baru Aboud.

Tiap malam Mahmoud sering meratapi nasib.
Dia kehilangan segalanya tak punya apa apa lagi , tak punya siapa siapa lagi.
Dia sering mempertanyakan kenapa dirinya masih hidup.
Itulah normal baru Mahmoud.

Sham mengalami trauma parah.
Tatapannya kosong dan sering menangis.
Teringat keluarganya yang tewas dilindas tank.
Itulah normal baru Sham.

Saat malam yang dingin Sondos selalu menghangatkan diri.
Dia membakar tumpukan buku kuliahnya dengan rasa kecewa.
Baginya hukum internasional dan hak asasi manusia cuma ilusi belaka.
Itulah normal baru Sondos.

Tiap malam Bayan dan Layan tidak bisa tidur.
Di tengah bombardir pesawat jet tanpa henti mereka terus memandangi langit.
Berharap keajaiban akan mengubah keadaan.
Itulah normal baru Bayan dan Layan.

Normal baru menjadi masa kini yang menyakitkan.
Terlalu menyakitkan untuk dijalani selama setahun lebih.
Tak ada yang tahu kapan berakhirnya kekacauan panjang yang tak berkesudahan.
Terus menerus menghancurkan kehidupan dan mengancam masa depan.


November 2024

By Alvian Eleven
Chapter 13: An Uncertain Trail  
Cutty was once again headed down a trail with an uncertain end.  He didn’t feel good about the riders ahead or what their true intentions were.  Jimmy had said: “They are probably cowboys from the Bar Circle T Ranch,” but he had only been guessing.

He charged up the rapidly darkening trail…  

The only thing he was sure of was that he was forever duty-bound to a code that had taken him captive so very long ago.  It never mattered the circumstance or the odds of success.  When her voice called—and his honor was once again at risk—everything else became subservient to his sense of duty.

It had first called his name in Central Park over twenty years ago.  He had been hunting pirates behind a pond, on the east side of the park, when the message was first handed down.  It was delivered in the scream of a young girl coming out of a small cave on the far side of the pond.

As the bats flew out of the cave, all of the other boys ran.  Cutty never wavered, as he covered his head and charged.  Inside, was a defenseless seven-year-old girl who had wandered away from her nanny.  Cutty covered her with his jacket and led her back outside. As the other boy’s heckled and jeered, he never stopped or even looked their way.  That young girl’s name was Miss Shepperd, but Cutty had heard the nanny call her Destiny—Destiny Shepperd.

Cutty was now riding his five-year-old horse at a full gallop and the white sweat from the horse’s withers had covered his trousers.  His knowledge of tracking was enough to tell him that the shoe prints were becoming more pronounced the further west he rode.  He was gaining on them.

Five miles later, there was less distance between the front and rear hoof prints of the riders ahead.  They had slowed down.  They were now either cantering or walking their horses. Cutty decided to get off and walk his horse until he was sure.  He knew his horse could use the rest, and he needed the quiet to be able to hear what might be up ahead.  

He walked for twenty minutes, as the tracks in front of him became fresher and fresher.  There was no doubt in his mind that the riders ahead of him were walking their horses too.  

It was now late into the evening, and he thought he heard voices coming out of the trees ahead.  As he edged closer, he could smell wood smoke and hear the sounds of a fire.  Cutty knew the other mounts would smell his horse in the night air before he got much closer.  He decided to tie his horse to a tree thirty feet off the trail.  He had learned from the Gurkhas in Nepal how to move soundlessly through the brush.  He held his sword close against his body, as he advanced through the dark.

The trail started to enter a deep ravine.  At the bottom, he could see five horses all tied together.  Fifty yards past the horses was a raging fire.  These men were not worried about being seen.  Cutty listened for voices as he moved past the horses.  The sounds that he heard in the night air were emboldened with inebriation.

These Men Were All Drinking

“Good,” Cutty said to himself.  “A drunken adversary is only half the threat that he is when sober.  This adjusts the odds a little more in my favor.”  Still, Cutty wasn’t going to take anything for granted.  Five drunken cowboys, if that’s what they were, could still be a lot for him to handle.

He checked the cylinder of his Colt .45 to make sure it was fully loaded.  He didn’t want to repeat the mistake he had made when rescuing Adrian on that hill in Portugal.  After chasing the Basque Assassin, Bakar, through the hills above Lisbon, he had forgotten to reload after shooting at him and several of his men.

He was sorry now that he hadn’t asked Jimmy for his Colt, Model M1902.  It would have given him eight rounds in case the six in his Colt .45 were not enough.  The Colonel had always told him that, … “In direct confrontations, there is very little chance to reload.  Most fights are over by then.”

The M1902 was a semi-automatic pistol developed by John Browning for Colt in 1902.   It was an improvement on an earlier design.  The military version had a square and lengthened grip frame allowing it to carry an additional round in the magazine.  It fired eight rounds of .38 ACP from its six-inch barrel.

With his Colt .45’s capacity of only six rounds, Cutty would have to be deadly accurate with each shot.

DEADLY ACCURATE IS WHAT HE HAD BEEN BEFORE!
  
As he came out of the woods and passed by the horses, he tried to move quietly so as not to startle them and give himself away.  
The lead stallion whinnied as Cutty brushed by him in the dark.  The noise was loud enough to arouse two of the men and they came to investigate.  Cutty moved further off into the shadows until the men were satisfied that the horse had only been reacting to a small animal in the brush.  The two wobbly figures mumbled to each other as they walked back to the fire…

“We’ll teach that filthy redskin a lesson about wandering this far off of the reservation,” the bigger of the two said.  “His body will only strengthen our story about the missing cattle.  When we get done with this running iron he’ll wish we had killed him when we killed his horse.”

All five men were now seated again around the fire and passing two bottles of whisky back and forth.  There was no sign of Not-Many-Prisoners anywhere.  Cutty said a prayer that he was still alive.  Based on what the one cowboy had just said, he was pretty sure that he was.

But Where ?

A running-iron was a free-handed branding tool that allowed the cowboy to create a design of his choice on the animal with its hot glowing tip.  Unlike the forged designs of most branding irons, the running-iron allowed the brander to change, or go over, an existing design making it a favorite tool of rustlers throughout the west.
Cutty circled around the ravine to get closer to the fire.  The five men had continued to drink, and their words got louder as their attention span’s diminished.  As the sparks danced in mock adoration …

Cutty Started To Plan


Chapter 14: Right Toward The Fire

He looked down at the gleaming brass on his blouse.  As an afterthought before leaving home, he had stuffed it into his satchel.  He wasn’t sure why, but he thought that maybe—just maybe—it would be useful in some way.  The buttons were now alive in the distant glow from the firelight.  They would appear as multiple sets of eyes coming out of the dark.

Cutty looked intently at the five men as they continued to pass the two bottles around.  Their faces were greasy and unwashed, and they sat with a demeanor that gave away their intentions.  They were among the lowest of men ...
  
These Men Hadn’t Seen A Washtub In Over A Year

Cutty remembered back again to his cowboy friends in Abilene and Dodge City—they looked nothing like this.  They had been righteous and straight, and their posture and speech only reinforced their true makeup.  They were nothing if not respectful of those around them and totally dedicated to their craft.  Cutty appreciated that. Their loyalty to the ranches they worked for equated to his unwavering commitment to a life of duty and honor.

Those Men All ‘”Rode For The Brand”

He had developed a kinship and brotherhood with those cow hands back in Kansas, and he had made himself a promise to one day go back and visit them again.  He knew as he made that promise to himself, going back was something he had never been able to do before.  He hoped  this time it would be different.

“All right, who’s going first?” Cutty heard from the cowboy seated at the far end of the fire. “Who wants to put the first mark on that filthy redskin?”  “I’ll do it, Jack,” said a man seated ten feet to his left.  “I’m going to burn a dark groove right between his two beady eyes.”  
“OK, Pete; you and Bill go get that stinking Piegan.”

At this point, Cutty had not seen Not-Many-Prisoners, but he knew he had to be close.  The two men walked toward where the horses were tied and within five minutes were back.  Each man had Not-Many-Prisoners by an arm, and the Piegan Elder was slumped forward and struggling to walk.

Cutty Had Walked Right Past Him

“I don’t think he liked being tied to that horse, Jack.  He about pitched a fit when we cut the ropes and took him down.  Bill gave him a good jolt to the head with his Peacemaker to get him to behave.  I don’t think he’ll give us any more trouble.” “Good, you and Bill tie him to those two small cottonwoods over by the water.  Then we can let the real fun begin.”

Some Of These Outlaws Were Carrying Colt .45’s

Cutty couldn’t believe that he had walked right by Not-Many-Prisoners when he had entered the ravine.  “How could I have missed him so close in the dark?”

Not-Many-Prisoners had been tied cross-saddle to the biggest of the five horses.  It had been the fourth one back as Cutty passed by in the dark.  After tying him to the saddle, the outlaws had covered him with a canvas tarp making him impossible to see.  It also made it almost impossible for him to breathe.

Not-Many-Prisoners was lucky to be alive.  Had Cutty been able to see and untie him, it would now be two against five and they would still have had the element of surprise working for them.“I wonder if Not-Many-Prisoners knows I’m here?  He may have heard me as I walked by, especially when that lead horse whinnied, and has kept quiet to protect me.  Or, he may have been in such rough shape, that he missed me entirely.”

Cutty wasn’t sure of Not-Many-Prisoner’s mindset but he was sure of one thing ...he didn’t have much time.   As the vile, and now drunk, outlaws tied Not-Many-Prisoners to the cottonwoods, Cutty hurried back to the horses.

He quickly and quietly untied them from each other—he needed to make a statement.  The cowboys were still drunk, and a drunken man’s imagination often gets the better of him.  He was hesitant to do it, but he felt he had no other choice…

He Unholstered His Colt


Chapter 15:  A Different Brand Of Justice

The horses had been bound together with a technique that Cutty had never seen before.  They had all been tied to a forty-inch branch that allowed them to move freely and graze without getting tangled.  It lowered down as they fed and then rose when their heads straightened back up.

Cutty vowed to remember this for the future.  It provided for both security and a limited amount of mobility.  It had been invented by the Cheyenne and was used extensively throughout the southern plains. The Colonel had been right when he said: “The Native Americans are noted for their prowess in stealth and tactics.” Cutty untied the horses from the branch, and—with three of the reins in his right hand and two in his left—started to walk them slowly toward the fire.

He knew his next move would be costly, but he needed to create as big a diversion as he could.  It would only leave five shots in his Colt, but the effect would be worth the bullet, at least that’s what he hoped.
.
He Reminded Himself About Hoping Again

The Colonel had warned Cutty repeatedly about hoping.  “Wishing for a certain outcome is not worth the mental effort you will put forth.  Keep your attention focused on the task at hand.  That will afford you the best chance of success.”

Cutty slapped the lead stallion on its **** as he fired his Colt up into the night sky.  At the report of the gunshot, all five horses took off toward the fire like they were being chased by the underworld god, Hades.  Entering the mouth of the ravine, there was not enough room for them to go around and avoid the fire.

They Charged Straight Through

The horses charged across the fire as the five cowboys looked on in drunken horror.  There was smoke and flying embers everywhere.  Two of the cowboys at the far end stood up and tried to run but were trampled by the horses before getting very far.  The lead cowboy, Jack, managed to get to his gun before leveling it in Cutty’s direction and firing.

Cutty redrew his Colt while dropping to one knee.  He sighted his big .45 and fired before Jack could get off a second round.  The bullet went straight through Jack’s right shoulder causing him to drop the big Peacemaker as he fell back away from the now-scattered fire.  
Cutty picked up Jack’s gun and ran toward where Not-Many Prisoners was tied.   As he cut his restraints, he handed him Jack’s gun saying: “There are five shots left in the cylinder.  Here’s six more rounds in case you run out.”

They both turned to face the startled cowboys who were now crawling through the dirt trying to make sense of it all.  With a KIAI that none of these rustlers had ever heard before, Cutty advanced.  One by one, he grabbed the men and threw them face down onto the dark ground.  He then yelled to Not-Many-Prisoners: “Tie them up with their hands behind their backs.  I’ll tie the one that I shot after I check on his wound.”

The KIAI Had Been For Not-Many-Prisoners Benefit

Cutty checked on Jack’s shoulder.  It was bleeding profusely, but it was a clean wound and the bullet missed any bone or cartilage as it passed through.  Cutty grabbed the bandana from around Jack’s neck, ***** as it was, and wrapped his shoulder.  “This will help to stop the bleeding,” Cutty said.  “Keep pressure on it with your other hand.  It’s better than you deserve, but you might just live if you keep it from bleeding out before you get to a doctor.”

Jack had been staring at Cutty’s blouse as he doctored his wound.  “So, you some kinda government agent?” Jack asked, as Cutty started to walk away. “I’m a Major in the United States Army here to investigate charges that rustling has been taking place on government land.  I can see now that the rumors have been true.  In addition, you were getting ready to commit capital ******.  I am ordering you, and your men, to stay here until my detachment comes back to pick you up.

If you’re not here when they arrive, they will hunt you down like the wild dogs that you are.  I need to get this Indian Scout back to headquarters. We know who you work for and what you’ve been doing.”

“You Are All Under Military Arrest”

Cutty tied Jack’s right hand to the top of his other arm. He knew he had just stretched the truth, but he wasn’t above doing that if a man’s life hung in the balance.  He looked across the scattered but still burning embers.

Not-Many-Prisoners had a look on his face that Cutty had not seen from any of the Piegan Elders before.  El Cristo had been the first to look at him that way when he had mortally wounded his son, Elligretto, in Seville.  His expression transcended the present moment as it acknowledged Cutty’s immortal warrior spirit.

Not-Many-Prisoners ran into the darkness in the direction that the horses had just gone. In less than ten minutes he was back with all five of them in tow.  “How was he able to find them in the dark and to have done it so quickly?” Cutty wondered.
  
Horses, when frightened or startled, will often run for miles without stopping.  He was sure when he fired that shot from his big Colt, those five had been both.  The Colonel’s assessment about Native Americans—a breed of men Cutty had only met once before in Abilene—rang true again tonight.

At West Point, Jimmy had been masked in eastern tradition hiding the best parts of himself.

Cutty Jumped On The First Horse As He Yelled
Setiap hari kubuka Tiktok.
Selalu kulihat banyak video.
Terus diposting orang orang Gaza.
Bercampur antara duka lara dan suka cita.

Anas sang jurnalis di Jabalia.
Menyiarkan berita bombardir pesawat jet.
Menghancurkan rumah dan sekolah.
Mayat anak anak tergeletak dimana mana.

Hamada sang juru masak di Khan Yunis.
Bersemangat memasak shawarma ayam.
Lalu dia membagikan untuk anak anak.
Mereka tertawa gembira bisa makan enak.

Motasem sang jurnalis di Beit Lahia.
Mendatangi beberapa tenda pengungsi.
Anak anak di dalam tenda tenda itu.
Semuanya kurus kering kelaparan.

Mona sang relawan di Al Mawasi.
Sibuk membagikan bahan bahan kebutuhan.
Beras , tepung , minyak , gula , mie.
Para pengungsi senang menerimanya.

Bisan sang jurnalis di Al Maghazi.
Bertemu banyak rombongan pengungsi.
Mereka kelelahan berjalan jauh.
Sandal dan sepatu mereka sobek semua.

Tito sang badut di Gaza Utara.
Selalu enerjik menghibur anak anak.
Bermain , bernyanyi , berjoget.
Tertawa gembira bersama sama.

Dr Mohammed di rumah sakit Kamal Adwan.
Merasa kelelahan dan ketakutan.
Sendirian mengurusi orang orang terluka.
Sementara rekan rekannya ditangkap semua.

Said sang relawan di Al Nuseirat.
Tanpa lelah memasang tenda tenda.
Memasak makanan dan membagikan barang.
Untuk pengungsi yang terlantar.

Saleh sang jurnalis di Khan Yunis.
Menemukan anak lelaki saat tengah malam.
Menangis sendirian di kuburan ibunya.
Tidak mau kembali ke tenda hingga pagi tiba.

Dahlan sang relawan di Deir El Balah.
Mengadakan acara nonton kartun bersama.
Anak anak berkumpul dan merasa gembira.
Nonton kartun sambil makan popcorn.

Ahmed sang jurnalis di Al Nuseirat.
Merasa kasihan melihat anak anak di dalam tenda.
Mereka kepanasan saat siang terik.
Dan kebanjiran saat hujan deras.

Samaa sang gadis pemain biola di Tel El Hawa.
Duduk di bawah pohon sambil memainkan biola.
Anak anak yang melihatnya tampak tenang.
Terlarut melupakan semua penderitaan.

Youmna sang jurnalis di Shujaiya.
Bertemu anak anak yang terlantar.
Mereka memungut makanan dari sampah.
Dan meminum air dari comberan.

Alaa sang tukang cukur di Al Nuseirat.
Mencukur rambut orang orang tanpa bayaran.
Dia cukup senang mendapat sedikit imbalan.
Rokok , roti , kopi atau ucapan terima kasih.

Hossam sang jurnalis di stadion Yarmouk.
Meliput banyak pengungsi yang berdatangan.
Mereka kelelahan , kelaparan , kehausan.
Terlantar tak punya tenda.

Renad sang gadis cilik di Deir El Balah.
Selalu ceria memasak berbagai makanan.
Dia memasak maqluba tanpa ayam.
Harga ayam naik tinggi tak terbeli.

Doaa sang jurnalis di rumah sakit Al Nasser.
Mengunjungi anak anak yang terluka.
Ada yang tangan dan kakinya buntung.
Ada yang kulitnya mengelupas terkena fosfor.

Israa sang guru di Al Bureij.
Mengajak rekan rekannya membuka tenda sekolah.
Mereka memberi alat menulis dan menggambar.
Anak anak senang bisa sekolah lagi.

Hind sang jurnalis di rumah sakit Al Aqsa.
Menyiarkan berita yang mengerikan.
Tenda tenda di sekitarnya hancur berantakan.
Terbakar terkena bombardir pesawat jet.

Samih sang pemuda pemain oud di Deir El Balah.
Penuh semangat bernyanyi sambil memainkan oud.
Sementara teman temannya lincah menari dabke.
Menghibur orang orang yang mengungsi.

Samara sang jurnalis di Al Zaitun.
Mendatangi tenda tenda para pengungsi.
Banyak anak anak yang kulitnya gatal.
Penuh borok dirubungi lalat.

Abdullah sang petani di Khan Yunis.
Nekat menyelinap kembali ke kebunnya.
Agar dia bisa memanen sekarung buah olive.
Cukup untuk dibagi para pengungsi.

Faiz sang jurnalis di Rafah.
Meliput jalanan yang sepi.
Tak ada apapun selain mayat mayat berlumuran darah.
Tewas bergelimpangan diserang quadcopter.

Hassan sang dosen di Al Rimal.
Tanpa lelah melakukan kuliah online.
Para mahasiswa bersemangat melanjutkan kuliah.
Tak peduli dengan kekacauan , kesulitan dan keterbatasan.

Mahmoud sang jurnalis di Shujaiya.
Menutup hidungnya sambil melakukan liputan.
Mayat mayat membusuk menjadi tulang belulang.
Dimakan anjing anjing liar yang kelaparan.

Abdallah sang relawan di Deir El Balah.
Sibuk mengurusi banyak kucing liar.
Dia mengobati dan memberi makan.
Lalu membelai belai dan bermain main.

  Mousa sang penyelamat sipil di Beit Hanoun.
Merasa putus asa tidak bisa menolong.
Orang orang yang terluka tertimpa bangunan.
Merintih rintih kesakitan menunggu kematian.

Fadi sang relawan di Al Maghazi.
Terus bergerak bersama rekan rekannya.
Mereka memasang solar panel , mengebor sumur dan membuat.
Para pengungsi memuji kerja keras mereka.

Yousef sang petugas medis di rumah sakit Al Quds.
Merasa ketakutan naik ambulance.
Drone pengebom terus mengejar.
Meledakkan jalanan yang dilewati.

Menna sang pelukis di Al Shati.
Menyuruh anak anak untuk mengantri.
Sementara dia melukis wajah mereka satu persatu.
Lukisan semangka , Handala dan bendera Palestina.

Nofal sang jurnalis di Shujaiya.
Mewawancarai seorang pria kurus penuh luka.
Pria itu baru saja dibebaskan dari penjara.
Terus disiksa hingga mengalami trauma.

Maha sang jurnalis di Deir El Balah.
Bersantai di pantai sambil memandangi senja.
Sementara anak anak muda di sekitarnya.
Penuh semangat bermain sepakbola.

Naji sang sopir taxi di kota Gaza.
Menyetir mobilnya pelan pelan sambil menangis.
Dia sedih melihat seluruh kotanya hancur lebur.
Tak ada yang tersisa selain puing puing reruntuhan.

Fatema sang relawan di Al Shati.
Berkumpul bersama anak anak perempuan di tenda besar.
Mereka duduk di tikar sambil membaca ayat ayat Al Quran.
Terdengar merdu hingga meneguhkan keimanan.

Ismail sang jurnalis di Jabalia.
Bertemu seorang pria yang naik kereta keledai pelan pelan.
kereta keledai itu mengangkut mayat anak anak yang berlumuran darah.
Ada yang kepalanya pecah , ada yang perutnya hancur.

Nour sang jurnalis di kota Gaza.
Tertawa senang melihat anak anak muda di sekitarnya.
Mereka bermain parkour melompati puing puing reruntuhan.
Lalu mengibarkan bendera Palestina di atas atap yang hampir roboh.

Khaled sang jurnalis di Beit Hanoun.
Tergesa gesa meliput pengeboman drone di jalanan.
Ledakan bom menghancurkan mobil hingga ringsek.
Orang orang di dalam mobil tewas mengenaskan berlumuran darah.

Ashraf sang insinyur elektronik di Al Nuseirat.
Tampak senang memamerkan barang barang buatannya.
Kipas angin , lampu meja , charger ponsel hingga kulkas.
Semuanya dibuat dengan rongsokan yang dia temukan.

Lubna sang jurnalis di rumah sakit Al Shifa.
Meliput kengerian setelah pembantaian massal.
Ratusan mayat membusuk bergelimpangan dimana mana.
Semuanya hancur tak berbentuk setelah dilindas tank dan buldoser.

Firas sang relawan di Al Bureij.
Naik truk bersama rekan rekannya ke tempat pengungsian.
Begitu tiba mereka langsung membagikan sepatu , mantel dan jaket tebal.
Anak anak senang tak lagi kedinginan.

Jumana sang janda di Al Mawasi.
Menangis teringat suaminya yang tewas tertembak quadcopter.
Dia juga lelah berusaha bertahan hidup tanpa suaminya.
Sementara anak anaknya masih kecil semua.

Rami sang pemuda kreatif di Al Nuseirat.
Mengumpulkan banyak kardus bekas dari tempat sampah.
Setelah itu dia membuat beraneka mainan kardus untuk anak anak.
Mobil mobilan , motor motoran , kapal kapalan dan lainnya.

Wedad sang gadis remaja di Al Mawasi.
Termenung sedih sambil memegang kunci tua dan kunci baru.
Kunci tua itu milik neneknya yang terusir dari rumah sejak 1948.
Kunci baru itu miliknya sendiri yang terus dibawa setelah rumahnya dihancurkan.

Mosab sang pelukis mural di Rafah.
Membawa banyak peralatan lukis dan cat beraneka warna.
Dengan penuh semangat dia melukis mural di reruntuhan tembok yang lebar.
Yang dia lukis adalah sosok Handala sedang makan semangka.

Dokter Ayaz di rumah sakit Al Awda.
Menangis melihat bayi bayi prematur yang tidur dalam inkubator.
Tak ada kiriman bahan bakar untuk terus menyalakan listrik yang hampir padam.
Bayi bayi prematur itu akan segera mati satu persatu.

Aboud sang pemuda kreatif di Al Maghazi.
Mengajak anak anak membuat layangan besar bendera Palestina.
Lalu mereka menerbangkan layangan besar itu di tepi pantai.
Siapapun yang melihatnya merasa masih punya harapan.

Duka lara yang dialami orang orang Gaza masih terus berlanjut.
Tapi orang orang Gaza masih terus melanjutkan suka cita.
Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan.
Menikmati apapun yang masih bisa dinikmati.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —