Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Había un hombre que tenía una doctrina.
Una doctrina que llevaba en el pecho,
(junto al pecho, no dentro del pecho),
una doctrina escrita que guardaba 
en el bolsillo interno del chaleco.
Y la doctrina creció. Y tuvo que meterla en un arca,
en un arca como la del Viejo Testamento.
Y el arca creció. Y tuvo que llevarla a una casa muy grande. 
Entonces nació el templo.
Y el templo creció. Y se comió al arca, al hombre 
y a la doctrina escrita que guardaba
en el bolsillo interno del chaleco.
Luego vino otro hombre que dijo:
El que tenga una doctrina que se la coma,
antes de que se la coma el templo;
que la vierta, que la disuelva en su sangre,
que la haga carne de su cuerpo...
y que su cuerpo sea
bolsillo,
arca
y templo.
Mateuš Conrad Oct 2017
ms. amber is still not through, lullabying me proper; as much as i have "wasted", it seems strange, that i have yet to wait for so much more.

does it come upon such times, then even
an mongrel irish man,
bestowed upon the shores of goa,
deem himself the classical masochistic
christian in demanding:
our fate belongs from the inheritance
of **** & pillage -
     says one anglophobe to another
native "anglophile" -
the natives speak worse english than
the horde.
              does it really come upon such times?!
let me tell you: for all the "need"
to speak english - english has been
****** into a digital whirlpool -
it's a lost tongue: it has been useful:
up to now, but all their b.d.s.m. anti-inflammatory
rhetoric is bugging me...
their entire ****-load-of-****
in attempt to "erase" dyslexia by,
nonetheless allowing the imagery:
  you want to spell good, mr. gump?
watch some ****.
     get right down to the lingo!
          it's called the universal phellatio...
******..
    you send one more mongrel irish
down my way: i'll ask for you to recite me
the entirety of macbeth: the only
play of shakespeare than borrows from
ancient greece (the graeae,
the missing eye of odin) - and gives
the medieval time a reboot one last chance!
****** eli of anglia my ***...
     whoever honey-suckled that brazilian
briefing: by now, added his spinal bones
to his dentistry's affair...
     the guillotine signalled one affair
an assurance: dead for sure,
i too cut meat on a meat cutter...
last time i remembered it was a clean
cut, clean enough to hear dante speak
for the dead: with the dead asking for
an audience: ex hades in hades -
    from the realm of the dead:
the readiest of a ginette mathiot -
  one shoe fits all: or ask cinderella...
my fingers are starting to glue...
     i speak better native than the natives,
and what rewards do i get?
stay, in, line!
                stay, in, line!
sure, let the idiot come first,
and the intelligent foreigners come last -
because: that's just how the world is...
           **** poo = 1000+ sims of
clappers...
           esp. in manchester...
   my mother said: head north -
i say: **** you to hell and your joke
of me:
       i'll sooner fear living too long,
than your woman-kind,
and being unfretted by living too long...
         i have as much fear of death
as i have of: a life...
buttered by what the stereotype doesn't
give away with me being a single child...
again: being qua mechanisation -
the in-endurable "waking"
of what was to certainly come
free, nonetheless in shackles.
if only history knew a genuine of itself
in itself: the perfected
compartmentalism:
an - *arca in arca in arca in arca per se

(a box in a box in a box in a box in itself) -
cf. a babushka doll...
              western society is overladen
with visualisations that lead to no
potent set of words...
                     these people, currently
going down: do, not, know, themselves;
what they know is that they "think"...
the more a people esteem their cleverness
the more stupider their actions
become... the more replicable...
    the more unsatisfactory - the more
congested in repetitive "plagiarism"...
the more clued-up on cluelessness...
    siberia is not exactly the north western,
the south western, or texas,
         i used to love the idea of america,
****, i loved the cinema,
i loved the music,
  but these days?
       the u.s.a. is about as uniform in
politics as any football team aspiring
  for a chance at the world cup...
  the leverages are even...
      the moral compass is:
omnia in aether est -
            america has suddenly started to
not ask a north korean for a shoeshine -
i don't get the *******
  moral "debate" given that there has only
been one country to have dropped the nuke:
twice!
       what's the defence? the cultural
exchange program? only if they kept
it up! they seem slightly limp **** about
how: creativity is not a competitive
market economy: there's not magnetism
to parallel a market and an artist's blank slate:  
in wall street there's no costello moment
of leprechaun-**** appreciation:
     i'am an artist. you give me a fing tuba,
i'll get you something out of it.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
****, shove a woodpecker up my ***,
and i'll get you a canary to play me a,
******* trombone in cough-up beat-box!  
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
do these people really think that writing
******* instead of f
ing will revive
their sadistic dream of abolition?
that's cheap, that's real cheap...
         america, beacon of the west?
beacon of the west?
more like bacon of the west -
never send puritans of huguenots stock:
to do a catholic's job;
just saying...
                who needs these boneless
deflated ******* of "ambition" to
orchestrate the boys they ****** but
never minded to castrate?!
             never send a protestant to
do a catholic's job... otherwise?
you get america...
     pish-poor job you did there:
     america truly is a modern nation:
with inclinations to hollywood medieval -
****, i love my odd exorcism and levitation -
never send a ******* hugh to do a
calvanelli's job -
women complain: 1 period once a month...
sure: and there's me jerking off 30 times a month!
that's what i find wrong with the greeks'
interpretation of the hebrews:
  i was born into a life, and i will live
out a life, in order than, somehow,
archeology can be subverted from
the already given unearthed facts...
                        so they were all pretty ****
mad and irrational...
   or, what?
            for the greek so good with ideas:
as the modern time suggests:
a tad ****** with money.
   or for the jews so good with money:
as the modern times suggest:
a tady ******, and late with their own goal
when it comes to ideas.
born into it: will die in it -
can't shake off the sadomasochism of
christianity, the irrationality of:
back then - even the lunatic was allowed
to talk, and his talk was allowed the freedom
of the talk, given the talk of the lunatic didn't
pick up the sword...
           celebrating christmas
& easter is becoming more and more
uncomfortable for me, year upon year:
since i don't know what i'm exactly "celebrating"...
i'm probably much closer celebrating
keeping my mouth shut,
   than anything coming from
the celebratory gob of cousins who are lesser
read... it's not pedantic,
         it's just what it is...
          i'm already sick with christmas
having a genesis at the beginning of november...
almost coinciding with
the end of halloween...
                         i hate protestant nations
for one concern alone: the joy from lying -
why was lying never a crowning achievement
of sin, that cardinals ought to know best?!
lying was "fun" as a child:
as an adult?
                  lying breeds no thrills -
as apathy being unable to breed a pathology
worthy of being categorised
in that juicing the giraffe nibbling on
a skittels rainbow...
    a lie was never, and never will be:
an elaboration of deception...
a lie always was, and always will be:
a ****** game of chess...
              a lie will always be
the most devastating, yet at the same time:
the most unsatisfactory "revelation"
of a lost sense of trust...
           lies belong to children -
and lies make adult men into boys -
stating the blunt truth is always too
shocking to be said in the "never-to-exist":
unsaid, that is nonetheless said -
without ever encouraging the minotaur's
plague of chasing, and the erosion
of memory -
       it's hard to keep track of lies -
as hard as it must be to forgive oneself
to memorise forgetting,
   as is the opposite scenario of forgetting
to memorise: in the case of alzheimer's...
blunt: sure... the disease of telling lies,
and mismanaging chronology of "this said
unto that actor / that said unto this actor"
and the multiple version of etc.
hey... didn't lord greville janner suffer
from dementia? the most obvious aversion
toward reality is not from the satanic
ritual of "eating the fruit" of
the dichotomy (differentiation) /
dualism (integration) of good & evil...
that's but one act alone -
problem is: to pursue the continuum of
the original sin: lie -
could a crow ever lie that it's not a crow
with a croak?!
  could a dog ever lie that it's not a dog
with a bark?!
dementia is a disease of compulsive liars...
      who lost the plot,
or, to be honest: never had a plot
to begin with: merely: a juggling act.
Gadus Jul 2014
Porcelain teeth flashing with that unnatural hue.
Pandering your **** in an alleyway
for two squatters and a proper *** to see.
Knees bent,
hips gyrate.
Throwing **** like caution to the wind.

Moldy pull-tabs torn limb by limb.
Manual fixation (or so I've been told).
Peel a label.
Phone a friend.
Flip the switch on this ******* shitshow.

Ripe with intentions spilling on the carpet.
Red like the drink,
the drink that got me here.
Slow ascension followed by the free fall ...
as is life.

Appreciate the absurdity
of a swan dive
straight into the asphalt.
La muerte es madre nuestra de las madres,
nuestra madre primera que nos quiere
a través de las otras madres vivas, siglo a siglo,
y nunca, nunca nos olvida.
Madre que va, inmortal, atesorando
(para cada uno de nosotros sólo)
el corazón de cada madre nuestra muerta;
que está más cerca de nosotros,
cuantas más madres nuestras mueren;
para quien cada madre sólo es
un arca de presencia que entrañar
(para cada uno de nosotros sólo);
madre total que nos espera como madre final,
con un abrazo inmensamente abierto,
que ha de cerrarse, un día, estrecho y firme,
uniéndonos a todos sobre su pecho para siempre.
Victor Marques Oct 2010
Amor meu que só tu sentiste,
Infância rude e atribulada.
Arca de Noé naufragada,
Ambições dum menino triste.


Viagens que se perdem num labirinto,
maltratado pelas ocas canseiras.
Aventuras passageiras,
Coisas que eu sinto.



Trago na alma uma acesa chama,
Areias que o sol não queimou,
Mares que sua brancura o vento lavou,
Sinónimo de quem ama.


Victor Marques
Hay un tirano que sujeta
y otro tirano que desata...
y entre los dos tu predio, libertad.
¡Libertad, libertad,
hazaña prometeica,
en tensión angustiosa y sostenida
de equilibrio y amor!
¡Libertad española!
a tu derecha tienes
los grillos y la sombra
y a tu izquierda la arena
donde el amor no liga.
Se es esclavo del hacha
lo mismo que del cepo...
Y el desierto es también un calabozo;
el desierto amarillo
donde el átomo roto
no se pone de pie.
De aquí nadie se escapa. Nadie.
Porque dime tú, amigo cordelero,
¿hay quién trence una escala
con la arena y el polvo?

Español,
más pudo tu envidia
que tu honor,
y más cuidaste el hacha
que la espada.
Tuya es el hacha, tuya.
Más tuya que tu sombra.
Contigo la llevaste a la Conquista
y contigo ha vivido
en todos los exilios.
Yo la he visto en América
-en México y en Lima-,
Se la diste a tu esposa
ya tu esclava...
y es la eterna maldición de tu simiente.

Tuya es el hacha, el hacha:
la que partió el Imperio
y la nación,
la que partió los reinos,
la que parte la ciudad
y el municipio,
la que parte la grey
y la familia,
la que asesina al padre
-Álvar González,
Álvar González, habla-,
Bajo su filo se ha hecho polvo
el Arca,
la casta,
y la roca sagrada de los muertos;
el coro,
el diálogo
y el himno;
el poema,
la espada
y el oficio;
la lágrima,
la gota
de sangre,
y la gota
de alegría...
Y todo se hará polvo,
todo,
todo,
todo...
Polvo con el que nadie,
nadie,
construirá jamás
ni un ladrillo
ni una ilusión.
Victor Marques Apr 2023
Lugar de bem_aventurancas e felicidade,
Fora do mundo, da realidade.
Jardim com as mais belas rosas
Sejam ou não formosas.
Morada eterna de todos os redimidos,
Dos bons, dos maus,dos oprimidos.
Sem punição, nem hediondos castigos

Eterna será também a nossa glória,
Com Cristo ao romper da autora,
Padecendo no mundo pedimos a absolvição,
Paraíso com vida e ressurreição,
Jesus e o bom ladrão...

Aguardamos um juízo final,
Sem pecado original.
Uma nova vinda de Deus Senhor,
Pregando a justiça e  o  amor.
Paraíso de Abraão,  da arca de Noé perdida,
Haja Deus nesta Vida.

Victor Marques
Deus,paraíso, ressuscita, Jesus
Alan Eshban May 2017
A tu lado estar, a tu lado caminar, el pasar tiempo juntos, el arreglar problemas juntos, el pasar momentos felices y tristes no es más que solo un sueño mío.
El sentirse solo sin apoyo alguno, es como estar en algún otro siglo, en el cual yo no me identifico.
Me podré sentir perdido en el tiempo, pero aún más cuando yo a usted la miro.
Ya que su mirada es más hermosa que las rosas.
Si la tendría que describir a usted, hermosa dama, serias como el arca de la alianza,¿porque?, porque solo te puedo ver, pero nunca sentir.
Pero todos sabemos que el solo ver no es lo mismo que el tocar, sostener, mucho menos el ser.
Vivir a aprender la vida, sin tener éxito en mi amorío, aunque mis lágrimas formen un río y el corazón dolor sentir como si en mil pedazos estuviera partido.
Se ha apagado el fuego. Queda sólo un blando
montón de cenizas,
donde estuvo ondulando la llama.

Ahí tienes, amigo, hecho porción quieta
de polvo liviano,
a aquel pino inmenso que nos dio su sombra,
fresca y movediza, durante el verano.

Tan alto, tan alto, que pasaba el techo
de la casa mía.
Si hubiera podido guardarlo en dobleces,
ni en el arca grande del desván cabría.

Y del pino inmenso ya ves lo que queda.
Yo, que soy tan pequeña y delgada,
¡qué montón tan chiquito de polvo
seré cuando muera!
Hoy, como nunca, me enamoras y me entristeces;
si queda en mí una lágrima, yo la excito a que lave
nuestras dos lobregueces.
Hoy, como nunca, urge que tu paz me presida;
pero ya tu garganta sólo es una sufrida
blancura, que se asfixia bajo toses y toses,
y toda tú una epístola de rasgos moribundos
colmada de dramáticos adioses.
Hoy, como nunca, es venerable tu esencia
y quebradizo el vaso de tu cuerpo,
y sólo puedes darme la exquisita dolencia
de un reloj de agonías, cuyo tic-tac nos marca
el minuto de hielo en que los pies que amamos
han de pisar el hielo de la fúnebre barca.
Yo estoy en la ribera y te miro embarcarte:
huyes por el río sordo, y en mi alma destilas
el clima de esas tardes de ventisca y de polvo
en las que doblan solas las esquilas.
Mi espíritu es un paño de ánimas, un paño
de ánimas de iglesia siempre menesterosa;
es un paño de ánimas goteando de cera,
hollado y roto por la grey astrosa.
No soy más que una nave de parroquia en penuria,
nave en que se celebran eternos funerales,
porque una lluvia terca no permite
sacar el ataúd a las calles rurales.
Fuera de mí, la lluvia; dentro de mí, el clamor
cavernoso y creciente de un salmista;
mi conciencia, mojada por el hisopo, es un
ciprés que en una huerta conventual se contrista.
Ya mi lluvia es diluvio, y no miraré el rayo
del sol sobre mi arca, porque ha de quedar roto
mi corazón la noche cuadragésima;
no guardaba mis pupilas ni un matiz remoto
de la lumbre solar que tostó mis espigas;
mi vida sólo es una prolongación de exequias
bajo las cataratas enemigas.
Luz
¿Será tu corazón un harpa al viento,
que tañe el viento?... Sopla el odio y suena
tu corazón; sopla tu corazón y vibra...
¡Lástima de tu corazón, poeta!
¿Serás acaso un histrión, un mimo
de mojigangas huecas?
¿No borrarán el tizne de tu cara
lágrimas verdaderas?
¿No estallará tu corazón de risa,
pobre juglar de lágrimas ajenas?
  Mas no es verdad... Yo he visto
una figura extraña,
que vestida de luto -¡y cuán grotesca!-
vino un día a mi casa.
-«De tizne y albayalde hay en mi rostro
cuanto conviene a una doliente farsa;
yo te daré la gloria del poeta,
me dijo, a cambio de una sola lágrima».
  Y otro día volvió a pedirme risa
que poner en sus hueras carcajadas...
-«Hay almas que hacen un bufón sombrío
de su histrión de alegres mojigangas.
Pero en tu alma de verdad, poeta,
sean puro cristal risas y lágrimas;
sea tu corazón arca de amores,
vaso florido, sombra perfumada».
Come un'arca d'aromi oltremarini,
il santuario, a mezzo la scogliera,
esala ancora l'inno e la preghiera
tra i lunghi intercolunnii dè pini;
e trema ancor dè palpiti divini
che l'hanno scosso nella dolce sera,
quando dalla grand'abside severa
uscìa l'incenso in fiocchi cilestrini.
S'incurva in una luminosa arcata
il ciel sovr'esso: alle colline estreme
il Carro è fermo e spia l'ombra che sale.
Sale con l'ombra il suon d'una cascata
che grave nel silenzio sacro geme
con un sospiro eternamente uguale.
Lawrence Hall Mar 2018
My Caesar and my Empire have I served,
A diplomatic functionary, true
To distant duties, and never unnerved
By greedy Greek or perfidious Jew

Outside the arca archa have I thought,
Festooned my desk and office with awards;
My Caesar’s honour only have I sought
While sparing for myself but few rewards

I built with focused care my resume’
And filed each memorandum, note, and scrip;
I justly ruled (no matter what they say),
And seldom sent men to the cross or whip

But, oh! That thing about an open vault –
I never got it.  And why was that my fault?
Norbert Tasev Dec 2020
When the eternally endowed Human Spirit, once gifted with Immortality, may have believed that human light, blazing in a halo tense in deer eyes, is not merely a product of combustion — but the eternal moment of the fillable, sanctified Universe; training in a living fire with two Sighs of the Spirit so it can boil budding into One! A graceful fever-lily stretches a pulled-out petal and as a nerve rises and what remains immortality Prometheus will be born!
 
It spreads from my little boy's face, cherishing a melancholy orphan; unquenchable, pure Flame then He became! My trickled panting head sweated like a pearl-mouthed sweat like the blink of Damocles' blade! Our fingers spread hesitantly apart in the captivity of our bodies: we smuggled lively stuttering words of compliment into each other's honeyed lips!
 
the waterfall of my trembling infarct heart shone like a breathtaking glass ball drop in the glow of Arca Gioconda, the elf of an abundant, rushing stream! And we could already feel the throbbing immortal piece of our body in the Universe that had split once and started to divide and became first three and then four-hearted under the captivity of our ribs!
 
Buds of buds shattered in the rays of our sparkling angelic eyes for our Happiness! - A glow of hawthorn in a tropical night, a flaming lace bush for the two of us is the way to go, perhaps ready from eternity; In our Savior Child Smile, we ignited the Essence that we honestly owe each other like two Children!
Norbert Tasev Nov 2020
When once gifted with Immortality, the eternal human Spirit may have believed that the human Light, tensed in deer eyes and flaming in halo, is not merely a product of combustion — but the eternal moment of a fillable, sanctified Universe; training in a living fire with two Sighs of the Spirit so it can boil budding into One! A graceful fever-lily stretches a pulled-out petal and as a thin nerve it gently rises and what remains is the birth of Immortality in Prometheus!
 
It spreads from my little boy's face, cherishing a melancholy orphanage: then he became my unquenchable, pure flame! My trickled panting head smelled like a pearl-like sweat like the flash of Damocles' blade; our fingers spread hesitantly apart in the restrained ******* of our bodies; we smuggle lively stuttering, complimenting words into each other's honeyed lips!
 
The waterfall of my trembling infarct heart shone like a breathing glass ball drop in the glow of Arca Gioconda, the elf of an abundant, rushing stream! And their mature body's throbbing immortal pace in the Universe has already ruptured and begun to divide and become our three and then four-hearted rib cages! "Buds of ******* shattered in the rays of our sparkling angelic eyes for Happiness!" - Glowing hawthorn in a tropical night and a flaming lace bush are a sure way for the two of us - maybe it's ready forever!
 
In our Savior Child Smile, we ignited the Essence of Sincerely Belonging to Each Other as a Child of Being
Cuando murió su amada
  pensó en hacerse viejo
  en la mansión cerrada,
  solo, con su memoria y el espejo
  donde ella se miraba un claro día.
  Como el oro en el arca del avaro,
  pensó que no guardaría
  todo un ayer en el espejo claro.
  Ya el tiempo para él no correría.Mas, pasado el primer aniversario,
¿Cómo eran -preguntó-, pardos o negros,
sus ojos? ¿Glaucos?... ¿Grises?
¿Cómo eran, ¡Santo Dios!, que no recuerdo?...   Salió a la calle un día
  de primavera, y paseó en silencio
  su doble luto, el corazón cerrado...
  De una ventana en el sombrío hueco
  vio unos ojos brillar. Bajó los suyos
  y siguió su camino... ¡Como ésos!
Come un'arca d'aromi oltremarini,
il santuario, a mezzo la scogliera,
esala ancora l'inno e la preghiera
tra i lunghi intercolunnii dè pini;
e trema ancor dè palpiti divini
che l'hanno scosso nella dolce sera,
quando dalla grand'abside severa
uscìa l'incenso in fiocchi cilestrini.
S'incurva in una luminosa arcata
il ciel sovr'esso: alle colline estreme
il Carro è fermo e spia l'ombra che sale.
Sale con l'ombra il suon d'una cascata
che grave nel silenzio sacro geme
con un sospiro eternamente uguale.
Come un'arca d'aromi oltremarini,
il santuario, a mezzo la scogliera,
esala ancora l'inno e la preghiera
tra i lunghi intercolunnii dè pini;
e trema ancor dè palpiti divini
che l'hanno scosso nella dolce sera,
quando dalla grand'abside severa
uscìa l'incenso in fiocchi cilestrini.
S'incurva in una luminosa arcata
il ciel sovr'esso: alle colline estreme
il Carro è fermo e spia l'ombra che sale.
Sale con l'ombra il suon d'una cascata
che grave nel silenzio sacro geme
con un sospiro eternamente uguale.

— The End —