Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Erikyle Aguilar Mar 2018
Ang isinulat ko ay isang pagtatala mula sa bulag,
na matagal nang ninanais na makakita ng liwanag,
dahil kumpara sa atin, kahit ipikit ang mga mata,
kahit takpan pa 'yan, mayroon pa rin tayong nakikita,
mapa-asul, mapa-dilaw, mapa-pula,
hinding hindi ito aabot sa dilim,
dahil mayroon pa ring mga bituin.

Ito ang pagtatala ng bulag,
"'Nak, kagabi lang ako nakaramdam ng galit sa isang tao,
sa buong buhay kong nakatira sa tapat ng simbahan,
kagabi lang ako nakaranas ng kulo sa puso ko,
kagabi lang ako natulog nang galit,
sana patawarin ako ng Diyos.

Lumapit sa akin ang isang lalaki,
sabi niya, 'Lo, mahirap bang magmahal?',
'Oo, hijo. May asawa ka na ba?',
'Meron **. E lagi ** kaming nagaaway,
kaya umalis nalang ako ng bahay,
ayoko na siyang kausapin,
dahil baka husgahan nanaman ako, baka masaktan lang ulit ako,
baka sabihin nanaman niyang ang hina-hina ko,
sasabihin nanaman niyang hindi na ako natuto sa mga kasalanan ko,
ang dami ko raw nasaktang tao,
wala na silang nagawa kundi tumungo,
dahil sa lungkot, dahil sa insulto,
dahil sa mga salita kong galing sa puso.

Naalala ko sabi ng nanay ko,
na lahat ng sinasabi ko ay galing sa puso,
pero bakit kung kailan ko gustong mabuo,
napakahirap ibalik ang dating ako?'

Ito ang iyak ng isang nangangailangan ng pagmamahal,
isang lalaking may pusong bakal,
ito ang naging payo ko,
'Hijo, kausapin mo ang asawa mo.'

Biglang sigaw niya,
'E ayaw ko nga! Nagkasala rin naman siya,
pareho lang kami,
siya dapat ang lumapit sa akin.'

Parang tinamaan ako ng bala ng baril,
at ang puso ko'y biglang tumigil,
dahil hindi ko naman kayo pinalaki nang mayabang,
kaya hinawaan na ako ng galit,
'Ang yabang mo!
sarado ang utak mo
sarado ang tainga mo
sarado ang puso mo
mas bingi ka pa sa bingi
at mas bulag ka pa sa bulag

ayaw **** mahushagan kasi ayaw **** masaktan,
ayaw **** masaktan kasi ayaw **** matuto,
hindi ka natututo sa mga kasalanan mo,
kasi akala mo na lahat ng ginagawa mo ay ayos na,
hindi mo pinapansin ang kalagayan ng iba,
na naghihirap sa kakaisip kung sila ba ang dahilan,
kung bakit ka nagkaganyan.

Minahal ka nila,
pero hindi mo tinanggap,
minahal ka nila,
pero tinulak mo sila,
minahal ka nila...
hindi mo ba sila mamahalin?

Lalo silang napalayo sa'yo,
nung kinailangan mo ng tulong,
pamilya at pagmamahal'

Wala na akong narinig na boses,
umalis na siya,
sana lang kinausap niya ang asawa niya.

'Nak, tandaan niyo ang payo ko sa inyong magkakapatid,
na 'wag na 'wag kayong maghihiwalay,
dahil pag ako'y nawala,
sana manatili kayong nakadilat sa katotohanan,
na ang kayabangan ay nakakasira ng isang pamilya.".
Leonoah Apr 2020
Alas sais y medya na ng umaga nang makauwi si Natividad mula sa bahay ng kanyang amo. Pagkababa n’ya ng maliit na bag na laman ang kanyang cellphone at wallet na merong labin-limang libo at iilang barya ay marahan siyang naglakad tungo sa kwartong tinutulugan ng kanyang tatlong anak. Hinawi niya ang berdeng kurtina at sumilip sa kanyang mga anghel.
Babae ang panganay ni Natividad, o di kaya’y Vida. Labindalawang taong gulang na ito at nasa Grade 7 na. Isa sa mga malas na naabutan ng pahirap na K-12 program. Ang gitna naman ay sampung taong gulang na lalaki at mayroong down syndrome. Special child ang tawag nila sa batang tulad nito, pero “abnormal” o “abno” naman ang ipinalayaw ng mga lasinggero sa kanila. Ang bunso naman niya, si bunsoy, ay kakatapak lamang ng Grade 1. Pitong taong gulang na ito at ito ang katangkaran sa mga babae sa klase nito. Sabi ng kapwa niya magulang ay late na raw ang edad nito para sa baiting, pero kapag mahirap ka, mas maigi na ang huli kaysa wala.
Nang makitang nahihimbing pa ang mga ito ay tahimik s’yang tumalikod at naglakad papuntang kusina. Ipagluluto niya ang mga anak ng sopas at adobong manok. May mga natira pa namang sangkap na iilang gulay, gatas, at macaroni na galing pa sa bahay ni Kapitan noong nangatulong siya sa paghahanda para sa piyesta. Bumili rin siya ng kalahating kilo na pakpak ng manok, kalahating kilo pa ulit ng atay ng manok, at limang kilo ng bigas.
Inuna niya ang pagsasaing. Umabot pa ng tatlong gatang ang natitirang bigas nila sa pulang timba ng biskwit kaya ‘yun na lang ang ginamit niya. Pagkatapos ay agad niya rin itong pinalitan ng bagong biling bigas.
De-uling pa ang kalan ni Vida kaya inabot siya ng limang minuto bago nakapagpaapoy. Siniguro niyang malakas ang apoy para madaling masaing. Kakaunti na lang kasi ang oras na natitira.
Habang hinihintay na maluto ang kanin ay dumiretso na sa paghahanda ng mga sangkap si Vida. Siniguro niyang tahimik ang bawat kilos para maiwasang magising ang mga anak. Mas mapapatagal lamang kasi kung sasabay pa ang mga ito sa kanyang pagluluto.
Habang hinahati at pinaparami ang manok ay patingin-tingin s’ya sa labas. Inaabangan ang inaasahan niyang mga bisita.
Mukang magtatagal pa sila ah. Ano na kayang balita? Dito lamang naikot ang isip ni Vida sa tuwing nakikitang medyo normal pa sa labas.
May mga potpot na nagbebenta na pan de sal at monay, mga nanay na labas-masok ng kani-kanilang mga bahay dahil tulad niya ay naghahanda rin ng pagkain, at mga lalaking kauuwi lamang sa trabaho o siguro kaya’y galing sa inuman.
Tulog pa ata ang karamihan ng mga bata. Mabuti naman, walang maingay. Hindi magigising ang tatlo.
Binalikan niya ang sinaing at tiningnan kung pupwede na bang hanguin.
Okay na ito. Dapat ako magmadali talaga.
Dali-dali niyang isinalang ang kaserolang may laman na pinira-pirasong manok.
Habang hinihintay na maluto ang manok ay paunti-unti rin siyang naglilinis. Tahimik pa rin ang bawat kilos. Lampas kalahating oras na siyang nakakauwi at ano mang oras ay baka magising ang mga anak niya o di kaya’y dumating ang mga hinihintay n’ya.
Winalis niya ang buong bahay. Maliit lang naman iyon kaya mabilis lamang siyang natapos. Pagkatapos ay marahan siyang naglakad papasok sa maliit nilang tulugan, kinuha ang lumang backpack ng kanyang panganay at sinilid doon ang ilang damit. Tatlong blouse, dalawang mahabang pambaba at isang short. Dinamihan niya ang panloob dahil alanganin na kakaunti lamang ang dala.
Pagkatapos niyang mag-empake ay itinago niya muna backpack sa ilalim ng lababo. Hinango niya na rin ang manok at agad na pinalitan ng palayok na pamana pa sa kanya. Dahil hinanda niya na kanina sa labas ang lahat ng kakailanganin ay dahan dahan niyang sinara ang pinto para hindi marinig mula sa loob ang ingay ng paggigisa.
Bawat kilos niya ay mabilis, halata **** naghahabol ng oras. Kailangang makatapos agad siya para may makain ang tatlo sa paggising nila.
Nang makatapos sa sopas ay agad niya itong ipinasok at ipinatong sa lamesa. Sinigurong nakalapat ang takip para mainit-init pa sakaling tanghaliin ng gising ang mga anak.
Dali-daling hinugasan ang ginamit na kaserola sa paglalaga at agad ulit itong isinalang sa apoy. Atay ng manok ang binili niya para siguradong mas mabilis maluluto. Magandang ipang-ulam ang adobo dahil ma-sarsa, pwede ring ulit-ulitin ang pag-iinit hanggang maubos.
Habang hinihintay na lumambot na ang mga patatas, nakarinig siya ng mga yabag mula sa likuran.
Nandito na sila. Hindi pa tapos ‘tong adobo.
“Vida.” Narinig niyang tawag sa kanya ng pamilyar na boses ng lalaki. Malapit niyang kaibigan si Tobias. Tata Tobi kung tawagin ng mga anak niya. Madalas niya ditong ihabilin ang tatlo kapag kailangan niyang mag-overnight sa bahay ng amo.
“Tobi. Andito na pala kayo,” nginitian niya pa ang dalawang kasama nitong nasa likuran. Tahimik lang ang mga itong nagmamasid sa kanya.
“Hindi pa tapos ang adobo ko eh. Ilalahok ko pa lang ang atay. Pwedeng upo muna kayo doon sa loob? Saglit na lang naman ‘to.”
Mukhang nag-aalangan pa ang dalawa pero tahimik itong kinausap ni Tobi. Maya-maya ay parang pumayag na rin ito at tahimik na naglakad papasok. Narinig niya pang sinabihan ni Tobi ang mga ito na dahan-dahan lamang dahil natutulog ang mga anak niya. Napangiti na lamang siya rito.
Pagkalahok ng atay at tinakpan niya ang kaserola. Tahimik siyang naglakad papasok habang nararamdaman ang pagmamasid sa kanya. Tumungo siya sa lababo at kinuha ang backpack.
Lumapit siya sa mga panauhin at tahimik na dinaluhan ang mga ito tapos ay sabay-sabay nilang pinanood ang usok galing sa adobong atay.
“M-ma’am.” Rinig niyang tawag sa kanya ng kasama ni Tobias. Corazon ang nakaburdang apelyido sa plantsadong uniporme. Mukhang bata pa ito at baguhan.
“Naku, ser. ‘Wag na po ganoon ang itawag niyo sa akin. Alam niyo naman na kung sino ako.” Maraan niyang sabi dito, nahihiya.
“Vida. Pwede ka namang tumanggi.” Si Tobias talaga.
“Tobi naman. Parang hindi ka pamilyar. Tabingi ang tatsulok, Tobias. Alam mo iyan.” Iniiwasan niyang salubungin ang mga mata ni Tobias. Nararamdaman niya kasi ang paninitig nito. Tumatagos. Damang-dama niya sa bawat himaymay ng katawan niya at baka saglit lamang na pagtingin dito ay umiyak na siya.
Kanina niya pa nilulunok ang umaalsang hagulhol dail ayaw niyang magising ang mga anak.
“Vida…” marahang tawag sa kanya ng isa pang kasama ni Tobi. Mukhang mas matanda ito sa Corazon pero halatang mas matanda pa rin ang kaibigan niya.
“Ano ba talaga ang nangyari?”
“Ser…Abit,” mabagal niyang basa sa apelyido nito.
“Ngayon lang po ako nanindigan para sa sarili ko.” garalgal ang boses niya. Nararamdaman niya na ang umaahon na luha.
“Isang beses ko lang po naramdaman na tao ako, ser. At ngayon po iyon. Nakakapangsisi na sa ganitong paraan ko lang nabawi ang pagkatao ko, pero ang mahalaga po ay ang mga anak ko. Mahalaga po sila sa’kin, ser.” mahina lamang ang pagkakasabi niya, sapat na para magkarinigan silang apat.
“Kung mahalaga sila, bakit mo ginawa ‘yon? Vida, bakit ka pumatay?”
Sasagot n asana siya ng marinig niyang kumaluskos ang banig mula sa kuwarto. Lumabas doon ang panganay niyang pupungas-pungas pa. dagli niya itong pinalapit at pinaupo sa kinauupuan niya. Lumuhod siya sa harap nito para magpantay sila.
“Anak. Good morning. Kamusta ang tulog mo?”
“Good morning din, nay. Sino po sila? ‘Ta Tobi?”
“Kaibigan sila ni ‘Ta Tobias, be. Hinihintay nila ako kasi may pupuntahan kami eh.” marahan niyang paliwanag, tinatantya ang bawat salita dahil bagong gising lamang ang anak.
“Saan, nay? May handaan po uli sina ser?” tukoy nito sa mga dati niyang amo.
“Basta ‘nak. Kunin mo muna yung bag ko doon sa lamesa, dali. Kunin ko yung ulam natin mamaya. Masarap yun, be.”
Agad naman itong sumunod habang kinukuha niya na rin ang bagong luto na adobo. Pagkapatong sa lamesa ng ulam ay nilapitan niya ulit ang anak na tinitingnan-tingnan ang tahimik na mga  kasama ni Tobias.
“Be…” tawag niya rito.
Pagkalingon nito sa kanya ay hinawakan niya ang mga kamay nito. Nagsisikip na ang lalamunan niya. Nag-iinit na rin ang mga mata niya at nahihirapan na sa pagbuga ng hangin.
“Be, wala na sina ser. Wala na sila, hindi na nila tayo magugulo.” ngiti niya rito. Namilog naman ang mga mata nito. Halata **** natuwa sa narinig.
“Tahimik na tayo, nay? Hindi na nila kakalampagin ang pinto natin sa gabi?”
“Hindi na siguro, anak. Makakatulog na kayo ng dire-diretso, pangako.” Sinapo niya ang mukha nito tapos ay matunog na hinalikan sa pisngi at noo. ‘Eto na ang matagal niyang pinapangarap na buhay para sa mga anak. Tahimik. Simple. Walang gulo.
“Kaso, ‘nak, kailangan kong sumama sa kanila.” Turo niya kayna Tobias. Nanonood lamang ito sa kanila. Hawak na rin ni Tobi ang backpack niya.
“May ginawa kasi si nanay, be. Para diretso na ang tulog natin at para di na tayo guluhin nina ser. Pramis ko naman sa’yo be, magsasama ulit tayo. Pangako. Bilangin mo ang tulog na hindi tayo magkakasama. Tapos pagbalik ko, hihigitan ko pa ‘yon ng maraming maraming tulog na magkakasama na tayo.”
“Nay…” nagtataka na ang itsura ng anak niya. Namumula na kasi ang mukha niya panigurado. Kakapigil na humagulhol dahil ayaw niyang magising ang dalawa pang anak.
“Anak parang ano lang ito…abroad. Diba may kaklase kang nasa abroad ang nanay? Doon din ako, be.”
Bigla ay nagtubig ang mga mata ng panganay niya. Malalaking butil ng tubig. Hindi niya alam kung naniniwala pa ba ito sa mga sinasabi niya, o kung naiintindihan na nito ang mga nangyayari.
“Itong bag ko, andiyan yung wallet at telepono ko. Diba matagal mo nang gusto magkaroon ng ganon, be? Iyo na ‘yan, basta dapat iingatan mo ha. Yung pera be, kay Tata Tobias mo ihahabilin. Habang nagtatrabaho ako, kay ‘Ta Tobi muna kayo.”
“Nay, hindi ka naman magtatrabaho eh.” Lumabi ang anak niya tapos ay tuluyan nang nalaglag ang luha.
Tinawanan niya naman ito. “Sira, magtatrabaho ako. Basta intayin mo ‘ko be ha? Kayo nina bunsoy ko, ha?” Hindi niya napigilang lambing-lambingin ito na parang batang munti. Kailangan ay sulitin niya ang pagkakataon.
Paulit-ulit niya itong dinampian ng maliliit na halik sa mukha, wala na siyang pakealam kung malasahan niya ang alat ng luha nito. Kailangan ay masulit niya ang natitirang oras.
“Nay, sama po ako. Sama kami ni bunsoy. Tahimik lang kami lagi, pramis, nay. Parang kapag andito si ser, hindi naman kami gugulo doon.” Tuluyan na ngang umalpas ang hikbi niya. Naalala niyang muli ang rason kung ba’t n’ya ito ginagawa. Para sa tahimik na buhay ng mga anak.
“Sus, maniwala sa’yo, be. Basta hintayin mo si nay. ‘Lika ***** tayo doon sa kwarto, magbabye ako kayna bunsoy.” Yakag niya rito. Sumama naman ito sa kanya habang nakayakap sa baywang niya. Humihikbi-hikbi pa rin ito habang naagos ang luha.
Tahimik niyang nilapitan ang dalawa. Kinumutan niyang muli ang mga ito at kinintalan ng masusuyong halik sa mga noo. Bata pa ang mga anak niya. Marami pa silang magagawa. Malayo pa ang mararating nila. Hindi tulad ng mga magulang nila, ‘yun ang sisiguraduhin niya. Hindi ito mapapatulad sa kanila ng mister niya.
“Be, dito ka na lang ha. Alis na si nanay. Alagaan mo sina bunsoy, be, ha. Pati sarili mo. Ang iskul mo anak, kahit hindi ka manguna, ayos lang kay nanay. Hindi naman ako magagalit. Basta gagalingan mo hangga’t kaya mo ha. Mahal kita, be. Kayong tatlo. Mahal na mahal namin kayo.” Mahigpit niya itong niyakap habang paiyak na binubulong ang mga habilin. Wala na ring tigil ang pag-iyak niya kaya agad na siyang tumayo. Baka magising pa ang dalawa.
Nakita niya namang nakaabang sa pinto si Tobi bitbit ang bag niya. Kinuha niya rito ang bag at sinabihang ito na ang bahala sa mga anak. Baog si Tobias at iniwan na ng asawa. Sumama raw sa ibang lalaking mas mayaman pa rito. Kagawad si Tobias sa lugar nila kaya sigurado siyang hindi magugutom ang mga anak niya rito. May tiwala siyang mamahalin ni Tobias na parang sarili nitong mga anak ang tatlo dahil matagal niya na itong nasaksihan.
Pagsakay sa sasakyan kasama ang dalawang pulis na kasama ni Tobias ay saka lamang siya pinosasan ng lalaking may burdang Corazon.
“Kilala namang sindikato yung napatay mo, ma’am. Kulang lamang kami sa ebidensya dahil malakas ang kapit sa taas. Kung sana…sana ay hindi ka nag-iwan ng sulat.”
“Nabuhay ang mga anak kong may duwag na ina, ser. Ayokong lumaki pa sila sa puder ng isang taong walang paninindigan. Pinatay niya na ang asawa ko. Dapat ay sapat na ‘yon na bayad sa utang namin, diba?” kung kanina ay halo humagulhol siya sa harap ng mga anak, ngayon ay walang emosyong mahahamig sa boses niya. Nakatingin lamang siya sa labas at tinititigan ang mga napapatingin sa dumadaang sasakyan ng pulis.
Kung sana ay hindi tinulungan ng mga nakatataas ang amo niya. Kung sana ay nakakalap ng sapat na mga ebidensya ang mga pulis na ngayon ay kasama niya. Kung sana ay may naipambayad sila sa inutang ng asawa niya para pambayad sa panganganak niya.
Kung hindi siguro siya mahirap, baka wala siya rito.
unedited
fatin Oct 2021
Nak
Ibumu lahir saat gawat ekonomi seluruh semesta
Saat gawat sebumi memikirkan nilai
Saat dunia ditimpa wabah tak ternampak
Tapi dunia masih cantik

Nak
Ibumu saksi dunia sedang gusar
Saksi pemimpinan goyah
Rebutkan yg tak pasti
Matanya buta
Telinga nya tuli
Tak terdengar rintihan kasta bawahan
Tak terpeduli dan lari meninggalkan hakiki
Ibumu tegak ditengah
Saat mereka berkelahi
Bercemuhan
Hai, ibu saksi saat mereka tak waras

Nak,
Ibumu saksi peninggalan ramai org
Mata kepala ibu melihat org rebah tak bermaya
Ibumu saksi bapak menangisi anak
Bayi lahir tak bersusu ibu
Adik pergi tak berpeluk abang
Dan
Ibumu saksi org tak bisa menjamah nasi
Bukan kerna tak upaya
Tapi kerna rakus ahli prejudis
Dan anjing ditaktor
.
.
Nak
Ibumu saksi saat propaganda dilaungkan
"Demokrasi ini adalah kita semua
Suara kamu kami dengar"
.
.
Anakku
Dengarlah
Ibumu saksi saat dunia tak adil tapi dihias indah
Ibumu saksi saat negeri kita kacau tapi dirai aman
Ibumu saksi nak...
Ibumu saksi perit itu tak cuma kehilangan
Tapi rindu yg bakal tak terubatkan
Salam yg takkan tersampaikan

Dan sebelum kau hingga ke saat itu
Harus lah kau tau
Setiap sisi kita tertanam secebis sedikit hati
Maka harus kau cari yg baik baik sentiasa
.
Kerna mmg sifat dunia begitu
Rebut yg tak pasti
Bertelinga dan tuli
Bergeliga tapi rakus
Dan punyai mata tapi buta
Dan harus kau ingat yg merbahaya sekali
Punyai iman tapi tak berTuhan
annvelope Nov 2015
Aku suka kamu,
Dalam diam, sejak dulu lagi.
Aku terpikat dengan puisi kamu.
Tiap coretan indah kamu buat aku tersenyum.
Sungguh aku teringin bercakap dengan kamu,
Apakan daya rezeki belum nak ada,
Entah bila kita boleh berjumpa lagi.

Surat khabar sahaja yang buat aku rasa aku dekat dengan kamu,
Itu sudah cukup buat aku tersenyum, bahagia.

*Maaf,puisi tidak cukup hipster tapi ni saja yang ku mampu tulis untuk kamu sebab kamu suka puisi deep lahanat melayu.
100221

Nauuna pa tayo sa mga alitaptap
Sa paggayak patungo sa dilim,
At doon sa papag ay sabay-sabay nating iitiklop
Ang ating mga paang napuno na ng alikabok
Para lamang mag-“indian sit.”

Ang ating mga halakhaka’y
Nagmistulang musikang humihele
Sa pandinig ng ating mga magulang
At ito’y mangingibabaw sa liblib na tahanang
Puno ng pagmamahal at pagmamalasakit.

Tunay ngang payak ang ating pamumuhay —
Tayo’y magsisilapit sa ginagawang liwanag ni Itay
Mag-uunahan na parang sigurado na kung sino ang taya,
Kung sino ang mag-aabot ng gas o posporo
Sa tuwing naisasambit ang mga salitang, “Nak, paabot.”

Nais sana nating hindi kumurap
Pagkat tayo’y nakatututok habang pinagmamasdan
Ang nagmimitsa’t nagniningas na apoy.
At ito ang liwanag na aasahan nating
Magbubuklod sa atin papalayo sa dilim
At magkukulob sa nasasakupan
Ng sinag ng ating mga paningin.

Hindi na natin alintana
Ang init na dumarampi sa ating mga balat
At tayo’y mapupuno ng pagkamangha
Sa liwanag na itinuring nating mahiwaga —
Mahiwaga sa ating mga matang
Walang ibang nais kundi magliwanag na.

Hindi na rin natin namalayan ang bawat segundong lumilipas,
Maging ang mga dahong kumukupas
Sa paghimlay nito sa ating mga paanan.
Panahon ay dumaraan ngunit hindi nang palihim;
At panahon din ang susukli
Sa mga alaalang nais nating manatili.
Brownout.. magrereklamo na rin sana ako kay PALECO pero bigla kong naalala noong kabataan namin. Mga panahong masaya kaming nanonood ng pagsindi ni Papa ng petromax.
Mateuš Conrad Mar 2016
painting when being bilingual, the naked phonetics of the english alphabet, and the diacritics on the polish one, for example -sh- of the former and -sz- of the latter, but the painting is still entitled: trying to capture what was being said without lip-reading but by optics encoding the sounds, so that someone bilingual might decipher; and yes, dependent of aesthetics / orthography the -rz- versus the ż.

azog
szak gaum'dasz!

blog
kruto, goniś... gunwondersmargen'ś.

azog
mor'rzyrljisz?

blog
golumdo, sza zu lisz sza za duh.

azog*
jam dysz! *** da kurz nak krza rzuk;
arz ga bejark gundabadul,
mar kam narm karszrz.
mulgaj! a'naj! ursdraj! tu pu nam - ah me c!
Qadriah Oct 2013
nak sayang tiada daya

nak benci tiada guna

tapi

musuh itu jangan dicari

biar sahaja begini

senangkan hati masing-masing

senang
Zoe Feb 2012
the inflicted hallmark love is in the air
roses
chocolates
teddy bears
stuff you can buy all year
now made important
i love this foolish holiday though
with its cute glances
and little nik-nak gifts
its cute
the inflicted hallmark love is in the air
for its valentines
Orked Saerah Nov 2014
Seorang Part I
Baru-baru ini aku merasakan yang hidup ini tidak lagi bermakna buat aku. Di mana aku rasa kosong setiap kali nak memulakan sesuatu. Bagaikan terputus tali layang-layang yang asyik ditiup angin di langit biru itu. Aku cuba dan terus mencuba untuk memahami setiap apa yang berlaku di sekeliling aku. Akhirnya aku masih di situ dan terbelenggu keseorangan tanpa sesiapa pun sedar aku di mana. Tidak ada tangan yang mahu menolong aku apatah lagi bahu untuk ku sandarkan tiap kali aku mencurahkan air mata. Aku keseorangan.

Seorang Part II
Aku masih diam di situ kaku. Sejenak aku terdetik untuk mendongak ke langit. Tika itu kelihatan malam pekat dihiasi dengan bintang-bintang berkerlipan penuh gemerlapan dan juga bulan yang terang memukau aku seketika. Waktu itu aku masih ingin menangis lagi kerana aku lupa pada Yang Maha Mendengar Yang Maha Melihat Yang Maha Mengasihi. Aku alpa kerna selama ini aku melupakan Yang Maha Berkuasa. Aku merasakan kerdil waktu itu dan pada saat itu juga aku merasakan aku dibius semangat baru.

Seorang Part III
.............................................................­..............................
Orked Saerah Sep 2014
Aku lihat wajah sugul dia
Yang sedang duduk di sofa empuk kegemaran arwah abah
Tengah merenung nasib tuanya
Terkenangkan sikap anak-anak yang endah tak endah terhadapnya
Terngiang-ngiang lagi suara tua itu berkata pada aku
' Tak kisah lah orang nak campak mak ke mana, Mak ikut aje '
Begitulah ayat yang keluar dari mulut si nenek tua itu sambil ketawa perlahan
Riak mukanya begitu sedih
Sayu dan redup wajah tua itu
Qadriah Oct 2013
kadang-kadang tensi

kerana aku ada

tiga puluh tiga

sebab menyayangi engkau.

susah nak lupa.

tapi nasib baik

akhirnya aku jumpa

tiga puluh empat

sebab untuk berhenti.

tapi bukan membenci.
this poem is in Malay. can't help but to publish it
Sundari Mahendra May 2017
Sejak kecil mereka aku kasihi dengan sangat
Tak boleh ada  masalah dan persoalan yang didapat
Aku memberi yang dibutuhkan
Walau kadang agak dipaksakan

Melalui hari-hari sekolah kalian ku bimbing
Melalui waktu-waktu susah kau ku bina
Mengarungi saat-saat penting kau kutemani
Tak ada saat dimana kau kutinggalkan

Masuk masa perkuliahan kau dapatkan
dimana kau ingin melanjutkan pendidikanmu
Walau seakan mustahil tapi Tuhan memberi
itulah yang aku ingatkan

Masa-masa kuliah kau jalani
Walau banyak protes sana sini
Karena inginkan sesuatu yang lebih lagi
Kau salahkan kami

Lulus sudah kuliahmu nak...
Kau sandang gelas sarjanamu
Pakailah itu sebagai modah untuk hidupmu
Memasuki dunia kerja yang baru
ManVsYard Nov 2014
Speedy data transfer vine
indexed in junk DNA
Instantanious communication
no possibility of delay?
Holo-fractal hookups.
Is everyone on the line?

or

are we listen--ing too slow
are our ears to big to tell
ack from nak, yes from no
The solution? maybe
Quantum time!

Just one eternal grandfather clock
with only a TIC,
never a TOC
delays maybe caused by reneade gyres
like intestellar,
"slowdown feller"
invisible, swirls, with gushing spires.

E-fracting for minutes, hours, years
decades, eons, epics and more.
As pools of whirls slow,
there appear open doors.
but
The locks are no where to be found
The keys?
All scattered on the floor.

What is that, hissing sound?
Mateuš Conrad May 2020
it's...
listening to metric - clone (2012)...
sipping a whiskey...
pretending to smoke a cigarette
with an unlit cigarette in hand...
the feel and the texture...
the scent of unlit tobacco,...

and then it's... contemplating...
british and "british"...
              and the caves... and... speaking
a language lacerated...
loan words...
   music of corvus corax... katrinka...
i would never...
listening to such music...
attire myself as: bwitish...
technicalities...
              the prefix will do...
                 anglo-slav...
                         like... those anglo-saxons...
but less specific...
because: you'd have to also call them:
   anglo-pseudo-germans...
          or quasi...
                        i'm not being
specific either... an anglo-slav i am...
a patchwork of guesses...
         serb? croat? slovenian?
       the yugoslav? ukranian?
           russian? czech? slovak?
                    i've just been listening to
some videos of nostalgia...
from the natives circa 1978 and...
nik nak paddy... old man... something...

to associated with the british...
to be british...
  do you suppose... there's a turk these days...
that would associate himself
as... an ottoman?
         i wonder...
         maybe the concept of empire being...
domino... connected by land...
and not scattered like the greek diaspora /
empire...

           the empire of roman?
weird... isn't it? to be surrounding a massive
salt pond...
            while the constant chance of having
your back turned...
seemingly protecting this salt pond...
yes... sea...

- i found the stare of love at first today:
but i was numb to it...
deer eyes of an indian girl -
darkened / riddled by the equator...
while i was... picking three kings of chillies...
some fresh coriander...
cumin powder... kashmiri powder...
and black cumin seeds...

    - i saw eyes and i also saw two
nuggets of charcaol...
   my knees left nothing of the sort of iritation
fo drop everything and swim
against the current like a salmon...

- come mid-thirties and...
   i'm starting to feel comfortable...
with the solo-project... the dodo-project...
looking for signs of: waking up
to what could have been an abortion...
or a genocide into a tissue, flushed down
the toilet: the horror of being circumcised...
without jewish or muslim...
social structures...
         it could be much worse... i could have
been circumcised...
i could have been born with
both a ****** and a strap-on *****:
seeking the ****** st. of tic-tac-toe and
a skipping rope of:
  that i have kissed a man...
that i have gorged on a *******'s
****** like a wrath and love of god...
that suckling to the **** didn't
pose a problem: got choc tinged teeth
and bitter-corn in between...
oh i'm pretty sure she wasn't in love
with me:
             a wry smile while i didn't
speak the "proper" native...

mongrel soul retaining a weird question
about who's who and who's a token
postcard on loan from...
lost from former forged empires...

on my way back home...
   i was... once upon a time...
that sort of guy... loitering... waiting...
making waiting... a ritual...
worth smoking a cigarette...
patience is a religion that's not invested
in peace to all: for all...
     first comes first...

nearing the magic number 35...
it's very sensible of me to state:
it's quiet impossible for me to share a bed...
with anything or anyone except
my shadow...
considering how when i expose
my shadow to sunlight...
mindless shadow pretends to have
eyes... when it crawls into my head
at night: when i sleep...
and tells the alternative story of
the day...

    to be wedded and with children...
one would most certainly need to be coupled
with prospects in one's early 20s...
after the mid-20s... well...
the boat's about to sail...
the solo- / dodo-project is...
  a bit like... with writing being concerned...
one's hope for a career in...
    a chemistry lab...
or the selfless-acts of hippocrates' students...

all very well to love children...
but... ******* them up...
never really becoming that...
nobel prize winning psychologists
with a break-through...
when the whittle cherbus... gremlins...
kritters arrive...
an over-zealous cat meowing / moaning
about curfew is one of those spin-offs
of madness...
talk to me about a babe crying...

- and yes... some people shouldn't drink...
their genetic disposition: ah ah...
their individual metabolism...
they never conjure up the amphetamine
(metaphor) ***** from the lullaby
zombied-out death-cult of sedation...
- and these same people shouldn't pick
up smoking a ritual tobacco stick...
even i venture to call it:
a bullet to the head...

  how is it... to become... selfless?
when... one... has become...
self-realized... past the groan of:
the facts... aged 25 and your brain
should stop... window-shopping
function suffixes... no?

i had an idea for a glove...
with a rubber-band...
to... restrict... the natural laziness
of the hand when walking...
but because i drink and only jargon
poor poetics...
in rage i ripped the rubberband
off my arm... lost to history:
lost to the void...
oh i know how that it feels...
would it have been of use...
i guess not...
     a bright idea in a bucket
of maggots and maggot ****...
is... about as much worth as...
a screwdriver is to a forest of nails...
chisel... n'est ce pas...
i was... asking: grit teeth...
soul... clenching... bizarre objects
of gradations of sharpening...
the obvious square-headed axe...
pulp...
      a whole rainbow of objects...
perhaps a scalpel is the last resort...

i smile because: i've turned angry into
funny...
who doesn't have the monopoly on violence:
well... i also do not have the monopoly
on c.c.t.v. -
   little help from coming from
under the iron curtain...
the local seem to be... all ah...
oh so detached... missing las vegas cousins
and...
if i could only allow you...
to allow myself... to fathom...
the maldives of my mind...
a drag of a cigarette... a bottle of whiskey
35cl... you start the bets...
who's about to...
      find prison in solipsism...
solipsism as a mental illness...
as an altruism: as a atheism as a...
genius maddy: spezial neds: youz callz
'em... quivering folk?
what'z that phra-phra-puccino?
    autist-spec:   ah yes! those rare breeds!
spazz-taculars!
i was one misunderstood for one of them...
i took the insult to the grave...
well... i took it to her grave...
by the god of the hebrews and by the mythology
of cain... from siberia came the huns...
the turks... the slavs and the mongols...
only germans ever came from
       afri-*******-ah-hahaha!
they skipped the toll of sanskrit:
the birth of writing...
why? it became complicated...
when beijing was founded...
but sure... a replica tux of skeleton came out
out... fringe kenya and landed in: old delhi...
as many consonants if not more:
down to the core: with the spices...
the unfortunate indians of north
america...
the somewhat fortunate indians
of: south america...
brazil: post-racial mecca...
argentinian beef and...
                             myths of nazis
living to old age...
                 no... oh no... i will not die...
first comes ol' lizzie then comes
my sodden sorry ***...
envelope of a missing postage stamp
of a world: we've been to the moon...
via new york and the leviathan london...
where's afghanistan cave fighting...
the pashtun women of... glorifying
copper and cinnamon / cumin and coriander
ash... and beauty...
how doesn't it sound:
the day the music died:
we sang dirges in the dark...
                 bye bye: may-pole luck with
christ: the advent of...
the crucifix is hanging... ornament piece...
but the... iron maiden isn't...
           it's enough to identify a god...
it's quiet another matter...
to torture him... and... sorry...
but if i were to be crucified...
   sooner me and the comfort of hands...
outstretched... than... hands-tied...
pushed onto a pole: to impale...
lost advent of etymology: slav...
and the lost "e" of paul...
to remind... the crucifix... well...
            to impale...
                       looks like...
the crucifix is missing limbs... it would take...
days... the arms that would be
flapping... agitating an imitation
of a swan breaking into flight...
the two lungs... imitating drowning...
while hanging... extended...
     to crucify... hardly: the affair of...
being... impaled...
perhaps joking: slav(e) gave the clue...
germans: whether orthodox
anglo-ßaß - celtic mingling...
    germs... who's eating what... "leftover"
etymological clues...
we can play this game... forever...
it's hardly the hebrew the original:
indu- prefix of... roaming... or not...
                      
guise them up as the exodus as the fomer
lands of Jagiełło...
the battle of Hastings: blip...
             who am i... but at least in england...
i can speak the language
like some conrad of masovia:
readied to sell the "lesser creatures"
for the... encouraged...
integration to the *****: kneel...
of the baltic pruß...
who weren't... coddled...
the welsh weren't coddled...
they were "told" to... brighten their
day to day... expand...
fathom the easily accessed seas:
expand...
who owned the monopoly of
the baltic sea: as if it were
the bosphorus...
beside... the danes?
expansion of: ****** come together
with a ******: breathing
h. p. lovecraftian h'america...
loot maine and call it... start:
bittersweet apartheid...
not me: i'm still half of Vilno...
and the most remote aspect of L'viv...
no... crusader songs... no crusades: per se!

i used to play video games...
i became... more fascinated
with the romance of: a lost year...
that the school re(a)d... it wasn't in any
fathom of an iota of red:
or a synonym in burgundy:
for the worth of the burgundians:
leftovers of the angevins...
that richard the lionheart
found a love for england...
the island... an abhorring testimony
of youth and no solance...
that old age never found him:
akin to: the needle never found
the mystery of the haystack...

i am not! lithuanian!
common practice of exodus polacks...
paul-lacking:
slav and "e" dribbling...
      like the germanic peoples:
who aren't lingua franca revisions...

    ⰏⰑⰣ     ⰔⰑⰂⰑ...

lingering "blame"... darwinism via
the default...
the monkey skeleton left africa...
arrived in india.. left a schism...
some went to хины
             some went to:         чeнa..

   anglican via: the great mother siberia...
is a mother...
beside the zenith advent of: mother...
muffer: af-af-rye-c'ah'cah!
******* twins to mind the rhodes!

the skeleton left africa...
yes...
   but... the hindu morphed the genesis...
a second time... into writing...
what... phonetic encoding...
beside... the primodial...
   hieroglyphics... from africa... would have...
ever... arrived at our...
emoji internet advent... door-step of
extending democracy / demographics...
central?

the wheel and the square also
left africa with the skeleton:
the arithmetic of bones and muhammad...
but the triangle settled in greece
and became pythagoras...
and the letter: Δ....

    the inter-racial violence of north
h'america... is not... beside the wery bwitish
advent of ****-stan... as... imaginary
loitering of a border: coming to survive
with Belfast-Kashmir...
           that's making priority of...
the written word...
over the skeleton jump-start...
       bypass...
              and the emoji... and... grafitti...
clue out of africa...
never met... the sub-continent of india...
or... the chinese ideograms...
or sanskrit...
but... ******... *** and bounty...
the mongols never made...
crimea... their capital...
hastings was forever a washington's
survival guide...
       that theatre gave the birth
of lincoln and... whitman was...
everything any other poet: including
homer and dante always dreamed of...
that europeans invited themselves
toward: finding h'america in a can
of sardines...
and that the h'americans believed
they found europe... in kent or essex...
or... in books...
or... in loitering... or being...
allowed to be obnoxiously loud...

            like that **** would still stink:
100 years from now...
but yes... the libido of a genghis khan...
i trace my libido to:
how i imitate the people who
check their blood pressure when i *******...
i... genocide my... fractions into
the moloch couldron that's:
beside... the prayers of a...
        tele-evalngelical church of praises!
h'america is nothing new...
it's just better: regarding...
what remains... a solid old.
RVani Kalyani Jun 2022
To the one who I hope will stay forever,
And from the one who promises to stay forever.
Thank you anna,
Oka guiding star laga u were there,
And I hope you will always be!

Ekkadnundi start cheyyalo ardam katle anna😅
Firstly you inspired me a lot anna, mi laga kavali ani chala sarlu ankunna inka ankuntunna kuda 😁 so nak tips ivvandi how to become a person like ram sai ani 😄 and i really hope we stay in touch for our whole lives 🫂













Chala chala thank u anna! Mek eroje manchiga hug cheskoni thank u so much Anna ani chepdam ankunna 😅 but konchem ibbandi feel aina kani malli chance dorkademo malli meet avthano leno ani bayamesindi... Chala hesitate chesi inga finally miku oka hug icha 😁 Inka walking kuda veldam ankunna mitho mrng 😁 anddd thank u so much for the books Anna malgudi days aithe pakka aipogodtha 10 days lo complete ga next week mids kabatti. Inka eh 3rd year Vani ni ila chakkaga change chesindi meere! Idi mathram pakka. Thank u anna me valle i got to have a dosti gang asalu. Nak intha mandi friends unnaru ipdu ayyaru ante me valle! You made this me! Thank u so much Anna asalu inka okka year matho unte inkentha bagundedi ani,Manam inka munde kalisi unte inka bagundu kada ani, eh corona asal lekapothe bagundu ani okate thoughts. Entha cheppina entha ikkada type chesina thakkuve anna. Nijanga asal ankoledu intha manchi anna dorkutharu ani, munde evari tho matladanu alantidi ram sai anna dorkikaru ante matala!( nijanga anna) munde chepthunna anna eh 10 days lo meku call osthadi nanundi and nen edustha pakka 😅 so be ready😂
Inkokasari 3rd year starting nundi chadvalani undi anna, malli okasari fest ni experience cheyyalani undi same mecharena22 ni, malli traditional day night temple mundu ala nightout cheyali ani undi kani time is soo fast asalu. Time machine unte bagundu anna😅
Ivala morning ala ayyindi ani mer em feel kakandi 😅 meku chala fans untaru so i can understand 🤑 but chala chepdam ankunna cheppalekapoya ani chinna regret😅kani danni calls lo therchukunta le😁 marchipokandi anna nannu🤧 Love you Anna and I miss u already...



And meku 2 bookmarks ichanu ga dantlo wings daggara chinigi unnadantlo oka chinna message rasanu kani pencil tho rasina so cheppalenu fade avvakunda unda leda ani. But promise me anna you will open it only when you miss me so much ok? Ipde open cheyyakandi. Open it when you truly miss me a lot.
And please dont forget me anna eppudaina nak munde evar ler ekva 😅
Sundari Mahendra May 2017
Sejak kecil mereka aku kasihi dengan sangat
Tak boleh ada  masalah dan persoalan yang didapat
Aku memberi yang dibutuhkan
Walau kadang agak dipaksakan

Melalui hari-hari sekolah kalian ku bimbing
Melalui waktu-waktu susah kau ku bina
Mengarungi saat-saat penting kau kutemani
Tak ada saat dimana kau kutinggalkan

Masuk masa perkuliahan kau dapatkan
dimana kau ingin melanjutkan pendidikanmu
Walau seakan mustahil tapi Tuhan memberi
itulah yang aku ingatkan

Masa-masa perkuliahan kau jalani juga nak...
Ada rasa berontak yang tak terperi
Ingin mencoba dunia seni
Dimana banyak hidup berseri

Tepuk tangan dan kata-kata manis
Kau terima dengan senang hati
Untuk kebanggaan diri pribadi
Untuk kejayaan yang kau ingini
Michael Joseph Oct 2022
"Nak, kumusta ka na?" habang inihahain yung Cinnamon bread mula sa oven.

"Naku, Ma'am. Ito single pa rin, dami ko pa kasi need patunayan sa sarili ko."

"Gaganda na nga ng mga na-achieve mo eh kulang pa ba? Hanapin mo rin yung magpapasaya sayo, ako nga simpleng life lang pero masaya ako sa partner ko at sa work ko."

Bumulong sa katrabaho, "Siya yung sinasabi kong prof namin na life coach rin. Pinakilala niya sa akin yung the Ballad of the Lonely Masturbator ni Anne Sexton. Sobrang ganda niya pumili ng mga piyesa para sa class namin."

Ay, Ma'am, si Ara nga po pala. Katrabaho ko."

"Ay, hi po, Ma'am."

"Ikaw ba, pinopormahan ka ba nitong si Michael?" Pabirong udyok ni Ma'am Pola.

"Ingatan mo si Michael, mga sunod na faculty to ng CAL."

"Ay, Naku, Ma'am. Di po ako qualified, baka maligaw ng landas mga taga ABE. Hehe."

"Lahat naman tayo, may mga bagay na akala natin di pa tayo qualified, pero binibigay sa atin kasi may mga taong alam kung ano talaga kaya natin. Ngayon lang yung memo nagrerequire ng Masters kaya di na kayo makapasok. Tignan niyo nga kayo, ang gagaling kaya ng batch niyo."

"Oh, eto nak, mainit-init pa yung order mo, apat na boxes ng Cinnamon bread. Pasensya ka na ginabi ka na ang dami ko ring binebake, baka may pasok ka pa bukas."

"Ay, salamat po, Ma'am. Buti po at bumuti-buti na pakiramdam niyo. Solid po yung mga binabake niyo sana mabuksan niyo uli yung store niyo sa may great wall."

"Ay naku, hoping and praying anak. Sana maging masaya family mo sa binake ko."

"Naku, Ma'am, bentang benta to kasi minarket ko na sa kanila. Sana kahit papaano nakatulong po ako."

"Thank you, Mike ah. Balitaan mo ako at kumustahan tayo sa kape pag may time pa."

"Bye, Ma'am. Ingat po kayo lagi."
Alaala ka palagi, Ma'am Paula Arevalo-Destacamento .

Salamat sa literatura, sa maayos na pagtuturo, sa pagkain, sa inspirasyon, at sa iyong buhay.
Lonely Girl Sep 2015
At nineteen you were far too young
To take your final breath,
And though these sixteen years have passed,
I'm haunted by your death

I think about how life would be
If you had never died,
I think about what you'd be like,
If only you'd survived

I'm older now than you were then,
I wish that you were here,
The sister that I never had,
I'd share with you, my fears

Like whether I could be a mom
When I always want to cry
Or how sometimes I feel so sad
I wish that I could die

I wish that when I spoke to you
That you could answer back
I know that you would talk me round
You always had the nak

I feel so lonely all the time
But wear my bravest face
I never let them see me cry
In sadness's embrace
Mishmak grak tak
fak shzak clack nak GRSHAK
rage **** Fak

shnk klnm fm ttmmmn
flnm shtum
jandmmm
frustration f'n

mrrrrow cow, SHOUT
now wow you dare, OW
how why please no
stop why now  go

I
want
peace
please

Stop with ease, I don't want angry
you
I want calm
you

There the same though aren't they?


pain.
I'm experimenting with using other forms of expression, just felt like trying something new.
ia Jan 2021
Kenapa kau pergi masa aku perlu kau sangat sangat?
Kenapa kau pergi sedang aku belum tabur semua kasih sayang aku pada kau?
Kenapa kau pergi dalam keadaan aku tengah serabut?
Kenapa kau pergi?

Tapi Tuhan kata lain
Dia kata cukup masa yang dia beri untuk aku pinjam kau dari Dia

Siapa nak dengar cerita aku
Siapa nak dengar mengadu aku?
Marah aku? Gembira aku? Siapa?
Aku rindu kau
Kau rindu aku tak?
It is my language! BAHASA MELAYU!! Happy reading everyone. It is for my beloved bestfriend in th entire world. I miss her so much :)
Filomena Jan 31
o tut de lun u zgiqbu
je dza sua *** kai zgilen tak te zon
i qdu qe xek nau tepzi tek o ***
je zuk bau *** nau zal po sli de ple
i sli bau *** xai daltep. i nefu lo sinpok
je plo qe txitup le za xak de zok.
i lan lo xilpok sondal xle de papkin gu
ke xel de lit pe sin je dzo le kai papkit
fi no vol fai dan pe xil. i nak lo lupko
pe qippli kai ben je sku le zgi fi zetfu
peu tu lot pe lia gelúp. i xek ne lutnik
sku de qak xik je xnukek le kai xta
i lutfu peu zanxo je pindal qe xne peu luttak
je sik le po zan do ple de notlen
vou nau zal do ple de pel. i lan lo vipnik
je xle le *** sai xel de txixo bon
i kul lia lot je bel lia xnu pe gul
i xel le sui kep ze skuxo bon qe sin
je slizuk le fi ti. i xen o liofu
e xalzen xle de nokfuk pap
i vit le so fo tul je xle le kin
je zni sai dal lia *** gexpá qe lal
za lia qla xal je lia takson dqi qe dal zoi
xen go zno e son pe sin je ***
go e pe zgitul kon. i nak to del
ke fin de skuxo xik qe xel de ske
i zno po sinpokfu je qdu do sua ke bon
i sak xto i sak lot i sak ska i sak zat
This is a Xextan translation of the "All the world's a stage" speech, from Shakespeare's "As You Like It"
dinmaop kadali
pagpiyong nak mata
landong ngadan imo hangkop
ha ak pag pukrat nawara.

🥀

— The End —