Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Oct 2011
Kenapa sulit bagi ku
Menulis puisi dengan namamu?
Tersesat selalu aku di sini
Menulis namamu tertulis yang lain

Ingin ku bakar diri ini
Tak bisa dicintai oleh mu
Ku yakin kau tak di sini
Membawa cinta yang ku harapkan

Karena ku tahu ku tak indah
Dari Dewi lain yang pernah kau kenal
Tapi, semua tak punya hati
Meninggalkanmu dan tak setia

Ku berjanji kan setia
Tapi, kau tak mau juga tak apa
Namun, izinkan aku sekali saja
Ucapkan cinta pertama tuk selamanya

Created by Aridea Purple
el Aug 2014
kursi di bawah pohon kenari
masih dengan setia duduk disana
tidak peduli siapa yang mendudukinya
atau siapa yang lewat di depannya
ia tetap setia menunggu kedatangannya
burung-burung dengan bebas menyuarakan
nada-nada indah berisi pesan
untuk diberikan kepadamu,
tuan tanpa nama
jangan berpura-pura tidak peduli kepada dunia
di lubuk hatimu yang terdalam, sial,
aku sangat yakin kau kesepian
kau membutuhkan seorang teman yang rela
mendengar ocehan mautmu sampai matahari
tenggelam di ufuk barat nantinya
kemarilah, tuan tanpa nama
duduk bersamaku di bawah pohon kenari
dan menikmati indahnya matahari senja
Joshua Soesanto Dec 2014
Kopi sore ini dengan langit senja mendung
Tidak melengkung
Tidak elok dengan warna merona
Seakan tidak berwarna

Kopi sore ini juga bercerita
Bahwa mungkin diatas awan kelabu
Masih ada sedikit warna rasa
Kenangan di balik embunnya hujan fantasi, terlihat abu-abu.

Rasanya ingin menghapus langit ini
Mencoba tahu, apakah masih ada warna dibaliknya?
Apakah matahari masih setia menemani?
Disaat semua kembali pada posisinya

Kamu pencuri mimpi
Mimpi yang sama-sama kita selami
Lalu dijualnya mimpi pada semesta yang kini tak menemani
Kamu..seperti awan sore ini
Entah kembali
Entah pergi
Lekaslah kembali, energi
Agar yang pergi..kembali pulang.
https://soundcloud.com/gardikagigih/di-beranda-banda-neira-cover
jangan kau putuskan aku di hadapan teman"ku
aku pun malu-aku pun malu :(
aku MELAMUN kan dirimu,
ku harap kau kan kembali padaku,
aku pun takut cintamu kini,
di ambil orang..
*vanhoutten
Aisyah Adler Mar 2016
Perasaan ini terus bergelung
Bersembunyi di dalam relung.
Seakan mencoba tuk keluar, namun keadaan tak mendukung.
Ia pun lelah akan waktu yang terus berjalan namun berbanding terbalik dengannya
Yang hanya duduk beralaskan rasa percaya
Menatap langit kelabu menunggu turunnya rintikkan hujan pertama.
Walau kerinduannya semakin lama semakin bertambah,
Ia tak pernah bosan untuk membendungnya
Dan menunggu,
Menunggu datangnya hujan.
Karena ia percaya bahwa seberapa besar kerinduannya, seberapa dalam rasa sakitnya, dan seberapa lama ia menanggung deritanya, hujan yang turun akan menyapu bersih luka di relungnya.
Bagaikan obat penawar yang selalu ia temukan saat penyakitnya kembali datang.

Ia tak pernah bosan bercerita kepada langit,
yang dengan setia mendengar celotehannya.
Sambil menunggu turunnya hujan, ia bercerita akan lika liku yang ia alami.
Mendongak menatap langit, dan bercerita.
Sejenak ia dapat mengalihkan perhatiaannya dari hingar bingar sekitar
dan menemukan ketenangannya sendiri.
Yaitu bersama langit, saat menunggu hujan.

Rintikan pertama menerpa wajahnya. berhasil mengangkat sudut-sudut bibirnya.
Ia tersenyum.
Yang ditunggu memang tak pernah datang terlambat.
Diikuti dengan rintikan lainnya dan kemudian hujan turun dengan deras.
Inilah kebahagiaannya.
Namun juga kesedihannya.
Saat rintikan hujan yang turun berhasil membuatnya tersenyum sekaligus menangis.
Karena dapat membawa ketenangan dan penghapus luka,
namun juga dapat membawa kerinduan yang turun disetiap rintikannya.

“Jika hujan tidak dapat membuatku seutuhnya bahagia, lantas kemana lagi aku harus mengadu?”
Silmi Afiqah Sep 2015
Hati sang dewi kembali pulih
Tak lagi pedih, tak lagi perih
Berbumbung cinta bertirai kasih
Berambang cita suci bersih

Sang dewi setia menanti
Sang bulan mengambang di malam hari
Sebagai teman penyejuk hati
Menghapus sepi yang memakan diri

Bisikan malam bulan dan dewi
Memecah sunyi dari langit ke bumi
Berjanji setia sehidup semati
Selagi bulan mengambang lagi
Aridea P Oct 2011
Palembang, Rabu 26 Juli 2011

Aku sayang dia
Aku jaga dia sejak pertama ku milikinya
Ku genggam erat dia seakan tak ingin berpisah
Ku selalu awasi dia tak ingin kehilangannya

Dia selalu ada di setiap ku butuh
Kawan terbaik mencurahkan inspirasiku
Tak terbayang jika dia pergi tinggalkan ku
Atau hanya hilang tanpa jejak atau pesan sekalipun

Yang pertama, tak bisa terganti
Sekali sayang, dan akan terus selamanya
Perasaanku tak tercurah tanpanya
Berhari-hari aku bersamanya dengan setia

Namun di hari itu aku kecewa
Yang aku sayang yang terus aku jaga
Dia mati di kala waktunya belum tiba
Aku kecewa ketika mereka membunuhnya

Aku marah, aku kesal
Aku minta mereka mengembalikannya
Tapi yang ku dapat hanya heningan
Tanda mereka tak mau berbuat apa-apa

Aku sudah tahu jawaban mereka
Meskipun belum terucap, hanya bahasa gerak
Mereka tidak mengerti rasanya kehilangan
Mereka tidak peduli dengan perasan orang

Ku hanya ingin pertanggungjawaban
Dan kembalikan dia kembali ke genggamanku
Tolong sekali saja Kalian mngerti perasaan seseorang
Dia adalah pena ungu yang paling ku sayang

"Pena Ungu ku tinggal kenangan"
Perplexed and troubled at his bad success
The Tempter stood, nor had what to reply,
Discovered in his fraud, thrown from his hope
So oft, and the persuasive rhetoric
That sleeked his tongue, and won so much on Eve,
So little here, nay lost.  But Eve was Eve;
This far his over-match, who, self-deceived
And rash, beforehand had no better weighed
The strength he was to cope with, or his own.
But—as a man who had been matchless held
In cunning, over-reached where least he thought,
To salve his credit, and for very spite,
Still will be tempting him who foils him still,
And never cease, though to his shame the more;
Or as a swarm of flies in vintage-time,
About the wine-press where sweet must is poured,
Beat off, returns as oft with humming sound;
Or surging waves against a solid rock,
Though all to shivers dashed, the assault renew,
(Vain battery!) and in froth or bubbles end—
So Satan, whom repulse upon repulse
Met ever, and to shameful silence brought,
Yet gives not o’er, though desperate of success,
And his vain importunity pursues.
He brought our Saviour to the western side
Of that high mountain, whence he might behold
Another plain, long, but in breadth not wide,
Washed by the southern sea, and on the north
To equal length backed with a ridge of hills
That screened the fruits of the earth and seats of men
From cold Septentrion blasts; thence in the midst
Divided by a river, off whose banks
On each side an Imperial City stood,
With towers and temples proudly elevate
On seven small hills, with palaces adorned,
Porches and theatres, baths, aqueducts,
Statues and trophies, and triumphal arcs,
Gardens and groves, presented to his eyes
Above the highth of mountains interposed—
By what strange parallax, or optic skill
Of vision, multiplied through air, or glass
Of telescope, were curious to enquire.
And now the Tempter thus his silence broke:—
  “The city which thou seest no other deem
Than great and glorious Rome, Queen of the Earth
So far renowned, and with the spoils enriched
Of nations.  There the Capitol thou seest,
Above the rest lifting his stately head
On the Tarpeian rock, her citadel
Impregnable; and there Mount Palatine,
The imperial palace, compass huge, and high
The structure, skill of noblest architects,
With gilded battlements, conspicuous far,
Turrets, and terraces, and glittering spires.
Many a fair edifice besides, more like
Houses of gods—so well I have disposed
My aerie microscope—thou may’st behold,
Outside and inside both, pillars and roofs
Carved work, the hand of famed artificers
In cedar, marble, ivory, or gold.
Thence to the gates cast round thine eye, and see
What conflux issuing forth, or entering in:
Praetors, proconsuls to their provinces
Hasting, or on return, in robes of state;
Lictors and rods, the ensigns of their power;
Legions and cohorts, turms of horse and wings;
Or embassies from regions far remote,
In various habits, on the Appian road,
Or on the AEmilian—some from farthest south,
Syene, and where the shadow both way falls,
Meroe, Nilotic isle, and, more to west,
The realm of Bocchus to the Blackmoor sea;
From the Asian kings (and Parthian among these),
From India and the Golden Chersoness,
And utmost Indian isle Taprobane,
Dusk faces with white silken turbants wreathed;
From Gallia, Gades, and the British west;
Germans, and Scythians, and Sarmatians north
Beyond Danubius to the Tauric pool.
All nations now to Rome obedience pay—
To Rome’s great Emperor, whose wide domain,
In ample territory, wealth and power,
Civility of manners, arts and arms,
And long renown, thou justly may’st prefer
Before the Parthian.  These two thrones except,
The rest are barbarous, and scarce worth the sight,
Shared among petty kings too far removed;
These having shewn thee, I have shewn thee all
The kingdoms of the world, and all their glory.
This Emperor hath no son, and now is old,
Old and lascivious, and from Rome retired
To Capreae, an island small but strong
On the Campanian shore, with purpose there
His horrid lusts in private to enjoy;
Committing to a wicked favourite
All public cares, and yet of him suspicious;
Hated of all, and hating.  With what ease,
Endued with regal virtues as thou art,
Appearing, and beginning noble deeds,
Might’st thou expel this monster from his throne,
Now made a sty, and, in his place ascending,
A victor-people free from servile yoke!
And with my help thou may’st; to me the power
Is given, and by that right I give it thee.
Aim, therefore, at no less than all the world;
Aim at the highest; without the highest attained,
Will be for thee no sitting, or not long,
On David’s throne, be prophesied what will.”
  To whom the Son of God, unmoved, replied:—
“Nor doth this grandeur and majestic shew
Of luxury, though called magnificence,
More than of arms before, allure mine eye,
Much less my mind; though thou should’st add to tell
Their sumptuous gluttonies, and gorgeous feasts
On citron tables or Atlantic stone
(For I have also heard, perhaps have read),
Their wines of Setia, Cales, and Falerne,
Chios and Crete, and how they quaff in gold,
Crystal, and myrrhine cups, imbossed with gems
And studs of pearl—to me should’st tell, who thirst
And hunger still.  Then embassies thou shew’st
From nations far and nigh!  What honour that,
But tedious waste of time, to sit and hear
So many hollow compliments and lies,
Outlandish flatteries?  Then proceed’st to talk
Of the Emperor, how easily subdued,
How gloriously.  I shall, thou say’st, expel
A brutish monster: what if I withal
Expel a Devil who first made him such?
Let his tormentor, Conscience, find him out;
For him I was not sent, nor yet to free
That people, victor once, now vile and base,
Deservedly made vassal—who, once just,
Frugal, and mild, and temperate, conquered well,
But govern ill the nations under yoke,
Peeling their provinces, exhausted all
By lust and rapine; first ambitious grown
Of triumph, that insulting vanity;
Then cruel, by their sports to blood inured
Of fighting beasts, and men to beasts exposed;
Luxurious by their wealth, and greedier still,
And from the daily Scene effeminate.
What wise and valiant man would seek to free
These, thus degenerate, by themselves enslaved,
Or could of inward slaves make outward free?
Know, therefore, when my season comes to sit
On David’s throne, it shall be like a tree
Spreading and overshadowing all the earth,
Or as a stone that shall to pieces dash
All monarchies besides throughout the world;
And of my Kingdom there shall be no end.
Means there shall be to this; but what the means
Is not for thee to know, nor me to tell.”
  To whom the Tempter, impudent, replied:—
“I see all offers made by me how slight
Thou valuest, because offered, and reject’st.
Nothing will please the difficult and nice,
Or nothing more than still to contradict.
On the other side know also thou that I
On what I offer set as high esteem,
Nor what I part with mean to give for naught,
All these, which in a moment thou behold’st,
The kingdoms of the world, to thee I give
(For, given to me, I give to whom I please),
No trifle; yet with this reserve, not else—
On this condition, if thou wilt fall down,
And worship me as thy superior Lord
(Easily done), and hold them all of me;
For what can less so great a gift deserve?”
  Whom thus our Saviour answered with disdain:—
“I never liked thy talk, thy offers less;
Now both abhor, since thou hast dared to utter
The abominable terms, impious condition.
But I endure the time, till which expired
Thou hast permission on me.  It is written,
The first of all commandments, ‘Thou shalt worship
The Lord thy God, and only Him shalt serve.’
And dar’st thou to the Son of God propound
To worship thee, accursed? now more accursed
For this attempt, bolder than that on Eve,
And more blasphemous; which expect to rue.
The kingdoms of the world to thee were given!
Permitted rather, and by thee usurped;
Other donation none thou canst produce.
If given, by whom but by the King of kings,
God over all supreme?  If given to thee,
By thee how fairly is the Giver now
Repaid!  But gratitude in thee is lost
Long since.  Wert thou so void of fear or shame
As offer them to me, the Son of God—
To me my own, on such abhorred pact,
That I fall down and worship thee as God?
Get thee behind me!  Plain thou now appear’st
That Evil One, Satan for ever ******.”
  To whom the Fiend, with fear abashed, replied:—
“Be not so sore offended, Son of God—
Though Sons of God both Angels are and Men—
If I, to try whether in higher sort
Than these thou bear’st that title, have proposed
What both from Men and Angels I receive,
Tetrarchs of Fire, Air, Flood, and on the Earth
Nations besides from all the quartered winds—
God of this World invoked, and World beneath.
Who then thou art, whose coming is foretold
To me most fatal, me it most concerns.
The trial hath indamaged thee no way,
Rather more honour left and more esteem;
Me naught advantaged, missing what I aimed.
Therefore let pass, as they are transitory,
The kingdoms of this world; I shall no more
Advise thee; gain them as thou canst, or not.
And thou thyself seem’st otherwise inclined
Than to a worldly crown, addicted more
To contemplation and profound dispute;
As by that early action may be judged,
When, slipping from thy mother’s eye, thou went’st
Alone into the Temple, there wast found
Among the gravest Rabbies, disputant
On points and questions fitting Moses’ chair,
Teaching, not taught.  The childhood shews the man,
As morning shews the day.  Be famous, then,
By wisdom; as thy empire must extend,
So let extend thy mind o’er all the world
In knowledge; all things in it comprehend.
All knowledge is not couched in Moses’ law,
The Pentateuch, or what the Prophets wrote;
The Gentiles also know, and write, and teach
To admiration, led by Nature’s light;
And with the Gentiles much thou must converse,
Ruling them by persuasion, as thou mean’st.
Without their learning, how wilt thou with them,
Or they with thee, hold conversation meet?
How wilt thou reason with them, how refute
Their idolisms, traditions, paradoxes?
Error by his own arms is best evinced.
Look once more, ere we leave this specular mount,
Westward, much nearer by south-west; behold
Where on the AEgean shore a city stands,
Built nobly, pure the air and light the soil—
Athens, the eye of Greece, mother of arts
And Eloquence, native to famous wits
Or hospitable, in her sweet recess,
City or suburban, studious walks and shades.
See there the olive-grove of Academe,
Plato’s retirement, where the Attic bird
Trills her thick-warbled notes the summer long;
There, flowery hill, Hymettus, with the sound
Of bees’ industrious murmur, oft invites
To studious musing; there Ilissus rowls
His whispering stream.  Within the walls then view
The schools of ancient sages—his who bred
Great Alexander to subdue the world,
Lyceum there; and painted Stoa next.
There thou shalt hear and learn the secret power
Of harmony, in tones and numbers hit
By voice or hand, and various-measured verse,
AEolian charms and Dorian lyric odes,
And his who gave them breath, but higher sung,
Blind Melesigenes, thence Homer called,
Whose poem Phoebus challenged for his own.
Thence what the lofty grave Tragedians taught
In chorus or iambic, teachers best
Of moral prudence, with delight received
In brief sententious precepts, while they treat
Of fate, and chance, and change in human life,
High actions and high passions best describing.
Thence to the famous Orators repair,
Those ancient whose resistless eloquence
Wielded at will that fierce democraty,
Shook the Arsenal, and fulmined over Greece
To Macedon and Artaxerxes’ throne.
To sage Philosophy next lend thine ear,
From heaven descended to the low-roofed house
Of Socrates—see there his tenement—
Whom, well inspired, the Oracle pronounced
Wisest of men; from whose mouth issued forth
Mellifluous streams, that watered all the schools
Of Academics old and new, with those
Surnamed Peripatetics, and the sect
Epicurean, and the Stoic severe.
These here revolve, or, as thou likest, at home,
Till time mature thee to a kingdom’s weight;
These rules will render thee a king complete
Within thyself, much more with empire joined.”
  To whom our Saviour sagely thus replied:—
“Think not but that I know these things; or, think
I know them not, not therefore am I short
Of knowing what I ought.  He who receives
Light from above, from the Fountain of Light,
No other doctrine needs, though granted true;
But these are false, or little else but dreams,
Conjectures, fancies, built on nothing firm.
The first and wisest of them all professed
To know this only, that he nothing knew;
The next to fabling fell and smooth conceits;
A third sort doubted all things, though plain sense;
Others in virtue placed felicity,
But virtue joined with riches and long life;
In corporal pleasure he, and careless ease;
The Stoic last in philosophic pride,
By him called virtue, and his virtuous man,
Wise, perfect in himself, and all possessing,
Equal to God, oft shames not to prefer,
As fearing God nor man, contemning all
Wealth, pleasure, pain or torment, death and life—
Which, when he lists, he leaves, or boasts he can;
For all his tedious talk is but vain boast,
Or subtle shifts conviction to evade.
Alas! what can they teach, and not mislead,
Ignorant of themselves, of God much more,
And how the World began, and how Man fell,
Degraded by himself, on grace depending?
Much of the Soul they talk, but all awry;
And in themselves seek virtue; and to themselves
All glory arrogate, to God give none;
Rather accuse him under usual names,
Fortune and Fate, as one regardless quite
Of mortal things.  Who, therefore, seeks in these
True wisdom finds her not, or, by delusion
Far worse, her false resemblance only meets,
An empty cloud.  However, many books,
Wise men have said, are wearisome; who reads
Incessantly, and to his reading brings not
A spirit and judgment equal or superior,
(And what he brings what needs he elsewhere seek?)
Uncertain and unsettled still remains,
Deep-versed in books and shallow in himself,
Crude or intoxicate, collecting toys
And trifles for choice matters, worth a sponge,
As children gathering pebbles on the shore.
Or, if I would delight my private hours
With music or with poem, where so soon
As in our native language can I find
That solace?  All our Law and Story strewed
With hymns, our Psalms with artful terms inscribed,
Our Hebrew songs and harps, in Babylon
That pleased so well our victor’s ear, declare
That rather Greece from us these arts derived—
Ill imitated while they loudest sing
The vices of their deities, and their own,
In fable, hymn, or song, so personating
Their gods ridiculous, and themselves past shame.
Remove their swelling epithetes, thick-laid
As varnish on a harlot’s cheek, the rest,
Thin-sown with aught of profit or delight,
Will far be found unworthy to compare
With Sion’s songs, to all true tastes excelling,
Where God is praised aright and godlike men,
The Holiest of Holies and his Saints
(Such are from God inspired, not such from thee);
Unless where moral virtue is expressed
By light of Nature, not in all quite lost.
Their orators thou then extoll’st as those
The top of eloquence—statists indeed,
And lovers of their country, as may seem;
But herein to our Prophets far beneath,
As men divinely taught, and better teaching
The solid rules of civil government,
In their majestic, unaffected style,
Than all the oratory of Greece and Rome.
In them is plainest taught, and easiest learnt,
What makes a nation happy, and keeps it so,
What ruins kingdoms, and lays cities flat;
These only, with our Law, best form a king.”
  So spake the Son of God; but Satan, now
Quite at a loss (for all his darts were spent),
Thus to our Saviour, with stern brow, replied:—
  “Since neither wealth nor honour, arms nor arts,
Kingdom nor empire, pleases thee, nor aught
By me proposed in life contemplative
Or active, tended on by glory or fame,
What dost thou in this world?  The Wilderness
For thee is fittest place: I found thee there,
And thither will return thee.  Yet remember
What I foretell t
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Kamis 17 Mei 2007

Aku... yang selalu setia menunggu
Walau tiada harapan untukku
Namun... aku berharap semua terwujud
Demi... waktu yang terus bergulir

Adakah Engkau kasihan padaku... Tuhan
Setiap hari... settiap waktu....
Aku... memohon... meminta pada-Mu
Dengan tetesan air mata mengalir

Apakah aku sanggup menunggu harapan
Bila Kau pun tak memperdulikan
Aku akan tetap menunggu di sini
Harapan yang tak kunjung menghampiri
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Klo Sifa May 2016
Kau membuatku bingung Raja.

Sebentar bersikap sehangat matahari pagi, sebentar sedingin tiga perempat malam.

Kau membuatku bimbang Raja.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana.

Aku sudah bertanya pada jalan yang setia menyaksikan kau mengantarku pulang.

Mereka diam.

Aku semakin gelisah.

Karena bahkan jika jalan yang setia diam jika kutanya, bagaimana mungkin kau punya jawaban Raja?

Hatimu tak lebih teguh dari daun yang tertiup jatuh.

Lantas aku harus bagaimana?
senjakala May 2019
Di saat aku tak mengharapkan kehadiranmu, kamu datang dengan wajah sendu, seakan mengungkapkan rindu, mengisyaratkan tak ingin melepasku.
Apa-apaan kamu ini—berulang kali jadikan aku Yang Tersisih; tak pernah malu membuat aku ragu.

Biasanya, aku yang bertanya kepada diriku sendiri;
Apakah aku, yang harus selalu memperjuangkan dirinya?
Apakah aku, yang harus selalu menjadikannya nomor satu?
Apakah aku, yang harus selalu menghujaninya dengan kasih sayang?

Apakah aku, yang harus selalu memberikannya perhatian?
Apakah aku, yang harus selalu mewujudkan impiannya?
Apakah aku, yang harus selalu memanjakannya dengan cinta?
Apakah aku, yang harus selalu jatuh dan merindu?

Apakah aku, yang harus selalu—
... dan segala pertanyaan lainnya masih kusimpan dalam hati.
Kita sudahi sampai di sini, karena sebentar lagi, tangis tak mampu berhenti.
Kita akhiri sampai di sini, sebab aku tak ingin dia lagi.

Aku bertahan, dengan senyuman.
Kubiarkan dia bepergian, tanpa tahu arah pulang.
Kubiarkan dia terjaga, tanpa tahu aku menunggunya pulang.
Kubiarkan dia berkelana, tanpa tahu aku menahan kerinduan.

Kubiarkan dia ...
... pergi.

Di saat aku sudah berhenti—menutup hati, berjuang pergi, berjanji tak akan kembali—kamu datang tanpa permisi, membuat hatiku lagi-lagi perih; pertanda aku masih di sini, setia menanti.

Jangan tertawa, aku tak sedang bercanda.

Bagaimana, jika kita ubah sudut pandang kamu menjadi aku?
Bagaimana, jika kamu berada di posisi aku?
Bagaimana, jika kamu menjadi aku, yang senantiasa menjaga rindu, menantikan kehadiranmu, tanpa tahu, di mana kamu?

Bagaimana?

Di saat kamu membutuhkanku, maka cari aku, meski kamu harus tahu, aku mungkin saja tak sedang menantikan kehadiranmu.
Di saat kamu menginginkanku, maka kejar aku, meski kamu harus tahu, aku bisa saja sudah tak lagi menginginkanmu.

Jangan mengira, aku akan selamanya setia, menunggumu berubah rasa di setiap langkah.
Jangan menduga, aku akan selalu ada, setiap kamu membutuhkan aku ada di sisimu selamanya.
Jangan membual, karena aku tak lagi kenal dirimu dalam khayal.

Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menanyakan kabarmu, meski kamu menjawab hanya di saat kamu membutuhkanku.
Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menjadi pendengar, meski kamu tak sadar, aku memperlihatkan tatapan nanar saat melihatmu liar.

Ingatlah satu hal, aku tak akan mencarimu dan berdiri di sampingmu lagi, sebab aku tahu, kamu hanya berlari menemuiku saat kamu kesepian mereka tak ada untukmu.
Ingatlah lagi, aku tak akan menjadikanmu pemilih, karena kali ini aku yang akan memilih.
Aridea P Jan 2012
Jakarta, 13 Mei 2007

Ku pandang sisi-sisi sudut di sebuah ruangan
Tiada apapun yang dapat ku kenang
Selain seorang teman yang setia kawan

Ku harap ada seorang kawan yang menemaniku
Di kesunyian malam yang terus mengancam
Seolah tak peduli akan ketenangan

Namun
Ku mencoba untuk sabar menanti kerinduan
Pada seorang terkasih yang s’lalu ku dambakan



(Puisi ini dibuat untuk dinilai oleh guru bahasa pada tanggal 14 Mei 2007, dan mendapat nilai 8)
Aridea P Aug 2014
Palembang, 31 Agustus 2014

Aku ingin segera menjadi dewasa
Supaya aku bisa menikmati hidup lebih leluasa
Minum kopi sambil mengobrol tentang politik dan penguasa
Duduk di café menulis novel dan mengambar sketsa

Aku ingin segera wisuda
Memiliki pekerjaan sendiri yang aku damba
Memiliki apartemen sendiri dengan konsep yang aku suka
Membeli semua buku yang ku anggap menarik dan membuat sendiri ruang baca

Aku ingin segera mengakhiri masa kesendirianku
Ku harap aku bisa memilih sendiri pasanganku
Seseorang yang selalu setia di saat apapun
Seseorang yang bisa ku ajak “gila-gilaan” sepajang waktu

Aku ingin segera mengandung
Memiliki anak-anak yang manis yang akan ku panggil “sayang”
Memanjakan mereka seperti aku dimanjakan bunda
Membahagiakan orangtuaku dengan kehadiran mereka

Aku ingin

Aku ingin mati dikelilingi orang-orang yang ku cinta
Aridea P Oct 2011
Saat cinta mempersatukan
Kau yang indah dengan dia
Aku pun terancam sendiri
Tak ada harapan lagi

Kau bahagia...
Aku akan sangt bahagia
Karena kau temukan
Dewi Cinta yang kau inginkan

Semoga bahagia
Dan setia dengan mu
Ku kan mendendam
Bila dia mengkhianati mu

Meski vonis yang kejam
Ku terima hidup di kandang
Yang panas dan pengap
Tak bisa hirup udara bebas

Ketika vonis ku berakhir
Kau akan ku cari
Tapi, melihat mu telah bahagia lagi
Ku kan mengenang itu untuk terakhir kali


By. Aridea Purple
Iqbal Ramadhan Aug 2021
Sejengkal rindu dalam bogor
Dahulu kudengar sebuah dongeng tentang Kota diatas awan,
Bogor,  Kota yang tiada hari tanpa hujan
Kota tiada pemandangan gedung kaca
Kota tiada pemandangan selain Gunung Salak
Perkenalan kala itu mengantarkan mengenal lebih jauh tentang Bogor
Tatkala itu Bogor sungguh sebagaimana kota diatas awan
Kini rupanya tak begitu indah, tak seperti masa itu
Namun, Bogor tentu setia dengan beribu kenangannya
Bogor tetap saja Kota yang setia menyimpan ingat,
Bogor tetap melangkah seperti biasanya,
Sayur tetap disediakan pedagang di pagi gelap
Angkot tetap tabah menunggu penumpang
Tugu kujang tetap setia di tempatnya berada
Bogor, kenang itu selamanya. Terimakasih.

Muhammad Iqbal Ramadhan
Bogor, 22 Agustus 2021
Tulisan ini bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda. Tapi tulisan ini dapat ditafsirkan bagi setiap insan.
Aridea P Oct 2011
Dia buat aku tersenyum
Selalu... Setiap ada waktu
Tak mampu aku menahannya
Saat membaca pesannya tentang indah
Dia yang mencintaiku...
Selalu, mengucapkan kata cinta untukku
Yang selalu mengerti aku
Dan s'lalu setia menunggu aku
Dia... Apa benar dia cinta untukku?


Created by. Aridea .P
Gloria Mar 2015
"Mudahnya buat janji, semudah ingkar janji"

Ke utara, selatan
kau ikut
kata kau, asal ada aku ada kau.

Ada waktu
naluri wanitaku meragui
setiap kata yang menari
di belahan mulutmu.

Namun
apalah daya kerak nasi
berlawan dengan air.

Dan saat aku
membuka seluas-luasnya pintu
kau jadi penghuni
setia
untuk sementara.

Sehingga tiba satu ketika
langkah kakimu dihayun
menapak keluar
dari ruang yang kau huni ini

Ingatlah
bukan aku yang menjemput kau
menghuni ruang ini
dan bukan aku juga lah
yang menghambat kau pergi.
Aridea P Oct 2011
Setia ku hingga akhir waktu
Cinta ku tak mati meski hancur
Kasih ku tak habis slalu merindu
Diriku kan mati ditinggal mu

Suara hati ini bisu
Jejak langkah ini lumpuh
Tapi tetap kepakkan sayap
Menuju surga hidup kebahagiaan

Lagu cinta hilang
Berasa hening kali ini
Suara indah berhenti
Hatipun bersedih

Luapan cintaku tak berakhir
Sampai nanti, sampai aku mati
Aridea P Oct 2011
Malam sunyi ini
Berubah menjadi berarti
Karena penguasa hati ku
Datang pada ku
Tuk persembahan terakhir
Lagu paling indah

Ku katakan dengan indah
Suatu ungkapan yang berarti
Bahwa ku akan setia
Walau kau harus terganti
Sebagai inspirasi hari
Dan di masa depan
Datang hadir temani hati

Takkan terlupa
Persembahan terakhir mu
Ada senyum, tawa, hembusan nafas,
teriakan, alunan yang behitu indah
Bagai hati ku dan hidup ku


by. Aridea Purple
Joz Jul 2016
Terkadang bukan fisik yang terpenting.
Walaupun tanpa fisik, rasa tak kunjung muncul.

Mungkin aku menyayangkan cinta yang tak kian bersatu.
Keraguanmu menahanku bagai angin yang menderu.

Di penghujung jalan pun 'ku tersadar,
keraguanmu bukan untukku.
Karena cinta untukku sudah tiada sejak dulu.

Aku bukan pejuang cinta,
aku hanyalah pecinta yang setia.
Ketika cinta pergi,
itulah saat dimana pecinta undur diri.

Karena untukku,
cinta kita harus diperjuangkan
dan cintaku seorang haruslah dilenyapkan.
Bukan oleh waktu, tapi oleh angin dan debu
bercampur air mata.
17 Juni 2016
14.50
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.
Mai May 2018
Kembali lagi terluka
Terluka karena sebuah kata bernama cinta
Ini bukan kisah cinta dan rangga
Ini kisahku bersama dia yang  ku puja

Ku#love #hurt painrang setia apa aku padanya
Melirik makhluk lain pun aku tak pernah
Kurang setia apa aku padanya
Dia marah aku tak pernah bantah

Lalu dia buat diriku semena-mena
Apa ini yang dia katakan cinta?
Apa ini yang dia katakan takkan mendua?
Apa ini yang dia katakan menjaga janji kita?

Aku hanya bisa menahan
Membungkam segala kekecewaan
Menyimpan segala kesedihan
Menutupi segala penderitaan
Mousamous Aug 2017
pasal III; tentang berpisah, memisahkan diri, dan sebuah perpisahan.

-sampailah rasa ini di titik paling akhir perjuangannya, dimana setelah semua usaha bermuara, dan nyatanya tak terbalas sesuai ekspektasi. akhirnya, aku (dan kamu) memilih untuk mundur dari pengharapan masingmasing, memilih memisahkan diri, untuk kemudian bersamasama mencari jalan hidup pribadi.

- mungkin saja di satu sisi, ada pihak yang merasa terberatkan, dan tentu saja yang memberatkan, mengingat perihal perpisahan adalah suatu fase, dimana 2 pribadi yang dulunya saling dan berusaha terikat mengikat, kini harus mulai merenggangkan ikatan masingmasing. dan pasti ada yang tak sanggup, dan ada yang terburuburu berpisah. tapi tak apa, aku terbiasa menopang perkara berat ini.

- namun ada kalanya, kau lah yang terberatkan dengan proses ini, jadi mulai sejak dinilah, kumohonmaaf untuk apa yang akan terjadi di kemudian hari, atau mungkin saja esok hari, ketika ku mulai merasa, bahwa perpisahan adalah cara terbaik untuk melanjutkan hubungan ini.

- plot twist; adalah ketika kita masih tetap berusaha saling menyatakan setia dan menjaga keberadaan masingmasing kita, tapi, kita tetap saja terpisahkan, karena sebab masa depan masih terlalu gelap untuk diterawang sekarang, mengingat kodrat yang bernyawa akan mati, yang dekat akan jauh, dan yang jauh, tak penah lagi kembali. maka nanti kemudian masa, jika saja kita memang terpisahkan oleh takdir, maka sekali lagi maafkanku, juga terima kasih, untuk mu, dan untuk hadirmu.

- karena berpisah, bukan sematamata hanya sekedar ego, melainkan sebuah komitmen. semoga kau mengerti, jika kelak kita berpisah, dirimu tetaplah dirimu, kau tetap saja begitu, dan jangan berubah, sebab kisah kita yang berakhir tragis, tak layak mengubah senyummu yang manis.

prdks.
ps: tetaplah mengagumkan, _____.
ku berjanji akn sllu setia kepada.mu
ga Sep 2018
Nyatanya aku masih terjaga
Disaat kuucapkan selamat tidur untukmu
Setiap jengkal serat tubuhku tak ingin berpisah darimu
Sekalipun malam telah membelaimu dengan lembut, siap sedia menyanyikan lagu tidur untukmu
Aku tak rela

Nyatanya aku masih bermimpi, di pagi hari kau membangunkanku
Tak ingin kulepaskan genggaman tanganku
Tak ingin kusudahi wajah kita yang saling menatap
Takkan kubiarkan hangat tubuhmu menguap
Aku tak ingin terjaga

Nyatanya aku merindukan dirimu
Saat aku mengurungkan niat untuk berkabar
Saat amarah memberi mata pada cinta, hingga ia tak lagi buta
Ketika tawa tak lagi terdengar
Ketika kata tak mampu terucap
Aku tak ingin berpisah

Nyatanya kau tetap setia
Sekalipun cintamu berlayar dalam diam
Kala sumpah serapah yang membabi buta, mengawali malam kejam yang tak membiarkanmu terlelap
Meskipun air mata telah menggantikan suara
Dan dua surga yang tak bisa bersatu
Maafkan aku
01/09/2018
Maafkan aku, aku tak ingin berpisah, aku tak rela
Elle Sang Sep 2018
Kalau bisa sebenarnya aku ingin mencintaimu dengan sederhana saja
Seperti mendapatimu belum sepenuhnya sadar di sampingku, lalu mengecup lembut keningmu.
Tak peduli waktu yang terus memburu,
jarak yang tak terlipat oleh rindu yang demikian banyaknya.
Namun sayangnya.. hidup tak bisa sesederhana itu

Kalau bisa sebenarnya aku ingin mencintaimu dengan sederhana saja
Bersandar kapanpun yang ku inginkan tak perlu lebih dulu mengundang temaram,
Mendekat kapanpun bibirku rindu di kecup,
Memeluk kapanpun aku rindu detakmu yang cepat.
Namun sayangnya, ingin tak bisa semuanya terpuaskan.

Kalau bisa sebenarnya aku ingin mencintaimu dengan sederhana saja
Siap sedia di sampingmu membisikkan bahwa kamu tak pernah sendirian,
Kamu tak akan ku biarkan gundah tanpa kawan.
Namun sayangnya, kita bukan ikatan pasti.

Maka sayangku, dengan segala kerumitan dan keadaan yang tidak menguntungkan inginku
Aku berusaha tetap mencintaimu
Dengan keberadaanmu yang jarang aku jadi menghargai setiap pertemuan,
Dengan temaram yang menyenangkan aku mencoba berteman dengan gulita.

Dengan ikatan yang tak pernah ada aku berusaha setia
Bukankah itu intinya?
Aku tak akan pernah mencintaimu dengan terpaksa
Kamu tak merantai kaki-kakiku,
Kamu tak menutup mataku,
Aku bisa pergi kapanpun yang aku inginkan.

Namun lihatlah sayang, aku tetap tinggal di sisimu.
ga Mar 2018
Aku kenal wajah itu
Pipinya merah merona
Saat kutanya mengapa
Biarlah dunia penuh warna

Aku suka senyum itu
Dari jauh penuh rahasia
Kudekati manis menggoda
Biarlah dunia tersenyum untuknya

Aku setia pada malam dan bintang-bintangnya
Izinkan aku berlama-lama menatap matanya
Kelap-kelip langit malam di kala siang
Biarlah kau dan malam
Menjadi milikku
14/03/2018
Kuhabiskan waktu menumbuhkan lagu-lagu sihir untuknya, namun menarik dirimu

— The End —