Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Oct 2017
"Cahaya redup itu umpama semesta alam."
birunya naungan langit fajar
ketika tetes embun hadir di atas permukaan daun
pada hari itu kau berujar

"Pernahkah kamu tahu bahwa gelapnya mengisahkan beribu kisah?"
yang ada suaraku bungkam oleh pertanyaanmu
gaungnya terngiang mengisi sudut hampa telingaku
sebuah kubus berisi ruang kosong tak beraksara
ada sorot matamu yang terjebak di dalamnya

"Pernahkah kamu sentuh sisi gelap yang bersembunyi itu?"
pernah
taman kecil berisi bunga warna-warni dalam suaramu yang sepi kusam, kota lama yang redup di tengah peradaban
kuperhatikan rambut ikal panjangmu menjilati tengkukmu
sambil disiuli angin yang bernyanyi pelan, begitu tenang

"Atau yang tidak sengaja kamu sembunyikan?"
"Ralat, yang sengaja kamu sembunyikan."
matamu mengerling menerawang memandang langit Juni
apa lagi yang kamu dambakan dari gelap pada pagi secerah ini?

"Cahaya redup umpama semesta alam, gelapnya mengibarkan beribu ilham."
jemarimu cepat berdansa dengan senar begitu cermat
ingat pertama kali dua pasang mata sendu ini berkenalan
dalam gelap dalam redup
lahir melodrama di tengah rintik tangisan langit bulan kedua

"Gelapnya mengibarkan seribu ilham. Gelapnya mendatangkan pelangi di tengah tulisan dalam buku kelabuku."
diremasnya jemariku, lalu tenggelam dalam beribu rasa
bunga-bunga merekah membentangkan senyum sang surya

apa lagi yang kudambakan dari gelap pada pagi secerah ini?
satu pertanyaan kubisikkan untuk langit biru pada bulan Juni
apakah hadirku sudah cukup bagi hari-hari gelapmu?

lalu, jemarimu meremas jemariku lebih keras
seolah tak pernah ingin lepas.
Aridea P Jan 2015
Palembang, 11 Januari 2015

Aku jatuh cinta lagi

Benarkah ini cinta?
Mengapa rasanya begitu berbeda?
Tak ada rasa takut saat aku menatap matanya
Tak ada rasa sungkan untuk menyentuh kulitnya
Dan aku sangat menyukai bau tubuhnya

Aku suka bersandar di punggungnya
Menyandarkan keningku di tengkuknya
Memainkan jemariku menyentuh punggungnya
Mencium aroma parfumnya

Aku suka berjalan di belakangnya, menunduk
Memandangi langkah kakinya ketika berjalan
Sangat lebar dari langkah kakiku
Aku tak mampu menyusulnya
Di saat seperti itu aku membutuhkan tangannya
Tuk menggenggam tanganku
Menuntunku tuk berada di sampingnya
Agar aku tidak tertinggal

Apa benar aku mencintainya?
Tapi tunggu dulu
Apa itu cinta?
Bagaimana rasanya mencintai seseorang?
Apa yang akan aku lakukan ketika mencintai seseorang?
Inikah cinta?
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Maaf kalo aku masih cengeng
Maaf kalo aku belum bisa mengontrol emosi
Tapi aku bener-bener ga kuat
Di kala hati ingin berhadapan dengan dia
Jemariku tak kuasa tuk menari di atas keyboard
Mengetik namanya, melihat fotonya
Menahan rasa malu yang ku bangun sendiri
Menahan rasa kembali ingin mencintai
Melawan pikiran yang berusaha tuk melupakan dia

Tetapi aku mengikuti rasa yang sangat ingin
Keinginan yang mustahil
Keinginan yang seharusnya tak ada di hati
Keinginan yang seharusnya aku sudahi
Keinginan yang sudah sepantasnya tuk mati
Tetapi, malah semakin kuat setiap hari

Aku menangis lagi,
dan itu sering
Maaf sekali lagi
ga Aug 2017
Temukan aku, cari aku
Hancurkan aku, remukkan aku
Caci diriku hinakan jiwaku
Buat aku berlutut menangis di hadapanmu
Hempaskan tubuhku rebahkan kepalaku
Lakukanlah, hancurkan diriku.

Tapi ketika saatnya tiba
Ulurkan tanganmu, raihlah kepalaku
Berjongkoklah, sentuh pipiku
Elus rambutku hapus air mataku
Tundukkan kepalamu, dekatkan ke telingaku
Bisikkan padaku sebuah kata dari dalam hatimu
Hembuskan padaku sebuah harapan
Lantunkan lagu itu, lagu kehidupan

Tatap mataku, ajak aku berdiri
Pandang wajahku, yakinkan aku
Genggamlah tanganku sementara kau mulai melangkah
Peluk erat jariku dengan jemari lentikmu
Berikan hangat tubuhmu, genggam erat tanganku

Ayunkan kakimu, berlarilah
Bawa aku bersamamu, beri aku jalan
Menolehlah sesekali ke belakang
Aku akan tetap berada di sana
Memandangi jemarimu memeluk jemariku
02/04/16
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.
Jemariku menari di atas aksara.




Kemari sayang,
nanti malam aku akan ceritakan pertarungan antara Putri Cina dengan Amir Hamzah,
dan Pangeran Bulan yang tak pernah datang.

Tragedi Sampek yang menjelma kupu-kupu disusul kekasihnya.
memilih abadi dalam dunia baka,
ketimbang hidup 100 tahun bersama lara.
aku akan tutup dongeng malam dengan kisah kita yang abadi dalam dimensi khayal.

"Selamat malam."
Megitta Ignacia Jul 2019
di ruang 3x3 meter
kusesap lagi secangir kopi yang sudah tak lagi hangat
masam terkecap, pahit tersisa
buih-buih krema berjejer rapi di ujung mulut cangkir
menggetarkan diri
menciptakan nada detak jantung yang semakin tinggi
dan mengundang semut-semut emosi pada ujung jemariku

didekap
dibekap
kebencian bersarang pada ekor jiwaku yang semerawut
semakin hari, semakin menjadi-jadi

amarah yang tak terbendung
perkara hati bukanlah sebatas ruang
bukan juga sekedar sudut yang bisa disinggahi, diacak-acak, lalu ditinggal begitu saja tanpa dibereskan
ibumu saja marah kalau kamarmu berantakan

debaran  demi debaran
candu pada cairan pekat ini terkadang mengundang rasa kantuk
bagai lorong tanpa ujung
pikiranku melayang masuk ke masa lampau

amarah dan kebencian mengombangambingku
belum reda kesalku
kutuk bertaburan dari bibirku
ada rangkaian rencana cela yang menari-nari di kepalaku

apa warasku pergi?
apa warasku pergi?
apa warasku pergi?


benci ini tak perlu lagi disiram
terjebak realita semu, mantra-mantra sukar dipahami tetapi nyata efeknya
betapa sulitnya meracik ramuan ketenangan jiwa

kalau kamu jahat, lalu aku balas jahat
apa bedanya kamu dan aku?
aku tidak mau sepertimu
bukan pilhan pasif, dengan sadarku
warasku ada
aku pemenang petak umpetnya!
040719 | 00:55 AM pertanyaan tadi malam, seperti rokok yang kubakar diujung meja, kubiarkan mati dihisap angin.
Amira I Jun 2020
Jemariku bergetar saat menuangkan isi hati dan kepalaku kali ini.
Entah sudah berapa purnama ku lewatkan tanpa berada di bawah atap yang sama denganmu.
Bertukar suara via telepon genggam —yang hanya secuil dibanding dengan waktu duapuluh empat jam— pun ku sudah lupa rasanya.
Namun satu hal yang pasti, bagian darimu akan selalu jadi bagian dariku.
Akan ku bawa sampai ke ujung waktu.
Mungkin aku akan pergi lebih dulu, atau mungkin engkau? Tak ada yang tahu.
Semoga Tuhan tetap melindungi, di mana pun kau berada sampai nantinya kita akan bertemu kembali.

“Namamu jadi rahasia, dalam diam kan ku bawa; mendarah.”
–Mendarah, Nadin Amizah
Terinspirasi dari lagu Nadin Amizah berjudul Mendarah.

— The End —